Analisis Penyelesaian Force Majeure dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah

(1)

SKRIPSI

Diajukan Pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)

Disusun oleh :

CEISA SHADRINA PRANINDIRA 1112046100056

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Perkembangan pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah tidak dapat dielakkan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Beberapa kejadian force majeure yang menimpa nasabah pembiayaan di bank syariah memerlukan perhatian khusus dalam penyelesaiannya. Penyelesaian force

majeure diatur dalam fatwa-fatwa DSN-MUI serta Kitab Undang-undang Hukum

Perdata. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu analisis logis normative. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan serta data sekunder berupa buku-buku, karya tulis, dan literatur terkait. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil peneltian menunjukkan bahwa (1) Bentuk-bentuk kasus force

majeure yang terjadi pada pembiayaan di bank syariah tidak membedakan model

penyelesaian yang dilakukan oleh bank syariah sebagaimana penyelesaian pembiayaan bermasalah secara umum (2) Tindakan penyelesaian kasus force

majeure yang dilakukan oleh bank syariah tidak menghapus kewajiban nasabah

kepada bank. Tindakan ini mengacu kepada KUHP pasal 1445. (3) Menurut hukum Islam kerugian yang terjadi pada pembiayaan mudharabah menjadi tanggungan pihak pemodal (shahibul maal). Kasus force majeure yang terjadi pada nasabah pembiayaan mudharabah (mudharib) tidak menghilangkan beban hutang kepada bank syariah. Dalam perspektif hukum islam tindakan penyelesaian kasus force majeure harus mengacu kepada hal-hal yang telah difatwakan oleh DSN-MUI dan KUHP pasal 1244-1245. Serta menjunjung tinggi asas keadilan


(6)

vi

Sharia and Law, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta.

The development of financing provided by Islamic banks is inevitable with the development of society itself. Some of the force majeure events affecting customer financing in Islamic banks need special attention in its completion. Completion of force majeure is set in fatwas DSN-MUI and the Book of the Law of Civil Law. The method used in this research using normative juridical approach to the specification of normative research is a logical analysis. Data collection techniques used are primary data obtained from the legislation as well as secondary data in the form of books, papers, and related literature. The data obtained and analyzed qualitatively. Based on the research findings indicate that (1) forms a case of force majeure which occurred in the financing in Islamic banks do not differentiate models of settlement made by Islamic banks as well as the completion of financing problems in general (2) Actions for resolving cases of force majeure carried out by Islamic banks do not remove the client's obligation to the bank. This action refers to the Penal Code Article 1445. (3) Under Islamic law the losses incurred in the financing is borne by the investor (shahibul maal). Case of force majeure which occurred on customers of financing (mudharib) does not eliminate the debt burden to Islamic banks. In the perspective of Islamic law action for resolving cases of force majeure shall refer to things that have been stated by a DSN-MUI and the Criminal Code article 1244 to 1245. And upholding the principle of justice


(7)

vii

Nama : Ceisa Shadrina Pranindira

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 9 Juni 1994

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Aster No. 28. Rawa Laut, Tanjungkarang

Timur Bandar Lampung Telephone : 081957039167

Email : Khafmarina0906@gmail.com

B. Latar belakang Pendidikan Formal

2000 – 2006 : SD Islam Pondok Duta

2006 – 2009 : SMP Islam Terpadu Al Ihya Insan Kamil Bogor

2009 – 2011 : Pondok Modern Darrussalam Gontor Putri I Mantingan 2011 _ 2012 : MAN 1 Model Bandar Lampung

C. Keorganisasian

1 Sekretaris OSIS (2007),

2 Presenter POIN (Pekan Olahraga Insan) Al Ihya Insan Kamil (2008) 3 Bendahara OSIS (2008),

4 Peserta Pelaksana event Pesantren Kilat Isra’ Mi’raj (2010)

5 Ketua MALDA Majalah Lintas Darrussalam Gontor Putri 1 (2011), 6 Ketua MPR Darrussalam Gontor Putri 1 (Majelis Permusyawaratan

Rayon) (2011)

7 Koord. Divisi Bahasa Arab Rayon Darrussalam Gontor Putri 1 (2011) 8 Koord. Divisi Kesenian Perpisahan Asrama MAN 1 Bandar Lampung

(2011)

9 Anggota Satgas BNN (Badan Narkotika Nasional) MAN 1 Bandar Lampung (2011)

10 Consultant Oriflame Indonesia (2012)

11 Anggota HMI Himpunan Mahasiswa Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2012),

12 Anggota Kemahasiswaan HMPS Himpunan Mahasiswa Perbankan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013)


(8)

viii Assalamua’laikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur hanya kepada Allah Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Dia antara kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada pimpinan seluruh umat Islam, tiada lain yakni Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan umat yang selalu berpegang teguh pada tali agama Allah hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari dukungan dan bantuan orang-orang terpenting dalam memberikan bimbingan, masukan, dan dorongan yang berharga kepada penulis guna terselesaikannya skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis mengungkapkan banyak terima kasih terutama kepada :

1. Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis beserta staff dan jajarannya sebagai sosok pemimpin, serta pembina di kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

ix

kampus, yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Adhitya Ginanjar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, sebagai sosok yang mengayomi mahasiswa, membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi.

4. AM Hasan Ali, MA, selaku Ketua Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah menjadi inspirasi serta sosok yang begitu mengayomi mahasiswa, membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi. 5. Fitri Damayanti, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Perbankan Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,yang telah banyak membantu serta memberikan penulis masukan dan bimbingan dalam proses penulisan skripsi. 6. Abdurrauf, Lc, MA, selaku Sekretaris Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum. Tidak ada kata yang pantas selain ucapan terima kasih dan doa atas kesabarannya dalam membantu proses pembelajaran di kampus.


(10)

x

haturkan atas kesabaran, saran, dan arahannya dalam penulisan skripsi ini. 8. Seluruh Dosen Konsentrasi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum, yang

telah mengajarkan penulis berbagai hal, terutama ilmu yang bermanfaat, semoga semua itu menjadi amal kebajikan di dunia maupun di akhirat nanti. 9. Pimpinan perpustakaan fakultas dan perpustakaan utama serta seluruh

karyawan dan staffnya yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Moh. Ruli Fahmi (Pemimpin Cabang BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Daniel (Financing Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), Novagia Tansyah (Branch Ops Manager BJB Syariah Soepomo-Jakarta), tiada kata yang pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan bantuan dalam setiap proses pengambilan data serta wawancara di Bank BJB Syariah Kc. Soepomo-Jakarta. Semoga kesuksesan terus terkarunia kepada mereka dan menjadi amal kebaikan di dunia maupun di akhirat.

11.Hadi Wijaya Arifin (Kepala Unit Kerja BSM Bandar Lampung), Kiki Hendrawati (CBRM BSM KCP. Kedaton Bandar Lampung), Lisa Mallyanti (Branch Ops Manager BSM KCP. Bandar Lampung), Wijonarko (Area Consumer & Financing Manager BSM Bandar Lampung), Wendra M (Account Maintenance BSM Bandar Lampung), Muhammad Faisal (Commersil Bussines Banking BSM Bandar Lampung, tiada kata yang pantas selain haturan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kebaikan dan


(11)

xi

12.Marnita, selaku Legal Staff Unit Support Penanaman Dana Bank Muamalat Bandar Lampung yang membantu penulis dalam setiap proses wawancara di Bank Muamalat Bandar Lampung.

13.Abadi Riantini. Mkn, selaku Notaris di Bandar Lampung yang membantu penambahan kebutuhan informasi penulis

14.Teristimewa untuk keluarga ku, Ibunda (Evialty Primelly), Abi (Wael Shoukry Abu El Nagaa), Bapak (Budhi Darma Prakasa), Ibu (Kuswiningsih), Adik ku yang manis (Khalifah Aufa Aslamma), Adik ku yang cantik (Malika Wael Shoukry Abu El Nagaa), terima kasih atas segala doa, dukungan, nasehat serta rasa kekeluargaan yang begitu indah, senantia memberikan support sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi di jenjang strata 1 ini. sungguhh jasamu tiada tara.

15.Kepada teman-teman serta sahabat-sahabat terdekat yang menemani dalam suka maupun duka, Wanda Kurniady, Fahmi Alamsyah, Rahma Julianti, Aprilia Wulandari Effendi, Moena Azizah, Naila Rahma Siregar, Farah Lisani, Syarah Mahbubah, Ka Hilman, Ka Ina, Auladya Istiana, Camelia Ratna Tribuana, Carmelita Ratna Tribuana, Marieta Putri, Jasmine Arini Putri yang telah memberikan pengalaman berharga, doa serta dukungan kepada penulis untuk berjuang menyelesaikan skripsi ini.

16.Kepada seluruh Keluarga Besar kelas Perbankan Syariah B angkatan 2012, ucapan terima kasih yang berlimpah atas segala kebersamaan selama kuliah,


(12)

xii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata.Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya, semoga Allah SWT selalu memberikan kita keberkahan dan barokah dalam kehidupan.Amin.

Wassalamua’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 30 Juni 2016


(13)

xiii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Idenifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Review Studi Terdahulu ... 10

1. Jurnal Ilmiah... 10

2. Penelitian Lain ... 16

G. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis Metode Penelitian... 19

2. Metode Pendekatan ... 19

3. Data dan Sumber Data ... 20

4. Metode Pengumpulan Data ... 21

5. Metode Pengolahan Data ... 21

6. Bentuk Analisis ... 22

7. Teknik Penulisan ... 22


(14)

xiv

2. Dasar Hukum Force Majeure ... 26

3. Macam-macam Force Majeure ... 27

4. Teori Force Majeure ... 29

5. Akibat Force Majeure ... 33

B. Force Majeure dalam Hutang Piutang ... 35

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata ... 35

2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia ... 37

BAB III MODEL-MODEL PENYELESAIAN KASUS FORCE MAJEURE A. Standar Force Majeure ... 45

B. Kasus Force Majeure dalam Akad Murabahah dan Mudharabah ... 46

C. Standar Penyelesaian Sengkete Pembiayaan ... 48

D. Pola Penyelesaian Sengkete di Bidang Kontak ... 51

1. Melalui Negosiasi ... 51

2. Melalui Mediasi ... 53

3. Melalui Arbitrase ... 53

4. Melalui Pengadilan (Litigasi)/Gugatan ... 54

5. Penyitaan dan Pelelangan Jaminan ... 54

E. Pengakhiran Akad Murabahah ... 55

F. Pengakhiran Akad Mudharabah ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Bentuk-bentuk Force Majeure dalam Produk Pembiayaan di Bank Syariah ... 59

B. Model-model Penyelesaian Force Majeure dalam Produk Pembiayaan Syariah ... 66


(15)

xv

A. Kesimpulan ... 84 1. Bentuk-bentuk Force Majeure yang terjadi dalam

Produk pembiayaan Bank Syariah ... 84 2. Model-model Penyelesaian kasus Force Majeure dan

Prosedur yang ditempuh para Pihak Bank Syariah ... 84 3. Kesesuaian model dan prosedur penyelsaian kasus Force

Majeure yang digunakan oleh Bank Syariah dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia dan prinsip-prinsip Syariah ... 84 B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(16)

(17)

1

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ekonomi dan pengetahuan berkembang menggiring masyarakat agraris kearah masyarakat modern1 dengan tingkat kebutuhan yang terus meningkat di segala bidang, pembiayaan, sosial, politik atau dalam interaksi lainnya. Dalam hal pembiayaan, setiap pribadi atau perusahaan tentu membutuhkan dana untuk usahanya, baik untuk kelangsungan berjalannya usaha atau sebagai tahap awal memulai suatu usaha baru. Hal keuangan yang sensitif ini sering kali membutuhkan pihak lain sebagai penunjang dana untuk mencukupi kebutuhan dalam berjalannya usaha. Peranan bank di kehidupan masyarakat seperti yang tertera pada UU No. 10 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dengan rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.2 Begitu pula dengan perbankan syariah yang menjadi salah satu Lembaga Keuangan Syariah yang saat ini kerap berkembang dan diminati oleh masyarakat, dimana lembaga ini meliputi dua unsur yang sangat penting

1Mohammad Muslehuddin, “

Insurance and Islamic Law, 2nd Edition”, (Delhi : Markazi

Maktaba Islami, 1995),h.ix.

2 Wikisource, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

(UU/1998/10)”, diakses dari https://id.wikisource.org/wiki/Undang-Undang_Republik_Indonesia_Nomor_10_Tahun_1998, pada tanggal 14 Oktober 2015 pukul 21: 22 WIB


(18)

yaitu unsur kesesuaian dengan syariah Islam dan unsur legalitas operasi sebagai lembaga keuangan.

Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah,3 dengan kata lain seluruh kegiatan operasionalnya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam. Keberadaan bank syariah ditengah-tengah kebutuhan pembiayaan yang tak kunjung tercukupi memang sangat membantu dalam hal keuangan. Beberapa kontrak perjanjian pembiayaan pun dilakukan untuk mencapai kesepakatan antara pihak bank dan nasabah.

Kontrak perjanjian ini dibuat dengan peraturan dan ketentuan yang mengikat keduanya dalam kewajiban yang harus mereka penuhi seperti yang dikatakan dalam Firman Allah SWT dalam QS.al- Ma’idah [5]: 1:

ِدْوُقُعْلاِب اْوُ فْوَأ اْوُ َمآ َنْيِذّلا اَهّ يَأآَي "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu ..."

Serta dalam Hadist Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf :

ِلْسُمْلا َنْيَ ب ٌزِئاَج ُحْلّصلَا ًاَاَح َمّرَح اًطْرَش ّاِإ ْمِهِطوُرُش ىَلَع َنوُمِلْسُمْلاَو اًماَرَح ّلَحَأ ْوَأ ًاَاَح َمّرَح اًحْلُص ّاِإ َنيِم

ْوَأ

)فوع نب ورمع نع يذمرتلا اور( اًماَرَح ّلَحَأ "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

3Rizal Yaya, dkk., “Akuntansi Perbankan Syariah”


(19)

Disepakatinya perikatan perjanjian dalam pembiayaan perlu di dasari oleh dasar-dasar yang kuat. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut4. Kontrak merupakan sbentuk ikatan kesepakatan yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Pembiayaan sendiri adalah penyediaan dana berdasarkan persetujuan dan kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan atau bagi hasil5. Di dalam pembuatan kontrak pembiayaan, akan selalu berkaitan dan bersinggungan dengan asas-asas hukum, yang mana asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan.

Dalam kesepakatan antara kedua belah pihak, ada beberapa kemungkinan terjadinya peristiwa yang menyebabkan terhambatnya kelancaran pelaksanaanprestasi untuk memenuhi kontrak perjanjian. Peristiwa seperti ini terjadi secara tidak terduga serta tidak dapat dipertanggungjawabkankepada pihak yang lainnya sementara pihak yang tidak melaksanakan prestasinya tidak beritikad buruk atau dapat diterjemahkan sebagai force majeure yaitu keadaan memaksa.Potensi

4Diana Kusumasari. “Perbedaan dan persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian,

dan Kontrak”, diakses dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3b8693275c3/perbedaan-dan-persamaan-dari-persetujuan-perikatan-perjanjian-dan-kontrak, pada tanggal 20 April 2016 pukul 18 : 43 WIB

5 AH. Azharuddin Latif, ”Analisis yuridis dan ekonomi terhadap pengenaan pajak

pertambahan nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah”, (Tesis S2 program studi Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2008), h.65.


(20)

terjadinya force majeure memiliki dampak yang berbeda terhadap para pelaku ekonomi, misalnya force majeureyang menimpa sektor perbankan karena krisis ekonomi pada 17 November 1997 membuat pemerintah harus melikuidasi (membubarkan) 16 bank swasta dan dilanjutkan dengan 50 bank pada likuidasi kedua. Likuidasi dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan merampingkan dunia perbankan. Akan tetapi, ternyata likuidasi 66 bank tersebut berdampak buruk, masyarakat berlomba-lomba mengambil simpanannya dari bank-bank yang dikabarkan akan dilikuidasi. Maka, terjadilah rush (pengambilan terus-menerus) oleh masyarakat perbankan6. Peristiwa tidak terduga lainnya juga dapat menimpa pihak nasabah, misalnya kebakaran yang terjadi pada usaha nasabah yang menyebabkan gagal bayar dalam mengembalikan pembiayaannya dengan pihak bank atau terjadinya PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit.

Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure

tersebut menyebabkan seseorang tidak wajib melakukan perbuatan yang wajib dilakukannya dalam keadaan yang normal,7 ini sesuai dengan KUHPerdata 1244 – 1245 dan dijelaskan lebih lanjut dengan KUH Perdata 1444 – 1445.

Pada kesimpulannya, inti yang terkandung dalam pasal KUH Perdata ini adalah tidak dikenakannya biaya, rugi dan bunga pada seseorang jika ia benar mengalami suatu keadaan memaksa yang tidak disengaja dan ia dapat

6 Dian Respati, “Keadaan Perbankan Ketika Krisis Moneter”, diakses dari

http://ekonomisku.blogspot.co.id/2015/05/keadaan-perbankan-ketika-krisis-moneter.html, pada tanggal 15 juli 2016 pukul 19 : 11 WIB

7 Ibnu Sina Chandranegara, “Pengujian PERPU terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga Negara”, Jurnal Yudisial Vol. V No. 1, April 2012, h. 12.


(21)

membuktikannya. Keadaan force majeure membuat seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak dan peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada kreditur karna ia tidak dapat dikatakan lalai ataupun melakukan wanprestasi8.

Dalam penyelesaian kasusforce majeureini dapat menggunakan cara-cara yang lazim digunakan dalam penyelesaian sengketa di dunia Kontrak, sebagai jalan keluar untuk menyelesaiakan sengketa yang bersangkutan.Pola penyelesaian sengketa force majeure ini umumnya dapat menggunakan salah satu dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu : melalui negosiasi, melalui pengadilan (litigasi)/gugatan, melalui arbitrase, atau melalui mediasi. Kelanjutan risko yang terjadi pada pihak ini dimana pihak terkait harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa : 1) pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi), 2) pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).9 Mengenai tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang force majeuretersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan.10Tetapi pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk wanprestasi yang diantaranya berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi

8Michael R. Purba, “Kamus Hukum”

, (Jakarta : Widyatamma, 2009), h.308.

9Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”

(Jakarta : Rajawali Pers, 2007), h.75.

10Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”


(22)

karena keadaan memaksa (overmatch) yang mengakibatkan kerugian tanpa kesalahan (risiko).11

Risiko dalam pengertian hukum merupakan kerugian yang diderita oleh seseorang, tetapi pembayaran ganti rugi tidak dapat dibebankan kepada orang lain karena tidak adanya peran orang lain yang merupakan penyebab timbulnya kerugian ini. Dengan terjadinya force majeure, risiko tidak dapat ditimpakan kepada pihak yang mengalaminya. Jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan prestasi karena force

majeure tersebut, maka hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta

agar debitur memenuhi prestasi (atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena force majeure yaitu 12:

1. Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya.

2. Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah-oleh perjanjian itu tidak pernah ada.

Pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang 13 yang dalam dunia perbankan ditanggung oleh bank.Walaupun telah disebutkan bahwa pada umumnya risiko ditanggung oleh pemilik barang, dalam keadaan tertentu risiko dapat saja ditanggung oleh orang yang belum menjadi pemilik

11Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“

, h.76.

12Rohmadi, “Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak Perjanjian”,

diakses dari https://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ pada tanggal 17 November 2015 pukul 20 : 16 WIB.

13Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak”


(23)

barang14. Munculnya risiko pada kontrak-kontrak pembiayaan bank syariah menjadi antisipasi bagi pihak bank untuk mengupayakan penempatan dana dalam bentuk saham yang dilakukan dan tidak melalui pasar modal. Bank dapat melakukan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan izin dari Bank Indonesia dan melakukan penyelesaian pembiayaan sebagai suatu upaya yang dilakukan bank untuk menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang tidak mempunyai prospek.

Atas dasar pertimbangan pembahasan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Analisis Penyelesaian Force majeure dalam Produk Pembiayaan pada Bank Syariah.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan banyak masalah yang dapat diidentifikasi diantaranya :

1. Beragam bentuk force majeure dapat terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah

2. Ketentuan force majeure masih jarang dicatat pada lampiran kontrak perjanjian

3. Adanya perbedaan penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaan di bank syariah terhadap nasabah pembiayaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu

4. Beragam model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah

14Ahmadi Miru,”Hukum Perancangan Kontrak“


(24)

5. Adanya ketidaksesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force

majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah?

2. Bagaimana model-model penyelesaian kasus force majeuredan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah?

3. Bagaimana kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force

majeure yang digunakan oleh bank syariah dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah?

Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan maka penulis memberikan batasan-batasan penelitian yaitu :

1. Pembatasan pembahasan force majeure pada penelitian ini adalah kajian penyelesaian kasus force majeure dalam produk pembiayaan ditinjau dari aspek hukumnya.

2. Pembatasan penelitian ini hanya dilakukan di 3 bank syariah.Hal ini dikarenakan diperlukannya peninjauan ulang mengenai kesesuaian tindakan penyelesaian kasus force majeure yang terjadi pada produk pembiayaan di beberapa bank syariah.


(25)

3. Pembatasan pembahasan kasus force majeure yang terjadi dalam produk pembiayaan di bank syariah dibatasi pada produk pembiayaan yang berbasis jual beli dengan akad murabahah dan yang berbasis bagi hasil dengan akad mudharabah.

D. Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan bentuk-bentuk force majeure yang terjadi dalam pembiayaan perbankan syariah

2. Menjelaskan model-model penyelesaian kasus force majeure dan prosedur yang ditempuh para pihak di lembaga perbankan syariah

3. Menjelaskan kesesuaian model dan prosedure penyelesaian kasus force

majeure yang digunakan oleh bank syariah berdasarkan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan prinsip-prinsip syariah

E. Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu: 1. Secara teoritis

Manfaat hasil penelitian ini dari segi teoritis, diharapkan dapat berguna untuk dijadikan bahan acuan penelitian berikutnya, kemudian untuk menambah wawasan masyarakat, akademisi, organisasi masyarakat mengenai badan hukum khususnya terhadap praktek penerapan penyelasaian force majeure tersebut dalam produk pembiayaan pada perbankan syariah.


(26)

2. Aspek praktis

Dari segi praktis, untuk dijadikan pemahaman bagi para kaum muslimin khususnya yang ingin melibatkan diri dalam transaksi yang berhubungan langsung dengan akad-akad berisi klausul tentang force majeure, baik yang bersifat lembaga keuangan bank.

F. Review Studi Terdahulu

1. Jurnal ilmiah

Jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian saat ini adalah jurnal dengan judul “Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya force

majeure (keadaan Memaksa)” oleh Putu Parama Adhi Wibawa dalam

Jurnal Kertha Semaya15. Kesimpulan dari jurnal ini bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak lain memiliki kewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi. Pada perikatan, jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan itikad yang baik dan sebagaimana mestinya maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitur supaya ia memenuhi kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan hukum itu merupakan perikatan pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan uang”.Suatu hubungan dianggap dapat

15 Putu Parama Adhi Wibawa,“Akibat Hukum Terhadap Debitur Atas Terjadinya Force

Majeure (Keadaan Memaksa)”. Jurnal Kertha Semaya. Vol 02, No. 06, Oktober 2014. diakses dari http://id.portalgaruda.org/index.php?ref=browse&mod=viewarticle&article=195720, pada tanggal 8 November 2015 pukul 23 : 16 WIB.


(27)

dinilai dengan uang jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang.

Pada perikatan yang berupa memberikan sesuatu prestasi melalui penyerahan suatu barang misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan.Keadaan yang menimbulkan

force majeureharus terjadi setelah dibuatnya persetujuan karena jika

pelaksanaan prestasinya sudah tidak mungkin sejak dibuatnya persetujuan, maka persetujuan tersebut batal demi hukum. Hal-hal tentangforce majeure terdapat di dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur ganti rugi yaitu pada pasal 1244 KUH Perdata dan pasal 1245 KUHPerdata. Mengenai force majeure terdapat dua teori yaitu teori absolut dan teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang, sedangkan menurut teori relatif keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar. Terjadinya force majeure tidak menutup kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari kelalaiannya yang menyebabkanforce majeure terjadi maka debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan debitur harus mengganti kerugian yang terjadi.


(28)

Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimana pemahaman teori-teori dalam keadaan memaksa atau force majeure dan akibat hukum terhadap debitur atas terjadinya force majeure, sedangkan pada penelitian sekarang tidak hanya membahas pemahaman teori tetapi juga membahas mengenai bagaimana implementasi, akibat dan penyelesaian dari force majeure.

Jurnal kedua adalah jurnal oleh Merilatika dengan judul “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan” dalam Jurnal Kertha Semaya yang pada kesimpulannya mengulik kasus antara Syahrini (penyanyi) dengan promotor acara di Bali yang telah mendapat kekuatan hukum tetap yang dituangkan dalam putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor: 05/Pdt.G/2012/PN.Bgr16. Syahrini dituntut ganti rugi akibat dianggap telah melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan prestasinya untuk menyanyi.Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa apabila debitur “karenakesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata “karenakesalahanya” sangat penting, oleh karena itu debitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.

16Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian

Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB


(29)

Syahrini mendalilkan hal itu bukan sebagai wanprestasi melainkan

force majeure dengan alasan ia harus menemani ayahnya yang sedang

sakit di Rumah Sakit. Pihak promotor tidak setuju terhadap dalil tersebut karena menurut kuasa hukumnya haltersebut tidak tercantum dalam klausul force majeure di perjanjian yang telah mereka sepakati.Penulis berasumsi bahwa kemungkinan besar tidak pernah terlintas dalam pikiran Syahrini maupun promotornya untuk memasukkan alasan sakit ataumeninggalnya ayah Syahrini sebagai suatu keadaan memaksa atau

force majeure dalam kontrak mereka. Batal menyanyinya Syahrini pada

acara tersebut tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan didapat bila Syahrini melaksanakan prestasinya.Promotor mungkin telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit baik untuk promosi, reservasi tempat, waktu, tenaga dan lain-lain, belum lagi ditambah dengan kontrak-kontrak terkait lain yang telah dibuat oleh promotor acara tersebut dan reputasi promotor yang tentunya sulit dinilai dengan uang.

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut17:

a) Debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUHPerdata). b) Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak

memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim;

17Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian

Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB


(30)

c) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim

Menurut I Kadek Suardana, PPAT di Kabupaten Klungkung, menyatakan bahwa force majeure atau keadaan memaksa adalah klausul dalam kontrak yang biasadigunakan untuk melindungi para pihak dalam hal ketentuan dalam kontrak tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya keadaan-keadaan diluar kontrol para pihak. Dengan terjadinya force

majeure, risiko tidak dapat ditimpakan kepada pihak yang

mengalaminya. Jika debitur dapat membuktikan bahwa ia tidak dapat melaksanakan kontrak karena force majeure tersebut, maka hakim akan menolak tuntutan kreditur yang meminta agar debitur memenuhi kontrak (atau ganti rugi). Risiko debitur terhadap terjadinya wanprestasi karena

force majeure yaitu18:

a) Risiko pada perjanjian sepihak yaitu risiko ditanggung oleh kreditur, debitur tidak wajib memenuhi prestasinya

b) Risiko pada perjanjian timbal balik yaitu dimana salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi karena force majeure maka seolah-oleh perjanjian itu tidak pernah ada.

Dalam sengketa yang dialami oleh Rudy Hartono Iskandar, selaku Direktur untuk dan atas nama serta sah mewakili mewakili PT Embrio (Penggugat) melawan Aisyah Zaelani, selaku Manager artis Penyanyi Syahrini (Tergugat I) dan Syahrini selaku Artis penyanyi (Tergugat II),

18Merilatika “Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Karena Force majeure Pada Perjanjian Kerjasama Dalam Bidang Jasa Hiburan”. Jurnal Kertha Semaya. Vol. 03, No. 05, September 2015. diakses dari http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=348782, pada tanggal 9 November 2015 pukul 03 : 00 WIB


(31)

sengketa ini terlihat sederhana akan tetapi ternyata efek dari sengketa ini jauh dari kata sederhana.Batal menyanyinya Syahrini dikarenakan force

majeure yaitu sakitnya ayah Syahrini yang berujung dengan kematian

tentunya mengakibatkan promotor mengalami kerugian nyata dan kehilangan keuntungan yang diharapkan bilaSyahrini melaksanakan prestasinya. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam penyelesaian sengketawanprestasi karena force majeure dalam bidang jasa hiburan yaitu dapat dilakukan melalui proses di luar pengadilan dengan cara musyawarah dan melalui prosespengadilan terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi, mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannyabersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim.

Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam fokus kajian pada jurnal, hanya dijelaskan bagaimanamengetahui akibat hukum pada perjanjiankerjasama dalam bidang jasa hiburan sebagai dampak adanya wanprestasi force majeure dan upaya hukum pihak yang dirugikan dalamhal terjadinya force majeure yang mengakibatkan terjadinya wanprestasi terhadap perjanjian kerjasama dalam bidang jasa hiburan, sedangkan pada penelitian sekarang membahas bagaimana mengetahui akibat hukum pada kontrak pembiayaan sebagai dampak adanya permasalahan atau force majeure dalam sektor perbankan syariah.


(32)

2. Penelitian Lain

Penelitian pertama yang dijadikan review studi terdahulu adalah penelitian yang dilakukan oleh Chalidah Hanum dengan judul “Strategi Bank BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah (Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”19

. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini bahwa KPR BTN Syariah menawarkan jasa pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan tuntutan agama. Selama Sembilan bulan pertama tahun 2005, BTN telah menyalurkan dana sebesar Rp. 3,356 triliun untuk sektor konstruksi, termasuk di dalamnya kredit kepemilikan rumah. Tapi, jumlah yang dikelola secara syariah masih dibawa 10 persen. Target penyaluran KPR BTN Syariah pada tahun 2005, adalah 3.000 unit rumah dengan rata-rata nilai Rp. 50 juta atau nilai total Rp. 151 miliar. Target BTN Syariah tahun ini memiliki 7kantor cabang dan meningkat menjadi 12 kantor cabangpada 2006 dan 20 kantor cabang syariah pada 2007. Rasio penyaluran perumahan masih di 1,4% atau jauh lebih rendah dibanding Thailand yang mencapai angka 7,4% dan Malaysia 27,7%. Sementara NPF untuk KPR Syariah hingga bulan juli tahun 2008 mencapai angka 1,15% dari pembiayaan yang disalurkan BTN Syariah Cabang Jakarta. Kegiatan penyaluran kredit (pembiayaan) mempunyai peranan penting bagi kegiatan perbankan, karena kredit atau pembiayaan merupakan bagian terbesar sumber penghasilan bank. Namun, penyaluran pembiayaan tersebut harus melalui

19

Chalidah Hanum,“Strategi Bnak BTN Syariah Dalam Pembiayaan KPR Bermasalah

(Studi Kasus Pada BTN Kantor Cabang Syariah Jakarta)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarata, 2009.


(33)

proses analisi kredit. Karena pemberian pembiayaan tanpa dianalisis terlebih dahulu akan sangat membahayakan bank. Terlebih halnya akan menyebabkan pembiayaan bermasalah (macet) atau biasa disebut dengan NPF (Non Performing Financing).Untuk menghindari dan meminimalisir pembiayaan bermasalah (NPF) pihak perbankan dalam memberikan pembiayaan KPR pada nasabahnya menggunakan strategi dalam memberikan pembiayaan KPR.Penulis dalam penelitiannya membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan menjadi bermasalah serta penerapan strategi Bank BTN Syariah dalam menangani pembiayaan KPR bermasalah.

Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, penelitian terdahulu mengkaji mengenai KPR bermasalah, sedangkan penelitian sekarang mengkaji mengenai Kontrak Pembiayaan bermasalah yang mana objek pada penelitian pertama hanya berpusat pada pembiayaan KPR, sedangkan pada penelitian sekarang objek pembiayaan ditujukan untuk kegunaan lainnya.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian dengan judul “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang, SUMBAR)” yang ditulis oleh Tri Ertina Panjaitan20

. Kesimpulan pada penulisan penelitian ini bahwa setelah terjadinya

20

Tri Ertina Panjaitan, “Analisis Penyelesaian Force majeure Dalam Produk Pembiayaan

Bank Syariah Pasca Gempa Padang 2009 (Studi Kasus Pada Bank Syariah Mandiri Cabang

Padang, SUMBAR)”, (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011.


(34)

bencana gempa di tanah Padang pada tahun 2009 menyebabkan banyaknya kerugian yang cukup besar. Akibat gempa bumi tersebut 1195 orang meninggal dunia, 2 orang hilang, 1795 orang luka-luka, 119.005 unit rumah rubuh, 73.733 unit rumah rusak sedang, 78.802 unit rumah rusak ringan. Fasilias pendidikan yang hancur mencapai 2.114 unit, rusak sedang 1.364 unit, dan rusak ringan 1.147 unit. Sedangkan jumlah saranan kesehatan yang mengalami rusak berat 235 unit, rusak sedang 94 unit, dan 66 rusak ringan. Gempa juga meluluhlantakan 246 perkantoran milik pemerintah, dimana 103 unit mengalami rusak sedang dan 74 unit rusak ringan. Total seluruh kerugian 21,5 triliun.

Bencana yang terjadi juga mengakibatkan pembiayaan bermasalah pada Bank Syariah Mandiri yang berada di kota Padang. Sampai pada tahun 2009 jumlah pembiayaan yang disalurkan Rp. 112.086.128.949,62, akibat dari gempa yang terjadi pada tanggal 30 September 2009 ± 20% dari seluruh pembiayaan yang disalurkan masuk kedalam pembiayaan bermasalah dan pembiayaan yang terkena bencana hampir semuanya berpotensi bermasalah jika tidak diberikan keringanan.

Keadaan force majeure pada kasus ini menitikberatkan pada kasus bencana alam masal.Sehingga perlu adanya kebijakan bank untuk menyikapi nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah akibat gempa Padang.Fokus yang diambil oleh penulis adalah penyelesaian pembiayaan Mudharabah dan Murabahah pada Bank Syariah Mandiri Cabang Padang pasca gempa Padang tahun 2009.


(35)

Perbedaan dengan penelitian sekarang adalah dalam bidang yang dikaji, pada penelitian pertama membahas mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang difokuskan hanya pada force majeure

dalam kasus bencana alam masal, sedangkan pada penelitian sekarang mengkaji mengenai penyelesaian pembiayaan bermasalah yang terjadi karena force majeure dalam kasus perseorangan serta sebab menurut jenisnya.

G. Metode Penelitian

1. Jenis metode penelitian

Jenis metode penelitian hukum normatif yang digunakan untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah yang ada. Metode penelitian hukum normatif yang dipergunakan dalam penulisan ini guna melakukan penelusuran terhadap kesesuaian norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketentuan force

majeure. Metode penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan

meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan judul skripsi ini baik yang bersifat teoritis ilmiah, serta dapat menganalisa masalah-masalah yang dibahas dalam permasalah-masalahan skripsi ini.

2. Metode Pendekatan

Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, pendekatan penelitian dilihat dari bidang ilmu hukum (legal research) dengan konsentrasi hukum perbankan. Pendekatan masalah pada penelitian ini dilakukan secara yuridis yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji


(36)

peraturan-peraturan perundang-undangan beserta paraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, sehingga pendekatan masalah dilakukan dengan menginvetariskan bahan-bahan hukum yang ada yang dimulai dari suatu persoalan hukum, penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari, mengkaji dan menginterpretasikan bahan-bahan hukum yang berupa ketentuan perundang-undangan yang berlaku di indonesia

3. Sumber data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti dari sumber-sumber yang telah ada, berupa:

a) Bahan Hukum Primer, berupa:

(1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244 (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245 (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444 (4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445

(5) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan

Murabahah

(6) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah

(Qiradh)

(7) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran

b) Bahan sekunder berupa bahan hukum yang berkaitan erat dan menjelaskan permasalahan yang meliputi buku-buku atau


(37)

literatur-literatur dari para ahli atau sarjana-sarjana serta artikel-artikel yang dimuat di internet dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang bisa ditempuh untuk kepentingan pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu Metode yang digunakan adalah studi pustaka, yaitu mengumpulkan, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menganalisa data untuk kemudian dilakukan pencatatan atau pengutipan terhadap data tersebut. Studi pustaka dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Menentukan terlebih dahulu sumber data bahan hukum primer dan sekunder.

2. Identifikasi data yang diperlukan.

3. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah.

5. Metode pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan cara:

a) Pemeriksaan data (editing), yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, benar dan sesuai dengan masalah. b) Penandaan data ( Coding), yaitu memberikan catatan atau tanda yang

menyatakn jenis sumber data seperti buku, literatur, perundang-unhdangan atau dokumen.

c) Klasifikasi data (classification), yaitu penempatan dapat mengelompokkan data yang melalui proses pemeriksaan serta penggolongan data.


(38)

6. Bentuk analisis

Bentuk analsis yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif menggunakan analisis logis normatif berdasarkan logika dan peranturan perundang-undangan serta analisis silogisme yaitu menarik kesimpulan yang telah ada

7. Teknik penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penuisan peneitian yang berjudul “Analisis Penyelesaian

Force majeureDalam Pembiayaan Bank Syariah” adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Pada Bab pertama ini dijabarkan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, serta sistematika penulisan sebagai alur dan koridor penulisan.

BAB II Teori Force majeure pembiayaan

Bab ini akan dibagi dalam beberapa sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas mengenai definisi pembiayaan yang terdiri dari pengertian pembiayaan, dasar hukum pembiayaan, pembiayaan dengan prinsip jual beli, pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Pada sub-bab kedua akan dipaparkan mengenai pembiayaan murabahahyang terdiri dari pengertian murabahah, dasar


(39)

hukum murabahah, syarat-syarat murabahah, dan rukun murabahah. Pada sub-bab ketiga akan di jelaskan mengenai pembiayaan mudharabah yang terdiri dari pengertian mudharabah, dasar hukum mudharabah, syarat-syarat mudharabah, dan rukun murabahah. Kemudian dilanjutkan pada sub-bab ke empat membahas mengenai force majeure yang terdiri dari pengertian force majeure, dasar hukumforce majeure, macam-macamforce majeure, teori force majeure, serta akibat dariforce majeure.

BAB III Model-model Penyelesaian Kasus Force majeure

Dalam bab ini penulis menjelaskan gambaran umum tentang model-model penyelesaian kasus force majeureyang terdiri dari standarforce majeure, kasus

force majeure dalam akad murabahah, kasusforce majeure dalam akad

mudharabah, standar penyelesaian Sengketa, pola penyelesaian sengketa di

bidang kontrak, pengakhiran akad Murabahah, dan pengakhiran akad

mudharabah.

BAB IV Hasil Penelitian dan Analisis

Pada bab ini penulis menjelaskan tentang hasil temuan data dan analisa dalam penyelesaian kasus force majeure terhadap produk pembiayaan yang dilakukan bank syariah meliputi bentuk-bentuk force majure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, model-model penyelesaian force majeure dalam produk pembiayaanpada bank syariah, serta analisis penyelesaian force majeure


(40)

BAB V Penutup

Dalam bab ini akan dipaparkan kesimpulan dan jawaban atas pokok permasalahan yang telah diajukan serta memberikan saran antisipatif mengenai penyelesaian kasus force majeure untuk produk pembiayaan murabahah dan


(41)

25

A. Force majeure

1. Pengertian Force majeure

Dalam khazanah hukum Indonesia, konsep keadaan memaksa lebih banyak dijelaskan oleh pendapat ahli-ahli hukum Indonesia, antara lain berikut ini.

a) R. Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkankarena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian1

b) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyitir Dr. H.F.A. Vollmar: overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar

1


(42)

kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).2

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana salah satu pihak dalam suatu perikatan tidak dapat memenuhi seluruh atau sebagian kewajibannya sesuai apa yang diperjanjikan, disebabkan adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan, di mana pihak yang tidak memenuhi kewajibannya ini tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung risiko.

2. Dasar Hukum Force majeure

a) Al Qur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 280

إو اك و ةر سع ةرظ ف ىلإ ، ةرس ي أو اوق صت ر يخ كل إ ك ت و عت

Artinya : "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

b)Al Hadist

Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka

bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan

membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa

dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.”

(HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah).

2 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “Hukum Perdata, Hukum Perutangan, Bagian A”,(Jogjakarta: Seksi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1980), hlm.20


(43)

َإ لظ َ وي هش رع لظ ت حت ة ايق لا وي َ ه ظأ هل عضو وأ اًرس ع رظ أ ه ظ

“Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang

sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan

menaunginya di bawah naungan „Arsy-Nya di hari tiada naungan

selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah

radhiallahu anhu dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 909)

c) Ketentuan Perundang-undangan

Dasar hukum force majeure di Indonesia diatur dalam beberapa ketentuan perundang-undangan seperti KUH Perdata Pasal 1244-1245, KUH Perdata 1444-1445, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 07/DSN -MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.

3. Macam–macam Force majeure

Pada pendapat lain Force majeureini juga dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a) Force majeure menurut jenisnya

(1) Force majeure objektif

Force majeure objektif ini disebutjuga dengan istilah physical

impossibility. Yang dimaksudkan adalah bahwa force majeure


(44)

tersebut, sehingga prestasi tidak mungkin dipenuhi lagi, tanpa adanya kesalahan dari pihak debitur, Misalnya, benda yang menjadi objek dari kontrak terbakar atau disambar petir.

(2) Force majeure subjektif

Pada force majeure subjektif, peristiwa yang terjadi bukan terhadap benda yang merupakan objek dari kontrak yang bersangkutan, melainkan dalam hubungan dengan keadaan atau kemampuan dari debitur itu sendiri. Misalnya, jika debitur sakit berat atau cacat seumur hidup sehingga tidak mungkin lagi melakukan prestasi.3

b) Force majeure menurut pelaksanaannya

(1) Force majeure absolut

Force majeure absolut adalah suatu keadaan dimana debitur sama

sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar4.

(2) Force majeure relatif

Force majeurerelatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan

dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan.Misalnya terhadap kontrak ekport-impor, di mana setelah

3 Mustafa Kamal Rokan,

Pengantar Hukum Bisnis”, diakses dari

https://awalbarri.wordpress.com/2009/03/23/pengantar-hukum-bisnis/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 51 WIB

4 Oemiy, “Keadaan Memaksa (Overmatch) Dalam Hukum Perdata”, diakses dari

https://oemiy.wordpress.com/2010/12/30/keadaan-memaksa-overmacht-dalam-hukum-perdata/, pada tanggal 17 November 2015 pukul 17 : 30 WIB


(45)

kontrak dibuat, terdapat larangan impor atas barang tersebut atau PHK masal pada pekerja suatu perusahaan yang pailit.

c) Force majeure menurut jangka waktu berlakunya

(1) Force majeure permanen

Force majeureini mengakibatkan tidak dapat terlaksananya prestasi

sampai kapan pun sebagai pemenuhan dari suatu kontrak.Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah di luar kesalahan salah satu pihak.

(2) Force majeure temporer

Dimana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, dengan kata lainsetelah hilang efek dari terjadinya peristiwa tertentu maka prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.Misalnya, jika barang yang menjadi objek kontrak tersebut tidak mungkin dikirim karena terjadi pergolakan sosial.Akan tetapi, pada saat kondisi sudah aman, maka barang tersebut dapat dikirim kembali.5

4. Teori Force majeure

a. Teori force majeure menurut kaidah fiqih Islam

Karakterisitik force majeure merupakan suatu bencana atau musibah adalah sebuah keadaan darurat yang secara hukum akan berimplikasi kepada munculnya berbagai aturan untuk menghilangkan

5Dewo Broto Joko Putranto, “Penyusunan Kontrak Dan Aspek-Aspek Hukum Pengadaan Barang/Jasa Berdasarkan Kepres No. 80 Tahun 2003”, diakses dari http://justitia-indonesia.blogspot.co.id/2006/09/penyusunan-kontrak-dan-aspek-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 42 WIB


(46)

ataupun setidaknya mengurangi kondisi darurat tersebut. Dalam hal force

majeure ini misalnya, seorang kreditur tidak layak membebankan debitur

yang tertimpa musibah berat dengan beban yang sama saat debitur belum mengalami musibah itu. Bahkan jika dianggap perlu, kontrak dapat dibatalkan untuk menghilangkan beban tambahan bagi debitur dalam keadaan darurat tersebut.

Ada beberapa kaidah Islam yang sesuai dengan definisi keadaan

force majeure ini, diantara lain :6

ريسيتلا ب جت هقش لا Artinya : “Kemudharatan itu menarik kemudahan

Sumber pengambilan kaidah diatas diperkuat dari Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 185

رسعلا كب يري َو رسيلا كب َ يري Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki

kesempitan bagimu

Kaidah diatas ini menjadi sumber adanya keringanan dalam menjalankan tuntutan syari’at diantara nya seperti keringanan yang diberikan karena keadaan terpaksa serta unsur kurang mampu dan kesukaran umum yang menjadi akibat dari terjadinya force majeure.7

Dalam praktik perbankan, proses penyelesaian kasus force majeure

harus melewati beberapa ketentuan dan prosedur tertentu, salah satunya

6 Fatchur rahman, “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islam”, (Bandng : PT.Al Ma’arif), h. 503

7


(47)

adalah pembuktian berita terjadinya force majeure yang menimpa nasabah kepada pihak perbankan. pembuktian berita terjadinya force majeure

diperlukan untuk memastikan apakah benar nasabah mengalami keadaan memaksa sehingga nasabah tidak dapat melakukan pengembalian kewajiban atau membutuhkan keringanan. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam fiqih Islam, yaitu :8

كشلاب طا ت َ صخرلا Artinya : “keringanan itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan

Kaidah diatas menjelaskan bahwa keringanan yang diberikan tidak boleh ada unsur keragu-raguan. Pihak bank yang memberikan keringanan haruslah yakin dengan pembuktian nasabah yang mengalami force

majeure.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa force majeure

dipandang dari perspektif kaidah fikih telah memenuhi nilai -nilai yang diinginkan dalam kaidah-kaidah tersebut.

b. Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkheid)

Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a) Teori ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolute

onmogelijkheid) Adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur Volmar menyebutnya

8Fatchur rahman, “


(48)

absolute overmacht. Dasarnya adalah ketidakmungkinan

(impossibility) memenuhi prestasi karena bendanya lenyap/musnah.9

b) Teori ketidakmungkinan relatif atau subjektif (relative onmogelijkheid)

Adalah ketidakmungkinan relatif dari debitur untuk memenuhi prestasinya Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.Perikatan tidak berhenti (tidak batal), hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan. Akan tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, perikatan itu gugur.

Perbedaan antara perikatan batal dan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi).Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga mungkin dipenuhi dengan segala macam upaya debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur.Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat

9 Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari

http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB


(49)

dibatalkan.Persamaanya adalah pada perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.10

c. Teoripeniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld)

Teori penghapusan atau peniadaan ini mengartikan bahwa dengan adanya overmatch maka terhapuslah kesalahan deb itur. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak bias dipertangungjawabkan.

5. Akibat Force majeure

Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai keadaan memaksa membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi.Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus. Beberapa pakar membahas akibat hukum dari keadaan memaksa sebagai berikut

A.R. Setiawan merumuskan bahwa suatu keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan beberapa akibat, yaitu11

a) kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi

10 Ridha Nur Arifa, “PerbuatanMelawan Hukum”, diakses dari

http://pandaihukum.blogspot.co.id/2014/05/perbuata-melawan-hukum.html pada tanggal 01 Februari 2016 pukul 04 : 45 WIB

11R. Setiawan, “


(50)

b) debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai,13 dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi

c) risiko tidak beralih kepada debitur

d) pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang menyitir Dr. H.F.A Vollmar.

Overmacht harusdibedakan apakah sifatnya sementara ataukah

tetap.Dalam hal overmacht sementara, hanya mempunyai daya menangguhkan dan kewajibannya untuk berprestasi hidup kembali jika dan sesegera faktor overmacht itu sudah tidak ada lagi, demikian itu kecuali jika prestasinya lantas sudah tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Dalam hal terakhir ini, perutangannya menjadi gugur (misalnya taksi yang dipesan untuk membawa seseorang ke stasiun karena ada kecelakaan lalu lintas, tidak dapat datang pada waktunya, dan ketika lalu lintas sudah aman kembali, kereta api sudah tidak dapat dicapai lagi).12

Abdulkadir Muhammad membedakan keadaan memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan dalam arti perikatan itu batal (the agreement would be void from the outset).13

Salim H.S., mengemukakan tiga akibat dari keadaan memaksa, yaitu14

12

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, op. cit, h. 22.

13Abdulkadir Muhammad, “Hukum Perikatan” (Bandung: Penerbit Alumni, 1982), h..28

-31

14Salim H.S, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)” (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika,


(51)

a) debitur tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata); b) beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa

sementara;

c) kreditur tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontraprestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

Ketiga akibat tersebut lebih lanjut dibedakan menjadi dua macam, yaitu pada akibat keadaan memaksa absolut, yaitu akibat butir a dan c,dan akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat butir b. Namun, Perlu digarisbawahi bahwa hak kreditur dalam force majeure sama sekali tidak dihilangkan, hanya saja jangka waktu pemenuhan hak tersebut diperpanjang untuk memberi kolonggaran bagi pihak debitur.

B. Force Majeure dalam Hutang Piutang

Dalam sektor keuangan, pemecahan kasus force majeure sendiri telah diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ketentuan-ketentuan yang mengatur penyelesaian kasus force majeure dalam dunia perbankan, yaitu :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

a) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1244

Jika ada alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu disebabkan suatu hal yang


(52)

tak terduga, pun tak dapat dipertanggungkan kepadanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

b) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1245

Tidaklah biaya, rugi dan bunga, harus digantinya, apabila dikarenakan keadaan memaksa atau karena suatu kejadian tak disengaja si berhutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau dikarenakan hal - hal yang sama telah melakukan perbuatan yang dilarang.

c) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1444

i. Jika barang tertentu yang menjadi pokok perjanjian musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

ii. Bahkan meskipun si berutang lalai menyerahkan suatu barang, sedangkan ia tidak telah menanggung terhadap kejadian-kejadian yang tidak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangannya si berpiutang seandainya sudah diserahkan kepadanya.


(53)

iii. Si berutang diwajibkan membuktikan kejadian yang tidak terduga, yang dimajukannya itu.

iv. Dengan cara bagaimanapun suatu barang yang telah dicuri, musnah atau hilang, hilangnya barang itu tidak sekali -kali

membebaskan orang yang mencuri barang dari

kewajibannya mengganti harganya

d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1445

Jika barang yang terutang, di luar salahnya si berutang musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan-tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutangkan kepadanya.

2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia

a) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadualan Kembali Tagihan

Murabahah

Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI

TAGIHAN MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Penyelesaian

LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa


(54)

menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:

1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;

2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;

3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

dua : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya

.

b) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)


(55)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.


(56)

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10.Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:

1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola

(mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:


(57)

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus

dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabahadalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.


(58)

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi

(nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan.

Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat

dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan

pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi


(59)

kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Ketentuan lain:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.

2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad

al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,

kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

c) Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran

Menetapkan : FATWA TENTANG SANKSI ATAS NASABAH

MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN

Pertama : Ketentuan Umum:

1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu


(60)

membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.

2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. 3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran

dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. 4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan

agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau

jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyele-saiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan

jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.


(61)

45

A. Standar Force majeure

Force majeur atau “keadaan memaksa” adalah keadaan dimana nasabah

terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada nasabah, sementara nasabah tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Keadaan force

majeure bisa dijadikan alasan pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak

terlaksananya perjanjian atau akad. Dalam kasus force majeure sendiri memiliki beberapa ketentuan khusus, yakni 1:

1. Dalam hal terjadinya force majeure, maka pihak yang terkena akibat langsung dariforce majeure tersebut wajib memberitahukan secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti dari Kepolisian/ Instansi yang berwenang kepada pihak lainnya mengenai peristiwa force majeuretersebut dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari kerja) terhitung sejak tanggal force majeureditetapkan.

2. Berita acara yang telah di tulis oleh nasabah akan diberikan kepada lembaga asuransi oleh pihak bank. Lembaga asuransi akan mencari kebenaran dan bukti-bukti kuat mengenai kronologis terjadinya force

majeure pada nasabah, jika nasabah terbukti benar mengalami force

1Hasyim, “Penyelesaian

Sengketa Perbankan Syariah”, diakses dari

http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/07/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah.html, pada tanggal 07 September 2016 pukul 15 : 31 WIB


(62)

majeure maka nasabah dapat mengklaim asuransi yang dapat digunakan sebagai salah satu jalan penyelematan pembiayaan nya kepada bank.2 3. Keterlambatan atau kelalaian para pihak untuk memberitahukan adanya

force majeuretersebut mengakibatkan tidak diakuinya peristiwa tersebut

sebagai force majeure oleh pihak lain.

4. Segala dan tiap-tiap permasalahan yang timbul akibat terjadinya force

majeure akan diselesaikan oleh nasabah dan bank secara musyawarah

untuk mufakat. Hal tersebut tanpa mengurangi hak-hak bank sebagaimana diatur dalam Akad.

B. Kasus Force majeure dalam Akad Murabahah dan Mudharabah

Perihal terjadinya force majeure dalam akad pembiayaan murabahah

dan akad pembiayaan mudharabah sangat beragam.Peristiwa atau keadaan yang tergolong dalam kategori force majeure adalah peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau kemampuan salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu atau para pihak tidak dapat melaksanakan hak-hak dan/atau kewajiban-kewajiban sesuai dengan standar dalam kontrak ini, termasuk namun tidak terbatas kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.3

2

Wendra M, Accounting Maintenace BSM Kc. Bandar lampung, wawancara pribadi, Bandar lampung 27 Oktober 2016

3OJK, “Standar

Produk Perbankan Syariah Murabahah”, diakses dari

http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Buku-Standar-Produk-Perbankan-Syariah-Murabahah/Buku%20Standar%20Produk%20Murabahah.pdf pada tanggal 24 Juli 2016 pukul 21 : 06 WIB


(1)

dari pihak bank.

Bagaimana tindakan penyelesaian bank syariah dalam menanganii kasus force majeure pada pembiayaan?

Peristiwa kematian tersebut dikabarkan oleh keluarga dari pihak nasabah pembiayaan. Pihak keluarga nasabah memberikan keterangan dan menunjukkan sejumlah bukti berupa Surat Keterangan Kematian dari kelurahan setempat. Pihak bank memberikan rincian sisa kewajiban nasabah terhadap bank atas objek pembiayaanya.

Pada kasus ini, nasabah masih mempunyai sisa pembiayaan beberapa bulan yang belum dibayarkan sebelum peristiwa kematiannya dan beberapa bulan selanjutnya yang seharusnya masih harus dibayarkan sampai habis masa

Pihak bank melakukan tahap pengecekan lapangan, dan melakukan musyawarah dengan pihak nasabah.

Bank berpendapat bahwa rusaknya fungsi dari 2 ruko tersebut mengakibatkan hampir setengah kemampuan pengembalian kewajiban nasabah kepada bank menurun.

Musyawarah yang dilakukan antara pihak bank dengan nasabah menghasilkan suatu solusi berupa : kewajiban dana dari 2 ruko yang terbakar tersebut akan diselesaikan melalui jalur asuransi, sementara 3 ruko yang tersisa akan dilakukan tahapan rescheduling (Spesifikasi keringanan tidak di sebutkan) sesuai dengan permintaan nasabah melihat dari kondisi kemampuan nasabah dalam membayar, serta hasil perhitungan yang didapatkan dari bank.


(2)

pembayaran.

Pihak bank dan keluarga nasabah melakukan musyawarah dan mencapai kesepakatan dengan jalan keluar dimana pihak keluarga nasabah hanya diberikan tanggungan pembayaran sisa bulan yang belum di bayarkan oleh nasabah pembiayaan hanya sampai waktu peristiwa kematian nasabah terjadi. Sisa pembiayaan beberapa bulan berikutnya, yang seharusnya di lunaskan akan di putihkan oleh pihak bank.

Pihak keluarga sepakat untuk menyelesaiakan sisa pembayaran nasabah dengan klaim asuransi.


(3)

Bagaimana perlakuan pihak asuransi menyikapi kasus force majeure?

Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi kematian yang akan digunakan untuk membayar sisa kewajiban nasabah terhadap bank

Setelah mendapatkan kabar mengenai peristiwa yang terjadi, pihak asuransi melakukan pengecekan dan prosedural klaim asuransi untuk membayar beban kewajiban 2 ruko yang terbakar sesuai dengan perhitungan yang telah didapatkan kepada pihak bank

Jika asuransi menyanggupi untuk membayar kerugian force majeure, apakah kasus dapat di nyatakan selesai?

Jika asuransi sudah menyanggupi untuk membayar kewajiban nasabah yang diakibatkan oleh force majeure, maka kasus dapat dinyatakan selesai. Setelah selesai maka tindakan selanjutnya dapat berupa pemutihan hutang atau dengan melanjutkan pembayaran

Apakah tindakan penyelesaian kasus force majeure dipersamakan dengan penanganan kasus pembiayaan bermasalah pada umumnya?

Penyelesaian yang kami tempuh semua berdasarkan pengecekan lapangan dan keaslian bukti-bukti otentik lainnya serta keringanan yang diberikan berdasarkan permintaan dan kemampuan nasabah

Perbedaannya, pada pembiayaan bermasalah biasa jika nasabah tidak membayar kewajibannya kami akan memberikan Surat Peringatan sampai somasi, namun pada nasabah force majeure kita tidak memberikan


(4)

surat peringatan melainkan pihak bank akan menuliskan berita acara, melakukan pengecekan lapangan serta mengumpulkan bukti-bukti otentik lainnya.

Langkah penyelesaian yang dilakukan bank terhadap kasus force majeure sendiri memang dipersamakan dengan penyelesaian pembiayaan bermasalah biasa, seperti :

(a) Pemberian keringanan angsuran dalam bentuk rescheduling, resctructuring, atau reconditioning (b) Penyelesaian jalur asuransi

(c) Penyelesaian melalui mediasi (d) Penyelesaian melalui arbitrase (e) Penyelesaian melalui pengadilan (f) Eksekusi jaminan atau lelang

Dengan adanya perbedaan jenis kasus force majeure yang terjadi, apakah memiliki perbedaan penyelesaian pembiayaan?

Perbedaan jenis force majeure yang terjadi berpengaruh pada tindakan penyelesaian yang diambil. Hal ini disesuaikan kembali dengan kondisi serta kemampuan nasabah force majeure


(5)

Adakah perbedaan keringanan yang diberikan pihak bank kepada nasabah force majeure berdasarkan jenis penyebabnya?

Perbedaan keringanan yang diberikan kepada nasabah force majeure tergantung dengan besaran nominal kerugian serta bentuk permintaan nasabah yang disesuaikan dengan kemampuannya


(6)

SKEMA PEMBIAYAAN BERMASALAH