Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi Terhadap Pemegang Polis Apabila Terjadi Kerugian Yang Disebabkan Oleh Keadaan Force Mejeure

(1)

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP PEMEGANG POLIS APABILA TERJADI KERUGIAN YANG DISEBABKAN

OLEH KEADAAN FORCE MAJEURE (Studi Putusan MA No. 1455 K/Pdt/2007)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas – tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh : FENDY KUSUMA

NIM : 090200185

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP PEMEGANG POLIS APABILA TERJADI KERUGIAN YANG DISEBABKAN

OLEH KEADAAN FORCE MAJEURE (Studi Putusan MA No. 1455 K/Pdt/2007)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas – tugas dan Memenuhi Syarat – syarat Guna Mencapai

Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh : FENDY KUSUMA

NIM : 090200185

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. Hasim Purba, SH., M. Hum. NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Sinta Uli, S.H., M.Hum. Mulhadi, SH., M.Hum.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di mana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “TANGGUNG JAWAB

PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP PEMEGANG POLIS APABILA TERJADI KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH KEADAAN FORCE MAJEURE”. Skripsi ini membahas tentang pengajuan klaim kepada perusahaan asuransi terhadap keadaan force majeure.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran, dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M. Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas


(4)

3. Ibu Sinta Uli, SH., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan – arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

4. Bapak Mulhadi ,SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan – arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani masa perkuliahan.

6. Teristimewa kepada orang tua tercinta, Ayah Iminto Kusuma dam Ibu Musika Kirana

yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis untuk mencapai cita – cita.

7. Kepada Adikku Angel Irene Kusuma dan Felix Kusuma yang telah memberikan

motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

8. Kepada Teman istimewa Indah Lestari ,SE yang telah setia menemani, memberikan

motivasi, dan semangat kepada Penulis untuk mencapai cita-cita

9. Kepada Sahabat-sahabat penulis Ali Tadika Raden ,SH , Anthony Djono ,SH , Marco

Tanteri, Vanderis Hamdani, Jovin Lawi, Suhendra, Felix Susanto ,SE ,BBA , Pengurus dan anggota XTA (Xtrim Tracss Adventure) Siantar-Simalungun, yang terus medukung dan memberikan doa kepada penulis.

10. Teman – teman seangkatan 2009 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

11. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat


(5)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan Berkat dan AnugerahNya kepada kita semua.Amin.

Medan, Januari 2014

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……….. iv

ABSTRAK………. vi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah……… 6

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan……….. 6

D. Metode Penulisan……….. 7

E. Keaslian Penulisan………. 9

F. Sistematika Penulisan……….. 9

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI……….. 11

A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi……… 11

B. Sejarah Asuransi……… 17

C. Tujuan dan Jenis-jenis Asuransi……… 19

D. Asas dan Prinsip Dasar Asuransi……….. 25

BAB III FORCE MAJEURE DALAM HUKUM PERDATA……… 33

A. Pengertian dan Pengaturan Force Majeure……….. 33

B. Klasifikasi dan Ruang Lingkup Force Majeure……….……….. 37

C. Akibat Hukum Force Majeure dalam Hukum Perdata………. 41

D. Yurispridensi dan Putusan MA Mengenai Force Majeure……… 43

BAB IV TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP PEMEGANG POLIS APABILA TERJADI KERUGIAN YANG DISEBABKAN OLEH KEADAAN FORCE MAJEURE………. 51

A. Putusan MA NO.1455 K/Pdt//2007 antara PT. WIRA PERCA melawan PT. ASURANSI WAHANA TATA……….. 51

1. Kasus posisi……….. 51

2. Tuntutan penggugat……….………. 54

3. Putusan pengadilan negri medan………..………. 55

4. Putusan pengadilan tinggi medan………..……….……….. 55

5. Putusan kasasi Mahkamah agung………...……….. 55


(7)

1. Tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh keadaan force

majeure ………. 57

2. Pentingnya Menambahkan Klausula Perlindungan Perluasan (Extension Coverge) terhadap Keadaan Force Majeure dalam Asuransi………. 61

3. Penyelesaian Sengketa dalam Asuransi……...……….. 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 85

A. Kesimpulan……… 85

B. Saran……….. 88

DAFTAR PUSTAKA……… 91  

                                 


(8)

   

ABSTRAK

Sinta Uli ,SH ,M.Hum*

Mulhadi ,SH ,M.Hum**

Fendy Kusuma ***

Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan saat ini, banyak perusahaan asuransi

memberikan perlindungan terhadap kerugiaan akibat keadaan force majeure dengan

memberikan perlindungan perluasan (extetsion coverge) terhadap kerugian akibat keadaan

memaksa (force majeure). Akan tetapi dewasa ini banyak masyarakat tidak memahami akan

keadaan memaksa (force majeure) ini. Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk

membahas tentang tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis apabila

terjadi kerugian yang disebabkan oleh keadaan force majeure dalam Putusan Mahkamah

Agung No.1455/K/PDT/2007, pentingnya menambahkan klausula perlindungan perluasan (extension coverge) terhadap keadaan force majeure dalam perjanjian asuransi, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dalam asuransi.

Metode Penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengacu kepada norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan – putusan pengadilan yang berkaitan dengan asuransi.

Berdasarkan hasil penelitian diatas disimpulkan bahwa perusahaan asuransi wajib

memberikan ganti rugi terhadap pemegang polis terhadap kejadian force majeure apabila

sudah tercantum dalam polis tersebut mengenai klausula force majeure, penambahan

perlindungan perluasan mempunyai tujuan memberikan perlindungan asuransi yang efektif kepada tertanggung, Penyelesaian sengketa asuransi dapat dilakukan dengan cara melalui litigasi dan non-litigasi.

Kata Kunci : Force Majeure, Asuransi

      

* Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **

Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***


(9)

   

ABSTRAK

Sinta Uli ,SH ,M.Hum*

Mulhadi ,SH ,M.Hum**

Fendy Kusuma ***

Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan saat ini, banyak perusahaan asuransi

memberikan perlindungan terhadap kerugiaan akibat keadaan force majeure dengan

memberikan perlindungan perluasan (extetsion coverge) terhadap kerugian akibat keadaan

memaksa (force majeure). Akan tetapi dewasa ini banyak masyarakat tidak memahami akan

keadaan memaksa (force majeure) ini. Tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk

membahas tentang tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis apabila

terjadi kerugian yang disebabkan oleh keadaan force majeure dalam Putusan Mahkamah

Agung No.1455/K/PDT/2007, pentingnya menambahkan klausula perlindungan perluasan (extension coverge) terhadap keadaan force majeure dalam perjanjian asuransi, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dalam asuransi.

Metode Penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan mengacu kepada norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan – putusan pengadilan yang berkaitan dengan asuransi.

Berdasarkan hasil penelitian diatas disimpulkan bahwa perusahaan asuransi wajib

memberikan ganti rugi terhadap pemegang polis terhadap kejadian force majeure apabila

sudah tercantum dalam polis tersebut mengenai klausula force majeure, penambahan

perlindungan perluasan mempunyai tujuan memberikan perlindungan asuransi yang efektif kepada tertanggung, Penyelesaian sengketa asuransi dapat dilakukan dengan cara melalui litigasi dan non-litigasi.

Kata Kunci : Force Majeure, Asuransi

      

* Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **

Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***


(10)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut merupakan syarat agar manusia itu bisa bertahan hidup di dunia ini. Semakin baik kebutuhan itu dipenuhi, semakin sejahtera pula hidupnya, demikian pula sebaliknya. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya, manusia harus saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan manusia adalah makhluk sosial dan tidak dapat memenuhi kehidupannya sendiri. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut manusia harus melakukan hubungan atau kerja sama dengan manusia lainnya. Dalam berhubungan tersebut para pihak membuatnya secara tertulis yang disebut dengan perjanjian atau kontrak, yang telah menjadi ciri hukum modern sekarang ini. Kebutuhan manusia semakin lama semakin kompleks tidak lagi hanya sandang, pangan, dan papan. Tetapi juga kebutuhan akan aksesori-aksesori akibat perkembangan teknologi dan informasi, tidak bisa lagi mengandalkan pada pengaturan tradisi, kebiasaan, kepercayaan,

atau budaya ingatan.1

Kebutuhan manusia ini diikuti dengan perkembangan hukum dan usaha di bidang asuransi. Perjanjian Asuransi itu pada dasarnya bersifat konsensual sesuai dengan Pasal 257

KUHD. Menurut Prof P.L Wery, perjanjian asuransi adalah:2

1. Asuransi merupakan perjanjian berdasarkan konsesus, dapat terjadi setelah ada

kata sepakat, artinya perjanjian tanpa bentuk

2. Asuransi merupakan sifat kepercayaan yang istimewa, saling percaya mempercayai

diantara para pihak adalah menentukan perjajian itu sendiri.

      

1

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 72. 2

Sri Rezeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 85


(11)

Maksud dari perjanjian asuransi bersifat konsensual, adalah bahwa sejak terjadinya kesepakatan timbulah kewajiban dan hak kedua belah pihak. Tetapi asuransi baru berjalan jika kewajiban tertanggung membayar premi telah dipenuhi. Dengan kata lain, resiko atas benda beralih kepada penanggung sejak premi dibayar oleh tertanggung, oleh karena itu

dapat dipahami bahwa ada atau tidaknya asuransi ditentukan oleh pembayaran premi.3

Namun demkian, esuai dengan Pasal 225 KUHD ayat 1 dikatakan bahwa : “Pertanggungan

tersebut harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis”.4

Pasal 258 ayat 1 KUHD yang berbunyi “Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti

tertulis untuk membuktikan bahwa pertanggungan telah terjadi”.5 Dalam polis dicantumkan

semua ketentuan dan syarat mengenai pertanggungan yang telah dibuat. Begitu pula pada polis asuransi kerugian yang didalam akta polis yang dipertanggungkan adalah kerugian dari si tertanggung. Dengan demikian asuransi terutama asuransi kerugian mempunyai tujuan memberikan jaminan proteksi kepada nasabahnya (tertanggung) apabila si tertanggung mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.

Pelaksanaan perjanjian asuransi terkadang menimbulkan banyak permasalahan dimana salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian atau disebut juga sebagai wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu:

"penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat

diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.6

Akan tetapi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti kerugian, karena apabila tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak bukan karena kelalaiannya       

3

Wahyu Hidayat, “Polis Asuransi Jiwa sebagai Jaminan untuk Mendapatkan Kredit pada Perbankan”, skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm.2

4

Pasal 225 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 5

Pasal 258 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang 6


(12)

maka pihak tersebut dapat terbebas dari pembayaran ganti kerugian. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut:

Pasal 1244 KUHPerdata:

"Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk tidaklah ada

pada pihaknya"7

Pasal 1245 KUHPerdata:

"Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan

perbuatan yang terlarang".8

Keadaan seperti yang tersebut diatas disebut juga keadaan memaksa (force majeure).9 Di

dalam suatu polis auransi pada umumnya selalu memasukkan klausula mengenai force

majeure ini agar para pihak mengerti pembatasan antara kelalaianyang disebabkan oleh para

pihak itu sendiri dan kelalaian yang terjadi karena adanyakeadaan yang memaksa.10

Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan saat ini, banyak perusahaan

asuransi memberikan perlindungan terhadap kerugiaan akibat keadaan force majeure dengan

memberikan perlindungan perluasan (extentsion coverge) terhadap kerugian akibat keadaan

memaksa (force majeure). Akan tetapi dewasa ini banyak masyarakat tidak memahami akan

keadaan memaksa (force majeure) ini. Contohnya banyak yang beranggapan bahwa bila

asuransi dalam kendaraan bermotor dengan klausula all risk artinya perusahaan asuransi

      

7

Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum perdata 8

Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum perdata 9

Force Majeure adalah keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk (Djaja s. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, cetakankedua,Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hlm.103).

10

Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, edisi kedua, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 247


(13)

mengganti kerugian terhadap segala kerusakan yang terjadi terhadap kendaraan bermotor yang berujung terjadi kesalahpahaman antara pihak tertanggung dan penanggung. Padahal

dalam polis sudah tercantum bahwa kerugian akibat force majeure tidak menjadi tanggung

jawab perusahaan asuransi. Oleh karena itu, dalam membeli polis auransi hendaknya

dicermati klasula dalam polis asuransi tersebut.11

Di kalangan masyarakat terdapat kebingungan bahkan ketidakpahaman dalam

memahami penanggungan asuransi. Penanggungan terhadap kerugian akibat force majeure

tidak serta merta ada ketika perikatan asuransi dilakukan, karena penanggungan atas kerugian

akibat force majeure harus dinyatakan secara jelas dalam suatu perjanjian apalagi terhadap

perlindungan perluasan (extention coverge). Akan tetapi walaupun telah dimasukkan ke

dalam suatu polis asuransi klausula mengenai perlindungan perluasan (extention coverge),

tetap saja timbul masalah mengenai jangka waktu pengajuan klaim dan kategori bencana yang dialami si tertanggung, seakan perusahaan asuransi tidak memiliki itikad baik dalam melaksanakan perjanjian polis auransi dengan mencari-cari alasan untuk menghindar dari tanggung jawab seperti yang terjadi dalam perkara antara PT. WIRA PERCA melawan PT. ASURANSI WAHANA TATA.

Putusan Mahkamah Agung No.1455/K/PDT/2007 PT. WIRA PERCA menganggap PT. ASURANSI WAHANA TATA melakukan tindakan wanprestasi. Pihak PT. ASURANSI WAHANA TATA menolak membayar klaim asuransi dengan alasan peristiwa yang terjadi pada tanggal 11,24 dan 26 Desember 2000 adalah pencurian dengan kekerasan bukan penjarahan atau huru-hara sesuai dengan polis asuransi tentang perlindungan perluasan sehingga PT.WIRA PERCA mengajukan gugatan perdata terhadap PT. ASURANSI WAHANA TATA kemudian kasus ini bergulir panjang dan sampai pada tingkat kasasi.

       11

 Tips mencermati polis asuransi kendaraan “m.merdeka.com/otomotif/tips-mencermati-polis-asuransi-kendaraan.html” diakses pada tanggal 28 November 2013. 


(14)

Mahkamah Agung dalam putusan No.1455/K/PDT/2007 mengabulkan pemohonan kasasi PT.WIRA PERCA. Mahkamah Agung berpendapat bahwa kejadian yang terjadi pada tanggal 11,24 dan 26 Desember 2000 merupakan penjarahan atau huru-hara bukan merupakan perampokan dengan kekerasan dan menyatakan perbuatan tergugat (PT. ASURANSI WAHANA TATA) yang tidak bersedia membayar klaim adalah perbuatan wanprestasi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka saya melakukan penulisan skripsi dengan judul “Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi terhadap Pemegang Polis Akibat Kerugian yang Disebabkan oleh Keadaan Force Majeure (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.1455/K/PDT/2007)”.

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang dikemukakan adalah :

1. Bagaimana tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis apabila

terjadi kerugian yang disebabkan oleh keadaan force majeure dalam Putusan

Mahkamah Agung No.1455/K/PDT/2007?

2. Apa pentingnya menambahkan klausula perlindungan perluasan (extension coverge)

terhadap keadaan force majeure dalam perjanjian asuransi?

3. Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa dalam asuransi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis

apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh keadaan force majeure dalam Putusan


(15)

2. Untuk mengetahui pentingnya menambahkan klausula perlindungan perluasan

(extension coverge) terhadap keadaan force majeure dalam asuransi

3. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian sengketa dalam asuransi.

2. Manfaat Penulisan a. Manfaat Teoritis

Memberikan pengetahuan yang besar bagi penulis sendiri mengenai hal-hal yang berkaitan dengan asuransi serta memberikan pembangunan ilmu pengetahuan dalam bidang

ilmu hukum asuransi, khususnya yang berkaitan dengan klausula force majeure

b. Manfaat Praktis

Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca, baik di kalangan akademisi maupun peneliti yang mengkaji masalah yang sejenis ke dalam suatu pemahaman

yang komprehensif tentang penerapan klausula force majeure dalam asuransi sebagai upaya

perlindungan terhadap kepentingan pemegang polis asuransi. D. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Menurut H. Zainuddin Ali, penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum

yang ada dalam masyarakat.12

Data yang digunakan dalam penulisan ini antara lain :

a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang- undangan yang bersifat mengikat dan

disahkan oleh pihak yang berwenang, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Usaha Perasuransian dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

      

12


(16)

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti pendapat para ahli hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder atau dengan kata lain bahan

hukum tambahan seperti; Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research) yaitu mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku,

dokumen, literatur, makalah serta peraturan perundang-undangan atau keputusan yang

berhubungan dengan materi skripsi yang dibahas dalam skripsi ini.13

3. Analisis Data

Analisa data memiliki arti sebagai upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat

untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian.14 Dalam penulisan

skripsi ini menggunakan analisa data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang berhubungan dengan skripsi ini.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa judul skripsi tentang “Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi Terhadap Pemegang Polis Akibat Kerugian yang Disebabkan oleh Keadaan Force Majeure (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.1455/K/PDT/2007)”

      

13

“Teknik pengumpulan data tesis hukum” , dalam http://www.pusattesis.com/teknik-pengumpulan-data-tesis-hukum/, diakses tanggal 3 Desember 2013.

14

“Pengertian analisis data”,fattkhy.blogspot.com/2011/01/pengertian-analisis-data.html?m=1, diakses pada tanggal 28 November 2013.


(17)

belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa isi dari tulisan ini asli, sehingga skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. F. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penulis membagi skripsi ini ke dalam beberapa bab dan tiap – tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut :

Bab I (Pendahuluan), menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan

Bab II (Tinjauan Umum Tentang Asuransi), menguraikan tentang istilah dan definisi asuransi, pengaturan asuransi, tujuan asuransi, sejarah asuransi, jenis-jenis asuransi, pengalihan resiko ,dan pembayaran premi asuransi

Bab III (Force Majeure dalam Hukum Perdata), menguraikan tentang pengertian dan

dasar hukum force majeure, klasifikasi force majeure, ruang lingkup dan jenis peristiwa force

majeure, akibat hukum force majeure, pengaturan force majeure dalam hukum perdata,

bagan yurispridensi dan putusan ma mengenai force majeure

Bab IV (Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi terhadap Pemegang

Polis apabila Terjadi Kerugian yang Disebabkan oleh Keadaan Force Majeure), menguraikan

tentang tanggung jawab perusahaan asuransi terhadap pemegang polis apabila terjadi

kerugian yang disebabkan oleh keadaan force majeure, pentingnya menambahkan klausula

perlindungan perluasan (extension coverge) terhadap keadaan force majeure dalam asuransi,

dan penyelesaian sengketa dalam asuransi

Bab V (Penutup), merupakan bab terakhir di mana penulis akan memberikan ringkasan atau kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan ini serta memberikan saran sesuai dengan pandangan penulis berserta lampiran-lampiran yang diperoleh oleh penulis.


(18)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi

1. Pengertian Asuransi

Hukum Asuransi mengenal bermacam-macam istilah. Ada yang mempergunakan istilah

hukum Pertanggungan, hukum Asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht,

dan dalam istilah bahasa Inggris disebut Insurance Law. Sedangkan dalam praktek sejak

zaman hindia belanda sampai sekarang banyak dipakai orang istilah Asuransi.15

Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam

perundang-undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata “asuransi” yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncullah

istilah hukum “perasuransian”, yang berarti segala usaha yang berkenaan dengan asuransi.16

Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2 (dua) jenis, yaitu :17

a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance business).

Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut perusahaan asuransi (insurance

company).

b. Usaha di bidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang usaha

asuransi disebut perusahaan penunjang asuransi (complementary insurance)

2. Asuransi menurut pendapat beberapa ahli

Terdapat beberapa batasan dan perbedaan dari pengertian asuransi dari para ahli. hal ini disebabkan dari sudut pandang mana para ahli yang mendefenisikan asuransi itu. Dari sudut

pandang yuridis, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro mendefenisikan asuransi atau verzekering

sebagai suatu pertanggungan yang melibatkan dua pihak, satu pihak sanggup menanggung atau menjamin, dan pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang

      

15

Abdul Muis, Hukum Asuransi dan Bentuk-bentuk Perasuransian, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hlm.1

16

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 5 17


(19)

mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan

terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya.18

Menurut Muhammad Muslehuddin dalam bukunya Insurance and Islamic Law

mengadopsi pengertian asuransi dari Encyclopedia Britanica sebagai suatu persediaan yang

disiapkan oleh sekelompok orang, yang tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak jelas diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di antara

mereka, maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh kelompok.19

Dalam pandangan Abbas Salim, asuransi dipahami sebagai suatu kemauan untuk menetapkan kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substansi)

kerugian-kerugian yang belum pasti.20

3. Pengertian Asuransi dalam Peraturan Perundang-undangan

Selain pendapat di atas terdapat juga pengertian asuransi yang sudah diatur secara limitatif dalam peraturan perundang – undangan antara lain :

Kitab Undang – Undang Hukum Dagang disebutkan dalam Pasal 246 KUHD menyebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikatkan diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan atau tidak mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tak pasti.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan:

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu

      

18

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1996, hlm.12 19

Muhammad Muslehuddin, Insurance Law and Islamic Law,(Terjemahan oleh Burhan Wirasubrata), Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan suatu Alternatif Baru dalam Prespektif Hukum Islam, Cetakan ke-I, Lentera, Jakarta, 1999, hlm.3.

20


(20)

peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan

atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.21

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat 4

(empat) unsur yang harus ada, yaitu :22

a. Perjanjian yang mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak (tertanggung dan

penanggung) yang sekaligus terjadinya hubungan keperdataan;

b. Premi berupa sejumlah uang yang sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada

penanggung;

c. Adanya ganti kerugian dari penaggung kepada tertanggung jika terjadi klain atau

masa perjanjian selesai;

d. Adanya suatu peristiwa (envenemen/accident) yang belum tentu terjadi, yang

disebabkan karena adanya suatu risiko yang mungkin dating atau tidak dialami.

Apabila diperhatikan pengertian asuransi berdasarkan kedua aturan di atas, yaitu Pasal 246 KUHD dan Pasal 1 ayat (1) UU No.2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, sangat

jelas dinyatakan bahwa, asuransi adalah perjanjian.23 Menurut teori yang dikemukakan oleh

Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian adalah Suatu hubungan hukum antara dua

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.24

Ada defenisi yang lebih luas daripada defenisi pasal 246 KUHD dan boleh dikatakan sama dengan defenisi dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1992, yaitu defenisi dalam pasal 41 New York Insurance Law:

The Insurance contract is any agreement or other transaction where by one party herein called the insurer, is obligated to confer benefit of precuniary value upon another party, herein called the isured of beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have the time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A lortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be a substantial extended beyond the control of either party”.25

      

21

Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 dalam pasal 1 ayat (1) 22

A.Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Cetakan ke-1, September 2002, Bab IV, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.119-120.

23

Tuti Rastuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 32 24

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm.161 25


(21)

Bila diperhatikan definisi tersebut, menggunakan kata-kata to confer benefit of precuniary value, tidak digunakan kata – kata confer indemnity of precuniary value. Pengertian benefit tidak hanya meliputi ganti kerugian terhadap harta kekayaan, tetapi juga meliputi pengertian “yang ada manfaatnya” bagi tertanggung. Jadi, termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada asuransi jiwa. Defenisi dalam Pasal 41 New York Insurance

Law meliputi asuransi kerugian (Schade Verzekering) dan asuransi sejumlah uang (Sommen

Verzekering). Rumusan tersebut juga lebih luas daripada rumusan Pasal 246 KUHD.26 4. Pengaturan Asuransi

a. Pengaturan dalam KUHD

Ada 2 (dua) cara pengaturan asuransi dalam KUHD, yaitu pengaturan yang bersifat

umum dan yang bersifat khusus. Pengaturan yang bersifat umum terdapat dalam Buku I bab 9 Pasal 246-Pasal 256 KUHD yang berlaku bagi semua jenis asuransi, baik yang sudah di atur dalam KUHD maupun di atur di luar KUHD, kecuali jika secara khusus ditentukan lain. Pengaturan yang bersifat khusus terdapat dalam Buku I Bab 10 pasal 287 – pasal 308 KUHD dan Buku II Bab 9 dan Bab 10 Pasal 592 – Pasal 695 KUHD dengan rincian sebagai berikut :27

1. Asuransi kebakaran pasal 287 – pasal 298 KUHD

2. Asuransi hasil pertanian Pasal 299 – Pasal 301 KUHD

3. Asuransi Jiwa Pasal 302 – Pasal 308 KUHD

4. Asuransi pengangkutan laut dan perbudakan Pasal 592 – Pasal 685 KUHD

5. Asuransi pengangkutan darat dan sungai Pasal 686 – Pasal 695 KUHD.

b. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992

Terdapat perbedaan antara pengaturan asuransi yang diatur dalam KUHD dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Ussaha Perasuransian. Dalam KUHD pengaturan       

26

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm.10 27


(22)

tentang asuransi mengutamakan dari segi keperdataan sedangkan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian lebih mengutamakan pengaturan asuransi dari segi bisnis dan publik administratif yang jika dilanggar mengakibatkan pengenaan sanksi

pidana dan administratif.28

Pengaturan dari segi bisnis artinya menjalankan usaha perasuransian harus sesuai dengan aturan hukum perasuransian yang berlaku. Dari segi publik administratif artinya kepentingan masyarakat dan negara tidak boleh dirugikan. Jika hal ini dilanggar, maka pelanggaran

tersebut diancam dengan sanksi pidana dan administratif.29

5. Pengaturan dalam perundang-undangan lainnya

Selain dari KUHD dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan perundangan mengenai pertanggungan (asuransi), satu undang-undang mengenai usaha perasuransian, dan beberapa lainnya mengenai berbagai jenis

pertanggungan khusus, Perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :30

a. Asuransi wajib kecelakaan penumpang yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 1964

b. Asuransi atas kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 1964

c. Asuransi Kredit yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun

1971

d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor

33 Tahun 1964

e. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 sebagai Peraturan Pelaksana UU Nomor

34 Tahun 1964

f. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja

(Astek), dengan berbagai peraturan pelaksananya

g. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1971 tentang Penyertaan Modal Negara

Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan dalam Bidang Perasuransian Kredit

h. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi Pegawai

Negeri (Taspen)

i. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1971 tentang Asuransi Angkatan Berrsenjata

Republik Indonesia (Asabri)

j. Surat Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 tentang Asuransi Kesehatan

(Askes) untuk Pegawai Negeri dan Pensiunan beseta keluarganya.

      

28

Zainuddin Ali, Hukum Asuransi Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 63 29

Ibid, hlm. 19 30


(23)

B. Sejarah Asuransi

Pada tahun 365-323 sebelum masehi, di Negara Yunani pada masa Pemerintahan Raja Alexander Yang Agung (Alexander The Great) mempunyai seorang menteri keuangan yang bernama Antimenes. Pada suatu ketika terjadi krisis keuangan yang agak parah di Negara itu dan memerlukan uang yang sangat banyak guna membiayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang itu Antimetes mempunyai suatu gagasan yaitu mengumunkan kepada orang-orang kaya di Negara itu mendaftarkan budak-budak beliannya; kemudian antara Antimetes dan pemilik budak belian tadi membuat perjanjian dimana pihak pemilik budak akan membayar kepada Pemerintah sejumlah uang setiap tahun dan sebagai imbalannya Antimetes (Pemerintah) menjanjikan kepada mereka jika ada budak belian mereka yang melarikan diri, maka dia akan mencari dan memerintahkan kepada kepala daerah di bawah pemerintahannya supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak tertangkap, maka pihak Antimetes akan mengganti rugi kepada pemilik budak sejumlah uang harga dari budak itu. Perjanjian ini dibuat antara Antimetes dengan orang-orang kaya ini merupakan

perjanjian yang mirip dengan perjanjian Asuransi.31

Di Inggris sekelompok orang yang mempunyai profesi sejenis membentuk sebuah

perkumpulan yang disebut gilde. Perkumpulan ini mengurus kepentingan

anggota-anggotanya dengan janji apabila ada anggota yang kebakaran rumah, gilde akan memberikan

sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari anggota-anggota. Perjanjian

ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi kebakaran.32

Pada abad ke-13 dan abad ke-14 perdagangan melalui laut mulai berkembang pesat. Akan tetapi, tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam perjalanan perdagangan melalui laut. Keadaan ini mulai terpikir oleh para pedagang waktu itu untuk mencari upaya yang

      

31

Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm.15 32


(24)

dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul melalui laut. Inilah titik awal

perkembangan asuransi kerugian laut.33

Dari sejarah perasuransian ini dapat kita katakan bahwa pengertian asuransi ini sebenarnya pada mulanya terdapat pada asuransi sejumlah uang dan kemudian berkembang pada asuransi kebakaran dan asuransi laut. Asuransi sejumlah uang merupakan cirri tertua

dari seluruh bentuk asuransi yang ada.34

Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada

waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat

berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri

jajahannya.35

Sampai saat ini tidak ada satu bukupun yang memuat tulisan mengenai sejarah hukum Indonesia yang memuat mengenai dasar-dasar asuransi di Indonesia. Disamping itu para ahli hukum adat juga tidak pernah mengemukakan bahwa asuransi sudah ada dan dikenal dalam

tata pergaulan dalam masyarakat adat di Indonesia.36

Secara formal masuknya asuransi dan lembaga asuransi di Indonesia ialah sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Belanda di Indonesia pada tahun 1848. Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Belanda di Indonesia adalah atas dasar konkordansi yang dimuat dalam Stb 1943 No. 23, yang diundangkan pada tanggal 30 April

1947, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.37

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa asuransi dan lembaga asuransi masuk dalam tata pergaulan hukum di Indonesia bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Belanda) yang berlaku di Indonesia sebagaimana disebut diatas. Hal ini       

33

Ibid., hlm.3 34

Abdul Muis, Op.Cit, hlm.11 35

“Pengertian dan Sejarah Asuransi”, 14 September 2010, dalam http://asuransiaja.blogspot.com/2012/08/pengertian-dan-sejarah-asuransi.html#.UWRB4OyhjIU, terakhir diakses pada 9 April 2013

36

Sri Rezeki Hartono, Op.Cit, hlm.50-51 37


(25)

dapat pula dipakai sebagai suatu bukti bahwa asuransi dan lembaga asuransi yang semula

sebagai lembaga asing mulai dikenal di Indonesia.38

C. Tujuan dan Jenis-jenis Asuransi 1. Tujuan Asuransi

Hidup tak ubahnya seperti permainan dari ketidakpastian. Secara awam, ketidakpastian itu diterjemahkan sebagai resiko. Sesuatu yang belum pasti terjadi, akibatnya tentu tidak dikehendaki juga. Misalnya resiko kecelakaan, kematian, kerugian material dikarenakan

gempa, banjir atau bencana alam lainnya (Acts of Gods). Tak seorangpun mengetahui secara

pasti kapan resiko itu akan terjadi.39

Berdasarkan uraian diatas, asuransi sebenarnya memiliki tujuan – tujuan utama yang

hendak dicapai. Tujuan – tujuan tersebut antara lain:40

a. Teori Pengalihan Resiko

Menurut teori pengalihan resiko, (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa

ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika harta kekayaan atau jiwanya terancam, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raga. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut, pihak tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung) sejak saat itu resiko beralih kepada pihak penanggung.”

b. Pembayaran Ganti Kerugian

Dalam hal tidak terjadinya perstiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalahnya terhadap resiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak       

38

Ibid.

39

Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi:Proteksi Kecelakaan Trasnportasi, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 15.

40


(26)

selamanya bahaya yang mengancam itu sungguh – sungguh akan terjadi. Ini merupakan kesempatan kepada penanggumg mengumpulkan premi dari tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. Jika suatu ketika peristiwa itu sungguh – sungguh terjadi, yang menimbulkan kerugian, maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransi. Dengan demikian, tertangung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang dideritanya

c. Pembayaran Santunan

Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela)

antara penanggung dengan tertanggung (voluntary insurance). Akan tetapi, undang – undang

mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya, tertanggung terikat

dengan penanggung karena undang – undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini

disebut dengan jenis asuransi sosial (social security insurance). Asuransi sosial bertujuan

melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh

d. Kesejahteraan Anggota

Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung. Sedangkan anggota pekumpulan bertindak sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayarkan sejumlah unag kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan.

2. Jenis-jenis asuransi

Kita mengetahui bahwa dalam garis besarnya ada 2 jenis asuransi yaitu asuransi

sejumlah uang (sommen verzekering) dan asuransi ganti kerugian (schade verzekering),


(27)

yakni asuransi varia (varia verzekering), Asuransi Rekayasa (Egineering Insurance), dan

Asuransi Syariah.41

Dari 5 (lima) jenis asuransi yang disebutkan diatas dapat ditarik penjelasan yaitu:42

1. Asuransi sejumlah uang

Asuransi sejumlah uang artinya asuransi yang besarnya uang asuransi sudah ditentukan

sebelumnya tanpa perlu ada suatu hubungan antara kerugian yang diderita dengan besarnya jumlah uang yang diberikan penanggung.

Jenis-jenis asuransi sejumlah uang antara lain :

a) Asuransi Jiwa

b) Asuransi kesehatan

c) Asuransi tenaga kerja

d) Asuransi pendidikan

2. Asuransi Kerugian

Asuransi kerugiaan dapat diartikan ganti kerugian yang diberikan perusahaan asuransi

(penanggung) kepada pemegang polis (tertanggung) harus seimbang dengan kerugian yang dialami oleh pemegang polis dengan catatan bahwa kerugian itu adalah akibat dari peristiwa untuk mana asuransi itu diadakan.

Jenis-Jenis asuransi kerugiaan antara lain:43

a) Asuranssi kebakaran

b) Asuransi kenderaan

c) Asuransi huru-hara

d) Asuransi kerusuhan

e) Asuransi kecurian dan kebongkaran

      

41

Mustafa Dib al-Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam, Jakarta, Al-Hikmah, 2010, hlm. 83.

42

Tuti Rastuti, Op.cit , hlm.101 43


(28)

3. Asuransi Varia

Asuransi varia merupakan asuransi yang tumbuh dan berkembang sesuai

dengankebutuhan masyarakat. 44Asuransi varia disebut juga asuransi campuran karena

merupakan campuran unsur-unsur yang ada dalam asuransi sejumlah uang dan asuransi kerugian. Asuransi varia berkembang untuk mengantisipasi kekakuan KUHD yang hanya

mengatur asuransi dalam ruang lingkup yang sempit.45

Jenis-jenis asuransi varia antara lain :46

a) Asuransi Kredit

b) Asuransi deposito

c) Surety Bond

d) Bank Garansi

e) Asuransi Ekspor Impor

f) Asuransi Pengangkutan

g) Asuransi Rangka Kapal

h) Asuransi Pertambangan

4. Asuransi Rekayasa (Egineering Insurance)

Asuransi Rekayasa (Egineering Insurance) adalah jenis asuransi yang memberikan jaminan kepada pemegang polis (tertanggung) terhadap risiko-risiko yang timbul selama kegiatan pengerjaan proyek, pembangunan rumah, pemasangan mesin, testing dan commisioning.

Jenis-jenis Asuransi Rekayasa (Egineering Insurance) antara lain :47

a. Asuransi Egineering Proyek

b. Asuransi Egineering Non-Proyek

Asuransi Egineering Non-Proyek terbagi atas

a. Asuransi Peralatan Elektronika (electronic equipment insurance / e.e.i)

b. Asuransi Kerusakan Mesin (Machinery Breakdown insurance / MB)

5. Asuransi Syariah

      

44

Ibid

45

Abdul Muis, Op.Cit., hlm 11 46

Tuti Rastuti, Op.Cit., hlm.113 47


(29)

Dalam perspektif ekonomi Islam, asuransi dikenal dengan istilah takaful yang berasal

dari bahasa Arab yakni takafala-yatakafulu-takaful yang berarti saling menanggung atau

saling menjamin.48 Pengertian asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong

menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru (sumbangan) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu

melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.49

Selain dari kelima jenis asuransi secara umum yang dijelaskan diatas, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian terdapat pembagian jenis asuransi dari segi pelaksanaannya.

Dalam segi pelaksanaan asuransi di bagi kedalam 2 kategori, yaitu :50

1. Asuransi Sosial (social insurance)

Program Asuransi sosial adalah program asuransi yang diselenggarakan secara wajib berdasarkan suatu Undang-Undang, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan dasar bagi kesejahteraan masyarakat. Asuransi sosial hanya memberikan perlindungan dasar dan lazimnya penyelenggara program asuransi ini dimonopoli oleh badan usaha yang ditunjuk pemerintah seperti PT. Jamsostek, PT. Askes, dsb.

2. Asuransi Sukarela (Voluntary Insurance)

Asuransi Jenis ini dilaksanakan secara sukarela. Masyarakat diberikan secara kebebasan untuk mengasuransikan atau tidak mengasuransikan obyek yang dapat dipertanggungkan. Dalam hal yang bersangkutan memutuskan untuk berasuransi, maka ia juga diberikan kebebasan memilih penanggung (perusahaan asuransi). Terkait dengan pelaksanaan asuransi sosial untuk resiko-resiko yang telah dijamin dan hanya menyediakan perlindungan dasar, masyarakat dapat menggunakan mekanisme asuransi sukarela ini untuk meningkatkan jumlah       

48

H.Hendi Suhendi dan Deni K. Yusuf, Asuransi Tkaful (dari teoritis ke praktis),Mimbar Pustaka, Bandung, 2005, hlm.1

49

Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, Jakarta, 17 Oktober 2001.,hlm. 24

50


(30)

santunan atau coverge. Menjadi solusi atas keterbatasan program yang disediakan melalui asuransi sosial,

D. Asas dan Prinsip Dasar Asuransi 1. Asas Hukum Perjanjian Asuransi

Berdasarkan Pasal 1 KUHD, ketentuan umum perjanjian asuransi dalam KUH Perdata

dapat berlaku pula dalam perjanjian khusus.51 Dengan demikian, perusahaan asuransi

(penanggung) dan pemegang polis (tertanggung) harus tunduk pada beberapa ketentuan dalam KUH Perdata, termasuk asas-asas yang terdapat dalam KUH Perdata.

Asas-asas hukum dalam KUH Perdata tersebut antara lain :

a. Asas Konsensual

Asas Konsensual terkandung dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yang berisi :52

Syarat terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat :

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu pokok persoalan tertentu;

4) Suatu sebab yang tidak terlarang

Melihat isi dari pasal 1320 ayat (1) diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu sahnya

perjanjian dan mengikat yaitu adanya kata “sepakat” antara kedua belah pihak. Jika sudah adanya kata “sepakat” antara kedua belah pihak maka setiap perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak terkandung dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berisi : “ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai

Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.53

Menurut Sultan Remy Sjahdeini, ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi :54

      

51

Tuti Rastuti, Op.Cit., hlm. 42 52

Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata 53


(31)

1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

3) Kebebasan untuk menentukan isi (causa) dari perjanjian yang dibuatnya;

4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang

bersifat opsional.

c. Asas kekuatan mengikat

Asas kekuatan mengikat disebut juga asas pacta sunt servanda, yang secara konkrit

dapat dicermati dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang memuat ketentuan impresif,

yakni :55 “ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai

Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.56

Apabila dihubungkan dengan perjanjian asuransi berarti bahwa para pihak penanggung

dan tertanggung atau pemegang polis terikat untuk melaksanakan ketentuan perjanjian yang telah disepakatinya. Sebab, perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana Undang-Undang yang memilki akibat hukum, hanya saja berlaku

bagi mereka yang membuatnya.57

d. Asas Itikad Baik

Setiap perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak harus dilaksanakan dengan asas itikad baik seperti yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan

bahwa : “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.58

Asas itikad baik ini berlaku untuk semua perjanjian termasuk perjanjian asuransi yang diartikan pula secara menyeluruh bahwa, dalam pelaksanaan perjanjian tersebut para pihak

harus mengindahkan kenalaran dan kepatutan pasal 1339.59

e. Asas Keseimbangan

       

54

Sutan Remi Sjahdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.47.

55

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm.91 56

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata 57

Tuti Rastuti, Op.Cit., hlm. 45 58

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata 59


(32)

Asas keseimbangan adalah suatu asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Dalam perjanjian asuransi, hak dan kewajiban tertanggung adalah membayar premi dan menerima pembayaran ganti kerugian, sedangkan hak dan kewajiban penaggung adalah menerima premi dan memberikan ganti kerugian atas objek

yang dipertanggungkan.60

f. Asas Kepercayaan

Dalam perjanjian asuransi asas kepercyaan sangat penting, karena kepercayaan dapat menimbulkan keyakinan bagi pemegang polis dan perusahaan asuransi, bahwa satu sama lain aka memenuhi janjinya untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kepercayaan, kedua belah pihak mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sesuai ketentuan pasal 1338 KUH Perdata.

g. Asas Persamaan Hukum

Dalam Asas persamaan hukum dapat dijelaskan bahwasannya kedudukan dari para pihak atau subyek hukum mempunyai hak dan kewajiban yang sama atau seimbang , dan tidak dibeda-bedakan satu sama lain.

h. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung asas kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai Undang-Undang bagi mereka

yang membuatnya,61 seperti yang tercantum dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

2. Prinsip Dasar dalam Perjanjian Asuransi

Ada beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam mengadakan perjanjian asuransi.

Prinsip – Prinsip tersebut yaitu:62

a. Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (Insurable Interest)

      

60

Tuti Rastuti, Op.Cit., hlm. 46 61

Ibid.

62


(33)

Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Inrusable Interest) merupakan syarat mutlak untuk mengadakan perjanjian asuransi. Apabila pihak tertanggung atau pihak yang dipertanggungkan tidak memiliki kepentingan pada saat mengadakan perjanjian auransi,

dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau batal demi hukum.63

“Diharuskannya ada prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable

interest) dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian. Hal itu disebabkan, apabila sesorang yang tidak mempunyai kepentingan atas suatu objek tersebut, maka akibatnya tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila

terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki menimpa objek dimaksud”64

b. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Utmost Goodfaith)

Dalam Kontrak asuransi, itikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung. Hal ini dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang objek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material yang berkaitan objek pertanggungan tersebut secara

akurat dan lengkap kepada Underwriter.65

Menurut Gunanto, Prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) menyangkut

kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dipenuhi dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud

Pasal 1338 KUH Perdata.66

c. Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle)

Penerapan prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) dalam asuransi ini, sekaligus

menjadi pembeda bahwa asuransi tidak sama dengan perjudian. Dalam perjudian tidak

      

63

Ibid.

64

Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek – Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 16

65

Underwriter adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan asuransi untuk menilai resiko yang akan dipertanggungkan, menentukan apakah menerima atau menolak resiko, atau menerima sebagian. Dan mengkalkulasi besaran premium yang wajar untuk suatu resiko yang dipertanggungkan. Dalam Kun Wahyu Wardana, Op. Cit., hlm. 34

66


(34)

dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diderita dalam perjudian

merupakan konsekuensi yang harus diterima.67

Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan suatu tujuan bahwa asuransi

merupakan risk transfer mechanism. Mengalihkan atau membagi resiko yang kemungkinan

akan diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan

belum pasti terjadi. Harapannya, beban financial tertanggung menjadi lebih pasti. Fixed Cost

dalam bentuk premi.68

Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi dalam prinsip keseimbangan (Indemnity

Principle) ini, bahwa tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh

tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. 69

d. Prinsip sebab akibat (Cause Proximate Principle)

Cause Proximate Principle merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh perusahaan asuransi hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu termasuk dalam jaminan polis asuransi

yang bersangkutan.70

e. Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle)

Prinsip Subrogasi diatur dalam Pasal 284 KUHD yang menyatakan sebagai berikut : “ Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang dipertanggungkan, menggantikan si tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut; dan si tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perubahan yang dapat

merugikan hak si penaggung terhadap orang-orang ketiga itu.”71

      

67

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit., hlm. 38 68

Ibid.

69

Ibid. hlm.38 70

Ibid. hlm.39 71


(35)

Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap objek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis. Tapi, suatu hal yang pelu diketahui, bahwa

subrogasi hanya berlaku untuk contract of indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung

untuk mendapatkan penggantian lebih dari kerugian yang dideritanya.72

f. Prinsip Kontribusi (Contribution Principle)

Prinsip Kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda (Double Insurance) seperti

yang tercantum dalam pasal 278 KUHD73, yang menyatakan sebagai berikut :

“Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang berlainan, oleh berbagai penaggung telah diadakan penaggungan yang melebihi harga, maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan daripada jumlah-jumlah untuk mana mereka telah menandatangani polis tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang

dipertanggungkan.”74

“Apabila dalam suatu polis ditandatangani oleh beberapa penaggung, maka masing-masing penaggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung. Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas objek yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa, apabila penaggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penaggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang

besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupinya.”75

g. Prinsip Mengikuti Keberuntungan Penanggung Pertama (Follow The Fortune of the

Ceding Company)

Prinsip mengikuti keberuntungan penanggung pertama tidak boleh diartikan secara luas dan tanpa batas tanggun jawab penaggung ulang. Dalam hal reasuransi hanyalah terbatas pada klaim yang sah dan wajib dibayar oleh penaggung pertama sesuai dengan jumlah

      

72

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit., hlm. 42 73

Tuti Rastuti, Op.Cit., hlm.55 74

Pasal 278 KUHD 75


(36)

kerugian sekalipun berdasarkan teori dan praktik penanggung ulang dapat diminta untuk

menyetujui penyelesaian klaim atas dasar kompromi.76

      

76


(37)

BAB III

FORCE MAJEURE DALAM HUKUM PERDATA

A.Pengertian dan Pengaturan Force Majeure

Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan

dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.

Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai "keadaan memaksa" memiliki arti keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut

tidak dalam keadaan beritikad buruk.77Di dalam keadaan memaksa tersebut, debitur tidak

dapat dpertanggungjawabkan karena keadaan timbul dari luar kemauan dan kemampuan

debitur.78 Menurut Abdulkadir Muhammad force majeure adalah suatu peristiwa yang tidak

dapat diduga akan terjadi karena keadaann ini tidak dapat diprediksi, oleh karena itu force majeure tidak mewajibkan debitur mengganti rugi segala kerugian yang diderita oleh

kreditur. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut

tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para pihak ketika kontrak

tersebut dibuat.79 Sedangkan menurut Handri Raharjo80 yang di dalam bukunya Hukum

Perjanjian di Indonesia memberikan arti overmacht adalah sebagai suatu keadaan tidak terduga, tidak sengaja dan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh debitur, dimana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur dan dengan terpaksa peraturan hukum       

77

Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung ,2007, hlm.113.

78

Djaja s. Meliala. Loc. Cit., hlm.103 79

Ibid. 80


(38)

juga tidak diindahkan sebagaimana mestinya, hal ini disebabkan adanya kejadian yang berada diluar kekuasaannya dan keadaan ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.

Dasar hukum force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, akan tetapi

kedua pasal tersebut hanya mengatur keadaan memaksa yang bersifat sebagai pembelaan debitur untuk dibebaskan dari pembayaran ganti kerugian jika debitur tidak memenuhi

perjanjian karena adanya keadaan memaksa.81.

Dalam KUHPerdata, istilah force majeure tetapi Pasal 1244 KUH Perdata mengatur

bahwa debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak terduga, yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya.

Lebih lanjut, Pasal 1245 KUH Perdata mengatur bahwa para pihak tidak harus membayar biaya kerugian dan bunga apabila salah satu pihak berhalangan berprestasi akibat dari kejadian memaksa atau kejadian yang tidak terduga atau akibat hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. KUH Perdata tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang disebut sebagai keadaan memaksa, hal tidak terduga dan perbuatan yang terlarang tersebut.

Beberapa pasal dalam KUH Perdata yang dapat digunakan sebagai pedoman ketentuan force majeure selain pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata yang sudah tersebut di atas, antara lain adalah

Pasal 1545 :

“Jika suatu barang tertentu, yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar-menukar”.

Pasal 1553 :

      

81


(39)

“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum”.

Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, setidaknya terdapat 3 (tiga) unsur yang harus

dipenuhi untuk force majeure ini, yaitu:82

1. Tidak memenuhi prestasi

2. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan yang bersangkutan

3. Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepada yang bersangkutan

Menurut Munir Fuady83, pengaturan force majeure dalam KUHPerdata adalah sebagai

berikut:

1. Tidak ada pengaturan force maeure secara umum

Tidak ada pengaturan secara khusus ataupun secara umum mengenai force maeure di

dalam KUHPerdata, sehingga dalam hal ini tidak ada yang menjadi patokan dalam

mengartikan force maeure ataupun juga maksudnya. Oleh karena itu untuk menafsirkan

force maeure dalam KUHPerdata adalah dengan menarik kesimpulan-kesimpulan umum

dari pengaturan-pengaturan khusus yaitu pengaturan khusus tentang force maeure yang

terdapat di dalam bagian tentang ganti rugi atau pengaturan resiko akibat force maeure

untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak khusus (bernama). Untuk kontrak sepihak yakni yang prestasinya dilakukan oleh salah satu pihak saja yaitu seperti dalam Pasal 1237 KUHPerdata yakni yang mengatur tentang resiko. Pasal 1237 KUHPerdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka sejak perikatan-perikatan dilahirkan benda tersebut menjadui tanggungan pihak kreditur.

2. Pengaturan force maeure dalam hubungan dengan ganti rugi

Force maeure selalu dikaitkan dengan adanya masalah ganti rugi dari suatu kontrak.

Karena force maeure membawa konskuensi hukum, bukan saja hilangnya atau

tertundanya kewajiban-kewajiban untuk melaksanakan presasi yang terbit dari suatu

kontrak, melainkan juga suatu force maeure dapat juga membebaskan para pihak untuk

memberikan ganti rugi akibat tidak terbebaskan kepada para pihak untuk memberikan ganti rugi sebagai akibat tidak terlaksananya kontrak yang bersangkutan. Dalam hal ganti rugi, KUHPerdata mengaturnya dalam Pasal 1244 dan 1245.

3. Pengaturan force maeure untuk kontrak tertentu

Untuk kontrak-kontrak tertentu atau bernama, terdapat pasal-pasal khusus dalam

KUHPerdata yang mengatur mengenai force maeure, khususnya pengaturan resiko

sebagai akibat dari peristiwa force maeure, yaitu:

      

82

Daeng Naja, Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.235-236 83


(40)

1) force maeure dalam kotrak jual beli

Force maeure untuk kontrak jual beli yang terkait dengan ganti rugi diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata, yaitu jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntu harganya. Apabila dipahami atas Pasal 1460 KUHPerdata ini, maka resiko beralih kepada pihak penjual walaupun benda belum diserahkan setelah adanya penandatanganan. Bukan merupakan suatu keadilan apabila Pasal 1640 KUHPerdata ini diterapkan karena satu sisi resiko sudah ditanggung penjual sementara itu barang belum diserahkan. Berdasarkan ketentuan ini, maka Mahkamah Agung Republik Indonesia melalu Surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 agar tidak memberlakukan Pasal

1460 KUHPerdata tersebut. Dengan demikian force maeure dalam Pasal 1460

KUHPerdata tidak dipakai sebagai pedoman untuk mengartikan resiko dalam hukum kontrak secara umum.

2) force maeure dalam kontrak dalam tukar menukar

Kontrak tukar menukat atas pengaturan resikonya diatur dalam Pasal 1545 KUHPerdata, yaitu jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi kontrak, dapat menuntut kembali barang yang telah dia berikan dalam tukar menukar. Ketentuan ini menjelaskan bahwa suatu kontrak timbal

balik maka resiko dari force maeure ditanggung bersama oleh para pihak. Jika ada

para pihak yang terlanjur berprestasi dapat memintakan kembali prestasinya tersebut. Jadi kontrak tersebut dianggap gugur. Dengan demikian pengaturan resiko dalam kontrak tukar menukar ini dianggap pengaturan resiko yang adil, sehingga dapat dicontoh pengaturan resikonya.

3) force maeure dalam kontrak sewa-menyewa

Pengaturan force maeure untuk sewa menyewa diatur dalam Pasal 1553 KUHPerdata

yaitu jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja maka kontrak sewa menyewa tersebut gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, pihak penyewa dapat memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah dia akan meminta pembatalan sewa menyewa. Dalam kedua hal tersebut, dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi. Ketentuan resiko dalam Pasal 1553 KUHPerdata ini

menempatkan kedua belah pihak untuk menanggung resiko dari keadaan force maeure

tanpa adanya hak dari pihak yang merasa dirugikan untuk meminta ganti rugi.

B. Klasifikasi dan Ruang Lingkup Force Majeure

Menurut Mariam Darus Badrulzaman84, overmacht atau keadaan memaksa didasarkan

pada 2 (dua) teori, yaitu:

1. Mutlak/absolut/objektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu

perikatan bagaimanapun juga tidak mungkin dijelaskan

2. Relatif/nisbi/subjektif, yaitu suatu keadaan memaksa yang menyebabkan suatu perikatan

hanya dapat dilaksanakan dengan pengorbanan yang besar sehingga lagi tidak pantas       

84


(41)

pihak kreditur menuntut pelaksanaannya. Dalam hal ini ada 2 (dua) ukuran, yaitu:

1) Subjektif: dilihat orang perorangan (misalnya si A takut pada ulat)

2) Objektif: dilihat pada umumnya (misalnya, semua orang takut pada Tuhan)

Klasifikasi force majeure dapat dibedakan menjadi 2 (dua)bentuk, yaitu:85

1. Force majeure yang objektif

Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. misalnya benda tersebut terbakar. karena itu pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan. karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dari

kontrak, maka Force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.

2. Force majeure yang subjektif

Force majeure yang bersifat terjadi ketika Force majeure terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek yang merupakan bedan dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. misalnya jika

si debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi. Force majeure juga dapat

dibedakan dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasinya dalam kontrak yaitu: 1) force majeure yang absolut

Force majeure absolut adalah suatu force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. contohnya barang yang merupakan objek dari kontrak musnah. dalam hal ini kontrak tersebut "tidak mungkin" untuk dilaksanakan. Keadaan memaksa absolut adalah suatu keaadan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B.Kalau keadaan memaksa mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam perhubungan hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”. Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).

2) force majeure yang relatif

Force majeure relatif memiliki arti dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguhpun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. misalnya terhadap kontrk impor-ekspor dimana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang tersebut. dalam hal ini barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor). Keadaan memaksa yang relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia       

85


(42)

tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap

Disisi lain, force majeure juga dapat dibedakan dari segi jangka waktu berlakunya

keadaan yang menyebabkan terjadinya Force majeure, yaitu: (1) force majeure permanen

Suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai

kapanpun prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. contohnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah diluar kesalahan debitur

(2) force majeure temporer

force majeure temporer adalah pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, dimana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali. suatu barang dari objek suatu kontrak tidak mungkin dikirim ke tempat kreditur karena terjadinya pergolakan sosial ditempat kreditur tersebut. akan tetapi nantinya ketika keadaan sudah menjadi aman, tentunya barang tersebut masih mungkin dikirim kembali.

Untuk ruang lingkup force majuere, berdasarkan Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata,

yaitu:86

1. Force Majeure karena sebab-sebab yang tidak terduga 2. Force majeure karena keadaan memaksa

3. Force majeure karena perbuatan tersebut dilarang

Ruang lingkup atau jenis peristiwa force majuere menurut Mariam Darus Badrulzaman87

terdiri dari:

a. Bentuk umum:

1. Keadaan ikilm

2. Kehilangan

3. Pencurian

b. Bentuk umum:

1. Undang-undang atau pengaturan pemerintah

2. Sumpah

      

86

Ibid. Hlm.14. 87


(43)

3. Tingkah laku pihak ketiga

4. Pemogokan

Sedangkan menurut beberapa putusan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia,

peristiwa force mjaeure meliputi:

1. Risiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Yang Maha

Besar: disambar halilintar, kebakaran, dirampas tentara Jepang dalam masa perang (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957)

2. Act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian (Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984)

3. Peraturan-peraturan pemerintah (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958); Baik PN

maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat Super Radio

Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure karena apabila

tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau karena keluarnya peraturan-peraturan pemerintah (KPUI) tentang larangan untuk mengimpor lebih dari satu merek motor maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berikhtiar/berusaha mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya.

4. Kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak besar memukul lambung

kapal (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983)

5. Keadaan darurat (Putusan MA RI No. Reg. 1180 K/Sip/1971)

6. Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa

yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi (Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst)


(1)

dalam hal langkah ataupun pembicaraan untuk merevisi kontrak tersebut ternyata tidak berhasil disepakati

3. Penyelesaian sengketa asuransi dapat dilakukan dengan cara melalui litigasi dan non-litigasi. Melalui pengadilan disebut dengan cara litigasi dimana suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan oleh pengadilan dan putusannya bersifat mengikat. Melalui pengadilan dilakukan dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan negeri setempat kemudian dilanjutkan sesuai dengan hukum acara perdata sesuai dengan HIR/RBG. Lembaga peradilan memberikan kesempatan dengan beberapa tahap yaitu tahap di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi (banding) dan Mahkamah Agung (kasasi). Apabila dimungkinkan, salah satu pihak jugadapat melakukan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa asuransi berikutnya dapat dilakukan melalui non-litigasi yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Negosiasi adalah cara dimana kedua belah pihak yang bersengketa melakukan pembicaraan secara dua arah tanpa ada pihak ketiga yang menjadi penengah. Cara ini dilakukan dengan proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan yang diinginkan. Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Mediasi adala cara dimana kedua belah pihak yang bersengketa ditengarai oleh pihak ketiga yang fungsinya bertujuan untuk memberi masukan-masukan kepada pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa yang ada. Mediasi dalam asuransi disebut dengan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Konsiliasi adalah cara dimana para pihak yang bersengketa melibatkan pihak ketiga dalam upaya memberikan masukan secara memaksa agar dipatuhi dan menjalankan apa yang diputuskan oleh pihak ketiga tersebut. Arbitrase adalah cara dimana para pihak yang bersengketa memilih suatu lembaga yang memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat dibanding atau dikasasi.


(2)

B. Saran

1. Dalam putusan Mahkamah Agung No.1455/K/PDT/2007 PT. WIRA PERCA menganggap PT. ASURANSI WAHANA TATA melakukan tindakan wanprestasi. Apabila dipahami dalam perkara ini, pentingnya meletakkan klausula perlindungan perluasan terhadap objek asuransi adalah sangat penting. Kalau dipahami kembali, suatu peristiwa atau evenemen yang berupa peristiwa yang menjadi penyebab terjadinya kerugian merupakan bagian dari teori kausalitas, akan tetapi penyebab timbulnya kerugian tidak selalu sesuai dengan evenemen yang diperjanjikan dalam polis namun dapat terjadi karena peristiwa yang lain. Dalam hal ini, pihak asuransi harus memahami mengenai perlindungan perluasan atas suatu objek asuransi, hal ini bukan saja dikarenakan tanggung jawab hukum yang tertera dalam polis namun juga tanggung jawab moril, dengan demikian akan memberikan good coorporate gorvenence dalam suatu perusahaan juga. Pentingnya pemahaman akan perlindungan perluasan atas suatu objek asuransi sudah saatnya diberlakukan ketika calon pemegang polis akan membentuk perjanjian dengan perusahaan asuransi.

2. Pentingnya menambahkan klausula perlindungan perluasan (extension coverge) terhadap Keadaan force majeure dalam asuransi adalah dengan tujuan memberikan perlindungan objek asuransi pemegang polis secara efektif dan maksimal. Ketidakpedulian perusahaan asuransi terhadap klausula perlindungan perluasan adalah sangat tidak baik dan tidak menunjukkan itikad baik kepada pemengan polis karena hanya demi tujuan kepentingan dan keuntungan sepihak dengan merugikan pemegang polis. Oleh karena, klausula perlindungan perluasan sudah sebaiknya ditambahkan dengan tujuan agar tidak munculnya sengketa dikemudian hari sehingga akan menyulitkan kedua pihak.

3. Penyelesaian sengketa dalam asuransi dapat dilakukan berbagai cara, yaitu secara litigasi dan non-litigasi, akan tetapi penyelesaian secara non litigasi adalah yang lebih disarankan.


(3)

cukup banyak dan juga memakan biaya yang tidak sedikit. Penyelesaian secara non-litigasi adalah lembaga yang dapat dilakukan dengan waktu yang cepat dan tidak memakan biaya yang banyak. Hal ini disebabkan dalam penyelesaiannya, aspirasi kedua belah pihak saling diperdengarkan dan hasilnya akan memberikan hasil yang memuaskan karena seusai dengan kedua belah pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa secara non-litigasi adalah penyelesaian yang sangat dianjurkan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku

Al-Bugha, Mustafa Dib. Buku Pintar Transaksi Syariah (Menjalin Kerja Sama Bisnis dan Menyelesaikan Sengketanya Berdasarkan Panduan Islam. Jakarta. Al-Hikmah. 2010 Ali, H. Zainuddin. Metode Penelitian Hukum.Sinar Grafika. Jakarta. 2009

Ali, Zainuddin. Hukum Asuransi Syariah. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. Badrulzaman, Mariam Darus. Aneka Hukum Bisnis. Alumni. Bandung. 2005 ... KUHPerdata Buku III. Alumni. Bandung. 2006.

Budisantoso, Totok dan Sigit Triandru. Bank dan Lemabga Keuangan Lain. Salemba . Jakarta. Empat. 2006

Djazuli, A. dan Yadi Janwari. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan). Cetakan ke-1. Bab IV. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.2010.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis.Cetakan Ketiga. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung .2007

Gunanto, H. Asuransi Kebakaran di Indonesia. Logos Wacana Ilmu. Tanggerang. 2003 Hartono, Sri Rezeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. cetakan keempat. Sinar

Grafika. Jakarta. 2008

Hidayat, Wahyu. “Polis Asuransi Jiwa sebagai Jaminan untuk Mendapatkan Kredit pada Perbankan”. skripsi. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan. 2009. HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Edisi Sinar Grafika. Jakarta. 2008 ... Hukum Kontrak.Sinar Grafika. Jakarta. 2008.

Irawan, Candra. Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan. Mandar Maju. Bandung. 2010.

Meliala, Djaja S. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan. cetakankedua.Nuansa Aulia. Bandung. 2006

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Asuransi Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2006.

Muis, Abdul. Hukum Asuransi dan Bentuk-Bentuk Perasuransian. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan. 2005


(5)

Muslehuddin, Muhammad. Insurance Law and Islamic Law.(Terjemahan oleh Burhan Wirasubrata). Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan suatu alternatif baru dalam prespektif hukum islam. Cetakan ke-I. Lentera. Jakarta. 1999.

Naja, Daeng. Contract Drafting. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2006.

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi Indonesia. Penerbit Intermasa. Jakarta. 1996. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. cetakan keenam. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2006 ... Hukum Perjanjian di Indonesia. Pustaka Yustisia. Yogyakarta.

2009.

Rastuti, Tuti. Aspek Hukum Perjanjian Asuransi. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. 2011 Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Resik. .Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2000.

Sastrawidjaja, Man Suparman. Aspek – Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga. Alumni. Bandung. 2003

...Man Suparman. Hukum Asuransi. Alumni. Bandung. 2004.

Sembiring, Jimmy Joses. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan: negosiasi. mediasi. konsiliasi & arbitrase. Transmedia Pustaka. Jakarta. 2001.

Sidjaja, Gunawan. Memahami Prinsip Keerbukaan dalam Hukum Perdata. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta .2006.

Simanjuntak, PNH. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia.Djambatan. Jakarta. 2009

Simanjuntak, Ricardo. Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. edisi kedua. PT. Gramedia. Jakarta.2010.

Sjahdeini, Sutan Remi. Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Institut Bankir Indonesia. Jakarta. 1993.

Suhendi, H.Hendi dan Deni K. Yusuf. Asuransi Tkaful (dari teoritis ke praktis).Mimbar Pustaka. Bandung. 2005

Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak. Bandung: Mandar Maju. 2012.

Umam, Khotibual. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. PT. Suka Buku. Jakarta 2010. Wardana, Kun Wahyu. Hukum Asuransi:Proteksi Kecelakaan Trasnportasi. Mandar Maju.

Bandung. 2009


(6)

Sumber Online

“Pengertian dan Sejarah Asuransi”, 14 September 2010, dalam http://asuransiaja.blogspot.com/2012/08/pengertian-dan-sejarah

asuransi.html#.UWRB4OyhjIU, terakhir diakses pada 9 April 2013

“Produk Asuransi Adira Insurance”, dalam http://www.asuransi.adira.co.id/Products/Autocillin/AutocillinProductInformation/tab

id/92/language/id-ID/Default.aspx , diakses pada 10 November 2013

“Pengertian analisis data”, dalam http://fattkhy.blogspot.com/2011/01/pengertian-analisis-data.html?m=1”, diakses pada tanggal 28 November 2013

“Tips mencermati polis asuransi kendaraan”, dalam http://m.merdeka.com/otomotif/tips-mencermati-polis-asuransi-kendaraan.html, diakses pada tanggal 28 November 2013.  “Teknik pengumpulan data tesis hukum” , dalam