Tanggung Jawab untuk Membayar Ganti Rugi (Damages) dikarenakan oleh Unsur Hardship ditinjau dari CISG dan Praktiknya Menurut Hukum di Indonesia Dikaitkan dengan Keadaan Force Majeure.

TANGGUNG JAWAB UNTUK MEMBAYAR GANTI RUGI (DAMAGES)
DIKARENAKAN OLEH UNSUR HARDSHIP DITINJAU DARI UNITED
NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR THE INTERNATIONAL
SALE OF GOODS (CISG) 1980 DAN PRAKTIKNYA MENURUT HUKUM DI
INDONESIA DIKAITKAN DENGAN KEADAAN FORCE MAJEURE
ABSTRAK
Dewasa ini, transaksi bisnis yang bersifat transnasional dan aktivitas
perdagangan di dunia yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan hukum
kontrak internasional menjadi semakin nyata di dunia internasional termasuk
di Indonesia. United Nations Convention on Contracts for the International
Sale of Goods 1980 (CISG) merupakan salah satu instrumen hukum yang
biasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan unifikasi hukum mengenai
hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak jual beli internasional. CISG
juga mengatur tentang wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dan
mengatur mengenai bentuk-bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan
sebagai akibat dari tindakan wanprestasi terhadap ketentuan di dalam
kontrak sebagai bentuk pertanggungjawaban. Salah satu penyebab
terjadinya tindakan wanprestasi di dalam kontrak adalah terjadinya unsur
hardship. Namun, pengaturan mengenai unsur hardship tidak dikenal di
dalam CISG, sehingga masih terdapat pertanyaan mengenai apakah unsur
hardship dapat diklasifikasikan sebagai hambatan sebagaimana diatur di

dalam Pasal 79 ayat (1) CISG sehingga dapat membebaskan tanggung
jawab pihak dalam kontrak untuk membayar ganti rugi (damages). Selain itu,
pengaturan mengenai unsur hardship juga tidak terdapat di dalam Hukum
Perdata di Indonesia, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai apakah
yang menjadi unsur pembeda antara unsur hardship dan keadaan force
majeure terhadap pembatalan kontrak internasional di Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang
bersifat yuridis normatif, yaitu dengan meneliti data sekunder mengenai
unsur, dampak dan praktik mengenai unsur hardship secara nasional dan
internasional. Selanjutnya agar lebih mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai objek penelitian, penulis juga melakukan wawancara secara
langsung ke beberapa praktisi hukum di Indonesia.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa unsur hardship
tidak dapat diklasifikasikan sebagai hambatan berdasarkan Pasal 79 ayat (1)
CISG yang kemudian dapat membebaskan tanggung jawab pihak dalam
kontrak untuk membayar ganti rugi (damages). Selanjutnya, unsur pembeda
antara keadaan force majeure dan unsur hardship terhadap pembatalan
kontrak internasional di Indonesia adalah keadaan force majeure dapat
menyebabkan kontrak putus atau batal sedangkan unsur hardship tidak
dapat menyebabkan hal tersebut.

i

LIABILITY TO PAY DAMAGES DUE TO SITUATIONS OF HARDSHIP
BASED ON THE UNITED NATIONS CONVENTION ON CONTRACTS FOR
THE INTERNATIONAL SALE OF GOODS (CISG) 1980 AND INDONESIAN
LAW IN ASSOCIATION WITH FORCE MAJEURE EVENT
ABSTRACT
Nowdays, the nature of transnational business transactions and the
increasing of world trade activities has causing the needs of international
contract law to become more evident around the world including in Indonesia.
The United Nations Convention on Contracts for the International Sale of
Goods 1980 (CISG) is a law instrument which generally be used to fulfill the
needs of law unification regarding the rights and obligations of parties in an
international commecial contract. CISG also governed the breach of contract
conducted by the parties and provides the form of remedies which can be
invoked by the aggrieved party as a form of liability. The breach of contract
could be caused by the situations of hardship. However, the provision of
CISG is silent regarding the situations of hardship which leads into a question
whether the situations of hardship can be classified as an impediment under
Article 79 (1) of CISG and consequently exempt the liablity to pay damages.

Further, under Civil Code, there is no regulation which governs the situations
of hardship. Therefore, the question arise regarding the distinctive element
between the situations of hardship and the event of force majeure in respect
of the termination and avoidance of international commercial contract in
Indonesia.
This minor thesis is written by using descriptive-judicial normative
techniques, which analyzed a secondary data concerning the elements, the
effects as well as the application from case to case basis regarding situations
of hardship domestically or internationally. The author also interviewed
several lawyers in Indonesia to achieve a better understanding on the
research object.
As the result of the analysis, it can be concluded that the situations of
hardship cannot be classified as an impediment under Article 79 (1) of CISG
which resulting the aggrieved party to be exempted from its liability to pay
damages. Further, the distinctive element between the situations of hardship
and the event of force majeure in respect of the termination and avoidance of
international commercial contract in Indonesia is the event of force majeure
could causing the termination and avoidance of contract, while the situations
of hardship could not causing the termination and avoidance of international
commercial contract.


ii