KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH DILAHAN TEBU ORGANIK DAN ANORGANIK WILAYAH PG

KEANEKARAGAMAN ARTHROPODA DILAHAN TEBU (Saccharum officinarum L.)
ORGANIK DAN ANORGANIK WILAYAH PG. KREBET BARU MALANG
Abstrak
Arthropoda adalah hewan yang memiliki tubuh beruas-ruas dan bersegmen yang aktif
hidup ditanah yang berperan dalam menyediakan unsur hara dan menjadikan jaring-jaring
makanan semakin komplek. Pertanian tebu organik mempunyai nilai lebih karena sudah tidak
memakai bahan kimia sehingga bisa menjaga tingkat keanekaragam arthropoda. Penelitian ini
bertujuan untuk menetahui tingkat keanekaragaman arthropoda dan peran ekologinya yang
terdapat dilahan tebu organik dan anorganik wilayah PG. Krebet Baru Malang. Pengambilan data
dengan metode pengamatan secara langsung dan pit fall traps. Analisis data meliputi indeks
keanekaragaman dan kesamaan dua lahan. Hasil penelitian menunjukkan pada lahan tebu
organik diperoleh 1419 individu yang terbagi menjadi 4 kelas, 6 ordo dan 18 famili. Sedangkan
pada lahan anorganik diperoleh 730 individu yang terbagi menjadi 4 kelas, 8 ordo dan 15 famili.
Indeks keragaman lebih tinggi pada lahan organik dengan perana yang lebih komplek. Lahan
tebu organic dan anorganik didominansi oleh family formicidae. Indeks kesamaan dua lahan
menunjukan bahwa kedua lahan memiliki tingkat kesamaan yang rendah.
Kata Kunci: Keanekaragaman, Organik, Anorganik, Tebu
Latar Belakang
Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman yang digunakan sebagai
bahan baku utama pembuatan gula yang termasuk kedalam famili Gramineae (Rumputrumputan) yang hanya bisa ditanam pada daerah yang beriklim teropis. Tanaman tebu di
Indonesia sekitar 344 ribu hektar dengan konstribusi utama adalah propinsi Jawa Timur (Badan

penelitian dan perkembangan pertanian, 2007) dan pada tahun 2014 lahan tebu Indonesia
mengalami kenaikan menjadi 472, 68 ribu hektar. (Badan Pusat Statistik, 2015). Menurut
PUSDATIN (2014) Jawa Timur berada ditingkatan pertama konstribusi gula Indonesia sekitar
65, 25% dengan luas perkebunan tebu pada tahun 2005 mencapai 169.448 ha dan tahun 2012
mencapai 203.483 ha. Kabupaten Malang mempunyai tingkat kontribusi teratas dengan total 26,
48% produksi tebu dengan luas 680 ha.
Arthropoda tanah yang terdapat pada ekosistem pertanian merupakan golongan
arthropoda yang aktif dan hidup dipermukaan tanah yang memiliki peran dekomposisi bahan
orgsnik dan menyediakan unsur hara (Arief, 2001). Faktor lingkungan mempunyai peran sangat
penting dalam menentukan pola penyebaran arthropoda. Faktor biotik dan abiotik harus bekerja
secara bersama-sama dalam suatu ekosistem. Odum (1996), menyatakan bahwa untuk
mengetahui keadaan suatu ekosistem terdapat beberapa parameter yang bisa diukur, misalnya
dengan nilai keanekaragaman. Perhitungan indeks diversitas dapat digunakan untuk melihat
Keanekaragaman arthropoda pada suatu ekosistem.
Ekosistem pertanian memiliki komunitas yang terdiri dari banyak jenis serangga, yang
masing-masing jenisnya dapat memperlihatkan sifat populasi yang berbeda-beda. Tidak semua
jenis serangga yang ada pada suatu ekosistem adalah jenis serangga hama yang dapat merugikan

tetapi pada ekosistem pertanian juga terdapat serangga yang berperan sebagai musuh alami bagai
hama seperti predator dan parasitoid (Untung, 2006).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetahui tingkat keanekaragaman arthropoda dan
peran ekologinya yang terdapat dilahan tebu organik dan anorganik wilayah PG. Krebet Baru
Malang.
METODE PENELITIAN
Penelitian tentang keanekaragaman arthropoda bersifat deskriptif kuantitatif.
Pengambilan data dilakukan dengan metode eksplorasi yaitu dengan melakukan pengamatan
terhadap dua lahan tebu organik dan anorganik. Penelitian dilakuakan pada lahan tebu dengan
luas kurang lebih 500 m2.
Prosedur Penelitian
a. Lokasi pengambilan sampel
Lokasi pengambilan sampel arthropoda anorganik dilakukan di desa Lumbangsari
kecamatan Bululawang dan sampel arthropoda organik didesa Gondanglegi kulon
kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang.
b. Pengambilan sampel
Sampel diambil menggunakan dua metode yaitu metode mutlak (pengamatan langsung)
dan metode relatif (pitfall traps) (untung, 2006) Langkah pengambilan sampel yaitu:
1. Pengamatan Langsung
Sampel arthropoda diambil pada 5 plot ukuran 10x30 cm sebanyak 5 Kali setiap
plot dengan 3 kali ulangan dan masukkan spesimen yang diperoleh ke dalam kantong
plastik. Selanjutnya dilakukan identifikasi dan dicatat jumlahnya serta peranannya.

2. Metode Pit Fall Trap
Alkohol 70% dan deterjen sebanyak 5 tetes dimasukkan ke dalam gelas ukuran
200 ml sebanyak 5 buah. Gelas tersebut ditanam dalam tanah dengan posisi mulut
gelas sejajar dengan permukaan tanah. Arthropoda yang terjebak dimasukkan
kedalam plastik untuk selanjutnya dilakukan identifikasi dan dicatat jumlahnya serta
perannanya.
c. Identifikasi Fauna Tanah
Arthropoda diidentifikasi dengan cara melihat morfologinya, difoto dan
selanjutnya dicari Taksonominya di BuGGuide. Com dan buku identifikasi Henri (1993)
dam Boror (1996)
d. Analisis Data
Analisis data untuk mencari Indeks keanekaragaman shannon- weaver dilakukan
perhitungan menggunakan aplikasi Past3 dan indeks kesamaan dua lahan dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
Cs = 2j/ (a+b)
Keterangan:

a:Jumlah spesies dalam habitat a
b: Jumlah spesies dalam habitat b
j: Jumlah terkecil spesies yang sama dari kedua habitat

Hasil dan Pembahasan
Komposisi Arthropoda yang Diperoleh pada Lahan Tebu Organik dan Anorganik
Hasil Arthropoda pengamatan secara langsung pada lahan tebu organik ditemukan
sebanyak 18 spesies sedangkan pada lahan anorganik sebanyak 15 spesies. Pengamatan yang
dilakukan dengan metode pit fall traps pada lahan organik dan anorganik ditemukan sebanyak 8
spesies Tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Arthropoda
Peubah
Perangkap
Jenis
Langsung
Arthropoda Pit Fall Traps
Jumlah
Jumlah
Langsung
Arthropoda Pit Fall Traps
Jumlah

Organik
18

8
26
1313
106
1419

Anorgnik
15
8
23
615
115
730

Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah dan jenis Arthropoda yang ada pada lahan tebu
organik lebih tinggi daripada anorganik hal ini karena pada lahan organik terdapat penambahan
bahan organik selain dilakukan penambahan pupuk kandang juga sebelum penanaman dilakukan
penyebaran pupuk blotong yang merupakan salah satu limbah dari pabrik gula yang mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi tabel 2. Menurut Helena Leovisi (2012) Blotong
merupakan bahan yang baik untuk dijadikan sebagai bahan pupuk organik, karena blotong dapat

berfungsi untuk memperbaiki kesuburan tanah melalui perbaikan tekstur tanah.
Pada lahan anorganik dilakukan penambahan pupuk sisntesis. Menurut literatur Marsono
(1989) Pupuk anorganik hanya mengandung sedikit unsur makro dan tidak mengandung unsur
hara mikro. Pemakaian pupuk anorganik harus di imbangi dengan pemakaian pupuk daun,
kompus atau pupuk kandang karena pemakaian pupuk anorganik secara terus-menerus dapat
merusak tanah dan tanaman bisa rusak jika pemakaiannya tidak mengikuti aturan pakai atau
pemberiannya terlalu banyak. Pada lahan tebu anorganik tidak ada penambahan bahan organik
hanya menggunakan pupuk kimia hal tersebut yang menyebabkan jumlah dan jenis
Arthropoda pada lahan anorganik relatif lebih rendah.
Tabel 2. Kandungan pupuk kandang dan blotong
Nama pupuk
Blotong

pH
7,64

C-Organik %
7, 30

Kadar Air %

18,4

N%
0, 84

P2O5
3,87

K2O
1,23

Kandang

8,56

5,81

11,43

0,36


5,08

9,58

Tabel 2 menunjukkan nilai kandungan bahan organik kedua pupuk. Analisis pH (derajat
keasaman) pupuk blotong lebih netral dengan nilai 7, 64 sedangkan pupuk kandang 8, 56.
Derajat keasaman yang netral digunakan oleh athropoda untuk tumbuh dan berkembang dengan
baik. Kandungan C-Organik % lebih tinggi pupuk blotong dengan nilai 7, 30 dan pupuk kandang
5, 81. Semakin tinggi kandungan C-Organik dalam tanah dapat mempercepat proses dekomposisi
bahan organik. Menurut literature Lingga (2008) C-Organik digunakan sebagai sumber energi
bagi jasad mikro. Kadar air lebih tinggi pupuk blotong dengan nilai 18, 4 dan pupuk kandang 11,
43. Analisis N% lebih tinggi pupuk blotong dengan nilai 0, 84 dan pupuk kandang 0, 36.
Menurut literatur Marsono (2007) N% dibutuhkan tanaman tebu pada usia 1-2 minggu dan 5-6
minggu setelah tanam. Sedangkan nilai P2O5 dan K2O tinggi pada pupuk kandang yaitu P2O5 5,
08 dan pada pupuk blotong 3, 87. Nilai K2O pada pupuk kandang 9, 58 dan pada pupuk blotong
1, 23. Tanaman bila kekurangan unsur P2O5 dan K2O menyebakan batang menjadi pendek dan
kecil (Marsono, 2007).
Komposisi Dan Kelimpahan Fauna Tanah Menurut Taksonomi
Komposisi dan kelimpahan Arthropoda menurut taksonomi pada lahan organik

diperoleh 1419 individu yang terbagi menjadi 4 kelas, 6 ordo dan 18 famili. Sedangkan pada
lahan anorganik diperoleh 730 individu yang terbagi menjadi 4 kelas, 8 ordo dan 15 famili
(Gambar 1).

Taksonomi
Jumlah Takson

20
15
10
5
0

Kelas

Ordo
Organik

Anorganik


Famili

Gambar 1. Diagram batang Pengelompokan Arthopoda Berdasarkan Taksonomi
Pada gambar 1. Diketahui bahwa Arthopoda pada lahan organik lebih tinggi
dibandingkan lahan anorganik. Hal ini disebabkan karena pada sistem pertanian organik pada
prakteknya lebih mempertimbangkan kelestarian ekologis salah satunya dengan menggunakan
pupuk organik dan pengendalian hama menggunakan agen hayati. Menurut Suriadikarta (2006)
pupuk organik yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan
produktifitas lahan dan mencegah adanya degradasi lahan karena pupuk organik merupakan
penyedia unsur hara makro dan mikro.
Komposisi dan Kelimpahan Arthopoda Menurut Peranannya Dalam Ekologi
Arthopoda yang ditemukan pada lahan tebu organik dan anorganik
berdasarkan peranannya yaitu kelompok herbivora, predator dan detrivora
(Gambar 2)

Jumlah Individu

Peranan Ekologi
1400
1200

1000
800
600
400
200
0

1231

552
177

178

Herbivor
Organik

11
Predator

Detrivor0

Anorganik

Gambar 2. Diagram batang Pengelompokan Athropoda Berdasarkan Peranan Ekologi
Berdasarkan pranannya jenis Athropoda herbivore lebih banyak
terdapat dilahan anorgaik sedangkan Athropoda predator dan detrivor lebih

banyak ditemukan dilahan organik. Athropoda herbivore yang terdapat pada
kedua lahan tidak menimbulkan permasalahan yang serius dikarenakan
keberadaan athropoda predator lebih tinggi daripada herbivore yang secara
alami dapat menekan keberadaan athropoda herbivore dan dapat dikatakan
bahwa kedua lahan stabil karena tingginya komposisi predator. Sedangkan
pada lahan organik terdapat athropoda detritivor yang keberadaannya dapat
berpengaruh terhadap kesuburan tanah karena dapat mempercepat proses
dekomposisi dan rantai makanan menjadi semakin komplek. Menurut
literatur Jumar (2000) tingginya keberadaan predator berkaitan erat dengan
tingginya keberadaan detrivor dan serangga yang bersifat netral yang dapat
menjadi mangsa alternative bagi predator yang bersifat polifag yaitu mampu
bertahan hidup tidak hanya bergantung pada herbivor saja.
Keanekaragaman Athropoda di Lahan Tebu Organik dan Anorganik
Indeks keanekaragaman (H’) Athropoda yang dihitung menggunakan
aplikasi Past3 didaptakan nilai keanekaragamn pada organik lebih tinggi dari
pada lahan anorganik dengan nilai pada lahan organik 1,707 dan anorganik
1, 59. Tingginya nilai H’ lahan organik karena adanya kelompok Athropoda
dari golongan predator family formicidae yang memiliki jenis dan jumlah
yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan anorganik. Menurut Latumahina
(2011)

keberadaan

formicidae

menjadi

indicator

sebuah

kestabilan

ekosistem karena semakin tinggi keragaman formicidae maka rantai
makanan di dalam suatu ekosistem semakin kompleks. Odum (1993)
ekosistem yang secara fisik terkendali akan mempunyai tingkat keragaman
yang cenderung rendah dan tinggi dalam ekosistem yang diatur secara
biologi.
Tingkat keanekaragaman tinggi pada suatu komunitas bila disusun
oleh jumlah spesies yang banyak dan memiliki kelimpahan spesies sama tau
hampir sama, Sebaliknya tingkat keanekaragaman rendah jika pada suatu
ekosistem disusun oleh sangat sedikit spesies dan dominan (Suheriyanto,
2008).

Salah satu ukuran keseimbangan ekosistem adalah keanekaragaman
hayati. Kestabilan ekosistem akan meningkat jika keragaman semakin tinggi
yang akan membentuk jaring-jaring makanana akan semakin kompleks
(Price, 1997)

Gambar 3. Athropoda yang mendominasi dilahan tebu organik dan anorganik
Berdasarkan gambar 3 dapat diketahui bahwa Athropoda yang mendominasi
atau paling banyak terdapat dilahan tebu organik yaitu famili formicidae 5
dan 3 sedangkan pada lahan tebu anorgaik Athropoda yang banyak
ditemukan yaitu famili formicidae 5 dan pyralidae. Tingginya family
formicidae dilahan organik dan anorganik dikarenakan formicidae hidupnya
secara berkoloni.
Analisis Indeks Kesamaan Dua Lahan Sorensen (Cs)
Indeks kesamaan habitat (Cs) pada lahan tebu organik dan anorganik menunjukkan
bahwa kedua lahan memiliki tingkat kesamaan yang kecil. Pada lahan tebu organik dan
anorganik menunjukkan nilai yang rendah yaitu pengamatan langsung 0,233 dan pit fall traps
0,144 yang artinya nilainya 0 atau tidak ada spesies yang sama dikedua lahan. Rendahnya
kesamaan komunitas pada kedua lahan tersebut dipengaruhi oleh letak kedua lahan tebu organik
dan anorganik tersebut yang cukup jauh, sehingga menyebabkan tidak adanya kesamaan
komunitas atau tingkat kesamaan yang rendah. Menurut literature Smith (2006) struktur suatu
komunitas terdapat perubahan jika spesies yang ditemukan dari satu tempat ke tempat lain
berbeda.

PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian Keanekaragaman Arthropoda dilahan tebu organic dan anorganik
wilayah PG. Krebet Baru Malang dapat disimpulkan bahwa tingkat keanekaragaman arthopoda
pada lahan organic lebih tinggi dibandikan lahan anorganik dengan peranan arthropoda pada
lahan organic lebih komplek karena tersusun atas predator, herbivore dan detrivor sedangkan
lahan anorganik hanya predator dan herbivor.
SARAN
Penelitian
mengetahui

ini

perlu

dilakukan

keanekaragaman

penelitian

arthropoda

di

lanjutan

lahan

tebu

yaitu

untuk

organik

dan

anorganik selama masa panen.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Jakarta. Kanisius.
Badan penelitian dan perkembangan pertanian. 2007. Rencana Strategis Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta: Kementrian Pertanian
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2015. Statistik Tebu Indonsia Tahun 2015. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Borror, D.J,. Triplehorn, C.A., dan Johnson, N.F. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi
Keenam. Terjemah oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Bugguide.net.2017. Identification,Images & Information For Insects, Spider. For The United
States & Canada.
Henri, G. and Johan T. H. 1993. Hymenptera of the world: An Identification Guide Of Families.
Canada: Agriculture Canada
Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta
Latumahina, F.S., 2011. Pengaruh Alih Fungsi Lahan terhadap Keanekaragaman Semut Alam
Hutan Lindung Gunung Nona-Ambon. Disertasi. Yogyakarta: Program Doktor
Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Helena Leovisi, 2012. Makalah Seminar. Pemanfaatan Blotong pada Budidaya tebu (Saccharum
officenarum L) di Lahan Kering. Yogyakarta: Program Studi Agronomi Jurusan
Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada.

Lingga, dkk. 2007. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya. kandungan unsur
hara tanah serta hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Pertanian 1: 13-18.
Lingga dan Marsono.1989. petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya
Lingga, Pinus. 2008. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya.
Odum, E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: UGM Press
Price, P. W. 1975. Insect Ecology. John Willey and Sons. New York.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014. Produktifitas Gula. Jawa Timur: PUSDATIN
Smith, R.L. 1992. Third Edition. Elements of Ecology. New York: Chapman and Hall.
Suheriyanto, dwi. 2008. Ekologi Serangga. Malang: UIN Press
Suriadikarta dkk. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Jawa Barat : Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Untung, K., 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press