Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah
engagement pertama kali digunakan dalam setting pekerjaan, Umumnya arti
engagement mengarah pada keterlibatan, komitmen, gairah, antusias, fokus,
usaha, dedikasi, dan energi. Para ahli sering menggunakan istilah employee
engagement dan work engagement secara bergantian ketika menjelaskan
konsep engagement (Schaufeli, 2013). Yang membedakan konsep work
engagement dengan employee engagement adalah; work engagement mengacu
pada hubungan karyawan dengan pekerjaannya, sedangkan employee
engagement mengacu pada hubungan karyawan dengan pekerjaan dan
organisasinya (Schaufeli, 2013).
Jurnal mengenai engagement pertama kali dikeluarkan oleh Willam
Kahn. Kahn (1990) menyebutnya dengan istilah personal engagement yaitu
keadaan anggota perusahaan mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjannya
dimana anggota tersebut memanfaatkan diri mereka untuk terikat, berperan
dan mengekspresikan diri secara fisik, kognitif dan emosional selama
menjalankan pekerjaan atau peran mereka.


Lalu organisasi Gallup

menciptakan istilah employee engagement secara umum sekitar tahun 1990-an
(Schaufeli, 2013). Saks (2006) mendefinisikan employee engagement sebagai
konstruk yang unik dan berbeda, terdiri dari komponen kognitif, emosi dan

12
Universitas Sumatera Utara

perilaku yang terkait dengan kinerja peran individu. Saks membagi istilah
employee engagement kedalam dua bentuk yaitu organizational engagement
(melaksanakan peran dirinya sebagai anggota dari organisasi) dan job
engagement (melaksanakan perannya dalam bekerja). Definisi

yang

dikemukakan oleh Saks (2006) mirip dengan definisi dari Kahn (1990) karena
sama-sama berfokus pada peran performa dalam bekerja.
Kahn (1990) dalam studi kualitatifnya menyebutkan


tiga kondisi

psikologis yang bisa diasosiasikan dengan engagement atau disengagement
pada pekerjaan yaitu kebermaknaan/makna psikologis, rasa aman, dan
ketersediaan. Dengan kata lain, karyawan akan merasa dirinya lebih engaged
ketika perusahaan dapat memenuhi kondisi psikologis yang dibutuhkan
karyawan seperti kebermaknaan, rasa aman, dan ketersediaan saat sedang
bekerja. Kahn (1990) juga mengatakan bahwa ada tumpang tindih antara
konsep ini dengan konsep psikologis lainnya seperti kepuasan kerja,
komitmen dan motivasi. Tetapi beberapa tahun terakhir definisi tentang
engagement mulai bermunculan untuk memisahkan konsep ini dengan konsep
psikologis lainnya seperti penjelasan mengenai engagement dalam literatur
burnout oleh Maslach et al (2001) yang mengasumsikan engagement sebagai
kutub positif dari burnout.
Menurut Maslach terdapat enam hal yang dapat mempengaruhi
engagement dan burnout yaitu : keseimbangan beban kerja, kebebasan untuk
memilih dan kontrol, gaji dan penghargaan yang pantas, lingkungan kerja
yang mendukung, fairness dan justice, serta pekerjaan yang memiliki arti dan
nilai. Enam hal tersebut jika dianggap positif oleh individu, maka akan


13
Universitas Sumatera Utara

menghasilkan pemikiran serta sikap yang positif, jika dianggap negatif, maka
akan menghasilkan pemikiran serta sikap yang negatif pula. Sama halnya
dengan Schaufeli & Bakker (2003) yang mengatakan engagement sebagai
lawan dari burnout, tetapi Schaufeli & Bakker memisahkan konsep burnout
dan engagement menjadi dua konstruk yang berbeda (Schaufeli, 2013).
Kemudian Schaufeli & Bakker (2004) yang menjelaskan engagement
sebagai emosi yang positif, puas, berhubungan dengan pekerjaan yang
dikarakteristikan dengan vigor, dedication dan absorption. Lalu Robinson
(2004) mendefinisikan employee engagement sebagai sikap positif dari
karyawan kepada organisasi dan nilai nilai yang dianutnya. Menurutnya
karyawan yang engaged menjadi sadar akan konteks tentang bisnis dan
pekerjaannya untuk meningkatkan performa didalam pekerjaan untuk
keuntungan organisasi.
Saks (2006) membedakan definisi employee engagment dengan
konstruk lain seperti komitmen organisasi dan OCB, menurutnya komitmen
organisasi berbeda dengan engagement dalam hal ini komitmen merujuk pada

sikap dan perasaan sayang individu pada organisasinya sedangkan
engagement tidak selalu menunjukkan dengan sikap. Engagement merupakan
tingkat dimana seseorang memberi perhatian penuh pada pekerjaan mereka
dan merasa tertarik dengan kinerja dalam pekerjaan mereka. OCB merupakan
kerelaan dan perilaku informal yang dapat membantu teman kerja dan
organisasi sedangkan fokus engagement adalah salah satu peran kinerja formal
dari pada semata-mata untuk peran tambahan (Margaretha & Santosa, 2012).

14
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas maka penelitian ini
akan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Schaufeli (2004) yang
menyatakan bahwa employee engagement adalah perasaan puas dan emosi
positif yang dirasakan individu terkait pekerjaan dan organisasi yang
dikarakteristikkan melalui perilaku vigor, dedication dan absorption.
2. Dimensi Employee Engagement
Schaufeli,

Salanova,


Gonzales-Roma,

dan

Bakker

(2001)

mendefinisikan engagement sebagai keadaan positif, terpenuhi, keadaan
pikiran yang berhubungan dengan pekerjaan yang dikarateristikkan dengan
vigor, dedication, dan absorption. Dari penjelasan di atas, Schaufeli dan
Bakker (2004) mengkonsepkan dimensi-dimensi dari engagement, sebagai
berikut :
a. Vigor (Kekuatan)
Vigor mengarah pada tingkat energi yang tinggi dan ketahanan mental
yang kuat ketika bekerja, kemauan untuk memberi usaha lebih pada
pekerjaannya, dan gigih menghadapi berbagai kesulitan. Karyawan yang
memiliki skor yang tinggi pada aspek ini adalah orang yang memiliki
tingkat semangat dan stamina yang tinggi ketika bekerja sedangkan orang

yang memiliki skor rendah pada aspek ini mempunyai semangat dan
stamina yang rendah pula ketika bekerja.

15
Universitas Sumatera Utara

b. Dedication (Dedikasi)
Dedication mengarah pada perasaan yang penuh dengan makna, antusias
dan bangga dengan pekerjaan, memiliki inspirasi dan tertantang dengan
pekerjaannya. Orang yang memiliki skor yang tinggi pada aspek ini
mengidentifikasi pekerjaan mereka dengan kuat karena membuat
pengalaman menjadi berarti dan berharga. Selain itu, juga merasa antusias
dan bangga dengan pekerjaan mereka. Orang yang memiliki skor rendah
pada aspek ini tidak mengidentifikasi diri mereka dengan pekerjaannya
karena mereka tidak membuat pengalaman mereka menjadi bermakna,
menginspirasi atau menantang.
c. Absorption (Absorpsi)
Absorption mengarah pada konsentrasi penuh dan mendalam, tenggelam
dengan pekerjaan dimana waktu terasa lebih cepat dan sulit memisahkan
diri dengan pekerjaan, sehingga mudah lupa dengan sesuatu disekitarnya.

Orang dengan skor tinggi pada aspek ini merasa senang tenggelam dengan
pekerjaan sebaliknya orang dengan skor rendah pada aspek ini tidak
tertarik dan tidak memiliki perhatian penuh dengan pekerjaannya.

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement
Berikut faktor-faktor potensial yang memprediksi employee engagement,

menurut Saks (2006) :
1. Karakteristik pekerjaan
Kebermaknaan secara psikologis dapat diperoleh dari karateristik
pekerjaan yang menantang, bervariasi, butuh berbagai keterampilan, bebas

16
Universitas Sumatera Utara

mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat kontribusi
yang penting. Kahn (1990) mengatakan bahwa pekerjaan yang memiliki
lima karateristik tersebut dapat menghasilkan karyawan menjadi lebih

engaged.
2. Perceived Organizational and Supervisor Support
Persepsi terhadap dukungan organisasi dan persepsi terhadap dukungan
supervisor (POS) merupakan variabel yang penting dalam dukungan
sosial. Faktor ini mengarah pada keyakinan karyawan bahwa organisasi
menghargai konstribusi karyawan dan peduli dengan kesejahteraan
mereka. POS membuat sebuah kewajiban (obligation) bagi karyawan
untuk peduli pada organisasi dan bekerja untuk mencapai tujuan organisasi
yang kemudian menghasilkan organisasi yang menghargai konstribusi
karyawan dan peduli dengan kesejahteraan karyawannya. Dengan kata
lain, karyawan yang engaged terhadap pekerjaan dan organisasi mereka
didasari sebagai bagian dari norma timbal balik sehingga hal tersebut
membantu organisasi untuk mencapai tujuannya (Saks, 2006).
3. Pengakuan dan Penghargaan
Karyawan

memiliki

berbagai


variasi

engagement

sesuai

dengan

bagaimana mereka mempersepsikan keuntungan yang diterima dari
pekerjaannya. Karyawan akan lebih engaged dengan pekerjaannya ketika
mereka mempersepsikan nilai yang lebih besar dari rewards dan
recognition bagi performa pekerjaan mereka.

17
Universitas Sumatera Utara

4. Keadilan Organisasi
a. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur yang
digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil dan sumber daya

organisasi kepada karyawannya atau persepsi terhadap proses dan
aturan dalam pembuatan keputusan. Penjelasan teoritis mengenai
proses psikologis yang mendasari pengaruh keadilan prosedural adalah
kontrol proses dan komponen struktural. Perspektif komponen
struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu
fungsi dari sejauh mana atuan-aturan prosedural dipatuhi atau
dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang penting
karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam
organisasi. Dan mengarah pada persepsi keadilan karyawan terhadap
proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan
sumber daya yang ada.
b. Keadilan Distributif
Keadilan distributif merupakan persepsi pada keadilan mengenai
jumlah dan pemberian penghargaan diantara individu. Keadilan
distributif ini mengacu pada konsep dasar equity. Konsep tersebut
mendasarkan penjabaran keadilan sebagai kesetaraan imbalan seperti;
gaji dan insentif lainnya dengan pekerjaan yang dilakukan. Keadilan
terjadi apabila karyawan merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan
sebanding dengan rasio karyawan lain.


18
Universitas Sumatera Utara

Ketika karyawan merasa diperlakukan secara adil, mereka akan
cenderung

merasa

wajib

bekerja

secara

maksimal

dengan

meningkatkan engagement menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, karyawan
yang merasa dirinya tidak diperlakukan secara adil akan cenderung
untuk menarik diri dan disengaged dari peran kerja mereka. Adanya
keadilan prosedural dan keadilan distributif mampu memunculkan
perilaku engaged pada karyawan.

B. Keadilan Organisasi
1. Definisi Keadilan Organisasi
Ide keadilan organisasi berasal dari teori equity dari Adams (1965)
yang mengatakan bahwa penilaian dari adil dan ketidakadilan berasal dari
perbandingan antara diri sendiri dengan orang lain berdasarkan input dan
outcomes. Individu akan membandingkan input dan outcomes yang mereka
punya dengan input dan outcomes orang lain atau dengan diri sendiri di masa
lalu (Adams, 1963). Kemudian Greenberg (1987) memperkenalkan konsep
keadilan organisasi yang mengatakan bahwa keadilan organisasi sebagai
persepsi karyawan tentang bagaimana karyawan menilai perilaku adil di dalam
organisasi, yang terkait dengan cara yang tepat mendistribusikan hasil dan
tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan baik (misal, jika
perusahaan tidak memperhatikan setengah dari para pekerjanya, karyawan
mungkin merasa ada ketidakadilan yang menghasilkan perubahan sikap dan
penurunan dalam hal produktivitas).

19
Universitas Sumatera Utara

Griffin dan Moorhead (2011) mengatakan bahwa keadilan organisasi
sebagai sebuah fenomena penting yang baru-baru ini telah diperkenalkan ke
dalam studi organisasi. Keadilan dapat dikaji dari berbagai sudut pandang
termasuk motivasi, kepemimpinan, dan dinamika kelompok. Menurut
Greenberg & Baron (2003) keadilan organisasi sebagai persepsi individu
terhadap keadilan dalam proses pembuatan keputusan dan distribusi hasil yang
telah diterima oleh individu. Sedangkan Cropanzano dkk (2007) menjelaskan
keadilan organisasi sebagai evaluasi personal tentang moral yang bagaimana
seharusnya seseorang lakukan di dalam organisasi. Keadilan merupakan inti
dari hubungan karyawan dengan atasannya, sebaliknya rasa tidak adil dianggap
sebagai hal yang dapat merusak hubungan dalam organisasi. Ketidakadilan
dalam organisasi dapat merusak individu maupun organisasi.
Kemudian menurut Robbins dan Judge (2008) menyebutkan keadilan
organisasi sebagai persepsi keseluruhan dari apa yang adil di tempat kerja.
Karyawan menganggap organisasi mereka adil ketika yakin bahwa hasil dan
cara menerimanya sudah adil. Hal ini serupa dengan penjelasan oleh Aryee,
Pawan, dan Chen (2002) yang mengatakan keadilan organisasi sebagai
persepsi individu dan organisasi terhadap perlakuan yang adil dari organisasi.
Karyawan menginginkan keadilan dari organisasi mereka, begitu juga
sebaliknya. Karyawan membandingkan apa yang sudah mereka peroleh dari
organisasi dengan apa yang sudah mereka berikan pada organisasi, begitu juga
dengan organisasi membandingkan apa yang telah mereka terima dari
karyawan dengan apa yang sudah mereka berikan. Kondisi yang seimbang
antara yang diberikan dengan apa yang diperoleh akan menimbulkan persepsi

20
Universitas Sumatera Utara

yang sama tentang keadilan dalam organisasi baik dari sisi karyawan dan
organisasi (Sekarwangi, 2014)
Didalam keadilan organisasi, perlakuan adil dianggap menjadi hal
penting terhadap sikap karyawan di tempat kerja termasuk komitmen karyawan
dan kepuasan kerja (Colquitt, 2001). Colquitt (2001) menggunakan definisi
Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan organisasi yang kemudian
membagi keadilan organisasi kedalam 4 dimensi yaitu ; a. keadilan distributif
(persepsi alokasi input dan outcomes), b. keadilan prosedural (persepsi
terhadap proses dan aturan pengambilan keputusan), c. keadilan interpersonal
(sensitivitas dan penghargaan yang diberikan pada karyawan), d. keadilan
informasi (persepsi tentang pemberian informasi pada karyawan). Di dalam
sebuah organisasi, karyawan dipengaruhi oleh persepsinya mengenai perlakuan
adil seperti mampu meningkatkan kemampuan pengendalian untuk peristiwa
atau kejadian yang akan datang yang kemudian mengurangi rasa ketidakpastian
pada saat bekerja kemudian mampu mengindikasikan pengabdian dengan
standar moral dan etika organisasi pada bagian diri sendiri (Srivastava, 2015).
Berdasarkan penjelasan berbagai definisi diatas maka penelitian ini
akan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Colquitt (2001) yang
mengatakan bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi karyawan tentang
keadilan dalam organisasi yang mencakup keadilan distribusi, keadilan
prosedur, keadilan interpersonal dan keadilan informasi.

21
Universitas Sumatera Utara

2. Dimensi Keadilan Organisasi
Pada awalnya keadilan organisasi hanya memiliki dua dimensi saja
yaitu keadilan prosedural dan keadilan distributif (Folger R dan Konovsky,
1989). Sama dengan Thibaut dan Walker (dalam Judge & Colquitt, 2004) yang
juga mengusulkan dimensi kedua yaitu, keadilan prosedural. Banyak penelitian
sebelumnya yang hanya berfokus pada dua dimensi ini. Kemudian dimensi
ketiga diperkenalkan yaitu keadilan interaksional (Barling dan Phillips, 1993).
Dan pada akhirnya Greenberg (1993) mengemukakan empat dimensi keadilan
organisasi. Greenberg (1993) membagi keadilan interaksional menjadi dua
bagian yaitu, keadilan interpersonal dan keadilan informasional, sehingga
Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki empat
dimensi, yaitu keadilan distributif, prosedural, interpersonal dan informasional.
Telah ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang hanya
mengukur keadilan organisasi dengan satu atau dua dimensi saja (Niehoff,
Moorman, 1993). Dan ditemukan juga penelitian yang mengukur keadilan
organisasi dengan tiga dimensi keadilan organisasi, yaitu keadilan distributif,
keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Skarlicki, Folger, 1997).
Karena munculnya ketidakjelasan mengenai dimensi keadilan organisasi,
Colquitt (2001) melakukan sebuah penelitian mengenai dimensi dari keadilan
organisasi. Dalam penelitiannya, Colquitt (2001) mengukur keadilan organisasi
dengan

keempat dimensi yang sesuai dengan dimensi yang dikemukakan

Greenberg (1993). Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa keempat dimensi
keadilan organisasi akan lebih valid ketika diukur secara keseluruhan
dibandingkan jika diukur dengan terpisah per dimensinya. Sehingga Colquitt

22
Universitas Sumatera Utara

(2001) melakukan sebuah penelitian dengan menggunakan empat dimensi ini
yaitu:
1) Keadilan Distributif
Dimensi ini merupakan bentuk keadilan paling tua dan dikonsepsikan
berdasarkan teori equity dari Adams (1965). Didefinisikan sebagai
persepsi keadilan tentang hasil yang didapatkan seperti bayaran, rewards
dan recognition. Dimensi ini terkait dengan pengalokasian hasil pada
karyawan berdasarkan teori equity yaitu individu akan membandingkan
rasio hasil/masukan dengan orang lain, jika rasio jauh dibawah orang lain
maka disebut dengan underpayment inequity sedangkan jika berlebihan
dibanding dengan orang lain maka disebut dengan overpayment inequity
dan ketika seseorang mengalami underpayment inequity ia akan cenderung
mengalami emosi marah dan mengakibatkan stressor bagi dirinya.
(Colquitt, 2001).
Teori equity memandang keadilan distributif sebagai sebuah istilah
dalam mempersepsikan rasio hasil dan masukan yang diterima oleh
individu (Greenberg & Colquitt, 2005). Hasil adalah hal yang berkaitan
dengan gaji, penghargaan, supervisi yang memuaskan, keuntungan dari
senioritas, status pekerjaan dan berbagai insentif baik formal maupun
informal. Sedangkan masukan (input) termasuk didalamnya pendidikan,
pengalaman, pelatihan, keterampilan, senioritas, jenis kelamin, usia, latar
belakang etnis, status sosial, serta segala upaya yang dikeluarkan individu
dalam pekerjaannya. Dan keadilan distributif muncul ketika hasil tetap

23
Universitas Sumatera Utara

konsisten dengan apa yang diberikan seperti ekuitas atau kesetaraan
(Colquitt, 2001).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif
(Colquitt, 2001):
a. Keadilan (Equity): Menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya.
b. Persamaan (Equality): Menyediakan kompensasi yang sama bagi
setiap karyawan.
c. Kebutuhan (Need): Menyediakan keuntungan berdasarkan pada
kebutuhan personal seseorang.

2) Keadilan Prosedural
Dimensi adalah persepsi karyawan mengenai proses atau prosedur yang
digunakan untuk mengambil keputusan yang mengarah pada hasil yang
adil. Menurut Greenberg (1990) dimensi ini mengarah pada persepsi
keadilan tentang prosedur yang digunakan di lingkungan kerja, melihat
apakah prosedur untuk mengambil keputusan sudah reliabel, transparan,
etis, bebas dari bias, akurat dan dapat diperbaiki. Dimensi ini didasarkan
apakah seseorang diberi suara di dalam sebuah prosedur dan pengambilan
keputusan untuk menentukan hasil. Terdapat 6 aturan keadilan prosedural
yang mendefinisikan kriteria dimana prosedur pengalokasian dianggap
adil (Colquitt, 2001; Cropanzano dkk, 2007) adalah:
a. Konsistensi : Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan.
b. Minimalisasi bias : Kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah
dalam proses pengalokasian.

24
Universitas Sumatera Utara

c. Informasi yang akurat : Proses pengalokasian keadilan harus
didasarkan pada informasi yang jelas. Informasi dan opini harus
dikumpulkan dan diproses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam mengambil keputusan.
d. Dapat diperbaiki : Kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses
alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk
memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin
akan muncul.
e. Representatif : Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya
untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun
keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub
kelompok yang ada, secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai
pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka.
f. Etis : Prosedur yang adil harus sesuai dengan moral dan nilai- nilai
etika atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain,
bila berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika,
maka belum bisa dikatakan adil.

3) Keadilan Interpersonal
Dimensi ini merupakan persepsi tentang kualitas perlakuan yang diterima
karyawan ketika prosedur dan keputusan diimplementasikan di tempat
kerja. Dimensi ini merupakan aspek sosial dari keadilan prosedural. Dalam
konteks organisasi, dimensi ini berkaitan dengan proses komunikasi antara
atasan dan bawahan. Juga didasarkan dengan perlakuan pihak otoritas

25
Universitas Sumatera Utara

dengan bawahannya. Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi
keadilan interpersonal, yaitu:
a. Respect
Pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan
bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang
bawahan.
b. Propriety (kesopanan)
Pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan
yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai
pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain.

4) Keadilan Informasional
Dimensi ini mengarah pada kejujuran dan kejelasan informasi yang
diberikan kepada karyawan. Informasi yang tidak benar dan salah akan
mengarah pada persepsi ketidakadilan oleh karyawan. Informasi yang
diberikan akan menunjukkan bahwa atasan memperhatikan bawahannya.
Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001;
Greenberg & Colquitt, 2005):
a.

Truthfulness

Pihak otoritas sebaiknya berkomunikasi secara terbuka, jujur, dan terus
terang dalam mengimplementasikan prosedur pembuatan keputusan dan
berusaha untuk menghindari munculnya kecurangan.

26
Universitas Sumatera Utara

b.

Justification

Pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas
mengenai hasil dari pembuatan keputusan.

C. Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Employee Engagement
Employee engagement pertama kali dikemukakan oleh organisasi
Gallup (Endres & Smoak, 2008). Mereka mendefinisikan employee
engagement sebagai keterlibatan dan antusias karyawan dengan pekerjaannya.
Mereka juga menyamakan employee engagement dengan kelekatan emosi
karyawan dan komitmen karyawan yang positif. Lalu Perrin Global
Workforce Study (dalam Markos, 2010) mengatakan employee engagement
sebagai kemauan dan kemampuan karyawan untuk membantu perusahaan
menjadi sukses, dengan memberi usaha secara berkelanjutan.
Saks (2006) dalam jurnal Antecedents and consequences of employee
engagement menyebutkan beberapa faktor yang bisa mempengaruhi
munculnya perilaku engagement pada karyawan. Salah satu faktor yang
disebut oleh Saks adalah keadilan distributif dan keadilan prosedural.
Keadilan distributif dan keadilan prosedural merupakan dimensi dari keadilan
organisasi.
Banyak perdebatan dalam mengukur dimensi dari keadilan organisasi
seperti Saks (2006) yang menyebutkan keadilan organisasi sebagai keadilan
distributif dan prosedural. Lalu penelitian yang dilakukan oleh Colquitt (2001)
yang mencoba untuk mengukur keadilan organisasi dengan empat dimensi

27
Universitas Sumatera Utara

secara keseluruhan dan membandingkannya dengan pengukuran tiga dimensi,
dua dimensi, dan satu dimensi dari keadilan organisasi. Ditemukan bahwa
pengukuran dengan empat dimensi secara signifikan lebih baik dari
pengukuran yang hanya menggunakan tiga dimensi, dua dimensi , dan satu
dimensi. Lalu penggunaan pengukuran tiga dimensi lebih baik dari dua
dimensi dan begitu seterusnya. Dari hasil penelitian Colquitt (2001),
menurutnya keadilan organisasi lebih valid jika diukur secara satu kesatuan
menggunakan empat dimensi.
Bakker, Demerouti, dan Vergel (2014) mengatakan karyawan yang
engaged memiliki perasaan yang berenergi dan memiliki koneksi yang efektif
dengan pekerjaannya, serta mereka melihat pekerjaan sebagai tantangan yang
harus dilewati. Maslach et al., (2001) juga mengatakan bahwa pengaruh dari
persepsi keadilan pada karyawan yang engaged dapat menghasilkan
peningkatan produktivitas dan loyalitas karyawan terhadap perusahaannya
(Maslach et al., 2001). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Alvi dan Abbasi (2012) pada 312 responden di sektor perbankan menemukan
bahwa keadilan organisasi memiliki peran yang penting dalam meningkatkan
employee engagement.
Dengan kata lain, ketika karyawan merasa adanya keadilan dalam
organisasinya dapat dipastikan karyawan akan merasa dirinya diwajibkan
untuk berlaku adil dalam memainkan peran mereka sebagai karyawan yang
dikategorikan dalam tingkat engagement yang tinggi dengan organisasinya.
Sebaliknya,

karyawan

yang

menganggap

rendah

keadilan

didalam

organisasinya akan sangat mudah untuk menarik diri dan melepaskan diri

28
Universitas Sumatera Utara

mereka sendiri dari peran kerja mereka serta dapat meningkatkan kelelahan
pada karyawan. Dan kelelahan tersebut berdampak pada penurunan tingkat
engaged karyawan (Alvi dan Abbasi , 2012).
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Saks (2006) untuk
menjelaskan employee engagement yaitu teori pertukaran sosial (SET). Dalam
teori ini karyawan merasa perlu untuk membuat performa lebih dalam bekerja
ketika hasil yang didapatkan sesuai dan karyawan yang melakukan hal yang
tidak pantas merupakan respon terhadap perlakuan yang tidak adil dari apa
yang diberikan organisasi/perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:

Keadilan Organisasi

Employee
Engagement

Gambar 1. Kerangka Penelitian

D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam
penelitian ini adalah terdapat pengaruh positif keadilan organisasi terhadap
tingkat employee engagement. Yang berarti, semakin tinggi keadilan
organisasi yang dirasakan karyawan maka semakin meningkat pula employee
engagement.

29
Universitas Sumatera Utara