MAKALAH KEHARUSAN DAN KEMUNGKINAN PENDID (1)

MAKALAH KEHARUSAN DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN (lengkap)

A. LATAR BELAKANG

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia hidup berbeda dengan hewan, karena manusia mampu secara sempurna
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, dan senantiasa berupaya menciptakan dunia
kehidupan dan mengatasi realitasnya sendiri. Manusia dalam hidupnya mempunyai peran sejarah
dan menciptakan sejarah baru, dengan kata lain “manusia di samping makhluk sejarah, juga
dikuasai sejarah, ia tidak hanya berada di dalam dunianya sendiri, tetapi hidup bersama dan
berdialog dengan kehidupan” ,karena memang manusia memahami wawasan kesejarahan
sebagai wujud kemampuannya belajar dari pengalaman. Sementara hewan dengan hanya
mengandalkan instink, maka hidupnya lebih banyak tergantung dengan alam, berorientasi pada
kekinian, tidak punya kemampuan mereka masa depan.
B. TUJUAN
Diantara sifat kodrati manusia adalah senantiasa ingin menciptakan kehidupan dan
mengatasi realitasnya sendiri, karenanya “manusia senantiasa berusaha melampaui diri sendiri
secara terus menerus” dan tidak pernah berhenti bertanya dalam mencari kebenaran , yang
berimplikasi kepada senantiasa berupaya untuk menguak tabir rahasia alam, sehingga manakala

upaya menguak tabir alam itu terus dilakukan, ternyata semakin banyak misteri yang tidak dapat
dipecahkan, maka akan melahirkan semakin tingginya kekagumannya kepada Sang Pencipta,
yang diistilahkan oleh J. Wach dengan “Mysterium, tremendum et fascinusum” yang akhirnya
menyadarkan dirinya sebagai makhluk (ciptaan) yang secara kodrat harus berupaya menemukan
mencari dan kebenaran dibalik semua misteri itu.

C. MANFAAT
Penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan dalam upaya membentuk manusia yang
mampu mengembangkan kepribadiannya dan dapat membedakan dirinya dengan alam lainnya,
sehingga manusia menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pribadi – sebagai bagian

dari sesama manusia – sebagai bagian dari alam - sebagai Makhluk Ciptaan Nya tadi, sangat
bergantung bagaimana pada bagaimana memandang manusia ( anak ) itu sendiri, yang akan
berimplikasi mulai dari perencanaan pendidikan terhadap mereka sampai kepada pemberlakuan
mereka dalam penyelenggaraan sistem pendidikannya.
D. RUMUSAN MASALAH

tidak

Pendidikan


adalah

dilengkapi

dengan

perlu

karna

insting

anak
yang

manusia

dilahirkan


tidak

sempurna,

anak

manusia

berdaya,
perlu

masa belajar yang panjang
1. Mengapa manusia harus mendapat pendidikan?
2. Mungkinankah manusia bisa dididik?
3. Bagaiman pandangan tut wuri handayani?
4. Bagaimana pandangan aliran naturalisme?
5. Bagaimana pandangan aliran nztivisme?
6. Bagaimana pandangan aliran empirisme?
7. Bagaimana pandangan aliran konvergensi?
E. METODE PENULISAN

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis peroleh dari
buku panduan yang berkaitan dengan Psikologi Pendidikan, serta informasi dari media
elektronik. Yang paling banyak digunakan alam pembuatan isi adalah dari media elektronik yaitu
situs internet. Ini dikarenakan pendapat para ahli psikologi mengenai motivasi lebih mudah
penulis dapat di situs internet. Di samping itu, isinya pun lebih lengkap.
BAB II
ISI
KEHARUSAN DAN KEMUNGKINAN PENDIDIKAN
Manusia sejak lahir sangat membutuhkan bantuan orang lain, khususnya kedua orang
tuanya. Dapat dibayangkan seandainya anak manusia pada saat lahir dibiarkan begitu saja oleh

ibunya, tanpa sentuhan apapun sedikitpun. Dengan mengabaikan kekuasaan Tuhan, kematianlah
yang akan menjemputnya pada anak yang ditelantarkan tersebut.
Keharusan mendidik anak telah disebut-sebut, misalnya karena anak pada saat lahir
dalam keadaan tidak berdaya, anak tidak langsung dewasa, sehingga anak memerlukan perhatian
dan bantuan orang lain. Dengan keterbatasan kemampuan anak menyebabkan ia perlu mendapat
pendidikan. Keterbatasan anak dikarenakan, anak lahir dalam keadaan tidak berdaya, dan ia tidak
langsung dewasa.
1.


Keharusan Pendidik
Keharusan manusia untuk mendapatkan pendidikan dapat kita simak dari uraian di bawah
ini:

a.

Anak Dilahirkan dalam Keadaan Tidak Berdaya
Dilihat dari sudut anak, pendidikan merupakan suatu keharusan. Pada waktu lahir anak
manusia belum bisa berbuat apa-apa. Sampai usia tertentu anak masih memerlukan bantuan
orang tua. Begitu anak lahir ke dunia, ia memerlukan uluran orang lain (ibu dan ayah) untuk
dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya, dan berdiri sendiri, berbeda dengan binatang
yang begitu lahir sudah dilengkapi kelengkapan fisiknya dan dapat berbuat sesuatu untuk
mempertahankan hidupnya.
Misalnya anak harimau begitu lahir sudah dilengkapi dengan bulu yang dapat melindungi
tubuhnya dari kedinginan. Begitu lahir setelah dibersihkan oleh induknya anak harimau tersebut
sudah bisa bergerak untuk mencari susu induknya, walaupun belum memiliki kemampuan
melihat secara normal. Beberapa jenis hewan yang baru keluar dari telurnya langsung bergerak
seperti pada kura-kura, buaya, dan sebagainya. Begitu juga pada binatang lainnya khususnya
binatang menyusui seperti kuda, kambing, kera dan sebagainya.
Hal tersebut tidak demikian pada manusia. Manusia perlu mendapat bantuan orang lain

untuk dapat menolong dirinya untuk sampai kepada dewasa. Masa pendidikan manusia
memerlukan waktu yang lama karena di samping manusia harus dapat mempertahankan
hidupnya dalam arti lahir, ia juga harus memiliki bekal yang berkaitan dengan moral, memiliki
pengetahuan, dan keterampilan lainnya yang diperlukan untuk hidup. Makin tinggi peradaban
manusia, makin banyak yang harus dipelajari agar dapat hidup berdiri sendiri tanpa
menggantungkan diri kepada orang lain.

Oleh karena itu, anak/bayi manusia memerlukan bantuan, tuntunan, pelayanan, dorongan
dari orang lain demi mempertahankan hidup dengan belajar setahap demi setahap untuk
memperoleh bekal nilai-nilai moral, memiliki kepandaian dan keterampilan, serta pembentukan
sikap dan tingkah laku sehingga lambat laun dapat berdiri sendiri yang semuanya itu
memerlukan waktu yang cukup lama.
Dilihat dari orang tua pendidikan juga merupakan suatu keharusan. Tanpa ada yang
memaksa, dengan sendirinya orang tua akan mendidik anaknya. Hal tersebut disebabkan karena
adanya rasa kasih sayang dan rasa tanggung jawab dari orang tua terhadap anaknya. Perasaan
kasih sayang merupakan fitrah kemanusiaan yang akan timbul dengan sendirinya pada manusia.
Rasa tanggung jawab menyebabkan orang tua, bahwa anak itu perlu memperoleh bimbingan agar
ia di kemudian hari dapat berdiri sendiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Anak
perlu mendapat pendidikan dan orang tua merasa wajib untuk memberikan pendidikan bagi
anaknya. Keduanya bertemu dalam kegiatan pendidikan yang berlangsung secara alamiah dalam

kehidupan sehari-hari dalam keluarga.
Pendidikan karena dorongan orang tua, yaitu hati nuraninya yang terdalam yang memiliki
sifat kodrati untuk mendidik anaknya baik dari segi fisik, sosial, emosi, maupun intelegensinya
agar memperoleh keselamatan, kepandaian, memperoleh kebahagiaan hidup yang dicita-citakan,
sehingga ada tanggung jawab moral atas hadirnya anak tersebut yang dianugerahkan Tuhan
Yang Maha Kuasa untuk dapat dipelihara, dan dididik dengan sebaik-baiknya.
b.

Manusia Lahir Tidak Langsung Dewasa
Untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus,
memerlukan wazktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaan
tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini. Pada manusia
primitif cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, di mana apabila seseorang
sudah memiliki keterampilan unuk hidup, khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat
berburu, dapat bercocok tanam, mengenal nilai-nilai atau norma-norma hidup bermasyarakat,
sudah dapat dikatakan dewasa. Dilihat dari segi usia, misalnya usia 12-15 tahun, pada
masyarakat primitif sudah dapat melangsungkan hidup berkeluarga. Pada masyarakat modern

tuntutan kedewasaan lebih kompleks, sesuai dengan makin kompleksnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan juga makin kompleksnya sistem nilai.

Untuk mengarungi kehidupan yang dewasa, manusia perlu dipersiapkan, lebih-lebih pada
masyarakat modern. Bekal tersebut dap[at diperoleh dengan pendidikan, di mana orang tua atau
generasi tua akan mewariskan pengetahuan, nialai-nilai, serta keterampilannya kepada anakanaknya atau pada generasi berikutnya.
Manusia merupakan makhluk yang dapat dididik, memungkinkan untuk memperoleh
pendidikan. Manusia merupakan makhluk yang harus dididik, karena manusia lahir dalam
keadaan tidak berdaya, lahir tidak langsung dewasa. Manusia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan interaksi dengan sesamanya.
c.

Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Ia tidak akan menjadi manusia
seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, di mana
pun hewan dibesarkan, tetap akan memiliki perilaku hewan. Seekor kucing yang dibesarkan
dalam lingkungan anjing akan tetap berperilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing, karena
setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang
berbeda antara jenis hewan yang satu dengan jenis hewan lainnya.
Manusia hidup bersama orang lain, tidak sendirian. Mereka menentukan berbagai
perjanjian agar hidup bersama itu menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan bagi
masyarakat, dan juga menguntungkan bagi kehidupan individu masing-masing. Manusia sebagai
makhluk sosial, disamping memiliki dorongan untuk hidup secara individual, ia juga

menunjukan gejala-gejala sosial. Ia senang hidup bersama dengan orang lain.
Seorang manusia perlu mencapai suatu taraf kedewasaan tertentu agar ia dapat hidup
bersama dengan orang lain. Kalau tidak, akan berbuat di luar perjanjian (kebiasaan, adat, aturan)
yang berlaku. Hal itu berarti bahwa ia tidak dewasa secara sosial. Walaupun secara biologis ia
sudah matang, tetapi untuk hidup bersama dengan orang lain, ia perlu mendapatkan pendidikan.
Kalau manusia bukan makhluk sosial, atau ia tidak hidup bersama-sama dengan orang
lain, pada hakikatnya ia hidup sendiri-sendiri. Maka hidup manusia itu tidak ada bedanya dengan
kehidupan hewan. Dalam kehidupan seperti ini, manusia tidak dapat dipengaruhi, karena ia telah
membawa pola hidupnya yang tetap dan tidak perlu lagi belajar dari orang lain atau melalui

apapun. Ia sudah dalam keadaan matang untuk mengikuti kehidupan yang polanya sudah ada
(terjadi). Dalam keadaan demikian, pendidikan tidak perlu lagi karena memang tidak diperlukan.

d.

Manusia sebagai Makhluk Individu yang Berdiri Sendiri
Pengertian makhluk sosial tidak berarti bahwa individu (perorangan) tiadak ada.
Pengertian sosial harus diartikan bahwa manusia hidup bersama dalam kepribadian sendirisendiri. Ia masih tetap berdiri sendiri, namun bersama-sama dengan orang lain. Pergaulan hidup,
adalah hidup antara pribadi-pribadi (individu-individu) satu sama lain. Tidak berarti bahwa
individu itu luluh menyatu dengan yang lain, seperti halnya boneka-boneka yang hanya bergerak

dengan pola yang sama. Manusia memang hidup bersama, namun tetap secara individu dan
individu.
Dengan adanya pribadi-pribadi orang perorangan yang berbeda, karena itulah pendidikan
diperlukan, karena setiap orang yang bersifat individu itu perlu belajar hidup dengan individu
lannya. Pendidikan tidak mendidik agar setiap orang (individu) dapat berperilaku sebagai
individu bersama dengan individu lainnya.

e.

Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Bertanggung Jawab
Seorang manusia mampu atau tepatnya harus mampu bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Setiap tindakan manusia membawa akibat, dan sering kali akibat itu menimpa
orang lain, karena kita hidup bersama-sama dengan orang lain. Seekor hewan kalau berbuat
sesuatu tidak akan mengerti akibat yang timbul dari tindakan tersebut, karena ia tidak mampu
berpikir, dan tindakannya hanya didasarkan oleh insting belaka.
Manusia akan dapat memperhitungkan akibat tindakannya, baik bagi dirinya maupun
bagi orang lain. Karena itulah manusia patut diminta pertanggung jawaban atas segala
perbuatannya, karena kita pradugakan ia akan mengerti apa akibatnya. Pendidikan di samping
mengajar orang agar menjadi tahu, dan terampil, pendidikan juga mengembangkan sikap. Sikap
yang utama adalah sikap tanggung jawab, karena makhluk sosial manapun memang harus

bertanggung jawab.

Bertanggung jawab adalah sejajar dengan manusia sebagai makhluk sosial. Kalau sikap
bertanggung jawab tidak dimiliki setiap oleh setiap insan, maka kehidupan akan kacau, kaerena
manusia akan bertindak semaunya, setiap orang hanya akan menuruti kehendaknya sendiri, dan
tidak akan bertahan hidup lama.
Pendidikan itu sendiri merupakan tindakan yang bertanggung jawab, yaitu bertanggung
jawab terhadap generasi manusia selanjutnya, karena kita tahu bahwa setiap anak membutuhkan
bantuan. Kalau tidak bertanggung jawab terhadap generasai berikutnya, mereka akan terlantar.
Disinilah pendidikan bertanggung jawab bagi kelanjutan kehidupan dan hidup generasi
berikutnya.
Untuk melaksanakan pendidikan diperlukan adanya kesediaan anak didik untuk
menerima pengaruh. Pada saat anak masih kecil kesediaan ini belum ada, baru timbul kemudian
kalau anak itu merasa dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dan perlu bantuan orang lain,
sehingga ia perlu belajar dari orang lain. Selama anak belum mau menerima pengaruh orang lain
diluar dirinya, tidak akan muncul ketaatan terhadap pihak lain yang berusah mempengaruhinya.
Kalau anak sudah menyadari kekurangannya, ia akan mau menerima pengaruh dan mau taat,
dengan kata lain ia mau menerima kewibawaan pendidik.
f.

Sifat Manusia dan Kemungkinan Terjadinya Pendidikan
Apa sebabnya pendidikan hanya terjadi pada manusia? Pada tumbuh-tumbuhan sebagai
makhluk hidup sama sekali tidak terjadi pendidikan. Pada tingkat hewan ada perilaku yang mirip
dengan pendidikan, namun sangat jauh berlainan dengan pengertian pendidikan yang
sebenarnya. Tindakan yang mirip pendidikan itu disebut “dressur” ( pembiasaan dan dilatih
terus menerus ).
Anak anjing meniru induknya, dengan jalan bermain-main, dia melepaskan dorongan
untuk berkelahi. Dia berkelahi ( main-main ) dengan induknya, sedangkan induknya sengaja
membuat dirinya seperti bermain berkelahi juga. Kejadian tersebut seolah-olah pada induk anjing
ada keinginan untuk “ mendidik “ anaknya. Dorongan untuk bermain seperti itu pada anjinganjing tersebut tidak didasarkan atas kesadaran bahwa dirinya ( anak anjing ) tidak mampu, yang
harus belajar kepada anjing lain. Bukan itu yang menjadi alasan anak anjing dan induknya

bermain, namun didasarkan dorongan untuk berbuat, bergerak. Pada anjing-anjing tersebut tidak
ada kesengajaan untuk berbuat atas kesadaran atas kekurangan dan ketidak mampuannya.
Misalnya sang induk anjing sadar bahwa anaknya tidak mampu dan masih banyak kekurangan
dalam pengalamannya. Dari anak anjing tidak ada kesediaan menerima pengaruh dari induknya,
tidak ada kewibawaan.
Pada manusia juga terjadi “ dressur “ pada saat anak belum memiliki kesadaran akan
kekurangan dirinya. Pada saat itu anak merasakan untuk meniru dan berbuat, akan berbuat
sesuatu. Anak usia sekitar 2 – 6 tahun misalnya, ia akan berbuat apa saja, ia bergerak menurut
kemauannya. Anak dibelikan sepeda oleh ayahnya agar anak bisa naik sepeda dan ayahnya
mendorong sepeda tersebut. Namun apa yang terjadi anak tidak mau naik sepeda, bahkan ia akan
turun dan mendorong sepeda tersebut seperti ayahnya mendorong sepeda tadi.
Contoh lain anak akan mengambil benda yang ia temukan disekelilingnya, melihat pisau
( padahal pisau itu sangat tajam ) ia akan ambil dan digosok-gosokkan seperti menirukan ibunya
mengguanakan pisau tersebut, mungkin juga digosokan ke tangannya. Sang ibu sangat cemas
berkata setengah berteriak, “ Auuu…anakku sayang jangan pake pisau itu, ibu pinjam ya
sayang”. Sang anak tidak mau melepaskan pisau itu. Kalau diambil secara paksa ia akan
menangis, caranya cari pisau lain atau benda lain yang menyerupai pisau yang tumpul lalu
berikan kepadanya.
Anak melihat orang tuanya waktu mandi menggosok gigi, dengan gesitnya anak
mengambil sikat gigi ibunya dan ingin pakai pastanya. Disinilah si ibu mencoba melatih si anak
untuk menggosok giginya, dan si anak dengan senangnya menggosok giginya walaupun tidak
benar. Anak makan dengan orang tuanya, ia memperhatikan orang tuanya memakai sendok dan
garpu, dengan cepatnya sang anak mengambil sendok makan, walaupun cara memegangnya dan
cara memasukan ke mulutpun belum pas dan benar. Disini sang ibuu melatih anaknya
membetulkan bagaimana cara memegang sendok, dan bagaimana memasukannya kedalam
mulutnya.
Dalam kejadian di atas, ayah melatih anaknya naik sepeda dan ibunya melarang anaknya
menggunakan pisau supaya jangan bermain dengan pisau, ibu melatih anaknya menggosok gigi,
sang ibu melatih anaknya menggunakan sendok, itu semuanya belum temasuk pendidikan yang
sebenarnya, karena anak belum memahami, menyadari apa artinya perintah atau kemauan
ayahnya untuk naik sepeda, dan anak juga tidak paham mengapa ibunya melarang bermain

dengan pisau, mengapa harus menggosok gigi dan mengapa makan haruus pakai sendok. Yang
dilakukan oleh kedua orang tua anak itu bukan pendidikan dalam arti sesungguhnya melainkan
merupakan suatu “ dressur “.
Jadi dengan sifat anak suka meniru beridentifikasi dengan orang lain, suka bermain, bisa
menerima pengaruh dan menerima kewibawaan orang lain, merupakan keharusan bagi orang tua
( pendidik ) membimbingnnya. Pendidikan harus menjadi contoh bagi anak didiknya, memberi
pengaruh yang positif untuk mengisi kedewasaan anak kelak.
2.

Kemungkinan Dididik
Persoalan lain adalah kemungkinan dididik. Persoalan ini di ajukan, karena adanya
berbagai pendapat tentang pendidikan. Misalnya ada pendapat tentang perkembangan manusia,
bahwa kedewasaan semata-mata merupakan hasil dari proses alami yang berlangsung selaras
dengan hukum alam. Bila demikian, mungkinkah manusia dididik? Tidakkah usaha pendidikan
hanya akan sia-sia belaka?
Diakui bahwa pada manusia ada hal-hal tertentu yang didapatkan secara alami, dan hal
itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Misalnya tentang bakat dan jenis kelamin. Orang dilahirkan
dengan bakat bawaan tertentu. Hal ini diluar kemampuannya. Dan memang untuk hal-hal orang
tidak dapat diminta pertanggung jawaban. Pendidik tidak dapat berbuat apa-apa dengan bakat
itu, dalam arti pendidik harus menolak bakat tersebut, atau sebaliknya biarkan anak berkembang
secara alamiah tanpa camur tangan pendidik.

Sejak dahulu orang berpendapat, bahwa bakat yang dibawa lahir seseorang belum
merupakan kenyataan, melainkan potensi. Jadi tentaang adanya bakat-bakat tertentu, pendidik
tidak bertanggung jawab. Yang dapat diusahakannya melalui pendidikan, dan hal itu termasuk
ruang lingkup tanggung jawabnya ialah, apa yang telah diperbuatnya sehubungan dengan bakat
yang dimiliki anak itu? Apakah dibiarkan saja merana ataukah dipupuk dan dikembangkan, dan
bakat mana yang dikembangkan? Seberapa jauhkah bakat yang dimiliki anak didik itu telah
dimanfaatkan dalam rangka pencapaian dan pengisian kedewasaan itu?
Demikian pula dengan jenis kelamin. Orang tidak dapat diminta pertanggung jawaban
tentang jenis kelamin yang dimilikinya. Mengapa anda menjadi wanita? Mengapa jadi pria?

Namun yang dapat dan harus menjadi pertanggung jawaban pendidik, dan juga tanggung jawab
yang bersangkutan apabila telah dewasa ialah, seberapa jauhkah ia telah menjadikan kepribadian
kelaki-lakian atau kewanitaanya sebagai “ model “ dalam pengisian dan pencapaian
kedewasaannya sebagai pria dewasa atau wanita dewasa?
Jadi permasalahannya disini bukan persoalan jenis bakat atau jenis kelaminnya,
melainkan dengan situasi seperti itu seberapa jauhkah pendidikan telah berperan? Apakah
pendidikan sudah “ bermanfaat “ secara optimal dalam mendewasakan anak sesuai dengan nilainilai manusiawi?
Sehubungan dengan masalah batas pendidikan perlu dikemukakan, bahwa batas
kemungkinan pendidikan tidak dapat disamaratakan bagi semua orang. Tidak dapat dikatakan,
bahwa untuk semua orang terdapat batas kemungkinan dididik yang sama. Sebab masing-masing
individu bersifat unik. Akan tetapi secara umum dapat dikatakan, bahwa kemungkinan dididik
itu tercapai mana kala tidak dapat dikembangkan lagi lebih lanjut kehidupan rohaninya
khususnya kehidupan moralnya. Adapun yang menjadi latar belakangnya dapat beraneka ragam.
Mungkin karena bakat bawaannya, mungkin karena potensi kecerdasan yang berbeda, seperti
berbeda dalam potesi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual,
atau mungkin terdapat kelainan.

3.

Tutwuri Handayani
Pada modul 8 dalam membahas “dasar dan ajar” dijelaskan ada beberapa aliran
pendidikan, yaitu nativisme, naturalis, empiris, dan konvergensi. Alira nativisme berkeyakinan
bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan dan sifat-sifat tertentu. Bakat,
kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap
perkembangan anak. Pandangan ini nampaknya kurang percaya bahwa pendidikan akan mampu
mengubah atau mengarahkan tingkah laku seseorang. Peranan pendidikan sangat kurang,
kalaupun adanya, hanya sampai perkembangan bakat yang telah ada.

4.

Naturalisme

Aliran naturalisme yang dipelopori Rousseau berpandangan bahwa semua anak
dilahirkan berpembawaan baik, dan perbawaan baik anak tersebut akan menjadi rusak karena
dipengaruhi lingkungan. Pendidikan yang diberikan anak dewasa bisa merusak pembawaan anak
yang baik itu. Aliran ini biasa disebut juga negativisme, karena pendidik harus membiarkan
pertumbuhan anak pada awal. Jadi pendidikan dalam arti bimbingan dari orang luar (orang
dewasa) tidak diperlukan.
5.

Nativisme
Aliran nativisme dipelopori oleh Schopenhauer (filosof Jerman:1788-1860) berpendapat
bahwa “ The world is my idea, the world like man, is throught idea”. Segala kejadian di dunia
dipandangnya sebagai manifestasi dari benih yang ada padanya sejak semula. Perkembangan
manusia hanya merupakan semacam penjabaran yang telah dibawakan dari yang telah disiapkan
semula, yang telah dibawakan sejak kelahirannya.
Aliran ini berkeyakinan bahwa anak yang baru lahir membawa bakat, kesanggupan, dan
sifat-sifat tertentu. Bakat, kemampuan, dan sifat-sifat yang dibawa sejak lahir sangat menentukan
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak manusia. Pendidikan dan lingkungan tidak
terpengaruh terhadap perkembangan anak. Misalnya seorang anak yang mempunyai bakat
melukis, maka pikirannya, perasaannya, dan kemauannya, serta seluruh kepribadiannya tertuju
kepada melukis.

6.

Empirisme
Pandangan empirisme dari John Locke menetapkan bahwa keadaan manusia saat
dilahirkan diumpamakan sebagai “ tabula rasa ”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang
digunakan di sekolah dalam rangka belajar menulis. Teori ini mengatakan bahwa anak yang
dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih bersih yang belum ditulisi. Sejak lahir
anak tidak memiliki bakat dan apa-apa, anak dapat dibentuk semaunya pendidik, disini kekuatan
untuk anak ada pada pendidik, sehingga lingkungan dalam hal ini pendidikan berkuasa atas
pembentukan anak.

7.

Konvergensi

Aliran konvergensi berasal dari ahli psikologi berkebangsaan Jerman, bernamaWilliam
Stern, yang berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan keduanya membentuk
perkembangan manusia. Implikasinya bagi pendidikan adalah, bahwa dalam melaksanakan
pendidikan, kedua momen pembawaan dan lingkungan (pengalaman), hendaknya mendapat
perhatian seimbang. Dalam perkembangan manusia, pendidikan memegang peranan yang
penting, namun demikian seorang pendidik tidak pada tempatnya dengan bangga menunjukan:
“Inilah hasil didikan saya!”. Sebab upayanya itu tergantung pula pada situasi saat pendidikan itu
berlangsung, dari cara anak menerimanya (atau menolaknya), dari bakat dan kemampuan yang
ada pada anak, sangat sulit ditentukan mana hasil didikan, mana penjabaran bakat dan bawaan.
Hendaknya seorang pendidik tetap memiliki optimisme, namu patut diingat, bahwa banyak
variabel yang turut menentukan keberhasilan pendidikannya.

Tutwuri handayani, merupakan konsep pendidikan dari Ki Hajar Dewantara, Pahlawan
Nasional Pendidikan, diman hari kelahirannya dijadikan hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2
mei, dan beliau adalah pendiri Perguruan Taman siswa. Tutwuri handayani berasal dari bahasa
jawa: “tut wuri” berarti mengikuti dari belakang, “handayani” mendorong, memotivasi, atau
membangkitkan semangat. Dari arti katanya dapat ditafsirkan, bahwa tut wuri handayani,
mengakui adanya pembawaannya, bakat, atupun potensi yang dimiliki anak yang dibawa sejak
lahir. Dengan kata “tut wuri” pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan, dan memahami
bakat atau potensi yang muncul dan terlihat pada anak didik, untuk selanjutnya mengembangkan
pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Di bandingkan dengan keempat aliran yang telah dijelaskan, konsep tut wuri handayani,
lebih dekat pada aliran konvergensi dari William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan
anak ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki
anak dengan lingkungan atau bimbingan (pendidikan) yang mempengaruhi anak dalam
perkembangannya. Dengan kata lain watak atau karakter anak yang menjadi kepribadiannya, dan
ada yang ditentukan oleh lingkungannya, tergantung pada yang lebih dominan dalam interaksi
antara keduanya.
Tut wuri handayani tidak bisa dipisahkan dari konsep pendidikan Ing ngarso sung
tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Ing ngarso sung tulodo, berarti apabila

pendidik berada didepan, ia harus memberi contoh yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso
= didepan, sung – asung = memberi, tulodo = contoh.
Ing madya mangun karso berarti apabila pendidik berada di ”tengah-tengah” bersam anak
didiknya, ia harus mendorong kemauan anak, membangkitkan kreativitas dan hasrat untuk
berinisiatif dan berbuat. Ing madya = ditengah-tengah, mangun = membangun, karso =
keehendak atau kemauan. Ditambah dengan tut wuri handayani seperti telah dijelaskan, maka
ketiganya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lainnya.
Jadi pendidikan menurut konsep Ki Hajar Dewantara merupakan hasil interaksi antara
pembawaan dan potensi dengan bakat yang dimiliki anak, dimana dalam proses interaksi tersebut
pendidik memiliki peran aktif, tidak menyerahkan begitu saja kepada anak didik, dan sebaliknya
pendidik tidak boleh dominan menguasai anak.