Pengaruh Karakteristik Dan Kadar Debu Ambien Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Penyapu Jalan Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Pencemaran Udara

2.1.1. Definisi Pencemaran Udara
Udara merupakan campuran mekanis dari bermacam – macam gas. Komposisi
normal udara terdiri atas gas nitrogen 78,1%, oksigen 20,93%, dan karbondioksida
0,03%, sementara selebihnya berupa gas argon, neon, krypton, xenon, dan helium.
Udara juga mengandung uap air, debu, bakteri, spora, dan sisa tumbuh – tumbuhan
(Chandra, 2007).
Polusi atau pencemaran udara adalah dimasukkannya komponen lain

ke

dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung maupun
akibat proses alam sehingga kualitas udara turun sampai ketingkatan tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
peruntukannya. Setiap substansi yang bukan merupakan bagian dari komposisi udara

normal disebut sebagai polutan (Chandra, 2007).
Definisi pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun
1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, nergi, dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya
tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat
berfungsi lagi sesuai peruntukannya (Wijoyo, 2004).

2.1.2. Komponen dan Jenis Pencemaran Udara
Berdasarkan terbentuknya, pencemaran udara dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1.

Pencemaran udara primer, yaitu komponen pencemar yang mencakup 90% dari
jumlah komponen pencemar udara seluruhnya. Bentuk dan komposisinya sama
dengan ketika dipancarkan. Antara lain; polutan gas (senyawa karbon, sulfur,
nitrogen, halogen dan partikel).

2.


Pencemaran udara sekunder, yaitu pencemaran yang terbentuk karena berbagai
bahan pencemar yang bereaksi satu sama lain sehingga menghasilkan jenis
pencemaran baru yang justru lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini dapat
terjadi secara otomatis ataupun dengan batuan katalisator seperti sinar matahari
(Nugroho, 2005).
Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:

1.

Faktor internal yang terjadi secara alamiah, contohnya:
a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin.
b. Abu/debu yang dikeluarkan akibat letusan gunung berupa termasuk gas-gas
vulkanik,
c. Proses pembusukan sampah organik.
d. Kebakaran hutan.

2.

Faktor eksternal karena ulah manusia, contohnya:
a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil

b. Debu dan gas-gas akibat aktivitas industri (Nugroho, 2005).

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari
satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk
terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan. Kecepatan penyebaran
ini tentu akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi setempat
(Wardhana, 2004).

2.2. Partikulat
Partikulat adalah pencemar udara yang berbentuk padatan dan droplet cairan
yang terdapat dalam jumlah yang tinggi di udara. Sifat fisik yang penting adalah
ukurannya yang berkisar antara diameter 0,0002 mikron sampai sekitar 500 mikron
(Fardiaz, 1992).
Sejalan dengan hal tersebut Alfiyah (2009) menyatakan bahwa partikulat
adalah substansi yang berada dalam atmosfer pada kondisi normal berukuran lebih
besar daripada molekul, tetapi lebih kecil dari 500 mikron. Partikulat di udara tidak
hanya dihasilkan dari emisi langsung berupa partikulat, tetapi juga dari emisi gas –
gas tertentu yang mengalami kondensasi dan membentuk partikulat, sehingga ada
partikulat primer dan sekunder. Partikulat primer adalah partikel yang langsung
diemisikan berbentuk partikulat, sedangkan partikel sekunder adalah partikel yang

terbentuk di atmosfer.
Menurut Pudjiastuti, dkk (1998) debu terdiri atas partikel – partikel yang
dibedakan menjadi 3 jenis :

1.

Dust
Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang submikroskopik sampai dengan
yang besar. Debu yang berbahaya adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam
sistem pernafasan, umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat
terhirup ke dalam paru-paru.

2.

Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi oleh karena kondensasi dari
bentuk gas, biasanya sesudah penguapan benda padat yang dipijarkan dan lainlain dan biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-zat
seperti logam (Cadmium) dan timbal (Plumbum).

3.


Smoke
Smoke atau uap adalah partikel yang merupakan hasil dari proses pembakaran
bahan organik yang tidak sempurna, distilasi atau reaksi kimia yang berukuran
sekitar 0,5 mikron

2.2.1. Partikel Debu
Debu adalah partikel zat padat dengan ukuran 0,1 hingga 100 mikron yang
disebabkan oleh kekuatan alamiah atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran,
pelembutan, pengepakan dan lain-lain dari bahan-bahan organik maupun anorganik,
misalnya batu, kayu, bijih logam, arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya
(Suma’mur, 1988). Menurut WHO (1996) ukuran debu partikel yang membahayakan
adalah ukuran 0,1 sampai ukuran 10 mikron. Sejalan dengan hal tersebut, Depkes
mengisyaratkan bahwa ukuran debu yang membahayakan berkisar 0,1 sampai 10

mikron. Partikel debu dapat mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi
pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker paru-paru (Pudjiastuti, 2002).
Pada saat orang menarik napas, udara yang mengandung partikel akan
terhirup ke dalam paru-paru. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru
akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang

berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran pernapasan bagian atas,
sedangkan partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran
pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron,
akan masuk ke dalam kantung udara pari-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang
lebih kecil lagi, kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat napas dihembuskan
(Wardhana, 2001).
2.2.2. Sifat – Sifat Debu
Adapun sifat – sifat debu menurut Fardiaz (1992) adalah :
1.

Mengendap
Debu cenderung mengendap karena gaya tarik bumi, namun karena ukurannya
yang relatif kecil berada di udara debu yang mengendap dapat mengandung
proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.

2.

Permukaan cenderung selalu bersih
Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena permukaannya
yang selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi sangat

penting sebagai upaya pengendalian debu di tempat kerja.

3.

Menggumpal
Debu bersifat menggumpal karena disebabkan permukaan debu yang selalu
basah sehingga debu menempel antara satu dengan lainnya dan membentuk
gumpalan.

4.

Listrik statis (elektrostatis)
Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lainnya yang berlawanan.
Adanya partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses
penggumpalan.

5.

Opsis
Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan

sinar yang dapat terlihat pada kamar gelap. Menurut sifatnya, partikel dapat
menimbulkan rangsangan saluran pernapasan, kematian karena bersifat racun,
alergi, fibrosis, dan penyakit demam (Agusnar, 2008).

2.2.3. Mekanisme Pengendapan Partikel Debu di Paru – Paru
Mekanisme pengendapan partikel debu ke dalam sitem pernapasan manusia di
dalam paru – paru berlangsung dengan berbagai cara antara lain (Pope, 2003) :
1.

Inertial / Kelambanan
Dengan adanya inertia / kelambanan debu yang bergerak, maka partikel debu
yang memiliki massa akan tetap bergerak lurus dan tidak mengikuti aliran udara
yang membelok ketika memasuki saluran pernapasan manusia yang tidak lurus.
Akibatnya partikel debu yang lebih besar tidak akan membelok mengikuti aliran
udara, tetapi akan mengendap pada tempat yang berlekuk pada saluran

pernapasan sedangkan partikel debu yang kecil masuk ke dalam saluran
pernapasan yang lebih dalam.
2.


Sedimentasi
Mekanisme sedimentasi terhadap debu terjadi khususnya dalam bronchi dan
bronchioli. Karena kecepatan arus udara sangat kurang (kurang dari satu
cm/detik) pada bronchi dan bronchioli, maka partikel mengendap karena
mengalami gaya berat pada saluran pernapasan.

3.

Gerakan Brown
Mekanisme gerakan brown terjadi pada partikel yang berukuran kurang dari 0,1
mikron. Partikel resebut akan mengendap pada permukaan alveoli melalui
gerakan udara.

4.

Electrostatic
Hal ini terjadi karena saluran pernapasan dilapisi mucus, yang merupakan
konduktor yang baik secara elektrostatis.

5.


Interseption
Terjadi pengendapan yang berhubungan dengan sifat fisik partikel berupa ukuran
partikel untuk mengetahui dimana terjadi pengendapan. Partikel >5 mikron akan
tertahan dihidung dan jalan napas bagian atas, 3-5 mikron tertahan di bagian
tengah jalan napas dan 1-3 mikron akan menempel di alveoli (Pudjiastusi, 2002).

2.2.4. Faktor yang Memengaruhi terjadinya Pengendapan Partikel Debu di
Paru – paru
Tidak semua partikel debu yang terinhalasi akan mengalami pengendapan di
paru. Faktor pengendapan debu di paru dipengaruhi oleh pertahanan tubuh dan
karakterisrik itu sendiri. Karakteristik dimaksud meliputi jenis partikel debu, ukuran
partikel debu, konsentrasi partikel dan lama paparan, pertahanan tubuh.
a. Jenis Debu
Jenis debu terkait daya larut sifat kimianya. Adanya perbedaan daya larut dan
sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya juga akan berbeda pula.
Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.
Suma’mur (2013) mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik
dan anorganik.
b. Ukuran Partikel Debu

Tidak semua partikel debu dalam udara yang terinhalasi akan mencapai paru.
Partikel yang berukuran besar pada umumnya telah tersaring di hidung. Partikel
dengan diameter 0,5 - 6 μ yang disebut partikel terhisap yang dapat mencapai alveoli.
Partikel berdiameter 0,5 - 6 μ dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan
terjadinya pnemokoniosis (Suma’mur, 2013).
Menurut Pope (2003), partikel debu yang berdiameter < 10 μ yang disebut
coarse particle atau PM10 merupakan indikator yang baik tentang adanya kelainan
saluran pernafasan, karena adanya hubungan yang kuat antara gejala penyakit saluran
pernafasan dengan kadar partikel debu di udara.

c. Konsentrasi Pertikel Debu dan Lama Paparan
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
paparan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin banyak.
Setiap inhalasi 500 partikel per millimeter kubik udara, setiap alveoli paling sedikit
menerima 1 partikel dan apabila konsentrasi mencapai 1000 partikel per millimeter
kubik, maka 10% dari jumlah tersebut akan tertimbun di paru.
Konsentrasi yang melebihi 5000 partikel per millimeter kubik sering
dihubungkan

dengan

terjadinya

pneumoconiosis

(Mangkunegoro,

2003).

Pneumokoniosis akibat debu akan timbul setelah penderita mengalami kontak lama
dengan debu. Jarang ditemui kelainan bila paparan kurang dari 10 tahun. Dengan
demikian lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan
fungsi paru (Yunus, 2006).
d. Pertahanan Tubuh terhadap Paparan Partikel Debu yang Terinhalasi
Beberapa orang yang mengalami paparan debu yang sama baik jenis maupun
ukuran partikel. Konsentrasi maupun lamanya paparan berlangsung, tidak selalu
menunjukkan akibat yang sama. Sebagian ada yang mengalami gangguan paru berat,
namun ada yang ringan bahkan mungkin ada yang tidak mengalami gangguan sama
sekali.
Hal ini diperkirakan berhubungan dengan perbedaan kemampuan sistem
pertahanan tubuh terhadap paparan partikel debu terinhalasi. Menurut Miller (1989)
dalam Mangkunegoro (2003) dilakukan dengan cara yaitu:

1) Secara mekanik yaitu: pertahanan yang dilakukan dengan menyaring partikel
yang ikut terinhalasi bersama udara dan masuk saluran pernafasan. Penyaringan
berlangsung dihidung, nasofaring dan saluran nafas bagian bawah yaitu bronkus
dan bronkiolus. Di hidung penyaringan dilakukan oleh bulu-bulu silia yang
terdapat di lubang hidung, sedangkan di bronkus dilakukan reseptor yang
terdapat pada otot polos dapat berkonstraksi apabila ada iritasi. Apabila
rangsangan yang terjadi berlebihan, maka tubuh akan memberikan reaksi berupa
bersin atau batuk yang dapat mengeluarkan benda asing termasuk partikel debu
dari saluran nafas bagian atas maupun bronkus.
2) Secara kimia yaitu cairan dan silia dalam saluran nafas secara fisik dapat
memindahkan partikel yang melekat di saluran nafas, dengan gerakan silia yang
“mucociliary escalator” ke laring. Cairan tersebut bersifat detoksikasi dan
bakterisid. Pada paru bagian perifer terjadi ekskresi cairan secara terusmenerus
dan perlahan-lahan dari bronkus ke alveoli melalui limfatik. Selanjutnya
makrofag alveolar menfagosit partikel yang ada di permukaan alveoli.
3) Secara imunitas, melalui proses biokimiawi yaitu humoral dan seluler. Ketiga
sistem tersebut saling berkait dan berkoordinasi dengan baik sehingga partikel
yang terinhalasi disaring berdasarkan pengendapan kemudian terjadi mekanisme
rekasi atau perpindahan partikel.

2.3. Anatomi dan Fisiologi Pernapasan
2.3.1. Anatomi Pernapasan
Anatomi saluran pernafasan (Mukono, 2006) terdiri dari:
a. Hidung
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolis dilapisi oleh membran
mukosa bersilia. Udara yang masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat
dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
mukosa. Udara inspirasi akan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga dalam
keadaan normal, jika udara tersebut mencapai pharing, dapat dikatakan hampir
“bebas debu” yang bersuhu sama dengan suhu tubuh.
b. Pharing
Pharing atau tenggorokan berada dibelakang mulut dan rongga nasal dibagi
dalam tiga bagian yaitu nasofaring, oropharing dan laringopharing. Pharing
merupakan saluran penghubung ke saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
Normalnya bila makanan masuk melalui oropharing, epiglotis akan menutup secara
otomatis sehingga aspirasi tidak terjadi. Tonsil merupakan pertahanan tubuh terhadap
benda-benda asing (organisme) yang masuk ke hidung dan pharing.
c. Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot
dan disini didapatkan pita suara dan epiglotis. Glotis merupakan pemisah antara
saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Kalau ada benda asing masuk sampai

melewati glotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu mengeluarkan
benda atau sekret dari saluran pernafasan bagian bawah.
d. Trachea
Terletak di bagian depan esophagus, dari mulai bagian bawah krikoid
kartilago laring dan berakhir setinggi vertebra thorakal 4 atau 5. Trachea bercabang
menjadi bronchus kanan dan kiri. Tempat percabangannya disebut karina yang terdiri
dari 6 – 10 cincin kartilago.
e. Bronkhus
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang-cabang menjadi segmen
lobus, kemudian menjadi segmen brokus. Percabangan ini diteruskan sampai cabang
terkecil bronkiolus terminalis yang tidak mengandung alveolus, bergaris tengah
sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan yang dikelilingi otot polos.
f. Bronchiolus
Anderson (1999) mengatakan bahwa diluar bronkiolus terminalis terdapat
asinus sebagai unit fungsional paru yang merupakan tempat pertukaran gas, asinus
tersebut terdiri bronkiolus respirasi yang mempunyai alveoli. Duktus alveolaris yang
seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan alveolus terminal, merupakan struktur akhir
paru-paru.
g. Paru-paru
Setiap paru berisi sekitar tiga ratus juta alveolus dengan luas permukaan total
seluas sebuah lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein yang disebut
surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan resistensi terdapat

pengembangan pada waktu inspirasi serta mencegah kolapsnya alveolus pada waktu
respirasi.
2.3.2. Fisiologi Pernapasan
Rahajoe (1994)) menyatakan bahwa salah satu fungsi utama paru adalah
sebagai alat pernafasan yaitu melakukan pertukaran udara (ventilasi), yang bertujuan
menghirup masuknya udara dari alveolus ke luar tubuh (ekspirasi). Pernafasan dapat
berarti pengangkutan oksigen ke sel dan pengangkutan CO2 dari sel kembali ke
atmosfer. Proses ini menurut Guyton (2007) dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu:
a. Pertukaran udara paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara ke dan dari
alveoli. Alveoli yang sudah mengembang tidak dapat mengempis penuh karena
masih adanya udara yang tersisa didalam alveoli yang tidak dapat dikeluarkan
walaupun dengan ekspirasi kuat. Volume udara yang tersisa ini disebut volume
residu. Volume ini penting karena menyediakan O2 dalam alveoli untuk
menghasilkan darah.
b. Difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah.
c. Pengangkutan O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh menuju ke dan dari selsel.
d. Regulasi pertukaran udara dan aspek-aspek lain pernapasan.
Menurut Rahajoe (1994), dari aspek fisiologi, ada dua macam pernapasan
yaitu:
a. Pernapasan luar (eksternal respiration) yang berlangsung di paru, aktivitas
utamanya adalah pertukaran udara.

b. Pernapasan dalam (internal respiration) yang aktivitas utamanya adalah
pertukaran gas pada metabolisme energi yang terjadi dalam sel.
Sebagai organ pernafasan, dalam melakukan tugasnya, paru dibantu oleh
sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pusat. Sistem kardiovaskuler selain mensuplai
darah bagi paru (perfusi), juga dipakai sebagai media transportasi O2 dan CO2,
sistem saraf pusat berperan sebagai pengendaliirama dan pola pernapasan.

2.4.

Sistem dan Mekanisme Pernapasan

2.4.1. Sistem Pernapasan
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru – paru adalah hidung, faring,
laring trakea, bronkus, bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus
dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung,
udara akan disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama mukosa inspirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan
bersel goblet (Price dan Wilson, 1994).
Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga
toraks atau dada. Kedua paru saling terpisah oleh mediastum sentral yang di
dalamnya terdapat jantung dan pembuluh darah besar. Setiap paru terdapat apeks dan
basis. Jika arteri pulmonalis dan darah arteria bronkialis, bronkus, saraf, dan
pembuluh limfe masuk ke setiap paru menunjukkan telah terjadi gangguan paru, yaitu
terbentuknya hilus berupa akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri dan dibagi

3 lobus oleh fistrus interlobaris, sedangkan paru - paru kiri terbagi menjadi 2 lobus
(Price dan Wilson, 1994).
Respirasi mempunyai dua sistem invervasi (pernapasan), yakni:
a.

Sistem saraf motorik, yang ditujukan pada diafragma dan otot-otot respirasi.

b.

Sistem saraf otonom, terutama sistem saraf simpatik dan parasimpatik, dimana
bertindak terutama sebagai aferen dari reseptor yang menuju ke pusat respirasi
simpatik, dan parasimpatik juga memegang peranan penting dalam pembuluh
darah arteriola yang terdapat di paru.

2.4.2. Mekanisme Pernapasan
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam
keadaan tertidur sekalipun, karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan saraf
otonom. Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu pernapasan luar dan pernapasan dalam. Pernapasan luar adalah
pertukaran udara yang terjadi antara udara dalam alveolus dengan darah dalam
kapiler. Pernapasan dalam adalah pernapasan yang terjadi antara darah dalam kapiler
dengan sel – sel tubuh. Masuk keluarnya udara dalam paru – paru dipengaruhi oleh
perbedaan tekanan udara dalam rongga dada dengan tekanan udara di luar tubuh. Jika
tekanan udara di rongga dada lebih kecil, maka udara akan masuk. Sebaliknya,
apabila tekanan udara dalam rongga dada lebih besar, maka udara akan keluar.
Sehubungan dengan organ yang terlibat dalam pemasukan udara (inspirasi)
dan pengeluaran udara (ekspirasi) maka mekanisme pernapasan dibedakan menjadi
dua macam, yaitu pernapasan dada dan pernapasan perut.

1.

Pernapasan Dada
Pernapasan dada adalah pernapasan yang melibatkan otot antartulang rusuk.
Mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut :
a.

Fase inspirasi
Fase ini berupa berkontraksinya otot antartulang rusuk sehingga rongga dada
mengembang. Pengembangan rongga dada menyebabkan volume paru –
paru juga mengembang akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih
kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk.

b.

Fase ekspirasi
Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antartulang rusuk ke
posisi semula yang diikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada
menjadi kecil. Rongga dada yang mengecil menyebabkan volume paru –
paru juga mengecil sehingga tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih
besar daripada tekanan luar. Hal tersebut menyebabkan tekanan dalam
rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar.

2.

Pernapasan Perut
Pernapasan perut merupakan pernapasan yang mekanismenya melibatkan
aktifitas otot – otot diafragma yang membatasi rongga perut dan rongga dada.
Mekanisme pernapasan perut dapat dibedakan menjadi dua fase, yakni :
a.

Fase inspirasi
Fase inspirasi merupakan kontraksi otot diafragma sehingga mengembang,
akibatnya paru – paru ikut mengembang. Hal tersebut menyebabkan rongga

dada membesar dan tekanan udara di dalam paru – paru lebih kecil daripada
tekanan udara di luar sehingga udara luar dapat masuk ke dalam paru - paru.
b.

Fase ekspirasi
Fase ekspirasi merupakan fase relaksasi otot diafragma (kembali ke posisi
semula) sehingga rongga dada mengecil dan tekanan udara di dalam paru –
paru lebih besar daripada tekanan udara luar, akibatnya udara keluar dari
paru – paru.

2.5. Volume dan Kapasitas Vital Paru
2.5.1. Volume Paru
Volume paru berubah saat pernapasan berlangsung. Saat inspirasi
mengembang dan saat ekspirasi akan mengempis. Keadaan normal, pernapasan
terjadi secara pasif dan tanpa disadari (WHO,1993). Volume paru terdiri empat jenis
volume yang bila semuanya dijumlahkan sama dengan volume maksimal paru yang
mengembang. Adapun arti dari masing – masing volume tersebut menurut Guyton
(2007) adalah :
1.

Volume Tidal
Volume tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi setiap kali
bernapas normal, besarnya kira – kira 500 mililiter pada laki-laki dewasa.

2.

Volume Cadangan Inspirasi
Volume cadangan inspirasi adalah volume udara ekstra yang dapat diinspirasi
setelah dan di atas volume tidal normal bila dilakukan inspirasi kuat; biasanya
mencapai 3000 mililiter.

3.

Volume Cadangan Ekspirasi
Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara ekstra maksimal yang dapat
diekspirasi melalui ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi tidal normal; jumlah
normalnya adalah sekitar 1100 mililiter.

4.

Volume Residu
Volume residu adalah volume udara yang masih tetap berada dalam paru setelah
ekspirasi paling kuat; volume ini besarnya kira – kira 1200 mililiter.

2.5.2. Kapasitas Paru
Dalam penguraian peristiwa – peristiwa dalam sirkulasi paru, kadang –
kadang diperlukan untuk menyatukan dua volume atau lebih. Kombinasi seperti itu
disebut sebagai kapasitas paru. Menurut Guyton (2007), kapasitas paru dapat
diuraikan sebagai berikut :
1.

Kapasitas Inspirasi
Kapasitas inspirasi adalah jumlah udara (kira – kira 3500 mililiter) yang dapat
dihirup oleh seseorang, dimulai pada tingkat inspirasi normal dan pengembangan
paru sampai jumlah maksimum. Nilai kapasitas ini merupakan hasil dari
penjumlahan nilai volume tidal (VT) dengan volume cadangan inspirasi (IRV).

2.

Kapasitas Residu Fungsional
Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang tersisa dalam paru pada
akhir ekspirasi normal (kira - kira 2300 mililiter). Nilai kapasitas ini merupakan
hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah (ERV).

3.

Kapasitas Vital
Kapasitas vital adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan
seseorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimum dan
kemudian mengeluarkan sebanyak – banyaknya (kira – kira 4600 mililiter).

4.

Kapasitas Paru Total
Kapasitas paru total adalah volume maksimum yang dapat mengembangkan paru
sebesar mungkin dengan inspirasi sekuat mungkin (kira – kira 5800 mililiter);
jumlah ini sama dengan kapasitas vital ditambah volume residu.

2.6.

Pengukuran Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat dianjurkan bagi tenaga kerja, yaitu menggunakan

spirometer dengan alasan bahwa spirometer lebih mudah digunakan, biaya murah,
ringan, praktis, bias dibawa kemana – mana, tidak memerlukan tempat khusus, cukup
sensitif, akurasinya tinggi, tidak invasif dan cukup member sejumlah informasi
handal. Dengan pemeriksaan spirometri dapat diketahui semua volume paru kecuali
volume residu, semua kapasitas paru kecuali paru yang mengandung komponen
volume residu. Dengan demikian dapat diketahui gangguan fungsional ventilasi paru
dengan jenis gangguan digolongkan menjadi 2 bagian, yaitu :

a.

Gangguan faal paru obstruktif, yaitu hambatan pada aliran udara yang ditandai
dengan penurunan pada FEV dan VC.

b.

Gangguan faal paru restriktif, adalah hambatan pada pengembangan paru yang
ditandai dengan penurunan pada VC, RV dan TLC (Suma’mur, 2013).

2.7. Pemeriksaan Kapasitas Paru
Dari berbagi pemeriksaan faal paru, yang sering dilakukan adalah:
a.

Vital Capacity (VC)
Kapasitas vital adalah volume udara maksimal yang dapat dihembuskan setelah
inspirasi yang maksimal. Ada 2 macam vital capacity berdasarkan cara
pengukurannya, yaitu:
1) Vital Capacity (VC), disini subyek tidak perlu melakukan aktivitas
pernapasan dengan kekuatan penuh
2) Forced Vital Capacity (FVC). Pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan
maksimal.
Mukono (2006) mengatakan bahwa pada orang normal tidak ada perbedaan
antara FVC dan VC, sedangkan pada keadaan kelainan obstruksi terdapat
berbedaan antara VC dan FVC. Vital Capacity (VC) merupakan refleksi dari
kemampuan elastisitas atau jaringan paru atau kekakuan pergerakan dinding
toraks. Vital Capacity (VC) yang menurun merupakan kekuatan jaringan paru
atau dinding toraks, sehingga dapat dikatakan pemenuhan (compliance) paru atau

dinding toraks mempunyai korelasi dengan penurunan VC. Pada kelainan
obstruksi ringan VC hanya mengalami penurunan sedikit atau mungkin normal.
b.

Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV)
Forced Expiratory adalah besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam satu
detik pertama. Lama ekspirasi orang normal berkisar antara 4-5 detik dan pada
detik pertama orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan sebesar 80%
dari nilai VC. Fase detik pertama ini dikatakan lebih penting dari fase-fase
selanjutnya. Adanya obstruksi pernapasan didasarkan atas besarnya volume pada
detik pertama tersebut. Interpretasi tidak didasarkan nilai absolutnya tetapi pada
perbandingan dengan FVC-nya. Bila FEV/FVC kurang dari 75% berarti tidak
normal.
Penyakit obstruktif seperti bronchitis kronik atau emfisema terjadi pengurangan
FEV lebih besar dibandingkan kapasitas vital (kapasitas vital mungkin normal)
sehingga rasio FEV/FVC kurang 75%.

c.

Peak Expiratory Flow Rate (PEFR)
PEFR adalah flow/ aliran udara maksimal yang dihasilkan oleh sejumlah volume
tertentu. Maka PEFR dapat menggambarkan keadaan saluran pernapasan, apabila
PEFR menurun berarti ada hambatan aliran udara pada saluran pernapasan.
Pengukuran

dapat

Pneumotachograf.

dilakukan

dengan

Mini

peak

Flow

Meter

atau

2.8. Gangguan Kapasitas Paru
Selain menilai kondisi organ paru, diagnosis penyakit paru perlu dalam
menentukan kondisi kapasitas dan fungsionalnya. Dengan mengetahui kapasitas paru,
maka beberapa tindakan medis yang akan dilakukan pada penderita tersebut dapat
diramalkan keberhasilannya. Oleh karena itu pemeriksaan faal paru sekarang ini
dikategorikan sebagai pemeriksaan rutin.
1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun
Beberapa penyakit paru yang jelas secara anatomi, memberikan tanda
kesulitan pernapasan yang mirip, yaitu terbatasnya jalan udara yang kronis, terutama
bertambahnya resistensi terhadap jalan udara saat respirasi. Yang terpenting dalam
gangguan ini adalah bronchitis kronis dan terutama bronkeolitis dengan terlihatnya
cabang-cabang kecil berdiameter kurang dari 2 mm dan emfisema, ditandai dengan
pembesaran rongga-rongga udara di bagian distal dari bronkiolis terminalis dan
kerusakan pada septa alveoli.
Penyakit asma biasanya ditandai dengan obstruksi spasmodik jalan udara,
tetapi kadang – kadang menyebabkan penyempitan jalan udara yang terus – menerus
pada keadaan seperti asmatis bronchitis kronik. Keadaan klinik penyakit dari kedua
saluran udara yang besar maupun yang kecil berperan dalam terjadinya PPOM. Perlu
ditekankan kembali bahwa bronkitis sendiri untuk beberapa saat dapat tanpa
menyebabkan disfungsi ventilasi, tetapi dapat menyebabkan batuk prominem dan
dahak yang produktif, bila terjadi sesak nafas hipoksemia dan hiperkapnia.
Oksigenisasi tidak adekuat dari darah dan dapat menimbulkan sianosis.

2. Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai salah satu pelebaran normal dari ruang-ruang
udara paru disertai dengan destruksi dari dindingnya, beberapa ahli memperluas
definisi ini memasukkan pelebaran ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai
destruksi dari dindingnya. Beberapa jenis emfisema adalah sebagai berikut:
a. Emfisema Sentrilobular
Emfisema sentrilobular termasuk kelainan pada asinus proksimal (bronchiolitis
respiratoric), namun bila progresif dilatasi dan destrukasi dari dinding distal
alveoli juga akan terjadi. Secara khas perubahan akan lebih sering atau lebih
berat di bagian atas dari pada di bagian zone lobus, bentuk emfisema ini adalah
penyakit yang paling dominan pada perokok.
b. Emfisema Panasinar
Emfisema panasinar terjadi pelebaran alveoli yang progresif dan duktus alveoli,
serta hilangnya dinding batas antara duktus alveoli dan alveoli. Dengan
progresvitas dan destruksi dari dinding alveoli ini, ada simplifitas dari struktur
paru. Bila proses menjadi difus, biasanya lebih jelas tandanya pada lobus
bawah, bentuk emfesema ini lebih sering terjadi pada wanita dewasa, walaupun
perokok dapat menyebabkan bentuk dari emfisema ini. Namun hubungan
tersebut tidak sesering pada emfisema sentrilobuler.
c. Emfisema Parasepta atau Sub Pleura
Emfisema parasepta biasanya terbatas pada zona sub pleura dan sepanjang septa
interlobaris, yang ditandai dengan keterlibatan kadang-kadang duktus alveoli.

Bentuk ini biasanya terbatas eksistensinya, karena ini hanya menyebabkan
dampak yang kecil pada fungsi pernapasan.
3. Penyakit Paru Restriktif
Penyakit paru interstisial merupakan istilah generik untuk semua penyakit
terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai dengan
peradangan interstisial terutama yang mengenai septa - septa, sel imunokompeten
yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyebab
kerusakan.
Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis
dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernapasan dan
mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh darah halus
menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan
kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru menjadi
berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan. Dengan
demikian penyakit paru restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan
mengurangi kapasitas vital dan kapasitas paru.

2.9. Faktor – faktor Resiko Pekerja terhadap Gangguan Kapasitas Paru
Menurut Widodo (2007) dalam Hasty (2011), Nilai KVP merupakan suatu
gambaran dari fungsi sistem pernafasan. Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara
bertahap dan bersifat kronis sehingga frekuensi lama seseorang bekerja pada
lingkungan tempat kerja yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat pada

diri pekerja (karakteristik pekerja) merupakan hal utama yang berhubungan dengan
KVP . Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
1) Lingkungan Tempat Kerja
Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun 1970
dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau
terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki
pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber-sumber bahaya.
Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran partikelnya, daya larut,
konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta bentuk dari debu itu sendiri. Pada
dasarnya tingkat kelarutan debu pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam
debu larut dan dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu
tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel tersebut dapat masuk
ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi debu, maka semakin besar pula
kemungkinan menimbulkan keracunan maupun gangguan terhadap paru (Faridawati,
1995).
2) Karakteristik Pekerja
Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja pada
pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya. Karakteristik pekerja
merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang akan berdampak pada hasil kerja
dan dalam hal ini kesehatan individu itu sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang
termasuk kedalam karakteristik pekerja yang berhubungan dengan KVP adalah:

a.

Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya gangguan fungsi

paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam
tubuh. Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi
penurunan fungsi paru terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk
serta faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP dapat terjadi
setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat setelah usia 40 tahun. Faal
paru sejak masa kanak-kanak bertambah volumenya dan akan mencapai nilai
maksimum pada usia 19 sampai 21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan
terus menurun sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007).
Adapun menurut Meita (2012) menyatakan bahwa secara fisiologis dengan
bertambahnya umur maka kemampuan organ-organ tubuh akan mengalami
penurunan secara alamiah, termasuk dalam hal ini adalah gangguan fungsi paru.
Terjadi penurunan fungsi paru setelah usia 30 tahun, dimana setiap tahun luas
permukaan paru akan berkurang 4%. Umur merupakan variabel yang penting dalam
hal terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin bertambahnya umur, terutama disertai
dengan kondisi lingkungan yang buruk serta kemungkinan terkena suatu penyakit,
maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru dapat terjadi lebih besar.

Tabel 2.1. Nilai Standar KVP
Usia
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31-35
36-40
41-45
46-50
51-55
56-60
61-65
Sumber: Koesyanto, 2005

Laki-Laki
700
850
1070
1300
1500
1700
1950
2200
2540
2900
3250
3600
3900
4100
4200
4300
4320
4320
4300
4280
4250
4220
4200
4180
4150
4120
4100
3900
3800
3600
3410
3240
3100
2970

Perempuan
600
800
980
1150
1350
1550
1740
1950
2150
2350
2480
2700
2700
2750
2800
2800
2800
2800
2800
2790
2780
2770
2760
2740
2720
2710
2700
2640
2520
2390
2250
2160
2060
1960

b.

Masa Kerja
Semakin lama seseorang bekerja di tempat kerja yang berdebu, maka

kemungkinan partikel debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru
akan semakin besar sebagai akibat dari menghirup debu tersebut sehari – hari ketika
sedang bekerja. Debu yang menumpuk dan menimbun di dalam paru – paru tersebut
dapat memicu gangguan kesehatan pada paru – paru tersebut. Masa bekerja selama
bertahun – tahun dapat memperparah kondisi kesehatan saluran pernapasan pekerja
tersebut karena frekuensi yang sering terpapar oleh partikel debu setiap harinya
(Suma’mur, 2013). Menurut Morgan dan Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang
dibutuhkan seseorang yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP
kurang lebih 10 tahun.
c.

Lama Kerja
Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang terpapar debu

dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan yang diterima oleh seorang
pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja tergantung pada lamanya paparan serta
konsentrasi debu lingkungan kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu
lama mungkin tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP
dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat (Budiono, 2007).
d.

Kebiasaan Merokok
Tembakau sebagai bahan baku rokok mengandung bahan toksik dan dapat

memengaruhi kondisi kesehatan karena lebih dari 2000 zat kimia dan diantaranya
sebanyak 1200 sebagai bahan beracun bagi kesehatan manusia. Dampak merokok

terhadap kesehatan paru – paru dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran nafas dan jaringan paru – paru. Pada jaringan paru – paru terjadi peningkatan
jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran nafas
pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru – paru dengan segala macam
gejala klinisnya (Khumaidah, 2009).
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan kerja seorang perokok
memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi maka maka dapat menyebabkan
gangguan fungsi paru yang ditandai dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan
FEV1). Debu yang tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan
jaringan paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan
mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun
adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk
perokok aktif (Anshar, 2005).
e.

Status Gizi
Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi seseorang.

Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan
respon imunologis terhadap penyakit dan keracunan. Status gizi buruk akan
menyebabkan daya tahan tubuh seseorang akan menurun, sehingga dengan
menurunnya daya tahan tubuh, seseorang akan mudah terinfeksi oleh mikroba.
Berkaitan dengan infeksi saluran nafas apabila terjadi secara berulang-ulang dan
disertai batuk berdahak, akan dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronis. Salah

satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan imunitas dan anti bodi sehingga
seseorang mudah terserang infeksi seperti batuk, pilek, diare dan berkurangnya
kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu
yang masuk ke dalam tubuh.
Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk bekerja akan
diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan yang terus menerus akan
menyebabkan susunan fisiologis terganggu. Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis
seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan
KVP yang pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.
Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu
IMT = BB (kg)
TB2 (m)
BB = Berat badan dalam satuan kg
TB = Tinggi badan dalam satuan meter
IMT= Indeks massa tubuh dalam satuan kg/m2
Tabel 2.2. Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia

Kurus
Normal
Gemuk

Kategori IMT
Kekurangan BB tingkat berat
Kekurangan BB tingkat rendah

Kelebihan BB tingkat ringan
Kelebihan BB tingkat berat
Sumber : Supariasa, 2001

IMT
< 17
17.0-18.5
>18.5-25.00
25.00-27.00
>27.0

f.

Penggunaan Masker
Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu

memerlukan alat pelindung diri (APD) berupa masker untuk mereduksi jumlah
partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker berguna untuk melindungi
masuknya debu atau partikel-partikel yang lebih besar ke dalam saluran pernafasan.
Masker dapat terbuat dari kain dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan
debu yang dapat terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan
akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sembiring (1999) dalam Khumidah,
(2009) bahwa penggunaan masker dengan ukuran 3-5 µ dapat menurunkan kadar
debu yang masuk ke paru-paru pekerja hingga 87,6%. Alat pelindung pernafasan
(masker) menurut fungsinya dibedakan menjadi dua yaitu, Air Purfying Respirator
dan Air Supplied Respirator. Air Purfying Respirator berfungsi untuk melindungi
pemakaian dari pemaparan melalui inhalasi saluran pernafasan, dipakai terutama bila
paparan kadar bahan toksik di dalam ruang kerja rendah. Air Supplied Respirator
berfungsi untuk melindungi pemakainya dari pemaparan bahan-bahan yang sangat
toksik atau dari bahaya kekurangan oksigen.
Yeung, dkk, (1999) dalam Khumaidah, (2009), APD yang tepat bagi tenaga
kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi
adalah :

a. Masker
Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar
yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran
pori-pori tertentu.
b. Respirator
Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap,
logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi:
1) Respirator pemurni udara
Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyarap kontaminan
dengan toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan. Alat
pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara (gambar 1)
atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut (gambar 2.2).
2) Respirator penyalur udara
Membersihkan aliran udara yang tidak terkontaminasi secara terus menerus.
Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang
tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi
udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self
Contained Breathing Apparatus) atau alat pernapasan mandiri. Digunakan
untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen. Alat
ini dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.1. Alat Pelindung Pernafasan
Sumber: Budiono (2002), Bunga Rampai HIPERKES & KK
Pemakaian masker oleh pekerja industri yang udaranya banyak mengandung
debu, merupakan upaya mengurangi masuknya partikel debu kedalam saluran
pernapasan. Dengan mengenakan masker, diharapkan pekerja melindungi dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernapasan akibat terpapar udara yang kadar
debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan
masker, seorang pekerja di industri akan terhindar dari kemungkinan terjadinya
gangguan pernapasan.
Banyak faktor yang menentukan tingkat perlindungan dari penggunaan
masker, antara lain adalah jenis dan karakteristik debu, serta kemampuan menyaring
dari masker yang digunakan. Kebiasaan menggunakan masker yang baik merupakan
cara aman bagi pekerja yang berada di lingkungan kerja berdebu untuk melindungi
kesehatan.

Cara-cara pemilihan APD harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi
beberapa kriteria yang diperlukan antara lain:
a. APD harus memberikan perlindungan yang baik terhadap bahaya yang
dihadapi tenaga kerja
b. APD harus memenuhi standar yang telah ditetapkan
c. APD tidak menimbulkan bahaya tambahan yang lain bagi pemakainannya
yang dikarenakan bentuk atau bahannya yang tidak tepat atau salah
penggunaan
d. APD harus tahan untuk jangka pemakaian yang cukup lama dan bersifat
fleksibel.
g. Riwayat Penyakit
Kondisi kesehatan saluran pernapasan dapat mempengaruhi Kapasitas Vital
Paru seseorang. Kekuatan otot – otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. Nilai
kapasitas paru otomatis akan berkurang pada penyakit paru – paru, penyakit jantung
(yang menimbulkan kongesti paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price,
1995). Selain itu juga,adanya riwayat pekerjaan yang berinteraksi dengan debu akan
mengakibatkan penyakit seperti pneumonokiosis (Suma’mur, 2009).
Keluhan kesehatan saluran pernafasan dapat berupa batuk, batuk berdarah,
sesak nafas, nyeri dada dan sakit tenggorokan.

1.

Batuk
Batuk merupakan upaya pertahanan paru terhadap berbagai rangsangan yang

ada. Batuk adalah refleks normal yang melindungi tubuh kita. Tentu saja bila batuk
itu berlebihan, ia akan terasa amat menganggu. Penelitian menunjukkan bahwa pada
penderita batuk kronik didapat 628 sampai 761 kali batuk/hari. Penderita TB paru
jumlah batuknya sekitar 327 kali/hari dan penderita influenza bahkan sampai 154,4
kali/hari. Batuk dapat terjadi akibat berbagai penyakit/proses yang merangsang
reseptor batuk. Selain itu, batuk juga dapat terjadi pada keadaan – keadaan
psikogenik tertentu (Aditama, 1993).
2.

Batuk darah
Batuk berdarah adalah batuk yang disertai darah. Jika darahnya sedikit dan

tipis kemungkinan adalah luka lecet dari saluran napas, karena batuk yang terlalu
kuat. Batuk berdarah dengan darah yang tipis dan sedikit bisa terjadi pada penderita
maag kronis dimana maag penderita mengalami luka akibat asam lambung yang
berlebih. Batuk berdarah dengan jumlah darah yang banyak biasanya terjadi pada
penderita TB paru (tuberkulosis paru) yang sudah lama dan tidak diobati. Batuk
berdarah pada penderita TBC merupakan suatu hal gawat darurat (emergency) karena
dapat menyebabkan kematian dan harus mendapatkan pertolongan yang cepat.
Pengobatan batuk berdahak adalah memberikan antibiotik, dicari penyebabnya jika
karena TBC maka harus diberikan obat TBC, diberikan obat penekan batuk
(Rahmadani, 2007).

3.

Sesak napas
Sesak napas merupakan gejala klinis dari gangguan pada saluran pernapasan.

Sesak napas bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan manifestasi dari penyakit
yang menyerang saluran pernapasan. Penyakit yang bisa menyebabkan sesak napas
sangat banyak sekali mulai dari infeksi, alergi, inflamasi bahkan keganasan. Hal – hal
yang bisa menyebabkan sesak napas antara lain :
1. Faktor psikis
2. Peningkatan kerja pernapasan
a. Peningkatan

ventilasi

(latihan

jasmani,

hiperkapnia,

asidosis

metabolik).
b. Sifat fisik yang berubah (tahanan elastis paru meningkat, tahanan
elastis dinding paru meningkat, peningkatan tahanan bronchial).
3. Otot pernapasan yang abnormal
a. Penyakit otot (kelemahan otot, kelumpuhan otot, distrofi).
b. Fungsi mekanis otot berkurang.
Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika
ruang fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran
gas antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat
sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah
sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis di
saluran pernapasan maka ruang mati akan meningkat.

4. Nyeri dada
Salah satu bentuk nyeri dada yang paling sering ditemukan adalah angina
pectoris yang merupakan gejala penyakit jantung koroner dan dapat bersifat progresif
serta menyebabkan kematian, sehingga jenis nyeri dada ini memerlukan pemeriksaan
yang lebih lanjut dan penanganan yang serius.
5.

Sakit tenggorokan
Radang tenggorokan adalah infeksi pada tenggorokan (tekak) dan kadangkala

amandel. Penyebab lainnya diantaranya adalah adanya polusi udara, alergi musiman
dan merokok. Perubahan cuaca dan alergi musiman adalah penyebab yang paling
sering terjadi. Terutama banyak terjadi pada anak – anak dan infeksi ini disebarkan
melalui orang ke orang (person to person contact).
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonukloear. Pada stadium
awal, terdapat hyperemia, kemudian edema, dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula – mula serosa tetapi menjadi menebal atau berbentuk mukus, dan kemudian
cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring.

3.10. Kerangka Teori
Mengacu dari tinjauan teori mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi
terjadinya gangguan fungsi kapasitas paru, dalam membuat kerangka konsep, peneliti
menggunakan landasan teori Achmadi (2011) tentang paradigm kesehatan lingkungan

dengan teori simpul kejadian penyakit. Dalam teori simpul kejadian penyakit
tersebut, proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yakni sebagai
berikut :
Simpul 1 disebut sebagai sumber penyakit, yaitu risk agent berupa adanya
bahan pencemar di lingkungan tempat kerja yang berasal dari partikel debu akibat
tingginya aktivitas lalu lintas di Kecamatan Medan Amplas.
Simpul 2 disebut sebagai komponen lingkungan yang merupakan media
transmisi penyakit, yaitu udara lingkungan tempat bekerja di jalan raya Kecamatan
Medan Amplas.
Simpul 3 disebut sebagai perilaku pemajanan (Behavioral Exposure), yaitu
jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung
potensi bahaya penyakit (agen penyakit). Dalam penelitian ini adalah perilaku
penyapu jalan pada saat bekerja di Kecamatan Medan Amplas.
Simpul 4 disebut sebagai kejadian suatu penyakit, yaitu akibat atau dampak
hubungan interaktif antara para pekerja penyapu jalan dengan lingkungan tempat
bekerja di jalan raya Kecamatan Medan Amplas.
Proses kejadian penyakit yang diuraikan ke dalam 4 simpul tersebut di atas
yakni simpul 1 sebagai sumber penyakit, simpul 2 sebagai media transmisi penyakit,
simpul 3 sebagai perilaku pemajanan dan simpul 4 sebagai kejadian penyakit dapat
digambarkan ke dalam suatu model atau teori simpul penyakit sebagai berikut :

Simpul 1

Simpul 2

Simpul 3

Sumber
Penyakit

Media Transmisi
Penyakit

Perilaku
Pemajanan

-Kadar Debu

-Udara

-

Perilaku
individu

- Faktor Lingkungan

Gambar 2.2. Kerangka Teori

Simpul 4

Dampak
-Gangguan
Kapasitas
Vital Paru

3.11.

Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori di atas, maka dapat

digambarkan kerangka konsep sebagai berikut :
Kadar Debu Ambien

Kapasitas Vital Paru
Penyapu Jalan di Kecamatan
Medan Amplas
Karakteristik Individu :
1. Usia
2. Masa Kerja
3. Lama Kerja
4. Kebiasaan Merokok
5. Status Gizi
6. Penggunaan Masker
7. Riwayat Penyakit

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian