PERBANDINGAN DAYA ANTIOKSIDAN INFUSA TEH HIJAU (Camellia sinensis L. ) DARI DAERAH WONOSOBO DAN DAERAH KARANGANYAR DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEOKSIRIBOSA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program

  

PERBANDINGAN DAYA ANTIOKSIDAN INFUSA TEH HIJAU (Camellia

sinensis L. ) DARI DAERAH WONOSOBO DAN DAERAH KARANGANYAR

  

DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEOKSIRIBOSA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

  

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Gessy Purnamasari

  

NIM : 068114069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

PERBANDINGAN DAYA ANTIOKSIDAN INFUSA TEH HIJAU (Camellia

sinensis L. ) DARI DAERAH WONOSOBO DAN DAERAH KARANGANYAR

  

DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEOKSIRIBOSA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

  

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Gessy Purnamasari

  

NIM : 068114069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  “Happiness cannot be traveled to owned, earned, worn or consumed. Happiness is the spiritual experience of living every minute with love, grace and gratitude”.

  ~ Denis Waitley ~ “Bila kita mengisi hati dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan, kita tidak memiliki hari ini untuk kita syukuri”. (Anonymous) “ Supaya semua orang melihat, mengetahui, memperhatikan dan memahami bahwa tangan Tuhan yang membuat segala sesuatunya indah pada waktunya”.

  (Yesaya 41:20) Kupersembahkan karyaku ini untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas berkat, kasih dan kekuatan Bapak dan Ibu atas doa, kerja keras dan dukungan Kakak - kakakku yang selalu mendukung Semua sahabatku yang selalu ada dan setia dan Almamaterku

  

PRAKATA

  Puji syukur atas berkat dan karunia kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Perbandingan Daya Antioksidan Infusa Teh Hijau (Camelia sinensis L.) dari Daerah Wonosobo dan Daerah Karanganyar dengan menggunakan Metode Deoksiribosa” guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm.) pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

  Dalam perkuliahan, penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak yang berupa bimbingan, dukungan, nasehat, informasi, kritik/ saran, material dan sarana. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Rita Suhadi M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Yohanes Dwiatmaka M.Si., selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan, waktu, saran dan bimbingan kepada penulis.

  3. Lucia Wiwid Wijayanti M.Si., selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan arahan, waktu, saran dan bimbingan kepada penulis.

  4. Erna Tri Wulandari M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan waktu, kritik dan sarannya untuk skripsi ini.

  5. Phebe Hendra Ph.D., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan waktu, kritik dan sarannya untuk skripsi ini.

  6. Dr. Pujono, S. U., Apt. atas waktu dan bimbingan selama perkuliahan, saran dan diskusi kepada penulis.

  7. Dr. Sri Noegrohati, Apt. atas waktu dan sarannya kepada penulis selama penelitian di laboratorium.

  8. Romo P. Sunu H. S.J. atas bimbingan, masukan selama penyusunan proposal dan selama penulis menempuh perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  9. Bapak Moehni selaku Kepala Bagian Kebun PT. Tambi atas waktu, informasi, ijin pada saat kunjungan dan pengambilan sampel.

  10. Bapak Suwarso selaku personalia PT. RSK Karanganyar atas waktu, informasi, ijin, saran, canda tawa pada saat pengambilan sampel.

  11. Bapak Wayan, bapak Mikhael selaku mandor kebun atas diskusi, informasi dan bantuan pemetikan sampel.

  12. Segenap dosen atas ilmu yang telah diberikan dan bimbingan selama perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

  13. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Bimo, Mas Parlan, Mas Kunto, Mas Kayat dan Mas Ottok yang telah membantu penulis selama penelitian di laboratorium dan selama perkuliahan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  14. Bapak, Ibu, dan kakak yang selalu memberikan dukungan, motivasi, dan doa bagi

  15. Manik sebagai teman seperjuangan penelitian selama perkuliahan dan penyusunan skripsi. Terimakasih atas tenaga, pikiran dan dukungan yang diberikan.

  16. Albertus Nur Cahya Nugraha, terimakasih atas doa, dukungan, perhatian dan kesabaran yang diberikan selalu.

  17. Bayu, Jimmy, Pungky, Eka, Pita, Joice, Melia, Inge, Dini, Ayu, Grace, Uut, Nika sebagai teman – teman satu laboratorium. Terimakasih atas diskusi, bantuan, canda-tawa selama penelitian di laboratorium.

  18. Reni, Yanik, Yuli, Rocha, Sheila, Cibi, Olin, ci Lina dan ci Feli terimakasih atas informasi, waktu, pendapat, dukungan yang sudah diberikan.

  19. Teman-teman angkatan 2006, khususnya kelompok praktikum D atas perjuangan, suka dan duka selama ini.

  20. Teman – teman KKN kelompok 25 (Ayu, Eka, Yuli, Elfrid, Clare, Via dan Deva), trimakasih atas doa, semangat, suka-duka dan pengalaman kebersamaan.

  21. Serta semua pihak dan teman – teman atas dukungan, semangat yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

  Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini sehingga segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

  Yogyakarta, Desember 2009 Penulis

  

INTISARI

  Teh merupakan salah satu minuman terpopuler di dunia yang mengandung senyawa polifenol sebagai sumber antioksidan alami. Daerah produsen teh di Indonesia yang terkenal di antaranya Wonosobo dan Karanganyar. Ketinggian tempat tumbuh mempengaruhi kandungan kimia didalam teh disamping umur tanaman, jenis petikan, dan klon teh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh infusa teh hijau dari daerah Wonosobo dan Karanganyar berdasarkan perbedaan ketinggian tempat tumbuh dengan metode Deoksiribosa. Aktivitas penangkapan radikal hidroksil dinyatakan dalam % penangkapan ( % scavenging ) dan effective scavenging 50 ( ES 50 ).

  Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental karena subyek uji diberikan perlakuan. Metode penangkapan radikal hidroksil yang digunakan adalah metode deoksiribosa. Prinsip metode ini adalah deoksiribosa didegradasi oleh radikal hidroksil dari reagen Fenton mejadi malondialdehid (MDA). Apabila direaksikan dengan asam tiobarbiturat (TBA) dalam suasana asam dan dengan pemanasan menjadi kromogen berwarna merah muda (pink) yang diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 532 nm. Nilai ES

  50

  dihitung dari persamaan garis regresi linier antara konsentrasi infusa teh hijau terhadap % scavenging pada berbagai konsentrasi.

  Hasil penelitian menunjukkan infusa teh hijau dari daerah Karanganyar memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih besar (nilai ES

  50 rata – rata = 0,029

  mg/ml) daripada infusa teh hijau daerah Wonosobo (nilai ES rata – rata = 0,032

  50 mg/ml).

  Kata kunci : antioksidan, ketinggian tempat tumbuh, infusa teh hijau, metode deoksiribosa.

  

ABSTRACT

  Tea is one of the most popular beverages in the world containing polifenol as a source of natural antioxidant. The most popular producer areas of tea in Indonesia are Wonosobo and Karanganyar. The level of growing place affects the chemical composition for tea such as age of plant, types of picking, and clone of tea. This research is aimed to know and to compare the value of hydroxyl radical arrestment activity by infusa green tea based on the level of the growing place both in Wonosobo and Karanganyar by deoxyribose method. Hydroxyl radical scavenging activity expressed as percent scavenging and 50% hydroxyl radical effective scavenging (ES 50 ).

  This research is an experimental research because the subject has been given a treatment. Hydroxyl radical arrestment method that has been used is the Deoxyribose Method. Basicly, in this method, degraded deoxyribose by hydroxyl radical from reagent Fenton, and it is produced malondialdehid (MDA). If it is reacted with thiobarbituric acid (TBA) in a form of acid and heats it until the chromogen colored in pink then the absorbance is measured by visible spectrophotometer in 532 nm wave lengths. The ES

  50 ‘s value is accounted based on the similarity of the linear

  regression between concentration of green tea infusa toward % scavenging in various concentration.

  The result of this research shows that infusa green tea from Karanganyar has antioxidant activity (rate value ES

  50 = 0,029 mg/ml) more greater than infusa green

  tea from Wonosobo (rate value ES

50 = 0, 032 mg/ml) .

Key words: antioxidant, level of growing place, infusa green tea, deoxyribose method.

  DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS....................................................................vi

PRAKATA ...........................................................................................................vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................................x

  

INTISARI ...............................................................................................................xi

ABSTRACT ..............................................................................................................xii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................xvi

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................xix

  

BAB I PENGANTAR ................................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mempunyai satu atau

  

lebih elektron bebas yang tidak berpasangan. Radikal bebas dapat berasal dari

dalam tubuh maupun dari lingkungan. Manusia setiap saat menghasilkan radikal

bebas pada proses metabolisme, fagositosis, di dalam organel seperti mitokondria,

sitosol, retikulum endoplasmik. Untuk mendapatkan satu atau lebih elektron bebas

yang tidak berpasangan guna menstabilkan dirinya, radikal bebas sangat reaktif

melakukan serangkaian reaksi oksidasi patogenik terhadap sel atau komponen sel

seperti nukleotida, membran sel, lemak dan protein, sehingga sel mengalami

disfungsi atau mutasi yang akhirnya berakibat pada timbulnya berbagai penyakit

degeneratif. Secara tidak langsung, senyawa radikal bebas tersebut akan

menyebabkan terjadinya suatu penyakit seperti penyakit liver, kanker, jantung

koroner, diabetes, katarak, dan berbagai proses penuaan dini (Hernani dan

Rahardjo, 2005). Antioksidan adalah senyawa yang dapat

menghentikan atau memutus reaksi berantai dari radikal bebas yang terdapat di

dalam tubuh, sehingga antioksidan dapat menyelamatkan sel – sel tubuh dari

kerusakan akibat radikal bebas (Hernani dan Rahardjo, 2005). Berdasarkan

sumber perolehannya, ada dua macam antioksidan yaitu antioksidan alami dan

antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan sintetik seperti BHA (butylated hydroxyanisole) dan BHT (butylated hydroxytoluene), namun telah diketahui memiliki efek samping yang besar antara lain menyebabkan kerusakan hati.

  Di sisi lain alam menyediakan sumber antioksidan alami yang efektif dan relatif aman berupa senyawa turunal fenol seperti flavonoid, katekin, tokoferol, vitamin C, beta karoten yang terdapat pada teh, buah – buahan, sayuran, anggur, bir dan kecap (Kikuzaki and Nakatani, 1993). Hal tersebut yang mendorong penelitian ini sebagai salah satu perwujudan eksplorasi bahan alam khususnya teh hijau sebagai sumber antioksidan.

  Teh (Camellia sinensis L. O. Kuntze) merupakan tanaman yang dimanfaatkan sebagai salah satu minuman terpopuler di dunia (Chen, Liang, Lai, Tsa, Tsay and Lin, 2003). Negara-negara yang tercatat sebagai produsen teh terbesar di dunia di antaranya China, India, Srilanka, Jepang, Kenya, Bangladesh dan Indonesia (Kumar, Nair, Reddy and Garg, 2005). Menurut Hartoyo (2003) aktivitas antioksidan teh hijau disebabkan oleh senyawa polifenol, terutama golongan flavonoid tipe flavanol (komponen katekin yang terdiri dari : epigalocatekin galat (EGCG),

  epicatekin galat

  (ECG), epigalocatekin (EGC) atau epicatekin (EC)) dan tipe flavonol (kuersetin, kemferol, dan mirisetin). Aktivitas sebagai antioksidan dimiliki oleh sebagian besar flavonoid karena adanya gugus hidroksi fenolik dalam struktur molekulnya (Cuvelier, Richard and Besset, 1992). Tipe flavonol di dalam teh hijau terutama terdapat dalam bentuk glikosidanya dan sedikit dalam bentuk aglikonnya karena sukar larut air (Hartoyo, 2003). Metode standar dalam penyiapan minuman teh

  o o

  pada penelitian ini, cara penyarian dengan infudasi menggunakan air pada suhu 90 C selama 15 menit karena flavonoid sifatnya polar sehingga larut air dan dapat terekstrak optimal.

  Berdasarkan proses pengolahannya, teh diklasifikasikan kedalam tiga jenis yaitu teh fermentasi (teh hitam), teh semi fermentasi (teh oolong) dan teh tanpa fermentasi (teh hijau). Sejumlah penelitian baik secara farmakologi maupun epidemiologi menegaskan bahwa teh hijau merupakan sumber antioksidan yang sangat potensial (Ikeda, Kobayashi, Hamada, Tsuda, Goto, Imaizumi, Nozowa, Sugimoto and Kakuda, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya aktivitas antioksidan teh sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia dalam teh tersebut (Chen et al., 2003). Umur tanaman, jenis petikan, ketinggian kebun dan klon sangat mempengaruhi kandungan kimia dalam teh. Semakin tinggi daerah perkebunan, maka kualitas dan mutu teh semakin baik (Rohdiana, 2005). Maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan perbandingan daya antioksidan teh hijau daerah Wonosobo dengan teh hijau daerah Karanganyar dengan perbedaan ketinggian tempat penanaman.

  Mengacu pada penelitian Kuntari (2007), ekstrak etanol teh hijau diketahui memiliki nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai ES

  50 sebesar 0,281 mg/ml. Sedangkan pada penelitian Dewi

  (2007) fraksi air dan fraksi etil asetat teh hijau diketahui memiliki nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai secara in vitro dengan metode deoksiribosa. Dalam metode tersebut, deoksiribosa diserang oleh radikal hidroksil menghasilkan produk degradasi yang apabila direaksikan dengan asam tiobarbiturat dalam suasana asam dan dengan pemanasan akan menjadi suatu kromogen berwarna merah muda (pink). Kromogen ini dapat diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer visibel pada panjang gelombang 532 nm (Halliwell, Gutteridge and Aruoma, 1987 cit Purwantoko, 2006).

  Adanya aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh ekstrak teh hijau diketahui dengan % scavenging sedangkan nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil dapat dinyatakan dalam effective scavenging 50 (ES ).

  50 B. Perumusan Masalah

  1. Berapa nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh infusa teh hijau dari daerah Karangayar dan teh hijau dari daerah Wonosobo dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai ES

  50 ?

  2. Apakah perbedaan ketinggian tempat tumbuh teh dari daerah Wonosobo dengan Karanganyar mempengaruhi nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai ES

  50 ?

  C. Keaslian Penelitian Telah dilakukan beberapa penelitian tentang uji penangkapan radikal hidroksil oleh teh hijau dengan metode deoksiribosa yaitu uji penangkapan radikal hidroksil oleh fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak teh hitam dengan metode deoksiribosa (Setyawati, 2006) ; uji antioksidan oleh fraksi etil asetat dan fraksi air ekstrak teh hijau melalui penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa (Dewi, 2007) ; uji penangkapan radikal hidroksil oleh ekstrak etanol teh hijau dan teh hitam dengan metode deoksiribosa (Kuntari, 2007); aktivitas antioksidan beberapa klon teh unggulan (Rohdiana, 2009).

  Uji antioksidan melalui penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.

  Perbedaannya terletak pada sampel yang digunakan yaitu teh hijau yang berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu dari daerah Wonosobo dengan daerah Karanganyar dan ketinggian kebun yang berbeda yang kemudian dibandingkan. Berdasarkan hal tersebut sejauh pengamatan penulis, perbandingan daya antioksidan infusa teh hijau daerah Wonosobo dan daerah Karanganyar secara in vitro dengan metode deoksiribosa belum pernah dilakukan sebelumya.

D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam bidang ilmu kefarmasian tentang penggunaan metode deoksiribosa dalam menguji daya antioksidan infusa teh hijau yang dinyatakan dengan % scavenging dan ES .

  50

  2. Manfaat praktis Memberikan informasi tambahan kepada masyarakat infudasi daun teh hijau dari asal yang berbeda memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda.

E. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil oleh infusa teh hijau dari daerah Karangayar dan teh hijau dari daerah Wonosobo dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai ES 50 .

  2. Tujuan khusus Mengetahui pengaruh ketinggian tempat penanaman teh dari daerah

  Wonosobo dengan daerah Karanganyar terhadap nilai aktivitas penangkapan radikal hidroksil dengan metode deoksiribosa yang dinyatakan sebagai ES

  50.

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Teh Menurut Setyamidjaja (2000) keseragaman nama ilmiah untuk tanaman teh

  yaitu Camellia sinensis L. yang diperkenalkan oleh O. Kuntze. Tanaman teh termasuk suku (famili) Theaceae.

1. Klasifikasi teh dan proses pengolahannya

  Komoditas teh dihasilkan dari pucuk daun tanaman teh melalui proses pengolahan tertentu. Secara umum berdasarkan cara/proses pengolahannya, teh dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh hijau dibuat dengan cara menginaktivasi enzim oksidase/fenolase yang ada dalam pucuk daun teh segar, dengan cara pemanasan atau penguapan menggunakan uap panas, sehingga oksidasi enzimatik terhadap katekin dapat dicegah (tabel I). Teh hitam dibuat dengan cara memanfaatkan terjadinya oksidasi enzimatis terhadap kandungan katekin teh (tabel II). Sementara, teh oolong dihasilkan melalui proses pemanasan yang dilakukan segera setelah proses rolling/penggulungan daun, dengan tujuan untuk menghentikan proses fermentasi (Hartoyo, 2003).

  Tabel I. Proses pengolahan teh hijau (Hartoyo, 2003) Tahap pengolahan Tujuan Pelaksanaan

  Pemanasan Menginaktifkan enzim Daun segar dimasukkan oksidase, mengurangi kadar dalam rotary panner suhu

  o o

  (Pelayuan) air daun sehingga mudah 90 -100 C selama 5 menit. digulung.

  Penggulungan Membuat bentuk daun Daun digulung dengan

  orthodox roller

  tergulung, memeras cairan kecil sel ke permukaan. selama 10-20 menit. Pengeringan Mengurangi kadar air, Pengeringan secara mematikan enzim yang bertahap. mungkin masih punya aktivitas, memperpanjang

  1. Tahap 1 : umur simpan, membentuk menggunakan keriting dan berbutir. pengering sinambung suhu

  o

  100 C selama 20- 22 menit.

  2. Tahap 2 : menggunakan pengering berputar ( rotary drier atau

  o boll tea

  ) suhu 80 C selama 60-80 menit.

  Sortasi Memisahkan partikel bukan Mengayak, teh, menyeragamkan ukuran menghembuskan, dan bentuk partikel, menghilangkan serat dan menggolong-golongkan tangkai, dan memotong dalam grade teh. (bila perlu).

  Tabel II. Proses pengolahan teh hitam (Hartoyo, 2003) Tahap pengolahan Tujuan Pelaksanaan

  o C dan kelembaban 85-95 %.

  Teh mempunyai banyak manfaat pada kesehatan, diantaranya sebagai antioksidan, menghambat oksidasi low density lipoprotein (LDL), mereduksi kolesterol, antitrombosis, antimikroba, antivirus, memberikan perlindungan terhadap kanker (Hartoyo, 2003).

  Mengayak, menghembuskan, menghilangkan serat dan tangkai, dan memotong (bila perlu).

  C (inlet) selama 25-30 menit. Sortasi Memisahkan partikel bukan teh, menyeragamkan ukuran dan bentuk partikel, menggolong-golongkan dalam grade teh.

  o

  Pengeringan secara sinambung dengan suhu 90- 100

  Pengeringan Menghentikan aktivitas enzim dan memperpanjang umur simpan.

  Meletakkan pucuk tergulung pada baki selama 30 menit dengan suhu ruangan 26-28

  Pelayuan Mengurangi kadar air daun sehingga mudah digulung dan dihancurkan.

  selama 15 menit). Fermentasi Mempertemukan polifenol dengan enzim polifenol oksidase.

  secondary rolling

  Pucuk layu digulung bertahap dengan mesin orthodox roller (Primary rolling selama 40 menit, rotavane rolling selam 2 menit, dan

  C) dan kelembaban moderat (RH 60%) selama 10-16 jam. Penggulungan Memperkecil ukuran partikel daun dan menciptakan kondisi fisik terbaik untuk mempertemukan polifenol dengan enzim polifenol oksidase.

  o

  Daun segar dialiri udara hangat ( ≤ 30

2. Khasiat teh

3. Syarat tumbuh

  Menurut Setyamidjaja (2000) tanaman teh berasal dari daerah subtropis yang kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia, baik daerah subtropis maupun tropis.

  Dalam penanamannya di Indonesia yang beriklim tropis agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal, tanaman teh menghendaki persyaratan iklim dan tanah yang sesuai umtuk keperluan pertumbuhannya. Daerah pertanaman teh yang lebih cocok di Indonesia adalah daerah pegunungan. Secara umum, lingkungan fisik yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman teh adalah keadaan iklim dan tanah.

  a. Iklim Adapun faktor iklim yang berpengaruh adalah curah hujan, suhu udara, tinggi tempat, sinar matahari dan angin (Setyamidjaja, 2000).

  1). Curah hujan Tanaman teh menghendaki daerah pertanaman yang lembap dan sejuk.

  Tanaman teh tidak tahan terhadap kekeringan, sehingga daerah pertanaman harus memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. Curah hujan yang diperlukan adalah 2.000 mm - 2.500 mm, dengan jumlah hujan pada musim kemarau rata - rata tidak kurang dari 100 mm. Jika curah hujan kurang dari batas minimum, akan mengakibatkan penurunan produksi, terutama di daerah pertanaman yang relatif rendah (Setyamidjaja, 2000).

  2). Suhu udara

  o o

  Suhu udara yang baik bagi tanaman teh adalah suhu berkisar antara 13 – 25

  C, yang diikuti oleh cahaya matahari yang cerah dengan kelembaban relatif pada siang hari tidak kurang dari 70% (Setyamidjaja, 2000).

  3). Tinggi tempat Di Indonesia, pertanaman teh dilakukan pada ketinggian antara 400 m →

  1.200 m dari permukan laut (dpl). Sehingga daerah pertanaman teh dapat dibagi menjadi tiga daerah berdasarkan ketinggian tempat yaitu :

  o

  a. daerah dataran rendah : 400 – 800 m dpl, dengan suhu mencapai 23-24 C.

  o

  b. daerah dataran sedang : 800 - 1.200 m dpl, dengan suhu mencapai 21-22 C.

  o

  c. daerah dataran tinggi : diatas 1.200 m dpl, dengan suhu mencapai 18-19 C.

  Perbedaan ketinggian tempat yang menyebabkan perbedaan suhu, mempengaruhi sifat pertumbuhan perdu teh. Karena perbedaan sifat pertumbuhan tersebut, maka terdapat perbedaan mutu dari teh. Apabila suhu tinggi, maka pertumbuhan tanaman teh akan terhambat. Semakin tinggi daerah perkebunan maka kualitas, mutu dan aroma teh semakin baik (Setyamidjaja, 2000). Mutu teh ini akan berbanding lurus dengan kandungan kimia yang dapat larut dalam air. Semakin tinggi mutu atau grade teh, maka kandungan kimia yang dapat larut dalam air adalah lebih banyak (Rohdiana, 2005). Kadar katekin berpengaruh terhadap rasa dari teh. Semakin tinggi daerah perkebunan, maka semakin tinggi pula rasa sepat pada teh.

  4). Sinar matahari Menurut Setyamidjaja (2000) sinar matahari sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman teh. Semakin banyak sinar matahari, pertumbuhan tanaman teh semakin cepat. Sinar matahari mempengaruhi pula suhu udara, semakin banyak sinar matahari, suhu udara semakin tinggi Kurangnya sinar matahari pada bulan basah maka akan menghambat proses metabolisme sehingga mempengaruhi mutu pucuk teh dan pertumbuhannya.

  5). Angin Pada umumnya, angin yang berasal dari dataran rendah membawa udara yang panas dan kering. Angin yang bertiup kencang dapat menurunkan kelembaban hingga 30%. Angin dapat pula mempengaruhi kelembapan udara serta penyebaran hama dan penyakit (Setyamidjaja, 2000).

  b. Tanah Menurut Setyamidjaja (2000) tanah yang baik dan sesuai dengan kebutuhan tanaman teh adalah tanah yang cukup subur dengan kandungan bahan organik cukup, tidak bercadas serta mempunyai derajat keasaman (pH) antara 4,5 – 6,0. Di Indonesia, tanah untuk tanaman teh dibedakan menjadi dua jenis utama andosol (pada ketinggian di atas 800 mdpl) dan tanah latosol (ketinggian di bawah 800 mdpl).

4. Tempat tumbuh teh

  Lokasi perkebunan pabrik teh PT. Rumpun Sari Kemuning (RSK), Desa

  o o

  Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar terletak antara 11,1 – 11,25 BT o o o

  dan 7,4 – 7,54 LS dengan kemiringan wilayah 30 – 40 . Kelembaban udara di wilayah PT. RSK antara 60 – 80 % dengan curah hujan rata – rata selama 10 tahun terakhir adalah sebesar 3097 mm / tahun tanpa musim kemarau yang panjang,

  o

  intensitas penyinaran 40 % dan suhu rata – rata 21,5

  C. Ketinggian lahan PT. RSK 800 – 1300 mdpl. Perkebunan PT. RSK memiliki jenis tanah latosol dengan pH tanah 4,6 – 5,5. Tanah yang memenuhi syarat untuk tanaman teh ialah tanah yang subur banyak mengandung bahan organik, tidak bercadas serta memiliki keasaman (pH) berkisar 4,5 – 5,6. Sehingga dilihat keadaan tanahnya PT. RSK cocok untuk ditanami teh (Suwarso, wawancara pribadi, 1 Juli 2009).

  PT. Tambi mengelola 3 unit perkebunan teh yang terletak di desa Bedakah, Tanjungsari serta desa Tambi dengan luas area mencapai 829,14 Ha yang dilengkapi fasilitas pondok wisata, Kolam Pemancingan, Lapangan Tenis, Taman Bermain, Kebun dan Pabrik Teh. Perkebunan teh unit Tanjungsari, Kecamatan Kertek,

  o o o o

  Kabupaten Wonosobo terletak 7,11 - 7,36 LS dan 109,43 -110,4 BT. Kelembaban udara di wilayah unit Tanjungsari antara 20 – 22 % dengan curah hujan rata – rata selama 10 tahun terakhir adalah sebesar 2500 - 2544 mm / tahun dan suhu rata – rata

  o

  15 - 24

  C. Ketinggian lahan kebun teh 760 – 1020 mdpl. Perkebunan ini memiliki jenis tanah latosol dengan pH tanah 4,6 – 5,5 (Moehni, wawancara pribadi, 25 Juni 2009).

  Klon tanaman teh yang ditanam di kebun PT. RSK maupun PT. Tambi unit Tanjungsari meliputi TRI (Tea Research Institute of Ceylon, Srilanka) 2024, TRI

  TRI 2024 : Daun bulat lonjong, daun agak kecil dan lebih tipis, gerigi daun meruncing dan panjang, serat daun lebih ringan daripada TRI 2025, biaya produksi sedang sampai tinggi, mudah terserang penyakit cacar, dapat tumbuh hampir di semua tempat dan mudah di stek.

  TRI 2025 : Daun bulat memanjang, bergerigi tidak meruncing dan tidak dalam, daun lebar dan lebih tebal, biaya produksi sedang sampai tinggi, lebih tahan terhadap cacar, dapat tumbuh hampir di semua tempat dan mudah di stek.

  Gambung : Lekukan daun lebih dalam, daun besar dan lebar, gerigi daun lebih runcing (bergerigi besar), bulu – bulu daun lebih banyak, memiliki daya adaptasi yang lebih baik.

  CIN : Daun lebih kecil dan panjang, daya produksi rendah, tumbuh baik di beberapa tempat, menghasilkan aroma teh yang baik dan mudah berakar.

5. Jenis Petikan

  Menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gambung (1992), jenis petikan dapat dibedakan menjadi tiga kategori :

  1. Petikan halus, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko (p) dengan satu daun, atau pucuk burung (b) dengan satu daun muda (m), biasa ditulis dengan rumus p+1 atau b+1m.

  2. Petikan medium, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan dua daun, tiga daun muda, serta pucuk burung dengan satu, dua atau tiga daun muda, ditulis dengan rumus p+2, p+3m, b+1m, b+2m, b+3m.

  3. Petikan kasar, apabila pucuk yang dihasilkan terdiri dari pucuk peko dengan empat daun atau lebih, dan pucuk burung dengan beberapa daun tua, ditulis dengan rumus p+4 atau lebih, b+(1-4t) (Setyamidjaja, 2000).

B. Zat Bioaktif dalam teh Zat bioaktif yang ada dalam teh, terutama merupakan golongan flavonoid.

  Berdasarkan struktur dan konformasi cincin C molekul dasarnya, maka flavonoid digolongkan menjadi enam kelas, yaitu flavon, flavanon, isoflavon, flavonol, flavanol dan antosianin. Adapun flavonoid yang ditemukan pada teh terutama berupa flavanol dan flavonol. Selain flavonoid, ada satu jenis zat bioaktif dalam daun teh yang mungkin belum banyak dikenal meskipun sudah lama ditemukan, yaitu asam amino bebas yang disebut L-theanin (Hartoyo, 2003).

  1. Katekin teh Katekin merupakan flavonoid yang termasuk kelas flavanol. Jumlah atau kandungan katekin ini bervariasi untuk masing-masing jenis teh (tabel III).

  Tabel III. Kadar katekin berbagai jenis teh (Hartoyo, 2003) Asal Jenis teh Substansi katekin (% berat kering) Katekin EC EGC ECG EGCG Total

  Indonesia Teh hitam 0,24 0,79 3,54 1,46 2,21 8,24 orthodox Teh hitam 0,23 0,27 4,24 1,03 1,25 7,02 CTC Teh hijau 0,10 0,54 6,35 1,08 3,53 11,60 ekspor Teh hijau 0,08 0,41 6,39 0,65 3,28 10,81 lokal Teh wangi 0,10 0,35 5,96 0,64 2,23 9,28 Pucuk 0,70 2,62 2,17 1,22 7,89 14,60 segar GMB 1 Pucuk 0,80 1,41 0,61 1,92 9,43 14,15 Segar GMB 2

  Jepang Sencha 0,07 0,41 2,96 0,26 1,36 5,06 China Oolong 0,14 0,20 2,24 0,43 3,14 6,73

  Teh 0,15 0,39 3,81 0,69 2,43 7,47 Wangi

  Katekin teh yang utama adalah epicatechin (EC), epicatechin gallate (ECG),

  

epigallocatechin (EGC) dan epigallocatechin gallate (EGCG) (gambar 1). Katekin

  memiliki sifat tidak berwarna, larut air, serta membawa sifat pahit dan sepat pada seduhan teh (Hartoyo, 2003).

  (-)-Epicatechin : R 1 = R 2 = H (-)-Catechin : R 1 = R 2 = H (-)-Epigallocatechin : R 1 = OH, R 2 = H (-)-Gallocatechin : R 1 = OH, R 2 = H (-)-Epicatechin gallate : R 1 = H, R 2 = X (-)-Catechin gallate : R 1 = H, R 2 = X (-)-Epigallocatechin gallate : R 1 = OH, R 2 = X (-)-Gallocatechingallate : R 1 = OH, R 2 = X

  

Gambar 1. Struktur kimia katekin dan epimernya (Hartoyo, 2003)

  2. Flavonol teh Flavonol utama yang ada di dalam daun teh adalah quercetin, kaempferol, dan myricetin (gambar 2). Flavonol ini terutama terdapat dalam bentuk glikosida

  (berikatan dengan molekul gula) dan sedikit dalam bentuk aglikonnya. Jumlah flavonol teh bervariasi (tabel IV) tergantung pada beberapa hal, misalnya suhu dan cara ekstraksi yang digunakan.

  Tabel IV. Jumlah flavonol teh (Hartoyo, 2003) Jumlah (g/kg) Jenis Flavonol Teh Hijau Teh Hitam

  3' 4' OH

  1 =OH, R 2 = R 3 =H

Gambar 2. Struktur flavonol teh

  Kaempferol : R

  

1 = R

2 = OH, R 3 =H

  Quercetin : R

  1 = R 2 =R 3 = OH

  Myricetin : R

  3 6' 5' 2'

  Myricetin 0,83-1,59 0,24-0,52 Quercetin 1,79-4,05 1,04-3,03

  4

  5

  8

  7

  6

  O R 1 HO R 2 OH R 3 O A C B

  Kaempferol 1,56-3,31 1,72-2,31

  3. Theaflavin dan thearubigin Dalam proses pembuatan teh hitam, katekin dioksidasi secara enzimatis membentuk pigmen teh hitam yaitu theaflavin, theaflavin 3-gallate, theaflavin 3’- gallate dan theaflavin 2,3’-digallate. Jumlah theaflavin dan thearubigin dalam teh hitam masing-masing berkisar antara 0,3% - 2% dan 10% - 20% (berat kering).

  Keduanya memberikan kontribusi terhadap sifat seduhan teh hitam seperti pada warna dan ketajaman (Hartoyo, 2003).

  

Gambar 3. Strukur kimia theaflavin dan thearubigin teh hitam

  4. L-Theanin Senyawa bioaktif dalam teh selain flavonoid yang memiliki manfaat bagi tubuh, yaitu yang disebut L-theanin. L-theanin adalah sebuah asam amino yang unik pada tanaman teh dan merupakan komponen utama yang bertanggung jawab terhadap

  exotic taste

  . Senyawa ini unik karena hanya ditemukan pada teh dan jamur

  Xeromonas badius

  . Jumlah L-theanin dalam daun teh berkisar 1% - 2% (berat kering). L-theanin merupakan komponen asam amino utama dalam teh dengan jumlah yang lebih dari 50% dari total asam amino bebas (Hartoyo, 2003).

  NH H C 2 CH 2 NH CH 3 HOOC CH 2 C CH 2 Gambar 4. Struktur kimia L-theanin O

C. Penyarian

  Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Secara umum, penyarian dapat dibedakan menjadi infudasi, maserasi, perkolasi dan penyarian berkesinambungan. Sebagai cairan penyari digunakan air, eter, atau campuran etanol air. Penyarian dengan pencampuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (Anonim, 1986).

  1. Cara penyarian

  a. Infudasi. Cara infudasi merupakan proses untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Penyarian ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kapang dan kuman. Oleh karena itu sari yang diperoleh tidak boleh disimpan terlalu lama (lebih dari 24 jam). Infudasi dibuat

  o dengan cara menyari simplisia dengan air pada suhu 90 C selama 15 menit.

  (Anonim, 1986).

  b. Maserasi. Cara maserasi merupakan proses penyarian yang sederhana, dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam cairan penyari sehingga cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terlarut dan dengan adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan diluar sel maka larutan yang terpekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, campuran air etanol (Anonim,1986).

  Maserasi dapat dilakukan modifikasi misalnya dengan teknik remaserasi, dimana cairan dibagi menjadi 2 kemudian seluruh serbuk dimaserasi dengan cairan penyari pertama sesudah diendaptuangkan dan diperas maka ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari kedua (Anonim,1986).

  c. Perkolasi. Cara perkolasi merupakan proses penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang sudah dibasahi. Prinsip perkolasi dengan cara serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Serbuk sebelum diperkolasi harus dimaserasi dulu untuk mengembangkan sel sehingga aliran cairan penyari tidak akan mengalami hambatan kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam alat perkolasi (perkolator) sambil tiap kali ditekan. Serbuk kemudian ditutup dengan kertas saring dan cairan penyari dialirkan hingga di atas permukaan massa masih terdapat lapisan cairan penyari. Setelah 24 jam, keran dibuka dan diatur hingga kecepatan penetesan adalah 1 kualitatif pada perkolat terakhir (Anonim, 1986).

  d. Penyarian berkesinambungan. Proses ini merupakan gabungan antara proses untuk menghasilkan ekstrak cair dan proses penguapan. Alat yang digunakan adalah Soxhlet. Pada penyarian ini, cairan penyari dipanaskan hingga mendidih kemudian uap penyari akan naik ke atas dan mengembun karena didinginkan oleh pendingin balik. Embun akan turun dan melarutkan zat aktif pada serbuk simplisia (Anonim, 1986).

  2. Cairan penyari Untuk memilih cairan penyari perlu mempertimbangkan banyak faktor.

  Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria yaitu murah dan mudah didapat, stabil secara fisika dan kimia, netral, tidak mudah menguap dan terbakar, selektif dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Anonim, 1986).

  Farmakope Indonesia Edisi III menetapkan bahwa air, eter atau campuran air etanol adalah cairan penyari. Etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar, dan klorofil. Lemak, malam, tanin dan saponin hanya sedikit larut di dalam etanol.

  Campuran etanol dan air dapat digunakan untuk meningkatkan penyarian (Anonim, 1986).

D. Radikal Hidroksil

  Radikal bebas adalah suatu atom atau gugus atom apa saja yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Suatu radikal bebas tidak bermuatan positif atau negatif yang sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak berpasangan (Fessenden dan Fessenden, 1994). Pembentukan radikal bebas terjadi melalui reaksi yang langsung memutuskan ikatan atau melalui proses transfer elektron (Halliwell and Gutteridge, 1999). Suatu radikal bebas biasanya dijumpai sebagai zat antara yang tidak dapat diisolasi, usia pendek, sangat reaktif dan berenergi tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1994). Radikal mampu menarik atom H dari suatu molekul. Pengaruh radiasi ionisasi terhadap materi biologik akan menghasilkan radikal bebas hidroksil dan radikal bebas lainnya, seperti radikal hidrogen dan elektron yang siap berinteraksi dengan biomolekul-biomolekul lain yang saling berikatan (Gitawati, 1995).

  Radikal hidroksil adalah radikal yang sangat reaktif dan tidak stabil. Ia dapat bereaksi dengan hampir semua substrat biologik. Karena sangat reaktif efek radikal ini hanya berlangsung di daerah yang dekat dengan tempat terbentuknya dan dalam kondisi fisiologik normal tidak ditemukan radikal hidroksi dalam kadar yang besar (Gitawati, 1995).

  Reaksi fisi homolitik ikatan O-O pada H

  2 O 2 menghasilkan dua molekul

  • radikal hidroksil ( OH), reaksi homolitik ini dapat terjadi karena pengaruh panas atau adisi ionisasi. Selain itu, radikal hidroksi juga dapat terbentuk dari H O dengan

  2

  2

  • 2+

  adanya ion logam (Fe , Cu ) menurut reaksi Fenton, dan dengan adanya bahan pengkelat (Gitawati, 1995).

  Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai produk antara. Di dalam sel hidup, radikal bebas terbentuk pada membran plasma pada organel-organel seperti mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasma, dan sitosol. Melalui reaksi-reaksi enzimatik fisiologi yang berlangsung dalam proses metabolisme proses fagositosis oleh sel-sel fagositik termasuk neutrofil, monosit, makrofag dan eusinofil juga menghasilkan

  • radikal bebas yaitu radikal hidroksil ( OH) (Hidayat, 2000).

D. Oksidan dan Radikal Bebas

  Oksidan dalam ilmu kimia adalah senyawa penerima elektron (electron

  acceptor

  ) yakni senyawa – senyawa yang dapat menarik elektron (Syahbana dan Bahalwan, 2002). Dampak aktivitas oksidan sangat luas dan sering mekanisme molekulernya masih belum jelas. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan dalam orbital terluarnya sehingga sangat reaktif. Radikal ini cenderung mengadakan reaksi berantai yang bila terjadi dalam tubuh dapat menimbulkan kerusakan – kerusakan yang serius.

  Pengertian oksidan dan radikal bebas sering rancu karena keduanya memiliki sifat yang mirip. Aktivitas kedua jenis senyawa ini sering menghasilkan akibat yang sama walaupun melalui proses yang berbeda (Syahbana dan Bahalwan, 2002).

  Radikal bebas dihasilkan melalui proses pembakaran seperti pembakaran bahan bakar minyak, radiasi, merokok, memanggang makanan, dan dari proses metabolisme tubuh normal. Radikal bersifat sangat reaktif karena memiliki elektron tidak berpasangan. Reaktivitas radikal tergantung pada jenis radikal dan lingkungan tempat radikal tersebut berada (Halliwell and Gutteridge, 1999).

  Radikal bebas memiliki pengaruh di dalam tubuh kita, radikal hidroksil yang dihasilkan dekat dengan DNA secara perlahan – lahan dapat memecah rantai DNA dan berperan dalam proses karsinogenik, mutagenik dan sitotoksik. Terhadap protein,

  cross linking,

  radikal bebas dapt menyebabkan fragmentasi dan sehingga mempercepat terjadinya proteolisis. Terhadap lipid, radikal ini dapat menyebabkan peroksidasi (Suyatna 1989; Gitawati, 1995).

E. Antioksidan

  Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau menghambat dan mencegah kerusakan dikarenakan proses oksidasi pada makanan dan obat (Pokorny, Yanishlieva and Gordon, 2001).

  Tubuh sendiri memiliki sistem pertahanan internal terhadap radikal bebas yakni antioksidan yang dikelompokkan menjadi tiga golongan sebagai berikut : a. Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang bekerja dengan cara menghalangi pembentukan radikal bebas baru. Termasuk golongan ini adalah superoksid dismutase (SOD) yang akan mengkatalis dismutase radikal anion superoksida menjadi oksigen (O ) dan hidrogen peroksida (H O ), katalase yang akan

  2

  2

  2

  mengubah H

  2 O 2 menjadi oksigen dan air, senyawa – senyawa fenolik seperti galat dan flavonoid. (Wilmsen, Spada and Salvador, 2005).

  b. Antioksidan sekunder atau penangkap radikal, yaitu antioksidan yang dapat menangkap radikal sehingga dapat menekan terjadinya reaksi rantai, baik pada awal pembentukan rantai maupun pada fase propagasi. Yang termasuk golongan ini adalah vitamin E, beta karoten dan kurkuminoid (Niki, Nuguchi, Iwatsuki and Kato, 1995).

  c. Antioksidan tersier, yaitu antioksidan yang memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Termasuk golongan ini adalah enzim yang memperbaiki DNA dan metionin sulfoksida reduktase (Niki et al,. 1995).