IMPLEMENTASI SALAM DAN ISTISNA DALAM LEM
IMPLEMENTASI SALAM DAN ISTISNA’ DALAM LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Fajar Tirta Asta
14127869
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2017 M/1438 H
1
Implementasi Jual Beli Salam dan Istisna’ dalam Lembaga
Keuangan Syariah
A. Latar Belakang
Sudah menjadi ketentuan Allah Yang Maha Pencipta bahwa manusia diciptakan
sebagai mahluk sosial yang berarti tidak mungkin dapat hidup sendiri, manusia saling
membutuhkan satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam aksi
saling memenuhi kebutuhan tersebut, manusia perlu melakukan transaksi dengan
lainnya. Salah satunya ialah melakukan kegiatan jual beli.
Dalam hukum Islam kegiatan jual beli tidak dilarang selama tidak mengandung riba,
ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah Bay’ as-Salam (jual
beli salam), Bay’ al-Muqayyadah (barter), Bay’ al-Mutlaq, Bay’ al-Musawah, Bay’
Bisamail ajil, Bay’ Samsarah, dan bay’ Is”ishna’. Makalah ini berkonsentrasi pada
pembahasan aktivitas bisnis Lembaga Keuangan Syariah yaitu BMT dan bank syariah
dalam bentuk bay’ as-Salam dan Istisna’. Perbedaan salam dan istishna’ yang paling
menonjol adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak
secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal,
tengah atau akhir.
Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifatsifatnya dalam
perjanjian
dengan
harga
pemabayaran
secara
tunai.
Sedangkan
jual
beliIstishna’merupakan kontrak jual beli dalam bentukpemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratanteretntu yang disepakati antara pemesan
(pembeli) dan penjual(pembuat). Dalam hal pembayaran, transaksiIstishna’dapat
dilakukandimuka, melaluicicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu padamasa
yang akan datang.1
Dalam penulisan ini akan dijelaskan lagi secara detail tentang persamaan dan
perbedaan implementasi antara jual beli salam dan jual beli istisna’ agar lebih
mempertegas pemahaman kedua akad tersebut khususnya dalam implementasinya di
BMT dan bank syariah.
1
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Selemba Empat,2009), h. 254.
2
PEMBAHASAN
A. Implementasi jual beli salam di Lembaga Keuangan Syari’ah
Jual beli salam artinya pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka2. Dalam praktik LKS adalah salam pararel.
Salam pararel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu oleh nasabah
kepada LKS. Pembelian tidak secara langsung dengan melakukan penyerahan barang,
akan tetapi nasabah hanya memberikan spesifikasi barang, kemudian LKS memesan
barang yang diminta nasabah kepada pihak ketiga atau produsen. Biasanya LKS
melakukan pembayaran atas barang tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian
dijual kepada konsumen atau nasabah, bisa secara tunai atau secara angsuran.3
Prinsip salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan
belum ada.4 Oleh karena itu barang yang diserahkan secara tangguh sedangkan
pembayaran dilakukan secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli sedangkan
nasabah bertindak sebagai penjual. Dalam prakteknya bank dapat menjual barang
tersebut kembali kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri baik secara
iunai maupun cicilan. Dalam transaksi ini kuantitas, kualitas dan waktu penyerahan
barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh
pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat
berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal ini Bank bertindak sebagai pembeli,
Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang
merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang
meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus
sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika
barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung
jawab atas kelalaiannya.5
Biasanya jual beli salam dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah
barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barangbarang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bay’ al salam
2
Kasmir, “ Dasar-Dasar Perbankan”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 251
3
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), h. 76
4
Chandra Utama, “Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah”, Majalah Ilmiah,
(Universitas Khatolik Parahayangan, Vol. 13 no 2 Agustus 2009), h. 46
5
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”, Jurnal Akuntansi dan
Bisnis, (Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Volume 13, No. 2, September
2013), h. 207
3
kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam
perbankan Islam dikenal sebagai salam pararel (Antonio, 1999).6
Salam dalam teknis perbankan syariah berarti pembelian yang dilakukan oleh
bank dengan pembayaran dimuka dengan pihak I (Nasabah I) dan dijual lagi kepada
pihak lain (nasabah II) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Modal/harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang, melainkan
dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Ketentuan umum Salam :
1. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti
jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya jual beli 1 ton cabe
merah keriting dengan harga Rp. 10.000-/kg, akan diserahkan pada panen
dua bulan mendatang.
2. Apabila hasil produksi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan akad maka
nasabah (produsen) harus bertanggung jawab, dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang
sesuai dengan pesanan.
3. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua). Mekanisme
seperti ini disebut dengan salam parallel.7
Menurut Imam Mustofa tahapan pelaksanaan salam adalah sebagai berikut:
1. Nasabah memesan barang kepada bank syariah dengan menjelaskan
spesifikasinya kepada penjual.
2. Setelah menerima pesanan nasabah, maka bank syariah segera memesan
barang kepada pembuat/produsen. Produsen membuat/memberikan barang
sesuai pesanan bank syariah.
3. Setelah barang yang dipesan ada, produsen mengirimnya kepada nasabah.
4. Bank syariah membayar barang kepada produsen.
5. Nasabah membayar harga barang kepada bank syariah, biasanya dengan
mengangsur.
Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada nasabah
atas perintah bank syariah.8
1. Ketentuan Implementasi Akad Salam
6
Wiwik Fitria Ningsih, “Modifikasi Pembiayaan Salam dan Implikasi Perlakuan Akuntansi Salam”,
Jurnal Akuntansi Universitas Jember, (Jember: Universitas Jember, Volume 13, No. 2, Desember
2015), h. 20
7
Ibid h. 19
8
Imam Mustofa,”Figh Mu’amalah”….., h.77
4
SEBI No. 10/14/DPbs tertanggal 17 Maret 2008 memberikan ketentuan implementasi
akad salam dalam produk pembiayaan sebagai berikut:
a. Bank bertindak baik sebagai pihak peyedia dana maupun sebagai pembeli
barang untuk kegiatan transaksi salam dengan nasabah yang bertindak
sebagai penjual barang;
b. Barang dalam transaksi salam adalah objek jual beli dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah jangka waktu, tempat dan harga yang jelas, yang pada
umumnya tersedia secara reguler dipasar, serta bukan objek jual beli yang
sulit diidentifikasi ciri-cirinya dimana antara lain nilainya berubahubah
tergantung penilaian subyektif;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
pembiayaan atas dasar akad salam, serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan bank indonesia mengenai transparasi
informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas dasar salam
kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa
atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (condition);
e. Bank dan nasabah wajib munuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian
tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar salam;
f.
Pembayaran atas dasar nasabah oleh bank harus dilakukan di muka secara
penuh yaitu pembayaran segera atas pembiayaan atas dasar akad salam
disepakati atau paling lambat tujuh hari setelah pembiyaan atas dasar akad
salam disepakati; dan
g. Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.9
2. Aplikasi pembiayaan salam
a. Tujuan pembiayaan salam
Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil
produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada
umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan
aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat
akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali. Dengan
9
Menurut Abdul Ghofur Anshori, yang dikutip oleh Frida Umami dalam “Implementasi Jual Beli
Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah tahun 2016 (tidak dipublikasikan), h.5
5
melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil
manfaat tersebut.
Hasil produksi dari pertanian, perkebunan dan peternakan harus diketahui
dengan jelas ciri-cirinya dan bersifat umum seperti: jenis, macam, ukuran,
kualitas dan kuantitasnya. Hasil produksi yang diterima harus sesuai dengan
spesifikasi yang telah diperjanjikan. Apabila terjadi kekeliruan atau cacat,
maka produsen harus bertanggung jawab.
b. Harga
Ketentuan harga jual ditetapakan diawal perjanjian dan tidak boleh berubah
selama jangka waktu perjanjian. Harga dalam jual beli antara bank syariah
dan nasabah produsen lebih rendah dibanding harga jual beli antara bank
dan produsen dengan harga antara bank dan pemesan menjadi keuntungan
salam.
c. Jangka waktu salam adalah jangka pendek, yaitu paling lama satu tahun.10
Pembiayaan salam dilakukan oleh bank syariah untuk pembiayaan pada sektor
pertanian, perkebunan, dan peternakan. Berikut ini ilustrasi jual beli salam:
Misalnya, anton (petani) sedang membutuhkan dana untuk menanam padi.
Anton mengajukan pembiayaan pada bank syariah. Sebelum memberikan pembiayaan
kepada anton, bank syariah menawarkan padi kepada PT Bima dengan harga
Rp.6000,-/kg. Pt Bima setuju akan membeli 10 ton padi dengan harga Rp.6000,-/kg,
yang mana padi ini akan dikirim pada tanggal 01 september 2010. Pada tanggal 01 mei
2010, bank syariah membeli 10 ton padi dari anton dengan harga Rp.5000,-/kg. Bank
syariah melakukan pembayaran pada saat akad salam yaitu pada tanggal 01 mei 2010,
namun padinya akan dikirim oleh anton pada tanggal 01 september 2010 sesuai
akad.pembayaran oleh PT Bima dilakukan pada tanggal 01 september 2010.
Dari contoh tersebut , maka keuntungan bank syariah atas transaksi salam
paralel ini adalah sebesar Rp.10.000.000,- dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga beli dari Anton : 10.000 kg x Rp. 5.000,- = Rp. 50.000,Harga jual kepada PT Bima : 10.000 kg x Rp. 6.000,- = Rp. 60.000,Marjin keuntungan salam. = Rp. 10.000.000,Keuntungan sebesar Rp.10.000.000,- itu diperoleh bank syariah untuk jangka waktu
mulai dari 01 mei 2010 hingga 01 september 2010.11
10
Menurut Ismail yang dikutip oleh Frida Umami dalam “Implementasi Jual Beli Salam Dalam
Lembaga Keuangan Syariah, Makalah tahun 2016 (tidak dipublikasikan), h. 6
11
Ibid, h. 8
6
B. Implementasi jual beli istisna’ di Lembaga Keuangan Syari’ah
Jual beli dalam praktik LKS adalah istisna’ pararel. Istisna’ merupakan transaksi
pembelian atas barang tertentu oleh nasabah kepada LKS. Pembelian tidak secara
langsung dengan melakukan penyerahan barang, akan tetapi nasabah hanya
memberikan spesifikasi barang, kemudian LKS memesan barang yang diminta nasabah
kepada pihak ketiga atau produsen. biasanya LKS melakukan pembayaran atas barang
tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian dijual kepada konsumen atau
nasabah, bisa secara tunai atau secara angsuran. 12 Prinsip istihna pada dasarnya
merupakan transaksi jual beli cicilan seperti murabahah muajjall namun bedanya
barang diserahkan pada akhir cicilan.13
Melalui fasilitas istisna’ bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang
disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan
bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka
secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.14
Berikut tahapan dari pelaksanaan istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS):
1. Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam memesan
barang telah dijelaskan spesifikasinya, sehingga bank syariah akan
menyediakan barang sesuai dengan pemesanan nasabah.
12
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”…., h. 83
13
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah Majalah Ilmiah Vol.
13 no 2 Agustus 2009
14
Menurut M. Denny Jandiar yang dikutip oleh Anton Gillas dalam “Implementasi Jual Beli
Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah”, Makalah (tidak dipublikasikan),2016, h. 7
7
2. Setelah menerima pesanan nasabah, maka bank syariah segera memesan
barang kepada pembuat/produsen. Produsen membuat barang sesuai
pesanan bank syariah.
3. Bank menjual barang kepada pembeli/pemesan dengan harga sesuai
dengan kesepakatan.
4. Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada
nasabah atas perintah bank syariah.15
Selain model diatas, LKS juga bisa mewakilkan pembelian barang kepada
nasabah. Berikut tahapan pelaksanaan istisna’ tersebut:
1. Nasabah
mengajukan
pemesanan
barang
dengan
menjelaskan
spesifikasinya kepada LKS.
2. Kemudian antara pihak nasabah dengan LKS melakukan akad istisna’.
3. Setelah akad, LKS mewakilkan pemesanan atau pembelian barang kepada
nasabah dengan memberikan sejumlah uang.
4. Nasabah memesan dan membeli barang kepada pihak produsen.
5. Nasabah membayar harga barang kepada pihak LKS, biasanya secara
angsur.16
1. Ketentuan Akad Jual Beli Istisna’
a.
Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara
bank dan pembeli akhir.
b.
Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
c.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 22/DSN-MUI/III/2004
tertanggal 28 Maret 2002, tentang jual beli istisna’ pararel khususnya ketetapan
pertama mengenai “Ketentuan Umum”,
d.
Jika LKS melakukan transaksi istisna’ untuk memenuhi kewajibannya kepada
nasabah ia dapat melakukan istisna’ lagi dengan pihak lain dengan objek yang
sama, dengan syarat istisna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istisna’
yang kedua.
e.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istisna’ (Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula pada istisna’pararel.17
15
16
Menurut Ismail yang dikutip oleh Imam Mustofa dalam “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, h.84
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”…., h. 84
17Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah Mandiri, (Jakarta :
UIN Syrif Hidayatullah, 2010), h.36
8
Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istishna’ paralel, namun demikian
mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
a. Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap bertanggung
jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang berasal dari sub
kontrak yang disetujui.
b. Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang kepada
pihak Bank Syariah.
c. Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi18
2. Aplikasi Jual Beli Istishna’ Paralel
Dalam aplikasinya bank syariah melakukan istisna paralel, yaitu bank (sebagai
penerima
pesanan/shani’)
menerima
pesanan
barang
dari
nasabah
(pemesan/mustashni’), kemudian bank (sebagaipemesan/mustashni’) memesankan
permintaan barang nasabahkepada produsen penjual (shani’) dengan pembayaran di
muka, cicil,atau di belakang, dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati
bersama. Bagan proses pembiayaan istisna paralel dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Dari penjelasan dan gambar tersebut, dalam melakukan istisna’ pararel bank syariah
menggunakan 2 (dua) akad. Akad I antara bank dengan nasabah pemesan, kemudian pada
akad II dilakukan antara bank dengan pihak produsen pembuat (kontraktor). 19 Ilustrasi jual
beli istisna’:
18
Ibid, v. 13/h. 215
9
Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu
melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan
harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus
mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan
menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor
sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut
selesai dikerjakan.20
Ilustrasi lain:
Sebuah CV Utama yang menangani bisnis mubiler mengajukan pembiayaan 10
set perabot rumah tangga kepada Bank Syariah seharga Rp 200.000.000. Produksi
tersebut akan dibayar oleh pihak CV Utama 3 bulan yang akan datang. Harga satu set
perabot di pasaran Rp 20.000.000. Dalam kaitan ini, pihak Bank dapat memesan
barang tersebut kepada pihak lain dengan harga Rp 18.000.000 satu set. Kedua belah
pihak yaitu pihak Bank Syariah dan Produsen wajib bertanggung jawab kepada CV
Utama. Antara Produsen dengan CV Utama tidak ada hubungan hukum dan tidak boleh
campur tangan dengan soal harga dari pihak Bank Syariah. Pihak Produsen juga tidak
perlu memberitahu kepada pihak lain tentang modal yang dikeluarkan untuk satu set
perabot.21
Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istishna’ paralel, namun demikian
mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
d. Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap bertanggung
jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang berasal dari sub
kontrak yang disetujui.
e. Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang kepada
pihak Bank Syariah.
f.
Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi22
19
Abdul Mujir, Analisis Perlakuan Akuntansi Istisna’ Pada PT. Bank Muamalat Indonesia,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2008), h.95 dikutip oleh Anto Gillas
20
Anto Gillas, “Implementasi Jual Beli Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah”, Makalah
(tidak dipublikasikan),2016, h. 7
21
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”…., v. 13/h. 216
22
Ibid, v. 13/h. 215
10
DAFTAR PUSTAKA
Anto Gillas, Implementasi Jual Beli Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah
tahun 2016.
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah Majalah Ilmiah
Vol. 13 no 2 Agustus 2009.
Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah Mandiri,
Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah, 2010.
Frida Umami “Implementasi Jual Beli Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah
tahun 2016.
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.
Kasmir, “ Dasar-Dasar Perbankan”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Selemba Empat, 2009.
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”, Jurnal Akuntansi dan
Bisnis, Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Volume 13,
No. 2, September 2013.
Wiwik Fitria Ningsih, “Modifikasi Pembiayaan Salam dan Implikasi Perlakuan Akuntansi
Salam”, Jurnal Akuntansi Universitas Jember, Jember: Universitas Jember, Volume
13, No. 2, Desember 2015.
11
KEUANGAN SYARIAH
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.
Disusun Oleh :
Fajar Tirta Asta
14127869
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO LAMPUNG
TAHUN AJARAN 2017 M/1438 H
1
Implementasi Jual Beli Salam dan Istisna’ dalam Lembaga
Keuangan Syariah
A. Latar Belakang
Sudah menjadi ketentuan Allah Yang Maha Pencipta bahwa manusia diciptakan
sebagai mahluk sosial yang berarti tidak mungkin dapat hidup sendiri, manusia saling
membutuhkan satu dengan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam aksi
saling memenuhi kebutuhan tersebut, manusia perlu melakukan transaksi dengan
lainnya. Salah satunya ialah melakukan kegiatan jual beli.
Dalam hukum Islam kegiatan jual beli tidak dilarang selama tidak mengandung riba,
ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah Bay’ as-Salam (jual
beli salam), Bay’ al-Muqayyadah (barter), Bay’ al-Mutlaq, Bay’ al-Musawah, Bay’
Bisamail ajil, Bay’ Samsarah, dan bay’ Is”ishna’. Makalah ini berkonsentrasi pada
pembahasan aktivitas bisnis Lembaga Keuangan Syariah yaitu BMT dan bank syariah
dalam bentuk bay’ as-Salam dan Istisna’. Perbedaan salam dan istishna’ yang paling
menonjol adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak
secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal,
tengah atau akhir.
Jual beli salam adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifatsifatnya dalam
perjanjian
dengan
harga
pemabayaran
secara
tunai.
Sedangkan
jual
beliIstishna’merupakan kontrak jual beli dalam bentukpemesanan pembuatan barang
tertentu dengan kriteria dan persyaratanteretntu yang disepakati antara pemesan
(pembeli) dan penjual(pembuat). Dalam hal pembayaran, transaksiIstishna’dapat
dilakukandimuka, melaluicicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu padamasa
yang akan datang.1
Dalam penulisan ini akan dijelaskan lagi secara detail tentang persamaan dan
perbedaan implementasi antara jual beli salam dan jual beli istisna’ agar lebih
mempertegas pemahaman kedua akad tersebut khususnya dalam implementasinya di
BMT dan bank syariah.
1
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Selemba Empat,2009), h. 254.
2
PEMBAHASAN
A. Implementasi jual beli salam di Lembaga Keuangan Syari’ah
Jual beli salam artinya pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari,
sedangkan pembayaran dilakukan di muka2. Dalam praktik LKS adalah salam pararel.
Salam pararel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu oleh nasabah
kepada LKS. Pembelian tidak secara langsung dengan melakukan penyerahan barang,
akan tetapi nasabah hanya memberikan spesifikasi barang, kemudian LKS memesan
barang yang diminta nasabah kepada pihak ketiga atau produsen. Biasanya LKS
melakukan pembayaran atas barang tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian
dijual kepada konsumen atau nasabah, bisa secara tunai atau secara angsuran.3
Prinsip salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjualbelikan
belum ada.4 Oleh karena itu barang yang diserahkan secara tangguh sedangkan
pembayaran dilakukan secara tunai. Bank bertindak sebagai pembeli sedangkan
nasabah bertindak sebagai penjual. Dalam prakteknya bank dapat menjual barang
tersebut kembali kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri baik secara
iunai maupun cicilan. Dalam transaksi ini kuantitas, kualitas dan waktu penyerahan
barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam jual beli salam, spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati oleh
pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang pesanan tidak dapat
berubah selama jangka waktu akad. Dalam hal ini Bank bertindak sebagai pembeli,
Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah untuk menghindari risiko yang
merugikan Bank. Barang pesanan harus diketahui karakteristiknya secara umum yang
meliputi: jenis, spesikasi teknis, kualitas dan kuantitasnya. Barang pesanan harus
sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati antara pembeli dan penjual. Jika
barang pesanan yang dikirimkan salah atau cacat, maka penjual harus bertanggung
jawab atas kelalaiannya.5
Biasanya jual beli salam dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah
barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barangbarang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bay’ al salam
2
Kasmir, “ Dasar-Dasar Perbankan”, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 251
3
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014), h. 76
4
Chandra Utama, “Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah”, Majalah Ilmiah,
(Universitas Khatolik Parahayangan, Vol. 13 no 2 Agustus 2009), h. 46
5
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”, Jurnal Akuntansi dan
Bisnis, (Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Volume 13, No. 2, September
2013), h. 207
3
kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam
perbankan Islam dikenal sebagai salam pararel (Antonio, 1999).6
Salam dalam teknis perbankan syariah berarti pembelian yang dilakukan oleh
bank dengan pembayaran dimuka dengan pihak I (Nasabah I) dan dijual lagi kepada
pihak lain (nasabah II) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.
Modal/harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang, melainkan
dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Ketentuan umum Salam :
1. Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas, seperti
jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Misalnya jual beli 1 ton cabe
merah keriting dengan harga Rp. 10.000-/kg, akan diserahkan pada panen
dua bulan mendatang.
2. Apabila hasil produksi yang diterima ternyata tidak sesuai dengan akad maka
nasabah (produsen) harus bertanggung jawab, dengan cara antara lain
mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang
sesuai dengan pesanan.
3. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua). Mekanisme
seperti ini disebut dengan salam parallel.7
Menurut Imam Mustofa tahapan pelaksanaan salam adalah sebagai berikut:
1. Nasabah memesan barang kepada bank syariah dengan menjelaskan
spesifikasinya kepada penjual.
2. Setelah menerima pesanan nasabah, maka bank syariah segera memesan
barang kepada pembuat/produsen. Produsen membuat/memberikan barang
sesuai pesanan bank syariah.
3. Setelah barang yang dipesan ada, produsen mengirimnya kepada nasabah.
4. Bank syariah membayar barang kepada produsen.
5. Nasabah membayar harga barang kepada bank syariah, biasanya dengan
mengangsur.
Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada nasabah
atas perintah bank syariah.8
1. Ketentuan Implementasi Akad Salam
6
Wiwik Fitria Ningsih, “Modifikasi Pembiayaan Salam dan Implikasi Perlakuan Akuntansi Salam”,
Jurnal Akuntansi Universitas Jember, (Jember: Universitas Jember, Volume 13, No. 2, Desember
2015), h. 20
7
Ibid h. 19
8
Imam Mustofa,”Figh Mu’amalah”….., h.77
4
SEBI No. 10/14/DPbs tertanggal 17 Maret 2008 memberikan ketentuan implementasi
akad salam dalam produk pembiayaan sebagai berikut:
a. Bank bertindak baik sebagai pihak peyedia dana maupun sebagai pembeli
barang untuk kegiatan transaksi salam dengan nasabah yang bertindak
sebagai penjual barang;
b. Barang dalam transaksi salam adalah objek jual beli dengan spesifikasi,
kualitas, jumlah jangka waktu, tempat dan harga yang jelas, yang pada
umumnya tersedia secara reguler dipasar, serta bukan objek jual beli yang
sulit diidentifikasi ciri-cirinya dimana antara lain nilainya berubahubah
tergantung penilaian subyektif;
c. Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk
pembiayaan atas dasar akad salam, serta hak dan kewajiban nasabah
sebagaimana diatur dalam ketentuan bank indonesia mengenai transparasi
informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah;
d. Bank wajib melakukan analisis atas rencana pembiayaan atas dasar salam
kepada nasabah yang antara lain meliputi aspek personal berupa analisa
atas karakter (character) dan/atau aspek usaha antara lain meliputi analisa
kapasitas usaha (condition);
e. Bank dan nasabah wajib munuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian
tertulis berupa akad pembiayaan atas dasar salam;
f.
Pembayaran atas dasar nasabah oleh bank harus dilakukan di muka secara
penuh yaitu pembayaran segera atas pembiayaan atas dasar akad salam
disepakati atau paling lambat tujuh hari setelah pembiyaan atas dasar akad
salam disepakati; dan
g. Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.9
2. Aplikasi pembiayaan salam
a. Tujuan pembiayaan salam
Pembiayaan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil
produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada
umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan
aktivitasnya, sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat
akad. Setelah hasil panen, maka nasabah akan membayar kembali. Dengan
9
Menurut Abdul Ghofur Anshori, yang dikutip oleh Frida Umami dalam “Implementasi Jual Beli
Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah tahun 2016 (tidak dipublikasikan), h.5
5
melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil
manfaat tersebut.
Hasil produksi dari pertanian, perkebunan dan peternakan harus diketahui
dengan jelas ciri-cirinya dan bersifat umum seperti: jenis, macam, ukuran,
kualitas dan kuantitasnya. Hasil produksi yang diterima harus sesuai dengan
spesifikasi yang telah diperjanjikan. Apabila terjadi kekeliruan atau cacat,
maka produsen harus bertanggung jawab.
b. Harga
Ketentuan harga jual ditetapakan diawal perjanjian dan tidak boleh berubah
selama jangka waktu perjanjian. Harga dalam jual beli antara bank syariah
dan nasabah produsen lebih rendah dibanding harga jual beli antara bank
dan produsen dengan harga antara bank dan pemesan menjadi keuntungan
salam.
c. Jangka waktu salam adalah jangka pendek, yaitu paling lama satu tahun.10
Pembiayaan salam dilakukan oleh bank syariah untuk pembiayaan pada sektor
pertanian, perkebunan, dan peternakan. Berikut ini ilustrasi jual beli salam:
Misalnya, anton (petani) sedang membutuhkan dana untuk menanam padi.
Anton mengajukan pembiayaan pada bank syariah. Sebelum memberikan pembiayaan
kepada anton, bank syariah menawarkan padi kepada PT Bima dengan harga
Rp.6000,-/kg. Pt Bima setuju akan membeli 10 ton padi dengan harga Rp.6000,-/kg,
yang mana padi ini akan dikirim pada tanggal 01 september 2010. Pada tanggal 01 mei
2010, bank syariah membeli 10 ton padi dari anton dengan harga Rp.5000,-/kg. Bank
syariah melakukan pembayaran pada saat akad salam yaitu pada tanggal 01 mei 2010,
namun padinya akan dikirim oleh anton pada tanggal 01 september 2010 sesuai
akad.pembayaran oleh PT Bima dilakukan pada tanggal 01 september 2010.
Dari contoh tersebut , maka keuntungan bank syariah atas transaksi salam
paralel ini adalah sebesar Rp.10.000.000,- dengan perhitungan sebagai berikut:
Harga beli dari Anton : 10.000 kg x Rp. 5.000,- = Rp. 50.000,Harga jual kepada PT Bima : 10.000 kg x Rp. 6.000,- = Rp. 60.000,Marjin keuntungan salam. = Rp. 10.000.000,Keuntungan sebesar Rp.10.000.000,- itu diperoleh bank syariah untuk jangka waktu
mulai dari 01 mei 2010 hingga 01 september 2010.11
10
Menurut Ismail yang dikutip oleh Frida Umami dalam “Implementasi Jual Beli Salam Dalam
Lembaga Keuangan Syariah, Makalah tahun 2016 (tidak dipublikasikan), h. 6
11
Ibid, h. 8
6
B. Implementasi jual beli istisna’ di Lembaga Keuangan Syari’ah
Jual beli dalam praktik LKS adalah istisna’ pararel. Istisna’ merupakan transaksi
pembelian atas barang tertentu oleh nasabah kepada LKS. Pembelian tidak secara
langsung dengan melakukan penyerahan barang, akan tetapi nasabah hanya
memberikan spesifikasi barang, kemudian LKS memesan barang yang diminta nasabah
kepada pihak ketiga atau produsen. biasanya LKS melakukan pembayaran atas barang
tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian dijual kepada konsumen atau
nasabah, bisa secara tunai atau secara angsuran. 12 Prinsip istihna pada dasarnya
merupakan transaksi jual beli cicilan seperti murabahah muajjall namun bedanya
barang diserahkan pada akhir cicilan.13
Melalui fasilitas istisna’ bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang
disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi ditambah keuntungan
bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka
secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi.14
Berikut tahapan dari pelaksanaan istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(LKS):
1. Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual. Dalam memesan
barang telah dijelaskan spesifikasinya, sehingga bank syariah akan
menyediakan barang sesuai dengan pemesanan nasabah.
12
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”…., h. 83
13
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah Majalah Ilmiah Vol.
13 no 2 Agustus 2009
14
Menurut M. Denny Jandiar yang dikutip oleh Anton Gillas dalam “Implementasi Jual Beli
Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah”, Makalah (tidak dipublikasikan),2016, h. 7
7
2. Setelah menerima pesanan nasabah, maka bank syariah segera memesan
barang kepada pembuat/produsen. Produsen membuat barang sesuai
pesanan bank syariah.
3. Bank menjual barang kepada pembeli/pemesan dengan harga sesuai
dengan kesepakatan.
4. Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada
nasabah atas perintah bank syariah.15
Selain model diatas, LKS juga bisa mewakilkan pembelian barang kepada
nasabah. Berikut tahapan pelaksanaan istisna’ tersebut:
1. Nasabah
mengajukan
pemesanan
barang
dengan
menjelaskan
spesifikasinya kepada LKS.
2. Kemudian antara pihak nasabah dengan LKS melakukan akad istisna’.
3. Setelah akad, LKS mewakilkan pemesanan atau pembelian barang kepada
nasabah dengan memberikan sejumlah uang.
4. Nasabah memesan dan membeli barang kepada pihak produsen.
5. Nasabah membayar harga barang kepada pihak LKS, biasanya secara
angsur.16
1. Ketentuan Akad Jual Beli Istisna’
a.
Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara
bank dan pembeli akhir.
b.
Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
c.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 22/DSN-MUI/III/2004
tertanggal 28 Maret 2002, tentang jual beli istisna’ pararel khususnya ketetapan
pertama mengenai “Ketentuan Umum”,
d.
Jika LKS melakukan transaksi istisna’ untuk memenuhi kewajibannya kepada
nasabah ia dapat melakukan istisna’ lagi dengan pihak lain dengan objek yang
sama, dengan syarat istisna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istisna’
yang kedua.
e.
Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istisna’ (Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula pada istisna’pararel.17
15
16
Menurut Ismail yang dikutip oleh Imam Mustofa dalam “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, h.84
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”…., h. 84
17Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah Mandiri, (Jakarta :
UIN Syrif Hidayatullah, 2010), h.36
8
Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istishna’ paralel, namun demikian
mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
a. Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap bertanggung
jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang berasal dari sub
kontrak yang disetujui.
b. Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang kepada
pihak Bank Syariah.
c. Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi18
2. Aplikasi Jual Beli Istishna’ Paralel
Dalam aplikasinya bank syariah melakukan istisna paralel, yaitu bank (sebagai
penerima
pesanan/shani’)
menerima
pesanan
barang
dari
nasabah
(pemesan/mustashni’), kemudian bank (sebagaipemesan/mustashni’) memesankan
permintaan barang nasabahkepada produsen penjual (shani’) dengan pembayaran di
muka, cicil,atau di belakang, dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati
bersama. Bagan proses pembiayaan istisna paralel dapat dilihat pada gambar berikut
ini:
Dari penjelasan dan gambar tersebut, dalam melakukan istisna’ pararel bank syariah
menggunakan 2 (dua) akad. Akad I antara bank dengan nasabah pemesan, kemudian pada
akad II dilakukan antara bank dengan pihak produsen pembuat (kontraktor). 19 Ilustrasi jual
beli istisna’:
18
Ibid, v. 13/h. 215
9
Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka Pak Badu
melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah akan menetapkan
harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak Badu dan Pak Badu harus
mencicil sampai dengan lunas berdasarkan kesepakatan. Bank Syariah juga akan
menunjuk kontraktor yang akan membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor
sesuai dengan termin pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut
selesai dikerjakan.20
Ilustrasi lain:
Sebuah CV Utama yang menangani bisnis mubiler mengajukan pembiayaan 10
set perabot rumah tangga kepada Bank Syariah seharga Rp 200.000.000. Produksi
tersebut akan dibayar oleh pihak CV Utama 3 bulan yang akan datang. Harga satu set
perabot di pasaran Rp 20.000.000. Dalam kaitan ini, pihak Bank dapat memesan
barang tersebut kepada pihak lain dengan harga Rp 18.000.000 satu set. Kedua belah
pihak yaitu pihak Bank Syariah dan Produsen wajib bertanggung jawab kepada CV
Utama. Antara Produsen dengan CV Utama tidak ada hubungan hukum dan tidak boleh
campur tangan dengan soal harga dari pihak Bank Syariah. Pihak Produsen juga tidak
perlu memberitahu kepada pihak lain tentang modal yang dikeluarkan untuk satu set
perabot.21
Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istishna’ paralel, namun demikian
mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
d. Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap bertanggung
jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang berasal dari sub
kontrak yang disetujui.
e. Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang kepada
pihak Bank Syariah.
f.
Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi22
19
Abdul Mujir, Analisis Perlakuan Akuntansi Istisna’ Pada PT. Bank Muamalat Indonesia,
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2008), h.95 dikutip oleh Anto Gillas
20
Anto Gillas, “Implementasi Jual Beli Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah”, Makalah
(tidak dipublikasikan),2016, h. 7
21
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”…., v. 13/h. 216
22
Ibid, v. 13/h. 215
10
DAFTAR PUSTAKA
Anto Gillas, Implementasi Jual Beli Istisna’ dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah
tahun 2016.
Chandra Utama, Pengenalan Produk dan Akad dalam Perbankan Syariah Majalah Ilmiah
Vol. 13 no 2 Agustus 2009.
Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah Mandiri,
Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah, 2010.
Frida Umami “Implementasi Jual Beli Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Makalah
tahun 2016.
Imam Mustofa, “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014.
Kasmir, “ Dasar-Dasar Perbankan”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syari’ah, Jakarta: Selemba Empat, 2009.
Siti Mujiatun, “Jual Beli Dalam Perspektif Islam: Salam dan Istisna’”, Jurnal Akuntansi dan
Bisnis, Sumatera Utara: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Volume 13,
No. 2, September 2013.
Wiwik Fitria Ningsih, “Modifikasi Pembiayaan Salam dan Implikasi Perlakuan Akuntansi
Salam”, Jurnal Akuntansi Universitas Jember, Jember: Universitas Jember, Volume
13, No. 2, Desember 2015.
11