SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

STUDI DESKRIPTIF

TENTANG SIKAP ANAK SEKOLAH DASAR INKLUSI

TERHADAP TEMAN SEBAYA YANG

BERKEBUTUHAN KHUSUS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

  

Program Studi Psikologi

  Oleh : Maretha Lia Isnaryanti

  NIM : 049114086

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

!!

  ! ! " " # $ % & '

  

ABSTRAK

Maretha Lia Isnaryanti (2009) : Studi Deskriptif Tentang Anak Sekolah

Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang Berkebutuhan Khusus.

Yogyakarta : Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas

Sanata Dharma.

  Teman menjadi orang yang sangat penting pada masa pertengahan kanak- kanak. Namun, anak cenderung memilih-milih anak sebaya yang akan dijadikannya sebagai teman. Di sisi lain, penilaian serta respon anak terhadap teman sebaya menjadi hal penting yang dapat mempengaruhi konsep diri teman tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sikap siswa di sekolah dasar yang tidak berkebutuhan khusus terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus di kelas inklusi. Penelitian ini ingin melihat bagaimana pandangan, perasaan dan kecenderungan tindakan siswa normal terhadap aspek kompetensi akademik, kompetensi sosial, kemampuan fisik/atletik dan penampilan fisik anak berkebutuhan khusus.

  Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa SD Negeri Giwangan kelas IV dan V yang berada dalam satu kelas inklusi dengan anak berkebutuhan khusus. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah 65 orang yang terdiri atas 35 siswa laki-laki dan 30 siswa perempuan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap anak berkebutuhan khusus. Skala sikap yang digunakan terdiri atas 38 item dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,906.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan anak normal di sekolah dasar inklusi memiliki sikap yang positif terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus. Data keseluruhan menunjukkan bahwa terdapat 62 orang (95,4%) bersikap positif tinggi, 3 orang (4,6%) bersikap positif rata-rata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap positif yang tinggi pada subyek penelitian meliputi aspek kognitif, afektif, dan konatif. Sikap positif tersebut ditujukan terhadap keseluruhan aspek diri anak berkebutuhan khusus, yaitu kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan fisik/atletik serta penampilan fisik anak berkebutuhan khusus.

  Kata kunci : sikap, inklusi, teman sebaya, anak berkebutuhan khusus.

  

ABSTRACT

Maretha Lia Isnaryanti (2008). A Descriptive Study About The Attitude of

Children in Inclusion Elementary School Toward Their Peers With Special

Needs. Yogyakarta : Psychology Department, Sanata Dharma University.

  Friends are always being more important person in middle childhood. But children have tendency to choose peers who will be their friends. In other side, valuation and respond from children to another peer could be something important that can influence this peer’s self-concept. Current research aimed to describe the attitude of children without special needs in elementary school toward their peers with special needs in inclusion class. Current research wanted to show how did normal children thought, felt, and had tendency to act toward academic competence, social competence, physical/athletic competence and physical appearance in children with special needs.

  The type of this research was quantitative descriptive. Subject used on this research were student fourth and fifth grade in Giwangan Elementary School who studied together in one inclusion class with children with special needs. The number of the subject on this research were 65 people, those were 35 male students and 30 female students. Method to collected data on this research used attitude toward children with special needs scale. Attitude scale that used consist of 38 items with reliability coefficient 0,906.

  The result from the research was show that normal children in inclusive elementary school had positive attitude significantly toward peers with special needs. From the total result there was 62 people (95,4%) had high positive attitude, 3 people (4,6%) had average attitude. The result showed that high positive attitude, involve cognitive, affective, and conative. That positive attitude toward all of the self aspect on children with special need, there were academic competence, social competence, physical competence/athletic, and physical appearance from children with special needs.

  Key words : attitude, inclusion, peers, children with special needs.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih yang tiada terduga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Tentang Sikap Siswa Normal di Sekolah Dasar Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi”.

  Penulis menyadari bahwa penulis tidak meungkin dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi, M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan dukungan dan ijin untuk melakukan penelitian.

  2. Ibu Silvia Carolina M. Y. M, S. Psi, M. Si selaku Ketua Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah mendukung dan membantu terselesaikannya penyusunan skripsi.

  3. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi, Psi, M. Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mengarahkan dengan sabar, memberi saran dan koreksi demi kelancaran penyusunan skripsi.

  4. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M. Si selaku dosen penguji I yang telah memberi masukan berharga bagi kesempurnaan hasil karya penulis.

  5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti MS selaku dosen penguji II yang telah mengkritisi serta memberi saran membangun demi kesempurnaan penelitian.

  6. Ibu Henrietta P. D. A. D. S, S. Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah mendorong supaya skripsi segera terselesaikan.

  7. Ibu Dra. Sri Pujiastuti selaku Kepala Sekolah SD Negeri Giwangan atas keterbukaannya untuk membantu penulis untuk melakukan penelitian di tempat beliau mengampu.

  8. Ibu Nur Endang Indrariana, S. Pd selaku Guru Pembimbing Khusus SD Negeri Giwangan yang telah mendampingi penulis untuk melakukan penelitian serta memberikan keterangan yang penulis butuhkan.

  9. Ibu Y. Sri Kayungyun, S. Pd selaku Kepala Sekolah SD Negeri Gejayang yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan uji coba penelitian.

  10. Ibu Nining sebagai Guru Pendamping Khusus di SD Negeri Gejayan yang telah menyempatkan waktu untuk membantu penulis dalam melakukan uji coba penelitian.

  11. Siswa-siswi SD Negeri Gejayan dan siswa-siswi SD Negeri Giwangan yang telah bersedia menjadi subyek dalam penelitian.

  12. Seluruh dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan wawasan dalam perkuliahan selama ini.

  13. Mas Gandung, Mbak Nanik, Pak Gie’, Mas Muji dan Mas Doni selaku staf dan karyawan fakultas Psikologi yang dengan sabar telah membantu memfasilitasi dan memberikan informasi selama penulis kuliah hingga menyelesaikan skripsi.

  14. Bapak dan Ibu yang kusayangi yang telah membesarkan dan membimbing dengan peluh serta selalu memberikan aku kesempatan untuk berkembang.

  Terima kasih atas doa dan restu bapak dan ibu selama ini.

  15. Mas Is, Henry, Debby dan Nano saudara kandungku yang selalu membuatku tertawa dan mewarnai hari-hariku di sela-sela kesibukanku.

  16. My Sweetheart yang selalu ada untukku sebagai kakak, sahabat dan ‘life-

  partner’ terbaikku. Terima kasih untuk kesabarannya dalam menemani langkahku dan semua dukunganmu, Say. Let’s walk together on His plans...

17. Keluarga Home Church Community : Bang Stef, Bro’ Yehezkiel, Sist’ Nona,

  Sist’ Susan, Sist’ Tirza, Sist’ Selvi, Sist’ Fenny, Mami Vony, Mbak Dwi, Sist’ Yekti, Sist’ Fifin, Bu Ning, Bu Tin, Bu Gun, Pak Dodo, Bro’ Dony dan Bro’Obet, sebagai saudaraku yang telah mengajariku bagaimana untuk tetap ‘hang on God’ dalam kesulitan-kesulitanku. Thanks a lot for your pray guys...

  18. Weny, Mae, dan Yoyo’ thanks guys untuk training singkat yang sangat membantuku dalam menyelesaikan pengolahan data.

  19. Teman-temanku Weny, Verty dan Wiwin kalian adalah warna selama masa kuliahku. Ayo lulus bareng tapi jangan pernah lupakan aku ya…

  20. Bapak Dr. Priyo T. Widiyanto, M. Si selaku kepala P2TKP, Bapak Thony dan Mbak Diana selaku staf P2TKP serta Mabk Tia sebagai psikolog P2TKP yang telah memberikan kesempatan untuk belajar dan mendapatkan pengalaman yang berharga di P2TKP.

  21. Seluruh asisten P2TKP tahun 2008 : Mas Desta, Mbak Otic, Mas A-be, Vania, Weny, Tinul, Wulan, Betty, Budi, Mitha, Atik, Mbak Wiwid, Mbak Gothe, Badai, Fany-oneng, dan Mas Rondang. Senang bisa mendapatkan pengalaman bekerja sama dengan kalian dan mengenal kalian. Terima kasih buat masukan- masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsiku. Mari kita meraih masa depan yang sukses bersama!!

  22. Mahasiswa angkatan 2004 dan seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu selama perkuliahan dan dalam penulisan skripsi.

  Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan pembaca memberikan masukan dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap hasil penelitian dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu psikologi dan bagi pembaca.

  Yogyakarta, 21 Februari 2009 Maretha Lia Isnaryanti

  DAFTAR ISI Halaman

  HALAMAN JUDUL………………………………………………………...... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………......... ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………...…………. iii MOTTO……………………………………………………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………...…....... v PERYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………......... vi ABSTRAK…………………………………………………………………….. vii ABSTRACT…………………………………………………………………… viii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI............................ ix KATA PENGANTAR………………………………………………………… x DAFTAR ISI………………………………………………………………….. xiv DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. xvii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xviii

  BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah…………………………………………………….. 8 C. Tujuan Masalah…………………………………………………...... ... 9 D. Manfaat Penelitian................................................................................. 10 BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Pertengahan Anak-anak……………………………………………….. 12

  1. Pengertian dan Batasan Usia………………………........................ 12

  2. Karakteristik Sosio-emosional…………………………………….. 13

  3. Perkembangan Moral dan Pemahaman Sosial…………………….. 17

  B. Sikap…………………………………………………………………... 18

  1. Definisi Sikap……………………………………………………... 18

  2. Komponen Sikap………………………………………………….. 19

  3. Dimensi Sikap…………………………………………………….. 20

  4. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan dan Perubahan Sikap.... 21

  5. Aspek Diri Anak berkebutuhan Khusus Sebagai Obyek Sikap….......................................................................…………….. 23

  C. Anak Berkebutuhan Khusus………………………………………….... 26

  1. Pengertian………………………………………………………….. 26

  2. Jenis dan Karakteristik Anak berkebutuhan Khusus……………… 27

  D. Inklusi…………………………………………………………………. 33

  1. Pengertian Inklusi…………………………………………………. 33

  2. Karakteristik Kelas Inklusi………………………………………... 34

  3. Proses Belajar dalam Kelas Inklusi……………………………….. 35

  E. Sikap Anak Sekolah Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang Berkebutuhan Khusus………………………………………….... 38 F. Skema Sikap Anak Sekolah Dasar Inklusi Terhadap Teman Sebaya yang Berkebutuhan Khusus………………………………………….... 44 G. Pertanyaan Penelitian………………………………………………….. 45

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian…...……………………………………………………. 46

  B. Variabel Penelitian…………………………………………………….. 46

  C. Definisi Operasional…………………………………………………… 46

  D. Subyek Penelitian……………………………………………………… 48

  E. Metode dan Alat Pengumpulan Data…………………………………... 50

  1. Metode Pengumpulan Data……………………………………….... 50

  2. Isi Skala…………………………………………………………….. 51

  3. Pemberian Nilai atau Scoring………………………………………. 54

  4. Pertanggungjawaban Alat Ukur……………………………………. 54

  F. Prosedur Penelitian……………………………………………………... 60

  G. Metode Analisis Data…………………………………………………... 61

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian……………………………………………….... 64

  1. Pengumpulan data………………………………………………..... 64

  2. Deskripsi Subyek…………………………………………………... 66

  B. Hasil Penelitian……………………………………………………….... 68

  1. Uji Normalitas……………………………………………………… 68

  2. Hasil Analisis Deskriptif…………………………………………… 68

  C. Pembahasan…………………………………………………………….. 79

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan…………………………………………………………….. 89 B. Saran…………………………………………………………………… 89 Daftar Pustaka………………………………………………………………….. 92

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1. Blueprint Skala Sikap………………………………………………….. 51 Tabel 2. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap……………………………. 51 Tabel 3. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap Sesi 1…………………….. 52 Tabel 4. Distribusi Nomor Item Dalam Skala Sikap Sesi 2…………………….. 53 Tabel 5. Hasil Uji Coba Alat Ukur……………………………………………… 56 Tabel 6. Sebaran Item yang Sahih………………………………………………. 57 Tabel 7. Skala Penelitian Setelah Uji Coba…………………………………….. 58 Tabel 8. Deskripsi Data Penelitian Secara Umum……………………………… 68 Tabel 9. Kategori Skor Sikap Siswa Terhadap Teman Sebaya yang BerkebutuhanKhusus………………………………………………………….... 69 Tabel 10. Deskripsi Frekuensi dan Perbandingan Mean Empirik Tiap Aspek Sikap…………………………………………………………………...... 69 Tabel 11. Deskripsi Perbandingan Mean Empirik……………………………… 71

  LAMPIRAN

  Lampiran 1. Skala Penelitian Sebelum Uji Coba Lampiran 2. Skala Penelitian Setelah Uji Coba Lampiran 3. Koefisien Reliabilitas Uji Coba Skala Sikap Lampiran 4. Koefisien Reliabilitas Uji Coba Skala Sikap Lampiran 5. Uji Asumsi Normalitas Lampiran 6. Deskripsi Data Penelitian Lampiran 7. Surat Ijin dan Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbedaan individu merupakan hal yang seringkali kita temukan dalam

  keseharian. Perbedaan tersebut dapat ditemukan dalam karakteristik fisik yang tampak pada seseorang sampai yang tidak terlihat dalam penampilan fisik orang tersebut. Kecacatan baik secara mental, emosional maupun fisik menyebabkan penyandangnya memiki kebutuhan yang berbeda dibandingkan orang-orang yang normal. Anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus disebut sebagai anak berkebutuhan khusus (direktorat PLB, 2004).

  Kecacatan-kecacatan pada fisik mereka cenderung dapat menyulitkan bagi penyandangnya dalam melakukan aktifitas maupun dalam membangun hubungan interpersonal. Hal ini dikarenakan oleh kecenderungan masyarakat yang lebih menghargai daya tarik fisik dari seseorang (Tarsidi, 2008).

  Kelainan dan keterbatasan fisik cenderung memunculkan berbagai reaksi dari orang normal lainnya. Demikian juga dengan anak yang memiliki kelainan dalam hal intelektual maupun emosional terkadang juga mendapatkan

  

perlakuan yang berbeda. Orang-orang yang normal seringkali menganggap

keterbatasan dan kelainan sebagai sesuatu yang aneh atau tidak biasa.

  Unrow, 1989 (dalam Tarsidi, 2008) mengemukakan bahwa perlakuan

yang berbeda terhadap orang yang berkelainan, baik itu yang overprotektif

maupun yang menunjukkan penolakan, menjadikan ruang gerak orang-orang

dengan kebutuhan khusus menjadi semakin menyempit. Padahal keterbatasan

untuk berinteraksi dengan lingkungan dapat berpengaruh terhadap

  kemampuan anak untuk mengeksplorasi karir yang meliputi pemahaman akan minat dan bakat sendiri serta mengenal berbagai lingkungan kerja.

  Salah satu bentuk perlakuan berbeda yang membatasi ruang gerak anak berkebutuhan khusus adalah dengan mengharuskan anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah khusus. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Mengacu pada undang- undang tersebut di atas, maka anak-anak yang berkelainan juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan anak normal dalam hal pendidikan (Direktorat PLB, 2004). Menanggapi pentingnya kesamaan hak bagi penyandang kebutuhan khusus, para penentu kebijakan dalam dunia pendidikan telah membuat setting pendidikan baru bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.

  Tempat dimana anak dengan kebutuhan khusus digabungkan dengan anak normal untuk belajar bersama baik itu secara penuh maupun dalam waktu tertentu saja disebut sebagai program inklusi. Inklusi membantu anak berkebutuhan khusus untuk belajar di tengah-tengah komunitas normal dan membantu anak normal untuk mengenal dan memahami orang-orang dengan kekurangannya (Papalia, et. al., 2004). Dalam kelas inklusi, anak-anak dengan kebutuhan khusus dan anak normal mengikuti proses pembelajaran bersama- sama dalam satu kelas dan aktivitas belajar-mengajar bersama-sama. Anak- anak berkebutuhan khusus akan berkembang melalui pengajaran dan dukungan teman-teman sebayanya dalam kelas inklusi tersebut (Sutriyono, 2006). Setting dalam kelas inklusi tersebut dikondisikan supaya tercipta situasi dimana siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal harus banyak berinteraksi.

  Adanya program inklusi membuka kesempatan bagi anak-anak dengan keterbatasan kemampuan fisik, mental maupun emosional untuk mendapatkan pendidikan di tempat yang tidak dipisahkan dengan anak normal lainnya. Pelaksanaan program inklusi dijamin oleh Undang Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusi dilindungi oleh undang-undang, pada kenyataannya program tersebut belum dapat dilaksanakan oleh banyak sekolah. Salah satu penghalangnya adalah masalah penerimaan dari masyarakat terutama orang tua siswa. Mereka berpikir apakah siswa berkebutuhan khusus tidak akan mengganggu anak-anak lain dan dapat menurunkan prestasi sekolah (Subkhan, 2007).

  Keberhasilan pelaksanaan program inklusi dalam membantu anak berkebutuhan khusus dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sa’adah (2006) mengadakan penelitian di salah satu sekolah di Yogyakarta yang menerapkan program inklusi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya dorongan minat yang kuat dari masing-masing siswa tuna netra mendukung keberhasilan program inklusi. Namun masih ada faktor lain yang juga berpengaruh yaitu dukungan dan motivasi dari keluarga, guru bidang studi, guru pembimbing khusus, dan teman-temannya yang mempunyai toleransi dan dukungan yang besar terhadap anak tuna netra tersebut.

  Seorang guru di suatu sekolah di Jakarta Timur juga menceritakan bagaimana seorang siswa tuna rungu mendapat peringkat tiga besar dalam kelas inklusi. Guru tersebut merasa sangat kesulitan dalam mentransfer materi pada awalnya, tetapi teman-temannya tidak mengejek atau merendahkan siswa tuna rungu tersebut. Teman-temannya membantu siswa tuna rungu itu supaya dapat menangkap dan memahami materi pelajaran. Berkat dukungan siswa- siswa lainnya, guru merasa sangat tertolong dalam menyampaikan materi dan siswa tuna rungu sangat terbantu untuk maju (Tyas, 2006).

  Dukungan teman-teman sebaya dianggap sangat penting bagi perkembangan siswa berkebutuhan khusus yang belajar di kelas inklusi. Siswa yang duduk di bangku sekolah dasar dan berada dalam tahap perkembangan masa pertengahan kanak-kanak menempatkan pergaulan dengan teman sebaya sebagai faktor yang sangat berpengaruh dalam perkembangan emosional, sosial maupun akademik mereka. Dengan adanya teman, anak merasakan kasih sayang selain dari keluarga, merasa nyaman, dapat melakukan aktivitas yang disukai serta dapat membagikan perasaan dan rahasianya. Teman sebaya pada masa anak-anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan diri anak terhadap kemampuan dirinya dalam menguasai tugas- tugas sekolah atau self-efficacy anak tersebut. Apabila anak memiliki keyakinan yang besar maka kecenderungannya anak juga akan memiliki keinginan yang besar untuk mencoba dan lebih berhasil dalam sekolahnya. Penolakan dari teman sebaya dan kurangnya teman di masa anak-anak dapat menimbulkan dampak dalam jangka panjang (Papalia, et. al., 2004).

  Bagwell, Newcomb, & Bukowski, 1998 (dalam Papalia et. al., 2004) melakukan studi longitudinal terhadap seorang murid kelas 5 sekolah dasar yang tidak memiliki teman lebih dibandingkan teman-teman sekelasnya. Hasilnya menunjukan bahwa anak tersebut memiliki rasa keberhargaan diri atau self-esteem yang rendah pada masa dewasa awal dan terkadang menunjukkan simtom depresi. Pada masa anak-anak, teman sebaya memberikan penilaian atau feedback mengenai kemampuan dan apa yang telah dilakukan oleh teman-temannya (Santrock, 2007). Penilaian tentang baik-buruk, mampu-tidak mampu, pintar-bodoh atau bahkan pujian maupun celaan dan sebagainya diberikan oleh teman sebaya kepada anak-anak yang lain.

  Program pendidikan inklusi dapat memungkinkan adanya kesempatan yang cukup besar untuk saling menilai kemampuan anak yang satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan oleh banyaknya interaksi yang dilakukan antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus dalam setting tersebut.

  Penilaian anak normal terhadap kemampuan dan perbedaan karakteristik dalam diri anak berkebutuhan khusus dapat mempengaruhi pembentukan sikap anak normal terhadap anak tersebut.

  Sikap merupakan suatu respon evaluatif terhadap stimulus tertentu yang kemudian menjadi suatu reaksi terhadap stimulus itu. Proses evaluasi secara sadar terjadi dalam diri individu sehingga dapat memberi kesimpulan mengenai stimulus itu dalam bentuk nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka, baik atau buruk dan sebagainya. Kesimpulan tersebut akan berperan dalam membentuk reaksi dan tindakan- tindakan yang diambil oleh orang itu terhadap stimulus tersebut (Azwar, 1995).

  Kemampuan serta keadaan fisik yang ditunjukkan oleh anak dengan kecacatan fisik dapat mempengaruhi pandangan anak normal terhadap diri anak tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi sikap anak normal terhadap teman- temannya yang memiliki keterbatasan fisik. Demikian juga dengan adanya kelainan dalam hal intelegensi maupun emosional dapat mempengaruhi pandangan dan sikap anak normal terhadap penyandangnya. Hal ini dijelaskan juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wittenbrink, et. al (2001) yaitu bahwa prasangka yang dilakukan secara spontan merupakan suatu variabel yang secara otomatis dapat mempengaruhi terbentuknya suatu sikap. Kesan yang ditimbulkan dari penampakan fisik serta hal-hal yang nyata memiliki pengaruh yang besar munculnya prasangka-prasangka yang akhirnya dapat berpengaruh pada pembentukan sikap terhadap sesuatu yang dilihat.

  Sikap anak-anak normal terhadap keberadaan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dalam kelas inklusi dapat dikatakan sangat penting bagi diri anak berkebutuhan khusus tersebut. Sikap anak normal yang merupakan respon evaluatif terhadap diri anak berkebutuhan khusus dapat menjadi feedback atau masukan bagi anak berkebutuhan khusus. Respon evaluatif tersebut meliputi aspek diri anak berkebutuhan khusus yang terdiri atas kemampuan akademik, kemampuan sosial, kemampuan fisik/atletik serta penampilan fisik. Respon evaluatif yang negatif dari teman sebaya dapat berpengaruh pada rasa keberhargaan diri anak berkebutuhan khusus (Berk, 2006).

  Terkait dengan pentingnya sikap yang positif bagi perkembangan anak berkebutuhan khusus di tengah-tengah anak normal, Booth, et. al (dalam Reid, 2005) menyatakan bahwa dalam kelas inklusi diciptakan sebuah kenyamanan, penerimaan, kerja sama, serta menstimulasi komunitas dimana setiap orang dihargai. Dengan demikian, anak yang normal dengan anak berkebutuhan khusus diajari untuk bekerja sama, saling menghargai dan tercipta rasa nyaman. Adanya situasi tersebut, perbedaan individu bukan dihilangkan atau dianggap tidak ada, melainkan anak normal dan anak berkebutuhan khusus dibentuk untuk memiliki pandangan bahwa perbedaan itu bukanlah suatu hambatan untuk mereka belajar bersama dan mencapai suatu prestasi.

  Strategi pembelajaran dan koordinasi seperti yang telah digambarkan tersebut di atas dapat membantu anak normal untuk membentuk sikap yang positif terhadap teman-temannya yang memiliki keterbatasan fisik, mental, maupun emosional. Sutikno (dalam Sutriyono, 2006) menceritakan bahwa anak tuna netra yang berada di sekolah inklusi di Pemalang, Jawa Tengah, pada awalnya disingkirkan oleh teman-temannya. Akan tetapi pada akhirnya para siswa dapat menerima keberadaan anak tuna netra tersebut setelah guru berusaha untuk menciptakan situasi yang kondusif dalam kelas inklusi tersebut.

  Pada umumnya, sekolah inklusi tidak dapat menerima semua jenis anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal.

  Keterbatasan kemampuan pengajar untuk dapat membimbing semua jenis anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal membuat pihak sekolah cenderung memutuskan untuk menyeleksi anak berkebutuhan khusus yang mendaftar. Demikian juga yang dilakukan oleh kepala sekolah SD Negeri Giwangan sebagai salah satu sekolah dasar inklusi. Anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD tersebut adalah anak memiliki kelainan secara fisik, emosional maupun intelektual tetapi dipandang masih mampu untuk belajar bersama dengan anak-anak normal lainnya. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus tersebut memiliki tingkat keparahan yang masih dapat ditangani oleh tenaga pengajar di tempat sekolah tersebut.

  Walaupun demikian sangat penting untuk memastikan bahwa siswa normal memiliki sikap yang positif dan perilaku sosial yang mendukung terhadap temannya yang berkelainan fisik. Dengan demikian siswa yang berkelainan fisik akan benar-benar menjadi bagian dari kelas tersebut (Bowd, 1986). Apabila sikap anak normal negatif maka perlu adanya program untuk mengembangkan sikap yang positif sehingga program inklusi dapat berhasil.

  A. Rumusan Masalah

  Bagaimana sikap siswa sekolah dasar inklusi terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah sikap siswa normal terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus yang mengikuti proses pembelajaran bersama mereka dalam program inklusi. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat tingkat sikap positif siswa sekolah dasar inklusi terhadap teman sebaya yang berkebutuhan khusus. Selain itu, peneliti juga ingin melihat apakah sikap positif tersebut meliputi keseluruhan aspek sikap atau hanya sebagian saja. Peneliti juga ingin mengetahui apakah sikap positif tersebut meliputi keseluruhan aspek diri anak berkebutuhan khusus atau hanya sebagian dari aspek tersebut.

D. Manfaat Penelitian

  1. Secara Teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Selain itu juga dapat memberikan sumbangan bagi ilmu psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, psikologi sosial dan psikologi klinis pada khususnya.

  2. Secara Praktis

  a. Bagi sekolah dan pelaksana pendidikan Hasil penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan gambaran mengenai bagaimana sikap siswa-siswi normal terhadap siswa-siswi berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran di kelas inklusi. Selain itu juga dapat memberikan informasi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kebijakan lainnya terkait dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus. Ketika hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan adanya penerimaan positif, hal ini juga dapat dijadikan informasi pada pihak sekolah sehingga pihak sekolah tidak perlu kuatir terhadap masa depan sekolah terkait dengan ada atau tidaknya anak normal yang akan mendaftar ke sekolah tersebut. Ketika hasil yang diperoleh negatif, maka pihak sekolah perlu meninjau ulang program-program serta proses pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk membantu pembentukan sikap yang positif terhadap anak berkebutuhan khusus.

  Dalam sekolah inklusi, pembinaan terhadap anak normal agar memiliki sikap yang positif terhadap teman yang berkebutuhan khusus sangatlah penting. Hasil penelitian dapat menjadi bahan bagi pihak sekolah khususnya guru untuk memberikan informasi dan arahan terhadap anak normal dan orang tua siswa mengenai bagaimana sikap anak normal terhadap anak berkebutuhan khusus. Selain itu, pihak sekolah juga dapat menyampaikan hasil penelitian kepada anak berkebutuhan khusus sebagai informasi yang dapat berpengaruh pada pembentukan konsep diri anak.

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pertengahan Anak-anak (Middle Childhood)

  1. Pengertian dan Batasan Usia Berk (2006) mengungkapkan masa pertengahan anak-anak atau

  middle childhood sebagai masa dimana anak yang berusia 6 hingga 11

  tahun. Pada masa pertengahan anak-anak, anak memiliki proses berpikir yang lebih logis dan semakin mampu memahami diri sendiri. Selain itu, perkembangan moral anak pada masa ini juga semakin meningkat. Adanya persahabatan menjadi tanda anak memasuki masa pertengahan anak-anak.

  Santrock (2002) menyebut masa periode ini sebagai masa pertengahan dan akhir anak-anak, yaitu periode perkembangan yang merentang dari usia 6 hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun- tahun sekolah dasar sehingga periode ini kadang-kadang disebut “tahun- tahun sekolah dasar”. Pada masa ini, anak umumnya menguasai keterampilan-keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung.

  McDevitt & Ormrod (2004) juga menggolongkan masa dimana anak berusia 6 hingga 10 tahun sebagai masa middle childhood atau pertengahan anak-anak. Pada masa ini, anak menunjukkan tanggung jawab yang serius terhadap teman sebaya, khususnya kepada teman bermain anak-anak menjadi penting karena anak banyak belajar melalui interaksi dengan teman-teman dan memecahkan perselisihan. Pada masa ini, anak juga mulai membanding-bandingkan performansi mereka dengan temannya yang lain. Dengan demikian, perbedaan individu dalam performansi akademik menjadi semakin penting dalam melewati tahun- tahun masa ini.

  Mengacu pada sumber terbaru, peneliti menggunakan istilah masa pertengahan anak-anak untuk menggambarkan anak yang berusia sekolah dasar atau berusia 6 hingga 11 tahun. Fokus perkembangan pada masa pertengahan anak-anak adalah pencapaian prestasi dan kemampuan kontrol diri yang meningkat. Anak-anak pada masa pertengahan anak-anak akan banyak mengarahkan konsentrasi dan energinya pada penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual dan pengetahuan. Adanya perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif yang dirasakan oleh anak merupakan hal yang berbahaya dalam tahap perkembangan ini. Perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif akan menghambat anak mampu melakukan tugas perkembangannya dalam tahap ini (Santrock, 2007).

  2. Karakteristik Sosio-emosional Menurut Hurlock (1988), kelompok sosial memiliki pengaruh paling besar dalam melakukan identifikasi diri pada masa pertengahan anak-anak dan sebagian pada masa remaja dibandingkan pada masa perkembangan lainnya. Pada masa ini, teman sebaya memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan orang-orang dewasa lainnya. Pengaruh yang kuat dari kelompok sebaya pada masa ini sebagian besar berasal dari keinginan untuk dapat diterima oleh kelompok. Selain itu hal ini juga dikarenakan anak banyak menghabiskan waktunya bersama dengan teman-teman sebaya.

  Hurlock (1988) menyebutkan pengaruh kelompok teman sebaya bagi anak, yaitu: a. Keinginan untuk menyesuaikan diri.

  Anak menyesuaikan keinginan, sikap dan nilainya dengan tuntutan kelompok supaya dapat mencapai popularitas dan memperoleh kasih sayang dari teman sebaya, terutama apabila tidak mendapat kasih sayang dari keluarga.

  b. Membantu anak-anak mencapai kemandirian dari orang tua dan dirinya sendiri.

  Melalui hubungan dengan teman sebaya anak-anak belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, belajar mengenai berbagai pandangan dan sikap yang bukan dari keluarga mereka. Selain itu mereka belajar mengenai pola perilaku yang dapat diterima oleh kelompok.

  c. Pembentukan konsep diri Anak akan menduga pendapat dan makna reaksi orang lain terhadap dirinya. Apabila pendapat orang lain mengenai dirinya menyenangkan, maka anak juga akan menganggap dirinya menyenangkan, dan begitu juga sebaliknya.

  Menurut Santrock (2007), terdapat 3 kemungkinan proses sosial- kognitif yang mempengaruhi anak dalam membangun relasi dengan teman sebaya, yaitu :

  a. Social perspective taking Social perspective taking merupakan kemampuan anak untuk

  menerima cara pandang orang lain dan memahami pikiran dan perasaannya. Pada masa usia sekolah dasar, kemampuan ini meningkat sehingga anak bisa memahami bahwa anak yang lain sedang sedih atau senang, dan mengapa mereka sedih atau senang. Berkaitan dengan kemampuan ini, Berk (2006) menyebutkan bahwa anak pada masa pertengahan anak-anak semakin mampu “membaca” pesan yang diterima dari orang lain dan menggabungkannya ke dalam definisi diri mereka. Sebagai anak di usia sekolah, anak menginternalisasikan penerimaan dari teman-temannya, mereka menggunakan ideal-self untuk mengevaluasi real-self.

b. Social information-processing skill

  Kenneth Dodge (1993 dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa anak melalui 5 tahapan dalam memproses informasi mengenai dunia sosial mereka, yaitu : menerima isyarat sosial atau decoding sosial cues, melakukan interpretasi, mencari respon, menyeleksi respon yang paling bagus, dan melakukan tindakan.

c. Social Knowledge

  Kemampuan anak untuk dekat dengan teman sebayanya juga dipengaruhi oleh pengetahuan sosialnya. Anak harus tahu apa tujuan mengapa mereka harus bertahan ketika situasi ambigu, bagaimana memulai dan bagaimana supaya mereka mempunyai teman, misalnya dengan mengatakan hal-hal yang baik. Apabila anak tidak tahu mengapa mereka harus menjalin relasi dan apa yang harus mereka lakukan supaya mereka bisa menjalin hubungan, maka mereka akan sulit untuk memperoleh teman.

  Selain itu, masalah emosi juga mempengaruhi hubungan pertemanan pada masa pertengahan anak-anak. Pada umumnya anak yang dianggap populer atau disukai banyak anak yang lain adalah anak yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan menguasai emosinya. Anak yang populer memiliki sejumlah keterampilan sosial yang membuat mereka disukai oleh anak yang lain, misalnya memberikan penghargaan pada anak yang lain, mau mendengarkan, membangun komunikasi terbuka, periang, dapat mengontrol emosi negatifnya, bertindak sebagi dirinya sendiri, antusias dan perhatian, percaya diri tapi tidak sombong (Santrock, 2007). Sebaliknya, anak-anak yang tidak memiliki keterampilan sosial seperti di atas akan cenderung diabaikan. Sementara itu anak-anak yang diabaikan akan kesulitan mengembangkan keterampilan sosialnya karena tidak memiliki teman sehingga akan semakin merasa dikucilkan.