Pengaruh kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap Employee Engagement yang berdampak pada keefektifan kerja.

(1)

Pengaruh Kontrak Psikologis dan Keadilan Distributif terhadap

Employee

Engagement

yang Berdampak pada Keefektifan Kerja

Dorethy Alberta Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap employee engagement yang berdampak pada keefektifan kerja. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah karyawan-karyawan di tiga hotel di Yogyakarta berjumlah 120 responden. Data penelitian dianalisis menggunakan PLS - SEM (Partial Least Squares-Structural Equation

Modeling). Hasil analisis menunjukkan bahwa kontrak psikologis dan keadilan distributif

berpengaruh terhadap employee engagement dan employee engagement berpengaruh pada keefektifan kerja. Ketiganya memiliki nilai p values sebesar 0,000 dengan taraf signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan ketiga hipotesis dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian, perusahaan dapat meningkatkan keefektifan kerja dengan memperkuat tingkat engagement karyawan. Hal tersebut dapat diraih dengan memastikan terbentuknya kontrak psikologis yang baik serta menegakkan keadilan distributif.


(2)

The Influence of Psychological Contract and Distributive Justice towards

Employee Engagement which Affects Work Effectiveness

Dorethy Alberta Sanata Dharma University

2016

This research aims to examine the influence of psychological contract and distributive justice towards employee engagement which later affects work effectiveness. The type of this research is explanatory research by using quantitative approach. The subject of the research is the employees of three hotels in Yogyakarta with the total of 120 respondents. The data is analyzed by using PLS - SEM (Partial Least Squares-Structural Equation Modeling). The result shows that psychological contract and distributive justice influence employee engagement and employee engagement influences work effectiveness. All the three hypothesis have p values of 0,000 with the significancy of 0,05. This shows that all the hypothesis can be accepted. Based on

the reseach’s result, company can increase work effectiveness by strenghten the level of employee engagement. It can be achieved by ensuring a well-formed psychological contract and upholding distributive justice.


(3)

DISTRIBUTIF TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

YANG BERDAMPAK PADA KEEFEKTIFAN KERJA

TESIS

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh :

Dorethy Alberta

132222201

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

DISTRIBUTIF TERHADAP

EMPLOYEE ENGAGEMENT

YANG

BERDAMPAK PADA KEEFEKTIFAN KERJA

TESIS

UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN

MENCAPAI DERAJAT SARJANA S-2.

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

Diajukan oleh :

Dorethy Alberta

132222201

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

(8)

LEMBAR PERI\IYATAAN PERSETUJUAN

PT]BLIKASI KARYA ILMIAH TJNTTJK KEPENTINGAII AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama

Nomor Mahasiswa

: Dorethy Alberta

:132222201

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang be{udul :

Pengaruh Kontrak Psikologis dan Keadilan Distributif terhadap Employee

EngagementyangberdampakpadaKeefektifanKerja

i

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, Do-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media

lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencanfumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat

di

Yogyakarta

Pada tanggal : 10 Febuari 2016

( DorethyAlberta ) ang menyatakan

W


(9)

(10)

(11)

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.………...ii

HALAMAN PENGESAHAN..….……...…...……...iii

HALAMAN PERNYATAAN..………...……….…....…..…...iv

KATA PENGANTAR…………...……….….………..…...v

DAFTAR ISI……...………..……….………...vii

DAFTAR TABEL...………..……….……...….....ix

DAFTAR GAMBAR...………..……….………...x

ABSTRAK……...………..……….………...xi

ABSTRACT……...………..……….………...xii

BAB I: PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah….……….……...……. 12

C. Tujuan Penelitian…….………...…….….. 13

D. Manfaat penelitian.………...…. 14

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian.………...…. 14

F. Sistematika Penulisan………..…….………...…. 15

BAB II: LANDASAN TEORI………...……….... 17

A. Landasan Teori………...17

1. Manajemen Sumber Daya Manusia………..……. 17

2. Employee Engagement………..…. 26

3. Kontrak Psikologis………..………... 36

4. Keadilan Distributif………..…. 43

5. Keefektifan Kerja..………...……. 52

B. Peneliti Terdahulu………..………...…. 56

C. Hipotesis………..….……….……...……. 57

D. Kerangka Penelitian…….………...…….….. 62

BAB III: METODE PENELITIAN……….…………..…….63 A. Desain Penelitian………... 63

B. Populasi dan Sampel……….……...……. 63

C. Definisi Operasional.……….………...…. 65

D. Instrumen Penelitian .………...…. 66

E. Metode Pengumpulan data………...……….….69

F. Metode Analisis Data.………...…. 69

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…….…....….72

A. Deskripsi data…..………...72

B. Pengujian hipotesis..……….……...……. 82


(12)

B. Saran………....……….……...…….. .99

C. Keterbatasan..……..……….………....101

DAFTAR PUSTAKA………….…..………..….....103


(13)

Judul Tabel

Halaman

Table 1.1 Penelitian Terdahulu……,,………...……….…...56

Tabel 3.1 Definisi Operasional...……….………..64

Tabel 4.1 Deskripsi Responden Penelitian…...……….………72

Table 4.2 Outer Loading……….……..73

Table 4.3 Average Variance Extracted…………...……….……..75

Table 4.4 Cross Loading...………..…..76

Table 4.5 Composite Reliability...………..………..….77

Table 4.6 Cronbach’s Alpha………...….78

Table 4.7 R Square………....79

Table 4.8 Path Coefficients...………81

Table 4.9 P Values dan T Statistik….………..………...81

Tabel 4.10 Pengujian Hipotesis………....82


(14)

Judul Gambar

Halaman

Gambar 4.1 Average Variance Extracted ……….75 Gambar 4.2 Composite Reliability ...……….……78 Gambar 4.3 Path Diagram ……….………...80


(15)

Pengaruh Kontrak Psikologis dan Keadilan Distributif terhadap

Employee

Engagement

yang Berdampak pada Keefektifan Kerja

Dorethy Alberta Universitas Sanata Dharma

2016

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada pengaruh kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap employee engagement yang berdampak pada keefektifan kerja. Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah karyawan-karyawan di tiga hotel di Yogyakarta berjumlah 120 responden. Data penelitian dianalisis menggunakan PLS - SEM (Partial Least Squares-Structural Equation

Modeling). Hasil analisis menunjukkan bahwa kontrak psikologis dan keadilan distributif

berpengaruh terhadap employee engagement dan employee engagement berpengaruh pada keefektifan kerja. Ketiganya memiliki nilai p values sebesar 0,000 dengan taraf signifikansi 0,05. Hal ini menunjukkan ketiga hipotesis dapat diterima. Berdasarkan hasil penelitian, perusahaan dapat meningkatkan keefektifan kerja dengan memperkuat tingkat engagement karyawan. Hal tersebut dapat diraih dengan memastikan terbentuknya kontrak psikologis yang baik serta menegakkan keadilan distributif.


(16)

The Influence of Psychological Contract and Distributive Justice towards

Employee Engagement which Affects Work Effectiveness

Dorethy Alberta Sanata Dharma University

2016

This research aims to examine the influence of psychological contract and distributive justice towards employee engagement which later affects work effectiveness. The type of this research is explanatory research by using quantitative approach. The subject of the research is the employees of three hotels in Yogyakarta with the total of 120 respondents. The data is analyzed by using PLS - SEM (Partial Least Squares-Structural Equation Modeling). The result shows that psychological contract and distributive justice influence employee engagement and employee engagement influences work effectiveness. All the three hypothesis have p values of 0,000 with the significancy of 0,05. This shows that all the hypothesis can be accepted. Based on the reseach’s result, company can increase work effectiveness by strenghten the level of employee engagement. It can be achieved by ensuring a well-formed psychological contract and upholding distributive justice.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi menyebabkan persaingan dunia usaha yang semakin ketat. Setiap perusahaan dituntut untuk mengikuti dan menyeimbangkan perkembangan dunia jika ingin berhasil. Perkembangan tersebut di satu sisi merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup perusahaan, namun di sisi lain dapat menjadi peluang bagi suatu perusahaan untuk kemajuan perusahaan. Dalam menghadapi hal demikian, perusahaan harus dapat mengikuti, menyesuaikan, dan memanfaatkan setiap kesempatan serta mengantisipasi ancaman dan meminimalisir hal-hal yang dapat menghambat perkembangan atau kemajuan perusahaan sehingga berhasil dalam meraih keunggulan bersaing.

Dampak globalisasi tersebut juga dialami oleh industri jasa yang terdiri dari berbagai macam industri seperti industri telekomunikasi, transportasi, perbankan, dan perhotelan yang semakin berkembang. Industri perhotelan merupakan industri jasa yang memadukan antara produk dan layanan. Desain bangunan, kamar hotel, restoran, suasana hotel, dan fasilitas lainnya di dalam hotel merupakan produk yang dijual. Sedangkan layanan yang dijual adalah


(18)

keramah-tamahan dan ketrampilan karyawan hotel dalam melayani pelanggannya.

Fungsi hotel telah berubah seiring perkembangan zaman. Dahulu hotel hanya merupakan tempat menginap untuk orang-orang yang bepergian ke suatu tempat dalam konteks perkerjaan maupun wisata dan tidak memiliki tempat bermalam. Saat ini, hotel telah memperluas fungsinya dan menjadi usaha komersial yang menawarkan pelanggan tempat menginap, makanan dan minuman, pelayanan-pelayanan lainnya dan bahkan dapat disewa untuk acara pernikahan, rapat, pertemuan, konferensi, pameran, dan pesta. Dengan semakin banyaknya minat konsumen pada hotel, ditambah lagi Yogyakarta terkenal sebagai kota wisata yang menawarkan sejuta budaya membuat banyaknya jumlah hotel di Yogyakarta dan terus semakin bertambah.

Meskipun usaha perhotelan di Yogyakarta termasuk menguntungkan, jumlahnya yang banyak menyebabkan ketatnya persaingan. Hotel yang tidak dapat bertahan dalam pertarungan bisnis lambat laun akan tersingkir. Untuk dapat bertahan, hotel tersebut harus dapat menawarkan nilai lebih sehingga berbeda dengan para pesaingnya, serta selalu mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya dalam hal produk dan layanan agar dapat menarik konsumen baru dan membuat tamu yang datang kembali lagi.

Kualitas suatu hotel akan sangat ditentukan oleh kecakapan para karyawan hotel. Karyawan merupakan salah satu dari sekian banyak faktor produksi yang memiliki andil penting terhadap kesuksesan sebuah perusahaan.


(19)

Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan penting bagi dinamika proses sebuah perusahaan dalam pencapaian tujuannya karena kesuksesan perusahaan sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya yang bertanggung jawab dalam membangun perusahaan ke arah yang lebih baik. SDM yang baik dapat menjadi faktor pendukung kemajuan perusahaan, sebaliknya SDM yang buruk menjadi faktor penghambat perkembangan perusahaan. Oleh sebab itulah, pentingnya peranan manajemen SDM untuk dapat mengelola karyawannya sebaik mungkin. Manajer SDM bertanggung jawab dalam pembuatan strategi agar karyawan memberikan kontribusi yang maksimal demi tercapainya tujuan yang diharapkan oleh perusahaan. Hal ini didukung oleh Bogler dan Somech (2005) yang menyatakan peningkatan efektivitas, efesiensi, dan kreativitas dalam suatu organisasi sangat bergantung pada kesediaan orang-orang dalam untuk berkontribusi secara positif dalam menyikapi globalisasi.

Manajemen SDM berperan dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya yaitu perekrutan, seleksi, orientasi, pelatihan dan pengembangan, pemberian imbalan, dan perputaran karyawan. Pengelolaan fungsi-fungsi tersebut dengan baik dapat membantu perusahaan dalam menjaga keberlangsungannya dan kuat menghadapi para pesaingnya. Dimulai dari fungsi pertama yaitu perekrutan, manajemen SDM harus dapat mencari dan mengidentifikasi calon karyawan berpotensial. Kemudian manajemen memutuskan karyawan yang tepat sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Setelah itu, karyawan tersebut


(20)

dikembangkan bakat dan kualitasnya agar memberikan kinerja yang baik. Terakhir adalah penjagaan keberlangsungan karyawan dengan pemberian imbalan yang sepadan sehingga perputaran karyawan dapat terkendali.

Hal terakhir tersebut merupakan yang terpenting dalam pengelolaan sumber daya manusia. Semakin tinggginya kesediaan karyawan untuk bertahan di perusahaan akan menurunkan jumlah perputaran karyawan. Hal ini akan menguntungkan perusahaan karena menghemat biaya untuk merekrut dan pemberian pelatihan kembali kepada karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang keluar. Selain itu, keberadaan karyawan-karyawan berbakat akan membantu perusahaan dalam meningkatkan produktivitas dan menjaga mutu perusahaan. Jika perusahaan tidak dapat menjaga keberadaan karyawan berkualitas tersebut maka akan berdampak pada kemunduran perusahaan.

Berdasarkan alasan diatas, manajemen SDM harus memberi perhatian khusus terhadap penjagaan keberadaan karyawannya. Upaya harus dilakukan untuk meningkatkan kesediaan karyawan untuk bertahan di perusahaan. Namun, hal yang utama tidak semata-mata hanya menjaga agar karyawan bekerja pada perusahaan untuk waktu yang lama, tetapi juga bagaimana agar mereka bersedia memberikan dedikasi dan menunjukkan komitmennya. Terkait hal ini, muncullah istilah employee engagement yang saat ini menjadi perhatian serius manjemen sumber daya manusia.

Schaufeli dan Bakker (2008) mendefinisikan employee engagement sebagai keadaan motivasional positif yang mengandung karakteristik vigor


(21)

(tingkat energi yang tinggi dan terdapat kemauan untuk menginvenstasikan tenaga dan presistensi), dedication (keterlibatan kuat ditandai oleh antusiasme dan rasa bangga serta inspirasi, dan absorption (keadaan totalitas karyawan sehingga sulit memisahkan karyawan dari pekerjaannya). Hal ini berarti karyawan yang merasa terikat dengan perusahaannya, dengan kemauan dari dalam dirinya bersedia memberikan kinerja yang baik, selalu mengembangkan dirinya, berusaha dalam pemberian ide-ide terbaik, dan menunjukkan tingkat loyalitas yang tinggi. Semakin tingginya tingkat employee engagement maka semakin tinggi pula potensial kesuksesan perusahaan. Hal ini dikarenakan employee engagement berpengaruh signifikan terhadap hasil bisnis. Sebuah studi terhadap 664,000 karyawan di dunia menunjukkan, bahwa antara perusahaan dengan employee engagement yang tinggi dengan perusahaan dengan angka employee engagement yang rendah didapati selisih sebesar 52% dari peningkatan operating income (ISR : Engaged Employees Help Boost the Bottom Line 2006).

Employee engagement memiliki banyak manfaat untuk perusahaan.

Employee engagement dipercaya dapat meningkatkan kepuasan kerja karena

menciptakan rasa cinta karyawan terhadap perusahaan atau pekerjaannya.

Employee engagement juga dapat menurunkan tingkat perputaran karyawan.

Hal ini didukung oleh Saks (2006) yang menyatakan engagement berelasi negatif pada tingkat turnover. Selain itu, employee engagement dapat mempengaruhi kinerja organisasi karena karyawan rela bekerja dengan giat dan


(22)

menunjukkan prestasinya demi kebaikan dan kemajuan perusahaan. Karyawan yang engaged bekerja dengan penuh gairah dan memiliki perasaan yang mendalam terhadap perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Karyawan yang mempunyai nilai engagement tinggi merupakan pekerja yang memiliki keterlibatan secara penuh serta antusias terhadap pekerjaan.

Seperti yang telah diketahui, employee engagement memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja karyawan di suatu perusahaan. Karyawan yang

engaged memiliki kontribusi terhadap kesuksesan sebuah organisasi dalam

menjalankan bisnis. Kesuksesan tersebut terwujud dalam bentuk hasil kerja yang baik, produktivitas meningkat, dan keefektifan kerja. Setiap perusahaan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan organisasi. Namun kenyataannya, penurunan hasil kerja masih sering terjadi. Permasalahan ini merupakan permasalahan umum yang terjadi pada setiap perusahaan. Kadang efektivitas kerja seorang karyawan cenderung menurun dan pengaruhnya adalah merosotnya suatu perusahaan. Bila tidak diatasi dengan baik maka perusahaan tersebut akan cenderung mengalami penurunan yang signifikan. Hal inilah mengapa penting untuk meningkatkan employee engagement karena akan berdampak pada peningkatan hasil kerja yaitu keefektifan.

Kontradiksi dengan employee engagement yang penting bagi perusahaan, penelitian menyatakan bahwa saat ini banyak sekali karyawan yang merasa tidak engaged pada pekerjaanya (disengaged). Karyawan yang disengaged akan


(23)

tidak bertahan lama dan memiliki keinginan tinggi untuk berhenti dari pekerjaannya. Karyawan yang tidak terikat dapat merugikan perusahaan karena mereka tidak akan mau membuang tenaga atau bakatnya dan tidak bersedia memberikan dedikasi atau kontribusi terhadap perusahaan dimana mereka bekerja. Banyak alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, bias dikarenakan lingkungan kerja yang kurang nyaman, perlakuan para pimpinan yang tidak adil, gaji yang tidak sepadan dengan pekerjaan, tidak ada jaminan jenjang karir, dll. Hal-hal tersebutlah yang membuat semakin banyak karyawan yang tidak puas dengan pekerjaannya. Studi dari Gallup (Coffman dan Gonzalez-Molina, 2002) terhadap ratusan perusahaan menunjukkan 54% dari karyawan termasuk dalam kategori disengaged (tidak memiliki engagement dengan pekerjaannya), dan 17% dalam kategori actively disengaged, yaitu tidak memiliki engagement, bahkan lebih jauh lagi, secara aktif berusaha menularkan sikap negatif itu, bersikap destruktif serta memusuhi organisasi. Ini berarti hanya 29% karyawan yang memiliki engagement dengan tempat kerjanya.

Rendahnya tingkat employee engagement membuat pihak manajemen perusahaan berusaha untuk mengetahui tindakan yang dapat menciptakan dan meningkatkan employee engagement. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan perhatian dan peningkatan kepada faktor-faktor yang mendukung employee engagement. Satu dari faktor pendukungnya adalah kontrak psikologis. Suasana hubungan kemanusiaan yang serasi baik vertikal maupun horizontal antar karyawan akan mampu menciptakan lingkungan,


(24)

suasana dan kondisi kerja yang nyaman. Proses penciptaan good human

relationship dapat dilakukan manajemen perusahaan dengan menerapkan

kontrak psikologis. Anoraga dalam Hardiyanto (2011) menyatakan kontrak psikologis dalam suatu perusahaan adalah hal yang penting untuk menghasilkan komitmen yang baik antara karyawan dan perusahaan. Kontrak psikologis merupakan suatu kumpulan-kumpulan harapan tidak tertulis yang ada dalam diri setiap individu atau karyawan dalam perusahaan (tanpa memandang jabatan) yang selalu ada sepanjang individu di sebuah perusahaan. Kunci dari kontrak psikologis adalah mutualitas di antara individu dengan individu, maupun individu dengan perusahaan. Mutualitas hanya terjadi dan muncul apabila masing-masing dari pihak yang berkepentingan atau bersangkutan memiliki tujuan dan yakin untuk dapat dicapai, serta menyeimbangkan kontrak psikologis pada kedua belah pihak bahwa mutualitas dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai.

Hal ini didukung oleh Amstrong dalam Hardiyanto (2011) kontrak psikologis sebagai kontrak informal tidak tertulis, terdiri dari harapan karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal-balik. Artinya, kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan akan sebanding dengan kewajiban yang diberikan karyawan kepada perusahaan, sebagai contoh karyawan berkeyakinan bahwa perusahaan akan menyediakan keamanan kerja dan kesempatan untuk berpromosi, serta berkomitmen terhadap perusahaan.


(25)

Fokus dari kontrak psikologis adalah bagaimana membangun kondisi yang kondusif bagi karyawan. Kontrak psikologis tersebut merupakan rangsangan dan motivator untuk karyawan untuk semakin terikat dengan pekerjaan maupun perusahaannya. Menurut pernyataan Bhatnagar (2007) lebih dari decade terakhir, banyak studi menunjukkan dukungan empiris pada kontrak psikologi sebagai motivator penting untuk karyawan. Hal ini juga didukung Suryanto dalam Anggun et al yang mengatakan bahawa kontrak psikologis dapat menciptakan motivasi yang pada gilirannya akan membentuk sebuah perilaku. Perilaku tersebut adalah perilaku untuk tetap setia pada perusahaan dan pekerjaannya, sehingga munculnya perilaku tetap setia karyawan secara tidak langsung dapat mempengaruhi timbulnya komitmen pada perusahaan

Di samping itu, apabila kontrak psikologis diwujudkan dengan baik, maka dapat memunculkan keseimbangan, keselarasan, keserasian, dan kelancaran pada kemajuan manajemen, serta hubungan antara perusahaan dengan karyawan. Kontrak psikologis juga berfungsi untuk menghindari munculnya konflik dan kesenjangan sosial antara perusahaan dengan karyawan. Kontrak psikologis yang kuat dapat mengharmoniskan hubungan karyawan dengan atasan dan perusahaannya, sebaliknya apabila kontrak psikologis diterapkan secara tidak kuat atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karyawan maka dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah seperti meningkatkan rasa disengaged karyawan. Artinya, apabila perusahaan


(26)

dapat memberikan kebutuhan karyawannya yang merupakan sebuah harapan, maka karyawan dapat lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik dan penuh semangat. Motivasi karyawan yang baik dapat memberikan kontribusi atau kinerja pada perusahaan untuk lebih maju dan berkembang. Sebaliknya, apabila perusahaan tidak memenuhi kebutuhan karyawan dengan baik, maka karyawan tidak dapat memberikan kinerja atau kontribusi yang baik pula.

Dalam menunjang fungsi dari kontrak psikologis yang optimal, dalam pelaksanaannya seringkali perusahaan mengalami hambatan, misal timbulnya ketidakpuasan karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan. Dalam meminimalisir adanya ketidakpuasan pada diri karyawan, perusahaan seharusnya dapat mengabulkan harapan karyawan atau memberikan kontribusi berdasarkan kebutuhannya, dikarenakan apabila perusahaan dapat memberikan kompensasi yang sesuai dengan kebutuhan karyawan, maka karyawan termotivasi untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Timbulnya motivasi karyawan tersebut juga dapat mempengaruhi timbulnya komitmen karyawan pada perusahaan.

Faktor lainnya yang juga berdampak pada employee engagement adalah salah satu dari keadilan organisasi yaitu keadilan distributif. Persepsi keadilan terbentuk ketika karyawan merasa mendapatkan imbalan yang setimpal dengan performansi kerja yang ditampilkannya. Keadilan organisasi terdiri dari tiga macam, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan


(27)

interaksional (Brockner, 1996). Dalam studi ini, keadilan distributif akan diekplorasi sebagai faktor pendukung employee engagement.

Keadilan distributif didefinisikan oleh Homans (1961) bagaimana seseorang membandingkan antara masukan dengan hasil. Sedangkan menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan distributif adalah persepsi seseorang terhadap keadilan atas pendistribusian sumber-sumber di antara para karyawan. Dengan kata lain, merupakan pandangan karyawan tentang pembagian imbalan di perusahaan. Kreithner dan Kinicki (2003) menyatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan sumber daya dan imbalan penghargaan, mencerminkan keadaan yang dirasakan mengenai bagaimana sumber daya dan penghargaan dialokasikan.

Kesuksesan organisasi dapat dilihat dari hubungan yang baik, mampu mengenali kebutuhan para karyawan, menyelaraskan kebutuhan karyawan dengan harapan perusahaan dan berupaya keras untuk melakukan langkah terbaik untuk mendorong agar kebutuhan terpenuhi secara optimal. Perusahaan yang baik adalah yang dapat memberikan kebutuhan karyawannya secara adil. Karena karakteristik karyawan yang berbeda-beda maka kebutuhan mereka juga berbeda. Selain itu sudut pandang setiap orang juga berbeda. Dalam hal inilah harus adanya upaya perusahaan untuk memberikan perlakuan maupun imbalan yang adil kepada setiap karyawannya agar tidak mengakibatkan kecemburuan sosial dan rasa kecewa pada perusahaan.


(28)

Kedua faktor yang telah disebutkan di atas yaitu kontrak psikologis dan keadilan distributif akan selanjutnya diperdalam oleh penulis untuk menganalisa pengaruhnya terhadap employee engagement di suatu perusahaan yang akhirnya berpengaruh pada keefektifan kerja.

B. Rumusan Masalah

Kesuksesan adalah sesuatu yang ingin dicapai semua perusahaan. Karena itulah, mereka berusaha untuk senantiasa meningkatkan kualitas demi meraih keunggulan bersaing. Komponen utama yang diperlukan dalam memenangkan persaingan di dunia usaha adalah pembenahan kualitas sumber daya manusia, mengingat peranannya yang sangat penting. Perusahaan membutuhkan kontribusi yang optimal dari seluruh karyawan. Upaya untuk meningkatkan kontribusi dari karyawan adalah dengan meningkatkan employee engagement.

Employee engagement dipercaya dapat meningkatkan kinerja karyawan

sehingga mereka bisa bekerja lebih efektif demi keberhasilan perusahaan. Usaha perusahaan untuk meningkatkan employee engagement dapat dilakukan dengan banyak hal. Kontrak psikologis dan keadilan distributif merupakan dua hal penting dalam suatu hubungan kerja dan diduga dapat meningkatkan employee engagement. Kontrak psikologis berkaitan dengan penciptaan hubungan baik antara karyawan dan perusahaan. Kunci dari kontrak psikologis adalah mutualitas antara individu dengan perusahaan dan hanya terjadi apabila masing-masing pihak saling mengerti dan menyeimbangkan


(29)

harapan sehingga menghasilkan kecocokan dan keterikatan yang mendalam antara kedua pihak. Sedangkan keadilan distributif merupakan persepsi keadilan pendistribusian sumber daya dan hasil kerja yang mana jika ditegakkan dengan baik oleh perusahaan maka karyawan akan terdorong untuk memandang positif perusahaannya dan karena itu bersedia juga bersikap positif and terikat pada perusahaannya.

Penelitian ini ingin menganalisa sejauh mana kedua faktor di atas mempengaruhi employee engagement. Selanjutnya peneliti ingin melihat sejauh mana employee engangement berpengaruh pada keefektifan kerja. Berdasarkan hal-hal tersebut, dibuatlah perumusan masalah seperti berikut:

1. Apakah kontrak psikologis berpengaruh terhadap employee engagement?

2. Apakah keadilan distributif berpengaruh terhadap employee engagement?

3. Apakah employee engagement berpengaruh terhadap keefektifan kerja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh kontrak psikologis terhadap employee engagement. 2. Menganalisis pengaruh keadilan distributif terhadap employee engagement. 3. Menganalisis pengaruh employee engagement terhadap keefektifan kerja.


(30)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat memberi gambaran tentang peran kontrak psikologis dan keadilan distributif terhadap employee engagement yang akhirnya berdampak pada keefektifan kerja.

2. Dapat menjadi pertimbangan dan masukan bagi manajemen sumber daya manusia saat membuat strategi dalam usaha meningkatkan employee

engagement.

3. Dapat bermanfaat sebagai acuan dan referensi untuk penelitian selanjutnya yang membahas topik serupa di bidang sumber daya manusia.

E. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Penulis membatasi ruang lingkup penelitiannya yang mencakup beberapa hal, yaitu:

1. Penelitian ini berfokus pada analisis hubungan kontrak psikologis dan keadilan distributif dengan dimensi employee engagement serta menghubungkan dimensi employee engagement tersebut dengan keefektifan kerja.

2. Penelitian dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada karyawan-karyawan hotel Jentra Dagen, Laxston, dan Cavinton di Yoygakarta.


(31)

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang mendasari penelitian ini, penelitian terdahulu, hipotesis, dan kerangka penelitian.

BAB III: METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai desain penelitian, populasi dan sampel, definisi operasional, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai deskripsi data, pengujian hipotesis, dan pembahasan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


(32)

DAFTAR PUSTAKA


(33)

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori

1. Manajemen Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia (SDM) adalah orang yang bekerja dalam suatu organisasi yang sering pula disebut karyawan. Sumber Daya Manusia merupakan aset yang paling berharga dalam perusahaan karena tanpa manusia maka sumber daya perusahaan tidak akan dapat menghasilkan laba atau menambah nilainya sendiri. Salah satu masalah besar bagi perusahaan adalah menemukan SDM yang profesional dan terampil dalam waktu yang instan, baik dari segi teknologi, terlebih lagi dari segi manajerial. Begitu pentingnya peran sumber daya manusia bagi perusahaan yang juga merupakan salah satu kunci sukses, maka perlu adanya penanganan dan pengelolaan yang baik terhadap karyawan agar dapat membantu perusahaan meraih tujuannya. Dalam hal ini Moeheriono (2009) sependapat dan mengatakan keberhasilan sebuah perusahaan dalam mencapai tujuan ini tidak lepas dari keberadaan sumber daya manusia atau human capital yang berperan dalam menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dalam mencapai tujuannya.

Manajemen sumber daya manusia (MSDM) didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Manajemen sumber daya manusia


(34)

18

berkaitan dengan kebijakan dan praktek-praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer mengenai aspek-aspek yang terkait manusia sebagai karyawan. MSDM juga bias diartikan sebagai ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Mereka mengatakan MSDM tidak lain merupakan suatu sistem manajemen yang sengaja dirancang untuk dapat memastikan bahwa potensi atau bakat semua individu dalam organisasi dapat diutilisasi secara efektif dan efisien. Pengembangan individu tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan target yang telah ditentukan organisasi.

Manajemen sumber daya manusia, karena itulah, merupakan bagian tak terpisahkan dari manajemen suatu organisasi. Manajemen sumber daya manusia memberikan sumbangan secara langsung pada peningkatan produktivitas melalui penemuan cara-cara yang lebih efisien dan efektif untuk mencapai tujuan dan secara tidak langsung melalui peningkatan mutu kehidupan kerja karyawan.

Dalam prakteknya MSDM memiliki fungsi-fungsi yang harus dijalankan dengan baik. Fungsi-fungsi tersebut mencakup semua kegiatan dimulai dari perencanaan SDM sampai pada pemberhentian SDM. Manajemen SDM akan mengurusi penyusunan analisis jabatan, rekrutmen SDM yang dilanjutkan dengan seleksi dan penempatan SDM dalam jabatan yang tepat, kemudian berturut-turut fungsi penggajian, penilaian kinerja,


(35)

19

pelatihan dan pengembangan, pengelolaan karir dalam jabatan, pembinaan hubungan karyawan.

Dalam menjalankan pekerjaan seharusnya organisasi memperhatikan fungsi-fungsi manajemen dan fungsi operasional seperti yang dikemukakan oleh Edwin B. Flippo dalam Siti Khoeriyah (2014). Menurutnya, fungsi manajerial SDM mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Sedangkan fungsi operasional manajemen sumber daya manusia meliputi perencanaan (planning) yang mempunyai arti penentuan mengenai program tenaga kerja yang akan mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Kedua adalah pengorganisasian (organizing). Organisasi dibentuk dengan merancang struktur hubungan yang mengaitkan antara pekerjaan, karyawan, dan faktor-faktor fisik sehingga dapat terjalin kerjasama satu dengan yang lainnya. Ketiga adalah pengarahan (directing) dimana terdiri dari fungsi staffing dan leading. Fungsi staffing adalah menempatkan orang-orang dalam struktur organisasi, sedangkan fungsi leading dilakukan pengarahan SDM agar karyawan bekerja sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Keempat adalah pengawasan (controlling) yaitu adanya fungsi manajerial yang mengatur aktifitas-aktifitas agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan organisasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, bila terjadi penyimpangan dapat diketahui dan segera dilakukan perbaikan.

Sedikit berbeda dengan Flippo, menurut Cherrington dalam Denny Bagus (2010), fungsi-fungsi sumber daya manusia terdiri dari:


(36)

20

a. Staffing

Fungsi ini terdiri dari tiga aktivitas penting, yaitu perencanaan, penarikan, dan seleksi sumber daya manusia. Sebenamya para manajer bertanggung jawab untuk mengantisispasi kebutuhan sumber daya manusia. Dengan semakin berkembangnya perusahaan, para manajer menjadi lebih tergantung pada departemen sumber daya manusia untuk mengumpulkan informasi mengenai komposisi dan keterampilan tenaga kerja saat ini. Meskipun penarikan tenaga kerja dilakukan sepenuhnya oleh departemen sumber daya manusia, departemen lain tetap terlibat dengan menyediakan deskripsi dari spesifikasi pekerjaan untuk membantu proses penarikan. Dalam proses seleksi, departemen sumber daya manusia melakukan penyaringan melalui wawancara, tes, dan menyelidiki latar belakang pelamar. Tanggung jawab departemen sumber daya manusia untuk pengadaan tenaga kerja ini semakin meningkat dengan adanya hukum tentang kesempatan kerja yang sama dan berbagai syarat yang diperlukan perusahaan.

b. Performance Evaluation

Penilaian kinerja sumber daya manusia merupakan tanggung jawab departemen sumber daya manusia dan para manajer. Para manajer menanggung tanggung jawab utama untuk


(37)

21

mengevaluasi bawahannya dan departemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk mengembangkan bentuk penilaian kinerjayang efektif dan memastikan bahwa penilaian kinerja tersebut dilakukan oleh seluruh bagian perusahaan. Departemen sumber daya rnanusia juga perlu melakukan pelatihan terhadap para manajer tentang bagaimana membuat standar kinerja yang baik dan membuat penilaian kinerja yang akurat.

c. Compensation

Dalam hal kompensasi dibutuhkan suatu koordinasi yang baik antara departemen sumber daya manusia dengan para manajer. Para manajer bertanggung jawab dalam hal kenaikan gaji, sedangkan departemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk mengembangkan struktur gaji yang baik. Sistem kompensasi yang memerlukan keseimbangan antara pembayaran dan manfaat yang diberikan kepada tenaga kerja. Pembayaran meliputi gaji, bonus, insentif, dan pembagian keuntungan yang diterima oleh karyawan. Manfaat meliputi asuransi kesehatan, asuransi jiwa, cuti, dan sebagainya. Departemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kompensasi yang diberikan bersifat kompetitif diantara perusahaan yang sejenis, adil, sesuai


(38)

22

dengan hukum yang berlaku (misalnya: UMR), dan memberikan motivasi.

d. Training and Development

Departemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk membantu para manajer menjadi pelatih dan penasehat yang baik bagi bawahannya, menciptakanprogram pelatihan dan pengembangan yang efektif baik bagi karyawan baru (orientasi) maupun yang sudah ada (pengembangan keterampilan), terlibat dalam program pelatihan kerja dan pengembangan tersebut, memperkirakan kebutuhan perusahaan akan program pelati han dan pengembangan, serta mengevaluasi efektifitas progam pelatihan dan pengembangan. Tanggung jawab departemen sumber daya manusia dalam hal ini juga menyangkut masalah pemutusan hubungan kerja. Tanggung jawab ini membantu restrukturisasi perusahaan dan memberikan solusi terhadap konflik yang terjadi dalam perusahaan.

e. Employee Relations

Dalam perusahaan yang memiliki serikat pekeja, departemen sumber daya manusia berperan aktif dalam melakukan negosiasi dan mengurus masalah persetujuan dengan pihak serikat pekerja. Membantu perusahaan menghadapi serikat pekerja merupakan tanggung jawab departemen sumber daya


(39)

23

manusia. Setelah persetujuan disepakati, departemen sumber daya manusia membantu para manajer tentang bagaimana mengurus persetujuan tersebut dan menghindari keluhan yang lebih banyak. Tanggung jawab utama departernen sumber daya manusia adalah untuk menghindari praktek-praktek yang tidak sehat misalnya mogok kerja dan demonstrasi. Dalam perusahaan yang tidak memiliki serikat kerja, departemen sumber daya manusia dibutuhkan untuk terlibat dalam hubungan karyawan. Secara umum, para karyawan tidak bergabung dengan serikat kerja jika gaji mereka cukup memadai dan mereka percaya bahwa pihak perusahaan bertanggung jawab terhadap kebutuhan mereka. Departemen sumber daya manusia dalam hal ini perlu memastikan apakah para karyawan diperlakukan secara baik dan apakah ada cara yang baik dan jelas untuk mengatasi keluhan. Setiap perusahaan, baik yang memiliki serikat pekerja atau tidak, memerlukan suatu cara yang tegas untuk meningkatkankedisiplinan serta mengatasi keluhan dalam upaya mengatasi permasalahan dan melindungi tenaga kerja. f. Safety and Health

Setiap perusahaan wajib untuk memiliki dan melaksanakan program keselamatan untuk mengurangi kejadian yang tidak diinginkan dan menciptakan kondisi yang sehat. Tenaga kerja


(40)

24

perlu diingatkan secara terus menerus tentang pentingnya keselamatan kerja Suatu program keselamatan kerja yang efektif dapat mengurangi jumlah kecelakaan dan meningkatkan kesehatan tenaga kerja secara umum. Departemen sumber daya manusia mempunyai tanggung jawab utama untuk mengadakan pelatihan tentang keselamatan kerja, mengidentifikasi dan memperbaiki kondisi yang membahayakan tenaga kerja, dan melaporkan adanya kecelakaan kerja

g. Personnel Research

Dalam usahanya untuk meningkatkan efektifitas perusahan, departemen sumber daya manusia melakukan analisis terhadap masalah individu dan perusahaan serta membuat perubahan yang sesuai. Masalah yang sering diperhatikan oleh departemen sumber daya manusia adalah penyebab terjadinya ketidakhadiran dan keterlambatan karyawan, bagaimana prosedur penarikan dan seleksi yang baik, dan penyebab ketidakpuasan tenaga kerja. Departemen sumber daya manusia bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi yang menyinggung masalah ini. Hasilnya digunakan menilai apakah kebijakan yang sudah ada perlu diadakan perubahan atau tidak.


(41)

25

Pengelolaan fungsi-fungsi SDM tersebut harus dilakukan dengan baik dapat membantu perusahaan dalam menjaga keberlangsungannya dan kuat menghadapi para pesaingnya. Dimulai dari fungsi perekrutan, manajemen SDM harus dapat mencari dan mengidentifikasi calon karyawan berpotensial. Kemudian manajemen memutuskan karyawan yang tepat sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan perusahaan. Setelah itu, karyawan tersebut dikembangkan bakat dan kualitasnya agar memberikan kinerja yang baik. Terakhir adalah penjagaan keberlangsungan karyawan dengan pemberian imbalan yang sepadan sehingga perputaran karyawan dapat terkendali.

Hal terakhir tersebut yaitu penjagaan atau pemeliharaan karyawan merupakan hal yang terpenting dalam pengelolaan sumber daya manusia. Menurut Hasibuan (2000), pemeliharaan SDM merupakan usaha untuk membina dan mengembangkan kondisi fisik, mental, sikap, dan perilaku karyawan agar mereka tetap setia dan bekerja produktif untuk menunjang tercapainya tujuan perusahaan. Kondisi tersebut akan terwujud apabila ditunjang dengan kenyamanan kerja dan kesejahteraan karyawan yang memadai.

Pemeliharaan SDM memang harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari manajer. Jika pemeliharaan karyawan kurang diperhatikan maka semangat kerja, disiplin, sikap, dan loyalitas karyawan akan menurun. Absensi dan perputaran juga akan meningkat. Selain itu, hal ini akan mengakibatkan perekrutan, pengembangan dan pelatihan, kompensasi yang


(42)

26

telah dilakukan dengan baik akan tidak berarti serta biaya besar yang telah dikeluarkan untuk hal-hal tersebut menjadi tidak berguna. Karena itu, semakin tinggginya kesediaan karyawan untuk bertahan di perusahaan akan menurunkan jumlah perputaran karyawan. Hal ini akan menguntungkan perusahaan karena tidak perlu merekrut dan memberi pelatihan lagi kepada karyawan baru untuk menggantikan karyawan yang keluar. Selain itu, keberadaan karyawan-karyawan berbakat akan membantu perusahaan dalam meningkatkan produktivitas dan menjaga mutu perusahaan. Jika perusahaan tidak dapat menjaga keberadaan karyawan berkualitas tersebut maka akan berdampak pada kemunduran perusahaan.

2. Employee engagement

Employee Engagement merupakan gagasan dalam perilaku organisasi

yang menjadi daya tarik dalam perbincangan manajemen sumber daya manusia. Daya tarik ini timbul karena employee engagement berpengaruh pada kinerja perusahaan secara keseluruhan. Banyak ahli dan praktisi yang memberikan definisi dan pengukuran employee engagement dengan cara yang berbeda. Schiemann (2011) mengartikan engagement sebagai energi atau motivasi dari karyawan untuk membatu organisasi tersebut mencapai tujuannya. Ia juga menambahkan bahwa secara garis besar terdapat 3 komponen utama dari engagement yaitu kepuasan, komitmen dan advokasi. Ketika seorang karyawan telah merasa engaged pada perusahaannya maka karyawan tersebut akan merasa puas dan dapat berkomitmen terhadap


(43)

27

perushaan serta memberikan upaya extra untuk kemajuan perusahaan atau bahkan merekomendasikan tempat kerjanya. Menurut Cho et al (2013)

employee engagment adalah hubungan positif dengan organisasinya yang

dapat mengarah kepada kinerja dan profitabilitas yang lebih baik.

Marciano dalam Akbar (2013) menambahkkan bahwa employee

engagement dihubungkan dengan beragam konsekuensi bisnis yang lebih

besar, seperti lebih gigih dalam berupaya, kinerja yg lebih cepat, kualitas yang lebih tinggi dan turnover yang menurun. Hal ini didukung oleh Blessing White (2008) dimana employee engagement meliputi rasa antusiasme atau gairah dan komitmen yang membuat seseorang mampu menginvestasikan dan mengembangkan usahanya secara berkelanjutan sehingga dapat mendorong kesuksesan perusahaan.

Menurut Schaufeli & Bakker (2008) employee engagement adalah sikap yang positif, penuh makna, dan motivasi yang memiliki 3 karakterisitik yaitu vigor dimana karyawan memiliki energi yang tinggi, ketangguhan mental ketika bekerja, keinginan untuk memberikan usaha terhadap pekerjaan dan juga ketahanan dalam menghadapi kesulitan.

Dedication dikarakteristikan dengan rasa antusias, inspirasi, kebanggaan,

dan tantangan. Absobtion dikarakterisitikan dengan berkonsentrasi penuh dalam pekerjaan dan senang ketika dilibatkan dalam pekerjaan, sehingga waktu akan tersa berjalan dengan cepat.

Peneliti Ketenagakerjaan Global Perrin (Perrin’s Global Workforce


(44)

28

karyawan dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan secara terus menerus. Rasa engaged terhadap organisasi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor emosional dan rasional berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman kerja secara keseluruhan. Organisasi Gallup dalam Dernovsek (2008) juga sependapat dengan hal ini yaitu menghubungkan employee engagement dengan ikatan emosional positif antara individu dengan organisasi dan komitmen individu pada organisasi. Selain itu, Robinson et al (2004) juga mendefinisikan

employee engagement sebagai sikap positif individu karyawan terhadap

organisasi dan nilai organisasi. Seorang karyawan yang memiliki tingkat engagement tinggi pada organisasi memiliki pemahaman dan kepedulian terhadap lingkungan operasional organisasi, mampu bekerja sama untuk meningkatkan pencapaian unit kerja atau organisasi melalui kerja sama antara individu karyawan dengan manajemen.

Definisi lainnya, employee engagement diartikan sebagai perilaku yang menunjukkan bahwa individu karyawan melaksanakan perannya sesuai jabatan dalam organisasi secara penuh dan menanggalkan peran lain yang disandangnya selama berada dalam lingkungan kerja dan pelaksanaan tugas jabatannya (Khan, 1990).

Selain definisi diatas, employee engagement menurut Wellins dan Concelman (2005) sebagai kekuatan ilusif (komitmen terhadap organisasi, kebanggaan terhadap pekerjaan, pengerahan waktu dan tenaga, passion dan ketertarikan) yang memotivasi pegawai untuk performansi tingkat yang


(45)

29

lebih tinggi. Wellins dan Concelman juga mengacu istilah tersebut sebagai perasaan atau sikap pegawai yang mendekatkan diri dengan pekerjaan dan organisasinya. Sedangkan Lockwood (2005) mendefinisikan engagement sebagai pernyataan oleh individu secara emosional dan intelektual komit terhadap organisasi, yang diukur melalui tiga perilaku utama yaitu berbicara positif mengenai organisasi kepada rekan kerja dan pekerja berpotensi serta pelanggan, memiliki gairah yang intens untuk menjadi anggota organisasi, meski sebenarnya mendapat peluang kerja di tempat lain,dan menunjukkan usaha ekstra dan perilaku yang memiliki kontribusi terhadap kesuksesan organisasi.

Pendapat lain dari Macey dan Schneider (2008) mengatakan employee

engagement dapat didefinisikan melalui elemen-elemennya yaitu trait

engagement (pandangan positif mengenai kehidupan dan pekerjaan), state

engagement (perasaan memiliki energi), dan behavioral engagement

(perilaku melebihi tugas yang dibebankan).

Beberapa studi menunjukkan bahwa engagement berkorelasi positif dengan pencapaian kinerja unit kerja atau organisasi, tingkat retensi karyawan, profitabilitas, kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, keamanan pelanggan dan daya saing organisasi dalam industri seperti Coffman (2000).

Karyawan yang memiliki engagement tinggi pada pekerjaaannya menunjukkan perilaku positif sebagai berikut yaitu; menyatakan hal yang positif tentang visi, misi dan kegiatan organisasi pada calon karyawan


(46)

30

potensial dan calon pelanggan potensial; memutuskan untuk bergabung dengan organisasi tertentu dengan mengabaikan kesempatan berkarya dan mengekploitasi kemampuan yang ditawarkan oleh organisasi lain; secara berkelanjutan berjuang dengan mengerahkan kemampuan dan potensi untuk mencapai sasara kerja dan bersedia melakukan kerja lembur, dan prakarsa baru dalam mengatasi masalah yang dihadapi organisasi. Kondisi ini adalah kondisi kerja yang mengisi mimpi sebagaian besar pimpinan organisasi, yang masih sulit untuk diwujudkan dalam dunia nyata. Sebagian besar pimpinan organisasi masih berjuang untuk meminimalkan perilaku karyawan yang cenderung menunjukkan rendahnya engagement mereka pada pekerjaan yang dicirikan dengan perilaku memboroskan waktu kerja untuk kegiatan yang tidak berhubungan dengan pencapaian sasaran kerja organisasi dan melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan sasaran kerja sehingga berdampak pada penurunan pencapaian kinerja organisasi. Meere (2005) mengungkapkan bahwa data 360.000 karyawan dari 41 perusahaan yang berlokasi di sepuluh Negara dengan kondisi ekonomi kuat,

employee engagement yang rendah menurunkan pencapaian margin operasi.

Sementara hasil studi Financial News, Maret 2001 sebagaimana dilaporkan oleh Accord Mangement Systems (2004) menyatakan bahwa employee

engagement yang rendah antara lain ditunjukkan oleh tingkat absensi

rata-rata 3,5 hari per tahun.

Koscec (2007) mngelompokkan kategori employee engagement menjadi empat yaitu:


(47)

31

a. Actively engaged: karyawan secara emosional berkomitmen terhadap

pekerjaan dan organisasinya pada setiap waktu. Mereka memiliki motivasi diri yang tinggi dan benar-benar ingin membuat perbedaan. Mereka selalu menunjukkan performansi yang diharapkan.

b. Engaged: karyawan secara emosional berkomitmen terhadap

pekerjaan dan organisasinya pada waktu yang seharusnya. Mereka selalu mencapai tetapi hanya sesekali menunjukkan performansi yang diharapkan.

c. Disengaged: karyawan dalam kategori ini menunjukkan bekerja

secara rutin, tetapi hanya sebatas itu. Mereka bekerja secara fisik, tetapi pikirannya berada di tempat lain.

d. Actively disengaged: karyawan seperti ini tidak tertarik dengan

pekerjaan dan organisasinya, serta secara aktif bekerja sekaligus menyebarkan rumor, bergosip, menggerutu, dan performansinya buruk.

Baumruk dan Gorman (2006) mengemukakan jika karyawan memiliki rasa engagement yang tinggi dengan perusahaan, hal tersebut akan meningkatkan tiga perilaku umum yang akan meningkatkan kinerja perusahaan. Pertama adalah say (mengatakan) dimana karyawan akan memberikan masukan untuk organisasi dan rekan kerjanya, dan akan memberikan masukan mengenai karyawan dan konsumen yang berpotensi. Kedua adalah stay (tetap tinggal) yaitu karyawan tetap akan bekerja di organisasi tersebut walaupun ada peluang untuk bekerja di tempat lain.


(48)

32

Ketiga adalah strive (upaya) dimana karyawan akan memberikan lebih banyak waktu, usaha dan inisiatif untuk dapat berkontribusi demi kesuksesan organisasi.

Gallup (1998) berpendapat bahwa ada 4 dimensi employee

engagement yang diambil dari Gallup’s Q12, yaitu what do I give?, what do I get?, do I belong?, dan how can we grow?

a. Tingkat dasar: Apa yang aku dapatkan?

Pada dimensi ini karyawan ingin mengetahui apa yang diharapkan perusahaan terhadap dirinya serta apa yang ia dapatkan dari pekerjaannya.

b. Tingkat 1: Apa yang aku berikan?

Pada dimensi ini karyawan fokus pada kontribusi individu dan persepsi orang lain mengenai hal tersebut.

c. Tingkat 2: Apakah aku cocok berada di sini?

Pada dimensi ini karyawan ingin mengetahui apakah dirinya cocok berada di perusahaan.

d. Tingkat 3: Bagaimana kita semua bisa berkembang?

Dimensi ini merupakan tahap yang paling menguntungkan dimana karyawan ingin membuat perusahaan menjadi lebih baik, berkeinginan untuk belajar, dan berinovasi.

Pengertian employee engagement tersebut menegaskan perbedaannya dengan kepuasan kerja yang selama ini diyakini oleh kalangan akademisi maupun praktisi manajemen sebagai faktor penting untuk meningkatkan


(49)

33

pencapaian kinerja organisasi. Fernandez (2007) menunjukkan bahwa kepuasan kerja berbeda dengan employee engagement dalam pekerjaannya. Kepuasan kerja dibangun diatas landasan hubungan transaksional antara individu karyawan dan manajemen. Manajemen menggunakan sumber daya organisasi untuk mendorong upaya individu kearah pencapaian sasaran kerja tertentu seperti pencapaian volume penjualan tertentu atau waktu penyerahaan jasa standar dan kemudian menjanjikan imbalan yang sesuai dengan kebutuhan atau harapan individu karyawan tersebut. Saat ini dengan dinamika lingkungan persaingan yang ketat dan ketersediaan sumber daya organisasi yang makin terbatas. Tren restrukturisasi organisasi dalam kerangka peningkatan efisiensi beban operasional mengakibatkan jumlah jabatan struktural yang tersedia pada struktur organisasi makin terbatas dan penggabungan fungsi dalam struktur menjadi sarana untuk menjamin bahwa tugas terbagi habis. Kondisi ini menuntut kapasitas individu pemangku jabatan yang makin besar tapi tidak menjanjikan imbalan yang secara proporsional lebih besar searah dengan peningkatan beban kerja dan tanggung jawab. Dengan demikian manajemen tidak bisa mengandalkan kepuasan kerja individu sebagai dasar mendorong dan memelihara kinerja individu karyawan yang terbaik. Employee engagement merupakan prediktor kinerja individu yang lebih kuat dibandingkan dengan kepuasan kerja individu.

Employee engagement juga berbeda dengan komitmen terhadap


(50)

34

engagement tinggi cenderung melibatkan komitmen intelektual dalam

pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Karyawan yang engaged sudah pasti berkomitmen pada pekerjaan dan organisasinya namun karyawan yang berkomitmen belum tentu engaged.

Employee engagement memiliki keterkaitan dengan berbagai gagasan

dalam perilaku organisasi namun tetap berbeda. Employee engagement bukan hanya sekedar sikap seperti komitmen organisasi tetapi merupakan tingkat seorang karyawan penuh perhatian dan melebur dengan pekerjaannya. Dalam literatur akademis, employee engagement telah didefinisikan sebagai konstruk yang unik dan berbeda yang mengandung komponen kognitif, emosi, dan perilaku yang berhubungan dengan kinerja individu (Saks, 2006).

Menurut Maslach et al dalam Saks (2006) terdapat enam hal yang mempengaruhi engagement yaitu beban kerja, kontrol, rewards dan

recognition, dukungan komunitas dan sosial, keadilan yang diterima, dan

nilai. Mereka berpendapat bahwa job engagement berhubungan dengan beban kerja yang seimbang (sustainable workload), kebebasan memilih dan mengendalikan, upah dan penghargaan yang pantas, komunitas kerja yang mendukung, kewajaran (fairness) dan keadilan (justice), serta pekerjaan yang berarti dan bernilai.

Ahli lainnya seperti Schaufeli dan Bakker dan Sonnentag seperti dikutip Saks (2006), menemukan engagement memiliki hubungan positif terhadap komitmen organisasi dan memiliki hubungan negatif dengan


(51)

35

intention to quit dan dipercaya juga berhubungan dengan kinerja dan

perilaku peran ekstra (extra-role behaviour), yang sering juga disebut sebagai perilaku anggota organisasi atau Organization Citizenship

Behaviour (OCB)

Employee engagement seorang karyawan yang tinggi akan

menampilkan kinerja yang sangat baik. Menurut Coffman (2000), untuk memulai pembentukan employee engagement maka yang harus dilakukan adalah memperkuat hubungan melalui sistem komunikasi yang lancar. Karyawan juga membutuhkan penguatan hubungan kerja dengan tim sehingga memunculkan komitmen yang kuat dalam organisasi. Manajer dapat memanfaatkan talenta karyawan untuk membangkitkan kekuatan karyawan serta mengembangkan tujuan dan target sehingga dapat meningkatkan kontribusi karyawan kepada perusahaan.

Ketika hal-hal diatas dimiliki seorang karyawan maka karyawan tersebut bisa engaged employee. Karyawan yang engaged memiliki kesadaran terhadap bisnis, dan bekerja dengan rekan kerja untuk meningkatkan kinerja dalam pekerjaan untuk keuntungan organisasi. Kesadaran bisnis yang dimiliki oleh karyawan akan membuatnya memberikan upaya terbaik mereka dalam meningkatkan kinerja mereka. Mereka sadar bahwa kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh kinerja mereka.


(52)

36

3. Kontrak Psikologis

Anoraga (2011) menyebutkan kontrak psikologis dalam suatu perusahaan adalah hal yang penting untuk menghasilkan komitmen yang baik antara karyawan dan perusahaan. Kontrak psikologis merupakan suatu kumpulan-kumpulan harapan tidak tertulis yang ada dalam diri setiap individu atau karyawan dalam perusahaan yang selalu ada sepanjang individu di sebuah perusahaan. Kunci dari kontrak psikologis adalah mutualitas di antara individu dengan individu, maupun individu dengan perusahaan. Mutualitas hanya terjadi dan muncul apabila masing-masing dari pihak yang berkepentingan atau bersangkutan memiliki tujuan dan yakin untuk dapat dicapai, serta menyeimbangkan kontrak psikologis pada kedua belah pihak bahwa mutualitas dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai.

Menurut Amstrong dalam Hardiyanto (2011) kontrak psikologis adalah kontrak informal tidak tertulis, terdiri dari harapan karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal-balik. Artinya, kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan akan sebanding dengan kewajiban yang diberikan karyawan kepada perusahaan, sebagai contoh karyawan berkeyakinan bahwa perusahaan akan menyediakan keamanan kerja dan kesempatan untuk berpromosi, serta berkomitmen terhadap perusahaan.

Kontrak psikologis yang kuat merupakan suatu alasan sukses tidaknya suatu perusahaan, sebaliknya apabila kontrak psikologis diterapkan secara


(53)

37

tidak kuat atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan karyawan maka dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah di perusahaan tersebut. Artinya, apabila perusahaan dapat memberikan jaminan-jaminan yang sesuai seperti jaminan hari tua, jaminan keamanan, dan lainnya dengan kebutuhan karyawan yang merupakan sebuah harapan, setidaknya karyawan dapat lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugasnya dengan baik dan penuh semangat. Motivasi karyawan yang baik dapat memberikan kontribusi atau kinerja pada perusahaan untuk lebih maju dan berkembang. Sebaliknya, apabila perusahaan tidak memenuhi kebutuhan karyawan dengan baik, maka karyawan tidak dapat memberikan kinerja atau kontribusi yang baik pula. Hal tersebut dapat menghambat perkembangan dan kemajuan perusahaan yang bersangkutan.

Maheswari (2008) mengatakan bahwa kontrak psikologis adalah serangkaian pengharapan karyawan mengenai apa yang akan mereka berikan kepada organisasi atau perusahaan biasa disebut dengan sumbangan atau kontribusi dan sebagai timbal-baliknya organisasi atau perusahaan akan memberikan penghargaan atas kontribusi tersebut dengan reward yang biasa disebut insentif.

Turnley dan Feldman (1998) berasumsi bahwa karyawan membangun harapan akan kontrak psikologisnya berdasarkan tiga sumber utama, yaitu janji yang dibuat oleh representatif pihak perusahaan, persepsi akan kultur perusahaan, serta penyesuaian antara harapan dengan bagaimana perusahaan beroperasi. Kurangnya pemahaman ini mendorong karyawan baru untuk


(54)

38

secara aktif menginterpretasikan pengalaman pertamanya di lingkungan baru untuk memprediksi apa yang akan terjadi kelak serta membangun harapanharapannya terhadap hubungan kerja yang dilakukan (Rousseau, 1995).

Istilah kontrak psikologis berbeda dengan kontrak kerja. Robinson dan Morrison (2000) menyatakan bahwa kontrak kerja secara umum mengacu pada dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban seorang karyawan dan tunduk pada peraturan perusahaan. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa kontrak mengikat karyawan dan perusahaan dalam suatu persatuan kerja, mengatur perilaku masing-masing pihak dalam perusahaan serta memungkinkan pencapaian tujuan perusahaan. Istilah kontrak psikologis pertama kali diperkenalkan oleh dua orang psikolog, yaitu Argyris dan Menninger dalam Conway dan Briner (2005). Definisi mengenai kontrak psikologis mengalami perkembangan mulai dari awal teori ini diperkenalkan hingga saat ini. Berikut beberapa definisi yang dijelaskan para ahli mengenai kontrak psikologis. Kotler dalam Conway dan Briner (2005) menjelaskan bahwa kontrak psikologis merupakan sebuah kontrak yang bersifat implisit antara seorang individu dan organisasinya yang menspesifikkan pada apa yang masing-masing harapkan satu sama lain untuk saling memberi dan menerima dalam suatu hubungan kerja

Menurut Griffin (2002) kontrak psikologis adalah serangkaian ekspektasi yang dimiliki seorang individu atas apa yang dia kontribusikan untuk organisasi dan apa yang akan diberikan organisasi sebagai balas jasa.


(55)

39

Tantangan mendasar yang dihadapi organisasi adalah kontrak psikologis, karena organisasi harus memastikan karyawan menyediakan nilai untuknya dan saat yang sama, organisasi juga harus memastikan karyawan mendapatkan insentif memadai (Darmawan, 2013).

Konsep kontrak psikologis adalah kepercayaan dari individu dalam kewajiban timbal-balik dengan pemilik pekerjaan. Kepercayaan ini menyatakan tentang pemahaman terhadap janji-janji yang dibuat dan menawarkan pertimbangan-pertimbangan dalam perubahan yang mengikat antara pekerja dan organisasi dalam rangka menyusun sebuah kewajiban timbal-balik.

Kepercayaan tersebut muncul ketika individu masuk dalam organisasi atau perusahaan dengan membuat kontrak tidak tertulis yang harus dipatuhi. Kontrak ini mengenai harapan timbal-balik, pekerja dan pemilik pekerjaan. Kontrak psikologis didasarkan pada pemahaman antara pekerja dan pemilik pekerjaan dalam pemenuhan kontribusi masing-masing, sehingga dengan adanya proses timbal balik mengenai harapan antara pekerja dengan pemilik pekerjaan ini, menimbulkan adanya penerapan sistem kontrak psikologis. Terbentuknya kontrak psikologis antara pekerja dengan pemilik pekerjaan berasal dari hubungan timbal-balik mengenai harapan dan pemahaman mengenai pemenuhan kontribusi (Subagyo, 2012).

Secara garis besar, perusahaan hendaknya memahami apa yang karyawan inginkan dan butuhkan dalam menentukan perilaku dan tanggapan di tempat kerja, begitu pula sebaliknya. Karyawan akan


(56)

40

cenderung memiliki harapan yang implisit maupun eksplisit tentang apa yang akan mereka dapatkan dari perusahaan. Harapan inilah yang dapat dijadikan dasar kontrak psikologis yang melibatkan kewajiban timbal-balik antara karyawan dan perusahaan (Gruman dan Saks, 2011).

Menurut Rousseau (1995) kontrak psikologis mendasari kepercayaan mengenai kewajiban timbal balik antara pekerja dengan pemberi kerja. Menurut Rousseau (1995), kontrak psikologis terdiri dari 3 dimensi, yaitu transactional Contract, relational Contract dan balanced contract.

a. Transactional Contract

Pada dasarnya transactional contract atau kontrak transaksional bersifat jangka pendek (short term) dan berfokus pada aspek pertukaran ekonomis, jenis pekerjaan yang sempit (narrow) dan keterlibatan minimal karyawan dalam organisasi. Terdapat dua dimensi utama yang dikaji dalam kontrak transaksional, yaitu narrow dan short term. Narrow berarti karyawan diwajibkan untuk melakukan hanya serangkaian pekerjaan yang dalam kontrak merupakan pekerjaan yang diperhitungkan dalam imbal jasa. Organisasi membatasi keterlibatan karyawan dalam organisasi dan memberikan kesempatan terbatas untuk pelatihan dan pengembangan. Short term yaitu karyawan tidak memiliki kewajiban untuk tetap bekerja di organisasi selamanya dan berkomitmen untuk bekerja hingga batas waktu tertentu. Organisasi menawarkan hubungan kerja yang hanya untuk jangka waktu


(57)

41

tertentu dan tidak berkewajiban untuk menjamin karir karyawan jangka panjang. Kontrak transaksional dikarakteristikan dengan perjanjian yang bersifat moneter dengan keterlibatan karyawan yang terbatas dalam organisasi maupun hubungannya dengan individu lain di organisasi sehingga tampak perbedaan yang signifikan dengan konsep kontrak relasional.

b. Relational Contract

Relational Contract atau kontrak relasional memiliki jangka waktu yang panjang tetapi berakhirnya tidak dapat ditentukan. Jenis kontrak ini juga melibatkan faktor sosio-emosional, seperti kepercayaan, keamanan, dan loyalitas. Masing-masing pihak berharap terjadi hubungan timbale balik (reciprocal). Kontrak relasional menyangkut dua dimensi, yaitu dimensi stability dan loyalty. Stability menyangkut karyawan diwajibkan untuk bekerja pada organisasi untuk jangka waktu yang relatif lama dan melakukan hal-hal lain untuk mempertahankan pekerjaannya. Organisasi dalam hal ini menawarkan paket kompensasi yang stabil dan hubungan kerja jangka panjang. Sedangkan loyalty adalah karyawan diwajibkan untuk mendukung organisasi, menunjukkan kesetiaan dan komitmen terhadap kebutuhan dan kepentingan organisasi. Selain itu, karyawan diharapkan menjadi anggota organisasi yang baik. Organisasi


(58)

42

sebaliknya memberikan komitmen untuk menjamin kesejahteraan dan kebutuhan karyawan beserta keluarganya.

c. Balanced Contract

Balanced Contract merupakan perpaduan antara sifat dari kontrak transaksional dan relasional. Balanced contract bersifat dinamis dan open-ended yang berfokus pada keberhasilan ekonomi perusahaan dan kesempatan karyawan untuk mengembangkan karir. Baik pihak karyawan maupun perusahaan saling memberikan kontribusi dalam pembelajaran dan pengembangan. Balanced Contract terdiri dari external employability, internal advancement dan dynamic performance. External employability meliputi pengembangan karir di luar organisasi. Pada aspek ini, karyawan memiliki kewajiban untuk mengembangkan keterampilan berharga di luar organisasi. Sedangkan kewajiban organisasi yaitu meningkatkan hubungan kerja jangka panjang baik di dalam maupun di luar organisasi. Internal advancement meliputi pengembangan karir dalam pasar tenaga kerja internal. Karyawan berkewajiban untuk mengembangkan keterampilan yang dihargai oleh organisasi saat ini. Di samping itu, organisasi berkewajiban untuk menciptakan kesempatan pengembangan karir kepada para pekerja di alam perusahaan. Dynamic performance meliputi kewajiban karyawan untuk melakukan hal-hal yang baru dan membantu perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan agar


(59)

43

menjadi perusahaan yang kompetitif. Sedangkan kewajiban organisasi yaitu membantu karyawan dalam meningkatkan pembelajaran dan melaksanakan persyaratanpersyaratan kinerja.

4. Keadilan Distributif

Keadilan organisasi telah dibuktikan menjadi penyebab bagi sikap dan perilaku karyawan sehingga konsep keadilan organisasional dan konsekuensinya perlu dipahami oleh para pengelola sumber daya manusia. Karena itulah, konsep ini penting bagi organisasi yang ingin membuat kebijakan dan prosedur untuk karyawannya.

Karyawan ingin diperlakukan secara adil dalam kaitannya dengan kondisi dasar dalam bekerja. Rasa adil yang diharapkannya seperti dalam berhubungan dengan orang lain dan standar minimal pribadi atau sosial. Artinya benefit yang diterima dianggap adil atau sebanding dengan pekerjaan yang dikerjakan dan cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadi karyawan. Selaln itu, rasa adil ini juga dapat dibandingkan dengan karyawan lain baik di perusahaan yang sama rnaupun di perusahaan lain dengan level yang sama.

Kourdi (2009) menjabarkan bahwa keadilan dapat dilihat dari tiga aspek yakni physiological, economic, dan psychological dalam kaitannya dengan kondisi dasar dalam bekerja. Dalam aspek fisiologis lebih menekankan kepada kondisi lingkungan kerja yang dialami karyawan. Kondisi lingkungan kerja yang memberikan kenyamanan dan keamanan


(60)

44

akan membuat karyawan merasa kebutuhan dasarnya dalam bekerja telah terpenuhi sehingga terdapat indikasi bahwa lingkungan kerja yang diperoleh karyawan sudah adil. Dalam aspek ekonomis, lebih menekankan kepada kompensasi atas apa yang telah dilakukan karyawan. Penerapan keadilan dalam kompensasi ini dapat dilihat dari apakah karyawan merasa bahwa gaji dan tunjangan yang ia dapatkan sudah sesuai dengan hasil kerja yang ia lakukan. Jika gaji dan tunjangan yang diberikan sudah sesuai maka penerapan keadilan dalam aspek ekonomis sudah baik. Pada aspek psikologis lebih menekankan kepada perasaan karyawan tentang keadilan. Apabila karyawan telah merasa diperlakukan secara adil dan hormat di tempat kerja, maka penerapan keadilan dalam aspek psikologis sudah baik.

Keadilan dapat muncul dalam berbagai seting sosial seperti keadilan organisasi. Eisenberger et al (2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja merupakan aspek sosial yang mempengaruhi persepsi keadilan karyawan terhadap organisasi kerjanya. Persepsi keadilan terbentuk ketika karyawan merasa mendapatkan imbalan yang setimpal dengan performansi kerja yang ditampilkannya.

Teori lain tentang keadilan organisasi datang dari Folger dan Cropanzano yang mendefinisikan keadilan organisasi sebagai kondisi pekerjaan yang mengarahkan individu pada suatu keyakinan bahwa mereka diperlakukan secara adil atau tidak adil oleh organisasinya.

Menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan organisasi terdiri atas tiga bagian yaitu keadilan prosedural yang mengacu pada proses yang


(61)

45

digunakan dalam pembuatan keputusan. Kedua yaitu keadilan distributif yang mengacu pada imbalan yang dialokasikan di antara karyawan. Terakhir, keadilan interaksional yang mengacu pada hubungan antar pribadi dalam penentuan keluaran organisasi. Sama halnya dengan pendapat Cropanzano et al (2000) yang menyatakan bahwa karyawan akan mengevaluasi keadilan organisasional dalam tiga klasifikasi peristiwa berbeda, yakni hasil yang mereka terima dari organisasi (keadilan distributif), kebijakan formal atau proses dengan mana suatu pencapaian dialokasikan (keadilan prosedural), dan perlakuan yang diambil oleh pengambil keputusan antar personal dalam organisasi (keadilan interaksional). Brockner (1996) juga mengklasifikasikan keadilan organisasi menjadi tiga bentuk, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional.

Teori tentang keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil-hasil dan sumberdaya-sumberdaya organisasi kepada para anggotanya. Para peneliti umumnya mengajukan dua penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari pengaruh keadilan prosedural, yaitu: kontrol proses atau instrumental dan perhatian-perhatian relasional atau komponen struktural. Perspektif control instrumental atau proses berpendapat bahwa prosedur-prosedur yang digunakan oleh organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang terpengaruh oleh suatu keputusan memiliki


(62)

46

kesempatan-kesempatan untuk mempengaruhi proses-proses penetapan keputusan atau menawarkan masukan (Taylor dalam Pareke, 2003).

Hal ini dudukung oleh Gilliland dalam Pareke (2003) yang menyatakan bahwa perspektif komponen-komponen struktural mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah aturan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural yang ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu akan mempersepsikan adanya ketidak-adilan. Karenanya keputusan harus dibuat secara konsisten tanpa adanya bias-bias pribadi dengan melibatkan sebanyak mungkin informasi yang akurat, dengan kepentingan-kepentingan individu yang terpengaruh terwakili dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai etis mereka, dan dengan suatu hasil yang dapat dimodifikasi.

Keadilan lainnya yaitu keadilan distribusi telah berkembang untuk mengembangkan teori dalam hubungan tiap-tiap aspek dan persepsi pekerja mengenai hasil keputusan yang diambil oleh organisasi dan tanggapan mereka pada bentuk dasar keadilan distribusi ini (Thornhill dan Saunders, 2003). Persepsi keadilan distributif merupakan perbandingan dengan yang lain. Akibatnya, persepsi tentang keadilan hasil tidak hanya akan


(63)

47

berhubungan dengan ukuran absolut, tetapi juga akan berdasar pada satu ukuran atau lebih, yaitu perbandingan sosial. Hasil tersebut berkenaan dengan perbandingan atau standar dan pengaruh kekuatan perasaan maupun penilaian adil atau tidaknya hasil yang didapat (Sabbagh, 2003).

Menurut Yamagishi dalam Faturochman (2002), keadilan distributif meliputi segala bentuk distribusi di antara anggota kelompok dan pertukaran antar dua orang. Keadilan distributif yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran

Keadilan distributif merupakan suatu anggapan mengenai keadilan hasil oleh organisasi dalam hubungannya dengan individu atau input kelompok, dan keadilan ini didominasi oleh teori kesamaan (Thornhill dan Saunders, 2003), khususnya dalam hal bagaimana individu mengevaluasi dan bereaksi terhadap perlakuan yang berbeda. Keadilan distributif juga didefinisikan oleh Homans (1961) yaitu bagaimana seseorang membandingkan antara masukan dengan hasil. Sedangkan menurut Greenberg dan Baron (2003) keadilan distributif adalah persepsi seseorang terhadap keadilan atas pendistribusian sumber-sumber di antara para karyawan. Dengan kata lain, merupakan pandangan karyawan tentang pembagian imbalan di perusahaan. Kreithner dan Kinicki (2003) menyatakan bahwa keadilan distributif adalah keadilan sumberdaya dan imbalan penghargaan, mencerminkan keadaan yang dirasakan mengenai bagaimana sumberdaya dan penghargaan dialokasikan.


(64)

48

Keadilan jenis ini mengarah pada keadilan dari tingkat bawah, yang mencakup masalah penggajian, pelatihan, promosi, maupun pemecatan. Kebijakan-kebijakan ini terus menerus mengalami perubahan karena faktor misi dan prosedur yang diperbaharui. Menurut Yamagishi dalam Faturochman (2002), keadilan distributif dalam psikologi meliputi segala bentuk distribusi di antara anggota kelompok dan pertukaran antar dua orang. Keadilan distributif yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran.

Secara konseptual, keadilan distributif juga berkaitan dengan distribusi keadaan dan barang yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan individu. Kesejahteraan individu yang dimaksudkan meliputi aspek-aspek fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial. Tujuan distribusi di sini adalah kesejahteraan. Keadilan distributif mengarah pada keadilan dari tingkat bawah, yang mencakup masalah penggajian, pelatihan, promosi, maupun pemecatan. Kebijakan-kebijakan ini terus menerus mengalami perubahan karena faktor misi dan prosedur yang diperbaharui.

Keadilan distributif perusahaan dapat menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Dengan pekerjaan yang sama, reward (gaji) yang sama antara dua orang pada perusahaan yang sama maka kepuasan kerja (job

satisfication) tercapai. Selain reward yang sesuai dengan pengorbanan juga

kebijakan-kebijakan yang dapat mempengaruhi kerja dan karir mereka, kompensasi yang adil, lingkungan kerja yang kooperatif, serta jaminan


(65)

49

kesejahteraan yang baik. Harapan-harapan tersebut kemudian berkembang menjadi tuntutan yang diajukan karyawan terhadap perusahaan sebagai sesuatu yang harus dipenuhi. Dengan semakin tingginya tuntutan terhadap organisasi, maka semakin penting peran komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini mempengaruhi keputusannya untuk tetap bergabung dan memajukan perusahaan, atau memilih tempat kerja yang lebih menjanjikan (Robbins, 1998).

Para karyawan mempertimbangkan keputusan keadilan distributif ketika menerima penghargaan finansial misalnya gaji atau bonus yang diterima dari rencana pembagian keuntungan dalam pertukaran pekerjaan yang mereka lakukan, yang pada gilirannya mempengaruhi sikap mereka terhadap organisasi (Chi dan Han, 2008). Pada model ekstrinsik, ketika para karyawan merasa diperlakukan secara adil setelah berpartisipasi dalam rencana pembagian keuntungan, mereka mengalami perasaan dari keadilan distributif.

Pandangan lain mengenai keadilan distribusi mengacu pada kewajaran terhadap aktual outcome seperti beban kerja, penghasilan dan lain-lain yang diterima oleh seorang pekerja (Yusnaini, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa respon sikap dan perilaku terhadap penghasilan berkaitan dengan penghasilan yang didasarkan pada persepsi mengenai keadilan. Pendapat mengenai keadilan distributif terbentuk ketika suatu kelompok membandingkan penghasilan mereka dengan pihak lain.


(1)

Dimensi 3 –“Do I Belong?”

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Pendapat saya didengar dalam lingkungan kerja.

2. Misi dan tujuan

perusahaan membuat saya

merasa pekerjaan saya penting.

3. Rekan sejawat atau rekan

kerja saya memiliki komitmen untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas.

4. Saya mempunyai teman baik di lingkungan kerja saya .

Dimensi 4 –"How Can We All grow?" No. Pertanyaan Sangat

Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Dalam beberapa bulan terakhir seseorang menanyakan atau membicarakan tentang kemajuan saya di perusahaan.

2. Saya memiliki keuntungan

untuk belajar dan tumbuh dalam lingkungan kerja saya.


(2)

KEADILAN DISTRIBUTIF

Keadilan Distributif

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Hasil yang saya

dapatkan merefleksikan usaha yang dikerahkan pada pekerjaan saya.

2. Hasil yang saya terima sesuai dengan pekerjaan yang saya kerjakan.

3. Hasil merefleksikan kontribusi saya pada perusahaan.

4. Hasil kerja menjustifikasi kinerja saya.

KONTRAK PSIKOLOGIS

Kontrak Psikologis: Transaksional

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya melakukan pekerjaan untuk uang.

2. Saya lebih menyenangi bekerja dengan waktu kerja yang telah tegas ditentukan.

3. Menurut saya penting untuk terlibat dalam pekerjaan saya.

4. Saya dating kerja murni untuk menyelesaikan pekerjaan.

5. Kesetiaan saya pada perusahaan


(3)

perjanjian kontrak

6. Saya hanya melakukan apa yang diperlukan untuk

menyelesaikan pekerjaan saya.

7. Jalur karir saya di perusahaan ini sudah jelas tergambarkan

8. Saya bekerja untuk mencapai tujuan jangka pendek pekerjaan saya.

9. Saya termotivasi 100% pada masa depan perusahaan ini.

10. Saya

mengharapkan diberi kompensasi untuk setiap kerja lembur yang saya lakukan

Kontrak Psikologis: Relasional

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya memiliki

kesempatan yang baik untuk promosi jika saya bekerja keras.

2. Saya lakan bekerja unutk perusahaan ini selamanya

3. Saya mengharapkan promosi dengan pelayanan dan usaha yang saya kerahkan untuk mencapai tujuan.

4. Saya berharap untuk bertumbuh di


(4)

5. Saya merasa bagian dari tim dalam

perusahaan ini.

6. Saya merasa

perusahaan membalas usaha yang diberikan karyawan

KEEFEKTIVAN KERJA

Keefektivan: Kesempatan

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya merasa pekerjaan saya menantang.

2. Saya merasa ada kesempatan untuk mendapatkan keahlian dan pengetahuan pada pekerjaan saya.

3. Saya merasa pekerjaan saya menggunakan semua keahlian dan pengetahuan saya.

Keefektivan: Dukungan

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya mendapatkan informasi tentang hal yang saya butuhkan

2. Saya mendapatkan komen untuk hal yang bisa saya kembangkan

3. Saya mendapatkan nasehat yang sangat membantu dan solusi permasalahan


(5)

Keefektivan: Akses Sumber Daya

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya merasa waktu tercukupi untuk

menyelesaikan tugas.

2. Saya merasa waktu tersedia untuk

menyelesaikan keperluan pekerjaan.

3. Saya mendapatkan bantuan ketika dibutuhkan.

Keefektivan: Akses Informasi

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya mendapatkan akses informasi yang penting.

2. Saya mendapatkan nilai-nilai manajemen atas.

3. Saya mengetahui tujuan manajemen atas.

Keefektivan: Kekuatan Formal

No. Pertanyaan Sangat Setuju

Setuju Netral Tidak Setuju

Sangat Tidak Setuju

1. Saya merasa adanya penghargaan untuk inovasi.

2. Saya merasa adanya fleksibilitas pada pekerjaan saya.

3. Saya merasa adanya bentuk nyata dari aktivitas yang berkaitan dengan bekerjaan dalam perusahaan.


(6)