PENGARUH POLA ASUH ASRAMA DAN METODE TA’ZIRAN TERHADAP PERKEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN SANTRI PONDOK PESANTREN ALI MUTTAQIN PATIHAN WETAN BABADAN PONOROGO TAHUN PELAJARAN 20172018 SKRIPSI

PENGARUH POLA ASUH ASRAMA DAN METODE

  TA’ZIRAN

TERHADAP PERKEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN SANTRI

PONDOK PESANTREN ALI MUTTAQIN PATIHAN WETAN

BABADAN PONOROGO

  

TAHUN PELAJARAN 2017/2018

SKRIPSI

OLEH:

ARFITA AIMMATU ROSYIDAH

  

NIM: 210314113

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PENGARUH POLA ASUH ASRAMA DAN METODE

  TA’ZIRAN

TERHADAP PERKEMBANGAN SIKAP KEAGAMAAN SANTRI

PONDOK PESANTREN ALI MUTTAQIN PATIHAN WETAN

BABADAN PONOROGO

SKRIPSI

  Diajukan Kepada Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

  Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaika Program Sarjana

  Pendidikan Agama Islam

OLEH: ARFITA AIMMATU ROSYIDAH

  NIM: 210314113

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

  

ABSTRAK

Rosyidah, Arfita Aimmatu. 2018.

  Pengaruh Pola Asuh Asrama dan Metode Ta’ziran Terhadap Perkembangan Sikap Keagamaan Santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan wetan Babadan Ponorogo. Skripsi. Jurusan Pendidikan Agama

  Islam Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Kegurun Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing, Dr . Ju‟ Subaidi, M.Ag.

  Kata Kuci: Pola Asuh Asrama, Metode Ta’ziran, dan Perkembangan Sikap Keagamaan.

  Perkembangan sikap keagamaan merupakan perubahan yang kontinyu mengenai kecenderungan seseorang terhadap bagaimana ia mencari fitrahnya tentang keTuhanan dan bagaimana dia beragama. Perkembangan sikap keagamaan seseorang dapat dilihat ketika seseorang semakin lama mengalami Pendidikan Islam ia akan semakin berbuat baik, mengamalkan apa yang ia dapat selama belajarnya. Sedangkan salah satu hal yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang yaitu bagaimana pengasuh menentukan pola asuh yang ia gunakan, selain itu dari hasil observasi di lapangan ditemukan seorang santri masih sangat rendah kedisiplinannya, sehingga pengurus tidak jarang menggunakan metode

  ta’ziran

  untuk menertibkan para anak asuh guna menjadikannya manusia yang memiliki sikap keagamaan yang baik.

  Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui adanya pengaruh pola asuh asrama di Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo. (2) Mengetahui adanya pengaruh Metode

  ta’ziran di Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan

  Ponorogo. (3) Mengetahui Adanya pengaruh pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran terhadap perkembangan sikap keagamaan santri di Pondok Pesantren Ali Muttaqin.

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif regresi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri pondok pesantren Ali Muttaqin Patihan wetan Babadan Ponorogo yang berjumlah 70 santri. Teknik mengambill sampel dengan sampel populasi, yaitu mengggunakan seluruh populasi menjadi sampel. Adapun teknik analisis data yang digunakan yaitu mnggunaka rumus korelasi Product Moment dan regresi berganda.

  Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa: (1) Ada pengaruh sedang antara pola asuh asrama terhadap perkembangan sikap keagamaan santri pondok pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan dengan nilai sebesar 46,17%. (2) Ada pengaruh rendah antara metode

  ta’ziran

  terhadap perkembangan sikap keagamaan santri pondok pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan dengan nilai sebesar 20,89%. (3) ada pegaruh yang sedang antara pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran terhadap perkembangan sikap keagamaan santri pondok pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan dengan nilai sebesar 33,33%.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Inti beragama adalah masalah sikap. Di dalam Islam, sikap beragama itu intinya

  adalah iman. Jadi yang dimaksud beragama pada intinya adalah beriman. Jika membicarakan bagaimana cara mengajarkan agama Islam maka inti pembicaraannya adalah bagaimana menjadikan anak asuh sebagai orang yang beriman. Jadi inti

  1

  pendidikan Islam adalah penanaman iman. Dalam pendidikan Islam harus menggunakan semua aspek yang ada, antara lain akal, jasmani dan juga rohani. Jika membahas tentang keimanan maka keimanan sendiri berada pada aspek rohani. Pembinaan kerohanian itu berada di dalam hati, termasuk keimanan itupun berada dalam hati.

  Islam sangat memperhatikan Pendidikan ruhani. Karena pendidikan rohani adalah jalan yang membuat seseorang mengenal Allah Swt. Jalan yang digariskan Islam ini, adalah ibadah. Ibadah yang bukan sekedar penampilan dalam kehidupan. Tetapi ibadah yang mempunyai makna lebih mendalam, yang memiliki dampak sangat jelas dalam kehidupan dan perilaku seseorang. Karena itu ibadah harus berpijak di atas

1 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

  2

  hubungan yang kuat antara ruh dengan Allah Swt. Sebagaimana ibadah juga harus berpijak di atas prilaku, perbuatan, pemikiran, perasaan seorang hamba. Sehingga semua hal ini mendorong manusia untuk kembali kepada Allah Swt pada setiap waktu. Inilah yang menjadi jaminan bagi seorang muslim dalam mengikat hubungannya kepada Allah. Sehingga semakin ia beribadah dengan baik maka hatinya akan terpatri kepada sang Pencipta yaitu Allah Swt, dan juga ia akan menjadi seseorang yang berhubungan baik pula terhadap manusia lain.

  Perkembangan sikap keagamaan sendiri merupakan perubahan yang kontinyu mengenai kecenderungan seseorang terhadap bagaimana ia mencari fitrahnya tentang keTuhanan dan bagaimana dia beragama. Perkembangan sikap keagamaan seseorang dapat dilihat ketika seseorang semakin lama mengalami pendidikan Islam ia akan semakin berbuat baik, mengamalkan apa yang ia dapat selama belajarnya.

  Seorang pengasuh yang berpendidikan akan mendidik anak asuhnya dengan baik dan berusaha menjadikan anak asuhnya sebagai manusia yang kamil. Kiyai dijadikan figur bagi santri, mereka sering mengadakan komunikasi dengan Kiyai, sedangkan Kiyai merespon semua keluhan santri. Selain itu Kiyai juga selalu memberikan wejangan dan juga memberikan contoh teladan yang baik bagi santri sehingga mengakibatkan para santri mencontoh apa yang Kiyai lakukan. Selain daripada itu pola asuh yang digunakan dapat membantu pendidikan ruhani yang baik dan dapat meningkatkan sikap keagamaan seorang anak. 2 Syaikh Fuhaim Musthafa, Kurikulum Pendidikan Anak Muslim (Surabaya: Pustaka Elba,

  Asrama berusaha menjadi lingkungan yang senantiasa mewujudkan suasana “kehidupan keluarga” di mana rasa kasih sayang dan kehidupan keagamaan dapat diwujudkan secara wajar. Mungkin membentuk suasana seperti ini cukup sulit atau bahkan hampir tidak mungkin secara sempurna, namun upaya ke arah itu hendaknya diusahakan. Untuk itulah, sering kita mendapatkan bangunan asrama, tahanan, manajemen dan tata kehidupan di dalamnya diatur menurut pola kehidupan suatu

  3 keluarga.

  Setiap pola asuh yang diterapkan dalam sebuah lembaga mengharapkan nantinya lembaga tersebut dapat dianggap oleh para anak asuh sebagai sebuah keluarga, di dalam Pondok Pesantren Ali Muttaqin peneliti menemukan adanya penerapan pola asuh otoriter, yaitu berfigu pada Kiyai yang dijadikan teladan oleh para santri.

  Pengasuh pondok pesantren Ali Muttaqin mengharapkan seorang anak asuh yang baik dalam segala halnya, termasuk perkembangan sikap keagamaannya, pengasuh menginginkan seorang anak yang masuk dalam lembaganya nantinya mengalami perubahan sikap dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari hanya paham menjadi mengamalkan. Seorang anak akan terbiasa jika setiap hari ada teladan dari pengasuh dan juga dorongan untuk melakukan peribadatan yang baik maka lama kelamaan seorang anak tersebut terbiasa dan akan melakukannya tanpa harus diperintah ataupun atas kesadaran diri sendiri.

  3

  Selain dengan pola asuh yang tepat perkembanagn sikap keagamaan bisa juga dipengaruhi oleh metode apa yang digunakan. Salah satu metode yang digunakan adalah metode

  ta’ziran. Metode ini digunakan untuk memberi efek jera kepada anak guna tidak mengulangi perbuatan atau kesalahannya berulangkali.

  Metode ini tidak serta merta digunakan begitu saja, sebelumnya saat anak asuh melakukan kesalahan anak asuh akan di nasehati dengan lembut untuk mengingatkan anak asuhnya berkenaan dengan akibat yang tidak baik yang telah diperbuatnya. Peringatan atau nasihat akan membantu pribadi anak asuh dalam mengevaluasi tingkah lakunya sendiri. Tetapi jika seorang anak asuh tidak merespon dengan baik nasehat yang sudah diberikan maka pengasuh akan memberikan respon dengan memberi ta‟ziran. Namun ta’ziran tersebut juga tidak langsung bersifat berat, namun yang bersifat ringan terlebih dahulu, dan juga bersifat mendidik. Namun jika tetap saja tidak ada perubahan maka

  ta’ziran tersebut bersifat hukuman fisik. Ta’ziran sendiri di pondok pesantren Ali Muttaqin digunakan sebagai alat untuk mentertibkan anak asuh yang melanggar peraturan yang telah dibuat.

  Ta’ziran

  yang digunakan di sini tidaklah langsung berbentuk hukuman fisik, namun hukuman yang mendidik salah satu contohnya adalah membaca Al- Qur‟an selama satu jam atau membaca surat Yaasiin 3x. Namun jika tidak jera tidak jarang ada hukuman fisik pula, seperti jalan jongkok keliling halaman pondok dan juga push-up.

  Dari hasil pengamatan pada tanggal 15 Desember 2017 di Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo, keterkaitan pola asuh asrama dan juga metode

  ta’ziran dalam membentuk sikap keagamaan santri merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Dengan penerapan

  • –penerapan yang ditanamkan kepada seluruh santri dalam kehidupan sehari-hari agar menjadikan santrinya menjadi manusia yang seutuhnya (insan kamil). Sehingga dari peneltian ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran terhadap perkembangan sikap keagamaan santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo.

  Dengan teori yang sudah dijabarkan dan dari pengamatan yang ada di lapangan oleh peneliti di atas, maka peneliti ingin meneliti tentang

  “Pengaruh Pola Asuh Asrama dan Metode Ta’ziran Terhadap Perkembangan Sikap Keagamaan Santri

  Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo” B. Batasan Masalah

  Banyak faktor atau variabel yang dapat dikaji untuk ditindak lanjuti dalam penelitian ini. Namun karena cakupan bidang yang sangat luas serta adanya berbagai keterbatasan yang ada baik waktu, dana maupun jangkauan penulis, sehingga dalam penelitian ini dibatasi masalah pola asuh asrama dan metode ta‟ziran mempengaruhi terhadap perkembangan sikap keagamaan santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo.

C. Rumusan Masalah

  1. Adakah pengaruh pola asuh asrama terhadap perkembangan sikap keagamaan santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo?

  2. Adakah pengaruh Metode

  ta’ziran terhadap perkembangan sikap keagamaan santri

  Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo?

  3. Adakah pengaruh pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran terhadap perkembangan

  sikap keagamaan santri di Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo? D.

   Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui adanya pengaruh pola asuh asrama terhadap perkembangan sikap keagmaan santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo.

  2. Untuk mengetahui adanya pengaruh Metode

  ta’ziran terhadap perkembangan

  sikap keagamaan santri Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo.

  3. Untuk mengetahui Adanya pengaruh pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran

  terhadap perkembangan sikap keagamaan santri di Pondok Pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponorogo.

E. Manfaat Penelitian

  Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik manfaat teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari kajian ini adalah: Manfaat Praktis

  a. Bagi Pondok Pesantren Memberikan sumbangan pengetahuan tentang perilaku keagamaan santri sebagai masukan dalam mengembangkan kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan di pondok pesantren.

  b. Bagi Ustadz/Ustadzah Dengan penelitian ini diharapkan Ustadz/Ustadzah lebih meningkatkan lagi usaha dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan dalam kegiatan pondok pesantren.

  c. Bagi Santri Dari penelitian ini diharapkan santri dapat menerapkan perilaku-perilaku keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah diajarkan melalui lingkungannya terutama lingkungan pondok pesantren.

  d. Bagi Penulis Dapat menambah bekal pengetahuan dan wawasan khususnya tentang apa yang ada di lapangan terkait dengan pola asuh dan metode ta‟ziran dan dapat menjadi acuan untuk nantinya dipraktekkan di kehidupan mendatang.

F. Sistematika Pembahasan

  Sistematika pembahasan pada penelitian kuantitatif ini terdiri dari lima bab

  Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab pertama ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam pemaparan data.

  Bab kedua adalah kajian teoritik, yang berisi tentang landasan teori dan atau telaah hasil penelitian terdahulu, kerangka berfikir dan pengajuan hipotesis. Bab ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam menjawab hipotesis.

  Bab ketiga adalah metode penelitian, yang meliputi rancangan penelitian, populasi dan sampel, instrumen pengumpulan data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

  Bab keempat adalah temuan dan hasil penelitian yang berisi gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi data, analisis data (pengujian hipotesis), pembahasan dan interpretasi.

  Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bab ini dimaksudkan agar pembaca dan penulis mudah dalam melihat inti dari hasil penelitian.

BAB II TELAAH HASIL PENELITIAN TERDAHULU, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu Hasil telaah pustaka yang dilakukan penulis sebelumnya yang ada kaitannya

  dengan variabel yang diteliti antara lain:

  1. Siti Zubaidah mahasiswa IAIN Ponorogo dengan judul “ Pengaruh Pola Asuh

  Pembinaan Asrama dan Keaktifan Mengikuti Kegiatan Ekstrakulikuler Terhadap Kedisiplinan Santri SMA IT di Pon Pes Darut Ta qwa Putri Bungkal Ponorogo”, skripsi tahun 2017, metode kuanitatif bersifat regresi berganda. Berdasarkan hasil perhitungan data pola asuh pembinaan asrama dan keaktifan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler terhadap kedisiplinan santri SMA IT di Pondok Pesantren Darut Taqwa Putri Bungkal Ponorogo. Kemudian diperoleh koefisien determinasi sebesar 36,81%, artinya pola asuh Pembina asrama dan keaktifan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler berpengaruh sebesar 36,81% terhadap kedisiplinan santri dan sisanya 63,19% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti: motivasi, pendidikn dan latihan, lingkungan yang kurang mendukung dan penerapan reward and

  punishment. Dengan sampel yang diambil adalah 50 santri dari 167 santri

  keseluruhan. Perbedaan yang mendasar pada skripsi ini dengan mengaitkan Pola Asuh Asrama dengan Metode Ta’ziran terhadap Perkembangan Sikap Keagamaan.

2. Weti Mei Nugraheny, Mahasiswa IAIN Ponorogo dengan judul “Pengaruh

  Hukuman dan Kesadaran Diri Terhadap Sikap Tanggung Jawab Santri Kelas X di Pondok Pesantren Darul Huda Putri Mayak Ponorogo, skripsi tahun 2017, metode kuantitatif regresi berganda. Berdasarkan hasil perhitungan data hukuman dan kesadaran diri terhadap sikap tanggung jawab santri kelas X di Pondok Pesantren Darul Huda Mayak Ponorogo. Kemudian diperoleh koefisien determinasi 17,62, yang artinya hukuman dan kesadaran diri berpengaruh sebesar 22,41% terhadap sikap tanggung jawab dan sisanya 77,59% berpengaruh oleh factor-faktor lain yang tidak sedang di teliti oleh peneliti. Dengan menggunakan sampel sebanyak 125 santri dari populasi sebesar 226 santri. Alangkah baiknya jika populasi yang diambil dari seluruh santri madrasah aliyah Pondok Pesantren Darul Huda Mayak karena permasalahan yang diangkat bersifat umum yaitu hukuman dan kesadaran diri. Perbedaan yang ada dengan peneliti yang sekarang yaitu pada variable hukuman (

  ta’ziran) di kaitkan dengan pola asuh asrama dan dilihat pengaruhnya terhadap perkembangan sikap keagamaan santri.

  3. Siti Nasa Bandiyah mahasiswi IAIN Ponorogo, dengan judul “Pengaruh

  Lingkungan Keluarga dan Lingkungan Sekolah Terhadap Sikap Keagamaan Siswa

  XI di SMAN Balong Ponorogo ”, skripsi tahun 2015 metode kuantitatif bersifat

  Regresi. Berdasarkan hasil analisis linier berganda, pengaruh lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah terhadap sikap keagamaan didapatkan nilai F hitung sebesar 34,738 dengan F tabel sebesa 4,82 pada taraf signifikan 1%. Karena F hitung (34,738) > F tabel (4,82), maka dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap sikap keagamaan siswa kelas XI SMAN 1 Balong Ponorogo tahun pelajaran 2014/2015. Kemudian diperoleh koefisien determinasi sebesar 44,40%, artinya kondisi lingkungan keluarga dan kondisi lingkungan sekolah berpengaruh sebesar 44,40% terhadap sikap keagamaan dan sisanya 55,6% dipengaruhi oleh faktor lainnya yang tidak masuk dalam model yang sedang diteliti. Sampel yang digunakan adalah 89 siswa dari populasi sebesar 120 siswa. . Alangkah baiknya jika populasi yang diambil dari seluruh siswa SMAN 1 Balong Ponorogo karena permasalahan yang diangkat bersifat umum yaitu kondisi lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Perbedaan yang ada dengan penelitian yang sekarang yaitu pada variabel pola asuh asrama dan metode

  ta’ziran yang dikaitkan dengan sikap keagamaan.

B. Landasan Teori 1. Pola Asuh Asrama

  a. Pengertian Pola Asuh Asrama Pola asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh seseorang dalam mendidik anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab

  4

  kepada anak-anaknya. Pola asuh adalah sebuah bentuk perlakuan atau tindakan yang dilakukan oleh pegasuh untuk memelihara, melindungi, mendampingi,

  5

  mengajarkan, membeimbing anak selama masa perkembangan. Sedangkan Asrama sendiri merupakan lingkungan pendidikan yag dibina sedemikian rupa sesuai dengan tujuannya dalam rangka membantu perkembangan kepribadian

  6

  anak. Jadi pola asuh asrama adalah sebuah cara yang ditempuh oleh seorang pengasuh yang bertugas memelihara, melindungi, mendampingi, dan membimbing santri selama santri dalam lingkungan asrrama pondok pesantren.

  Asrama sebagai lingkungan pendidikan memiliki ciri-ciri antara lain: sewaktu-waktu atau dalam waktu tertentu hubungan anak dalam keluarganya menjadi terputus atau dengan sengaja diputuskan dan untuk waktu tertentu pula anak-anak itu hidup bersama anak-anak sebayanya. Setiap asrama mempunyai suasana tersendiri yang amat diwarnai oleh para pendidik atau pemimpinnya dan oleh sebagian besar anggota kelompok dari mana mereka berasal. Demikian pula tatanan dan cara hidup kebersamaan sesama jenis kelamin dari penghuninya turut

  7 membentuk suasana asrama yang bersangkutan.

  Unsur utama dalam pengasuhan adalah tauladan yang baik dari pengasuh. Para pengasuh, baik dari Kiyai maupun pengurus harus memberikan contoh yang baik kepada seluruh santri. Sebab seluruh kehidupan yang dilihat dan didengar oleh santri dilakukan oleh mereka. Apabila yang dilihat dan didengar oleh santri adalah hal-hal yang baik, maka akan tertanam dalam diri mereka Pendidikan yang 5 baik pila, akan tetapi sebaliknya, jika yang dilihat dan didengar oleh santri adalah 6 Siti Mumun munawaroh, “Psikologi Santri usia Dini,” Penelitian (1 Mei, 2014), 149.

  Sudiyono, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2009),157. kehidupan yang negative, yang jelek-jelek, maka akan tertanam dalam diri mereka hal-hal yang negative pula. Dengan demikian keberhasilan Pendidikan para santri sangat tergantung kepada contoh atau tauladan yang diberikan oleh kiyai dan pengurus, yang akan memilikidampak yang cukup besar dalam proses

  8

  pembentukan kepribadian para santri

  b. Macam-Macam Pola Asuh Asrama Mendidik anak dalam asrama sama halnya dengan mendidik anak dalam keluarga, para pembina asrama mengharapkan agar anak mampu berkembang kepribadiannya, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Untuk mewujudkan hal itu ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Hurlack yang dikutip oleh Chabib Thoha yaitu:

  1) Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua /pengasuh), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua/pengasuh, orang tua/pengasuh malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas 8 semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anak asuh. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya. Perbedaan seperti itu sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut dewasa.

  2) Pola asuh yang demokratis Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-anaknya, dan kemudian anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Dalam pola asuh seperti ini orang tua memberi sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang terbaik bagi dirinya, anak diperhatikan dan didengarkan saat anak berbicara, dan bila berpendapat orang tua memberi kesempatan untuk mendengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama vang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri.

  Anak diberi kesempatan mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Anak dilibatkan dan iberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnva, ada yang mengatakan tidak semua orang tua mentolerir terhadap anak, dalam hal-hal tertentu orang tua perlu ikut campur tangan, misalnya dalam keadaan membahayakan hidupnya atau keselamatan anak. Permainan yang menyenangkan bagi anak, tapi menyebabkan keruhnya mengganggu ketenangan umum juga perlu diperhatikan orang tua.

  Demikian pula terhadap hal-hal yang sangat prinsip mengenai pilihan agama pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, orang tua dapat memaksakan kehendaknya terhadap anak karena anak belum memiliki alasan cukup tentang hal itu. Dengan demikian tidak semua materi pelajaran agama seluruhnya diajarkan secara demokratis terhadap anak. Jika dikembalikan dengan kisah Luqman sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur'an, dapat diambil pelajaran bahwa pendidikan akidah Islam tidak harus dijadikan secara demokratis dalam menanamkan keimanan kepada anak-anaknya. Karena akidah sama dengan masalah ketauhidan yang perlu diberikan kepada anak didik secara otoriter, hal itu menyangkut dogmatis.

  3) Pola asuh laisses fire Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa, muda, ia diberi kelonggaran seluas- luasnya apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidakb perlu mendapat teguran, arahan, atau bimbingan. Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak sesuai jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam keluarga orang tua harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam

  9 mendidik anaknya.

  Di Pondok Pesantren Ali Muttaqin sendiri lebih cenderung menggunakan pola asuh otoriter, yaitu pengasuhan sepenuhnya dari pengasuh tanpa ada usulan dari santri atau anak asuh. Karena di Pondok Pesantren yang memiliki hak tertinggi adalah Kyai atau pengasuh. Beliau ini yang memiliki tanggung jawab besar pengambilan keputusan, meskipun juga ada dewan asatidz untuk dimintai pertimbangan perihal pengasuhan anak didik. Dan juga ada kepengurusan tersendiri dari santri senior untuk membantu terlaksananya pola asuh yang diinginkan.

2. Metode Ta’ziran

  a. Pengertian

  Ta’zir

  Definisi

  ta’zir menurut bahasa, lafadz ta’zir berasal dari kata azzāra

  yang berarti

  man’u wa radda (mencegah dan menolak). Ta’zir

  bisa berarti addaba (mendidik) atau azzamu wa waqra yang artinya mengagungkan

  10 dan menghormat.

  Dari berbagai pengertian, makna

  ta’zir yang paling relevan adalah man’u wa radda (mencegah dan menolak) dan ta’dib (mendidik). Pengertian sesuai

  11

  dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah dan Wahbah Zuhaili, 9 ta„zir diartikan mencegah dan menolak. Karena ia dapat mencegah pelaku agar 10 Mansur, Pendidikan Ank Usia Dini Dalam Islam,353-357.

  Ibrahim Unais, Al- Mu’jam al-Wasith (Mesir: Dar at-Turas al-Arabi, t.t), 598. tidak mengulangi perbuatannya.

  Ta’zir diartikan sebagai mendidik karena ta’zir

  dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki perilaku agar menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.

  Ada istilah sebagaimana yang telah diungkapkan al-Mawardi bahwa

  ta’zir

  adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang

  12 hukumannya belum ditetapkan oleh syara.

  Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili memberikan definisi yang mirip dengan definisi al-Mawardi yakni

  ta’zir menurut syara„ adalah hukuman yang

  ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan had atau tidak pula kifarat.

  Dari berbagai definisi diatas dapat diambil pengertian bahwa

  ta’zir

  adalah suatu jarimah yang hukumannya di serahkan kepada hakim atau penguasa hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah

  ta’zir. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya

  belum di tetapkan oleh syara„ dinamakan dengan ta’zir, jadi istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman yang diarahkan utuk mendidik dan bisa juga untuk sanksi tindak pidana.

  Pondok Pesantren sebagai basis pendidikan Islam diharapkan menjadi rujukan bagi pendidikan-pendidikan Islam yang non pesantern, karena dalam proses pendidikannya, siswa (santri) diberikan materi-materi agama tidak dalam separuh hari, tetapi dalam satu hari, dari berangkat tidur sampai bangun tidur mereka dipandu oleh nilai-nilai pendidikan yang Islami. Dari gambaran tersebut, proses pendidikan di pesantren mengandung beban yang sarat terhadap pemerolehan sumber moral value bagi para santrinya sebagai bekal kehidupan ditengah-tengah masyarakat mereka.

  Pondok pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan tetapi lebih lanjut pondok pesantren juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama amar

13 Menurut Azyumardi Azra ada tiga fungsi pondok pesantren ma‟ruf nahi mungkar.

  tardisional, yakni transmisi ilmu-ilmu Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan

  14 reproduksi agama.

  Sebagai salah satu lembaga pendidikan, setiap pondok pesantren menginginkan para santrinya agar dapat memiliki kemampuan dan kepribadian yang baik sebagai bekal untuk hidup ditengah-tengah masyarakat. Tak terkecuali Pondok Pesantren. Untuk membekali kemampuan dan pembentukan kepribadian santri, pihak pondok pesantren menerapkan pendidikan dengan berbagai pola dan metode pembelajaran. Selain itu, pihak pondok pesantren melakukan pembinaan pendisiplinan kepada santri guna tercapainya tujuan pendidikan di lingkungan pesantren. Tindakan pendisiplinan tersebut berupa pemberian hukuman, misalnya gundul, menghatamkan Al-

  Qur‟an dan lain sebagainya. Tindakan pendisiplinan kepada santri pesantren merupakan cara dalam 13 pendisiplinan pengurus pondok terhadap santri yang bermasalah agar taat kepada Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren (Jakarta: NIS, 1994), 111. 14 Azra Azyumardi, Sejarah Pertumbuhann Pekembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan

  peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati oleh pihak pengelola pengurus pondok pesantren. Penerapan hukuman bertujuan untuk mendidik santri agar menimbulkan efek jera dan tidak mengulanginya kembali. Ini mempunyai arti bahwa hukuman sebagai salah satu sarana untuk mendidik anak merupakan

  15 alternatif terakhir jika keadaannya sudah memaksa.

  Penerapan

  ta‘zir (hukuman) di pondok pesantren ini diperlukan dan

  dilaksanakan dengan syarat tidak melampui batas. Jika hukuman yang diberikan sudah melebihi batas (misalnya meninggal bekas pada tubuh santri) maka itulah yang dinamakan kekerasan terhadap santri. Oleh karena itu, penangan santri yang bermasalah sudah dilakukan dengan baik dengan proses yang dan terstuktur yang sudah tertata rapi. Hal ini menghindari tindakan yang tidak proporsional kepada santri dengan prinsip-prinsip meletakkan persoalan dan pengangan sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan kata lain, hukuman itu diberikan untuk menekan,

  16 menghambat bahkan menghilangkan perbuatan yang menyimpang.

  Sedangkan tujuan ta‟zir di Pondok Pesantren adalah menjaga kewibawaan pesantren agar santri tidak melanggar peraturan dan tidak mengulangi kesalahannya.

  Hal ini selaras dengan tujuan khusus pesantren yakni: 1) Mendidik siswa/santri menjadi anggota masyarakat, seorang muslim yang bertaqwa kepada Allah Swt. Berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, 15 keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang ber-Pancasila.

  Jamal Abdurrahman, Kaifa Rabaahum an-Nabiy al-Amin, diterjemahkan oleh Ardianingsih dengan judul, Pendidikan ala kanjeng Nabi (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), 131-134.

  2) Mendidik siswa/santri menjadi manusia muslim dan kader-kader ulama serta mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, memiliki semangat wiraswasta serta mengamalkan syari‟at Islam secara utuh dan dinamis. 3) Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan bangsa dan negara. 4) Mendidik para santri agar dapat menjadi tenaga-tenaga penyuluh pembangunan makro, regional nasional.

  5) Mendidik para santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap serta terampil dalam berbagai sector pembangunan mental spiritual.

  6) Mendidik para santri agar dapat memberi bantuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka usaha pembangunan masyarakat

17 Indonesia.

  Islam juga mengatur tahapan-tahapan yang sempurna, bagaimana memberikan hukuman pada seorang anak. Mulai dari memberikan informasi tentang kebenaran (aspek kognitif) sampai pada pelurusan sikap (aspek motorik) anak. adapun tahapan menghukumnya yaitu:

  1) Memperlihatan cemeti kepada anak Dalam hadits d isebutkan: “Gantungkan cambuk ditempat yang bisa dilihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.” 17 Islam memberikan kebijakan yang disebut prahukuman, dalam hadits tersebut dapat diketahui bahwa dengan menggantungkan cemeti dapat berfungsi agar membuat seorang anak “awas dan antisipatif‟ sehingga tidak mudah berbuat salah. 2) Menjewer telinga

  Ini merupakan hukuman fisik yang pertama bagi anak, tapi dengan hukuman ini diharap anak akan merasakan bagaimana sakitnya sanksi dari tindakan menyelisihi sehingga ia layak untuk dijewer. 3)

  Memukul sesuai aturaan syari‟at ` Jika kedua tahap di atas (memperlihatkan cemeti dan menjewer telinga anak) belum juga bisa meluruskan kesalahan anak dan ia masih saja terusmembangkang, maka tahap yang ketiga ini bisa mengatasi pembangkangan yang dilakukannya. Akan tetapi pukulan yang diberikan ini haus lah sesuai dengan aturan- aturan syari‟at dan jangan sampai hanya menuruti hawa nafsu orangtua atau pendidik. Dalam melakukan hal ini haruslah sesuai dengan aturan syari‟at yang benar sebagai berikut: a) Baru memukul ketika anak sudah berumur sepuluh tahun

  b) Batasan maksimal memukul adalah sepuluh kali

  c) Harus tahu penggunaan alat pukul, cara memukul dan tempat yang boleh dipukul.

  d) Alat pukul yang digunakan harus sesuai kriteria. e) Cara memukulnya sesuai dengan kriteria, yaitu tidak memukul pada satu tempat saja, harus ada rentang waktu antara satu pukulan dengan pukulan berikutnya , dan tidak boleh terlalu keras.

  18 f) Tempat yang boleh dipukul, yaitu kecuali kepala dan wajah.

  Di pondok pesantren Ali Muttaqin menggunakan metode

  ta’ziran sendiri

  ketika seorang anak sudah melanggar peraturan, jika pelanggaran yang dilakukan masih ringan hukuman yang digunakan yaitu hukuman yang mendidik, seperti ngaji al-

  Qur‟an satu jam ataupun membaca yaasiin 3x, terkadang kalau melanggar lebih sering maka akan ada hukuman secara fisik, seperti membersihkan kamar mandi, jalan jongkok keliling halaman ataupun push-up.

  b. Kategori

  ta’ziran

  Ada tiga kategori yang bisa dilepaskan kaitannya dengan kebiasaan- kebiasaan kondisi yang mengesahkan hukuman itu dibuktikan secara legal, antara lain

  1) Hukuman atau hudud Sesuatu yang berkaitan dengan hudud itu sendiri yaitu segala sesuatu yang itu merupakan perintah Allah dan tuntutannya tidak bisa dilepaskan, contohnya dilaksanakan pada orang-orang yang melakukan perbuatan- perbuatan: mencuri, meminum minuman keras, membunuh, murtad, zina, 18 memfitnah, dengan menuduh tanpa bukti.

  2) Qishash

  Hukuman ini berkaitan dengan pelanggaran khusus sehingga mengakibatkan adanya hukuman. Dan jika pelaku pelanggaran itu dimanfaatkan maka tidak jadi dikenai qishash. Seperti pada pelanggar yang menyakiti anggota badan orang lain., apakah dengan jalan membunuh atau melukai dan hukumannya dengan apa yang dilakukannya. 3)

  Ta’zir Ta’zir secara umum kurang berat dibandingkan dengan hudud dan

  Keputusan hukuman

  qishash.. ta’zir diserahkan kepada qadhi (hakim)

  tergantung atas adat kebiasaan yang berlaku. Biasanya

  ta’zir dikenakan pada

  pelanggar yang meninggalkan ibadah shalat dan meninggalkan puasa bulan

19 Ramadhan.

  Di sini peneliti meneliti bagaimana metode

  ta’zir dipergunakan untuk

  menindak anak asuh yang tidak melaksanakan tugasnya ataupun melanggar tata tertib yang ada di pondok pesantren Ali Muttaqin Patihan Wetan Babadan Ponoorogo.

3. Perkembangan sikap keagamaan

  a. Pengertian perkembangan sikap keagamaan Untuk mendapatkan pengertian dari perkembangan sikap keagamaan kita harus mengartikannya dengan perkata. Pekembangan sendiri dimaknai dengan perubahan yang progresif dan kontinyu (berkesinambungan) dalam diri individu

  20

  mulai lahir sampai mati. Sedang Sikap merupakan tingkatan afektif yang positif atau negative yang dihubungkan dengan objek psikologis positif dapat diartikan

  21

  senang, sedangkan negative diartikan tidak senang atau menolak. Pada prinsipnya sikap adalah kecenderungan individu untuk bertindak dengan cara tertentu, jika ia menerima maka ia akan menyukainya dan jika ia menolak maka ia akan tidak menyukainya.

  Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah SWT, adalah dia dianugrahi fitrah (perasaan dan kemampuan) untuk mengenal Allah dan melakukan ajaran-Nya. Dalam kata lain, manusia dikaruniai insting religious (naluri beragama). Karena memiliki fitrah ini, kemudian manusia dijuluki sebagai “Homo Devinans”

  22 Jadi dapat dan “Homo Religious”, yaitu makhluk yang bertuhan atau beragama.

  disimpulkan bahwa perkembangan sikap keagamaan adalah perubahan yang kontinyu mengenai kecenderungan seseorang terhadap bagaimana ia mencari fitrahnya tentang keTuhanan dan bagaimana dia beragama.

  Sikap keagamaan merupakan cerminan dari keimanan dan ketakwaan dalam bentuk hubungan manusia baik hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun minallah), hubungan manusia dengan sesamanya maupun hubungan

  23

  manusia dengan makhluk lainnya. Jika hubungan manusia dengan Tuhannya dapat 20 dilihat dengan bagaimana ia beriman dan bertaqwa maka hubungan dengan sesama

  Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 15. 21 Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam Analisis Filosofis Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: 22 Kalam Mulia, 2015), 273. 23 Syamsul Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja, 136. manusia dapat dilihat dengan cara bagaimana seseorang itu dapat bersikap jujur, adil, sabar dan amanah terhadap orang lain. Selain itu juga berbuat baik terhadap makhluk lainnya.

  b. Usaha yang dapat dilakukan dalam pengembangan sikap keagamaan.

  1) Melalui Pendekatan Pengalaman Setiap individu mempunyai potensi untuk berperilaku ditandai dengan pengalaman, simbolis dan proses pengaturan diri, sebagai peran sosial yang ditampilkannya. Perilaku individu sesuatu yang dapat dibawa melainkan merupakan hasil belajar pengalaman langsung atau pengalaman individu tersebut Dalam pendidikan Islam, pendekatan pengalaman yaitu pemberian pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman nilai- nilai keagamaan. Dengan pendekatan ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman keagamaan baik secara individual maupun kelompok. Syaiful Bahri Djamarah mengatakan bahwa pengalaman yang dilalui seseorang adalah guru yang baik. Pengalaman merupakan guru tanpa jiwa, namun selalu dicari oleh siapapun juga, belajar dari pengalaman adalah lebih baik dari sekadar bicara dan tidak pernah berbuat sama sekali.

  2) Melalui Pendekatan Pembiasaan Menurut Muhammad Ustman Najati" jika seseorang melakukan kebiasaan secara berulang-ulang maka kebiasaan itu akan berakar dalam dirinya. Kebiasaan ini akan muncul dengan sendirinya tanpa pertimbangan. Pembiasaan atau pengulangan ini berlaku pada kebiasaan baik maupun buruk.

  Misalnya jika sejak kecil seorang anak dididik untuk selalu berkata jujur maka dalam perkembangan hidupnya, sikap jujur anak ini akan menjadi kebiasaan. juga sebaliknya, jika ia dibiasakan dengan berbohong, maka kebiasaan berbohong itu akan menjadi bagian kebiasaan yang tidak terpisahkan dalam dirinya. Sebagai pendidik sudah barang tentu lebih banyak biasaan yang bersifat positif. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Ustman Najati, bahwa Rasulullah selalu menegaskan agar setiap orang dalam proses belajar selalu membiasakan sifat-sifat baik seperti mengucapkan dengan demikian memberi nilai lebih banyak dari pada sekadar nasehat dan arahan teoritis belaka.

  Jalan yang terbaik untuk menghancurkan akhlak yang buruk dan penyakit hati misalnya ialah dengan menjalankan perilaku yang berlawanan dengan sifat yang buruk tersebut, maka seseorang akan memakan waktu cukup lama dalam mempelajari dan membiasakanya. Bahkan pada mulanya seseorang akan terasa terbebani tetapi setelah itu akan menjadi akhlak mulia yang bersemayam dalam dirinya. Dengan cara ini barangkali seseorang akan berusaha mengalahkan semua perilaku tercelanya dengan membiasakan perilaku yang berlawanan secara terus menerus dengan prilaku tercela tersebut.

  Dengan kata lain perilaku seseorang dapat diarahkan dengan partisipasi positif dan membiasakan praktek perilaku yang diharapkan.

  3) Melalui Pendekatan Keteladanan

  Pentingnya pendekatan keteladanan adalah anak-anak secara umum memang suka meniru. Muhammad Said Nursi, bahwa sifat-sifat khusus anak ialah ingin meniru yang baik dan buruk, maka perlu ada keteladanan dari orang tua, guru dan sebagainya. Memberi contoh atau teladan ialah salah satu metode Pendidikan Islam. Selain memberi hadiah dan hukuman jika mereka salah dan berprestasi. Pendidikan sebagai upaya pengembangan potensi manusia, antara lain untuk mengubah sikap dan perilaku peserta didik melalui pengajaran dan pelatihan. Maka dalam pendidikan agama (Islam), perlu ada teladan atau keteladanan dari orang tua, guru dan seterusnya. Muhammad Utsmam Najati menyatakan salah satu metode belajar yang diajarkan dalam al Quran adalah metode meniru. Karakter manusia memang cenderung untuk meniru dan banyak dari tangka laku seseorang terbentuk dan dipelajarinya dengan cara meniru. Maka keteladanan yang baik mempunyai peran penting dalam

  24 Pendidikan dan pengajaran agama dan nilai-nilai luhur.

4. Pengaruh Pola Asuh Asrama dan Metode Ta’ziran Terhadap Perkembangan Sikap Keagamaan

  Setiap pengasuh hendaknya menyadari, bahwa Pendidikan agama bukanlah sekadar mengajarkan pengetahuan agama dan melatih keterampilan anak dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi Pendidikan agama jauh lebih luas dari pada itu, ia pertama tama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikap, mental dan akhlak, jauh lebih penting daripada pandai menghafal dalil-dalil dan hokum-hukum agama, yang tidak diresapkan dan dihayatinya dalam hidup.

  Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian anak, sehingga agama itu benar-benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam hidupnya di kemudian hari. Untuk tujuan pembinaan pribadi itu, maka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh pengasuh yang benar-benar tercermin agama itu dalam sikap, tingkah laku, gerak-gerik, cara berpakaian, cara berbicara, cara menghadapi persoalan dan dalam keseluruhan pribadinya. Oleh karena itu, maka pendidikan agama akan lebih berkesan dan berhasil guna, serta berdaya guna, apabila seluruh lingkungan hidup yang ikut mempengaruhi pembinaan pribadi anak sama-sama mengarah kepada pembinaan jiwa agama pada anak. Kesatuan arah Pendidikan yang dilalui anak dalam umur pertumbuhan, akan sangat membantu perkembangan dan pribadi anak.

Dokumen yang terkait

SIKAP SANTRI TERHADAP HUKUMAN CAMBUK DI YAYASAN PONDOK PESANTREN DARUT TAUHID MALANG

0 7 2

PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR PADA SANTRI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH

1 0 9

HYGIENE PERSEORANGAN SANTRI PONDOK PESANTREN WALI SONGO NGABAR PONOROGO

0 0 8

PENGARUH SIKAP OPTIMISME TERHADAP KEDISIPLINAN BELAJAR SANTRI PONDOK PESANTREN AL FALAH SALATIGA TAHUN 2006 - Test Repository

0 0 92

PENGARUH SISTEM W ALI ASUH TERHADAP SIKAP KEPRIBADIAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN AL-MU’MIN MUHAMMADIYAH TEM BARAK TEMANGGUNG STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN AL-MU’MIN MUHAMMADIYAH TEMBARAK TEMANGGUNG TAHUN 2008 2009

0 0 103

IMPLEMENTASI METODE AL-QOSIMI DALAM PEMBELAJARAN TAHFIZHUL QUR’AN PADA SANTRI PONDOK PESANTREN AN-NIDA KOTA SALATIGA TAHUN 2016 SKRIPSI

0 0 121

SISTEM PENDIDIKAN TAUHID DI PONDOK PESANTREN DARUL MUTTAQIN DESA BUKATEJA, KECAMATAN BALAPULANG, KABUPATEN TEGAL TAHUN AJARAN 20162017 SKRIPSI

0 1 131

STRATEGI PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN SIKAP KEMANDIRIAN SANTRI DI PONDOK PESANTREN TA’MIRUL ISLAM SURAKARTA TAHUN 20172018 SKRIPSI Diajukam Guna Memenuhi Kewajiban Dan Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Strata I (S.Pd.) Dalam Ilmu Ta

0 3 113

POLA ASUH DI PONDOK PESANTREN DALAM MENGEMBANGKAN POTENSI KEWIRAUSAHAAN SANTRI (Studi Pada Pondok Pesantren Ittihadul Asna Klumpit, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga) SKRIPSI

0 7 147

PROBLEMATIKA MENGHAFAL AL-QUR’AN DI PONDOK PESANTREN AL-MUNTAHA CEBONGAN ARGOMULYO SALATIGA TAHUN 20172018 SKRIPSI

0 2 113