Pengaruh Karakteristik Dan Kadar Debu Ambien Terhadap Kapasitas Vital Paru Pada Penyapu Jalan Di Kecamatan Medan Amplas Kota Medan Tahun 2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
A World Health Organization Expert Committee (WHO) menyatakan bahwa
kesehatan lingkungan merupakan suatu keseimbangan yang harus ada antara manusia
dengan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Lingkungan
itu sendiri secara fisik meliputi tanah, air dan udara serta interaksi satu sama lain
diantara faktor – faktor tersebut. Diantara faktor – faktor fisik tersebut, udara
merupakan wujud yang sulit untuk dikenal, karena wujudnya yang tak dapat terlihat
dengan kasad mata sehingga pencemaran terhadap faktor fisik ini sulit untuk
diketahui, namun dampaknya dapat bersifat langsung dan lokal, regional maupun
global. Akibatnya sangat mengganggu bagi kesehatan makhluk hidup khususnya
manusia (Kusnoputranto, 2000).
Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber – sumber alami maupun
kegiatan manusia. Pencemaran udara dapat terjadi di mana – mana, misalnya di
dalam rumah, sekolah dan kantor. Pencemaran ini sering disebut pencemaran dalam
ruangan (indoor pollution). Sementara itu pencemaran di luar ruangan (outdoor
pollution) berasal dari emisi kendaraan bermotor, industri, perkapalan dan prose
alami oleh makhluk hidup. Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan menjadi
sumber diam dan sumber bergerak. Sumber diam terdiri dari pembangkit listrik


Industri dan rumah tangga, sedangkan sumber bergerak adalah aktivitas lalu lintas
kendaraan bermotor dan transportasi laut (Mukono, 2008).
Diantara sumber polutan tersebut kendaraan bermotor merupakan sumber
polutan terbesar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh JICA dan Bapedal
tahun 1995 dan studi ADB bekerja sama dengan KLH pada tahun 2001, kendaraan
bermotor memberikan kontribusi lebih dari 70% terhadap pencemaran udara di kotakota besar di Indonesia.
Data yang dihasilkan oleh SUSENAS dan BMKG, Indeks Kualitas Udara
(IKU) Kota Medan merupakan salah satu yang memiliki indeks yang buruk . Nilai
IKU berkisar antara 0 sampai dengan 96,18. Peringkat nilai IKU terbaik adalah Kota
Gorontalo (96,18), diikuti oleh Kota Ambon (95,95), Kota Ternate (94,29), Kota
Tanjung Pinang (88,25) dan Kota Pangkal Pinang (86,94). Enam kota dengan nilai
IKU sama dengan 0 adalah DKI Jakarta, Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Medan,
Kota Semarang, dan Kota Pekanbaru. Hasil ini menunjukkan bahwa kota besar
dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dengan segala aktivitas sosial ekonominya
yang tinggi serta ruang terbuka hijaunya yang semakin sempit karena tergerus oleh
pembangunan pemukiman, sarana dan prasarana wilayah, gedung-gedung kantor dan
kawasan industri memiliki kualitas udara yang lebih rendah dibandingkan kota
lainnya (BPS, 2012).
Selain itu, pengukuran kualitas udara menunjukkan bahwa kualitas udara

enam kota, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Jambi dan Pekanbaru dalam
kategori baik hanya terjadi 22 – 62 hari dalam setahun. Kecuali Jambi dan Pekanbaru,

buruknya kondisi udara di kota tersebut lebih disebabkan oleh pencemaran kenderaan
bermotor, sebagai sumber bergerak (KLH, 2002).
Pada dasarnya ada berbagai macam bahaya di tempat kerja yang bisa
mengancam kesehatan pekerja maupun orang-orang yang berada di sekitar
lingkunganyang tercemar. Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas
dan lainnya dapat mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan. Hal inilah
yang sering menyebabkan

terjadinya

gangguan

pernafasan

ataupun

dapat


mengganggu nilai Kapasitas Vital Paru. Dalam kondisi tertentu, debu merupakan
bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan kerja, gangguan
penglihatan, gangguan fungsi faal paru yang dimulai dari penyakit saluran nafas kecil
bahkan dapat menimbulkan keracunan umum (Depkes RI, 2003).
Data WHO (World Health Organization) tahun 2007 menunjukkan diantara
semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit silikosis dan penyakit
pneumokoniosis lainnya. Selain itu juga, ILO (International Labour Organization)
mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumokoniosis (penyakit saluran
pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia
setiap tahunnya.
Pencemaran udara oleh debu tersebut dapat merusak sistem pernapasan orang
yang terpapar pada konsentrasi maupun ukuran partikel debu yang berbeda – beda.
Efek utama terhadap pekerja dapat berupa gangguan kapasitas paru baik yang bersifat
akut maupun kronis. Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran nafas dapat
menyebabkan peradangan jalan nafas. Peradangan ini dapat menyebabkan

penyumbatan jalan nafas sehingga dapat mnurunkan kapasitas paru. Dampak paparan
debu yang terus – menerus dapat menurunkan faal paru yang menyebabkan kelainan
dan kerusakan paru (Mukono 2008).

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan pada BAB XII mengenai kesehatan kerja pasal 164 menyatakan bahwa
upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan
terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh
pekerjaan meliputi pekerja – pekerja pada sektor formal dan nonformal. Untuk
melindungi para pekerja tersebut pemerintah membuat nilai ambang batas untuk debu
total sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk konsentrasi
kadar debu total adalah sebesar 3 mg/m3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran udara menjelaskan tentang pengertian baku mutu udara
ambien, yaitu ukuran batas atau kadar zat, energi dan/atau komponen yang ada atau
yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam
udara ambien. Baku mutu kadar debu dalam udara ambien yang tercantum di dalam
PP RI No. 41 tahun 1999 tersebut untuk PM10 (Partikel