GENDER DALAM MEDIA VISUAL PENGARUH REPRE

GENDER DALAM MEDIA VISUAL: PENGARUH REPRESENTASI KESETARAAN
GENDER DALAM IKLAN ROKOK TERHADAP PERILAKU KONSUMEN
Fathianabilla Azhar
Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
E-mail: fathianabillaazhar19@gmail.com

ABSTRAK
Tulisan ini mencoba memaparkan bagaimana pengaruh representasi kesetaraan gender yang
ditampilkan dalam iklan rokok terhadap perilaku konsumen. Representasi kesetaraan gender yang
ditampilkan dalam iklan rokok rata-rata mengkontruk makna maskulinitas dan feminimitas baru yang
bersifat implisit yang mampu di adopsi oleh konsumen pria maupun wanita sebagai representasi
kebebasan dan sifat kharismatik.
kata kunci: kesetaraan gender, iklan, kharismatik, kebebasan.
A. PENGANTAR
Iklan merupakan media komunikasi visual yang berfungsi untuk memberikan informasi kepada
khalayak ramai melalui pesan-pesan yang dikemukakan secara implisit. Iklan dalam hal ini pada
dasarnya memiliki problematika sejak zaman orde baru. Yang mana pembatasan berkomunikasi
dalam periklanan sangat dikekang dengan adanya sistem pemerintahan yang otoriter. Namun yang
lebih mengejutkan atau lebih tepatnya yang lebih mengecewakan pada masa orde baru ini wanita
tidak diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat atau sekedar berekspresi. Hal tersebut
sangat tampak dari kekangan akan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sekitar tahun 1950-an yang

pada masa itu kerap melakukan perlawanan atas ketidakadilan gender. Terlebih Gerwani memiliki
hubungan yang kuat dengan PKI. Namun tampaknya usaha Gerwani sia-sia karena dengan adanya
perlawanan tersebut mereka dan keluarga mereka akan di label sebagai komunis dan langsung
dimasukan ke dalam jeruji penjara (Sushartami, 2010). Bahkan dalam hal ini ribuan anggota Gerwani
diperkosa dan dibunuh secara kejam dengan memutilasi organ genital mereka sebagai bentuk dari
pembersihan komunis.
Namun, setelah zaman orde baru berakhir kebebasan mengemukakan pendapat sudah lebih
terbuka khususnya melalui media visual seperti periklanan. Bahkan kini (baca: tahun 2017) iklan
dirancang sedemikian rupa dalam rangka menawarkan berbagai macam produk agar dapat menarik
perhatian konsumen dan tentu tidak sekedar mengemukakan pendapat. Adapun salah satu iklan yang
dibuat dalam rangka menarik perhatian konsumen adalah iklan rokok. Dalam produksi iklan rokok,
perusahaan rokok tentu tidak serta merta hanya menampilkan sebatang rokok yang dikonsumsi
melainkan perusahaan rokok juga memanfaatkan isu-isu gender dalam realitas sosial. Seperti yang

dijelaskan Wirakusumah bahwa keseluruhan isi atau pesan dalam iklan rokok pada dasarnya
merupakan konstruksi realitas sosial (Wirakusumah, 2012). Misalkan saja tabu konsumsi rokok bagi
wanita. Wanita selama ini diidentikan oleh masyarakat dengan kelemahlembutan. Bahkan menurut
Ortner (2012: 313-314) wanita dalam realitas sosial diasosiasikan oleh masyarakat sebagai sesuatu
yang nature. Yang mana hanya diperbolehkan melakukan sesuatu pekerjaan yang sifatnya domestik
atau hanya sekedar melahirkan. Kemudian wanita yang mengkonsumsi rokok akan dianggap sebagai

wanita yang tidak mentaati kodratnya sebagai wanita (Manalu, 1996). Kemudian wanita yang
merokok tersebut akan secara langsung distigma—dicap oleh masyarakat sebagai “cewek nakal”,
“cewek jalang” dan lain sebagainya. Dengan kata lain, merokok akan merusak citra baik dari dalam
diri seorang wanita.
Kemudian ketika kita tarik pada konteks merokok pada pria maka akan berbeda konteksnya.
Ketika pria mengkonsumsi rokok maka akan dianggap sebagai hal yang biasa dan dikatakan lebih
macho—sudah dewasa—lebih gagah seakan isu-isu maskulinitas menjadi sangat penting melalui
kemakluman-kemakluman yang dikontruk masyarakat. Disinilah terdapat bias gender dan tentu saja
bias gender tersebut menjadi relung bagi perusahaan rokok untuk menjadikan wanita dan pria sebagai
mangsa pasar. Selain melihat hal tabu dari konsumsi rokok bagi Wanita, perusahaan rokok juga
menjadikan kultur masyarakat dalam hal kompetisi pekerjaan dan harta sebagai latarbelakang dari
pembuatan iklan rokok. Wanita yang memiliki pekerjaan atau karir yang jauh lebih mapan—harta
yang diperoleh lebih melimpah ruah dibandingkan dengan pria. Yang mana akan dinilai masyarakat
sebagai wanita yang penuh ambisi—lupa kodrat. Ini tentu menjadi kesempatan besar bagi perusahaan
rokok untuk merepresentasikan bahwa wanita tidak serta merta harus selalu tunduk dengan suatu
kultur pamali konsumsi rokok. Dalam hal ini pula mereka dicitrakan hidup bebas—bahkan setiap
wanita berhak mengikuti kompetisi seperti hal nya pria. Iklan rokok yang diproduksi perusahaan
seakan memberikan ruang secara visual bahwa wanita bisa melakukan apa saja apa pun yang mereka
inginkan—setara dengan kaum pria. Walau pada fakta di lapangan wanita hingga kini masih sulit
mengekspresikan diri—dimarjinalkan melalui kultur yang ada.

B. METODE PENELITIAN.
Adapun untuk memahami dan memaparkan makna kesetaraan gender dalam periklanan rokok
penulis menawarkan metode strukturalisme Roland Barthes yang menyandarkan pada signifikansi dua
tahap atau tataran yakni denotasi dan konotasi. Signifikasi dua tahap tersebut mampu menganalisis
transformasi makna implisit menjadi makna yang eksplisit (muncul pula makna baru melalui
lambang-lambang visual yang ditampilkan dalam tiap scene iklan. Adapun sample iklan yang penulis
gunakan adalah iklan gudang garam signature 2016. Penulis berpikir bahwa iklan gudang garam
signature tersebut sangat merepresentasikan kesetaraan gender melalui pesan-pesan yang disampaikan
melalui serangkaian cerita walau tidak di tampilkan adegan merokok.

2

Kemudian untuk pengumpulan data sendiri, penulis menggunakan dua teknik yakni teknik
dokumenter yang mana penulis mencoba memahami adegan (scene) demi adegan secara utuh
kemudian membagi iklan menjadi 4 scene. Teknik selanjutnya adalah studi pustaka, penulis dalam hal
ini menyandarkan pada skripsi-skripsi dan jurnal yang relevan khususnya dalam analisis semiotika
Roland Barthes. Untuk lebih jelasnya berikut sketsa signifikansi dua tahap dari Roland Barthes.
Tataran pertama

Realitas


Tataran kedua

Tanda

Budaya

Konotasi
Penanda
Denotasi

Tinanda

Mitos

Signifikansi pada tataran yang pertama digunakan untuk melihat relasi antara penanda dan tinanda
dari sebuah realitas sosial yang menyiratkan makna yang implisit (Denotasi). Kemudian pada tataran
kedua signifikansi penanda dan tinanda yang telah saling berinteraksi menghasilkan output bentuk
yang berisi sesuatu hal yang bersifat eksplisit dan isi yang berisi mitos—menjelaskan makna
terselubung. Dengan kata lain singkatnya, signifikansi ini akan mengungkap makna yang tersirat

menjadi tersurat dan memungkinkan adanya transformasi makna.
Kemudian langkah untuk menggali informasi mengenai pengaruh iklan rokok terhadap perilaku
konsumen, penulis dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara tidak terstruktur terhadap
dua informant laki-laki dan satu informant perempuan. Informant-informant tersebut diajukan
pertanyaan seputar konsumsi rokok, kemudian pertanyaan pengaruh iklan yang mendorong untuk
merokok, dan pertanyaan bagaimana perasaan mereka ketika merokok. Namun, ada beberapa
kesulitan dalam menggali informasi terhadap informant di antaranya; 1) sulit menggali konsumsi
rokok pada informant perempuan. Hal tersebut disebabkan topik merokok ini cukup sensitif. Namun,
untuk mengatasi kesulitan tersebut penulis menggunakan pendekatan secara lebih halus. Yang mana
penulis ketika meneliti mengajukan dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat umum kemudian
mengajukan pertanyaan lebih khusus. 2) sulitnya menganalisis secara semiotika pada realitas sosial.

3

Terlebih informasi yang penulis dapatkan bukan teks melainkan verbal sehingga sulit untuk
dinarasikan.
C. MEMBUKA MAKNA GENDER EGALITER DALAM IKLAN GUDANG GARAM
SIGNATURE 2016.
Kendati iklan gudang garam signature telah mencoba merepresentasikan kesetaraan gender dalam
mengiklankan produk rokok namun iklan rokok tersebut khususnya di Indonesia sangat dilarang oleh

KPI untuk menampilkan perilaku merokok. Maka mau tidak mau perusahaan rokok gudang garam
yang hendak mengiklankan produk harus mampu merangkai cerita semenarik mungkin guna menarik
perhatian konsumen. Rata-rata iklan yang ditampilkan berisikan cerita-cerita yang berkaitan erat
dengan konteks gender seperti maskulinitas dan feminimitas. Tentu di dalam cerita tersebut
menyiratkan pesan-pesan khusus kepada konsumen terlepas dari konsumsi rokok. Adapun untuk
mengungkap pesan atau makna tersirat dalam iklan gudang garam signature berikut penulis tampilkan
4 scene dari iklan gudang garam signature melalui analisis semiotika Roland Barthes,
Scene 1.
“Di sore hari dengan sinar mentari yang masih sangat cerah terdapat seorang pria yang menatap
dengan cermat pada sebuah mobil berwarna merah maroon. Mobil tersebut merupakan mobil yang
dilelang, siapa pemberi harga yang fantastis dialah yang mendapatkan mobil tersebut. Selang
beberapa lama datanglah seorang wanita yang juga turut memperhatikan mobil dengan seksama,
pria itu pun kemudian menyunggingkan senyum dan memberikan tantangan dan ekspresi yakin akan
memenangkan mobil lelang kepada wanita itu. Ketika seorang broker mempersilakan kompetisi
lelang pria tersebut dengan sigap menawarkan beberapa dollar. Namun wanita itu tetap tenang
seakan tidak tersulut emosi. Pada saat akhir kompetisi lelang, wanita tersebut menawarkan harga
yang sangat fantastis dan mampu mengalahkan pria yang menantangnya secara materi. Tentu saja

pemenang dari lelang tersebut adalah wanita itu”.
Scene 2.

“Setelah wanita itu mendapatkan kompetisi lelang, wanita itu segera meninggalkan lokasi, dia pergi
ke parkiran dengan ekspresi puas telah mengalahkan pria dalam kompetisi lelang. Di lain lokasi pria
yang kalah dalam lelang mencari wanita pemenang lelang hingga ke tempat parkir. Namun sayang,
wanita pemenang lelang telah pergi dengan mobil pribadinya. Kejadian tersebut tak lantas membuat
pria yang kalah lelang tersebut menyerah, dia segera menghidupkan mobilnya dan langsung

mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi”.
Scene 3.

4

“ Selang beberapa saat pria tersebut akhirnya berhasil menelusuri jejak wanita pemenang lelang,
Namun, wanita pemenang lelang tersebut tidak mau berhenti bahkan menantang balap mobil kepada
pria yang kalah lelang. Lalu terjadilah balap mobil diantara keduanya”.

Scene 4.
“Namun, nasib kali ini tampaknya tidak diraih oleh wanita pemenang lelang itu, karena yang
menjadi pemenang dalam kompetisi balap mobil itu adalah pria yang kalah lelang.Pria yang kalah
lelang itu lalu menyunggingkan senyum. Dan sesaat kemudian mereka bertemu di sebuah rooftop dan


saling berpandangan”.
Dalam scene pertama iklan gudang garam signature menyiratkan bahwa seorang wanita seakan
dianggap akan kalah dalam kompetisi lelang oleh seorang pria. Hal tersebut dapat kita cermati dari
ekspresi senyum si pria yang melambangkan keyakinan bahwa dirinyalah yang akan memenangkan
kompetisi. Dengan kata lain, melalui iklan ini wanita dalam sebuah realita sosial dianggap selalu
berada pada posisi dibawah pria—budaya patriarki yang sangat kental—wanita dianggap miskin
dalam materi. Namun, sebaliknya ketika si wanita yang mendapatkan kompetisi lelang seakan
menjadi sebuah gebrakan baru bahwa wanita juga mampu memenangkan kompetisi dan tidak hanya
pria saja—wanita juga mampu secara ekonomi untuk membeli—mendapatkan apa yang mereka mau.
Pada scene kedua dan ketiga, dengan kita tilik dari perilaku seorang pria yang mengejar wanita
karena tidak terima dirinya kalah sehingga terjadi balap mobil, artinya maskulinitas pada pria telah
bertransformasi dari makulinitas nature menjadi maskulinitas baru. Yang mana pria direpresentasikan
tidak hanya sebagai pria yang perkasa—macho secara fisik, melainkan merepresentasikan pula citra
seorang pria yang kompetitif. Begitupun hal ini terjadi juga pada diri seorang wanita, feminimitas
juga telah bertransformasi dari feminimitas nature menjadi feminimitas baru, wanita dalam iklan ini
tidak melulu dicirikan sebagai wanita yang anggun, halus, lemah melainkan wanita juga setara dengan
pria, wanita mampu berkompetisi dalam dua bidang sekaligus walau hanya satu bidang yang dia
menangkan, bisa kita lihat dari scene 4. Pada scene 4 pria dan wanita saling menerima kemenangan
dan kekalahan—terjadi harmonisasi. Pria tidak lagi bersikap otoriter terhadap wanita. Dengan kata
lain kompetisi mampu menghangatkan suasana.

Adapun makna denotasi dalam iklan tersebut ialah maskulinisme dan feminisme baik secara
nature maupun baru, yang mana didalamnya seorang pria tidak hanya diwujudkan—direpresentasikan
sebagai pria bertubuh macho melainkan pria juga seorang yang kompetitif dan lapang dada. Untuk
feminisme sendiri wanita tidak hanya dicirikan sebagai wanita yang anggun melainkan sebagai wanita
yang bebas tanpa batas. Makna konotasi sendiri sangat tampak pada warna dari bungkus rokok yang
ditampilkan yakni berwarna merah dan hitam yang menyiratkan bahwa pria maupun wanita

5

merupakan dua sosok yang kompetitif—sama-sama memiliki keberanian dan hak yang sama dalam
menghadapi kompetisi apapun resikonya (whatever the risk).
D. PENGARUH IKLAN ROKOK TERHADAP KONSUMSI ROKOK PADA PRIA DAN
WANITA.
Tentu dengan adanya iklan rokok yang dikemas sedemikian rupa akan menjadi daya tarik
tersendiri bagi konsumen. Terlebih contoh iklan gudang garam signature yang telah penulis analisis
begitu sarat makna. Yang bahkan makna baru tersebut mampu membuat makna baru pula pada diri
individu. Penulis yakin pada faktanya bukan hanya iklan gudang garam signature saja yang mampu
mempengaruhi pola konsumsi rokok. Bahkan iklan rokok lainnya juga dikemas sedemikian rupa atau
mungkin lebih frontal seperti iklan rokok di Barat sekitar era 1950-an. Yang mana wanita hamil dan
pria dengan bebasnya saling mengkonsumsi rokok. Berangkat dari periklanan rokok tersebut tentu

berdampak pada perilaku konsumen yang baik secara langsung ataupun tidak langsung mulai
mengikuti trend yang ditawarkan oleh media periklanan. Untuk lebih jelasnya berikut penulis
lampirkan data konsumsi rokok pada tahun 2013 yang penulis dapatkan dari jurnal Infodatin: Perilaku
Merokok Masyarakat Indonesia.

(Sumber: Jurnal Infodatin: Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia).
Ketika melihat data di atas wanita pernah memiliki tingkat konsumsi yang cukup masif
hingga mencapai 10,2% yang mana mampu menghabiskan 2-5 batang rokok per hari. Untuk pria
sendiri konsumsi rokok juga jauh lebih masif daripada wanita, karena pria berhasil menghabiskan 610 batang rokok per hari. Dengan data yang demikian, pengaruh konsumsi rokok pada pria dan wanita
dipengaruhi oleh iklan rokok yang mengkontruk makna baru akan rokok. Untuk lebih jelasnya berikut
data lapangan yang penulis dapatkan.

6

Berdasarkan informant saya, Hamdani (22), dia merupakan mahasiswa di Wilayah Maluku.
Baginya merokok adalah bagian dari gaya hidup, dia bahkan mampu menghabiskan satu bungkus
rokok dalam sehari. Dia mengaku ketika merokok dia akan merasakan sensasi tenang—rileks—
apapun permasalahannya dapat hilang sekejap dan melalui rokok terasa lebih berkharisma seperti
yang ditampilkan dalam iklan rokok gudang garam versi yang lainnya. Kemudian informant kedua
saya adalah Idham (21), dia mengatakan bahwa merokok dapat melepas penat setelah seharian

bekerja. Melalui rokok ini Idham merasakan kenikmatan yang hakiki seakan permasalahan kerja
hilang seketika. Namun, dalam konsumsi rokok ini Idham mengaku tidak dipengaruhi oleh iklan
rokok karena baginya iklan rokok hanyalah pencitraan.
Untuk perokok wanita sendiri yang berinisial D mengaku bahwa konsumsi rokok yang dia
konsumsi selama ini sangat dipengaruhi oleh media visual seperti periklanan rokok di Televisi.
Baginya iklan rokok sangat menarik perhatian dan hal tersebut dia sebut sebagai visual aesthetic—
rokok digambarkan secara visual sebagai sesuatu yang menarik. D dalam hal ini menceritakan
bagaimana dia tertarik terhadap iklan rokok. Namun yang dia jelaskan bukan iklan rokok gudang
garam signature melainkan iklan rokok di Barat pada tahun 1950-an. Cerita dalam iklan rokok
tersebut mengisahkan pria dan wanita sama-sama merokok dengan bebasnya bahkan ibu-ibu hamil
juga turut merokok—tidak ada pantangan merokok dalam setting cerita di iklan tersebut. D mengaku
ketika melihat iklan tersebut mulai terbelesit sebuah pikiran kebebasan bagi D untuk turut merokok
bahkan dia merasa setara dengan kaum pria dalam hal konsumsi rokok. Ketika penulis tanyakan
apakah D tidak takut dilabel sebagai wanita nakal ketika merokok? D menjawab hal tersebut sangat
tergantung situasi dan kondisi lingkungan. D hanya akan merokok di depan orang-orang yang consent
terhadap rokok atau di tempat umum yang sekiranya diperbolehkan.
Menilik dari kasus di atas melalui semiotika Roland Barthes seperti yang penulis analisis
terhadap iklan rokok sebelumnya, secara tidak langsung (Denotasi) baik Hamdani maupun Idham
mengungkapkan bahwa untuk menjadi pria sejati adalah mereka yang mampu tetap tenang dalam
menghadapi masalah. Ini merupakan konteks transformasi maskulinitas nature menjadi maskulinitas
baru yang mana pria tidak melulu dikatakan macho—berani pasang badan karena merokok melainkan
dengan merokok pria juga mampu memiliki kharisma dalam mengontrol emosi. Adapun untuk
konsumsi rokok wanita sendiri yang mana D merupakan perokok yang cukup aktif ketika penulis
analisis dengan semiotika Roland Barthes. Makna Denotasi dari D mengenai konsumsi rokok adalah
kebebasan serta kesetaraan seperti hal nya pria. Jadi feminimitas nature disini telah bertransformasi
menjadi feminimitas baru. Yang mana wanita tidak selalu harus anggun, lemah lembut namun juga
menjadi sosok yang bebas berekspresi. Dengan fakta yang demikian artinya iklan rokok memang
mempengaruhi perilaku konsumen. Trend yang ditawarkan iklan rokok diadopsi oleh konsumen
sebagai bagian dari gaya hidup yang lebih bebas dan terkontruk makna baru akan kesadaran gender
walau tidak secara langsung mereka sadari.

7

PENUTUP
Melalui analisis semiotika Roland Barthes dapat ditarik kesimpulan bahwa dari contoh iklan
rokok gudang garam signature 2016 perusahaan rokok mensetting cerita yang lebih merujuk pada
representasi gender egaliter bagi pria dan wanita. Yang mana dalam setting cerita yang dibangun
setiap pria dan wanita berhak mengikuti kompetisi yang sama. Dari kompetisi itu menyiratkan bahwa
feminisme dan maskulinisme natural tidak terlalu kentara bahkan bertransformasi menjadi feminisme
dan maskulinisme baru. Yang mana pria dan wanita bebas mengekspresikan diri terlepas dari bentuk
fisik yang dimiliki.
Kemudian ketika ditarik pada realitas sosial makna yang ditampilkan dalam iklan diadopsi oleh
konsumen. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dua pria yang menjadi informant penulis
mengaku lebih berkharisma dengan merokok. Untuk wanita sendiri seperti kasus D setelah melihat
iklan rokok mengaku lebih bebas dan setara dengan laki-laki ketika dirinya mengkonsumsi rokok.
Melihat hal demikian singkatnya mereka baik pria dan wanita percaya bahwa dengan konsumsi rokok
akan menjadikan diri mereka sebagai pribadi yang lebih bebas dan lebih berkharisma seperti apa yang
mereka lihat dari media visual periklanan terlepas dari body image anggun—macho yang mereka
miliki.
Sebagai penutup penulis menyadari bahwa tulisan ini tentu tidak sempurna. Maka daripada itu
penulis hendak mengemukakan beberapa kekurangan terhadap tulisan ini di antaranya: 1) penulis
kurang memperhatikan kode emic dan lebih terfokus pada tafsir. Tentu tafsir ini bersifat intersubjektif
dan akan sangat menganggu validitas data. 2) Tulisan ini tidak memberikan tinjauan pustaka sebagai
data pendukung penelitian. Yang pada dasarnya tulisan ini bukanlah satu-satunya yang membahas
pengaruh iklan rokok. 3) Tulisan ini tidak secara utuh menjelaskan pengaplikasian strukturalisme
Roland Barthes terhadap realitas sosial. Namun terlepas dari kekurangan yang ada penulis sangat
berharap tulisan ini memberi wawasan kepada pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Girsang, Romi Comando. Maskulinitas dalam Iklan Televisi: Analisis Semiotika Maskulinitas dalam
Iklan Televisi Gudang Garam Merah Versi “ The Café”.
Kementrian Kesehatan RI.”Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia: Berdasarkan Riskesdas 2007
dan 2013” dalam Infodatin: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI.
Manalu, S Nurcahaya. 1996. Arti Sebatang Rokok Bagi Mahasiswi. Skripsi Sarjana. Fakultas Sastra.
Universitas Gadjah Mada.
Moore, Jerry. D. 2012. “Sherry Ortner: Symbols, Gender, and Pratice”. Dalam Vision of Culture.

8

New York: Altamira Press.
Sushartami, W., 2010, “Was there really a crisis?: Female Images in the Recontextualisation of
Political Issues in Indonesian Television Advertisements”, dalam Abel, S., deBruin, M. & Nowak,
A., (eds.), Women, Advertising and Representation: beyond Familiar Paradigms, Cresskill:
Hampton Press, Inc.
Wirakusumah, K T, dkk. 2012 .“Representasi Budaya Korupsi dalam Iklan Rokok Djarum 76 Versi
Korupsi, Pungli, dan Sogokan di Media Televisi” dalam
Padjajaran 1( 1) tahun 2012.

9

Jurnal Mahasiswa Universitas