Analisis Komponen Dalam Alih Bahasa Istilah Budaya.

(1)

LAPORAN KEMAJUAN

HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

Tahun ke-1 dari rencana 1 tahun

MODEL ANALISIS KOMPONEN

DALAM ALIH BAHASA ISTILAH BUDAYA

TIM PENELITI

I KOMANG SUMARYANA PUTRA, S.S., M.HUM. NIDN. 0002038007

NI KETUT ALIT IDA SETIANINGSIH, S.S., M.HUM. NIDN. 0025127407

JURUSAN SASTRA INGGRIS

FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

JULI 2015

i Kode/Nama Bidang Ilmu: 521 / ILMU LINGUISTIK


(2)

(3)

RINGKASAN

Bahasa mencirikan suatu budaya. Dengan bahasa, seseorang dapat mengetahui latar belakang budaya yang melingkupinya. Dengan bahasa seseorang dapat mengenalkan budaya tertentu. Dalam hal ini, budaya tentunya sangat berkaitan dengan suatu kelompok masyarakat tertentu dan sudah pasti berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya baik dalam hal keyakinan, nilai tradisi, maupun aturan normatif yang berlaku. Hal tersebut menjadikan suatu istilah budaya tidak mudah untuk dialihbahasakan dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Untuk itulah diperlukan sejumlah teknik agar dapat mengalihbahasakan suatu istilah budaya. Model analisa komponen menjadi salah satu dari sejumlah teknik dalam alih bahasa. Analisa komponen memungkinkan untuk dapat melihat fitur – fitur kesamaan maupun pembeda antara satu kata dengan kata lain dalam alih bahasa. Sumber data yang akan digunakan adalah istilah – istilah budaya Bali yang diambil dari koran berbahasa Inggris. Nantinya metode pengumpulan data akan mengaplikasikan metode simak dengan teknik membaca secara rinci, teknik pencatatan, dan selanjutnya teknik mengklasifikasikan kata. Dalam hal analisa data akan dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan mengaplikasikan teori tentang alih bahasa dan analisa komponen.

Kata kunci: bahasa, istilah budaya, alih bahasa, analisa komponen


(4)

PRAKATA

Puji syukur kami ucapkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah dan anugrah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan judul Model Analisis Komponen Dalam Alih Bahasa Istilah Budaya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang berkaitan dengan pemakaian istilah budaya Bali dalam komunikasi khususnya bahasa tulis. Dalam hal ini penelitian ini mencoba mendeskripsikan alih bahasa istilah budaya Bali yang begitu dekat dalam budaya keseharian orang Bali yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris. Mengingat tidak ada dua bahasa yang sungguh – sungguh identik, maka pengalihbahasaan istilah budaya menjadi tantangan tersendiri. Untuk itulah model analisa komponen menjadi salah satu solusi dalam mengalihbahasakan istilah budaya dari satu bahasa ke bahasa lainnya.

Kami selaku peneliti dalam hal ini mengucapkan terima kasih terhadap kesempatan yang diberikan untuk dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, M.A. selaku ketua program studi Sastra Inggris Universitas Udayana atas dukungan dan motivasinya saat proses menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya yang telah memberikan dukungan kepada peneliti muda di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Tidak lupa kami menyampaikan penghargaan tertinggi terhadap pihak Universitas Udayana dalam hal ini Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD (KEMD)., selaku rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., selaku ketua LPPM Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan meneliti kepada dosen – dosen muda melalui skema pemberian dana hibah PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) tahun anggaran 2015.

Kami menyadari apabila penelitian ini masih belum mampu mengakomodir keseluruhan hal – hal yang berhubungan dengan metode analisa komponen dalam alih bahasa istilah budaya. Untuk itu kami memberikan kesempatan kepada semua pihak dalam memberikan masukan guna penyempurnaan hasil penelitian ini di masa depan.

Denpasar, Juli 2015 Tim Peneliti


(5)

DAFTAR ISI

Hal.

HALAMAN SAMPUL i

HALAMAN PENGESAHAN ii

RINGKASAN iii

PRAKATA iv

DAFTAR ISI v

BAB 1. PENDAHULUAN 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 3

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 7

3.1 Tujuan Penelitian 7

3.2 Manfaat Penelitian 7

BAB 4. METODE PENELITIAN 9

4.1 Sumber Data 9

4.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data 9

4.3 Metode dan Teknik Analisa Data 10

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 11

5.1 Klasifikasi Istilah dan Alih Bahasa Istilah Budaya 11

5.1.1 Istilah Budaya Berkaitan Tempat Suci 11

5.1.2 Istilah Budaya Berkaitan Alat/Kelengkapan Upacara 13

5.1.3 Istilah Budaya Berkaitan Upacara Agama 18

5.2 Analisa Komponen Istilah Budaya 19

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

(7)

BAB I PENDAHULUAN

Kata memegang peranan penting dalam pemahaman sebuah teks. Dalam ilmu linguistik kata merupakan komponen linguistik yang terkecil namun justru memiliki fungsi yang strategis. Pemahaman terhadap sebuah kata menjadi hal paling mendasar bagi setiap orang yang akan melakukan tindak komunikasi melalui bahasa tulis maupun bahasa lisan. Pemahaman dan pengertian terhadap kata akan memberikan dasar bagi seseorang untuk dapat memahami konteks percakapan maupun konteks tertulis secara keseluruhan. Dengan demikian maka hal yang pertama dilakukan oleh seorang pembelajar bahasa adalah memahami kata yang mengandung berbagai makna.

Pemahaman terhadap kata juga menjadi hal penting dalam kegiatan alih bahasa. Dalam proses alih bahasa seorang pengalih bahasa harus memahami kata-kata yang akan diterjemahkan baik dalam bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa). Pentingnya pemahaman terhadap kata dalam proses penerjemahan dipaparkan oleh Larson. Larson (1998: 59) mengungkapkan kata sebagai sekelompok komponen makna. Oleh sebab itu seorang pengalih bahasa hendaknya mampu menganalisa makna-makna leksikal yang terkandung dalam sebuah kata sebelum melakukan proses terjemahan. Dalam hal ini seorang pengalih bahasa melakukan usaha untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam sebuah kata. Proses tersebut wajib dilakukan mengingat tidak selalu kata-kata dalam BSu memiliki kesepadanan yang mutlak dengan kata-kata pada BSa. Hal itu mengingat tidak ada satu bahasa pun di dunia ini yang memiliki kesamaan mutlak, namun yang ada hanyalah kemiripan.

Upaya untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam bentuk leksikal sebuah kata dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu usaha itu adalah proses analisa komponen (componential analysis). Analisa komponen merupakan usaha untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam sebuah kata. Dengan usaha tersebut maka seorang pengalih bahasa dalam menentukan kata apa yang sesuai dalam BSa yang mendekati kesesuaian dengan makna kata dari BSu.

Pemaknaan kata melalui proses analisa komponen memberikan jalan keluar dalam mengatasi permasalahan alih bahasa kata-kata yang mengandung istilah budaya. Saat ini alih bahasa yang sedang marak dilakukan adalah alih bahasa budaya. Alih bahasa budaya merupakan proses pengalihan kata-kata yang mengandung makna budaya dalam BSu ke dalam BSa yang tentunya diharapkan memiliki kesepadanan 1


(8)

sehingga pembaca pada BSa akan memiliki pemahaman yang sama dengan pembaca BSu. Hanya, upaya tersebut justru terhadang persoalan cara atau teknik yang digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam alih bahasa budaya. Hal ini mengingat pemahaman dua bahasa bukan merupakan satu-satunya keahlian yang diperlukan dalam mengalihbahasakan, tetapi juga memerlukan pemahaman mengenai dua budaya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka diperoleh perumusan permasalahan yang terkait dengan proses penggunaan metode analisa komponen dalam alih bahasa istilah budaya. Permasalahan tersebut dibedakan menjadi dua. Permasalahan pertama lebih menekankan pada tipe – tipe istilah budaya Bali apa saja yang terdapat pada naskah berbahasa Indonesia dan bagaimana istilah – istilah tersebut dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris? Dalam hal ini yang tentunya dimunculkan adalah tipe – tipe istilah budaya Bali yang muncul pada naskah berbahasa Indonesia. Sedangkan permasalahan kedua lebih memfokuskan pada bagaimanakah komponensial analisis dapat digunakan sebagai teknik dalam alih bahasa istilah – istilah budaya Bali? Teknik komponensial analisis menjadi salah satu teknik yang dimungkinkan untuk dapat mendeskripsikan perbedaan makna yang dibawa oleh suatu istilah budaya dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.


(9)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bahasa dan budaya menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan penerjemahan. Tidak hanya pada kegiatan penerjemahan, dalam pelaksanaan kegiatan sehari-hari seseorang selalu berkaitan dengan budaya. Budaya berdasarkan Duranti (1997: 24) merupakan sesuatu yang dipelajari, diajarkan, diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui tindakan manusia dengan cara komunikasi langsung berupa tatap muka dan tentu saja peristiwa komunikasi. Untuk alasan tersebut seorang anak manusia akan memahami dan mengikuti pola budaya orang-orang yang membesarkannya.

Keterkaitan bahasa dan budaya juga dipaparkan oleh Koentjaraningrat (2002) yang menempatkan budaya sebagai bagian terbesar dari seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini Koentjaraningrat menyebutkan bahwa kerangka kebudayaan terdiri dari (1) sistem bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) sistem organisasi sosial, (4) sistem mata pencaharian, (5) sistem kesenian, (6) sistem religi, dan (7) sistem peralatan serta teknologi. Masuknya sistem bahasa menjadi sub bagian dari kebudayaan menjadikan bahasa sebagai bagian penting dalam memahami suatu budaya. Dengan pemahaman terhadap bahasa seseorang maka akan diketahui budaya dari orang tersebut. Melalui dua pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan apabila manusia tidak dapat lepas dari kebudayaan. Apalagi kebudayaan sudah menjadi ciri khas sekelompok orang, golongan, suku, atau negara. Dalam kaitan dengan ciri khas itu maka salah satu bagian yang penting adalah komunikasi. Komunikasi linguistik selalu mencerminkan budaya seseorang dan identitas yang sesungguhnya. Pemahaman komunikasi linguistik dapat dilakukan apabila seseorang berkomunikasi dengan orang yang satu golongan atau suku. Namun persoalan akan muncul apabila komunikasi yang terjadi diantara dua orang dengan latar belakang budaya berbeda.

Perbedaan budaya menjadi pertimbangan penting dalam melakukan proses alih bahasa. Pengalihbahasaan tidak semata-mata melakukan proses pemindahan, pengubahan, penggantian, atau penciptaan kembali BSu pada BSa. Namun proses alih bahasa merupakan proses yang kompleks dengan melibatkan dua budaya yang melatarbelakangi dua bahasa berbeda. Untuk itulah seorang pengalih bahasa dituntut tidak hanya mampu menguasai pemahaman linguistik semata tetapi juga mengerti budaya dari kedua bahasa.


(10)

Saat ini terdapat banyak pemahaman tentang pengalihbahasaan yang disampaikan oleh ahli-ahli alih bahasa baik di luar maupun di dalam negeri. Secara garis besarnya, alih bahasa merupakan proses pemindahan makna dari BSu kepada BSa. Hal itu ditegaskan Larson (1998: 3) yang menyebutkan bahwa alih bahasa merupakan proses pemindahan makna dari BSu kepada BSa dengan melakukan perubahan pada bentuk bahasa. Dalam hal ini Larson menekankan apabila makna dari BSu tetap dipertahankan dalam BSa dan hanya bentuk bahasa yang menyesuaikan dengan struktur semantis BSa. Penekanan pada makna memungkinkan adanya dua kata dalam dua bahasa berbeda memiliki kemiripan makna sehingga dapat dipahami oleh pembaca BSu dan BSa.

Pemahaman tentang mempertahankan makna juga dikemukakan oleh Nida dan Taber (1982: 12). Mereka menegaskan makna merupakan hal pertama yang harus ditemukan kesepadanannya yang paling dekat dari BSu ke BSa. Selain makna, hal penting lainnya yang patut menjadi perhatian dalam proses alih bahasa adalah gaya. Dalam kaitan dengan dua pemahaman mengenai alih bahasa maka dapat dikatakan apabila alih bahasa mengandung pemahaman tentang makna, ciri-ciri linguistik, pola-pola kedua bahasa, dan terakhir adalah budaya. Masing-masing faktor tersebut berkaitan satu dengan lainnya pada kegiatan alih bahasa sehingga pada akhirnya akan diperoleh hasil alih bahasa yang berterima dalam BSa.

Dalam kaitan dengan budaya, seorang pengalih bahasa mendapat tantangan yang sangat berat untuk dapat mengalihbahasakan teks-teks yang mengandung kata-kata bermuatan budaya. Steiner (dalam Choliludin, 2005: 5) mengatakan bahwa alih bahasa merupakan proses regenerasi sebuah teks yang didasarkan pada faktor-faktor tertentu seperti faktor situasional, register, perubahan klasik bahasa, dan terakhir adalah konteks budaya. Teks-teks bermuatan kata-kata khusus yang mengacu pada budaya tertentu akan sulit menemukan kesepadanan paling dekat dengan BSa. Hal tersebut mengingat tidak ada satu pun bahasa di dunia yang benar-benar sama, namun mereka memiliki kemiripan dalam penyebutan suatu konsep benda. Kondisi seperti itu memaksa seorang pengalih bahasa berkreativitas mencari cara, prosedur, atau metode sehingga alih bahasa kata-kata seperti itu dapat dilakukan.

Analisa komponen (componential analysis) merupakan salah satu upaya untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam sebuah kata. Larson (1998: 90) mengungkapkan cara analisa komponen digunakan untuk menguraikan sistem kekerabatan dimana nantinya makna yang terkandung dalam sistem kekerabatan


(11)

digambarkan melalui tabel. Tabel tersebut akan berisikan parameter-parameter makna yang dikandung oleh sebuah kata dalam BSu dan nantinya juga menguraikan parameter makna dalam BSa. Dalam prosesnya, analisa komponen dapat memberikan gambaran pada kesamaan dan perbedaan makna sebuah kata dalam BSu dan BSa.

Penggunaan cara analisa komponen dalam penguraian makna sistem kekerabatan juga diungkapkan Nida (1975: 32). Nida menjabarkan makna-makna dari istilah kekerabatan yang juga mengidentifikasikan hubungan darah dapat dilakukan dengan cara analisa komponen. Secara rinci dia menguraikan proses analisa komponen yang melibatkan istilah ayah (father) dan ibu (mother). Komponen yang digunakan untuk dapat membedakan keduanya adalah jenis kelamin (sex), generasi (generation) dan hubungan kekerabatan (lineality). Dengan tiga komponen makna tersebut maka diperoleh gambaran perbedaan mengenai istilah ayah dan ibu dimana keduanya berbeda dari faktor jenis kelamin. Sedangkan untuk komponen generasi dan hubungan kekerabatan maka keduanya mempunyai kesamaan.

Meski dapat digunakan secara optimal namun metode analisa komponen tidak selalu hanya bisa digunakan pada analisa hubungan kekerabatan. Larson (1998: 90) menambahkan bahwa bidang-bidang lain selain kekerabatan memungkinkan untuk menggunakan analisa komponen. Pasalnya, analisa komponen dalam proses alih bahasa merupakan suatu pembanding. Analisa komponen dalam alih bahasa menurut Newmark (1988: 114) menegaskan perbedaan analisa komponen dalam bidang alih bahasa dan linguistik. Analisa komponen dalam alih bahasa bertujuan untuk membandingkan sebuah kata dalam BSu dan BSa, sementara analisa komponen dalam linguistik bertujuan untuk menganalisa atau menguraikan sejumlah ide dalam sebuah kata menjadi komponen ide-ide yang memungkinkan atau tidak bersifat umum atau universal.

Dalam kaitan dengan perbedaan tersebut, Newmark (1988: 114) lantas memberikan ketegasan dalam penggunaan analisa komponen dalam alih bahasa. Selain bertujuan untuk membandingkan, analisa komponen memungkinkan seorang pengalih bahasa untuk melihat kemiripan makna meski tidak secara jelas memperlihatkan kesepadanan. Untuk dapat melihat kemiripan antara kata dalam BSu dan BSa maka hal yang paling penting dilakukan adalah memperlihatkan persamaan umum yang diikuti dengan komponen ide yang berbeda lainnya.

Bell (1991: 87) menggambarkan model analisis komponen merupakan suatu upaya untuk memahami elemen yang terdapat pada suatu kata. Model itu akan memastikan adanya elemen – elemen yang serupa namun ternyata mempunyai 5


(12)

perbedaan. Bell mencontohkan komponen hydrogen dan oxygen yang terdapat pada H2O dan H2O2 yang terlihat sama padahal memiliki perbedaan. Perbedaan yang nyaris

tidak terlihat tersebut dapat dilakukan suatu analisa dengan melihat komponen – komponen yang dikandung.

Bell (1991: 87) lebih lanjut menggarisbawahi bahwa analisis model sesungguhnya tidak tepat digunakan untuk menganalisa bentuk – bentuk kata yang universal atau umum digunakan dalam bahasa mana pun. Namun, model analisis komponen cenderung lebih tepat digunakan untuk mendeskripsikan komponen – komponen semantis yang dimiliki oleh suatu kata apabila hendak dibandingkan dengan kata dalam bahasa berbeda. Sehingga bagi seorang pengalih bahasa, model analisa komponen memberikan wawasan dan pemahaman terhadap adanya perbedaan maupun kesamaan komponen yang dikandung suatu kata dalam BSu maupun BSa. Apalagi jika suatu kata itu memiliki komponen budaya yang sangat kuat dalam BSu. Sehingga Larson (1998: 470) telah mengungkapkan bahwa kata yang memiliki unsur budaya kuat akan sangat sulit untuk dapat dialihbahasakan. Apalagi budaya secara umum dapat diartikan sebagai suatu keyakinan, sikap, nilai – nilai tradisi, maupun aturan umum yang telah diyakini oleh suatu masyarakat. Sehingga masyarakat lain dengan budaya berbeda tentunya akan mengartikan maupun menafsirkan dengan cara yang berbeda.

Di sinilah model analisa komponen mempunyai peran yang penting. Bell (1991: 88) menjelaskan bahwa hal yang penting dalam analisa komponen adalah adanya asumsi yang biasa disebut para ahli dengan penanda pembeda (distinctive features). Dalam hal analisa komponen biasanya dilakukan dengan penanda ada atau tidak dengan + atau -. Masing – masing penanda biasanya dimunculkan dalam bentuk masukan kata (entry lexical). Dengan masukan kata – kata yang juga sekaligus sebagai komponen maka akan diperoleh suatu bentuk daftar yang mirip dengan kamus. Bell (1991: 88) mencontohkan kata yang bersifat umum manusia yang nantinya akan dibedakan menjadi pria dan wanita. Dalam hal komponen tentu saja keduanya mempunyai perbedaan. Seorang pria mempunyai komponen antara lain [+ manusia, + dewasa, +jenis kelamin laki – laki], sedangkan seorang wanita mempunyai komponen [+ manusia, + dewasa, - jenis kelamin laki – laki].

Selain bentuk masukan kata (entry lexical), model analisa komponen juga dapat menggunakan fitur berbeda seperti pelafalan (pronounciation), informasi sintaksis (syntactic information), informasi morfologis (morphological information). Sehingga dalam membedakan suatu kata pada BSu dan kata pada BSa tidak semata – mata dengan


(13)

menggunakan pendeskripsian kata. Namun sangat memungkinkan juga menggunakan bentuk – bentuk berbeda mulai dari pelafalan, morfologi, sintaksis, dan juga bentuk lain yang memungkinkan seperti pembeda makna denotatif atau konotatif.


(14)

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Bagian ini membahas mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang berhubungan dengan analisa komponen dalam teknik alih bahasa suatu istilah budaya. Masing – masing bagian dibahas secara rinci pada bagian di bawah.

3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terkait dengan teknik analisa komponen pada istilah budaya ini dibedakan menjadi dua. Tujuan pertama adalah untuk mendeskripsikan istilah – istilah budaya Bali yang terdapat pada naskah bahasa sumber yaitu bahasa Indonesia. Selanjutnya mendeskripsikan hasil alih bahasa istilah budaya Bali tersebut pada bahasa Inggris. Dengan adanya dua istilah budaya maka diperoleh gambaran mengenai makna yang dikandung oleh masing – masing istilah budaya.

Tujuan kedua lebih menekankan pada analisa komponen yang cenderung membandingkan makna – makna yang dibawa oleh istilah budaya pada bahasa sumber dan hasil alih bahasa pada bahasa sasaran. Dalam kaitannya dengan hal itu maka diperoleh perbandingan komponen semantik pada masing – masing istilah. Hal itu nantinya lebih banyak menggambarkan hal – hal yang merupakan kelebihan dan kekurangan dari fitur – fitur semantik pada masing – masing istilah budaya.

3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat umum. Manfaat teoritis berupa sumbangan pemikiran yang aplikatif terhadap teknik analisa komponen pada alih bahasa. Teknik analisa komponen sesungguhnya memiliki keuntungan terutama dalam hal pemahaman fitur – fitur budaya yang kemungkinan ada maupun tidak ada pada alih bahasa istilah budaya. Dengan teknik analisa komponen maka seorang pengalih bahasa dapat mengetahui kekurangan dan kelebihan dari istilah yang digunakan pada bahasa sasaran.

Sementara itu, manfaat umum lebih banyak pada pemahaman kultur budaya yang melingkupi suatu istilah budaya. Seperti diketahui bahasa merupakan hal yang paling identik pada suatu budaya kelompok masyarakat tertentu. Bahasa menjadi penciri identitas suatu kelompok masyarakat. Dengan begitu, mengalihbahasakan suatu istilah budaya yang erat kaitannya dengan pemahaman khusus suatu kelompok masyarakat


(15)

menjadi tidak mudah. Untuk itulah teknik analisa komponen dapat menjadi alternatif dalam mengalihbahasakan suatu istilah budaya dari suatu bahasa ke bahasa lainnya.


(16)

BAB IV

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang akan dilaksanakan pada penelitian ini dibedakan menjadi tiga bagian penting yaitu sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, dan metode dan teknik analisa data.

4.1 Sumber Data

Sumber data penelitian ini akan diambil dari koran dwi bahasa Bali Travel News. Data yang akan diambil adalah data yang berkaitan dengan kata – kata yang merupakan istilah budaya Bali serta alih bahasanya dalam bahasa Inggris. Adapun data – data tersebut akan diambil selama bulan Februari hingga April 2015. Pemilihan koran dwi bahasa mengingat media massa merupakan sarana komunikasi di masyarakat apalagi jika berkaitan dengan suatu budaya dan mempunyai keterkaitan dengan pariwisata sebagai modal utama dari Bali. Koran dwi bahasa Bali Travel News mempunyai konten budaya yang unik dan spesifik mengingat pemberitaan yang lebih banyak berkaitan dengan hal – hal budaya di Bali.

4.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Metode simak nantinya akan diikuti dengan sejumlah teknik pada pengumpulan data seperti teknik membaca rinci, teknik pencatatan istilah – istilah yang berkaitan dengan budaya serta hasil alih bahasanya, dan teknik klasifikasi dengan mengelompokkan data – data tersebut pada kelompok – kelompok kata dengan kriteria tertentu. Teknik membaca secara rinci merupakan pemilahan data awal yang dilakukan dengan mengekstrak kalimat – kalimat yang mengandung istilah budaya. Naskah – naskah dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dibaca dengan rinci untuk mendapatkan data – data yang dimaksud. Selanjutnya teknik pencatatan dilakukan untuk mencatat kalimat – kalimat yang mengadung istilah budaya baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Selanjutnya teknik klasifikasi merupakan teknik pengelompokan data – data istilah budaya Bali yang telah ditemukan pada naskah berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris pada kelompok – kelompok istilah budaya sesuai teori yang terdapat pada alih bahasa.


(17)

4.3 Metode dan Teknik Analisa Data

Metode analisa data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif nantinya menerapkan teknik analisa data berdasarkan teori alih bahasa yang berkaitan dengan teori alih bahasa. Selanjutnya teknik analisa data selanjutnya adalah dengan menerapkan model analisa komponen pada istilah – istilah budaya tersebut. Model – model analisa komponen selanjutnya dideskripsikan secara lebih mendetail pada bagian analisa dan diskusi.


(18)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini membahas mengenai hasil pengumpulan data yang terkait dengan istilah – istilah budaya Bali dalam dua bahasa. Pada bagian pertama membahas mengenai hasil – hasil klasifikasi istilah budaya Bali dalam dua bahasa yaitu bahasa Bali dan bahasa Inggris. Secara umum, hasil klasifikasi istilah budaya Bali yang ditemukan pada sumber data adalah istilah – istilah budaya Bali yang berhubungan dengan tempat, alat atau kelengkapan upacara, konsep, dan kegiatan yang berhubungan dengan istilah budaya Bali. Sedangkan bagian kedua membahas mengenai hasil alih bahasa istilah – istilah budaya Bali. Dalam pembahasan mengenai hasil alih bahasa tersebut digunakan teknik analisa komponen yaitu membandingkan fitur – fitur semantis istilah budaya pada bahasa sumber (BSu) yaitu bahasa Bali dan bahasa sasaran (BSa) yaitu bahasa Inggris.

5.1 Klasifikasi Istilah dan Alih Bahasa Istilah Budaya

Bagian ini secara umum membahas klasifikasi istilah budaya Bali yang terdapat di media cetak. Selain membahas mengenai klasifikasinya, bagian ini juga memaparkan secara deskriptif hasil alih bahasa istilah budaya tersebut dalam BSa yaitu bahasa Inggris. Dengan adanya perbandingan antara istilah budaya Bali pada BSu dan hasil alih bahasanya pada BSa, maka dapat dilihat secara deskriptif teknik yang digunakan oleh pengalih bahasa. Adapun istilah – istilah budaya Bali yang dibahas pada bagian ini adalah istilah budaya yang berkaitan dengan tempat suci, istilah budaya yang berkaitan dengan alat atau kelengkapan upacara agama, dan istilah budaya yang berkaitan dengan upacara agama. Masing – masing bagian dibahas secara lebih lengkap di bawah ini.

5.1.1 Istilah Budaya Berkaitan Tempat Suci

Bagian pertama ini membahas mengenai istilah budaya Bali yang berkaitan dengan tempat suci pada budaya Bali. Dari data yang diperoleh terdapat istilah – istilah budaya Bali yang berkaitan dengan tempat seperti pelangkiran, sanggah atau merajan,

Kahayangan Tiga, dan pura. Masing – masing data tersebut ditampilkan pada data seperti di bawah ini.


(19)

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa) Di setiap rumah ada tempat pemujaan

disebut pelangkiran, di setiap pekarangan rumah ada tempat pemujaan yang disebut sanggah atau merajan, tiap balai banjar (tempat pertemuan) dan lingkungan Desa/Pekeraman ada pura (pura Ratu Penyarikan dan kahayangan tiga).

(data 1)

Inside every home, there are places for worship known as “pelangkiran” or a half open box made of wood; in house yard there are holy places called “sanggah” or “merajan” or family temples; in every Banjar Pavilion (meeting place) and “Desa Adat/Pekeraman” area there are temples named “Pura Ratu Penyarikan and triple “Kahayangan Tiga” temples.

Data 1 di atas berisikan sejumlah istilah budaya Bali seperti pelangkiran,

sanggah atau merajan, pura, dan Kahayangan Tiga. Jika melihat pada konteks kalimat dimana istilah – istilah tersebut berada, maka pada bagian akhir yaitu pura Ratu Penyarikan dan Kahayangan Tiga sesungguhnya mengacu pada satu istilah budaya Bali yang umum yaitu pura. Hanya penamaan pada setiap pura yang berbeda – beda. Sehingga jika dipahami secara lebih umum, maka bagian itu seharusnya terdiri dari

pura Ratu Penyarikan dan pura Kahayangan Tiga.

Pada bagian di atas juga dapat dilihat hasil alih bahasa pada bahasa Inggris. Pada masing – masing istilah budaya Bali yang muncul di bahasa sumber (BSu), maka terdapat variasi hasil pada alih bahasa di bahasa sasaran (BSa). Dalam konteks BSa, dapat dilihat jika terjadi kecenderungan mempertahankan istilah – istilah budaya Bali pada BSu. Hal itu dapat dilihat pada masih tetap digunakan istilah – istilah budaya Bali dalam BSu seperti pelangkiran, sanggah atau merajan, pura, dan Kahayangan Tiga.

Namun yang patut dicermati adalah adanya upaya dari pengalih bahasa untuk menambahkan informasi pada masing – masing istilah budaya Bali. Pada istilah

pelangkiran ditambahkan informasi yaitu a half open box made of wood. Sementara pada sanggah atau merajan mendapat tambahan informasi family temples. Sedangkan istilah Kahayangan Tiga ditambahkan informasi menjadi triples Kahayangan Tiga temples. Mengingat masing – masing bahasa mempunyai keunikan dan karakteristik masing – masing maka penambahan informasi menjadi hal penting dalam alih bahasa istilah budaya. Larson (1998) mengatakan bahwa dalam penambahan informasi yang biasanya dilakukan adalah deskripsi secara bentuk maupun fungsi dari satu istilah atau penggantian secara budaya. Penggantian secara budaya biasanya dihubungkan adanya istilah BSa yang hampir serupa pada istilah budaya di BSu.


(20)

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa) Tuhan Yang Mahaesa itulah

sesungguhnya yang dipuja oleh umat Hindu, melalui jutaan sarana/tempat pemujaan – apakah itu pura, mrajan, sanggah, plangkiran, dan sejenisnya.

(data 2)

Hindu adherents just really pray to God Almighty via millions of holy media such as the temple, the noble family temple, the commoners’ family temple, room holy open box of plangkiran, and the likes.

Pada data 2 di atas terdapat sejumlah istilah budaya Bali yang berkaitan dengan tempat pada bahasa sumber (BSu). Istilah – istilah budaya Bali tersebut antara lain pura,

mrajan, sanggah, dan plangkiran. Pada bahasa sasaran (BSa) istilah – istilah budaya Bali tersebut justru lebih banyak dialihbahasakan dengan penyesuaian pada BSa. Dari keempat istilah budaya Bali yang muncul hanya istilah plangkiran yang masih tetap dipertahankan di BSa. Istilah budaya plangkiran dialihbahasakan menjadi room holy open box of plangkiran. Sedangkan ketiga istilah budaya lainnya dialihbahasakan dengan menyesuaikan pada pemahaman bahasa Inggris.

Hal itu dapat dilihat pada istilah budaya pura yang dialihbahasakan pada BSa menjadi the temple. Alih bahasa istilah budaya pura menjadi temple merupakan bentuk paling umum yang dapat dipahami dalam bahasa lain yaitu bahasa Inggris dan istilah tersebut juga muncul dalam kamus. Sementara itu istilah budaya mrajan

dialihbahasakan menjadi the noble family temple. Istilah mrajan sesungguhnya lebih digunakan secara umum oleh suatu kelompok keluarga yang biasanya merupakan bagian dari kelompok berkasta di Bali atau disebut tri wangsa. Istilah budaya sanggah

dialihbahasakan menjadi the commoners’ family temple. Munculnya hasil alih bahasa seperti itu sepertinya mengacu pada istilah sanggah yang digunakan secara umum oleh orang Bali untuk mengacu pada tempat menempatkan sesajen atau memuja Tuhan maupun leluhur.

5.1.2 Istilah Budaya Berkaitan Alat atau Kelengkapan Upacara

Bagian selanjutnya adalah bagian yang membahas istilah – istilah budaya Bali yang berkaitan dengan alat atau kelengkapan upacara terutamanya upacara keagamaan di Bali. Di bagian bawah dijabarkan data – data kalimat baik dalam bahasa sumber (BSu) dan bahasa sasaran (BSa) yang berisikan istilah budaya Bali. Istilah – istilah tersebut antara lain kitab, sloka, lontar, banten, rohaniawan, dan uang kepeng.


(21)

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa) Ke-3 manifestasi Tuhan itu disebut tri

murti. Hal ini diuraikan secara tuntas dalam kitab Bhuwana Kosa (III.76). (data 3)

The triple manifestatations of God invite Tri Murti as the name for Him. The Holy Book of Bhuwana Kosa (III.76) completely utters the conception in detail.

Data istilah budaya Bali pada data 3 adalah kitab Bhuwana Kosa. Yang menjadi perhatian pada data itu adalah penggunaan kata kitab, sedangkan Bhuwana Kosa lebih mengacu pada penamaan yang tentunya sulit dicari padanannya pada bahasa lain. Istilah budaya Bali kitab pada bahasa sumber (BSu) dialihbahasakan menjadi the Holy Book

pada bahasa sasaran (BSa). Secara umum, pemahaman mengenai kitab dalam budaya Bali sesungguhnya adalah panduan – panduan atau ajaran yang terkait dengan agama Hindu. Sedangkan pada BSa yang menjadi penekanan adalah istilah the Holy Book yang umumnya mengacu pada ajaran agama Kristen.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)

Ada yang menafsirkan bahwa sloka ini seolah-olah memberi isyarat tidak perlu menyembah bhuta, dewa pitara atau leluhur. Cukup hanya menyembah Tuhan.

(data 4)

Some also describe that this sloka (holy verse) is just like giving a sign that it is not proper to adore Bhuta, Dewa Pitara, or ancestor, just adore God.

Selanjutnya, data 4 berisikan istilah budaya Bali sloka. Secara umum, pemahaman mengenai istilah budaya sloka adalah bait – bait yang menggunakan bahasa Sansekerta. Bait – bait yang berisikan tentang berbagai ajaran terutamanya tentang keagamaan terdiri dari dua baris, dengan setiap lariknya berisi 16 suku kata. Dengan pemahaman tersebut, dapat dimengerti jika pengalih bahasa pada proses alih bahasa istilah budaya sloka menjadi sloka (holy verse) pada BSa. Peminjaman istilah budaya tetap dilakukan mengingat tidak ada pemaknaan yang serupa pada BSa. Sehingga untuk bisa mengadaptasikan pada pemahaman pembaca BSa, pengalih bahasa mengupayakan penjelasan. Penjelasan tersebut berupa frasa holy verse yang mana penjelasan secara umum tentang verse berhubungan dengan puisi.

Hanya untuk membedakan dengan puisi – puisi yang umum, maka pada alih bahasa istilah sloka diberikan tambahan penjelas berupa kata holy. Sehingga pada alih bahasa BSa menjadi holy verse. Dengan pilihan alih bahasa itu maka dapat dipahami bahwa bait – bait puisi yang digunakan dan dibacakan pada sloka berbeda.


(22)

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa) Mendirikan pura, baik untuk Dewa

Pratistha maupun Atma Pratistha, dibutuhkan tata cara tertentu. Tempat atau lokasi pura, misalnya, harus tepat dan sesuai dengan kriteria yang ada. Kriteria ini secara detail diuraikan dalam Lontar Asta Dewa.

(data 5)

Establishing temples both for Dewa Pratistha and Atma Pratistha, should be done within the context of certain convention. The location of temples should be righteous and in accordance to the existing criteria, written in detail in Asta Dewa lontar ancient manuscript.

Data 5 berisikan istilah budaya Bali yaitu lontar Asta Dewa. Bagian yang menjadi perhatian adalah istilah lontar, sedangkan Asta Dewa mengacu pada penamaan yang berkaitan dengan istilah lontar itu sendiri. Istilah lontar biasanya digunakan oleh orang – orang jaman dulu untuk menuliskan tentang ajaran, cerita, maupun hal – hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keseluruhannya mempunyai hubungan dengan kebiasaan serta tradisi Hindu. Istilah lontar pada bahasa sumber (BSu) dialihbahasakan menjadi ancient manuscript pada bahasa sasaran (BSa).

Dari pengalihbahasaan itu dapat dilihat bahwa penggunaan ancient manuscript

lebih menekankan pada adanya penunjuk waktu. Tulisan – tulisan yang berupa

manuscript mendapat penjelasan waktu dengan ancient yang memberikan gambaran bahwa istilah lontar pada BSu merupakan tulisan – tulisan yang mengacu pada ajaran – ajaran pada jaman dahulu. Hanya, pengalihbahasaan istilah lontar menjadi ancient manuscript sesungguhnya belum memberikan gambaran secara pasti suatu lontar pada pembaca BSa. Penggunaan ancient manuscript lebih pada gambaran umum tentang lontar yang berhubungan dengan hal – hal pada masa lampau.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)


(23)

Hindu sekaligus penggagas pendirian Kahyangan Tiga di setiap Desa Pakraman di Bali pernah memproklamirkan pulau ini sebagai Padma Bhuwana. Ini terungkap dalam Lontar Padma Bhuwana. Maksud dan filosofi Padma Bhuwana itu adalah memproklamirkan Bali ini sebagai simbol alam semesta yang disebut bhuwana dengan wilayah suci stana Hyang Widhi (Tuhan Yang Mahaesa). (data 6)

initiator of Kahyangan Tiga (three sanctuaries) establishment at every Desa Pakraman (customary village) in Bali once proclaimed the island as Padma Bhuvana. It is mentioned in the palm leaf manuscript of Padma Bhuvana. The meaning and philosophy of Padma Bhuvana is to proclaim Bali as symbol of universe that is called bhuvana with its sacred space of Hyang Widhi (the Almighty God).

Pada data 6 istilah budaya Bali juga terdapat penggunaan istilah lontar pada

lontar Padma Bhuwana. Yang menjadikannya berbeda adalah pada hasil alih bahasa di bahasa sasaran (BSa). Pada BSa, istilah yang muncul palm leaf manuscript of Padma Bhuwana. Pada data ini pengalihbahasa mulai melengkapi pengalihan bahasa istilah budaya lontar menjadi penggambaran suatu bentuk (form) seperti yang disampaikan Larson (1998). Dalam suatu istilah yang memiliki keterkaitan budaya yang lekat pada suatu bahasa, maka penggunaan alih bahasa yang paling sesuai adalah menjelaskan dengan penggambaran bentuk atau fungsi dari istilah budaya pada BSu. Hal tersebut menjadi penting untuk dapat dipahami oleh pembaca BSa.

Yang membedakan hasil alih bahasa pada data 5 dan 6 terletak pada penjelasan di BSa. Istilah lontar pada kedua data dialihbahasakan dengan variasi ancient manuscript (data 5) dan palm leaf manuscript (data 6). Masing – masing mempunyai kelebihan dan keuntungan pada hasil alih bahasa. Kelebihan hasil alih bahasa pada data 5 dengan ancient manuscript adalah memberikan penekanan bahwa lontar merupakan bentuk manuskrip pada masa lampau, sementara data 6 dengan palm leaf manuscript

lebih menekankan pada penggambaran bentuk dari istilah lontar. Sedangkan kekurangan pada data 5 tidak memberikan gambaran yang pasti mengenai bentuk suatu lontar dan pada data 6 justru tidak menekankan pada masa atau waktu suatu lontar

digunakan.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)

Dalam tradisi Hindu di Bali setiap ada Within Hindu tradition in Bali, Sanggar


(24)

upacara yadnya umumnya dibuat Sanggah Pesaksi sebagai tempat untuk mempersembahkan sarana banten yang bermakna untuk memohon pesaksian Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Raditya.

(data 7)

Upeksi always exists at every Yadnya rite, as a place to offer the offering elements, to plead for God’s testimony of His manifestation as Dewa Ciwa Raditya.

Data 7 berisikan istilah budaya Bali banten. Istilah banten merupakan suatu bentuk persembahan kepada Tuhan sebagai wujud ucapan terima kasih terhadap segala berkah-Nya. Hal itu biasanya dilakukan oleh umat Hindu tidak hanya di Bali namun juga di luar Bali. Sebagai sebuah bentuk persembahan, banten dapat berwujud berbagai hal mulai dari tingkat yang sederhana sampai lengkap. Yang umum biasanya ditemukan dalam keseharian orang Bali adalah banten yang berhubungan dengan persembahan sehari – hari seperti banten canang dan banten saiban. Sedangkan banten yang lain biasanya berisikan persembahan seperti buah – buahan dan berbagai macam kue.

Dengan pemahaman tersebut maka pengalih bahasa menggunakan istilah

offering elements pada hasil alih bahasa. Pemakaian bentuk offering elements mengacu pada pemahaman mengenai persembahan yang melekat pada istilah banten di bahasa sumber (BSu). Yang masih menimbulkan pertanyaan lebih lanjut adalah pemakaian kata

elements pada hasil alih bahasa. Penggunaan elements dapat mengacu pada penggunaan elemen berupa buah maupun aneka kue pada persembahan orang Bali, namun dapat juga ditafsirkan berbeda.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)

Dari sanggar Pesaksi itu juga rohaniawan pemimpin upacara memohon Tirtha Pengelukatan dan Tirtha Pengurip-urip.

(data 8)

Apart from Sanggah Upesaksi, the priest (ceremonial leader) pleads for tirtha pengelukatan dan pengurip-urip.

Pada data 8 terdapat istilah budaya rohaniawan. Secara umum, istilah

rohaniawan merupakan bagian dari bahasa Indonesia. Istilah rohaniawan umumnya digunakan untuk mengacu kepada seseorang yang bertugas melaksanakan tugas – tugas keagamaan seperti upacara agama atau bimbingan kerohanian. Dalam bahasa sasaran (BSa), istilah rohaniawan dialihbahasakan menjadi the priest (ceremonial leader). Penggunaan the priest pada BSa tentunya bertujuan agar pemahaman pembaca BSa


(25)

terhadap istilah budaya rohaniawan adalah seseorang yang mempunyai tugas dan fungsi seperti the priest.

Hanya yang perlu dipahami adalah penekanan penggunaan the priest lebih pada seseorang yang bertanggung jawab pada kegiatan pemujaan agama. Dengan adanya tambahan informasi dalam kurung (ceremonial leader), pengalih bahasa mempunyai tujuan untuk menjelaskan lebih rinci tugas dari seorang rohaniawan. Padahal, pada istilah budaya rohaniawan di BSu justru mempunyai makna lebih luas dari pemakaian

the priest pada BSa. Hal itu mengingat the priest lebih pada tanggung jawab pada pemujaan suatu agama.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)

Satu sarana lagi yang sangat menentukan adalah uang kepeng yang disebut andel-andel dengan benang putih dan tirtha pemakuhan yang dibuat oleh undagi.

(data 9)

The other distinctive element is pis bolong (a coin with a hole on the middle) called andel-andel with white tread and tirtha pamakuhan yang dibuat oleh undagi (Balinese traditional architect).

Data 9 mempunyai istilah budaya uang kepeng. Pemahaman secara umum istilah

uang kepeng merupakan sejenis uang koin yang digunakan pada masa lalu. Dalam kebiasaan umat Hindu, penggunaan uang kepeng juga dikaitkan dengan alat atau kelengkapan upacara. Yang justru menjadi menarik adalah pengalih bahasa malah menggunakan istilah bahasa Bali pada bahasa sasaran (BSa) dengan pis bolong dan tambahan informasi pada kurung a coin with a hole on the middle. Pemakaian istilah pis bolong pada BSa justru merupakan teknik untuk mempertahankan istilah yang memang digunakan pada BSu.

Untuk memberikan pemahaman lebih jelas terhadap istilah budaya pis bolong

pada pembaca BSa, pengalih bahasa menambah informasi. Penambahan informasi pada kurung a coin with a hole on the middle lebih pada menjelaskan arti kata pis bolong. Penambahan informasi merupakan suatu penggambaran bentuk dari istilah budaya yang ada pada BSu dan dipertahankan pada BSa.

5.1.3 Istilah Budaya Berkaitan Upacara Agama

Bagian ini membahas mengenai istilah budaya yang berkaitan dengan upacara agama dalam kehidupan masyarakat di Bali. Data yang diperoleh hanya satu yaitu 19


(26)

istilah budaya piodalan. Data dalam BSu dan hasil alih bahasanya dalam BSa ditampilkan dalam konteks kalimat seperti di bawah ini.

Bahasa Sumber (BSu) Bahasa Sasaran (BSa)

Pemujaan Tuhan Yang Esa sebagai Dewa Brahma, seharusnya tidak semata-mata hanya dalam wujud upacara piodalan yang serba mewah dengan menghabiskan banyak uang, tenaga, waktu, sarana yang berlebihan.

(data 12)

The worship to the Almighty God as Lord Brahma, should not only be in the form of all-luxury piodalan (anniversarial rite of a temple) that spends too much money, energy, time and ingredients.

Secara umum, pemahaman istilah budaya piodalan sesungguhnya merupakan upacara yang rutin dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali dan Indonesia pada umumnya. Pelaksanaan piodalan biasanya dilaksanakan dengan hitungan enam bulan dalam kalender Bali. Biasanya, kegiatan piodalan dilaksanakan pada tingkat keluarga paling kecil hingga pada kelompok masyarakat tertentu seperti lingkungan desa, perkantoran, dan lainnya. Selain itu, ada juga piodalan yang dilaksanakan hanya setahun sekali, sepuluh tahun, dan bahkan 100 tahun sekali. Pelaksanaan piodalan seperti itu biasanya berkaitan dengan pura – pura tertentu di Bali yang memang sejak dahulu telah memiliki tradisi pelaksanaan piodalan pada hitungan waktu tertentu.

Pada hasil alih bahasa, istilah budaya piodalan tetap dipertahankan namun dengan tambahan deskripsi makna dari istilah yang dimaksud. Untuk itu pengalih bahasa menambahkan informasi anniversarial rite of a temple. Dalam hal ini, pemahaman pengalih bahasa adalah adanya kegiatan tahunan yang dikaitkan dengan sebuah pura. Hal itu tercermin dari pilihan kata anniversarial rite. Padahal, secara umum pemahaman istilah piodalan dalam masyarakat Bali adalah pelaksanaan upacara agama di pura – pura dalam kurun waktu enam bulan kalender Bali. Namun, dengan mempertimbangkan budaya pembaca pada BSa dapat dilihat apabila peringatan suatu peristiwa dilaksanakan setiap tahun sekali. Sehingga untuk lebih mendekatkan pemahaman pembaca BSa maka yang muncul adalah pemahaman peringatan setiap tahunnya.

5.2 Analisa Komponen Istilah Budaya

Bagian ini membahas analisa komponen yang terdapat pada istilah budaya di BSu dan hasil alih bahasanya di BSa. Analisa komponen memberikan gambaran makna


(27)

– makna yang terdapat pada BSu dan memastikan apakah dalam alih bahasa di BSa juga mempunyai makna yang serupa. Kesamaan dan perbedaan tentunya ada mengingat tidak ada satu pun bahasa yang sama, namun setidaknya makna yang dimiliki keduanya hampir serupa.

Istilah budaya pelangkiran dialihbahasakan menjadi dua alternatif pada BSa yaitu pelangkiran or a half open box made of wood serta room holy open box of plangkiran. Setidaknya dari dua hasil alih bahasa tersebut, istilah budaya pelangkiran

masih digunakan. Untuk dapat memahami makna istilah budaya tersebut, pengalih bahasa mengupayakan deskripsi terhadap istilah budaya pelangkiran. Dalam hal ini deskripsi yang dimunculkan adalah deskripsi bentuk.

pelangkiran pelangkiran” or a half open box made of wood room holy open box of plangkiran

Jika memperhatikan hal tersebut di atas, komponen yang dimiliki istilah budaya

pelangkiran sesungguhnya ada beberapa seperti bahan, bentuk, fungsi, dan penempatannya. Secara umum, istilah budaya pelangkiran merupakan suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk menempatkan persembahan atau sesajen, terbuat dari kayu dengan ornamen cat – cat tertentu, dan biasanya ditempatkan di kamar – kamar di rumah, ruang perkantoran, maupun lokasi yang biasa digunakan beraktivitas. Jika diperhatikan secara umum dalam analisa komponennya maka diperoleh gambaran sebagai berikut;

Pelangkiran A half open box made of wood / room holy open box Berbentuk kotak yang

terbuka salah satu sisinya

+ +

Terbuat dari kayu + +

Memiliki ornamen tertentu

+

-Di tempatkan di kamar rumah, ruang kantor, lokasi bekerja

+ +/-

Untuk menempatkan sesajen/banten

+

-Dari bagian komponen yang ada, hasil alih bahasa istilah budaya pelangkiran

yang menjadi a half open box made of wood dan room holy open box mempunyai makna yang berbeda pada dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah lokasi atau tempat 21


(28)

diletakkannya pelangkiran serta fungsi dari pelangkiran itu sendiri. Meskipun tetap mempertahankan istilah budaya dari BSu yaitu pelangkiran, namun deskripsi alih bahasa yang hanya menjelaskan bentuk saja masih belum memadai. Dalam hal ini, deskripsi fungsi perlu ditambahkan mengingat pada alih bahasa room holy open box

sesungguhnya sudah memunculkan kata holy yang mempunyai keterkaitan dengan sesajen atau persembahan dalam masyarakat Bali.

Pada bagian analisa komponen selanjutnya berkaitan dengan istilah budaya

sanggah atau merajan. Bagi masyarakat Bali, istilah sanggah atau merajan merupakan tempat suci bagi keluarga untuk bersembahyang atau mempersembahkan sesajen. Istilah

sanggah biasanya dihubungkan dengan tempat suci bagi keluarga – keluarga Hindu secara umum dan istilah merajan biasanya dikaitkan dengan tempat suci bagi keluarga dan kerabat dalam hubungan yang lebih luas.

sanggah atau

merajan

sanggah” or “merajan” or family temples the commoners’ family temple

Dalam model alih bahasa di atas dapat dilihat adanya perbedaan. Pada bagian pertama hasil alih bahasa, pengalih bahasa tetap mempertahankan istilah budaya

sanggah dan merajan serta dilengkapi dengan frasa family temples. Pada bagian kedua, pengalih bahasa justru tidak menggunakan pinjaman kata istilah budaya dari BSu dan menggunakan hasil alih bahasa the commoners’ family temple. Pemahaman untuk hasil alih bahasa kedua menjadi sesuatu yang patut dicermati pada analisa komponen berikut ini;

Sanggah Merajan

Family temples

The commoners’ family temple Tempat untuk

sembahyang dan mempersembahkan sesajen

+ +

Milik keluarga dan kerabat

+ +

Keluarga biasa dan tingkatan Tri Wangsa

+

+/-Berdasarkan analisa di atas, persamaan yang dimiliki istilah budaya sanggah dan

merajan serta hasil alih bahasanya family temples dan the commoners’ family temple


(29)

mempersembahkan sesajen. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan alih bahasa temple

yang secara umum dipahami sebagai pura dalam BSu. Sedangkan yang membedakan hanya pada poin masyarakat yang menggunakan istilah sanggah dan merajan tidak hanya dari keluarga biasa di masyarakat Bali, namun juga keluarga dari tiga warna utama di Bali yaitu brahmana, kesatria, dan weisya. Mereka sesungguhnya memahami secara umum tentang istilah merajan dan sanggah. Dengan begitu, penggunaan kata

commoners pada alih bahasa kedua sesungguhnya tidak sesuai. Hal itu mengingat tidak hanya masyarakat biasa yang menggunakan istilah sanggah dan merajan, tetapi juga masyarakat dari tiga tingkatan warna yang memahami istilah tersebut.

Pemahaman istilah pura telah diketahui secara umum. Hal tersebut berkaitan dengan alih bahasa istilah pura yang menjadi temple di BSa. Pada data di bawah dapat diperhatikan jika istilah pura dialihbahasakan menjadi temple. Sedangkan variasi justru terlihat pada bagian pertama yang menyertakan nama atau istilah khusus dari pura. Hornby (2010: 1580) menjelaskan arti kata temple sebagai bangunan untuk pemujaan terhadap Tuhan atau dewa – dewa khususnya pada agama selain agama Kristen.

pura Ratu

Penyarikan dan kahayangan tiga

Pura Ratu Penyarikan and triple “Kahayangan Tiga” temples

Pura the temple

Jika diperhatikan secara khusus, pengertian istilah pura pada BSu dan penggunaan temple pada alih bahasa dalam BSa mempunyai makna yang serupa. Untuk memperhatikan secara mendetail makna yang dimiliki istilah pura dan hasil alih bahasa

temple, maka dapat dilihat pada analisa komponen berikut ini.

Pura Ratu Penyarikan dan Kahayangan Tiga

Pura

Pura Ratu Penyarikan and triple “Kahayangan Tiga”

temples The temple

Bangunan suci +

+/-Pemujaan pada Tuhan dan dewa – dewa

+ +

Digunakan oleh agama Hindu

+ +

Mempersembahkan sesajen

+


(30)

Yang paling mendasar dari pemaknaan istilah budaya pura adalah tempat suci. Tempat suci ini merupakan tempat atau bangunan yang digunakan untuk memuja Tuhan dan dewa – dewa. Selain itu juga berfungsi untuk mempersembahkan sesajen ketika dilaksanakannya suatu kegiatan upacara keagamaan. Pemaknaan paling sederhana yaitu tempat atau bangunan suci justru tidak muncul secara tersurat pada BSa.

Sementara itu istilah kitab memiliki pemahaman umum sebagai wahyu Tuhan yang dibukukan. Dalam pemahaman umum, istilah kitab biasanya dikaitkan dengan ajaran – ajaran Tuhan dan biasanya hanya ada satu kitab pada setiap agama. Sehingga penggunaan istilah kitab dalam budaya Bali agak sedikit berbeda. Meskipun secara umum terdapat pemahaman yang hampir sama, namun ada bagian khusus yang tentunya berbeda.

kitab Bhuwana Kosa The Holy Book of Bhuwana Kosa

Penggunaan istilah kitab pada data di atas merupakan hal yang berhubungan dengan ajaran keagamaan bagi masyarakat Bali. Dalam hal ini terdapat persamaan dan perbedaan makna pada penggunaan istilah budaya kitab. Penggunaan istilah kitab secara mendetail dapat dilihat pada analisa komponen di bawah ini.

Kitab Bhuwana Kosa The Holy Book of Bhuwana Kosa Ajaran Tuhan yang

ditulis

+ +

Berhubungan dengan agama

+ +

Berkaitan dengan berbagai ajaran dalam agama Hindu

- +

Jika diperhatikan, pemahaman umum tentang istilah kitab adalah ajaran Tuhan yang dibukukan dan biasanya dalam setiap agama terdapat kitab yang digunakan sebagai acuan. Contohnya, dalam agama Hindu terdapat kitab Weda, dalam agama Kristen ada kitab Injil, serta kitab Tri Pitaka dalam agama Budha. Namun, secara mengkhusus dalam budaya Bali khususnya agama Hindu juga terdapat kitab – kitab lain yang digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan maupun ajaran keagamaan. Seperti pada data di atas yang memunculkan istilah kitab dengan penamaan


(31)

Hornby (2010: 1698) menjelaskan bahwa istilah verse sebagai tulisan yang disusun sedemikian rupa dalam baris – baris yang seringkali mempunyai rima – rima reguler serta pola – pola tertentu. Untuk pemahaman tersebut maka istilah budaya sloka

maupun istilah verse dalam bahasa Inggris mempunyai persamaan dan perbedaan.

sloka sloka (holy verse)

Dalam hal ini istilah budaya sloka mempunyai makna yang lebih lengkap mengingat keterkaitannya dengan budaya Bali. Sedangkan istilah verse dalam BSa sesungguhnya mempunyai padanan yang hampir sama pada BSu yaitu puisi. Tentunya hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk melihat kesepadanan. Apalagi dalam dua bahasa yang berbeda terdapat dua istilah yang juga berbeda meskipun secara pemaknaan hampir mirip. Secara mendetail, analisa komponen dari dua istilah sloka dan verse dapat dilihat di bawah ini.

Sloka Holy Verse

Berbentuk bait dengan baris dan rima yang teratur

+ +

Memiliki ajaran keagamaan dan kehidupan

+

+/-Digunakan oleh umat Hindu

+

-Dari pemaparan makna secara mendetail dapat dilihat adanya perbedaan pada makna terkait ajaran agama dan kehidupan serta digunakan oleh umat Hindu. Keterkaitan tersebut tentunya menjadi pembeda yang sangat jelas. Apalagi jika dihubungkan dengan istilah sloka yang berhubungan dengan budaya Bali. Sedangkan pada hasil alih bahasa dengan holy verse hampir mempunyai makna yang serupa. Terutama dengan adanya kata penjelas holy untuk membantu memberikan ciri khusus pada kata verse. Hal tersebut memunculkan adanya makna baru yang tidak hanya dikaitkan dengan istilah poem pada BSa.

Selain istilah kitab dan sloka, dalam budaya Bali juga dikenal adanya lontar. Pengertian umum istilah lontar merupakan bahan atau materi yang terbuat dari pohon lontar dan biasanya digunakan untuk mencatatkan berbagai hal. Pada orang – orang terdahulu, lontar biasanya digunakan sebagai media tulis untuk bercerita tentang 25


(32)

pengobatan, pengelolaan lingkungan, keluarga, dan berbagai hal berupa baik – buruk pada kegiatan – kegiatan tertentu. Untuk itu istilah lontar lebih sangat umum dikenal dibandingkan kitab dan sloka yang mengkhusus berisikan materi keagamaan.

Lontar Asta Dewa. Asta Dewa lontar ancient manuscript. Lontar Padma Bhuwana palm leaf manuscript of Padma Bhuvana

Keberadaan lontar pun beragam. Pada data di atas, istilah umum lontar biasanya diikutkan dengan penamaan seperti Asta Dewa dan Padma Bhuwana. Penamaan itu terkait dengan penjelasan – penjelasan yang terdapat pada lontar yang dimaksud. Secara mendetail analisa komponen istilah lontar dan hasil alih bahasa pada BSa dapat dilihat berikut ini.

Lontar Ancient manuscript

Palm leaf manuscript

Berbahan daun + +

Berisikan berbagai tulisan atau gambar

+ +

Umumnya ditulis sejak jaman dulu

+ +

Ditulis dengan cara khusus

+

-Umumnya

menggunakan bahasa Bali

+

-Dari hasil alih bahasa ancient manuscript dan palm leaf manuscript hanya mengacu pada tiga makna utama. Makna – makna tersebut adalah bahan dari daun, adanya tulisan atau gambar, dan ditulis sejak jaman dulu. Sedangkan yang juga menjadi penciri pada lontar – lontar yang ada di Bali adalah tata cara penulisan dan penggunaan bahasa Bali saat menuliskan informasi tertentu. Penulisan menggunakan cara khusus tentunya berkaitan dengan keterampilan menulis pada daun lontar yang memang sudah siap untuk ditulis. Sedangkan penggunaan bahasa Bali terutama tulisan atau aksara Bali menjadi hal yang paling dominan dalam menuliskan informasi di daun lontar.

Istilah budaya berikutnya adalah istilah banten. Secara umum, pemaknaan terhadap banten adalah sarana persembahan. Dalam agama Hindu biasanya dikaitkan


(33)

dengan upacara dan persembahan yang diberikan dapat berupa persembahan yang sederhana hingga yang lengkap. Persembahan dapat berupa sarana nasi dan garam saja hingga pada perpaduan buah – buahan dan jajanan.

banten offering elements

Hornby (2010: 1052) memaparkan offering sebagai sesuatu yang diberikan atau dipersembahkan kepada dewa – dewa sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Dengan pemaparan tersebut dapat dilihat jika makna offering pada BSa dan istilah banten pada BSu hampir mempunyai persamaan. Sehingga analisa komponen untuk melihat lebih mendetail makna kedua istilah tersebut dijelaskan di bawah ini.

Banten Offering elements

Persembahan kepada Tuhan atau Dewa

+ +

Persembahan sebagai bagian dari kegiatan keagamaan

+ +

Persembahan berupa hasil bumi (buah, jajanan, nasi)

+

+/-Dalam budaya Bali, istilah banten biasanya dipahami sebagai persembahan kepada Tuhan atau Dewa yang berupa hasil bumi atau hasil olahan manusia. Untuk itu, sangat biasa mempersembahkan hal – hal seperti buah – buahan, jajanan, dan nasi maupun daging olahan. Hal ini yang barangkali sedikit berbeda dengan offering pada BSa. Pada BSa juga terdapat penambahan informasi pelengkap offering elements yang tentunya memiliki kekhususan makna bagi seorang pengalih bahasa. Namun, pada bagian ini masih belum jelas makna elements yang muncul pada BSa.

Salah satu bagian penting dari alat atau kelengkapan upacara pada budaya Bali adalah rohaniawan. Dalam budaya Bali biasanya dikenal dengan istilah pemangku atau

pedanda. Serupa dengan data yang ada, pengalih bahasa biasanya mengalihbahasakan

rohaniawan dalam budaya Bali tersebut dengan the priest.

rohaniawan the priest (ceremonial leader)


(34)

Hornby (2010: 1196) menjelaskan istilah priest biasanya dikaitkan dengan seseorang yang mempunyai kualifikasi untuk melaksanakan tugas – tugas keagamaan dalam agama Katolik Roma, Anglikan, dan Gereja Ortodok. Tentu ada poin persamaan dan perbedaan pada kedua istilah tersebut. Secara mendetail, analisa komponen menunjukkan persamaan dan perbedaan masing – masing istilah seperti di bawah ini.

Rohaniawan The priest

Pemimpin kegiatan keagamaan

+ +

Memenuhi kualifikasi melaksanakan tugas keagamaan

+ +

Memahami ajaran – ajaran agama

+ +

Secara keseluruhan, makna – makna yang dimiliki oleh rohaniawan dan the priest sama. Yang membedakan hanyalah pada kegiatan keagamaan yang mereka pimpin. Pada rohaniawan seperti pemangku atau pedanda maka yang bersangkutan memimpin kegiatan keagamaan dalam agama Hindu. Sedangkan the priest biasanya berkaitan dengan kegiatan keagamaan Kristen. Namun, secara keseluruhan istilah

rohaniawan dan the priest menjadi kesepadanan yang paling sesuai dan paling dipahami baik dalam BSu dan BSa.

Istilah budaya uang kepeng begitu dikenal dalam budaya Bali. Istilah uang kepeng biasanya umum dikenal dengan istilah pis bolong. Penamaan pis bolong

mengingat adanya lubang pada uang koin kuno yang digunakan sebagai alat atau kelengkapan upacara dalam budaya Bali.

uang kepeng pis bolong (a coin with a hole on the middle)

Yang menjadi menarik pada data di atas adalah penggunaan istilah uang kepeng

pada BSu dan peminjaman istilah Bali pis bolong pada BSa. Keduanya sesungguhnya sama, namun istilah uang kepeng biasanya dikenal lebih luas oleh masyarakat Indonesia. Sedangkan penamaan istilah dengan pis bolong lebih mengkhusus pada bahasa Bali. Istilah uang kepeng atau pis bolong tentunya mempunyai makna yang


(35)

khusus pada budaya Bali dan hal tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dialihbahasakan ke dalam bahasa lain.

Uang kepeng A coin with a hole on the middle

Berupa uang koin + +

Mempunyai lubang di tengah

+ +

Terbuat dari bahan tembaga

+

+/-Sebagai pelengkap sarana upacara keagamaan

+

-Perbedaannya terletak pada bahan dan fungsi dari uang kepeng dan coin. Bahan dari uang kepeng biasanya terbuat dari tembaga dan mineral sejenisnya. Sedangkan Hornby (2010: 289) menjelaskan coin biasanya dibuat dari bahan metal atau mineral lain. Yang paling terlihat membedakan tentunya dalam hal fungsi. Pada budaya Bali istilah uang kepeng difungsikan sebagai pelengkap pada sarana upacara keagamaan. Hal itu tentunya tidak muncul pada BSu mengingat coin umumnya digunakan sebagai alat pembayaran. Sedangkan istilah a coin with a hole on the middle menjadi hal yang asing pada pembaca BSa karena mereka tentunya tidak pernah menggunakan koin dengan lubang di tengah dalam bertransaksi.

Istilah budaya piodalan dikaitkan dengan kegiatan keagamaan dalam agama Hindu. Biasanya dihubungkan dengan upacara pada tempat – tempat suci baik di tingkat keluarga maupun tempat suci dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dalam hal ini

piodalan umumnya dilaksanakan pada waktu – waktu tertentu.

piodalan piodalan(anniversarial rite of a temple)

Secara konsep, waktu pelaksanaan piodalan tidak berkaitan dengan pemahaman umum seperti ulang tahun yang biasanya dilaksanakan setahun sekali. Meskipun ada, namun pelaksanaan piodalan setahun sekali justru sangat jarang ditemui. Sehingga jika melihat analisa komponen antara istilah budaya piodalan dan anniversarial rite of a temple dapat dilihat lebih rinci di bawah ini.


(1)

pengalih bahasa dalam menentukan kata apa yang sesuai dalam BSa yang mendekati kesesuaian dengan makna kata dari BSu.

Pemaknaan kata melalui proses analisa komponen memberikan jalan keluar dalam mengatasi permasalahan alih bahasa kata-kata yang mengandung istilah budaya. Saat ini alih bahasa yang sedang marak dilakukan adalah alih bahasa budaya. Alih bahasa budaya merupakan proses pengalihan kata-kata yang mengandung makna budaya dalam BSu ke dalam BSa yang tentunya diharapkan memiliki kesepadanan sehingga pembaca pada BSa akan memiliki pemahaman yang sama dengan pembaca BSu. Hanya, upaya tersebut justru terhadang persoalan cara atau teknik yang digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam alih bahasa budaya. Hal ini mengingat pemahaman dua bahasa bukan merupakan satu-satunya keahlian yang diperlukan dalam mengalihbahasakan, tetapi juga memerlukan pemahaman mengenai dua budaya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka diperoleh perumusan permasalahan yang terkait dengan proses penggunaan metode analisa komponen dalam alih bahasa istilah budaya. Permasalahan tersebut dibedakan menjadi dua. Permasalahan pertama lebih menekankan pada tipe – tipe istilah budaya Bali apa saja yang terdapat pada naskah berbahasa Indonesia dan bagaimana istilah – istilah tersebut dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris? Dalam hal ini yang tentunya dimunculkan adalah tipe – tipe istilah budaya Bali yang muncul pada naskah berbahasa Indonesia. Sedangkan permasalahan kedua lebih memfokuskan pada bagaimanakah komponensial analisis dapat digunakan sebagai teknik dalam alih bahasa istilah – istilah budaya Bali? Teknik komponensial analisis menjadi salah satu teknik yang dimungkinkan untuk dapat mendeskripsikan perbedaan makna yang dibawa oleh suatu istilah budaya dari suatu bahasa ke dalam bahasa lainnya.

Pemahaman tentang mempertahankan makna juga dikemukakan oleh Nida dan Taber (1982: 12). Mereka menegaskan makna merupakan hal pertama yang harus ditemukan kesepadanannya yang paling dekat dari BSu ke BSa. Selain makna, hal penting lainnya yang patut menjadi perhatian dalam proses alih bahasa adalah gaya. Dalam kaitan dengan dua pemahaman mengenai alih bahasa maka dapat dikatakan apabila alih bahasa mengandung pemahaman tentang makna, ciri-ciri linguistik, pola-pola kedua bahasa, dan terakhir adalah budaya. Masing-masing faktor tersebut berkaitan satu dengan lainnya pada kegiatan alih bahasa sehingga pada akhirnya akan diperoleh hasil alih bahasa yang berterima dalam BSa.

Dalam kaitan dengan budaya, seorang pengalih bahasa mendapat tantangan yang sangat berat untuk dapat mengalihbahasakan teks-teks yang mengandung kata-kata bermuatan budaya. Steiner (dalam Choliludin, 2005: 5) mengatakan bahwa alih bahasa merupakan proses regenerasi sebuah teks yang didasarkan pada faktor-faktor tertentu seperti faktor situasional, register, perubahan klasik bahasa, dan terakhir adalah konteks budaya. Teks-teks bermuatan kata-kata khusus yang mengacu pada budaya tertentu akan sulit menemukan kesepadanan paling dekat dengan BSa. Hal tersebut mengingat tidak ada satu pun bahasa di dunia yang benar-benar sama, namun mereka memiliki kemiripan dalam penyebutan suatu konsep benda. Kondisi seperti itu memaksa seorang pengalih bahasa berkreativitas mencari cara, prosedur, atau metode sehingga alih bahasa kata-kata seperti itu dapat dilakukan.

Analisa komponen (componential analysis) merupakan salah satu upaya untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam sebuah kata. Larson (1998: 90) mengungkapkan cara analisa komponen digunakan untuk menguraikan sistem kekerabatan dimana nantinya makna yang terkandung dalam sistem kekerabatan digambarkan melalui tabel. Tabel tersebut akan berisikan parameter-parameter makna yang dikandung oleh sebuah kata dalam BSu dan nantinya juga menguraikan parameter makna dalam BSa. Dalam prosesnya, analisa komponen dapat memberikan gambaran pada kesamaan dan perbedaan makna sebuah kata dalam BSu dan BSa.

Penggunaan cara analisa komponen dalam penguraian makna sistem kekerabatan juga diungkapkan Nida (1975: 32). Nida menjabarkan makna-makna dari istilah kekerabatan yang juga mengidentifikasikan hubungan darah dapat dilakukan dengan cara analisa komponen. Secara rinci dia menguraikan proses analisa komponen yang melibatkan istilah ayah (father) dan ibu (mother). Komponen yang digunakan untuk dapat membedakan keduanya adalah jenis kelamin (sex), generasi (generation) dan hubungan kekerabatan (lineality). Dengan tiga


(2)

komponen makna tersebut maka diperoleh gambaran perbedaan mengenai istilah ayah dan ibu dimana keduanya berbeda dari faktor jenis kelamin. Sedangkan untuk komponen generasi dan hubungan kekerabatan maka keduanya mempunyai kesamaan.

Meski dapat digunakan secara optimal namun metode analisa komponen tidak selalu hanya bisa digunakan pada analisa hubungan kekerabatan. Larson (1998: 90) menambahkan bahwa bidang-bidang lain selain kekerabatan memungkinkan untuk menggunakan analisa komponen. Pasalnya, analisa komponen dalam proses alih bahasa merupakan suatu pembanding. Analisa komponen dalam alih bahasa menurut Newmark (1988: 114) menegaskan perbedaan analisa komponen dalam bidang alih bahasa dan linguistik. Analisa komponen dalam alih bahasa bertujuan untuk membandingkan sebuah kata dalam BSu dan BSa, sementara analisa komponen dalam linguistik bertujuan untuk menganalisa atau menguraikan sejumlah ide dalam sebuah kata menjadi komponen ide-ide yang memungkinkan atau tidak bersifat umum atau universal.

2. METODELOGI PENELITIAN

Sumber data penelitian ini akan diambil dari koran dwi bahasa Bali Travel News. Data yang akan diambil adalah data yang berkaitan dengan kata – kata yang merupakan istilah budaya Bali serta alih bahasanya dalam bahasa Inggris. Pemilihan koran dwi bahasa mengingat media massa merupakan sarana komunikasi di masyarakat apalagi jika berkaitan dengan suatu budaya dan mempunyai keterkaitan dengan pariwisata sebagai modal utama dari Bali. Koran dwi bahasa Bali Travel News mempunyai konten budaya yang unik dan spesifik mengingat pemberitaan yang lebih banyak berkaitan dengan hal – hal budaya di Bali.

Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode simak. Metode simak nantinya akan diikuti dengan sejumlah teknik pada pengumpulan data seperti teknik membaca rinci, teknik pencatatan istilah – istilah yang berkaitan dengan budaya serta hasil alih bahasanya, dan teknik klasifikasi dengan mengelompokkan data – data tersebut pada kelompok – kelompok kata dengan kriteria tertentu.

Metode analisa data yang akan digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif nantinya menerapkan teknik analisa data berdasarkan teori alih bahasa yang berkaitan dengan teori alih bahasa. Selanjutnya teknik analisa data selanjutnya adalah dengan menerapkan model analisa komponen pada istilah – istilah budaya tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bagian ini membahas mengenai hasil pengumpulan data yang terkait dengan istilah – istilah budaya Bali dalam dua bahasa. Secara umum, hasil klasifikasi istilah budaya Bali yang ditemukan pada sumber data adalah istilah – istilah budaya Bali yang berhubungan dengan tempat, alat atau kelengkapan upacara, konsep, dan kegiatan yang berhubungan dengan istilah budaya Bali. Dalam pembahasan mengenai hasil alih bahasa tersebut digunakan teknik analisa komponen yaitu membandingkan fitur – fitur semantis istilah budaya pada bahasa sumber (BSu) yaitu bahasa Bali dan bahasa sasaran (BSa) yaitu bahasa Inggris.

Dari data yang diperoleh terdapat istilah – istilah budaya Bali yang berkaitan dengan tempat seperti pelangkiran, sanggah atau merajan, Kahayangan Tiga, dan pura.


(3)

Bahasa Sumber (BSu)

Bahasa Sasaran (BSa)

Di setiap rumah ada tempat pemujaan

disebut pelangkiran, di setiap pekarangan rumah ada tempat pemujaan yang disebut

sanggah atau merajan, tiap balai banjar (tempat pertemuan) dan lingkungan Desa/Pekeraman ada pura (pura Ratu Penyarikan dan kahayangan tiga).

Inside every home, there are places for worship known as “pelangkiran” or a half open box made of wood; in house yard there are holy places called “sanggah” or “merajan” or family temples; in every Banjar Pavilion (meeting place) and “Desa Adat/Pekeraman” area there are temples named “Pura Ratu Penyarikan and

triple “Kahayangan Tiga” temples.

Tuhan Yang Mahaesa itulah sesungguhnya yang dipuja oleh umat Hindu, melalui jutaan sarana/tempat pemujaan – apakah itu pura, mrajan, sanggah, plangkiran, dan sejenisnya.

Hindu adherents just really pray to God Almighty via millions of holy media such as the temple, the noble family temple, the commoners’ family temple, room holy open box of plangkiran, and the likes.

Data di atas berisikan sejumlah istilah budaya Bali seperti pelangkiran, sanggah atau merajan, pura, dan Kahayangan Tiga. Jika melihat pada konteks kalimat dimana istilah – istilah tersebut berada, maka pada bagian akhir yaitu pura Ratu Penyarikan dan Kahayangan Tiga sesungguhnya mengacu pada satu istilah budaya Bali yang umum yaitu pura. Hanya penamaan pada setiap pura yang berbeda – beda. Sehingga jika dipahami secara lebih umum, maka bagian itu seharusnya terdiri dari pura Ratu Penyarikan dan pura Kahayangan Tiga.

Pada bagian di atas juga dapat dilihat hasil alih bahasa pada bahasa Inggris. Pada masing – masing istilah budaya Bali yang muncul di bahasa sumber (BSu), maka terdapat variasi hasil pada alih bahasa di bahasa sasaran (BSa). Dalam konteks BSa, dapat dilihat jika terjadi kecenderungan mempertahankan istilah – istilah budaya Bali pada BSu. Hal itu dapat dilihat pada masih tetap digunakan istilah – istilah budaya Bali dalam BSu seperti pelangkiran, sanggah atau merajan, pura, dan Kahayangan Tiga.

Namun yang patut dicermati adalah adanya upaya dari pengalih bahasa untuk menambahkan informasi pada masing – masing istilah budaya Bali. Pada istilah pelangkiran ditambahkan informasi yaitu a half open box made of wood. Sementara pada sanggah atau merajan mendapat tambahan informasi family temples. Sedangkan istilah Kahayangan Tiga ditambahkan informasi menjadi triples Kahayangan Tiga temples. Mengingat masing – masing bahasa mempunyai keunikan dan karakteristik masing – masing maka penambahan informasi menjadi hal penting dalam alih bahasa istilah budaya. Larson (1998) mengatakan bahwa dalam penambahan informasi yang biasanya dilakukan adalah deskripsi secara bentuk maupun fungsi dari satu istilah atau penggantian secara budaya. Penggantian secara budaya biasanya dihubungkan adanya istilah BSa yang hampir serupa pada istilah budaya di BSu.

Istilah budaya pelangkiran dialihbahasakan menjadi dua alternatif pada BSa yaitu pelangkiran or a half open box made of wood serta room holy open box of plangkiran. Setidaknya dari dua hasil alih bahasa tersebut, istilah budaya pelangkiran masih digunakan. Untuk dapat memahami makna istilah budaya tersebut, pengalih bahasa mengupayakan deskripsi terhadap istilah budaya pelangkiran. Dalam hal ini deskripsi yang dimunculkan adalah deskripsi bentuk.

pelangkiran pelangkiran” or a half open box made of wood room holy open box of plangkiran

Jika memperhatikan hal tersebut di atas, komponen yang dimiliki istilah budaya pelangkiran sesungguhnya ada beberapa seperti bahan, bentuk, fungsi, dan penempatannya. Secara umum, istilah budaya pelangkiran merupakan suatu tempat atau wadah yang digunakan untuk menempatkan persembahan atau sesajen, terbuat dari kayu dengan ornamen cat – cat tertentu, dan biasanya ditempatkan di kamar – kamar di rumah, ruang perkantoran, maupun lokasi yang biasa digunakan beraktivitas. Jika diperhatikan secara umum dalam analisa komponennya maka diperoleh gambaran sebagai berikut;


(4)

Pelangkiran A half open box made of wood / room holy open box

Berbentuk kotak yang terbuka salah satu sisinya

+ +

Terbuat dari kayu + +

Memiliki ornamen tertentu +

-Di tempatkan di kamar rumah, ruang kantor, lokasi bekerja

+ +/-

Untuk menempatkan sesajen/banten

+

-Dari bagian komponen yang ada, hasil alih bahasa istilah budaya pelangkiran yang menjadi a half open box made of wood dan room holy open box mempunyai makna yang berbeda pada dua bagian. Kedua bagian tersebut adalah lokasi atau tempat diletakkannya pelangkiran serta fungsi dari pelangkiran itu sendiri. Meskipun tetap mempertahankan istilah budaya dari BSu yaitu pelangkiran, namun deskripsi alih bahasa yang hanya menjelaskan bentuk saja masih belum memadai. Dalam hal ini, deskripsi fungsi perlu ditambahkan mengingat pada alih bahasa room holy open box sesungguhnya sudah memunculkan kata holy yang mempunyai keterkaitan dengan sesajen atau persembahan dalam masyarakat Bali.

Pada bagian analisa komponen selanjutnya berkaitan dengan istilah budaya sanggah atau merajan. Bagi masyarakat Bali, istilah sanggah atau merajan merupakan tempat suci bagi keluarga untuk bersembahyang atau mempersembahkan sesajen. Istilah sanggah biasanya dihubungkan dengan tempat suci bagi keluarga – keluarga Hindu secara umum dan istilah merajan biasanya dikaitkan dengan tempat suci bagi keluarga dan kerabat dalam hubungan yang lebih luas.

sanggah atau

merajan

sanggah” or “merajan” or family temples the commoners’ family temple

Dalam model alih bahasa di atas dapat dilihat adanya perbedaan. Pada bagian pertama hasil alih bahasa, pengalih bahasa tetap mempertahankan istilah budaya sanggah dan merajan serta dilengkapi dengan frasa family temples. Pada bagian kedua, pengalih bahasa justru tidak menggunakan pinjaman kata istilah budaya dari BSu dan menggunakan hasil alih bahasa the commoners’ family temple. Pemahaman untuk hasil alih bahasa kedua menjadi sesuatu yang patut dicermati pada analisa komponen berikut ini;

Sanggah Merajan

Family temples The commoners’ family temple

Tempat untuk sembahyang dan

mempersembahkan sesajen + +

Milik keluarga dan kerabat + +

Keluarga biasa dan tingkatan Tri Wangsa

+

+/-Berdasarkan analisa di atas, persamaan yang dimiliki istilah budaya sanggah dan merajan serta hasil alih bahasanya family temples dan the commoners’ family temple lebih pada pemahaman mengenai “tempat” untuk melakukan persembahyangan dan mempersembahkan sesajen. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan alih bahasa temple yang secara umum dipahami sebagai pura dalam BSu. Sedangkan yang membedakan hanya pada poin masyarakat yang menggunakan istilah sanggah dan merajan tidak hanya dari keluarga biasa di masyarakat Bali, namun juga keluarga dari tiga warna utama di Bali yaitu brahmana, kesatria, dan weisya. Mereka sesungguhnya memahami secara umum tentang istilah merajan dan sanggah. Dengan begitu, penggunaan kata commoners pada alih bahasa kedua sesungguhnya tidak sesuai. Hal itu


(5)

mengingat tidak hanya masyarakat biasa yang menggunakan istilah sanggah dan merajan, tetapi juga masyarakat dari tiga tingkatan warna yang memahami istilah tersebut.

Pemahaman istilah pura telah diketahui secara umum. Hal tersebut berkaitan dengan alih bahasa istilah pura yang menjadi temple di BSa. Pada data di bawah dapat diperhatikan jika istilah pura dialihbahasakan menjadi temple. Sedangkan variasi justru terlihat pada bagian pertama yang menyertakan nama atau istilah khusus dari pura. Hornby (2010: 1580) menjelaskan arti kata temple sebagai bangunan untuk pemujaan terhadap Tuhan atau dewa – dewa khususnya pada agama selain agama Kristen.

pura Ratu Penyarikan dan kahayangan tiga

Pura Ratu Penyarikan and triple “Kahayangan Tiga” temples

Pura the temple

Jika diperhatikan secara khusus, pengertian istilah pura pada BSu dan penggunaan temple pada alih bahasa dalam BSa mempunyai makna yang serupa. Untuk memperhatikan secara mendetail makna yang dimiliki istilah pura dan hasil alih bahasa temple, maka dapat dilihat pada analisa komponen berikut ini.

Pura Ratu Penyarikan dan Kahayangan Tiga

Pura

Pura Ratu Penyarikan and triple “Kahayangan Tiga”

temples The temple

Bangunan suci +

+/-Pemujaan pada Tuhan dan dewa – dewa

+ +

Digunakan oleh agama Hindu + +

Mempersembahkan sesajen +

-Yang paling mendasar dari pemaknaan istilah budaya pura adalah tempat suci. Tempat suci ini merupakan tempat atau bangunan yang digunakan untuk memuja Tuhan dan dewa – dewa. Selain itu juga berfungsi untuk mempersembahkan sesajen ketika dilaksanakannya suatu kegiatan upacara keagamaan. Pemaknaan paling sederhana yaitu tempat atau bangunan suci justru tidak muncul secara tersurat pada BSa.

4. KESIMPULAN

Analisa komponen sebagai perbandingan makna antara istilah – istilah pada budaya Bali sebagai BSu dan hasil alih bahasa dalam bahasa Inggris pada BSa menunjukkan adanya sejumlah komponen makna yang tidak dimiliki pada hasil alih bahasa dalam BSa. Ketiadaan makna tersebut tentunya berkaitan dengan budaya yang ada pada BSa. Apalagi jika dikaitkan dengan tiadanya satu bahasa yang memiliki kesamaan yang pasti dengan bahasa lainnya.

Yang terpenting dalam analisa komponen, upaya – upaya untuk menemukan kata atau istilah yang hampir sepadan pada BSa menjadi tujuan utama. Hal tersebut tentunya untuk memberikan pemahaman yang sesuai terhadap pembaca BSa sehingga maksud dan pesan yang terdapat pada BSu dapat tersampaikan dengan baik.

Ucapan Terimakasih

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, M.A. selaku ketua program studi Sastra Inggris Universitas Udayana atas dukungan dan motivasinya saat proses menyelesaikan penelitian ini. Selanjutnya penghargaan yang tinggi kami sampaikan kepada Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Budaya yang telah memberikan dukungan kepada peneliti muda di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya. Tidak lupa


(6)

kami menyampaikan penghargaan tertinggi terhadap pihak Universitas Udayana dalam hal ini Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD (KEMD)., selaku rektor Universitas Udayana dan Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., selaku ketua LPPM Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan meneliti kepada dosen – dosen muda melalui skema pemberian dana hibah PNBP (Penghasilan Negara Bukan Pajak) tahun anggaran 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. New York: Longman Inc.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Hornby, A S. 2010. Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Larson, Mildred L. 1998. Meaning-Based Translation, A Guide to Cross-Language

Equivalence. Oxford: University Press of America.

Nida, Eugene A. and Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. The Netherlands: E.J. Brill, Leiden.

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall.

Parthama, I Gusti Ngurah. 2006. “The Translation of Balinese Religious Terms”. (Tesis). Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana, Universitas Udayana.