PENGARUH PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNAS ID

PENGARUH PERJANJIAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TERHADAP PERDAGANGAN INDONESIA (ANALISIS PERJANJIAN
BILATERAL INDONESIA-AUSTRALIA)

Oleh:

RIZKAL
14/371850/PHK/8223

Magister Ilmu Hukum – Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada
2015
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perjanjian internasional dapat dikatakan sebagai sumber hukum
yang terpenting dalam hukum internasional. Perjanjian internasional menjadi
instrument utama pelaksanaan hubungan internasional antar negera, perjanjian

internasional juga berperan sebagai sarana untuk meningkatkan kerja sama
internasional, peran perjanjian internasional dewasa ini dapat dikatakan telah
menggantikan hukum kebiasaan internasional.1 Suatu kelebihan yang dimiliki
oleh perjanjian internasional dibandingkan dengan hukum kebiasaan

adalah

karena perjanjian internasioan bersifat tertulis, hal ini memudahkan dalam hal
pembuktikan apabila terjadinya sengketa antara para pihak yang melangsungkan
atau yang terlibat dalam perjanjian internasional, sedangkan kebiasaan
internasioanl bersifat tidak tertulis sehingga terkadang cukup sulit untuk
menemukan atau membuktikannya.2
Meskipun pada awalnya, sebelum tahun 1969 perjanjian internasional masih
diatur oleh hukum kebiasaan internasional, namun setelah ditetapkannya
konferensi internasional di Wina pada tahun 1969 guna untuk membahas dan
mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional tersebut dalam sebuah
peraturan internasional, maka lahirlah sebuah aturan mengenai perjanjian
internasioanl yang dimuat dalam konvensi Wina (Vienna Convention on the Law
of Treaties)3 yang ditandatangani pada tanggal 23 Mei tahun 1969. Konvensi
1_____________________Sebagaimana dikutip oleh Sefriani, Dixon mendefinisikan hukum

kebiasaan internasional sebagai suatu hukum yang berkembang dari praktik-praktik atau
kebiasaan negara-negara. Hukum kebiasaan internasional merupakan sumber hukum tertua dalam
hukum internasional, dan pada awal perkembangan hukum internasional, hukum kebiasaan
internasional menjadi primadona sumber-seumber hukum internasional. Sefriani, Hukum
Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 41.
2_____________________Ibid, hlm. 28.
3_____________________Konvensi Wina Tahun 1969 merupakan konvensi Wina pertama yang
mengatur mengenai perjanjian internasional. Kemudian pada tahun 1986 dibentuknya atau
dikodifikasikan Vienna Convention on the Law of Treaties Between States and International
Organization or Between International Organization 1986. Persamaan kedua konvensi tersebut
yaitu sama-sama mengatur mengenai perjanjian internasional, yang membedakannya hanya pada

2

Wina ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah menjadi sebuah
sumber hukum internasional positif dalam ranah hukum perjanjian internasional.4
Pada dasarnya perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional.5 Dalam Pasal 2 ayat (1) butir a konvensi Wina 1969 perjanjian
internasional didefinisikan sebagai berikut; Treaty means an international
agreement conclude between states in written from and governed international

law, whether embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation. (perjanjian artinya
persetujuan internasional yang dibuat antara negara-negara dalam bentuk yang
tertulis, dan diatur dalam hukum internasional, baik yang berupa satu instrument
tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan tanpa memandang apaun
nama yang diberikan padanya).6
Peraturan mengenai perjanjian internasional di Indonesia baru dibentuk pada
tahun 2000 yang termuat dalam peraturan perundang-undangan nomor 24 tahun
2000 tentang perjanjian internasional (yang selanjutnya disebut UU perjanjian
internasional). Sebelum adanya UU perjanjian internasional tersebut, dalam hal
pelaksanaan perjanjian internasional Indonesia merujuk pada ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 11 Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
(NRI) Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), Surat Presiden Nomor
2826 Tahun 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-Perjanjian Dengan Negara Lain,
serta Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
subyek perjanjian internasional, dalam Konvensi Wina 1969 yang menjadi subyek perjanjian
internasional adalah negara dengan negara (antar negara), sedangkan dalam Konvensi Wina 1986
subyek perjanjian internasional yang dapat mengadakan perjanjian internasional adalah negara
dengan organisasi internasional maupun antar organisasi internasional.
4_____________________Boer Mauna¸Hukum Internasional (pengertian, peranan dan fungsi

dalam era dinamika global), edisi ke 2, PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm. 83.
5_____________________Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah
Internasional yang menyebutkan bahwa sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:
a. Perjanjian internasional (internasional Conventions) baik yang bersifat umum maupun
khusus.
b. Kebiasaan internasional (internasional custom)
c. Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh negera-negara
beradab
d. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah diakui
kepakarannya (teaching the most highly qualified publicist) merupakan sumber tambahan
hukum internasional).
6_____________________Konvensi Wina Tahun 1969

3

Namun setelah diberlakukannya UU perjanjian internasional maka dalam hal
pelaksanaan perjanjian internasional mengikuti ketentuan yang terdapat dalam UU
perjanjian internasional.
Dalam UU perjanjian internasional mendefinisikan pengertian perjanjian
internasional sebagai perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur

dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan
kewajiban dibidang hukum publik.7
Dewasa ini, perjanjian internasional mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mengatur kehidupan dan pergaulan masyarakat internasional antar negara.
Melalui sebuah perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar kerjasama
mereka, mengatur berbagai kegiatan, meneyelesaikan berbagai masalah demi
kelangsungan hidup masyarakat internasional antar negara. Pada zaman sekarang
ini,

seluruh

lapisan

masyarakat

nasional

maupun

internasional


saling

ketergantungan satu sama lainnya. Oleh karena itu tidak ada satu negara pun yang
tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain serta tidak ada satu negara pun
juga yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.
Pembuatan perjanjian internasional merupakan salah satu perbuatan hukum
yang bersifat mengikat dan melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
terlibat dalam permbuatannya. Salah satu contoh perjanjian internasional yang
dibuat oleh Indonesia adalah perjanjian di bidang perdagaangan internasional
antara Indonesia dengan Australia. Perjanjian yang telah diadakan oleh Indonesia
dengan Asutralia tidak hanya dalam bidang kerjasama perdagangan, selain itu
pemerintah Indonesia dengan pemerintah Australia juga telah banyak melakukan
perjanjian internasional di bidang lainnya, baik perjanjian internasional dibidang
hubungan negera, diplomatik, perjanjian mengenai keamananan, dan perjanjianperjanjian lainnya.
Dalam penulisan ini penulis tertarik untuk megakaji mengenai hubungan
perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Australia, perjanjian
internasional yang diadakan antara Indonesia dengan Australia merupakan
perjanjian perdagangan bilateral dalam bidang perdagangan internasional yang


7_____________________Pasal 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional.

4

mencakup beberapa hal di antaranya mengenai impor, ekspor, produksi
(barang/jasa) dan mengenai ketenagakerjaan.
Perdagangan internasional merupakan salah satu bagian dari kegiatan ekonomi
atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Perhatian dunia usaha terhadap kegiatan bisnis internasional juga semakin
meningkat, hal ini terlihat dari berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal
dan tenaga kerja antar negara. Kegiatan bisnis dapat terjadi melalui hubungan
ekspor impor, investasi, perdagangan jasa, lisensi dan waralaba (license and
franchice), hak atas kekayaan intelektual, atau kegiatan-kegiatan bisnis lainnya
yang terkait dengan perdagangan internasional, seperti perpajakan, asuransi,
perbankan, dan lain sebagainya. Untuk mendukung terlaksananya kegiatan bisnis
antar negara diperlukann suatu instrument hukum dalam bentuk perundangundangan, baik nasional maupun internasional seperti hukum perdagangan
internasional.
Secara umum perdangangan internasional diartikan sebagai salah satu
kegiatan-kegiatan perniagaan dari suatu negara asal yang melintasi perbatasan

menuju suatu negara tujuan yang dilakukan oleh perusahaan untuk melakukan
perpindahan barang dan jasa, modal tenaga kerja, teknologi (pabrik) dan merek
dagang.8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka
penulis dapat merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara pemerintah Indonesia untuk menyatakan terikat terhadap
peraturan perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO)?
2. Bagaimana pengaruh perjanjian perdagangan antara Indonesia-Australia
terhadap perdagangan Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
8_____________________ Muhammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional¸PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 18.

5

1. Untuk mengetahui cara pemerintah indonesia dalam hal menyatakan terikat
terhadap peraturan perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
2. Untuk mengetahui dampak atau pengaruh apa saja yang timbul terhadap

perdagangan Indonesia atas perjanjian perdagangan yang diadakan antara
Indonesia dengan Australia.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Terikatnya Indonesia Dalam WTO
Sebagai anggota aktif dalam masyarakat internasional, Indonesia juga
membuat perjanjian-perjanjian baik dengan negara-negara lain maupun dengan
organisasi-organisasi internasional ataupun dengan subyek-subyek hukum
internasional lainnya. Perjanjian-perjanjian internasional tersebut bukan saja
dalam bentuk bilateral, tetapi juga dalam rangka kerjasama regional di samping
perjanjian-perjanjian multilateral yang bersifat umum ataupun khusus. Telah
terlalu banyak perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh Indonesia, ditinjau dari
segai materinya perjanjian-perjanjian tersebut meliputi hampir semua bidang, baik
di bidang politik, hukum, ekonomi, keuangan, perdagangan maupun kerja sama di
bidang kebudayaan, serta ilmu pengetahuan di bidang teknologi. Sepanjang

6

perjanjian tersebut dibuat sesuai dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional, Indonesia telah menjadi pihak pada perjanjian-perjanjian multilateral
dalam rangka partisipasinya untuk menunjang dan mengokohkan keserasian
dalam kehidupan dan hubungan antar bangsa.
Kegiatan dan partisipasi Indonesia tersebut dirumuskan dalam berbagai
instrument hukum, mulai dari yang paling resmi sampai pada yang paling
sederhana. Dalam praktek pembuatan perjanjian (treaty- making practice) maka
dibedakan antara perjanjian-perjanjian yang sangat penting yang biasanya disebut
traktat atau konvensi, sedangkan untuk perjanjian yang biasa atau yang mengatur
pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian umum disebut
persetujuan (agreement). Nama yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional akan ditentukan oleh materi yang diatur dalam perjanjian-perjanjian
internasional itu sendiri.9
Dalam Konvensi Winan 1969 mengatur mengenai pembuatan perjanjian
internasional baik perjanjian bilateral maupun multilateral dapat dilakukan
melalui beberapa tahap di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Perundingan (negotiation)
Persoalan siapakah yang dapat mewakili suatu negara dalam suatu
perundingan internasional merupakan persoalan intern suatu negara yang
bersangkutan, dan untuk menghindari agar tidak terjadinya suatu tindakan
dari orang yang tidak berwenang untuk mewakili suatu negara dalam

sebuah konferensi internasional, maka dibutuhkan adanya surat kuasa
penuh (full powers)10 yang harus dimiliki oleh orang-orang yang mewakili
9_____________________ Boer Mauna, Op, cit, hlm. 162.
10_____________________Full power menurut ketentuan pasal 2 huruf c Konvensi Wina 1969
diartikan sebagai suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari
suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam
berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian, menyatakan
persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya
sehubungan dengan suatu perjanjian. Selanjutnya menegenai ketentuan full powers telah diatur
lebih lanjut dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969. Dalam aturan hukum di Indonesia, surat kuasa
(full powers) didefiniskan sebagai surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang
memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili pemerintah Republik
Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan
negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian, dan/atau menyelesaikan hal-hal lain yang

7

suatu negara dalam hal perundingan untuk mengadakan suatu perjajian
internasional. Berdasarkan ketentuan ini, seseorang yang dianggap
mempunyai wewenang untuk mewakili suatu perjanjian internasional serta
berwenang untuk mensahkan dan mengikat negara atas suatu naskah
perjanjian internasional adalah seseorang yang dapat menunjukkan surat
kuasa penuh (full powers) dan/atau surat kepercayaan (credentials)11,
kecuali dari semua peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat
kuasa penuh (full powers) tidak diperlukan. Keharusan menunjukkan surat
kuasa penuh (full powers) tidak berlaku bagi kepala negara (Presiden),
Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri dan Kepala perwakilan diplomatik,
yang karena jabatannya dianggap berwenang untuk mewakili negaranya
dengan sah dan dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat
negaranya pada perjanjian internasional yang diadakan.12
Indonesia dalam prakteknya memisahkan antara full powers dan
credentials, untuk menghadiri suatu konferensi. Delegasi RI selalu
dilengkapi dengan credentials yang ditujukan kepada ketua konferensi
yang berisikan nama-nama dari anggota delegasi dan yang biasanya
ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri. Credentials hanya memberikan
wewenang kepala delegasi untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk
menandatangani seuatu perjanjian. Full powers yang juga ditandatangani
oleh Menteri Luar Negeri baru dikeluarkan bila suatu perjanjian akan
ditandatangani. Pemisahan kedua dokumen ini kiranya dianggap wajar

diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional. Lihat Pasal 1 huruf c Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
11_____________________Bahwasanya full powers bukan merupakan satu-satunya dokumen
yang dimiliki oleh suatu delegasi ke suatu konferensi bilateral maupun multilateral. Suatu
delegasi yang menghadiri suatu konferensi internasional dalam kerangka suatu organisasi
internasional biasanya dilengkapi dengan credentials atau surat kepercayaan. Menurut Pasal 27
Rules of Procedure of the General Assembly, surat-surat kepercayaan delegasi suatu negara ke
Sidang Majelis Umum PBB harus diserahkanke Sekretaris Jenderal seminggu sebelum siding
dimulai. Oleh karena itu, yang diperlukan oleh PBB dan Badan-badan subside lainnya adalah
surat-surat kepercayaan (credentials) dan bukan surat kuasa (full powers). Lihat Boer Mauna,
Op. cit, hlm. 101.
12_____________________ Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Putra
Abardin, cetakan kesembilan, 1999, hlm. 89-90.

8

untuk membedakan tahap pembuatan dan persetujuan terhadap suatu
perjanjian.
Bagi indonesia suatu persetujuan yang dibuat bersamadalam suatu
perundingan tidak berarti harus langsung ditandatangani di akhir
konferensi tetapi ditandatangai kemudian agar sebelumnya dapat dipelajari
oleh instansi-instansi yang bersangkutan dan full powers baru dikeluarkan
untuk utusan yang akan menandatangani perjanjian tersebut.13
Perundingan dalam pembuatan perjanjian internasional bilateral dilakukan
dengan berembung saling berbiacara “pour-parlers”. Sedangkan dalam
pembuatan perjanjian internasional multilateral perundingan dilakukan
dalam konferensi diplomatik yaitu perundingan yang resmi. Di samping
perundingan resmi tersebut, dapat pula dilakukan perundingan tidak resmi
di luar konferensi, serta perundingan tersebut diharapkan ditutup dengan
penetapan keputusan yang diperjanjikan. Penetapan keputusan itu
diharapkan ditutup dengan penetapan keputusan yang diperjanjikan.
Dalam perjanjian internasional bilateral penetapan keputusan dilakukan
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang berjanji. Sementara
dalam perjanjian multilateral penetapan keputusan dilakukan berdasarkan
persetujuan dua pertiga (2/3) suara dari negara yang hadir dan member
suara atau berdasarkan cara lain yang ditetapkan oleh suara mayoritas
tersebut.14

b. Penandatanganan (signature)
Penandatanganan merupakan tindakan terakhir yang dilakukan oleh
seorang wakil yang diberikan kuasa penuh (full powers) dari suatu negara
dalam perundingan dengan mana dinyatakan persetujuan negaranya atas
kesimpulan dari suatu perjanjian yang dibentuk. Menurut O’Connel
13_____________________Boer Mauna, Op. cit, hlm. 102.
14_____________________Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya,
Yogyakarta, 2010, hlm. 93.

9

sebagaiman telah dikutip oleh Budiono Kusuhohamidjojo, meyebutkan
bahwa penandatanganan merupakan suatu persetujuan resmi terhadap isi
dari suatu perjanjian.15
Dalam pasal 7 ayat 2a Konvensi Wina 196916 menyatakan bahwa yang
berhak menandatangani suatu perjanjian sebagai wakil negara adalah
Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri, yang
semuanya memiliki hak penuh yang berhubungan dengan penyimpulan
suatu perjanjian.
Keputusan hasil perundingan pada umumnya ditandatangani oleh kepala
perutusan negara yang beruding. Penandatanganan itu pada umumnya
dilakukan ditempat dan waktu yang sama dalam kehadiran pihak lawan
yang berjanji. Penandanganan tersebut dimaksudkan sebagai otentikasi
naskah keputusan hasil perundingan. Di samping itu, untuk perjanjian
internasional yang tidak memerlukan ratifikasi dan bila tidak ditentukan
lain dalam perjanjian internasional tersebut, penandatanganan keputusan
hasil perundingan berakibat mengikatnya perjanjian internasional tersebut
bagi negara yang menandatanginya. Untuk perjanjian internasional yang
memerlukan ratifikasi penandatanganan tersebut tidak berakibat terikatnya
negara penandatanganan.17
Persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian
internasional (consent to be bound by a treaty), dapat diberikan dengan
berbagai macam cara dan tergantung persetujuan antara negara-negara
peserta pada waktu perjanjian diadakan. Persetujuan untuk mengikatkan
diri pada suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan

15_____________________Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek
Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 tetang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta,
Bandung, 1986, hlm. 5.
16_____________________Bunyi Pasal 7 ayat 2a Konvensi Wina 1969 adalah; In virtue of their
functions and without having to produce full powers, the following are considered as
representing their State:
(a) Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of
performing all acts relating to the conclusion of a treaty.
17_____________________Sugeng Istanto, Op. cit, hlm. 94.

10

penandatanganan, ratifikasi, pernyataan turut serta (accession) atau
menerima suatu perjanjian (acceptance).
Suatu negara dapat melakukan penandatangan tanpa harus melakukan
ratifikasi apabila hal tersebut memang menjadi maksud para peserta,
maksud demikian dapat tercantum dalam perjanjian itu sendiri atau para
peserta dengan cara lain telah bersepakat bahwa perjanjian itu akan
berlaku setalah ditandatangani tanpa harus menunggu ratifikasi. Suatu
perjanjian juga akan segera berlaku setelah ditandatangani tanpa ratifikasi,
yang dinyatakan dengan cara menetapkan bahwa perjanjian tersebut akan
berlaku sejak waktu ditandatangani, pada waktu diumumkan atau mulai
tanggal yang ditentukan pada perjanjian tersebut.18 Ada saatnya suatu
negara mengikatkan dirinya terhadap perjanjian internasional dengan
syarat bahwa persetujuan tersebut harus disahkan atau dikuatkan oleh
badan yang berwenang di negaranya19.
c. Pengesahan (ratification)
Kesepakatan untuk mengikatkan diri (consent to be baound) pada
perjanjian merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-negara
setelah menyelesaikan suatu perundungan untuk membentuk suatu
perjanjian

internasional.

Tindakan

mengikatkan

diri

inilah

yang

melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara-negara perunding
setelah menerima baik suatu naskah perjanjian, di antaranya adalah
kewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan
esensi atau maksud dan tujuan perjanjian yang dimaksud.
Adapun mengikatknya suatu perjanjian internasional tergantung pada
tahap pembentukan perjanjian tersebut. Untuk perjanjian yang tidak
18_____________________Mochtar Kusumaatmadja, Op, cit, hlm. 91.
19_____________________Parktik di Indonesia, badan negara yang berwenang untuk dimintai
persetujuan dalam beberapa hal terkait perjanjian internasional adalam Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1), (2),
dan (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) yaitu:
(1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
(2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengahruskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

11

memerlukan ratifikasi maka penandatangan akan menimbulkan akibat
hukum yaitu terikatnya negara penandatanganan pada perjanjian tersebut.
Namun, bila perjanjian mensyaratkan ratifikasi maka negara akan terikat
secara hukum hanya setelah ia meratifikasi. Penandatnagan tidak
menimbulkan konsekuensi hukum, penandatanganan hanya berarti bahwa
negera tersebut menyetujui naskah atau teks perjanjian, serta negara yang
sudah menandatangai hanya terikat secara moral saja.20
Ratifikasi merupakan perbuatan negara yang dalam taraf internasional
menetapkan

persetujuannya

untuk

terikat

pada

suatu

perjanjian

internasional yang sudah ditandatangani perutusannya. Pelaksanaan
ratifikasi itu tergantung pada hukum nasional negara yang bersangkutan.
Dasar pembenaran adanya ratifikasi adalah bahwa negara berhak untuk
meninjau kembali hasil perundingan perutusannya sebelum menerima
kewajiabn

yang

bersangkutan

dan

ditetapkan
bahwa

dalam
negera

perjanjian
tersebut

internasional

mungkin

yang

memerlukan

penyesuaian hukum nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang
diperjanjikan.21
Dalam pasal 2 huruf c Konvensi Wina 196922, mendefinisikan ratifikasi
sebagai tindakan internasional dari suatu negara dengan mana dinyatakan
kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian.
Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa; “The consent of a
State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of
instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or
accession, or by any other means if so agreed”. (persetujuan dari negara
untuk terikat oleh perjanjian dapat dinyatakan oleh tanda tangan,
pertukaran instrument perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau
aksesi, atau dengan cara lain jika demikian disepakati).
Aturan mengenai terikatnya suatu negara terhadap perjanjian internasioal
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1969, hal ini sama
20_____________________Sefriani, Op. cit, hlm. 33.
21_____________________F. Sugeng Istanto¸Op. cit, hlm. 94.
22_____________________Bunyi Pasal 2 huruf b Konvensi Wina 1969 adalah; "Ratification",
"acceptance", "approval" and "accession" mean in each case the international act so named
whereby a State establishes on the international plane its consent to be bound by a treaty.

12

seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasioal di Indonesia, sebagimana yang termaktub dalam
Pasal 3 undang-undang tentang perjanjian internasional:
Pasal 3
Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian
internasional melalui
cara-cara sebagai berikut :
a. penandatanganan;
b. pengesahan;
c. pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d.cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional.23
Praktik pembuatan perjanjian internasional di Indonesia bukanlah sebuah hal
yang baru, begitu banyak perjanjian internasional yang telah ditandatangani serta
telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, baik perjanjian yang bilateral maupun
multilateral, serta pemerintah Indonesia juga telah banyak melakukan perjanjian
internasional dalam segala bidang atau sektor, salah satu perjanjian internasional
yang telah dilakukan oleh Indonesia yaitu dalam sektor perdagangan
internasional.
Mengenai perjanjian pedagangan berskala internasional telah diatur oleh
peraturan internasional yaitu dalam regulasi World Trade Organization (WTO)
atau Organisasi Perdagangan Dunia. WTO merupakan pelanjut dari Internasional
Trade Organization (ITO) atau Organisasi Perdagangan Internasional, di mana
dahulunya ITO disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam
konferensi Dagang dan Karyawan yang dilaksanakan di Havana pada Maret 1948,
namun kemudian ditutup oleh Senat AS yang melahirkan WTO.
WTO didirikan pada tanggal 1 Januari 1995 yang dibentuk untuk menggatikan
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)24 atau Perjanjian Umum tentang
23_____________________Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional.
24_____________________General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) merupakan
perjanjian internasional multilateral yang dibentuk bertujuan untuk mengatur perdagangan
internasional. GATT didirikan sesudah perang dunia kedua, yaitu pada tahun 1947. Selanjutnya,
GATT berkembang seirama dengan perkembangan perdagangan dunia. Akhirnya dari wadah
inilah timbul gagasan untuk membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization/ WTO). Lihat Paingot Rambe Manalu, Hukum Dagang Internasional (Pengaruh
Globalisasi Ekonomi Terhadap Hukum Nasional, KHususnya Hukum Hak Atas Kekayaan

13

Tarif-tarif dan Perdagangan. Dengan terbentuknya WTO mulai 1 Januari 1995,
maka polemik mengenai apakah GATT sebagai organisasi internasional atau
bukan, telah berkahir. GATT 1947 kini diintegrasikan ke dalam salah satu
perjanjian yang merupakan ANNEX perjanjian WTO, yakni Multilateral
Agreement on Trade In Goods.
Dengan disetujuinya hasil perundingan Uruguay Round dan dibentuknya
WTO sebagai lembaga penerus GATT, struktur dan sistem pengambilan keputusan
yang berlaku dalam GATT juga turut disesuaikan dengan ketentuan dalam
perjanjian batu tersebut. WTO merupakan suatu lembaga perdagangan multilateral
yang permanen. Sebagai suatu organisasi yang permanen, peranan WTO akan
lebih kuat daripada GATT, hal ini secara langsung tercermin dalam struktur
organisasi dan sistem pengambilan keputusan.25
WTO memiliki status sebagai sebuah organ khusus PBB seperti halnya dengan
IMF (International Monetary Fund) dan IRDB (Interntional Bank For
Reconstructuries and Development). WTO memiliki fungsi mendukung
pelaksanaan adminitrasi dan menyelenggarakan persetujuan yang telah dicapai
untuk mewujudkan sasaran yang diharapkan. Persetujuan-persetujuan tersebut
merupakan forum perundingan bagi negara anggota mengenai persetujuanpersetujuan yang telah dicapai, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan
kemudian dalam pertemuan singkat menteri, mengadminitrasi pelaksaan
ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan, mengadminitrasikan
mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan.
WTO didirikan dengan anggotanya dengan maksud dan tujuan bersama
sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya sebagai berikut: “Bahwa
hubungan-hubungan perdagangan dan kegiatan ekonomi negara-negara anggota
harus dilaksanakan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup, menjamin
lapangan kerja sepenuhnya, peningkata penghasilan negara, memperluas
produksi dan perdagangan barang dan jasa, dengan penggunaan optimal
sumber-sumber daya manusia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Juga mengusahakan perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara
Intelektual), CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2000, hlm. 104.
25_____________________Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (dalam kerangka Studi
Analitis), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,hlm. 51.

14

pelaksanaanya dengan cara-cara yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing
negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda. Dalam
mengejar tujuan-tujuan ini diakui adanya suatu kebutuhan akan langkah-langkah
positif untuk menjaga agar negara berkembang, teristimewa yang paling
terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional
sesuai dengan kebutuhan pembangunan ekonominya”.26
Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut serta dalam pertemuan Double
WTO, tidak terlepas dari rangkaian kebijaksanaan di sektor perdagangan. Berbagai
persetujuan hasil putaran Uruguay yang disepakati di Marrakech (Marocco) yang
berakhir pada tahun 1994, merupakan kesepakatan untuk memperbaiki situasi
hubungan perdagangan internasional melalui upaya mempertahankan akses pasar
barang dan jasa, menyempurnakan berbagai peraturan perdagangan, memperluasa
cakupan dari ketentuan dan disiplin GATT, dan memperbaiki kelembagaan atau
institusi perdagangan multilateral antara bangsa-bangsa. Dengan demikian,
indonesia telah terikat untuk mematuhi segala kaidah-kaidah yang disepakati
dalam persetujuan perdagangan internasional, termasuk melakukan perubahan
baik terhadap instrument hukum mamupun kebijaksanaan pembangunan di bidang
perdagangan.
Sebagai salah satu negara yang telah menjadi anggota organisasi perdagangan
internasional, indonesia telah terikat dalam untuk mematuhi ketentuan-ketentuan
perdagangan internasional yang disepakati dalam perundingan GATT-WTO.
Ketentuan-ketentuan tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap
sistem dan pranata hukum nasional di sector perdagangan termasuk pada kegiatan
industry kecil. Pengaruh tersebut tidak dapat dihindari terutama dalam
pembangunan ekonomi nasional, karena Indonesia telah menganut sistem
perdagangan bebas semenjak ditandatanganinya persetujuan Perunduingan
Uruguay (Uruguay Round) pada tanggal 15 April 1994.27
Masuknya indonesia sebagai anggota perdagangan dunia yaitu melalui
diratifikasikannya perjanjian perdagangan dunia dalam Undang-undang Nomor 7
Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade
26_____________________Lihat mukaddimah dari Agreement Establishing The World Trade
Organization Tahun 1994.
27_____________________Muhammad Sood, Op. cit, hlm. 13.

15

Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)
membawa konsekuensi baik yang bersifat eksternal maupun internal. Konsekuensi
ekstrernal bagi Indonesia yaitu Indonesia harus mematuhi seluruh hasil
kesepakatan dalam forum WTO. Sementara untuk konsekuensi internal, Indonesia
harus merelakan harmonisasi perturan perundang-undangan nasional dengan
ketentuan hasil kesepakatan WTO, artinya dalam melakukan harmonisasi,
Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak melanggar
rambu-rambu ketentuan WTO.
Sebagai tindak lanjut dari dukungan tersbut, pemerintah Indonesia telah
menentukan arah kenijaksanaan di bidang hukum yang mendukung kegiatan
ekonomi sebagaimana dituangkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) Tahun 1999-2004 dalam Tap MPR No.IV/ MPR/ 1999. Hal ini telah
dinyatakan dalam butir 7, bahwa Indonesia harus mengembangkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam mengahdapi
era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
Keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian perdagagan internasional baik pada
tataran global (GATT-WTO) maupun regional (AFTA, APEC, dan CAFTA)
diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama sector usaha
industry kecil dan menengah baik secara nasional maupun internasional. Oleh
karena itu, kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh
kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna
menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.28
B. Pengaruh

Sektor

Perdagangan

Indonesia

Terkait

Perjanjian

Perdagangan Bilateral Indonesia dengan Australia
Pada prinsipnya terdapat sejumlah prinsip yang dapat digunakan dalam
perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang perdagangan internasional untuk
mencapai tujuan tertentu, tujuh di antaranya memiliki arti yang sangat penting
yaitu sebagai berikut:

28_____________________Ibid, hlm. 15-16.

16

1. Prinsip minimum standard, prinsip ini banyak dipakai dalam berbagai
perjanjian dengan maksud untuk memberikan jaminan keamaan bagi para
pedagang asing baik bagi jiwanya sendiri maupun bagi harta kekayaannya.
Dalam perkembangan prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum
kebiasaan internasional sehingga berlaku bagi segenap orang asing.
Prinsip ini memberikan sumbangan yang besar terhadap pengaturan
perbuatan melanggar hukum yang bersifat internasional. Misalnya negara
dapat

dituntut

karena

tidak

memberikan

perlindungan

terhadap

keselamatan diri pribadi dan harta orang asing, tidak memberinya akses ke
pengadilan atau mengenakan pajak yang berlebihan.
2. Standard of identical treatment, prinsip ini adalah prinsip yang sering
digunakan oleh para raja (pemimpin) pada zaman dahulu dalam hal saling
memberikan jaminan bahwa mereka akan memberikan perlakuan serupa
kepada

semua

pedagang-pedagangnya.

Perlakuan

demikian

dapat

diterapkan secara sempit atau luas dalam hubungan ekonomi di antara
negara. Misalnya, dalam suatu perjanjian pedagangan dua pemimpin
kerajaan sama-sama memberikan jaminan bahwa para pedagang mereka
yang berniaga di wilayah kerajaan lain akan dibebaskan dari kewajiban
militer atau mungkin pula masing-masing negara menjamin kebebasan
berniaga dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi.
3. Standard of national treatment, standar ini memberikan persamaan
perlakuan di dalam satu negara, sehingga perlakuan terhadap orang asing
adalah sama seperti perlakuan terhadap warga negara sendiri. Misalnya,
pajak penjualan yang sama akan dikenakan bagi produk serupa yang dijual
orang asing dan yang diperdagangkan warga negara sendiri.
4. Most favoured nation treatment, menurut prinsip ini negara-negara
memberikan perlakukan sama seperti yang diberikan kepada negara ketiga.
Kebaikan standar ini dalam bentuknya yang tak bersyarat adalah bahwa ia
secara umum memberlakukan bagi seluruh peserta perjanjian keuntungankeuntungan yang diberikan oleh salah satu dari mereka kepada negara
ketiga. Ia diberlakukan tanpa memadang struktur sosial politik dan

17

ekonomi negara peserta. Ini menjadi sebab utama mengapa prinsip ini
dapat berkelanjutan sepanjang sejarahnya dan sangat banyak digunakan.
Prinsip ini juga memberikan kesamaan landasan bagi negara maju dan
negara berkembang, negara industry maupun negara agraris, dan dalam
batas-batas tertentu antara sistem ekonomi bebas dan ekonomi terpimpin.
Misalnya,

jika

dalam

perjanjian

dagang

multilateral,

negara A

menggunakan tarif 5% atas produk impor dari negara B, maka tingkat
tariff tersebut harus diberikan juga kepada produk-produk serupa yang
berasal dari negara ketiga yang menjadi peserta dalam perjanjian lainnya.
5. Standard on the open door, prinsip ini mirip dengan prinsip most favoured
nation treatment namun sebagai negara pembanding bukan hanya negara
ketiga, akan tetapi setiap negara peserta yang mendapatkan keuntungan
dari padanya.
Menurut Schwanzerberger prinsip merupakan produk zaman kolonialisme
untuk menghindari keadaan di mana negara-negara besar yang saling
bersaing menetapkan aturan-aturan yang mengecualikan pihak lain
diwilayah-wilayah jajahannya (nominally sovereign state) yang juga
merupakan peserta perjanjian.
6. Standard of preferential treatment, prinsip ini merupakan kebalikan dari
prinsip yang bermaksud memberikan hak sama bagi semua pihak. Dalam
sistem hubugan internasional yang luas, kedua sistem ini tidak dapat
diberlakukan secara simultan tetapi dapat diharmonisasikan. Misalnya, di
antara

negara-negara

dalam

kawasan

tertentu

(seperi

ASEAN)

diberlakukan tariff yang lebih rendah atas produk masing-masing negara
yang diimpor ke negara lain di kawasan tersebut, jika dibandingkann
dengan tarif atas produk impor dari negara di luar kawasan.
7. Standar of equitable treatment, prinsip ini diterapkan pada bidang-bidang
yang terpengaruh oleh kebijakan suatu negara. Ia memberikan jalan ke luar
dalam keadaan di mana terdapat ketidakseimbangan mata uang atau
perubahan struktur ekonomi negara yang telah memaksa negara
mengambil kebijakan perbatasan impor. Dalam keadaan seperti ini prinsip
ini merupakan satu-satunya cara untuk meberlakukan MFN dan
mendapatkan keadilan proporsional di antara negara-negara. Misalnya,
18

jika negara mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran, atau pasar
dalam negerinya terganggu akibat membanjirnya suatu produk tertentu
dari negara lain, maka negara tersebut dapat membatasi impor barang yang
dianggap dapat menimbulkan kerugian tersebut. Pembatasan atas produk
tertentu tersebut berlaku bagi impor dari setiap negara peserta perjanjian.29
Perjanjian internasional merupakan kesepakatan dari dua entesitas hukum
yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak
adanya pemaksaan kehendak kepada setiap negara untuk mengikat diri terhadap
perjanjian internasional atau tidak.
Pada dasarnya perjanjian yang banyak ditandatagani adalah perjanjian
persahabatan (friendship) antar negara, perjanjian perdagangan (Commerce), dan
perjanjian navigasi (navigation) atau FCN30). Perjanjian perjanjian bilateral
semacam ini dibentuk sebagai kerangka yang menjadi landasan perkembangan
hubungan-hubungan ekonomi yang menguntungkan bagi kedua negara yang
terlibat dalam suatu perjanjian tersebut.
Terdapat tiga pendorong utama yang menjadi alasan bagi suatu negara untuk
melakukan perdagangan internasional dan selanjutnya membentuk kerjasama
perdagangan bebas, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Adanya keuntungan dari pertukaran antar negara yang menjadi pihak
dalam perjanjian perdagangan internasional baik yang terlibat dalam hal
produksi maupun dalam hal konsumsi.
2. Fokus untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan keunggulan
negara komparatif dan kompetitif suatu negara.

29_____________________Hata, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO
(Aspek-Aspek Hukum dan Non Hukum), PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 54-56.
30_____________________Perjanjian FCN merupakan suatu kesepakatan komprehensif antara
para pihak (negaara). Perjanjian ini umumnya memuat kesepakatan mengenai pengaturanpengaturan mengenai warga negara dan harta kekayaannya yang melakukan bisnis di negara
lainnya (luar negeri). Lihat Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional (suatu pengantar), PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 158.

19

3. Espektasi adanya transfer tekonologi dengan masuknya produk dari negara
yang berteknologi modern atau lebih maju dari salah satu negara yang
terlibat dalam perjanjian perdagangan internasional tersebut.31
Pada saat sekarang ini, Indonesia telah memasuki dan melakukan negosiasi
dengan berbagai negara guna membahas mengenai perdagangan bebas secara
bilateral. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk memberikan dampak positif atau
perkembangan dalam sektor perdagangan di Indonesia. Terdapat beberapa
perjanjian perdagangan bebas bilateral berskala internasional yang telah dilakukan
oleh Indonesia, yaitu; perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dengan
Australia, selain perjanjian perdagangan dengan Australia, Indonesia juga telah
banyak melakukan kerjasama dalam hal perdagangan dengan negara lain secara
bilateral, sebut saja kerjasama Indonesia dengan Cina serta Indonesia dengan
India. Perjanjian perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia dengan Australia
serta perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Cina dan India, mencakup
beberapa hal di antaranya yaitu dalam hal import, eksport, produksi (barang/jasa),
dan dalam hal ketenagakerjaan.
Perjanjian kerjasama perdagangan bilateral yang dilakukan Indonesia dengan
Australia telah berlangsung sangat lama, namun pada saat ini dapat dikatakan
bahwa kerjasama perdanganan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia (di
bawah kepemimpian Presiden Joko Widodo) dengan pemerintah Australia
merupakan kelanjutan dari perjanjian kerjasama perdagangan yang telah dibuat
pada masa kepemimpinan Presiden sebelumnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono
yang menjabat sebagai Presiden RI dua periode (dari tahun 2004-2009 dan 20092013).
Hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Australia dalam bidang
perdagangan dapat bertahan sampai sekarang ini, karena kedua negara tersebut
saling membutuhkan satu sama lain dalam hal kerjasama perdagangan guna untuk
meningkatkan ekonomi negara masing-masing. Australia merupakan salah satu
mitra dagang utama Indonesia dan menempati urutan ke Sembilan sebagai negara
31_____________________Dampak Liberalisasi Perdagangan pada Hubungan Bilateral
Indonesia dan Tiga Negara (China, India, dan Australia) Terhadap Kinerja Ekspor-Impor,
Output Nasional dan Kesempatan Kerja di Indonesia: Analisis Simulasi Social Accounting
Matrix (SAM) dan the SMART Model, International Labour Office, Jakarta: ILO, 2013, hlm. 3.

20

utama tujuan ekspor, sedangkan Indonesia menenpati posisi ke tiga sebagai negara
tujuan ekspor Australia setelah Thailand dan Singapura. Sementara di bidang
impor Indonesia merupakan negara asal impor ke empat setelah Thailand,
Singapura, dan Malaysia, indonesia menempati urutan ke sebelas sebagai tujuan
utama ekspor produk-produk dari Australia dengan produk unggulan seperti
mineral, dan bahan bakar, daging dan susu.32
Pada tahun 2015 ini, hubungan diplomatik antara kedua negara Indonesia
dengan Australia sempat memanas, hal ini didasari oleh tindakan pemerintah
Indonesia yang menghukum mati nara pidana kasus Narkotika yang merupakan
warga Negara Australia.33 Meskipun hubungan diplomatik kedua negara tersebut
telah berakhir (putus), namun hal tersebut tidak berdampak (berpengaruh)
terhadap perjanjian perdagangan atau hubungan bisnis antara Indonesia dengan
Australia. Salah satu kerjasama ekonomi yang masih berlangsung antara
Indonesia dengan Australia sampai saat ini adalah dalam hal impor sapi, di mana
Australia masih merupakan pemasok sapi terbesar ke negera Indonesia.34
Tidak berpengaruhnya hubungan kerjasama perdagangan antara Indonesia
dengan Australia, meskipun kedua negara telah memutuskan hubungan
diplomatiknya. Hal ini didasari oleh asas-asas yang lahir dari pelaksanaan
perjanjian internasional, yaitu adanya asas pacta sun servanda35 dan asas itikad

32_____________________Diakses pada tanggal 27 November 2015 Pukul 13:45 WIB
melalui: http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/169-maret-2012/1367-perdaganganindonesia-australia.html

33_____________________Diakses pada tanggal 5 Desember 2015 pukul 10:45 WIB melalui:
http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-04-30/hubungan-dagang-australia-indonesiabelum-terdampak-isu-eksekusi-mati/1442186
34_____________________Diakses pada tanggal 5 Desember 2015 pukul 10:37 WIB melalui:
http://bisnis.tempo.co/read/news/2013/11/20/090530994/kerja-sama-ekonomi-ri-australia-tetapjalan-terus
35_____________________Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law,
yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan antara para individu, yang
mengandung makna bahwa: (1) perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya, dan (2) mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada
perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi. Lihat Harry Purwanto,
Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum
Fakultas Hukum UGM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009, hlm. 162.

21

baik36, di mana kedua asas tersebut bersifat mengikat dan harus dilaksanakan
sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian oleh para pihak yang
terlibat dalam perjanjian internasional tersebut.
Dalam hal ini, meskipun hubungan diplomatik antara Indonesia dengan
Asutralia telah berkahir, bukan berarti kedua negera tersebut dapat memutuskan
hubungan atau perjanjian kerjasama dalam sektor lainnya, termasuk juga dalam
sektor perdagangan. Karena pada prinsipnya setiap kesepakatan yang telah
disepakati oleh Indonesia dengan Australia dalam perjanjian kerjasama
perdagangan harus dilaksanakan sampai dengan berkahirnya masa perjanjian
kerjasama seperti yang telah disepakati, hal ini berdasarkan ketentuan asas pacta
sunt servanda, di mana setiap perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak
bersifat mengikat atas para pihak ibarat undang-undang. Maka oleh karena itu
kedua kedua negara (Indonesia dan Australia) tidak dapat memutuskan semua
perjanjian kerjasama yang telah disepakari secara semena-mena, karena dalam hal
menjalankan sebuah perjanjian kedua para pihak dalam perjanjian harus
menjalankan isi kesepakatan tersebut secara itikad baik, dalam artian para pihak
dalam perjanjian harus menjalankan apa yang telah diperjanjikan dan tidak
mangkir dari kewajibannya.
Setiap perjanjian perdagangan internasional yang dilakukan oleh Indonesia
akan memberikan dampak positif dan juga dampak negatif terhadap sektor
perdagangan dan perekonomian negara Indonesia sendiri, begitu juga dalam hal
perjanjian perdagangan internasional antara Indonesia dengan Australia juga
memberikan dampak positif dan negatif terhadap masing-masing negara. Salah
satu dampak yang paling utama dalam perjanjian perdagangan

internasional

antara dua negara, Indonesia dengan Australia adalah terciptanya hubungan
persahabatan yang lebih erat antara kedua negara serta dapat terjalinnya kerjasama
antar negara dalam berbagai bidang.
Di samping terciptanya hubungan persahabatan antar negara, dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Australia adalah
36_____________________Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak yang berkaitan
dengan apa yag ada dalam pikiran manusia. Pembagian itikad baik dibagi kedalam dua bagian
yaitu itikad baik dalam arti subyektif (kejujuran) dan itikad baik dalam arti obyektif (kepatutan).
Lihat J. Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), PT. Citra Adiyta Bakti,
Bandung, 1992, hlm. 378-379.

22

dalam hal mendorong dan mempercepat pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia
melalui kegiatan ekspor impr yang dilakukan oleh Australia kepada Indonesia dan
juga sebaliknya dari Indonesia ke Australia, di mana tarif impor ekspor tersebut
akan masuk dalam pendapatan negara serta dapat meningkatkan devisi negara.
Selama ini Indonesia merupakan negara yang paling setia dalam hal penerimaan
barang impor dari Australia, terdapat beberapa barang impor dari Australia yang
menyerbu pasar dagang Indonesia di antaranya adalah sapi, garam, gandum, buahsayur dan susu. Indonesia juga telah banyak melakukan ekspor barang ke
Australia di antaranya adalah bauksit, buah manggis, antena televisi, emas dan
kayu.37
Selain kegiatan impor ekspor, hal lain yang berpengaruh terhadap sektor
perdagangan di Indonesia adalah dalam terdorongnya kegiatan ekonomi dalam
negeri, dalam artian di mana para pelaku usaha akan banyak atau meningkatkan
produksi barang-barangnya dengan kualitas bagus baik untuk di ekspor dan juga
untuk bersaing dengan produk impor yang masuk dalam pasar dagang Indonesia,
maka oleh karena itu, dalam meningkatkan produksi dalam suatu usaha akan
terbuka pula kesempatan kerja serta secara tidak langsung telah mengurangi kouta
pengangguran yang ada di Indonesia. Hal ini dilakukan agar produk asli Indonesia
yang tidak di ekspor tidak kalah saing dan tetap menjadi primadona di negara
sendiri.
Tidak semua perjanjian perdagangan internasional membawa pengaruh atau
dampak baik terhadap negara yang terlibat dalam perjanjian internasional tersebut,
dalam perjanjian perdagangan antara Indonesia dengan Australia juga terdapat
dampak negatif yang timbul dari perdagangan Internasional yaitu dalam hal
manufaktur dan industri. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya dalam hal teknologi
Indonesia masih kalah saing dengan negara-negera maju termasuk Australia, maka
oleh karena itu dengan minimnya manufaktur dan industri di Indonesia sangat
berpengaruh tidak baik dalam hal pasar dagang di Indonesia sendiri. Hal ini dapat
berdampak pada produksi industri lokal di Indonesia, di mana dengan maraknya
produk impor yang masuk di pasar dagang Indonesia membuat produk dalam
37_____________________Diakses pada tanggal 8 Desember 2015 pukul 15:20 melalui:
http://m.merdeka.com/uang/lima-produk-indonesia-jajah-australia.html

23

negeri terancam, dalam artian apabila masyarakat telah banyak menyukai produk
impor dan juga akan ketergantungan terhadap produk tersebut, akan membuat
berkurangnya produk yang diproduksi oleh industri dalam negeri. Dengan
berkurangnya nilai produksi dalam negeri akan berdampak pula pada masalah
lapangan kerja (ketenagakerjaan) yaitu akan bertambahnya pengangguran di
Indonesia.
Mak