PERILAKU SAMBUNGAN BALOK BAJA DAN KOLOM (1)

PERILAKU SAMBUNGAN BALOK BAJA DAN KOLOM TABUNG BAJA
DENGAN ISIAN BETON MENGGUNAKAN PELAT DIAFRAGMA
MELINGKAR AKIBAT BEBAN SIKLIK
Naskah Publikasi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Strata Dua (S-2)
Program Studi S2 Teknik Sipil
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan

Diajukan oleh:
MUHAMMAD HAYKAL
13/355440/PTK/09089

Kepada
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

ii


iii

PERILAKU SAMBUNGAN BALOK BAJA DAN KOLOM TABUNG BAJA DENGAN ISIAN
BETON MENGGUNAKAN PELAT DIAFRAGMA MELINGKAR AKIBAT BEBAN SIKLIK1
Muhammad Haykal1, Muslikh2, Djoko Sulistyo.3
1)

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM,
Yogyakarta, ekhalmauludy@yahoo.co.id
2)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM,
Yogyakarta, muslikh2007@gmail.com
3)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, FT UGM,
Yogyakarta, djokosulistyo@yahoo.com

INTISARI
Penggunaan kolom tabung baja diisi beton (CFST - Concrete Filled Steel Tube) memberikan banyak
keuntungan dibandingkan dengan kolom baja dan kolom beton bertulang biasa. Beberapa keuntungan antara lain:
tabung baja berfungsi juga sebagai bekisting untuk inti beton, dengan adanya material pengisi beton pada tabung

baja, kuat tekan tabung baja atau pipa terhadap gaya aksial juga akan meningkat. Selain itu tabung baja atau pipa
juga berfungsi untuk mencegah keretakan pada beton, dan kolom komposit jauh meningkatkan kekakuan dan
kekuatan yang signifikan dibandingkan dengan konstruksi rangka baja dan beton bertulang biasa. Namun,
penggunaan kolom tabung baja diisi beton (Concrete Filled Steel Tube) masih terbatas karena kurangnya
pengalaman pelaksanaan dan kerumitan bentuk sambungan pada kolom komposit ini. Selain itu sambungan pada
sistem CFST harus memiliki kekuatan yang cukup dalam menahan beban gempa, serta memenuhi persyaratan dan
kriteria penerimaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memverifikasi bentuk sambungan yang mungkin cocok
untuk kondisi gempa sesuai standar Indonesia, serta mendapatkan bentuk sambungan pada balok dan kolom tabung
baja komposit yang efisien dan mudah dilaksanakan di lapangan.
Dalam penelitian ini dibuat dua buah benda uji yaitu benda uji sambungan balok-kolom tabung baja tanpa
isian beton (BKD-T) sebagai pembanding untuk melihat peningkatan kekuatan akibat adanya inti beton, dan benda
uji sambungan balok-kolom tabung baja dengan isian beton (BKD-K). Bentuk sambungan antara kolom tabung
baja dan balok baja IWF, dibuat dengan tambahan pelat diafragma melingkar yang menghubungkan sayap profil
balok ke kolom tabung baja. Benda uji diberi beban yang mensimulasikan gaya gempa berdasarkan kriteria
penerimaan yang ditentukan dalam ACI T1.1-01.
Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa benda uji sambungan balok-kolom tabung baja tanpa isian beton
(BKD-T) dan benda uji sambungan balok-kolom tabung baja dengan isian beton (BKD-K) tidak memenuhi
mekanisme kapasitas desain sistem rangka pemikul momen khusus. Namun benda uji sambungan balok-kolom
tabung baja tanpa isian beton (BKD-T) dapat digunakan pada sistem struktur rangka baja pemikul momen biasa
dengan kategori disain seismik B dan C dengan nilai R (faktor modifikasi respon) maksimum diambil 3,5. Adapun

benda uji sambungan balok-kolom tabung baja dengan isian beton (BKD-K) dapat digunakan pada sistem struktur
rangka baja dan beton komposit pemikul momen biasa dengan kategori disain seismik B dengan nilai R (faktor
modifikasi respon) maksimum diambil 3.
Kata Kunci : CFST, join balok-kolom, gempa, kriteria penerimaan

I.

PENDAHULUAN
Dalam perkembangan teknologi yang semakin
pesat, struktur komposit baja-beton telah banyak
digunakan untuk konstruksi bangunan, jembatan, dan
berbagai macam konstruksi lainnya. Kebanyakan
sistem struktur komposit ini menggabungkan

kelebihan dari kekuatan rangka baja dengan kekakuan
komponen beton untuk mengontrol kekakuan dan
kekuatan yang signifikan. Penggunaan struktur
komposit baja-beton sebagai kolom utama dalam
mendukung beban lateral pada struktur rangka
bangunan belum lazim dalam perkembangan

1

konstruksi saat ini. Ada dua jenis kolom komposit
antara lain : bagian struktur baja terbungkus oleh
beton dan tabung baja terisi beton penuh (CFST Concrete Filled Steel Tube).
Penggunaan kolom tabung baja diisi beton (CFST Concrete Filled Steel Tube) memberikan banyak
keuntungan dibandingkan dengan kolom baja dan
kolom beton bertulang biasa. Beberapa keuntungan
antara lain : tabung baja berfungsi juga sebagai
bekisting untuk inti beton, dengan adanya material
pengisi beton pada tabung baja, kuat tekan tabung
baja atau pipa terhadap gaya aksial juga akan
meningkat. Selain itu tabung baja atau pipa juga
berfungsi untuk mencegah keretakan pada beton, dan
kolom komposit jauh meningkatkan kekakuan dan
kekuatan yang signifikan dibandingkan dengan
konstruksi rangka baja dan beton bertulang biasa.
Namun, penggunaan kolom tabung baja diisi beton
(Concrete Filled Steel Tube) masih terbatas karena
kurangnya pengalaman pelaksanaan dan kerumitan

bentuk sambungan pada kolom komposit ini.
Penelitian eksperimental tentang tabung baja diisi
beton, detail sambungannya banyak bervariasi dan
tergantung pada bentuk tabung serta persyaratan
sambungan yang dikehendaki secara signifikan. Detail
sambungan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
sambungan yang menempel pada permukaan tabung
baja saja, sambungan yang menggunakan pelat
diafragma melingkar dan elemen pelat diafragma
menerus ke dalam inti beton yang ada didalam tabung
baja atau pipa. Sambungan pada permukaan tabung
baja meliputi : pengelasan balok langsung ke
permukaan kolom tabung baja menggunakan pelat
sambung untuk menghubungkan balok utama ke
kolom tabung baja, serta dapat juga memberikan
beberapa variasi detail sambungan lainnya. Sedangkan
sambungan yang menggunakan elemen pelat
diafragma menerus ke dalam inti beton yang ada
didalam tabung baja atau pipa meliputi : dibaut
melalui ujung dari pelat balok dan meneruskan

elemen pelat menerus dari balok baja yang
ditembuskan pada dinding kolom tabung baja ke
dalam inti beton.
Dari uraian diatas, akan dilakukan penelitian
secara eksperimental untuk mempelajari perilaku
sambungan pelat diafragma melingkar pada balok baja
dan kolom tabung baja. Penelitian ini dianggap perlu,
karena bisa digunakan sebagai referensi dan
merupakan pengembangan dari penelitian analisis dan
eksperimental sebelumnya.
Kolom baja komposit yang terdiri atas tabung baja
yang diisi beton sangat efisien dibandingkan kolom
baja atau beton bertulang biasa, tetapi problem pada
sambungan menjadikan penggunaan elemen struktur
jenis ini terkendala. Oleh karena itu pemilihan tipe

sambungan yang kuat, kaku dan mudah dilaksanakan
menjadi hal yang sangat penting. Dari penelitian ini
diharapkan bentuk sambungan yang efisien tersebut
dapat dihasilkan, sehingga penggunaan struktur balok

dan kolom pipa baja komposit akan lebih luas
digunakan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memverifikasi
bentuk sambungan yang cocok untuk kondisi gempa
sesuai standar Indonesia, serta mendapatkan bentuk
sambungan pada balok baja dan kolom tabung baja
tanpa isian beton maupun dengan isian beton yang
efisien dan mudah dilaksanakan di lapangan.
Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui
perilaku histerisis, kekuatan dan kekakuan dari
sambungan pelat diafragma pada balok baja dan
kolom tabung baja tanpa isian beton maupun dengan
isian beton sesuai standard Indonesia, dan
mengetahui
sambungan yang cocok untuk

kondisi seismik sesuai standard Indonesia, serta
dapat memberikan salah satu alternatif
penggunaan sambungan balok baja dan kolom
tabung baja komposit yang efisien dan mudah

dilaksanakan di lapangan.
II.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai perilaku sambungan balok
baja dan kolom tabung baja dengan isian beton telah
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Schneider &
Alostaz (1998) membuat beberapa bentuk sambungan
skala besar yang diuji dengan menggunakan pedoman
ATC-24 untuk pengujian seismik siklik komponen
baja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelasan
potongan sambungan langsung ke permukaan tabung
baja mengakibatkan terjadinya deformasi yang besar
pada dinding tabung. Besarnya deformasi pada
dinding tabung yang terbuat dari flens girder, las flens,
dinding tabung tersebut sangat rentan terhadap
kegagalan. Perilaku siklik inelastis membaik ketika
diafragma
eksternal
digunakan

untuk
mendistribusikan kekuatan flens di sekitar tabung, dan
sambungan mampu mengembangkan kekuatan lentur
dari balok utama. Memperpanjang potongan
sambungan girder melalui seluruh kolom tabung baja
diisi beton cukup baik untuk meningkatkan kekuatan
plastis lentur dari girder yang terhubung, dan
menunjukkan
kinerja
siklik
inelastis
yang
menguntungkan.
Dari hasil pengujian dapat dinyatakan bahwa
sebuah diafragma berukuran minimum tidak efisien
dalam mengurangi gaya geser yang besar pada
dinding kolom tabung baja. Namun, kinerja detail ini
memiliki peningkatan yang signifikan jika
dibandingkan dengan detail sambungan yang dilas
sederhana. Sambungan dengan tambahan diafragma

2

berukuran minimum berdasarkan penelitian tersebut
dapat digunakan di daerah resiko gempa rendah.
III.
LANDASAN TEORI
A. Struktur Baja Tahan Gempa
Menurut Moestopo (2012) prinsip dari
perencanaan bangunan tahan gempa adalah untuk
mencegah terjadinya kegagalan struktur dan
kehilangan korban jiwa, dengan tiga kriteria standar
sebagai berikut :
1. Pada saat gempa kecil tidak diijinkan terjadi
kerusakan sama sekali.
2. Pada saat gempa sedang diijinkan terjadi
kerusakan ringan tanpa kerusakan struktural
3. Pada saat gempa besar diijinkan terjadi kerusakan
struktural tanpa keruntuhan.
Ada beberapa hal-hal yang harus diperhatikan
dalam merencanakan suatu struktur tahan gempa yaitu

dalam menghadapi gempa besar, kinerja struktur
tahan gempa diupayakan dapat menyerap energi
gempa secara efektif melalui terbentuknya sendi
plastis pada bagian tertentu, dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Kekuatan, kekakuan, daktilitas, disipasi energi
yang dapat dipenuhi oleh struktur baja.
2. Disipasi energi melalui suatu plastifikasi
komponen struktur tertentu, tanpa menyebabkan
keruntuhan struktural yang terpenuhi dengan
konsep perencanaan Capacity Design (desain
kapasitas).
B. Sistem Sambungan Struktur Baja
Menurut LRFD-A2.2 jenis sambungan yang
dipakai pada konstruksi baja dibedakan menjadi 3
(tiga) tipe :
1. Tipe terkekang penuh (fully restrained / FR),
sambungan yang memiliki kontinuitas penuh
sehingga sudut pertemuan antara batang-batang
tidak berubah, yakni pengekangan rotasi sekitar
90% atau lebih dari yang diperlukan untuk
mencegah perubahan sudut.
2. Tipe rangka sederhana (partially restrained / PR)
Keadaan ini terjadi jika kekangan rotasi pada
ujung-ujung batang dibuat sekecil mungkin.
Biasanya rangka sederhana dianggap terjadi jika
sudut awal antara batang-batang yang
berpotongan dapat berubah sampai 80% atau
lebih dari jumlah perubahan sudut yang secara

teoritis jika digunakan sambungan berengsel
bebas.
3.

Tipe rangka setengah kaku
Rangka setengah kaku terjadi jika kekangan
rotasi kira-kira antara 20% hingga 90% dari yang
diperlukan untuk mencegah perubahan sudut
relatif.

C. Hubungan Join Balok-Kolom
1. Desain Kapasitas
Struktur bangunan tahan gempa pada umumnya
didesain terhadap gaya gempa yang lebih rendah dari
pada gaya gempa rencana. Hal ini dimungkinkan
karena struktur didesain untuk mengalami kerusakan
atau berperilaku inelastik, melalui pembentukan
sendi-sendi plastis (plastifikasi) pada elemen-elemen
strukturnya, pada saat menahan beban gempa rencana.
Perilaku inelastik atau plastis tersebut pada dasarnya
memberikan mekanisme disipasi energi pada struktur
sehingga dapat membatasi gaya gempa yang masuk ke
struktur bangunan. Elemen struktur yang rusak atau
berperilaku inelastik tersebut pada hakikatnya
berfungsi sebagai "sekring" bagi struktur bangunan.
Namun, walaupun struktur bangunan berperilaku
inelastik, struktur bangunan tidak boleh mengalami
keruntuhan pada saat menerima beban gempa rencana
atau bahkan beban gempa yang lebih besar. Untuk
dapat menjamin hal tersebut, perilaku inelastik
struktur harus direncanakan dengan baik sehingga
dapat menghasilkan perilaku struktur yang daktail.
Perencanaan yang harus dilakukan meliputi pemilihan
lokasi "sekring" atau elemen-elemen struktur yang
boleh rusak atau berperilaku inelastik, peningkatan
daktilitas elemen-elemen struktur tersebut, dan
perlindungan elemen-elemen struktur lain yang
diharapkan tetap berperilaku elastik. Salah satu
metode desain yang dapat digunakan untuk tujuan ini
adalah metode desain kapasitas (Imran dan Hendrik,
2009:CSA, 1994).
2. Daktilitas
Faktor daktilitas struktur gedung (µ) adalah rasio
antara simpangan ultimit dan simpangan pada saat
terjadinya leleh pertama. sebagaimana ditunjukkan
pada Persamaan 1 berikut (SNI-1726-2002):

µ=

Δ�
Δ�

(1)

dengan, µ : Daktilitas
∆u : Perpindahan dari 80% maksimum
struktur
∆y : Perpindahan pada saat leleh pertama
3. Kekakuan
Kekakuan didefinisikan sebagai gaya yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu lendutan (Gere
dan Timoshenko, 1987). Kekakuan dapat dinyatakan
dalam Persamaan 2 berikut ini:
K =
dengan,



Δ

(2)

K : Kekakuan (kN/mm)
P : Gaya (kN)
∆ : Perpindahan (mm)
3

4. Pola Keruntuhan
Meskipun keruntuhan struktur baja pada
umumnya merupakan keruntuhan daktail, namun
dalam bermacam variasi kondisi, keruntuhan baja
dapat merupakan keruntuhan getas dan keruntuhan
lelah (Setiawan, 2008) :
1. Keruntuhan getas adalah merupakan suatu
keruntuhan yang terjadi secara tiba-tiba tanpa
didahului deformasi plastis, terjadi dengan
kecepatan yang sangat tinggi. keruntuhan ini
dipengaruhi
oleh
temperatur,
kecepatan
pembebanan, tingkat tegangan, tebal pelat, dan
sistem pengerjaan.
2. Keruntuhan lelah (fatigue failure) adalah
keruntuhan yang disebabkan oleh pembebanan
yang bersifat siklik. Keruntuhan lelah dipengaruhi
oleh jumlah siklus pembebanan, perbedaan antara
tegangan maksimum dan minimum, serta cacatcacat dalam material seperti retak-retak kecil.
Proses pengelasan cacat dapat diartikan sebagai
takikan pada pertemuan antara dua elemen yang
disambung. Lubang baut yang mengakibatkan
dikontinuitas pada elemen juga dapat diartikan
sebagai cacat pada elemen tersebut. Cacat-cacat
kecil dalam suatu elemen dapat diabaikan dalam
suatu proses desain struktur, namun pada struktur
yang mengalami beban-beban siklik, maka retakan
akan makin bertambah panjang untuk tiap siklus
pembebanan sehingga akan mengurangi kapasitas
elemen untuk memikul beban. Mutu baja tidak
terlalu mempengaruhi keruntuhan lelah ini.
5. Drift Ratio
Drift ratio merupakan perbandingan antara
defleksi lateral yang terjadi akibat beban lateral dan
ketinggian beban lateral. Drift ratio dinyatakan dalam
persen dan dapat dihitung dengan persamaan:
Drift ratio = ∆ / L (%)
(3)
dengan, ∆ : Defleksi yang terjadi akibat beban lateral
L : Ketinggian beban lateral
D. Kriteria Kehandalan Sistem Struktur
1. Observed Hysteresis Curve
Hysteresis curve merupakan kurva yang
dihasilkan dari pembebanan bolak-balik yang
dilakukan pada benda uji dan menggambarkan
kenaikan pembebanan dan simpangan sampai
mencapai beban maupun simpangan yang dikehendaki
pada setiap siklusnya seperti pada Gambar 1.
2. Envelope Curve
Envelope curve terdiri dari beban
pertama dari masing-masing siklus
lateral bolak-balik seperti pada
Displacement pada arah posistif

puncak siklus
pembebanan
Gambar 1.
menghasilkan

envelope curve positif, sedangkan displacement arah
negatif menghasilkan envelope curve negatif.

Gambar 1. Observed Hysteretic Curve and Envelope
Curve (ASTM E 2126-02a, 2003)

3. Hysteretic Loops
Hysteretic loops seperti pada Gambar 2
dihasilkan dari pengujian dengan pembebanan bolakbalik merupakan hubungan antara beban dan
simpangan, hubungan ini menunjukkan kapasitas dan
perilaku struktur dalam menerima dan menahan beban
pada tiap siklusnya.

Gambar 2. Hysteretic Loops dan Potential Energy
(ASTM E 2126-02a, 2003)

4. Hysteretic Energy (HE)
Hysteretic energy adalah luasan total dari kurva
tertutup (bentuk daun) pada hysteretic loops diambil
pada setiap siklusnya. Energi ini merupakan energy
serapan (energy dissipation) pada kolom untuk setiap
siklus pada Gambar 2.
5. Potential Energy (PE) dan Kekakuan Siklus
(Kc)
Potential Energy pada setiap siklus merupakan
luasan total segitiga ABC dan AED pada Gambar 2.
Energi potensial merupakan energi maksimum yang
dimiliki atau disimpan oleh benda uji untuk
melakukan usaha (gaya kali jarak atau simpangan)
pada beban dan simpangan yang maksimum.
Kekakuan siklus merupakan kekakuan struktur
akibat beban luar yang bekerja pada setiap siklus.
Kekakuan merupakan besarnya gaya yang mampu
ditahan atau diserap oleh struktur, seperti yang
ditunjukkan oleh garis AC dan AE pada Gambar 2.
6. Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)
Equivalent Viscous Damping ratio (EVDR) dapat
diperhitungkan berdasarkan Persamaan 4.
4

EVDR =

��

�.�.�

(4)

Dengan:
EVDR : Equivalent Viscous DampingRatio
HE
: Hysteretic Energy (kN.mm)
PE
: Potential Energy (kN.mm)
7. Equivalent Energy elastic-Plastic (EEEP) Curve
Kurva elastic plastis energi ekivalen (untuk
selanjutnya disebut kurva elastic-plastic), awal kurva
berupa garis dengan kemiringan yang sama dengan
kemiringan kurva beban-simpangan pada saat 0,4Ppeak
dengan simpangan ∆0,4Ppeak dan garis mendatar yang
menghubungkan simpangan leleh dan simpangan
ultimit pada sumbunya seperti pada Gambar 3.

simpangan + 0,0035 harus tidak kurang dari
0,05 kali kekakuan awal (lihat Gambar 6).
4. Benda uji yang memenuhi kriteria pada 1) sampai
dengan 3) dapat digunakan pada sistem struktur
rangka pemikul momen dengan Kategori Disain
Seismik (KDS) D, E, atau F .
5. Bilamana kriteria 3 tidak terpenuhi pada tingkat
ratio drift 3,5% tapi dapat dipenuhi pada tingkat
ratio drift 2,5%, maka benda uji dapat digunakan
pada sistem struktur rangka pemikul momen
menengah dengan nilai R (faktor modifikasi
respon) maksimum 6.
6. Nilai R (faktor modifikasi respon) dapat
ditetapkan lain dari 3) dan 5) di atas selama dapat
dibuktikan dengan metode eksperimental dan
analisis yang dapat dipertanggung jawabkan.

Gambar 3. Kurva Elastis-Plastis (ASTM E 2126-02a,
2003)

E. Kriteria Penerimaan
Benda uji dikatakan berkinerja memuaskan
bilamana semua kriteria berikut ini dipenuhi di kedua
arah responnya:
1. Benda uji harus mencapai tahanan lateral
minimum sebesar En sebelum rasio simpangannya
2 % melebihi nilai yang konsisten dengan batasan
rasio simpangan yang diijinkan peraturan gempa
yang berlaku (lihat Gambar 4).
2. Tahanan lateral maksimum Emaks yang tercatat
pada pengujian tidak boleh melebihi nilai En ,
adalah faktor kuat-lebih kolom uji yang
disyaratkan.
3. Untuk beban siklik pada level simpangan
maksimum yang harus dicapai sebagai acuan
untuk penerimaan hasil uji, dimana nilainya tidak
boleh kurang dari 0,035, karakteristik siklus
penuh ketiga pada level simpangan tersebut harus
memenuhi (a), (b), dan (c):
a) Gaya puncak pada arah beban yang diberikan
tidak boleh kurang daripada 0,75 Emax pada
arah beban yang sama (lihat Gambar 5).
b) Disipasi energi relatif tidak boleh kurang
daripada 1/8 (lihat Gambar 5).
c) Kekakuan sekan garis yang menghubungkan
titik rasio simpangan – 0,0035 ke rasio

Gambar 4. Besaran Untuk Evaluasi Kriteria
Penerimaan (ACI Standard, ACI T1.1, 2001)

Gambar 5. Disipasi Energi Relatif (ACI Standard, ACI
T1.1, 2001)

5

C. Pelaksanaan Penelitian
1. Bagan Alir Penelitian
Pelaksanaan penelitian dimulai dari studi literatur,
perencanaan material dan pemodelan benda uji hingga
penarikan kesimpulan yang dapat dilihat dalam bagan
alir penelitian pada Gambar 8.

Gambar 6. Perilaku Histeristik yang tidak dapat
diterima (ACI Standard, ACI T1.1, 2001)

IV.
METODE PENELITIAN
A. Perancangan Benda Uji
Perancangan skala dan dimensi benda uji pada
penelitian ini didasarkan pada kapasitas peralatan
Laboratorium Mechanics of Material Pusat Studi Ilmu
Teknik Universitas Gadjah Mada. Perhitungan dan
analisis gaya dalam dilakukan dengan menggunakan
metode LRFD.
B. Ketentuan Pengujian
Ketentuan Pengujian dalam penelitian ini diatur
dalam ACI T1.01, antara lain:
1. Benda uji harus dibebani oleh rangkain urutan
siklus kontrol perpindahan yang mewakili drift
yang diharapkan terjadi pada sambungan disaat
gempa.
2. Tiga siklus penuh harus diaplikasikan pada setiap
ratio drift (Gambar 7)
3. Ratio drift awal harus berada dalam rentang
perilaku elastik linier benda uji. Ratio drift
berikutnya harus bernilai tidak kurang dari pada
1 kali, dan tidak lebih dari pada 1 kali ratio drift
4
sebelumnya (Gambar 7)
4. Pengujian harus dilakukan dengan meningkatkan
ratio drift secara bertahap hingga tercapai nilai
ratio drift minimum 0,035.
5. Data yang diperlukan untuk menginterpretasikan
kinerja benda uji secara kualitatif harus direkam.
Data ratio drift benda uji versus gaya geser kolom
harus direkam secara menerus. Dokumen foto
yang memperlihatkan kondisi benda uji disetiap
akhir siklus pembebanan harus diambil.

Gambar 8. Bagan Alir Penelitian

2. Pembuatan Benda Uji
Pembuatan benda uji dibuat berdasarkan kapasitas
peralatan Laboratorium Mechanics of Material Pusat
Studi Ilmu Teknik Universitas Gadjah Mada serta
pengembangan dari hasil penelitian-penelitian
sebelumnya. Pada penelitian ini dibuat 2 buah benda
uji, yaitu 1 buah benda uji sambungan balok-kolom
tabung baja tanpa isian beton (BKD-T) sebagai
pembanding, dan 1 buah benda uji sambungan balokkolom tabung baja dengan isian beton (BKD-K).
Detail benda uji dapat dilihat pada Gambar 9, dan
Gambar 10.
100 mm

Las
Pelat Diafragma Tebal = 5.8 mm

100 mm

3 mm

Baut Ø 19 mm
65mm

Kosong (BKD-T)
Concrete (BKD-K)

Las
5,8 mm

Gambar 9. Tampak Atas Benda Uji
Gambar 7. Siklus pembebanan dengan kontrol
perpindahan (ACI Standard, ACI T1.1, 2001)

6

213.9 mm

5. Tahapan Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pipa Baja diameter 213,9 mm, Tebal = 5,3 mm

1800 mm

1850 mm
Balok IWF 200.100. 5,5. 8

Las

3 mm
Baut Ø 19 mm

Las

IWF 200

Pelat Diafragma Tebal = 5.8 mm

3 mm
Tebal Sambungan Las = 3 mm

Gambar 10. Tampak Samping Benda Uji

3. Pemasangan Strain Gauge
Strain gauge dipasang setelah pembuatan benda
uji, dan digunakan untuk mengetahui regangan yang
terjadi pada sambungan pelat diafragma melingkar sisi
kanan dan kiri serta pada kolom bagian bawah dan
atas. Nilai regangan yang terjadi dibaca pada DAQ
LabJack.

4. Pengujian Sambungan Balok-Kolom
Pengujian benda uji dilakukan di Laboratorium
Mechanics of Material Pusat Studi Ilmu Teknik
Universitas Gadjah Mada. Pengujian dilakukan
setelah beton pengisi pada kolom tabung baja
mencapai umur 28 hari. Pada kedua ujung kolomnya
diberi tumpuan sendi-rol. Sedangkan pada balok
bagian atas dibiarkan bebas untuk dilakukan
pembebanan bolak-balik atau siklik. Pembebanan
bolak-balik dilakukan dengan displacement controlled
seperti yang disyaratkan dalam ACI TI. 1-01. Sett up
pengujian dapat dilihat pada Gambar 11 berikut:

Gambar 11. Sett Up Pengujian (Tampak Atas)

Tahap pengumpulan data dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, pengumpulan data berdasarkan
pengamatan parameter pada material berupa
pengamatan karakteristik dari masing-masing material
untuk selanjutnya dijadikan acuan dalam pembuatan
benda uji. Kedua, pengumpulan data berupa
pengamatan parameter pada pengujian. Setelah
pengumpulan data, dilakukan analisis atau pengolahan
data menggunakan alat bantu komputer. Hasil yang
diperoleh dari pengujian berupa hubungan beban dan
defleksi membentuk kurva histerisis yang akan
dianalisis terhadap kekuatan, kekakuan, dan energi
yang diserap. Peningkatan akibat adanya inti beton
akan dibandingkan dengan kondisi tabung baja
kosong. Dari 2 (dua) buah benda uji akan diamati tipe
kerusakannya serta rekomendasi sambungan yang
paling efektif dan efisien.
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengujian Bahan
Dari hasil pengujian tarik profil pipa baja diambil
fy = 337,28 MPa dan fu = 411,81 MPa, pelat baja
diambil fy = 359,95 MPa dan fu = 508 MPa, IWF
badan diambil fy = 359,41 MPa dan fu = 482,71 MPa,
serta IWF sayap diambil fy = 320,61 MPa dan fu =
461,18 MPa. Hasil pengujian tarik baut baja UNS 4.6
diambil fy = 456,78 MPa dan fu = 491,33 MPa.
Adapun Komposisi campuran yang digunakan sebagai
beton pengisi kolom tabung pipa baja dalam
pembuatan benda uji adalah beton cor ditempat
dengan mutu beton K300 (fc’ = 25,18 MPa).
B. Hasil Pengujian Sambungan
1. Persyaratan Umum Struktur Baja Tahan
Gempa
a. Mekanisme Strong Column Weak Beam
Pada benda uji BKD-T, pelat sambung diafragma
melingkar mengalami leleh lebih dulu pada drift ratio
ke-7 siklus pertama (1,4%). Untuk, kolom baja pipa
yang tidak terisi beton mengalami leleh pada drift
ratio ke-12 siklus pertama (4,375%). Namun, pelat
sambungan diafragma melingkar mengalami leleh
pada beban lateral 26,08 kN dan kolom pipa baja
mengalami leleh pada beban lateral 28,29 kN.
Berdasarkan kerusakan dan keruntuhan pada benda uji
BKD-T, kerusakan lebih dominan terjadi pada pelat
sambungan diafragma melingkar dan disekitar
sambungan las keliling yang menghubungkan pelat
diafragma melingkar dan kolom pipa baja.
Pada benda uji BKD-K, pelat sambung baja
diafragma melingkar mengalami leleh lebih dulu
tanpa adanya retak awal pada drift ratio ke-6 siklus
pertama (1%). Untuk kolom baja pipa yang terisi
7

beton tidak mengalami kelelehan dan kerusakan.
Namun, pelat sambungan diafragma melingkar
mengalami leleh pada beban lateral 24,48 kN. Dari
pola kerusakan dan keruntuhan pada benda uji BKDK, kerusakan pada pelat sambung diafragma
melingkar dan sambungan las tumpul yang
menghubungkan pelat sayap dari balok IWF dan pelat
sambung diafragma melingkar lebih dominan.
Dengan demikian, benda uji BKD-T dan BKD-K
tidak memenuhi kaidah sambungan kolom-balok yang
dapat dipakai di sistem struktur baja dan beton
komposit tahan gempa pemikul momen khusus.
Karena berdasarkan hasil pengujian, benda uji BKD-T
dan BKD-K belum memenuhi sambungan yang
mempunyai kemampuan daktilitas yang cukup.

Beban Lateral V (kN)

40

Benda
Uji

1
2

BKD-T
BKD-K

Faktor
Daktilitas
(µ) = ∆u/∆y
3,55
3,19

Berdasarkan persyaratan dalam SNI-1726-2012,
nilai faktor pembesaran defleksi atau daktilitas
struktur gedung di dalam perencanaan struktur gedung
dapat dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh
diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum m yang dapat dikerahkan oleh masingmasing sistem atau subsistem struktur gedung. Untuk
sistem struktur rangka baja dan beton komposit
pemikul momen biasa memiliki nilai m sebesar 2,5,
dan untuk sistem struktur rangka baja pemikul momen
biasa memiliki nilai m sebesar 3. Sehingga benda uji
BKD-T memiliki faktor daktilitas yang sedikit lebih
tinggi dari ketentuan yang telah ditentukan, dan benda
uji BKD-K memenuhi persyaratan daktilitas yang
telah ditentukan.
2. Hubungan Antara Beban dan Displacement
a. Hysteretic Loops
Hubungan antara beban dan displacement dari
hasil pengujian dapat dilihat pada kuva histeretic
loops Gambar 12, dan Gambar 13.

0

100

200

-20

Beban Lateral V (kN)

40
20
0

-200

-100

0

100

200

-20
-40
Displacement (mm)
Gambar 13. Hysteretic Loop Join BKD-K

Dari Gambar 12, dan Gambar 13 terlihat kapasitas
beban lateral benda uji mengalami peningkatan seiring
dengan penambahan displcement, Terlihat tidak
terjadi perbedaan yang signifikan antara beban lateral
tarik dan beban lateral negatif, sehingga menghasilkan
luasan hysteretic loops yang hampir sama antara arah
beban positif dan negatif.
Selain itu pada Gambar 12, dan Gambar 13 di atas
terlihat benda uji BKD-T memiliki hysteretic loops
yang lebih besar bila dibandingkan dengan benda uji
BKD-K, sehingga disipasi energi yang dimiliki oleh
benda uji BKD-T lebih besar dari benda uji BKD-K.
b. Kurva Beban Lateral dan Displacement
Kurva perbandingan beban lateral dan
displacement dari hasil pengujian pada join BKD-T,
dan BKD-K dapat dilihat pada Gambar 14.
Beban Lateral V (kN)

No

-100

-40
Displacement (mm)
Gambar 12. Hysteretic Loop Join BKD-T

Tabel 1. Faktor Daktilitas
Defleksi
Yield
∆y
(mm)
28,84
22,73

0

-200

b. Daktilitas
Faktor daktilitas adalah perbandingan antara
defleksi failure dan defleksi yield. Hasil analisis dari
masing-masing benda uji dapat dilihat pada Tabel 1.

Defleksi
Failure
∆u
(mm)
102,41
72,43

20

50

Gambar 14. Grafik Beban dan Defleksi Lateral Benda
Uji
0

-150

-100

-50

0

-50

50

100

150

BKD Terisi Beton Positif
BKD Terisi Beton Negatif
BKD Tanpa Terisi Beton Positif
BKD Tanpa Terisi Beton Negatif

Defleksi Lateral (mm)
Gambar 14. Grafik Beban dan Defleksi Lateral Benda
Uji

8

Dari Gambar 14 terlihat bahwa kapasitas beban
lateral rata-rata untuk benda uji BKD-T tanpa isian
beton sebesar 27,32 kN pada displacement 65,98 mm,
dan benda uji BKD-K dengan isian beton sebesar
29,66 kN yang dicapai pada displacement 40,97 mm.
Grafik di atas terlihat bahwa kapasitas beban lateral
benda uji BKD-K lebih besar dari kapasitas beban
lateral benda uji BKD-T. Dari hasil tersebut terlihat
bahwa benda uji BKD-T sedikit lebih daktail bila
dibandingkan dengan benda uji BKD-K.
3. Kriteria Penerimaan
Dari kurva pada Gambar 12, dan Gambar 13 yang
telah diperoleh, dan berdasarkan kriteria penerimaan
seperti yang telah ditetapkan oleh ACI T1.1-01
didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Benda uji BKD-T dan benda uji BKD-K harus
mencapai tahanan lateral minimum En = 31,84 kN
sebelum drift ratio 2%. Beban lateral untuk benda
uji sebelum 2%, untuk benda uji BKD-T sebesar
22,72 kN, benda uji BKD-K sebesar 28,87 kN.
Dengan demikian benda uji BKD-T, dan BKD-K
tidak memenuhi persyaratan.
b. Tahanan lateral maksimum Emax yang tercatat pada
pengujian tidak boleh melebihi nilai En (1,25 x
31,84 = 39,8 kN) untuk benda uji BKD-T dan
BKD-K. Untuk benda uji BKD-T sebesar 28,61
kN, dan benda uji BKD-K rata-rata diperoleh Emax
sebesar 31,98 kN. Benda uji BKD-T dan BKD-K
memiliki nilai gaya lateral yang lebih kecil dari
gaya lateral yang direncanakan. ( adalah faktor
kuat lebih kolom yang digunakan pada modul uji,
= 1,25).
c. Drift maksimum yang harus dicapai sebagai acuan
untuk hasil penerimaan hasil tes, dimana nilainya

tidak boleh kurang dari 0,035, karakteristik siklus
penuh ketiga pada level drift tersebut harus
memenuhi hal-hal sebagai berikut:
a) Gaya puncak pada arah beban yang diberikan
tidak boleh kurang daripada 0,75 Emax pada arah
beban yang sama. Hasil pengujian dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. 0,75 E max
Siklus ke
tiga (+)

Siklus ke
tiga (-)

0,75 Emax
(+)

0,75 Emax
(-)

BKD-T

23,77

-27,87

20,11

-21,42

BKD-K

20,56

-24,82

20,59

-24,33

Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa benda uji
BKD-T dan benda uji BKD-K memenuhi persyaratan
baik dari arah pembebanan positif maupun negatif.
b) Disipasi energi relatif tidak boleh kurang daripada
1/8. Disipasi relatif (β) merupakan ratio
perbandingan antara luasan hysteretic loops (Ah)
putaran ketiga (drift ratio tidak kurang dari 0,75
Emax) dengan luasan (E1+E2)(θ1’+θ2’) yang
ditandai dengan garis putus-putus pada Gambar
12, dan Gambar 13. Disipasi energi relatif pada
masing-masing benda uji dapat dilihat pada Tabel
3.
c) Kekakuan sekan garis yang menghubungkan titik
ratio drift -0,0035 ke ratio 0,0035 harus tidak
kurang dari 0,05 kali kekakuan awal. Kekakuan
masing-masing benda uji dapat dilihat pada Tabel
4.

Tabel 3. Disipasi Energi Relatif
No

Benda Uji

1
2

BKD-T
BKD-K

Drift
(%)
5,46
3,50

Ah
(kN.mm)
2509,76
2506,14

Tabel 4. Perbandingan Nilai Kekakuan
Kekakuan
No
1
2

Benda
Uji
BKD-T
BKD-K

(-0,35%-0,35%)
(kN/mm)
0,895
1,042

0,05
Kekakuan
Awal
(kN/mm)
0,050
0,052

Berdasarkan analisis hasil kriteria penerimaan di
atas, benda uji BKD-T dan BKD-K tidak memenuhi
salah satu persyaratan di atas, yaitu persyaratan pada
kriteria penerimaan a di atas. Tetapi memenuhi
persyaratan b dan c pada drift ratio di atas 3,5%.

E1
(kN)
20,56
20,56

E2
(kN)
23,82
24,83

θ1'
(mm)
121,93
76,20

θ2'
(mm)
121,58
77,22

Β
0,23
0,36

Sehingga benda uji BKD-T dan BKD-K dapat
digunakan pada sistem struktur rangka baja dan beton
komposit pemikul momen biasa dengan kategori
disain seismik B dan C yang nilai R (faktor modifikasi
respon) maksimum dapat diambil 3, dan 3,5.

4. Equivalent Elastic-Plastic Curve (EEPC)
Equivalent Elastic-Plastic Curve (EEPC), yaitu
untuk mendapatkan hubungan antara beban dan
displacement pada saat kondisi retak pertama kali,
yield, peak, dan failure sebagai dasar perhitungan
beban leleh, simpangan leleh, daktilitas dan kekakuan
elastis. Hasil dari analisis dapat dilihat pada Gambar
15, dan Gambar 16 berikut. Perbandingan besarnya
9

Beban Lateral V (kN)

40
30
20
10
0
-130-110-90 -70 -50 -30-10
-10 10 30 50 70 90 110 130
Initial Tarik
-20
Initial Dorong
EEPC Tarik
-30
EEPC Dorong
-40
Displacement (mm)
Gambar 15 EEPC Benda Uji BKD-T

40
30
20
10
0
-130-110-90 -70 -50 -30-10
-10 10 30 50 70 90 110 130
Initial Tarik
-20
Initial Dorong
EEPC Tarik
-30
EEPC Dorong
-40
Displacement (mm)
Gambar 16 EEPC Benda Uji BKD-K

Beban Lateral V (kN)

beban lateral dan displacement lateral untuk kondisi
crack, yield, ultimite dan failure disajikan dalam
Tabel 5.

Tabel 5. Beban dan Defleksi Crack, Yield, Peak dan Failure
No

Benda Uji

1
2

BKD-T
BKD-K

Crack
P

(kN) (mm)
10,98 12,26
11,84 10,98

Yield
P

(kN) (mm)
26,08 28,84
24,48 22,73

5. Drift Ratio
Besarnya nilai drift ratio untuk masing-masing
benda uji dapat dilihat pada Tabel 6.

Peak
P

(kN) (mm)
27,45 65,96
29,61 46,51

Failure
P

(kN)
(mm)
21,96 102,41
23,68 72,43

Daktilitas
(µ)
3,55
3,19

120
100

No

Benda
Uji

Defleksi Pmax
∆Pmax

Drift ratio Pmax
∆Pmax / L

(mm)

(%)

1

BKD-T

65,96

3,57

2

BKD-K

46,51

2,51

% Kc

6. Kekakuan Siklus
Kekakuan siklus dapat dilihat pada Gambar 17,
dan Gambar 18.
120
100
80
60
40
20
0

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

% Kc

80
Tabel 6 Defleksi Maksimum dan Drift Ratio

60
40

Kelengkungan Positif

20

Kelengkungan Negatif

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 18. Kekakuan Siklus Sambungan BKD-K

Dari Gambar 17, dan Gambar 18 terlihat bahwa
kekakuan benda uji baik BKD-T, dan BKD-K
mengalami penurunan seiring pertambahan siklus atau
pertambahan displacement.
7. Kekakuan Elastis (Ke)
Kekakuan elastis adalah perbandingan antara
beban lateral crack dan defleksi lateral pada saat
crack. Hasil perhitungan kekakuan elastis dapat
dilihat pada Gambar 19.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 17. Kekakuan Siklus Sambungan BKD-T

10

1,200

PE (kN.mm)

0,902

Ke (kN/mm)

1,000

1,077

0,800
0,600
0,400
0,200
0,000

BKD-T

4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

BKD-K

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Siklus
Gambar 22. Potential Energy BKD-T

Gambar 19. Kekakuan Elastis (Ke)

HE (kN.mm)

2000
1500

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

1000

PE (kN.mm)

8. Hysteretic Energy (HE)
Hysteretic energy adalah luasan loop pada setiap
siklusnya. Hasil perhitungan hysteretic loop dapat
dilihat pada Gambar 20, dan Gambar 21.
2500

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 23. Potential Energy BKD-K

500
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 20. Hysteretic Energy BKD-T

Dari Gambar 22, dan Gambar 23 terlihat bahwa
benda uji BKD-T memiliki potential energy lebih
besar dibandingkan dengan benda uji BKD-K.

2500

HE (kN.mm)

2000
1500

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

1000
500

10. Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)
Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)
menggambarkan besarnya redaman struktur dalam
menerima beban luar. Nilai dari equivalent viscous
damping ratio (EVDR) masing-masing benda uji dapat
dilihat pada Gambar 24, dan Gambar 25.

0

Gambar 21. Hysteretic Energy BKD-K

Dari Gambar 20, dan Gambar 21 terlihat bahwa
benda uji BKD-T memiliki hysteretic energy yang
lebih besar dari benda uji BKD-K. Hal ini
menunjukkan bahwa benda uji BKD-T memiliki
redaman yang lebih baik.
9. Potential Energy (PE)
Hasil perhitungan potential energy dapat dilihat
pada Gambar 22, dan Gambar 23.

EVDR (%)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus

35
30
25
20
15
10
5
0

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 24. EVDR BKD-T

11

EVDR (%)

35
30
25
20
15
10
5
0

Kelengkungan Positif
Kelengkungan Negatif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Siklus
Gambar 25. EVDR BKD-K

Berdasarkan Gambar 24, dan Gambar 25
menunjukkan bahwa nilai EVDR masing-masing
benda uji memiliki nilai yang relatif tidak jauh
berbeda. Nilai EVDR masing-masing benda uji berada
di sekitar 1%-32%.
11. Pola Keruntuhan
Benda uji BKD-T mengalami keruntuhan yang
terjadi pada penurunan beban tarik sebesar 60,34%
dari beban puncak pada driftt ratio ke-13 (5,46%), dan
penurunan beban tekan sebesar 62% dari beban
puncak pada drift ratio ke-14 (6,79%). Adapun
benda uji BKD-K mengalami keruntuhan yang terjadi
pada penurunan beban sebesar 80% dari beban lateral
puncak pada drift ratio ke-12 (4,36%). Pola
keruntuhan yang terjadi pada benda uji BKD-T dan
BKD-K adalah tipe keruntuhan lelah (fatigue failure),
dimana retakan akan makin bertambah panjang untuk
tiap siklus pembebanan sehingga akan mengurangi
kapasitas elemen sambungan untuk memikul beban.
Pola keruntuhan dapat dilihat pada Gambar berikut:

Gambar 27 Keruntuhan Pada Saat Penurunan Beban
Puncak BKD-T Sisi Atas

Gambar 28 Keruntuhan Pada Saat Penurunan Beban
Puncak BKD-K Sisi Bawah

Gambar 26 Keruntuhan Pada Saat Penurunan Beban
Puncak BKD-T Sisi Bawah
Gambar 34 Keruntuhan Pada Saat Penurunan Beban
Puncak BKD-K Sisi Atas

12

VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pengujian, pembahasan dan analisis
yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Benda uji BKD-T dan benda uji BKD-K
memenuhi kaidah sambungan kolom-balok yang
dapat dipakai pada sistem struktur rangka baja
dan struktur rangka baja beton komposit tahan
gempa
pemikul
momen
biasa.
karena
berdasarkan hasil pengujian, benda uji tersebut
memenuhi
sambungan
yang
mempunyai
kemampuan daktilitas yang cukup.
2. Dari kontrol daktilitas menunjukkan bahwa
benda uji BKD-T memiliki daktilitas yang tidak
jauh berbeda dengan benda uji BKD-K, dan
faktor daktilitas benda uji BKD-T sedikit lebih
besar dibandingkan benda uji BKD-K. Sehingga
benda uji BKD-T memiliki faktor daktilitas yang
sedikit lebih tinggi dari ketentuan yang telah
ditentukan dalam SNI-1726-2012, dan benda uji
BKD-K memenuhi persyaratan daktilitas yang
telah ditentukan dalam SNI-1726-2012.
3. Dari hubungan beban dan displacement,
kapasitas beban lateral rata-rata untuk benda uji
BKD-T sebesar 27,32 kN pada displacement
65,98 mm (drift ratio 3,57%), dan benda uji
BKD-K sebesar 29,66 kN yang dicapai pada
displacement 40,97 mm (drift ratio 2,2%). Dari
nilai di atas terlihat bahwa, kapasitas beban
lateral benda uji BKD-K lebih besar dari
kapasitas beban lateral benda uji BKD-T.
4. Nilai kekakuan benda uji BKD-T, dan BKD-K
mengalami
penurunan
seiring
dengan
pertambahan
siklus
atau
pertambahan
displacement.
5. Kekakuan elastis benda uji BKD-T sebesar
0,902, dan benda uji BKD-K sebesar 1,077. Hal
ini menunjukkan bahwa kekakuan elastis benda
uji BKD-K sedikit lebih besar dari benda uji
BKD-T.
6. Dari hasil analisis hysteretic energy, benda uji
BKD-T memiliki hysteretic energy yang lebih
besar dari benda uji BKD-K. Hal ini
menunjukkan bahwa benda uji BKD-T memiliki
redaman yang sedikit lebih baik dari pada benda
uji BKD-K.
7. Pola keruntuhan yang terjadi pada benda uji
BKD-T dan benda uji BKD-K adalah tipe
keruntuhan lelah (fatigue failure),
dimana
retakan akan makin bertambah panjang untuk
tiap siklus pembebanan sehingga akan
mengurangi kapasitas elemen sambungan pelat
diafragma melingkar untuk memikul beban.

8.

Berdasarkan kriteria penerimaan ACI T1.1-01
yang telah diuraikan pada Bab V, benda uji
BKD-T dapat digunakan pada sistem struktur
rangka baja pemikul momen biasa dengan
kategori disain seismik B dan C yang nilai R
(faktor modifikasi respon) maksimum diambil
3,5. Sedangkan benda uji BKD-K dapat
digunakan pada sistem struktur rangka baja dan
beton komposit pemikul momen biasa dengan
kategori disain seismik B yang nilai R (faktor
modifikasi respon) maksimum diambil 3.

B. Saran
Adapun saran berdasarkan pembuatan dan
pengujian benda uji di laboratorium sebagai berikut:
1. Kapasitas dan jumlah LVDT perlu diperhatikan,
terutama untuk pengujian dengan bentang yang
panjang, sehingga tidak perlu mengubah posisi
LVDT. Hal ini terkait dengan ketelitian dalam
pengujian.
2. Dibutuhkan salah satu alternatif penggunaan
sambungan balok baja dan kolom tabung baja
komposit yang efisien dan mudah dilaksanakan
di lapangan, sehingga dapat memberikan
kontribusi yang baik pada kekuatan struktur.
3. Diperlukan penelitian model eksperimen lebih
lanjut untuk mendapatkan bentuk sambungan
pada balok baja dan kolom tabung baja komposit
yang efisien dan mudah dilaksanakan di
lapangan, serta dapat memenuhi kriteria pada
kondisi seismik sesuai standard Indonesia yang
berlaku.
4. Perlu dilakukan pemodelan analisis numerik
terhadap bentuk sambungan pada balok baja dan
kolom tabung baja dengan isian beton.
DAFTAR PUSTAKA

ACI T1.1-01 Innovation Task Group 1 and
Collaborators,
2001,
Commentary
on
Acceptance Criteria for Moment Frames
based on Struktural Testing, American
Concrete Institute.
ACI 374. 1-05 (2005), Acceptance Criteria for
Moment Frames Based on Structural Testing.
Alostaz, Y. M. and Schneider, S. P., 1998,
Experimental Behavior of Connections to
Concrete-Filled Steel Tubes. Journal of
Constructional Steel Research, Vol. 45, No. 3,
pp. 321–352.
ASTM, 2003. Annual Books of ASTM Standards. In E
2126-02a, Standard Test Methods for Cyclic
(Reversed) Load Test for Shear Resistance of
Walls for Building Designation, USA.

13

Badan Standarisasi Nasional, 2002, SNI 03 - 1729 2002, Tata Cara Perencanaan Struktur Baja
Untuk Bangunan Gedung, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional, 2002, SNI 03 - 1726 2002, Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung,
Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional, 2002, SNI 03-28472002, Tata Cara Perhitungan Beton untuk
Bangunan Gedung, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional, 2012, SNI 03-17262012, Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan
Non Gedung, Jakarta.
Gere, J. M. dan Timosenko, S. P., 1997, Mekanika
Bahan, Jilid 1, Edisi Keempat, Erlangga,
Jakarta.
Imran, I. dan Hendrik, F., 2010, Perencanaan Struktur
Gedung Beton Bertulang Tahan Gempa,
Institiut Teknologi Bandung, Bandung.
Moestopo, M., 2012, Struktur Bangunan Baja Tahan
Gempa, Seminar dan Pameran HAKI, Jakarta.
Setiawan, A., 2008, Perencanaan Struktur Baja
Dengan Metode LRFD, Erlangga, Semarang.

14