PEMBENTUKAN KARAKTER DI SEKOLAH. docx

TUGAS FILSAFAT ILMU
PEMBENTUKAN KARAKTER DISEKOLAH

DI SUSUN OLEH
SULASTRI
(216110101)

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
(FISIPOL)

PEMBENTUKAN KARAKTER
A. Pengertian ESQ
Pengertian EQ istilah kecerdasan emosi (EQ) baru dikenal secara luas pada
pertengahan tahun 1990 dengan diterbitnya buku Daniel Goleman : Emotional Intelligence.
Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
kita sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. Menggunakan ungkapan Howard Gardner, kecerdasan emosi
terdiri dari kecakapan, diantaranya: intrapersonal intelligence dan interpersonal intelligence.
Intraperson intelligenc merupakan kecakapan mengenali perasaan diri sendiri yang terdiri
dari: Pertama, kesadaran diri meliputi : keadaan emosi diri, penilaian pribadi dan percaya

diri. Kedua, pengaturan diri meliputi : pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada adaptif
dan inovatif. Ketiga, motivasi meliputi : dorongan prestasi, komitmen, inisiatif dan optimis.
Pengertian SQ (Spiritual Quotient) menurut Danah Zohar dan Ian Marshall adalah
kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan
diluar ego atau jiwa sadar. Pandangan lain juga dikemukakan oleh Muhammad Zuhri, bahwa
SQ adalah kecerdasan manusia yang digunakan untuk berhubungan dengan tuhan. Selama
ini, yang namanya “Kecerdasan” senantiasa dikonotasikan dengan “Kecerdasan Intelektual”
saja, atau yang lazim dikenal sebagai IQ. Namun pada saat ini, anggapan bahwa kecerdasan
manusia hanaya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak berlaku lagi. Selain IQ,
manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya, yaitu : Kecerdasan Emosional atau
EQ dan Kecerdasam Spiritual atau SQ, dalam istilah Ary Ginanjar dinamakan ESQ (Emotional
Spiritual Quotient). ESQ dalam bukunya Ary Ginanjar Agustian (Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spritual, berdasarkan 1 ihsan 6 rukun iman dan 5 rukun islam ESQ Way
165. 2005). Dalam ESQ Model adalah sofewere dari God- Spot untuk melakukan Spiritual
Engineering sekaligus sebagai mekanisme penggabungan tiga kecerdasan manusia yaitu EQ,
IQ dan SQ dalam satu kesatuan yang integral dan transedental. Artinya Model ESQ menurut
Ary Ginanjar ialah pengsinegrian antara rasionalitas dunia (EQ dan IQ) dengan akhirat (SQ),
manusia dengan
Akhir-akhir ini banyak orang mulai gelisah terhadap perilaku kehidupan masyarakat
bangsa ini. Para elitenya banyak yang korup, mulai dari tingkat pemerintah pusat sampai

pemerintah di daerah. Berbagai berita korupsi hamper menjadi sarapan pagi bagi pemirsa TV
dan pendengan radio, media cetak pun tidak ketinggalam memberitakan berbagai kasus korsi.
Hal ini menunjukkan bahwa seolah-olah tidak ada lagi yang tersisa dan bertahan yang disebut
jujur, adil, tanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi.
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip
moral, ternyata juga tidak terlepas dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah palsu, proses
pendidikan yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik yang tidaik semestinya,
bahkan terdengar ada plagiasi karya ilmiah yang dilakukan oleh seorang Doktor dan bahkan
juga Guru Besar. Ini juga menandakan bahwa betapa rusak dan memperihatinkannya karakter
bangsa ini.
Penomena yang lebih memprihatinkan lagi, adalah terjadinya kenalakan remaja
dimana-mana, tawuran antar pelajar sering terjadi, penggunaan narkoba, seks bebas, video
porno, dan berbagai perbuatan anarkis lainnya sering terjadi. Hal ini cukup membuktikan

bahwa kemerosotan moral anak bangsa ini sudah sangat parah dan menuntut adanya
pemulihan dan pencegahan yang cepat dan tanggap.
Menurut Asri Budiningsih (2004: 1) masyarakat Indonesia saat ini mengalami
perubahan tatanan yang ditandai dengan berbagai tindakan dan sikap yang muncul, berupa:
1) Makin jarang dan rendahnya kualitas, kominikasi antara orang tua dan anaknya, antara
lain akibat semakin meningkatnya jumlah orang tua yang bekerja di luar rumah untuk

memenuhi kebutuhan hidup yang semakin maju.
2) Norma dan kehidupan masyarakat yang bercirikan ketidakdisiplinan dan kesemrawutan
tatanan kehidupan yang ril serta berbagai penyimpangan nilai moral.
Berbagai tindakan amoral semakin merebak di masyarakat, bukan hanya di daerah
perkotaan tetapi juga sampai pada daerah pelosok negeri ini. Pembunuhan, perampokan,
pemerkosaan, penipuan, pengkonsumsian obat-obatan terlarang dikalangan pelajar pun sering
terjadi. Ini menggambarkan betapa hancurnya akhlak generasi muda Indonesia saat sekarang
ini.
Akhir-akhir ini terlihat bahwa hampir seluruh kehidupan sudah diwarnai oleh suasana
yang bersifat transaksional. Segala sesuatu diukur dengan uang, bahkan hingga ceramahceramah keagamaan pun tidak berjalan jika tidak tersedia dana untuk menyelenggarakannya.
Tidak terkecuali dalam bidang politik. Seorang calon pejabat mulai dari kepala desa, bupati,
wali kota, gubernur, DPRD dan DPR, sampai presiden, mereka harus menyiapkan dana
kampanye. Kenyataan seperti ini menjadikan orang berbuat sesuatu hanya bisa digerakkan
dengan kekuatan uang bukan kesadaran moral, nilai-nilai, atau dorongan fitrah yang ada pada
diri tiap manusia.
Berbagai pnomena tersebut semakin mempersulit untuk membangun karakter bangsa.
Para pahlawan terdahulu bangsa ini dikenal ramah, suka berkorban, peduli, suka bergotongroyong, dan tolong-menolong antar sesama. Budaya tersebut terkikis oleh hadirnya budaya
transaksional yang menjadikan bangsa ini mengalami perubahan yang luar biasa, dan itu
berjalan sangat cepat.
Nilai-nilai karakter bangsa yang dirindukan di tengah-tengah masyarakat bangsa ini

adalah adanya pemimpin yang mengayomi, anak yang hormat kepada guru dan orang tua,
tidak terpecah belah terkait dengan jabatan dan harta, ini seolah hal yang rasanya sudah
sangat sulit didapatkan lagi. Sifat individualisme, materialisme dan hedonisme, dalam
berbagai bentuk mewarnai kehidupan bangsa Indonesia saat ini, tidak saja di kota bahkan
hingga ke pelosok negeri ini.
Berbagai penomena kehancuran moral yang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini,
menjadikan berbagai pihak lebih-lebih dalam dunia pendidikan, merasa tergugah untuk
melakukan upaya-upaya mencari bentuk, dan usaha bagaimana mengembalikan jati diri
bangsa yang dahulu dikenal sebagai bangsa yang berakarakter. Untuk melakukan revitalisasi
pendidikan karakter bangsa, diperlukan model pendidikan karakter yang tepat.
Permasalahannya sekarang adalah, model pendidikan karakter seperti apa yang sekiranya
mampu mengembalikan karakter dasar bangsa ini yang sduah terkikis bahkan hampir habis.

B. Pendidikan Karakter Bangsa Dengan Model ESQ 165

Pendidikan pada dasarnya adalah untuk memanusiakan manusia, ini artinya pendidikan
pada hakikatnya diharapkan untuk membantu siswa bagaimana memahami dan mengenali
dirinya sendiri. Pendidikan yang dilakukan hendaknya mengarahkan siswa bagaimana
bertindak dan bersikap sesuai dengan harkat dan martabat atau sesuai dengan fitrah manusia
yang sejak dilahirkan adalah identik dengan kebaikan.

Dalam kitab suci al-qur’an terkait dengan pendidikan dijelaskan pada QS. Al-Jumu’ah
ayat 2 yang artinya:
“Dialah Tuhan yang telah mengutus kepada kamu ummi (buta huruf) seorang rasul dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, (berjuang)
mensucikan mereka, serta mengajarkan mereka kitab dan hikmah (As-Sunnah).
Sesungguhnya mereka sebelum diutusnya Muhammad benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.”
Dari paparan ayat tersebut, jelas kiranya bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah
tidak terlepas dari nilai kebenaran yang bersumber dari Allah swt, yang diwahyukan kepada
para nabi dan rasul-Nya untuk diajarkan kepada ummat manusia. Sebagaimana kita ketahui
bahwa misi dari semua nabi dan rasul adalah menyeru atau mengajak berbuat kebaikan sesuai
perintah Allah swt.
Namun yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah,
terjadinya berbagai bentuk degradasi moral, yang terjadi dalam segala segi dan semua elemen
dalam bangsa ini. Berbagai kasus korupsi, pembunuhan, kecurangan, pencabulan, tawuran
antar pelajar, pemakaianobat-obatan di kalangan siswa merupakan phenomena yang sudah
menjadi pemandangan yang tidak asing lagi pada bangsa ini, ini menandakan betapa
rusaknya karakter bangsa ini.
Menyikapi berbagai bentuk degradasi moral dan kemerosotan karakter bangsa tersebut,
diperlukan penanganan yang intensif dan efektif untuk mengatasinya. Salah satu yang

lembaga yang dapat berperan secara aktif dalam membangun karakter bangsa adalah melalui
dunia pendidikan, sehingga itu sebabnya sekarang ini digalakkan pendidikan karakter.
Untuk melakukan kegiatan pendidikan karakter bangsa, tentunya tidak semudah
membalik telapak tangan. Banyak faktor yang harus diperhatikan, baik itu faktor yang
terdapat dalam internal pendidikan itu sendiri maupun faktor yang datang dari luar
pendidikan karakter itu sendiri. Faktor yang datang dari dalam seperti pendidik yang kurang
professional, sarana-prasarana yang menunjang, materi yang harus disiapkan dan dirancang
secemikian rupa, media yang akan digunakan dll. Faktor dari luar disini seperti lingkungan
keluarga, lingkunga masyarakat, teman sebaya, media dll.
Untuk mengantisipasi berbagai tantangan yang menyebabkan dan menghalangi
terciptanya karakter bangsa, disini dapat diterapkan sebuah model yang mengedepankan
pembangunan karakter secara utuh yang tidak hanya dalam bentuk nilai angka dan hafalan,
tetapi juga dapat dirasakan. Inilah model ESQ 165 yang dirancang oleh Ary Ginanjar
Agustian, yang sumber utamanya adalah berdasarkan fitrah dan suara hati yang bersumber
dari Tuhan.
Secara sederhana model pendidikan karakter bangsa dengan model ESQ 165, ini
dilandasi nilai-nilai Ketuhanan yang bersifat universal yang bersumber pada 99 sifat Allah
swt. yang terangkum dalam sifat Asma’ul Hhusna. Keseluruhan dari sifat Allah swt, tersebut
diharapkan akan dapat dipahami dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.


Model ESQ 165 ini pertama-tama dimulai dari bagaimana mengenalkan konsep
Ketuhanan yang mutlak (spiritual), bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi ini adalah ada yang menciptakannya. Pencipta dari segala sesuatu itu adalah
Allah swt, dan kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali. Ini diharapkan akan dapat
membentuk kesadaran akan adanya keberadaan Allah swt, yang memiliki dan menetapkan
segala sesuatu yang ada. Oleh Ary Ginanjar Agustian menyebutnya sebagai God Spot.
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam model ESQ 165 adalah membangun mental
(mental building). Ini dilakukan dengan enam prinsip yang dilandasi dari rukun iman yang
enam.
1) Star principle
Prinsip ini adalah prinsip yang pertama yang harus dilakukan atau ditanamkan dalam
diri setiap orang. Pada prinsip ini diharapkan tumbuh nilai-nilai Tauhid yang dapat
menumbuhkan rasa aman dan ketenangan diri, kepercayaan diri yang tinggi, serta didukung
oleh motivasi yang tinggi dalam melakukan berbagai hal yang positif. akan tetapi
kesemuanya itu tidak akan bermakna apabila tidak didukung atau dilandasi oleh iman yang
kokoh, yang dibangun dengan prinsip dasar yang kokoh yaitu kesadaran bahwa segala
sesuatu itu hanyalah milik Allah dan kepada Allah segalanya harus diserahkan. Selanjutnya
diikuti dengan memuliakan dan menjaga sifat-sifat Allah swt pada diri manusia, dengan
selalu berzikir Laa Ilaaha Illallaah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 123).

2) Prinsip Malaikat (Angel Principle)
Prinsip ini didasari pada usaha untuk meneladani bagaimana sifat-sifat yang dimiliki
para malaikat yang mengemban tugas yang diberikan Allah swt. Salah satu sifat malaikat
yang harus dicontoh adalah integritas dan loyalitas dalam menjalankan tugas yang diemban.
Ini sangat penting dalam membangun karakter bangsa, sebab kalau integritas dan loyalitas
sudah hilang pada diri manusia, maka kehancuran akan terjadi yang disebabkan berbagai
tindakan yang tidak bertanggung jawab, seperti korupsi uang Negara, menyalahgunakan
jabatan, berbohong untuk kepentingan pribadi dan golongan, dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu akan dapat menghancurkan karakter suatu bangsa.
Menurut Ary Ginanjar Agustian pentingnya meneladani sifat malaikat ini diharapkan
akan dapat menghasilkan manusia yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang
kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan member, suka menolong dan memiliki sikap
saling percaya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140).
3) Prinsip Kepemimpinan (Leadership Principle)
Prinsip ini didasari pada tugas utama manusia diciptakan di muka bumi ini, yaitu
sebagai khalifah. Dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Tirmizi, Abu Daud,
Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah saw bersabda yang artinya “Setiap orang dari
kamu adalah pemimpin dan kamu bertanggung jawab terhadap kepemimpinan itu”.
Prinsip kepemimpinan ini sangat perlu dibangun dalam membangun karakter bangsa,
sebab kepemimpinan ini akan sangat menentukan kemajuan dan kemunduran dari suatu

bangsa. Dalam prinsip kepemimpinan ini sekurangnya ada lima tangga kepemimpinan yang

dapat diterapkan yaitu: pemimpin yang dicintai, pemimpin yang dipercaya, pemimpin yang
bisa membimbing, pemimping yang berkepribadian, dan pemimpin yang abadi.
Dari kelima tangga kepemimpinan tersebut, tangga kepemimpinan yang terakhir adalah
yang paling sempurna yaitu pemimpin yang abadi, ini dapat dicontoh dari kepemimpinan
para nabi dan rasul. Prinsip kepemimpinan ini dimaksudkan untuk memahami hakikat
pemimpin yang abadi atau pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu mencintai dan
member perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki integritas yang kuat,
sehingga dia dipercaya pengikutnya. Dapat membinbing dan mengajari yang dipimpin serta
memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten dengan tetap melaksanakan prinsip
kepemimpinannya berdasarkan suara hati yang fitrah atau suci (Ary Ginanjar Agustian, 2009:
167).
4) Prinsip Pembelajaran (Learning Principle)
Prinsip ini didasari pada perintah dari Allah swt, yaitu perintah untuk membaca yang
eksistensi pemaknaannya sangat luas. Tidak hanya membaca sesuatu yang nyata berupa
tulisan, akan tetapi membaca makna yang tersimpan dibalik segala sesuatu yang diciptakan
Allah swt. Ini ditegaskan dalam firman Allah swt dalamm surah Ar-Ruum ayat 22 yang
artinya “Dan di antara tanda-tanda (Kebesaran-Nya) ialah penciptaan langit dan bumi,
perbedaan bahasa-bahasa dan warna (kulit) kamu. Sungguh, dalam yang demikian itu, adalah

bukti bagi orang-orang yang mengetahui”.
Prinsip ini sangat penting untuk membangun bangsa yang berkarakter pembelajar yang
selalu melakukan perbaikan kearah yang lebih baik. Tujuan utama dari prinsip pembelajaran
ini adalah bagaimana membangun kebiasaan membaca buku dan membaca situasi serta
peluang dengan cermat. Berpikir kritis dan mendalam terhadap segala sesuatu baru
selanjutnya melakukan evaluasi atas tindkan dan pemikiran tersebut untuk tetap terbuka atas
kekurangan yang dimiliki agar dapat menyempurnakannya kembali, untuk kearah yang lebih
baik. Serta memiliki pedoman yang kuat dan kokoh dalam belajar dan berpikir kritis yaitu
tetap berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 197).
5) Prinsip Masa Depan (Vision Principle)
Prinsip masa depan ini merupakan tindak lanjut dari keempat prinsip sebelumnya.
Pentingnya prinsip masa depan ini adalah sebagai bentuk harapan dari apa yang ingin dicapai
dari segala yang dikerjakan. Secara umum visi yang diharapkan untuk dicapai secara idealnya
ada tiga menurut waktunya. Pertama, visi jangka panjang, ini adalah harapan yang ingin
dicapai dalam bentuk balasan kebaikan setelah kehidupan dunia; kedua, visi jangka
menengah, yaitu sesuatu yang ingin dicapai dalam kehidupan dunia dalam waktu yang
relative lama; ketiga, visi jangka pendek, yaitu sesuatu yang ingin dicapai pada jangka waktu
sesaan atau waktu yang relatif pendek.
Dari ketiga visi tersebut semuanya saling terkait, dan akan menjadi sempurna sebuah
visi apabila ketiga visi tersebut dapat dicapai dan dipadukan. Kedudukan visi yang jelas

dalam kehidupan ini diharapkan akan dapat mengarahkan manusia agar selalu berorientasi
pada tujuan akhir dari setiap langkah yang dibuat atau direncanakan dengan mengoftimalkan
setiap langkah dengan secara sungguh-sungguh, serta menyakini akan adanya hari kemudian
(yaumul akhir) sehingga tetap memiliki kendali diri dan social, memiliki kepastian akan masa

depan dan ketengangan batin yang tinggi (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 140). Yaitu iklhas
atas segala yang dicapai dengan tetap berperasangka baik kepada Allah swt, karena Allah lah
yang mengetahui segala sesuatu yang baik bagi hamba-Nya.
Terkait visi kehidupan jangka, dalam hal ini Allah swt berfirman dalam QS. Al-An’am:
135, yang artinya: “Katakanlah, hai kaumku! Berbuatlah menurut kehendakmu! Sungguh,
aku pun akan melakukan (kehendakku). Nanti kamu akan mengetahui, siapa (diantara Kita)
yang (paling baik) tempat kediamannya pada akhirnya. Sungguh, orang zalim tidak akan
mendapat kejayaan”.
6) Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle)
Prinsip keteraturan ini didasari pada prinsip keteraturan dari segala ciptaan Allah swt,
seperti yang dijelaskan dalam (QS. Al-Qamar: 49) yang artinya “Sungguh, telah Kami
ciptakan segala sesuatu dengan ukuran”. Dalam ayat yang lain (QS. Al-Furqan: 2) dijelaskan
“Diciptakan-Nya segala sesuatu, dan ditetapkan-Nya ukuran yang tepat”. Ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa Allah swt menciptakan alam semesta beserta ketetapan atau aturan yang
sudah ditetapkan. Contohnya: bagaimana bumi dan planet-planet yang lainnya berputar
mengelilingi matahari, semuanya beredar sesuai ketentuan dan aturan yang jelas, seandainya
salah satu dari planet yang menyimpang maka dunia ini akan hancur. Begitulah Allah
menunjukkan sifat keteraturan dari ciptaan-Nya bagi manusia yang mau mengkajinya.
Tujuan inti dari prinsip keteraturan ini adalah bagaimana manusia memiliki ketenangan
jiwa dan keyakinan dalam berusaha, yang didukung oleh pengetahuan akan kepastian alam
dan hukum social. Berusaha memahami akan arti penting dari sebuah proses yang harus
dilalui, dengan tetap berorientasi pada pembentukan system (sinergi), dan selalu berupaya
menjaga system yang telah dibentuk (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 239).
Setelah menerapkan enam prinsip tersebut, diharapkan akan terbentuk mental manusia
yang tangguh dan kokoh, yang selalu berfikir positif terhadap segala sesuatu yang terjadi baik
yang sesuai dengan yang diharapkan ataupun yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Berpikir positif ini sangat penting dalam membangun karakter yang tangguh serta
berpandangan jauh ke depan. Seorang filsuf kuno Marcus Aurelius mengatakan “Galilah ke
dalam diri anda. Di dalamnya akan terdapat sumber segala kebaikan. Galilah terus, maka
anda akan mendapatkan sumber yang mengalir tanpa pernah kering” (Norman Vincent Pale,
2007: 10).
Setelah membahas tahap pertama atau yang disebut dengan penjernihan emosi (zero
mind process) yang dilanjutkan tahap pembangunan mental (mental building), tahap
selanjutnya yang dikembangkan dalam membangun karakter moled ESQ 165 adalah
melakukan pembangunan ketangguhan pribadi (Personal strength) dan ketangguhan social
(Social strength). Atau yang sering disebut dengan lima langkah.
Pembangunan ketangguhan pribadi ini meliputi tiga langkah yang saling berhubungan.
Langkah-tersebut yaitu:

1) Penetapan Misi (Mission statement)

Penetapan misi ini sangatlah penting, ini sebagai pondasi yang sangat mendasar dalam
melakukan segala sesuatu. Dalam penetapan misi ini, tentu tidak terlepas dari visi yang
hendak dicapai. Misi yang dikembangkan dalam pendidikan karakter model ESQ 165 adalah
pernyataan Syahadat yaitu Tiada Tuhan Selain Allah yang Maha kuasa atas segala sesuatu.
Dengan meyakini adanya Tuhan yang Maha Kuasa, maka manusia akan selalu sadar
bahwa segala yang dilakukan tidak lepas dari Tuhannya, yang kepada-Nya akan kembali
segala sesuatu dan pasti akan diberikan balasannya. Penetapan misi syahadat ini diharapkan
akan dapat membangun sebuah keyakinan dalam bertindak. Syahadat diharapkan akan selalu
menjadi pendorong dalam upaya mencapai suatu tujuan. Syahadat juga diharapkan akan
dapat membangkitkan keberanian serta optimism, sekaligus menciptakan ketenangan batin
dalam menjalankan misi hidup yang diamanahkan Allah swt kepada umat manusia (Ary
Ginanjar Agustian, 2009: 277).
2) Pembangunan Karakter (Caharacter building)
Pembangunan karakter ini dilandasi pada ibadah shalat, dimana dalam shalat itu
terdapat banyak pelajaran. Dapat membangun karakter yang tangguh, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits bahwa “shalat itu adalah tiang agama” “shalat itu dapat mencegah dari
perbuatan keji dan munkar”. Ini menunjukkan bahwa membangun karakter itu harus
disinergikan dengan ibadah shalat, karena shalat hakikatnya menggabungkan nilai spiritual
dan emosional dalam satu wadah.
Pada hakikatnya shalat merupakan metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar
tetap memiliki cara berpikir yang jernih, yang terbebas dari berbagai urusan keduniaan.
Shalat juga merupakan suatu langkah membangun kekuatan afirmasi. Shalat merupakan
metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara teratur dan terusmenerus. Shalat sebagai wadah untuk terus menerus mengasah dan mempertajam ESQ yang
diperoleh dari rukun iman (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 307).
3) Pengendalian Diri (Self Control)
Pengendalian diri ini, dalam model ESQ 165 ini didasarkan pada ibadah puasa. Selama
ini puasa sering dimaknai sebatas menahan diri dari makan dan minum. Akan tetapi makna
puasa sesungguhnya adalah menahan diri dari segala yang bertentangan dengan fitrah
manusia. Yaitu segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat-sifat kebaikan yang
dipancarkan dari Allah swt yang tidak terbatas pada perbuatan fisik akan tetapi juga
menyangkut batin atau emosional.
Pengendalian diri dengan mengambil pelajaran dari berpuasa ini diharapkan akan dapat
dijadikan sebagai metode pelatihan untuk pengendalian diri, dengan tujuan untuk meraih
kemerdekaan sejati, dan pembebasan dari belenggu yang tidak terkendali yaitu hawa nafsu
yang berlebihan, sehingga dapat tetap menjaga asset kita yang paling berharga, yaitu suara
hati Ilahiah, dan tujuan hidup yang sesungguhnya (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 326) yaitu
mengabdi hanya kepada Allah swt, sebagaimana ditegaskan dalam Firmannya bahwa “tiada
diciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya”.
Pembangunan ketangguhan social (Social strength) dalam model ESQ 165, ini meliputi
dua langkah, yaitu:
4) Strategi Colaboration Sinergi

Strategi kolaborasi ini pada model ESQ 165 didasarkan pada konsep mengeluarkan
zakat. Selama ini zakat hanya dimaknakan sebatas memberikan bantuan materi kepada orang
lain yang membutuhkan. Padahal ada yang lebih penting dari itu, yaitu bagaimana manusia
mau mengeluarkan fitrah yang ada pada dirinya untuk melakukan sesuatu dengan penuh
kesadaran dan tanpa pamrih.
Strategi kolaborasi ini sangat penting dalam membangun karakter bangsa, Karena kita
tahu bahwa manusia itu adalah makhluk social yang tidak bisa lepas sepenuhnya dari peran
orang lain. Kolaborasi diharapkan akan dapat saling mengisi dan berbagi atas apa yang kita
miliki atau kemampuan yang kita bisa lakukan.
Strategi kolaborasi yang disinergikan dengan zakat ini dimaknai sebagai sebuah
langkah nyata untuk mengeluarkan pontensi spiritual (fitrah) yang kita miliki menjadi sebuah
langkah atau tindakan kongkrit untuk membangun sinergi yang kuat, yang berlandaskan pada
sikap empati, kepercayaan, sikap kooperatif, keterbukaan dan kredibilitas (Ary Ginanjar
Agustian, 2009: 369).
5) Aplikasi Total (Total Action)
Aplikasi total dalam model ESQ 165 ini didasari pada ibadah haji, yang dilakukan saat
musim haji sebagai sebuah ritual yang hanya bisa dilakukan di satu tempat yaitu di makkah
sebagai tempat berdirinya ka’bah. Dalam ibadah haji tersebut banyak kegiatan yang harus
dilakukan, yant tentunya mengandung nilai ibadah.
Dalam ibadah haji sinergi yang terjadi tidak hanya antar manusia atau antar Negara,
namun juga antara manusia dengan sang pencipta yaitu Allah swt, dimana saat melakukan
thawaf ia “berdiri” di tengah sebagai pemimpin segenap suara hati manusia yang fitrah (Ary
Ginanjar Agustian, 2009: 372).
Total aksi yang tigambarkan dalam ibadah haji juga mengarahkan bagaimana manusia
mengenal dirinya, siapa dan bagaimana dia sebenarnya dan kemana akan kembalinya, ini
sebagai bentuk evaluasi diri seperti yang digambarkan saat melakukan wukuf atau berdiam
diri. Selain itu, haji juga memberikan pelajaran pada manusia bagaimana menghadapi
tantangan yang ada dalam diri, ini dilambangka saat melakukan lontar jumrah.
Dengan melakukan aplikasi total yang dilambangkan dengan ibadah haji, diharapkan
dapat dijadikan sebagai suatu sarana transpormasi prinsip dan langkah secara total (tawaf)
yang konsisten dan menunjukkan persistensi perjuangan (sa’i), dan kemudian melakukan
evaluasi dan visualisasi serta mengenal jati diri secara spiritual ketika wukuf. Selain itu, haji
juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala yang tertinggi, dan haji merupakan
persiapan fisik serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan ini tercermin
pada saal lontar jumrah (Ary Ginanjar Agustian, 2009: 393).
Penerapan model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa dengan
menerapkan satu hati, enam prinsip dan lima langkah secara total, pembangunan karakter
bangsa akan menjadi lebih mudah. Mengingat dalam model ESQ 165 ini mekolaborasikan
antara kecerdasan emosinal dan kecerdasan spiritual yang memiliki kekuatan yang sangat
luarbiasa dalam membangun karakter sebuah bangsa.

C. Metode Pendidikan Karakter Bangsa Model ESQ 165

Mengingat akan hakikat dari pendidikan yaitu menuju kepada kebaikan, maka langkah
atau metode yang ditempuh juga harus sesuai dengan fitrah manusia. Artinya, bahwa metode
pendidikan yang diterapkan harus berupa metode yang bersifat manusiawi, artinya metode
tersebut sesuai dengan tuntunan agama dan ajaran para rasul. Seperti yang dilakukan
Rasulullah saw, dalam menyampaikan materi pendidikan kepada para sahabat, beliau selalu
menggunakan metode yang mudah diterima oleh para sahabat dan pesan yang disampaikan
pun mudah diingat dan dipahami.
Mengenai metode pedidikan yang diterapkan Rasulullah saw, Abdul Fattah Abu
Ghuddah mencoba mengemukakan 40 metode pendidikan dan pengajaran Rasulullah saw,
yang dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi saat melakukan
kegiatan pembelajaran, diantaranya adalah: metode keteladanan, penyesuaian dengan
kompetensi siswa, metode analogi, dialogis, pertanyaan dan pujian, motivasi dan ultimatum,
cerita, nasihat dan peringatan dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter ini meliputi semua aspek dan semua bidang strudi bisa
dimasukinya dengan tidak mesti menjadi mata pelajaran tersendiri. Ini memungkinkan
pendidikan karakter itu dilakukan dengan metode komprehensif yang secara langsung
diintegrasikan ke dalam semua bidang studi atau mata pelajaran secara langsung. Kesadaran
akan perlunya digunakan pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter ini diharapkan
akan dapat menghasilkan lulusan yang mampu membuat keputusan moral dan sekaligus
memiliki perilaku yang terpuji berkat pembiasaan terus-menerus dalam proses pendidikan
(Darmiyati Zuchdi, 2009:45).
Pendidikan karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai bidang studi
dapat memberikan penga laman yang bermakna bagi murid-murid karena mereka memahami,
mengin ternalisasi, dan mengaktualisasikannya melalui poses pembelajaran. Dengan
demikian, nilai-nilai tersebut dapat terserap secara alami lewat kegiatan sehari-hari
(Darmiyati Zuchdi Zuhdan Kun Prasetya& Muhsinatun Siasah Masruri, 2010: 3).
Harapan dari pendidikan karakter dengan metode terintegrasi secara langsung, siswa
diharapkan akan dapat lebih memaknai hakikat dari karakter yang yang muncul dari apa yang
dipelajari, sehingga siswa tidak hanya memiliki kemampuan tingkat kognitif saja, akan tetapi
juga memiliki kemampuan secara emosional dan juga spiritual, yang sering disebut dengan
istilah kecerdasan ESQ oleh Ary Gynanjar Agustian.
Dari segi metode, pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter ini meliputi
inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan
keterampilan (skill building) (Darmiyati Zuchdi, 2009:46). Untuk lebih jelasnya keempat
komponen pendekatan inkulkasi tersebut dalam penerapannya di sekolah dijelaskan sebagai
berikut:
1) Inkulkasi (inculcation)
Inkulkasi (penanaman) nilai-nilai atau karakter yang dilakukan dengan cirri-ciri sebagai
berikut:
a. Mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya.
b. Memperlakukan orang lain secara adil.
c. Mengharapkan pandangan orang lain.

d. Mengemukakan keraguan-keraguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan alasan,
dan dengan rasa hormat.
e. Tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyapian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan penyampaian
nilai-nilai yang tidak dikehendaki.
f. Menciptakan pengalaman social dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki
secara tidak ekstrim.
g. Membuat aturan, memberikan penghargaan dan memberikan konsekuensi diertai alas
an.
h. Tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju.
i. Memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada
tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
Metode inkulkasi ini merupakan kebalikan atau lawan dari metode indoktrinasi.
2) Keteladanan
Dalam pendidikan karakter, metode keteladanan adalah metode yang mutlak
diterapkan. Untuk menerapkan metode ini, ada dua syarat yang harus diperhatikan yaitu: 1)
guru harus berperan sebagai model yang baik bagi siswanya. 2) siswa harus bersedia
meneladaniorang terkenal atau para tokoh yang berakhlak mulia, seperti para Nabi dan rasul,
para ulama, dan guru yang berakhlak mulia. Ini harapannya adalah agar siswa benar-benar
dapat merasakan bagaimana karakter yang sesungguhnya yang tidak cukup hanya diketahui,
tetapi juga harus dirasakan yang disebut oleh Lincona sebagai kemampuan moral feeling.
3) Fasilitasi (facilitation)
Setelah metode inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada siswa cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, maka fasilitasi disini adalah berperan bagaimana
melatih siswa mengatasi masalah-masalah tersebut. Inti dari metode ini adalah bagaimana
memberikan kesempatan kepada siswa. Menurut Krischenbaum (1995: 41), kegiatan yang
dilakukan siswa dalam metode fasilitasi ini berdampak positif terhadap perkembangan
kepribadian karena hal-hal sebagai berikut:
a. Kegiatan fasilitasi secara signifikan dapat meningkatkan hubungan pendidikndan
siswa. Artinya pendidikn dan siswa dapat saling menghargai, ketika pendidik
menghargai siswa maka siswa pun akan menghargai pendidik.
b. Membantu siswa memperjelas pemahaman, ini artinya siswa mempunyai kesempatan
untuk memperjelas kembali apa yang belum jelas atau yang belum diketahuinya.
c. Membantu siswa yang sudah menerima satu nilai, tetapi belum mengamalkannya secara
konsisten, meningkat dari pemahaman secara intelektual ke komitmen untuk bertindak.
Tindakan moral memerlukan tidak hanya pengetahuan, tetapi juga perasaan, maksud
dan kemauan.
d. Membantu siswa berpikir lebih jauh tentang nilai yang dipelajari, menemukan wawasan
sendiri, belajar dari teman-temannya, yang telah menerima nilai-nilai yang diajarkan,
dan akhirnya menyadari kebaikan hal-hal yang disampaikan oleh pendidik.
e. Fasilitasi menyebabkan pendidik lebih dapat memahami pikirandan perasaan siswa.

f. Memotivasi siswa menghubungkan persoalan nilai dengan kehidupan, kepercayaan,
dan perasaan mereka sendiri. Dengan melibatkan kepribadian siswa, maka
pembelajaran akan menjadi lebih menarik.
4) Pengembangan keterampilan akademik dan sosial
Dalam mengamalkan nilai-nilai karakter yang telah dipelajari dan diketahui, ada
beberapa hal yang diperlukan sehingga bisa berprilaku konstruktif dan bermoral dalam
masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain berpikir kritis, berpikir kreatif, berkomunikasi
secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi konflik.
Dari paparan metode pendidikan karakter tersebut, terlihat bahwa pendidikan karakter
yang dilakukan dengan pendekatan komprehensif ini dapat lebih efektif untuk pendidikan
karakter bangsa dengan model ESQ 165, karena dapat menjangkau semua aspek yang
menjadi sasaran dari pendidikan karakter, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor, yang
oleh Lickona disebut sebagai (moral knowing, moral feeling, & moral action), dan Ary
Ginanjar Agustian menggabungkannya dalam istilah ESQ 165, yaitu satu Ihsan, enam rukun
iman dan lima rukun islam.
Ketika pendidikan karakter bangsa sudah dapat menggabungkan atau memadukan
ketiga aspek tersebut, maka itu baru dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter bangsa
sudah dapat memenuhi tuntutan kebutuhan, terutama dalam usaha menagkal dan
menghilangkan dampak degradasi moral yang disebabkan oleh berbagai faktor yang tidak
terkontrol, seperti sikap, tatacara berpakaian, kebiasaan berkata kasar, suka berbuat kerusakan
dll. Menjadi sikap dan dan pandangan hidup yang positif, yang selalu mengarah pada
perbaikan untuk masa yang akan datang dengan visi dan misi yang jelas serta langkah dan
landasan yang kuat yaitu Ihsan, Iman dan Islam yang akrab disebut dengan 165.
D. Peran Pendidik Dalam Model ESQ 165
Kata pendidik berasal dari kata dasar didik, yang artinya memelihara, merawat dan
memberi latihan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang diharapkan (tentang
sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya) (Ramayulis & Samsul Nizar, 2009: 138).
Istilah pendidik dalam Islam adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak didik (Ahmad Tafsir, 2008: 74).
Mustami’uddin Ibrahim menyatakan bahwa. “Pendidik pada hakekatnya ialah seorang
yang bertanggung jawab untuk mengajarkan atau menyampaikan ilmu dan memberikan
bimbingan secara sadar terhadap perkembangan kepribadian dan kemampuan peserta didik
baik itu dari aspek jasmani maupun rohaninya agar ia mampu hidup mandiri dan dapat
memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah swt, sebagai makhluk individu dan juga sebagai
makhluk sosial.” (Usman. 2010: 145-146).
Daari paparan definisi pendidik tersebut, dapat diketahui bahwa seorang yang disebut
pendidik adalah orang yang memiliki kemampuan untuk merancang program pembelajaran,
serta mampu menata dan mengelola kelas agar siswa dapat belajar, dan pada akhirnya akan
dapat mencapai tingkat kedewasaan sebagai tujuan akhir dari proses pendidikan. Dalam
melaksanakan tugasnya, seorang pendidik juga harus memiliki integritas dalam melakukan
segala sesuatu yang akan diajarkan, tidak terbatas pada ruang kelas saja.

Integritas seorang pendidik yang melekat padanya, tentu tidak terlepas dari pengamatan
keseharian siswa. Ini Artinya, bahwa siswa secara tidak langsung akan mengevaluasi akhlak
mulia pendidiknya yang didasarkan pada bagaimana cara seorang pendidik memperlakukan
siswa dalam proses pembelajaran. Secara tidak langsung dalam proses pembelajaran, siswa
mengetahui bagaimana seorang pendidik dapat melayani sebagai teladan dengan mengajar
karakter dan nilai-nilai moral (akhlak mulia), seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa
hormat, dan tanggung jawab (Dimyati, 2010: 85). Untuk lebih jelasnya mengenai keteladanan
yang diberikan guru kepada siswa dalam proses pendidikan akhlak mulia, berikut dijelaskan
secara lebih detail.
Kejujuran, seorang pendidik harus bisa menunjukkan akhlak kejujuran dengan
menyatakan sebuah kebenaran dan bertindak dengan cara-cara yang terhormat dan terpuji
(Akhlakul mahmudah). Dengan berusaha berkata jujur, dan tidak suka berbuat kebohongan,
tentu ini akan menjadi sebuah akhlak mulia yang diharapkan akan dapat ditiru oleh siswa dan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga secara tidak langsung dengan akhlak
kejujuran, seorang pendidik sudah mendidik siswanya untuk berakhlak mulia yaitu berbuat
jujur dalam segala aspek kehidupan.
Kepercayaan, seorang pendidik harus bisa menanamkan dalam dirinya untuk dapat
memberikan kepercayaan terhadap orang lain yang berkembang setiap kali orang tersebut
memenuhi janji dan komitmennya. Dalam hal ini seorang pendidik harus berusaha
memberikan kepercayaan kepada siswa bahwa mereka bisa berkarya dan mengembangkan
kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian siswa diharapkan akan mempunyai rasa percaya
diri bahwa mereka mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan didukung oleh
sekolah dalam hal ini pendidik.
Keadilan, ini berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat
belajar apakah mendapat perlakuan diskriminasi atau perlakuan secara tidak adil dari seorang
pendidik. Seorang pendidik harus bisa berlaku adil terhadap semua siswanya dengan tidak
mendiskriminasikan salah satu diantara siswa. Pendidik yang adil percaya pada kemampuan
masing-masing siswa untuk belajar, dan mendorong setiap siswa untuk mencapai pada
tingkat kemungkingan tertinggi. Dengan adanya perlakuan yang adil terhadap semua siswa
ini akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan oftimisme untuk bisa berhasil dalam
belajar sama dengan teman-temannya yang lain, yang akhirnya akan menghilangkan
kesenjangan diantara sesama siswa dalam berprestasi.
Hormat, seorang pendidik dalam proses pembelajaran harus bisa menunjukkan rasa
hormat terhadap semua warga sekolah, baik terhadap sesama pendidik juga terhadap semua
siswanya, dengan tanpa memandang suku, ras, gender, status sosial dan ekonomi,
karakteristik individu dan kemampuan. Menurut Noddings (Dimyati. 2010: 93)
menganjurkan agar pendidikan moral (akhlak) didasarkan pada pendidik dan pendidik harus
menunjukkan kepedulian dan menyadari bahwa siswa adalah individu yang unik. Ini artinya,
kalau pendidik mengharapkan siswanya berakhlak mulia, maka hendaknya pendidik itu yang
terlebih dahulu menerapkan akhlak mulia yang akan diajarkan pada siswa, sehingga dengan
demikian, siswa akan dapat belajar akhlak mulia dari pendidik secara tidak langsung antara
lain yaitu dengan meniru atau dari hasil pengamatan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung jawab, sebagai seorang pendidik merupakan tugas yang mulia, sekaligus
menuntut tanggung jawab yang besar terhadap orang tua, masyarakat, bangsa dan agama.

Dalam pembelajaran seorang pendidik harus bertindak secara professional. Misalnya saat
pendidik menciptakan dan mempertahankan suasana dan lingkungan belajar yang positif dan
fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, maka ini dapat
dikatakan bahwa seorang pendidik itu bisa bertanggung jawab.
Selain memiliki intergritas, seorang pendidik dalam melaksanakan tugas harus tetap
mengedepankan sikap profesional. Ahmad Tafsir (2008: 108-112) mengemukakan sepuluh
kriteria yang harus ada sehingga bisa disebut bidang profesi, yaitu:
a. Profesi harus memiliki keahlian yang khusus.
b. Profesi harus diambil sebagai pemenuhan panggilan hidup.
c. Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal.
d. Profesi adalah untuk masyarakat, bukan untuk diri sendiri.
e. Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif.
f. Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya.
g. Profesi hendaknya mempunyai kode etik.
h. Profesi harus mempunyai klien yang jelas.
i. Profesi memerlukan organisasi profesi.
j. Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.
Dari kesepuluh kriteria yang disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa seorang guru
yang profesional dalam melaksanakan tugasnya, harus menyadari bahwa tugas yang
diembannya itu merupakan tuntutan yang harus dikerjakan sesuai dengan bidang ahlinya,
serta dengan tidak berhenti untuk terus mengembangkan profesinya tersebut, yang akan
menunjang pencapaian pendidikan yang diharapkan terhadap siswa dengan penuh tanggung
jawab.
Bentuk tanggung jawab seorang pendidik dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan
kepadnya, harus memiliki sipat yang diteladankan Rasulullah saw yaitu shiddik, amanah,
tabliq, dan fathonah. Ini artinya bahwa pendidik itu tidak hanya cerdas secara inteligensi,
akan tetapi juga harus cerdas secara emosional dan spiritual. Ini lah yang dibutuhkan dalam
menerapkan model ESQ 165 dalam rangka membangun karakter bangsa.
E. Evaluasi Pendidikan Model ESQ 165
Dalam dunia pendidikan, setelah melalukan kegiatan pembelajaran, langkah
selanjutnya adalah mengetahui hasil dari kegiatan pembelajarn yang sudah dilakukan inilah
yang disebut dengan evaluasi. Evaluas dapat diartikan sebagai penetapan baik dan buruk,
memadai-kurang memadai (judgement), terhadap sesuatu berdasarkan kriteria tertentu yang
disepakati sebelumnya dan dapat dipertanggungjawabkan (Muhaimin. 2004: 187).
Selama ini evaluasi pendidikan yang dilakukan di sekolah cenderung hanya
memperhatikan aspek kognitif saja yang identik dengan IQ, sementara aspek EQ dan SQ,
jarang sekali disentuh. Sehingga ini menjadi salah satu factor yang menyebabkan terjadinya
degradasi moral atau karakter bangsa Indonesia sekarang ini.
Adapun evaluasi yang diharapkan dalam pendidikan karakter bangsa mencakup ketiga
aspek inteligensi yaitu IQ, EQ, dan SQ. ini diharapkan akan dapat memberikan informasi
hasil pendidikan yang secara utuh tidak terpisah dari satu aspek dengan aspek yang lain.

Evaluasi semacam ini sangat cocok dengan model ESQ 165, dalam upaya membangun
karakter bangsa yang secara utuh.
Dari penyusunan diatas penyusun metarik kesimpulan bahwa: Pendidikan karakter
bangsa model ESQ 165 adalah model pendidikan yang memadukan antara kecerdasan
emosional dan spiritual menjadi satu kesatuan yang dilandasi atas dasar nilai-nilai Ketuhanan
yang rangkum dalam 1 ihsan, 6 rukun iman, dan 5 rukun Islam.
Model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter bangsa melalui dunia pendidikan
adalah metode ini di terapkan dengan model terintegrasi dalam semua bidang studi atau mata
pelajaran. Dengan menggunakan metode komprehensip.
Evaluasi yang diterapkan dalam model ESQ 165 dalam upaya membangun karakter
bangsa melalui dunia pendidikan, adalah evaluasi yang mencakup tiga aspek kecerdasan yaitu
IQ, EQ, dan SQ. Penerapan model ini diharapkan akan akan dapat memberikan informasi
hasil belajar yang secara utuh yang bersifat komprehensif.