FASHION DAN KELAS SOSIAL kelas

1

x“Fashion fades, only styles remains the same.”
– Coco Chanel1
Fashion dari sudut pandang saya adalah apa yang ditawarkan oleh
rumah mode sebanyak empat kali dalam setahun, spring, summer, fall dan
winter. Sedangkan style adalah apa yang kita pilih untuk kenakan sepanjang
tahun dari sekian banyak penawaran dari setiap rumah mode. Kita hidup
dengan kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, keinginan untuk
menjadi bagian dari satu kelompok ataupun golongan. Dalam sebuah studi
sense of belonging menjadikan hidup seseorang lebih berarti dengan merasa
sebagai bagian dari suatu lingkungan.2 Fashion tercipta sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan akan pengakuan. 3 Bila kita berpatokan dengan style
maka industri fashion tidak akan sebesar ini. Orang-orang akan membeli
pakaian seperlunya, ketika musim dingin kita akan membeli jaket tebal yang
baru hanya karena yang lama sudah digigit tikus. Tapi istilah yang kita kenal
melalui sekolah-sekolah mode adalah fashion business bukan style business
walau style personal dan kelompok juga memilki peran. Inovasi industri
fashion lebih mengutamakan style ketimbang hal yang bersifat teknis
(kreativitas dalam potongan, warna dan kombinasi, motif, bahan dan
pemrosesan dan hasil akhir), yang artinya industri ini memberikan kepuasan

terhadap fungsi simbolik yang memperbolehkan konsumer mengekspresikan
identitas individu dan sinyal akan status sosial mereka. 4 Artinya fashion
merupakan sebuah industri yang berpeluang memberikan keuntungan
berupa nominal sejak masyarakat membutuhkannya sebagai ekspresi diri
dan sumber daya manusia terus direkrut dari tumbuhnya sekolah-sekolah
mode. Fashion tidak anya mewujudkan kreativitas melalui perancang namun
juga adanyanya fashion stylish yang bertugas memadupadankan hasil karya
desainer biasanya untuk dikenakan oleh orang terkenal, atau seleberiti.
Dewasa ini bukan hanya orang penting-terkenal atau selerbiti yang dapat
menggunakan padupadan hasil kreasi desainer dibantu dengan fashion
stylish sejak adanya fenomena ootd. Industri fashion semakin
menguntungkan dengan adanya ootd sebagai instrument promosi label-label
baru ataupun rumah mode sebesar grup LVMH.
Belum lama saya mengunjungi sebuah optik yang kebetulan menjual
kacamata hitam sebuah brand ternama asal kota mode, Paris, seharga enam
puluh juta rupiah. Di era dimana pemenuh kebutuhan memproduksi hanya
1 Jo Craven, “Coco Chanel”, Vogue, 11 Mei 2011, diakses 3 Juli 2014
http://www.vogue.co.uk/spy/biographies/coco-chanel-biography
2 Chanokruthai Choenarom, Reg Arthur Williams, dan Bonnie M. Hagerty, “The Role of
Sense of Belonging and Social Support on Stress and Depression in Individuals With

Depression”, Archives of Psychiatric Nursing 19 (2005): hlm 18, diakses 15 Juli 2014,
http://www.hawaii.edu/hivandaids/The_Role_of_Sense_of_Belonging_and_Social_Support
_on_Stress_and_Depression_in.pdf
3 Julia Twigg, eds., In J. Powell dan T. Gilbert, “Clothing, Identity and the Embodiment
of Age”, Aging and Identity: A Postmodern Dialogue, New York: Nova Science Piublisher
(2009): 96, diakses 3 Juli 2014,
http://www.actyourage.eu/uploads/files/clothing_identity_and_the_embodiment_of_age.p
df
4 Walter Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”, (versi sebelumnya dari
tulisan ini telah dipresentasikan pada International Conference on Cultural Economics
yang diselengarakan di Rotterdam, 2002), diakses 3 Juli 2014,
http://www.eblacenter.unito.it/WP/2005/7_WP_Ebla.pdf

2

jika ada permintaan,5 kacamata hitam itu tidak mungkin untuk tidak laku
terjual. Menurut Karl Marx, dalam Du Gay et al. (1997:52) sebuah produk
tidak akan disebut produk sebelum itu dikonsumsi. 6 Ironinya biaya empat
tahun kuliah saya tidak mencapai angka itu. Hanya untuk sebuah kacamata
hitam yang kegunaannya untuk melindungi mata dari terik matahari uang

sebesar itu cukup untuk mengirim satu anak putus sekolah ke perguruan
tinggi swasta. Siapapun yang membeli barang tersebut pernahkah berpikir
tentang itu? Akan tetapi saya sendiri pernah merelakan untuk tidak makan
demi membeli barang yang saya idam-idamkan dan saya tidak berpikir
bahwa saya bisa memberi makan yatim piatu dengan uang itu. Tapi saya
masih bisa mendapatkan replika persis kacamata itu dengan mudah sejak
menjamurnya online shop di media sosial Instagram. Semua orang bisa
berlagak seperti orang kaya. Mungkin saja, mungkin loh, orang kaya tidak
sekonsumtif masyarakat kelas menengah. Ada kecendrungan masing-masing
kelas sosial dalam melakukan konsumsi, kelas menengah atas yang selektif
dengan pilihannya dalam berbelanja, kelas menengah yang mengandalkan
diskon, dan kelas bawah yang istilahnya bersyukur bisa makan hari itu lebih
mementingkan kuantitas.7
Tampaknya kita hidup dalam dunia yang tidak begitu peduli satu
dengan lainnya. Kita berdiri diatas identitas kita masing-masing pada kelas
sosial tertentu. Kelas sosial yang mendorong kita akan kebutuhan terhadap
berbagai hal.8 Saya lebih suka bilang ‘berharap dilihat sebagai kelas sosial
tertentu’ yang menjadikan kita membutuhkan barang-barang dengan harga
diluar akal sehat saya. Penelitian sosiologi membuktikan bahwa pakaian
adalah bagian penentu letak kelas sosial seseorang. 9 Kelas sosial mereka

yang membeli sepatu keluaran terbaru Chanel akan berbeda dengan mereka
yang mengenakan sepatu merek Bata. Lagi, di era perkembangan teknologi
dan internet sampai kepelosok negeri dan menjamurnya online shop tidak
sulit bagi kelas menengah yang berusaha terlihat sebagai kaum sosialita
untuk mengenakan sepatu ‘KW’ merek Chanel. Industri yang sangat hebat!
Sampai ke barang palsu sekalipun ia menghasilkan nilai nominal. Protes dari
rumah mode yang barangnya dipalsukan tentu ada apalagi dari rumahrumah mode asal ibukota fashion dunia, Paris. Pada tahun 2012 rumah mode
Hermes telah memenangkan $ 100 juta sebagai ganti rugi atas kerusakan
yang disebabkan oleh 34 website yang menjual tas birkin palsu secara
online.10 Tapi bukankah barang ‘KW’ juga menguntungkan mereka secara
pamor. Tanpa barang ‘KW’
tidak akan ada ibu setengah baya atau
mahasiswi di angkutan umum mengenakan tas bermotif Louis Vuitton.
Brand mereka tidak akan terkenal sampai kelapisan sosial paling rendah.
Apa yang harus diprotes? Konsumen mereka adalah konsumen kelas atas
yang sangat konservatif dalam mengkonsumsi serta hanya mengkonsumsi
5 Muchamad Sidik Roostandi, “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet: Studi
Kasus Pada Konsumen The Secret factory Outlet, Bandung”(Bachelor thesis,
Universitas Indonesia), 2009.
6 Roostandi, “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet”.

7 Alfitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan”, Majalah Empirika, Januari,
2007.
8 Alfitri, “Budaya Konsumerisme”.
9 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 94.
10 N.n., “Hermes Wins $ 100 Million Conterfeiting Case”, Jeweller, 8 Mei 2012, diakses
3 Juli 2014 http://www.jewellermagazine.com/Article.aspx?id=2350&h=Hermes-wins%24100-Million-counterfeiting-case-

3

yang dapat menjadi warisan bagi keluarganya 11 katakan saja konsumsi yang
tidak kehilangan harga jualnya.
Tidak membahas barang palsu tapi pasar fashion sangat dipengaruhi
oleh aktifitas kreativ para desainer dan penguasaha. 12 Kreativitas yang
digambarkan sebagai produk ekonomi dihasilkan oleh pikiran manusia. 13
Artinya industri ini tidak akan pernah kehabisan sumber daya. Tidak perlu
takut terutamanya. Permasalahannya ada pada seberapa besar dunia harus
menghargai kreativitas? Apa yang menjadikan sepatu warna hitam dengan
yang bercorak tribal dihargai berbeda? Kegunaannya sama. Materialnya
sama hanya digunakan beberapa warna berbeda pada sepatu yang satunya.
Kembali ke masalah kacamata hitam, apa yang membuat kacamata hitam

tersebut dihargai seharga biaya kuliah saya. Kreativitas menjadikan industri
fashion berada pada pijakan untuk dapat melakukan konfrontasi dan
kompetisi.14 Saya memahaminya ketika kreativitas adalah sumber daya
tanpa batas maka sumber daya tersebut dapat terus digali dan dipaksa
untuk memberikan sesuatu yang baru. Loh, yang terbatas saja dieksploitasi
habis-habisan. Setiap saat setiap rumah mode mengeluarkan produk terbaru
dari kreativitas perancangnya sebutlah tangan Karl Largerfeld yang saat ini
menangani Chanel15 maka pihak Louis Vuitton atau Prada akan mencoba
menandinginya dengan material yang lebih berkelas karena jika bicara
selera maka selera dari konsumen mereka berbeda-beda atau dengan
contoh, jika kita perhatikan apa yang sebetulnya dikeluarkan setiap rumah
mode adalah tren yang sama entah siapa yang pertama kali
memunculkannya. Misalnya ketika platform shoes sedang hip maka semua
rumah mode memasukan platform shoes kedalam katalog masing-masing.

11
12
13
14
15


Alfitri, “Budaya Konsumerisme”.
Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.
Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.
Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.
Jo Craven, “Coco Chanel”.

4

Perbandingan harga platform shoes merek dagang Steve Madden 16 dan
Charles & Keith17
Akan tetapi fashion bukanlah satu-satunya hal yang patut disalahkan.
Maksud saya fashion merupakan sebuah industri yang tidak akan berjalan
tanpa adanya permintaan dari masyarakat. Cara berpakaian adalah
konstruksi dari masyarakat kita. Semuanya ada dalam aturan tidak tertulis,
pakaian apa yang harus kita kenakan untuk menghadiri pesta pernikahan
(sebagaian pernikahan mencantumkan dress code), untuk interview kerja,
sampai ke pemakaman. Masyarakat yang mengkonstruksikan pemahaman
itu semua. Lalu kita juga protes karena tuntutan untuk membeli untuk setiap
occasion. Kita yang dirugikan oleh apa yang kita konstruksikan atau kita

yang pikirannya terkonstruksi oleh tren yang dibuat oleh desainer-desainer
kreatif, desainer life style. Bahkan beberapa restaurant tidak mengizinkan
masuk pengunjung yang mengunakan sandal jepit. Lihat kan bagaimana
pakaian mendeskripsikan seseorang. Sampai pada industri pakaian dalam
wanita yang fashion show-nya disiarkan di tv kabel.

16 Steve Madden, diakses 15 Juli 2014,
http://www.stevemadden.com/product/SURFSIDE/163270.uts
17 Charles & Keith, diakses 15 Juli 2014,
http://www.charleskeith.com/INTLStore/CK/IDN/Shoes/Wedges/Studded-PlatformSandals/Black/CK1-80580067/Product

5

Terbaru adalah wabah narsisistik seiring makin populernya media
sosial dengan hastag ootd (outfit of the day). Fashion ada sebagai alat
dengan harapan untuk fit in atau untuk stand out.18 Mengikuti logika
ketidakstabilan pomodernisme yang memproduksi kecemasan, bersamaan
dengan kesenangan, beserta perantaranya.19 Analogi melalui fenomena ‘the
ootd’ maka kesenangan adalah titik ketika seseorang memposting foto
dirinya mengenakan pakaian yang bagus maka ia akan mendapatkan likes

dan comments, kecemasan memegang posisi sebagai pengantar mereka
untuk membeli produk terbaru dan terbaik dari industri fashion. Pujian
layaknya narkotika yang menyebabkan kecanduan bagi sebagian mereka
yang mendapatkan kepercayaan dirinya lewat dunia maya. Saya melihat
kreativitas dengan fenomena-fenomena seperti itu sebagai sebuah
konstruksi sosial. Boleh kan jika saya mengatakan bahwa batik tidak akan
pernah ada di runway jika Indonesia tidak sedang gencar-gencarnya
mengenalkan batik kepada dunia setelah diklaim oleh Malaysia. 20
Saya ingin menekankan ulasan ini mengenai fenomena fashion terkait
dengan wabah narsisistik spesifiknya ootd, kelas sosial, dan barang palsu.
Saya melihat keterkaitan antara wabah narsisistik dengan alasan seseorang
membeli barang fashion tidak melihat itu barang asli ataupun palsu
keduanya sama menguntungkan. Media sosial membantu pembentukan
wabah ini. Hadirnya media sosial memungkikan seseorang yang pada
dasarnya bukan siapa-siapa untuk memposting kreativitasnya memadupadankan pakaian, menggambar, atau merancang pakaian, tiba-tiba menjadi
selebriti di media sosial. Menguntungkan sebetulnya lambat laun semakin ia
memilki banyak followers dan kreativitasnya dinikmati banyak orang
semakin
besar
kemungkinan

ia
mendapatkan
penghasilan
dari
kemampuannya berkreasi dengan pakaian. Diana Rikasari, penulis blog Hot
Chocolate & Mint, mengawali karirnya lewat ketertarikannya mengulas
mengenai fashion. Pertama kali saya mengikuti blognya pada sekitar tahun
2009 follower-nya masih belum seberapa namun profilnya sudah
ditampilkan di majalah remaja, saat itu saya berlangganan KaWanku. Kini ia
adalah fashion blogger ternama dan keliling dunia menjalani profesinya, ia
bahkan menjual sepatu rancangannya dengan merek, Up. 21 Apa Diana
Rikasari tidak kita katakan narsis? Ya, tapi narsis yang membawa berkah.
Sayang tidak semua orang seberuntung itu. Lainya yang mengikuti fashion
menghabiskan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak ia
butuhkan hanya sebatas untuk ‘difoto’, sebatas untuk menunjukan bahwa ia
juga mampu dan sama gaul-nya untuk memilki barang yang sama. Seperti
pendapat saya diawal bahwa kelas sosial tertentu berharap untuk dipandang
sebagai kelas sosial yang lain. Pencitraan.
Saya mencoba memahami mengunakan sudut pandang posmodernis
yang diungkapkan Firat (1992: p.81), bahwa kecenderungan dalam

masyarakat posmodern adalah “dominasi atas apa yang ditawarkan pasar
18 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 96.
19 Twigg, “Identity and the Embodiment of Age”, hlm 96.
20 Dasril Roszandi, “Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya RI”, 21 Juni 2012,
Tempo, diakses 15 Juli 2014,
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/21/078411954/Malaysia-Sudah-Tujuh-KaliMengklaim-Budaya-RI
21 Mengenai Diana Rikasari dapat diakses di blog pribadinya
http://dianarikasari.blogspot.com

6

atas yang berwujud, virtual atas yang sebenarnya ... imajiner atas materi
dan gambaran atas produk”. 22 Jadi logika pada dunia posmodern dibalik:
pasar yang menyesuaikan dengan gambaran bukan sebaliknya. 23 gambaran
tersebut bagaikan sebuah produksi nilai yang memaksa konsumen untuk
mengkonsumsi apa yang diproduksi oleh produsen. nilai yang kemudia
menjadi besar, yang kemudian menjadi global, yang mengatakan apa yang
layak dan tidak layak, yang mengajarkan dunia apa yang mereka perlu milki.
Gambaran tersebut adalah visi dari pada desainer fashion yang didukung
oleh perusahaan, difasilitasi terbentuknya oleh media. Media tersebut dapat
berupa orang terkenal seperti selebriti. Namun di era ‘ootd’ ini desainer
ataupun rumah mode lebih mudah dalam merealisasikan visi tersebut
dengan pekerja yang sukarela menjadi agen pembentuk nilai ini. Ide
mengenai pembentukan pasar ini diamini oleh teori mengenai kemungkinan
bahwa pemahaman teoritis pasar memang dapat berkontribusi pada
pembentukan bentuk pasar dan praktek (Kjellberg & Helgesson, dalam
press, 2006).24 Ini dapat menjelaskan bagaimana visioner fashion mencoba
menerapkan nilai melalui berbagai media mengenai imajinasi atas
produknya. Imajinasi itu divisualisasikan melalui idola untuk menggunakan
produk-produk tertentu dengan harapan akan mempengaruhi pengikutnya.
Namun pernyataan Firat mengenai imajinasi mengenai produk menurut
saya kurang lengkap karena di era yang saya sebut dengan era ootd ini,
bukan sekedar gambaran mengenai produk itu nilai yang dibutuhkan ketika
seseorang memutuskan untuk membeli barang. Lengkapnya ada faktor lain
yaitu faktor hip. Sebagian dari kita akan membeli barang yang kelihatannya
banyak orang yang memakainya. Era ootd memungkinkan seseorang yang
bukan siapa-siapa untuk mejadi selebriti di media sosial. Merekalah
sukarelawan fashion yang membentuk faktor hip ini. Seperti diungkapkan
oleh penteori Perancis, Guy Debord (1983), mengenai tontonan (spectacle).
“Spectacle adalah kecenderungan untuk membuat dunia melihat melalui
berbagai mediasi khusus.”25 Kita hidup di era posmodernisme, era dimana
manusia mengkonsumsi visi atau imajinasi dari para visioner. Produksi yang
mengontrol apa yang kita konsumsi. Indvidu tidak lagi berhak untuk
menentukan kebetuhannya karena kebutuhan telah terkonstruksi sampai
ketitik kebutuhan tersebut adalah citra diri seseorang. Saya percaya akan
manusia selalu ingin diakui dan menjadi bagian dari satu kelompok atau
golongan.26 Manusia punya hasrat untuk menunjukan identitas mereka salah
satunya melalui fashion dan style dimana pakaian punya andil dalam
menentukan identitas seseorang.27 Sayangnya era ini lain. Ini adalah era
dimana bukan identitas yang ditunjukan tapi keinginan untuk memilki
identitas tertentu yang menjadi kebutuhan. Sekali lagi bukan identitas sejati
tapi citra diri. Keinginan yang mengarahkan individu kepada pola hidup
yang konsumtif.
22 Diego Rinallo, Francesca Golfetto, “Representing markets: The shaping of fashion
trends by French and Italian fabric companies”, Elsevier Journal (2006): hlm 857,
diakses 3 Juli 2014, http://www.idhe.enscachan.fr/servlet/com.univ.collaboratif.utils.LectureFichiergw?
ID_FICHE=28632&OBJET=0008&ID_FICHIER=215686
23 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.
24 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.
25 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 858.
26 Choenarom, Williams, dan Hagerty, “The Role of Sense of Belonging”, hlm 18.
27 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.

7

Penteori posmodernisme lainya Baudrillard mengatakan bahwa
posmodernisme bergerak diatas mode produksi ke dalam mode
simulasi dan informasi yang menyingkirkan proses kekuasaan dari
semata-mata produksi menjadi informasi dan hiburan. Sedangkan
konsepsi
Jamsenson
(dalam
Featherstone
2005)
tentang
posmodernisme terpengaruh kuat oleh Baudrillard yang memandang
budaya posmodernisme sebagai budaya masyarakat konsumen,
tahapan kapitalis baru setelah Perang Dunia II. Dalam masyarakat ini
budaya diberi arti baru melalui penjenuhan sinyal dan pesan sampai
sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dalam kehidupan sosial
dapat dikatakan telah bersifat kultural.28
Fenomena ootd begitu masive. Ia seperti gaya hidup anak muda masa
kini. Kita tidak secara langsung sadari bahwa dengan memposting gambargambar dengan hastag ootd dan hastag brand yang kita gunakan
mengkoneksikan kita langsung dengan mereka dan memberikan mereka
publisitas gratis. Semudah itu media sosial saat ini membuat kita terhubung.
Anak muda berpikir ini keren menggunakan barang-barang dari merek
tertentu dari ujung kaki sampai ujung kepala lalu menempatkan hastag ootd
tapi mereka tidak sadar sudah mejadi budak dari kapitalisme modern.
Secepat kita mengetahui itu hal ini tidak lagi keren. Strategi ootd ini
ternyata diakui oleh brand sebesar Nivea untuk meproduksikan Nivea Soft
Moisture cream Pot.29 Diakui oleh Sophie Rock bahwa ootd merupakan
fenomena yang luar biasa yang dapat meng-capture imajinasi konsumen,
Nivea mengajak konsumen untuk menggunakan hastag ootd pada foto
mereka tapi ditambah dengan hastag niveasoft30 perlu saya tegaskan lagi
bahwa
fashion adalah mengenai imajinasi dari para desainer 31 dan
masyarakat posmodernisme didominasi oleh gambaran mengenai suatu
produk.32
Spesifik generasi muda, umum untuk semua, seperti dibodohi
oleh apa yang disebut hip. Ootd yang kependekan dari outfit of the day
bukan lagi soal apa yang dikenakan seseorang hari itu. Gaya berpaiakan
atau selera. Tapi telah menjelma sebagai bentuk promosi oleh berbagai
macam brand termasuk brand besar. Seperti Marx pernah tegaskan bahwa
untuk produksi baru perlu adanya motif maka produsen akan menciptakan
manner (perilaku)33, ootd salah satunya.
Sepertinya fenomena ootd memberikan saya gambaran langsung
mengenai apa yang saya pahami melalui kelas Ekonomi Politik Internasional
mengenai sesuatu yang disebut-sebut adalah global value change. Saya
meyakini fenomena ini adalah instrumen dan bentuk nyata terciptanya atau
terstrukturnya global value change. Nilai ini dibentuk lewat promosi gratis
oleh eksploitasi fashion. Kenapa saya mengatakan eskploitasi karena banyak
dari mereka penggila hastgag ootd yang tidak menyadari dirinya dipebudak
oleh gaya hidupnya yang dia gembar-gemborkan sebagai fashionista. Walau
intense dari oenggunaan hastag ini adalah untuk mendapatkan lebih banyak
28 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 858.
29 Louise Ridley, “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”, Campaign, 13
September 2013, diakses 10 Juli 2014 http://www.campaignlive.co.uk/news/1211822/
30 Ridley, “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”.
31 Santagata, “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”.
32 Rinallo dan Golfetto, “Representing markets”, hlm 857.
33 Roostandi, “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory Outlet”.

8

likes dan comments. Padahal mereka diperbudak oleh imajinasi para
desainer untuk menjadi penyumbang pundi-pundi uang bagi rumah mode
yang dibilang berkelas itu, yang merasa dirugikan setelah karyanya beredar
di komoditas barang palsu. Dulu sewaktu kecil kita diajarkan untuk
berpakaian layak untuk merasa layak dengan diri kita dengan mengenakan
pakaian yang bersih dan rapih. Ketika saya beranjak besar saya tahu lebih
dari itu mengenai bagaimana kita merasa layak adalah jika orang lain bilang
bahwa kita layak, bahwa kita terlihat mengagumkan. Saya dibesarkan di
masa dimana pengakuan dari dunia adalah hal nomor satu dihidup manusia.
Bagaimana semua orang diantarkan untuk tumbuh besar sebagai bagian
dari komunitas. Jika seseorang bukanlah bagian dalam satu komunitas atau
dia berbeda maka dia akan dianggap layaknya produk gagal. Miris rasanya
bahwa ternyata kita melabeli setiap hal yang kita kenal. Kita melabeli
seseorang dari apa yang dia kenakan. Apa iya hanya karena dia tidak
berpakaian layak-nya apa yang dikonstruksikan entah masyarakat kita atau
visi para desainer maka dia adalah mahluk yang tidak layak.
Runtutan logika yang saya pahami bahwa sebetulnya visi dari para
desainer juga terbentuk oleh masyarakat. Dengan spesifikasi masyarakat itu
adalah masyarakat disekitarnya bukan seluruh masyarakat dunia yang akan
tetapi keberadaan media sosial yang mendekatkan kita bisa jadi memberi
insipirasi bagi kreativitas para desainer. Mau bagaimana sama kita memilki
cara berpakaian jika keadaan geografis dan budaya kita berbeda-beda,
seharusnya kan begitu. Mana mungkin orang-orang dari negeri tropis,
Indonesia, membutuhkan jaket berbahan wol. Sebagian yang tinggal di
daerah pegunungan muungkin iya. Akan tetapi kita dapat menemukan jaket
wol dijual di mall-mall daerah perkotaan. Hal yang mendasari adalah
desainer membutuhkan visinya untuk terjual untuk ditransfromasikan
menjadi alat bayar yang bernama uang. Caranya adalah dengan menyamaratakan selera. Beruntung mereka bahwa manusia hidup dengan keinginan
untuk menjadi bagian dari suatu kelompok yang meminta poin-poin tertentu
salah satunya pakaian untuk menjadi bagian darinya. Era posmodernisme
adalah saat yang paling tepat bagi para desainer untuk mengembangkan
visinya. Lagipula mudah dengan adanya media sosial dengan bantuan
mereka yang tidak sadar akan posisi dirinya sebagai budak fashion yang
dibutakan oleh faktor coolness. Padahal mereka sendiri tidak yakin apa
artinya itu. Apa yang mereka pedulikan adalah pujian yang bagai narkotika
memberikan efek adiksi. Tendensi adiksi ini nampaknya lebih berpengaruh
terhadap masyarakat kelas menengah yang saya sebutkan sebagai penggila
diskon. Mereka cenderung berburu barang-barang saat sale dan membeli
dalam jumlah yang cukup banyak. Menurut saya faktonya bukan shopaholic
akan tetapi lebih kepada eksistensi jika melihat keuntungan dari
penggunaan barang-barang yang mereka beli yang tidak lain tidak bisa
mereka beli pada saat tidak sedang diskon.

9

Daftar Pustaka
Alfitri. “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan”, Majalah Empirika,
Januari, 2007.
Charles & Keith. diakses 15 Juli 2014.
http://www.charleskeith.com/INTLStore/CK/IDN/Shoes/Wedges/StuddedPlatform-Sandals/Black/CK1-80580067/Product.
Choenarom, Chanokruthai, Reg Arthur Williams, dan Bonnie M. Hagerty.
2005. “The Role of Sense of Belonging and Social Support on Stress and
Depression in Individuals With Depression”. Archives of Psychiatric Nursing
19
(2005):
hlm
18.
Diakses
15
Juli
2014.
http://www.hawaii.edu/hivandaids/The_Role_of_Sense_of_Belonging_and_Soc
ial_Support_on_Stress_and_Depression_in.pdf.
Craven, Jo. 2011. “Coco Chanel”. Vogue, 11 Mei 2011. Diakses 3 Juli 2014.
http://www.vogue.co.uk/spy/biographies/coco-chanel-biography.
N.n.. “Hermes Wins $ 100 Million Conterfeiting Case”. Jeweller, 8 Mei 2012.
Diakses
3
Juli 2014.
http://www.jewellermagazine.com/Article.aspx?
id=2350&h=Hermes-wins-%24100-Million-counterfeiting-case-.
Ridley, Louise. 2013. “Nivea Plays on #OOTD Trend For Fashion Week”.
Campaign,
13
September
2013.
Diakses
10
Juli.
2014
http://www.campaignlive.co.uk/news/1211822/.
Rinallo, Diego, danFrancesca Golfetto. “Representing markets: The shaping
of fashion trends by French and Italian fabric companies”. Elsevier Journal
(2006):
hlm
857.
Diakses
3
Juli
2014,
http://www.idhe.enscachan.fr/servlet/com.univ.collaboratif.utils.LectureFichiergw?
ID_FICHE=28632&OBJET=0008&ID_FICHIER=215686.
Roszandi, Dasril. “Malaysia Sudah Tujuh Kali Mengklaim Budaya RI”. 21
Juni
2012,
Tempo.
Diakses
15
Juli
2014.
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/21/078411954/Malaysia-SudahTujuh-Kali-Mengklaim-Budaya-RI.
Santagata, Walter. “Creativity, Fashion, and Market Behaviour”. (versi
sebelumnya dari tulisan ini telah dipresentasikan pada International
Conference on Cultural Economics yang diselengarakan di Rotterdam,
2002).
Diakses
3
Juli
2014,
http://www.eblacenter.unito.it/WP/2005/7_WP_Ebla.pdf.
Sidik Roostandi, Muchamad . “Ideologi dan Identitas Konsumen Factory
Outlet: Studi Kasus Pada Konsumen The Secret factory Outlet, Bandung”.
Bachelor thesis, Universitas Indonesia, 2009.
Steve Madden. diakses 15 Juli 2014.
http://www.stevemadden.com/product/SURFSIDE/163270.uts
Twigg, Julia, eds., In J. Powell dan T. Gilbert. Clothing, Identity and the
Embodiment of Age”, Aging and Identity: A Postmodern Dialogue. New York:
Nova
Science
Piublisher
(2009):
96.
Diakses
3
Juli
2014.
http://www.actyourage.eu/uploads/files/clothing_identity_and_the_embodime
nt_of_age.pdf.