KAJIAN YURIDIS EMPIRIS DAN SOCIO LEGAL A
KAJIAN YURIDIS EMPIRIS DAN SOCIO-LEGAL ANALYSIS: Pengembangan
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Oleh: Kodrat Wibowo, SE, Ph.D
ABSTRACT
In the theory of development, investment is one of the most effective ways to
optimize the management of existing potentials and resources. It opens more jobs,
improves productivity, increases income per capita, and encourages economic
growth. Formation of investment attractiveness has been decreasing continuously
over time and is influenced by many aspects: Economic factors, political and
institutional, social, and culture, are believed to be some of the key factors forming
investment attractiveness of an area. Primary Regulation related to investments is
Law No. 25 Year 2007 regarding Investment (UUPM) which has now covered all
important aspects in investments. UUPM is to increase investment from the point of
view of government and certainty to invest in terms of entrepreneurs/investors
perspective. Though, inconsistencies between investment policy and policies in
other sectors are very disturbing.
After decentralization era with a more regional autonomy, the authority in capital
investment is very difficult to implement within a spirit of unity and cooperation
both among regions, horizontally and between governments vertically. With the
inconsistency and lack of synchronized of UUPM with the other legislation, as well
as obstacles to the effort to promote investments that have a spirit of cooperation in
the development of the region, this study provides recommendations to policy
makers to improve the UUPM and its supporting regulations in order to support the
acceleration of national development, but without sacrificing the political and
economic sovereignty of Indonesia, and of course supporting sustainability by
applying Empirical-Juridical and Socio-Legal Analysis.
Keywords: Investment, Regulation, Juridical, Socio-Legal.
1. Latar Belakang
Apabila iklim investasi di daerah; provinsi dan kota/kabupaten, berjalan dengan
dinamis maka akan ada implikasi positif bagi stabilitas ekonomi di tingkat
nasional, sebab dalam teori pembangunan, investasi merupakan salah satu cara
efektif untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi yang ada, membuka lebih
banyak lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan
per kapita, dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Artinya, apabila terjadi
pertumbuhan ekonomi yang positif di daerah maka kondisi perekonomian
nasional pun akan dengan sendirinya ikut terjamin.
Oleh karena itulah, tiap daerah memiliki kewenangan untuk terus memperbaiki
iklim investasi agar roda perekonomian semakin tumbuh dan berkembang.
Investasi atau penenaman modal pada sektor-sektor unggulan baru di daerah
juga akan mendorong tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor-sektor
lain sebagai penunjang. Efek multiplier inilah yang menjadikan investasi sebagai
prioritas dalam kebijakan perekonomian di daerah.
1
Regulasi utama yang terkait dengan Investasi adalah UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pada undang-undang tersebut tujuan dari
penanaman modal adalah untuk :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
Menciptakan lapangan kerja;
Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan ;
Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal dari baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.
UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting
(termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor,
ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang
terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan
kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Namun Wibowo (2013)
menyatakan bahwa inkonsistensi kebijakan penanaman modal dengan kebijakan
di sector lain sangatlah mengganggu.1
Dengan diserahkannya kewenangan atas sejumlah urusan pemerintahan,
termasuk di bidang ekonomi kepada pemerintah daerah, maka para pelaku usaha
akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, daripada
dengan pemerintah pusat. BKPMD bertugas melakukan koordinasi antara
seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan
pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha
penanaman modal. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan dengan baik
karena berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi dengan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah Kabupaten/Kota
terlalu kuat walaupun sudah dikeluarkan kebijakan posisi Propinsi sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2010
Jo. PP No 23 Tahun 2011 tentang Penguatan peran gubernur sebagai kepala
daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Lebih parah lagi,
ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,
tetapi harus menjadi satu kesatuan terintegrasi dengan kebijakan aturan ijin-ijin
lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan
penanaman modal dan usaha.
Terlebih lagi masalah penanaman modal tidak mudah dijalankan kebijakannya
terkait dengan fakta bahwa pasca desentralisasi dan otonomi daerah
kewenangan dalam hal penanaman modal sangat sulit dilaksanakan dalam
semangat kebersamaan dan kerjasama antar daerah dan antar pemerintahan
baik vertikal maupun horizontal. Secara eksplisit penyelenggaraan urusan
penanaman modal seperti tertuang dalam UU Penanaman Modal sebenarnya
cukup jelas didistribusikan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang
1 Kodrat Wibowo, “Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi Kebijakan Ekonomi Nasional
(Indonesia and The Needs of Policy Consisntency), Artikel dalam buku: “Sumbangsih Unpad Bagi
Pemimpin Bangsa (Unpad’s Contribution for Nation Leaders)”, Unpad Press, 2013.
2
Pemerintahan Daerah yang diadopsi dari PP No. 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yaitu untuk kasus dimana
bentuk penanaman modal di daerah merupakan penanaman modal yang
kepentingannya lintas wilayah secara horizontal khususnya Kabupaten/Kota
maka peran dan posisi pemerintah pusat dan propinsi sangatlah dominan.
Namun seperti sudah diketahui secara umum, pertentangan atau konflik
kepentingan khususnya politik antar pemerintahan kabupaten/kota
menyebabkan bentuk penanaman modal yang sebenarnya berguna dalam upaya
pembangunan kawasan sangat sulit kita temukan. Penguatan peran gubernur
seakan-akan tidak ampuh dalam mengatasi hambatan kerjasama ini. Dengan
ketidak-konsistenan dan ketidak-singkronan UU No. 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dengan peraturan perundang-undangan lainnya, beserta
hambatan-hambatan yang nyata dalam upaya menggalakkan penanaman modal
yang memiliki semangat kerjasama dalam pembangunan kawasan disadari
kebutuhan adanya upaya menyempurnakan UU ini guna mendukung percepatan
pembangunan nasional namun tanpa mengorbankan kedaulatan politik serta
ekonomi Indonesia dan tentunya bernafaskan keberlanjutan.
1.1.
Permasalahan
Penanaman modal dalam pembangunan ekonomi dalam skala domestik
seringkali dikaitkan dengan peran intermediasi perbankan dalam sector
ekonomi. Sebenarnya sumber permodalan yang ada di pasar sangatlah beragam,
mulai dari perbankan, financing, koperasi simpan pinjam, pasar saham,
reksadana, dll. Dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2013
tercatat pada tabel 1 hanya 5,54% dari total permodalan perbankan komersil
(Bank Umum) mendanai sektor pertanian (termasuk perburuan dan kehutanan),
yaitu sebesar Rp117.16 triliun; angka ini tidak jauh berbeda dengan data tahun
2011 di mana kredit yang disalurkan perbankan komersil ke sektor pertanian
hanya sebesar 5,21%. Jumlah penyaluran kredit pada tahun 2013 tersebut sangat
jauh lebih kecil dibanding dana kredit yang disalurkan perbankan umum ke
sektor industri pengolahan (17,4%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran
(20,04%), apalagi sektor non usaha berupa kredit konsumtif, kendaraan
bermotor, dan perumahan (27,88%). Pada tahun yang sama, dari sisi permodalan
perbankan asing hanya 10% saja dari total dana kredit yang disalurkan
digunakan untuk mendanai sektor pertanian .
Data Bank Indonesia tahun 2012 menunjukkan pula bahwa dari total dana Kredit
Usaha Rakyat (KUR) perbankan sebesar Rp2,7 triliun, hanya 7,73% saja yang
disalurkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pertanian; porsi
60% dana KUR tersebut disalurkan untuk UMKM bidang lain seperti
perdagangan (47,28%) dan jasa lainnya (12,72%). Sehingga disadari bahwa
dibutuhkan jenis modal lain yang tidak terbatas pada modal perbankan seperti
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri (PMA/PMDN).
Investor akan menanamkan modalnya pada tempat yang peluang investasinya
kondusif. Salah satu faktor yang dijadikan parameter untuk menilai apakah
tempat berinvestasi kondusif atau tidak, adalah keberadaan kepastian hukum.
Dalam artii bahwa pelaku usaha mendapatkan jaminan dan rasa aman dalam
3
menjalankan usahanya oleh peraturan perundang-undangan yang jelas karena
keputusan investor untuk menanamkan modalnya pada suatu negara tidak
terlepas dari perhitungan bisnis yang identik dengan untung dan rugi. Disinilah
diperlukan penyempurnaan UU penanaman modal dalam hal ini UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal untuk mengantisipasi kegiatan investasi di
Indonesia agar dapat berkompetisi dalam menarik investor namun tetap
mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya yang tidak melanggar
kedaulatan Negara dan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara
umum.
1.2.
Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah menyediakan rekomendasi kebijakan
penyempurnaan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terkait
Kerjasama Kawasan dengan pendekatan Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis
sehingga kedepan akan tersedia regulasi tentang penanaman modal yaang
mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan sekaligus sebagai
jawaban atas konsep pasar bebas yang tetap berpedoman pada filosofi ekonomi
Indonesia yang mengarahkan negara pada bentuk negara kesejahteraan.
1.3.
Metode Kajian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian
sosio-Legal dan yuridis empiris yang merupakan penelitian untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum di dalam
masyarakat, karena itu metode ini menekankan pada data-data primer yaitu
persoalan-persoalan yang dianalisis dalam hubungannya dengan realita empiris
yang berupa hubungan timbal balik antara hukum dengan realita yang ada.
Secara umum Kajian Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis: Pengembangan
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal akan dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu analisis literatur dan kebijakan serta analisis kualitatif. Analisis
literatur dan kebijakan merupakan kegiatan ekploratif yang mencoba untuk
mendalami dan mengkaji lebih jauh dasar teori mengenai investasi dan
penanaman modal serta mencoba menjelaskan latarbelakang kebijakan yang
terkait dengan pentingnya peran penanaman modal dalam implementasi
pembangunan pusat dan daerah yang singkron dan bersinergi tanpa mematikan
semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ada. Kedua kegiatan ini
diharapkan mampu menjadi dasar pijakan dari kebijakan penanaman modal
terkait Kerjasama Kawasan seperti apa di masa yang akan datang yang tetap
mengedepankan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan aspek kedaulatan
dalam perekonomian nasional.
2. Pengertian Sosio Legal-Yuridis Empiris
Soerjono Soekanto (2003) menjelaskan bahwa Sosiologi Hukum di awali oleh
Anzilloti (1882) yaitu yang memperkenalkan ruang lingkup dan objek kajian
sosiologi hukum dan juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu filsafat hukum, ilmu
hukum dan sosiologi hukum. Dimana filsafat hukum adalah yang menjadi
penyebab lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme yang artinya hukum
itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih diatas derajatnya
dengan maksud bahwa yang paling bawah adalah Putusan Peradilan dan
4
diatasnya adalah Undang-Undang dan Kebiasaan, dan diatasnya lagi adalah
Konstitusi, dan diatasnya lagi adalah Grundnorm yaitu dasar atau basis sosial dari
hukum yang merupakan salah satu obyek pembahasan didalam sosiologi hukum.
Kemudian dipengaruhi pula oleh perkembangan Ilmu Hukum yang menganggap
bahwa hukum sebagai gejala sosial, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi
hukum. Hukum bersifat represif diasosiasikan seperti dalam hukum pidana.
Sedangkan solidaritas organik yaitu terdapat dalam masyarakat modern,
hukumnya bersifat restitutif yang sering diasosiasikan seperti dalam hukum
perdata dan hukum administratif.2
Dengan demikian dalam upaya pembangunan hukum harus memperhatikan
Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, karena jika hukum
positif yang diberlakukan didalam masyarakat tidak sejalan dan bertentangan
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum
positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif. Hal ini
terkait dengan dua dari 8 (delapan) prinsip Hukum menurut Fuller (1965) yang
harus terpenuhi agar hukum memiliki esensi moral yaitu aturan-aturan hukum
tidak boleh bertentangan di dunia nyata dan aturan-aturan hukum dibuat dengan
pertimbangan masyarakat dapat mematuhinya.3
Analisa sosiologi yang berdasarkan metode pendekatan dan fungsi hukum, pada
pokoknya terdapat unsur-unsur seperti sosiologi hukum pendekatan
intrumental, pendekatan hukum alam dan karakteristik kajian sosiologi hukum.
Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum, perbandingan
yuridis empris dan yuridis normatif, hukum sebagai sosial kontrol serta hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat, merupakan tolak ukur terhadap
norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah
norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar
bagaimana penerapan sanksi, bagi yang melakukan pelanggaran tersebut. Norma
atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
2.1.
Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi Hukum
Menganalisis isu penanaman modal secara sosiologi hukum tentunya tidak akan
lepas dari Ilmu Ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah juga ilmu sosial yang
hubungannya dengan ilmu sosiologi sangat jelas. Pengertian yaitu : Ekonomi juga
merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas –aktivitas manusia
yang berhubungan dengan konsumsi, produksi, distribusi barang dan jasa. Secara
garis besar ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen
rumah tangga.” Manusia tidak lepas dari perekonomian dalam hidupnya dan
ekonomi apabila tidak ada manusia tidak akan muncul yang namanya ekonomi.
2 Sistem Hukum Pidana Indonesia telah mengalami pembaharuan. Salah satu bentuk
pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum
pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan
setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif
justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan
keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
3 Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven Connecticut: Yale University Press, 1964. Pp. viii,
2002.
5
Pengembang dari dua disiplin ilmu dasar yaitu: ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi
menciptakan analisa dan kajian baru untuk pengetahuan serta menciptakan
analisa baru tentang ilmu ekonomi yang bersudut pandang sosiologis serta
perilaku manusia. Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi contohnya di pasar, dan
di tempat perbelanjaan yang lain, yang mana pada hal itu kita juga memerlukan
analisa sosiologi selain memerlukan ilmu ekonomi, jadi Aliran neo klasik
manganggap bahwa setiap pelaku ekonomi mempunyai informasi yang lengkap
dan sifatnya sangat rasional. Informasi yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi
tersebut tidak memiliki nilai namun faktanya dalam perkembangan ekonomi
modern, informasi yang dimiliki dianggap sebagai biaya dan selalu menuntut
biaya. Informasi yang didapat dari orang yang menjalankan ekonomi mampu
memberikan kemungkinan atas resiko dan peluang dari transaksi ekonomi itu
sendiri. Keterkaitan lainnya tentunya dengan melihat kentalnya aspek empiris
dalam analisis ekonomi yang berarti bahwa analisis ekonomi akan juga bersamasama memperkaya kajian socio-legal dan yuridis empiris tentang Pengembangan
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3. Review Terhadap Regulasi tentang Penamanan Modal Dan
Kerjasama Kewilayahan Di Indonesia
3.1.
Permasalahan Umum
UU No.25 Tahun 2007 tentang PM dapat dikatakan sudah mencakup semua
aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban
investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasuki oleh investor)
yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan
kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua dua hal tersebut
merupakan aspek-aspek yang selama ini merupakan masalah serius yang
dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif
terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia.
Tabel 1. Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU
PM No.25/2007
UU/ Peraturan
Tahun
Materi
UU No. 23
Perpres No. 39
2014
2014
Perpres No. 32
2011
Peraturan Mendag No.
37/M-DAG/Per/9
Peraturan Mendag No.
36/M-DAG/Per/9
UU No. 40
UU No. 39
UU No. 17
UU No. 2
2007
Pemerintahan Daerah
Daftar Bidang Usaha Tertutup & Terbuka dgn
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
2007
Penerbitan SIUP
2007
2007
2006
2005
Perseroan Terbatas
Cukai
Kepabeanan
Penyelesaian Hubungan Industrial
6
UU No. 13
2003
Ketenagakerjaan
UU No. 22
2001
Investasi Sektor Migas
UU No. 5
1999
Anti Monopoli dan Praktek Persaingan Tidak Sehat
Sumber: Dari berbagai sumber data.
Sejumlah UU dan peraturan menteri yang sangat berpengaruh terhadap
kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan
yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel
3.1 berbenturan dengan UU PM No.25/ 2007, sangat kecil harapan bahwa
kehadiran UU PM ini akan memberi hasil optimal. Misalnya, kontradiksi selama
ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya
mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22
tahun 2001 yang menyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga
pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea
Cukai (Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap
membatalkan niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan ijin
investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UU PM
No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak
menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor,
atau pasar tenaga kerja di Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU
No.13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan.
Di sektor perhotelan, sebagai contoh, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37
buah, karena setiap bagian dari hotel harus memiliki ijin khusus dari kementrian,
dinas, badan, dan lembaga terkait. Untuk membangun restoran di dalam hotel
perlu ijin dari Kementrian Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat
dan aman bagi konsumen, sedangkan untuk membangun kolam renang harus
dapat ijin dari Kementrian Olah Raga, dan untuk pemakaian tenaga kerja harus
dapat ijin dari Kementrian Tenaga Kerja, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika
izin penanaman modal sudah keluar, seorang investor yang akan membangun
sebuah hotel di sebuah kota akan tetap skeptis apabila beberapa atau semua dari
izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.
3.2. Masalah Regulasi Penanaman Modal Daerah
Telah terbit Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2007 tentang Investasi
Pemerintah. Seiiring waktu pelaksanaannya pada tanggal 4 Februari 2008
pemerintah telah mengganti Peraturan Pemerintah tersebut dengan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah”. ”Pasal 30 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah
mengamanahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyusun Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Investasi Pemerintah Daerah”.
Investasi daerah merupakan salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi
pembangunan daerah. Secara normatif, investasi daerah (local investment)
dipahami sebagai salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi
pembangunan daerah. Tak terkecuali di kalangan pemerintah daerah, timbul
semacam kesadaran - terlebih sesudah implementasi desentralisasi dan otonomi
daerah - bahwa akselerasi pembangunan hanya dimungkinkan jika terdapat arus
7
investasi yang signifikan. Persepsi yang kuat tentang pentingnya investasi telah
mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya, mulai dari
promosi investasi yang gencar hingga kunjungan pejabat daerah keluar negeri.
Meskipun investasi sangat penting bagi daerah, namun mendatangkan investasi
ke daerah bukanlah pekerjaan sederhana. Bagaimanapun, investasi memiliki
logikanya sendiri. Secara umum, investasi, baik dalam bentuk penanaman modal
dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA), akan masuk ke
suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi serta
adanya iklim investasi yang kondusif.
Pemerintah telah mencanangkan tiga kebijakan dasar yaitu: (i) mempertahankan
penanaman modal yang sudah ada melalui peningkatan check and balanced
system yang mampu menampung keluhan dari kegiatan investasi yang ada serta
menindaklanjuti secara cepat dan efektif; (ii) meningkatkan daya tarik
perekonomian yang mampu menarik minat investor melalui penanganan aksi
teror dan konflik, peningkatan kepastian hukum, penyederhanaan proses
perijinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penyempurnaan
system perpajakan; dan (iii) mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah
(kawasan) guna pemenuhan skala ekonomis jenis usaha yang didanai oleh
investor.
Selanjutnya adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah Pusat harus
tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanaman modal di Indonesia
adalah BKPM. Koordinasi antara pemerintah pusat (dalam hal ini BKPM) dan
pemerintah daerah demikian juga antar daerah yang buruk telah menjadi faktor
disinsentif bagi pertumbuhan investasi di daerah. Buruknya koordinasi antar
pemerintah daerah telah menciptakan ekstra ekonomi biaya tinggi (diseconomies
of scale). Hal ini jelas disebabkan tidak adanya visi dan pemahaman yang sama
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun antar sesama
pemerintah daerah mengenai pembangunan atau pentingnya kerjasama dalam
investasi.
Selanjutnya mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan untuk
menentukan bidang-bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka bagi kegiatan
penanaman modal ditentukan oleh persyaratan terbaru berdasarkan Perpres No.
39 Tahun 2014. Berdasarkan Perpres tesebut, maka terdapat 6 bidang-bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal termasuk penanaman modal asing
dan 17 bidang usaha yang diperbolehkan:
29 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil, menengah
dan koperasi (dari 43 bidang sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007
dan No.77 Tahun 2007),
46 bidang usaha yang harus bermitra (dari 36 bidang sebelumnya dalam
PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
82 bidang usaha yang diatur besarnya nilai modal asing (dari 120 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
1 bidang usaha yang diatur lokasinya (dari 19 bidang sebelumnya dalam
PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
8
30 bidang usaha yang harus memiliki izin khusus (dari 25 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
49 bidang usaha yang modal dalam negeri 100% (dari 48 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007), dan
22 bidang usaha yang diatur pemilik modal dan lokasinya (tetap
jumlahnya seperti aturannya sebelumnya PP No. 76 Tahun 2007 dan
No.77 Tahun 2007),
21 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal asing.
4 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal dalam negeri
100%.
3 Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam
modal dari negara-negara ASEAN.
Terdapat 4 (empat) persoalan utama yang menjadi keprihatinan dunia usaha dari
aturan ini. Pertama, adanya “gray areas” yang sangat membutuhkan kejelasan
informasi yang lebih tegas dan jernih. Sebagai contoh, dalam DNI terdapat
berbagai kasus dimana industri yang sama memiliki tingkatan kepemilikan
modal asing yang berbeda. Atau pada industri yang sama terdaftar sebagai
bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal pada lampiran yang
pertama, sedangkan pada lampiran yang lainnya dinyatakan sebagai bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Kesulitan lain adalah
membedakan penanam modal dari negara ASEAN dan non ASEAN karena pada
era globalisasi seperti sekarang sangatlah sulit dapat menahan para penanam
modal dari negara-negara ASEAN yang sebenarnya secara kepemilikan modal
perusahaanya sendiri memperoleh dana dari luar negaranya melalui pasar uang
dan pasar saham.
Kedua, dunia usaha juga masih memiliki berbagai pertanyaan berkenaan dengan
dasar pemikiran rasional, nilai atau filosofi yang melatarbelakangi keputusan
penentuan kriteria khususnya persentase yang berbeda untuk kepemilikan
modal asing maksimum yang diijinkan. dan apa yang melatarbelakangi
perbedaan persentase ini? Beberapa perbedaan persentase ini masih belum
menyediakan insentif bagi dunia usaha dan mungkin tidak memberikan daya
tarik bagi ekonomi nasional. Ini tentunya hak pemerintah untuk menyusun dan
menetapkan tingkat kepemilikan modal asing, tetapi dunia usaha dan
masyarakatr umum harus pula memahami landasan filosofi ini.
Ketiga, ketidakpastian mengenai proses perubahan dan transisi serta bagaimana
perubahan DNI ini dapat diaplikasikan dimasa depan. Sebagai contoh, apa yang
terjadi bila sebuah perusahan yang telah berdiri ingin melakukan ekspansi?
Apakah mereka harus mengikuti peraturan DNI yang baru atau mengikuti
peraturan yang berlaku pada saat perusahaan tersebut berdiri?
Keempat, masalah kerjasama kawasan utamanya kerjasama horisontal antar
pemerintahan lokal akan terpengaruh oleh berkurangnya penentuan DN
berdasArkan lokasi yang sekarang hanya diterapkan pada usaha peternakan babi.
Sangat jelas terlihat bagaimana Perpres ini dibuat dengan pertimbangan teknis
belaka tanpa melihat nilai dan filosofi lainnya terutama wacana kerjasama
9
kawasan yang selama ini memiliki paradigma tentang pengembangan kawasan
ekonomi secara kekhususan.
3.3.
Masalah Regulasi Penanaman Modal Asing
Peran penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu sumber
penggerak pembangunan ekonomi yang pesat selama era Orde Baru tidak bisa
disangkal. Selama periode tersebut, pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia
memang sangat pesat, terutama pada periode 80-an dan bahkan mengalami
akselerasi sejak tahun 1994. Indonesia selama era Soeharto tersebut didorong
oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan ekonomi yang
kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis
ekonomi 1997 hingga saat ini sulit sekali tercapai (Tambunan, 2007).
Penanaman Modal sangat penting sebagai motor utama perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Harus diakui bahwa PMA, khususnya dari
negara-negara maju, tetap lebih penting daripada Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN), terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini
disebabkan tiga alasan utama yaitu pertama, PMA membawa teknologi baru dan
pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam negeri. Kedua,
pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga
keuangan global, sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di
Indonesia. Ketiga, bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang
berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang
kuat, sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor (Tambunan, 2009).
Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi para penanam modal asing
di Indonesia adalah infrastruktur dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien,
perijinan dan kurangnya koordinasi antar Kementrian dan lembaga. UndangUndang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 dikeluarkan dengan maksud
menyelesaikan permasalahan-permasalahan dan ketidakpastian dalam
penanaman modal. Tetapi dalam pelaksanaanya tetap saja timbul berbagai
ketidakpastian terutama dalam aspek hukum sehingga penanam modal asing
enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Masalah nyata berkaitan dengan kepastian hukum dalam penanaman modal
asing adalah perijinan penanaman modal. Terdapat tiga hal penting yang perlu
dipahami yaitu Pertama, ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau
menentukan untung ruginya suatu usaha. Oleh Karena itu peraturan terkait
seperti UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No 39 tahun 2007
tentang Cukai, UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan, UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU No 4 tahun
2009 tentang Minerba dan Peraturan Presiden, Peraturan pemerintah, Peraturan
Menteri, dan peraturan daerah, dll. tentang penyelenggaraan pendaftaran
perusahaan dan penerbitan SIUP tidak boleh bertentangan dengan UU No 25
Tahun 2007 tentang Penanam modal. sejumlah UU dan peraturan menteri yang
sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga
menjadi suatu perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan.
Apabila UU dan Peraturan Menteri itu berbenturan dengan UU PM No.25, 2007
maka pelaksanaan UU Penanaman modal akan menjadi tidak optimal.
10
Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan persoalan pembebasan tanah.
Dalam pelaksanaan penanaman modal dilapangan menunjukan bahwa kegiatan
berinvestasi menjadi terhambat, dibatalkan atau penanam modal asingnya
mengundurkan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini berarti
masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan investasi
seperti yang dimaksud di atas. UU No.25 tahun 2007 tentang Penanam modal
tidak akan efektif dalam meningkatkan penanaman modal di Indonesia apabila
persoalan pembebasan tanah semakin menyulitkan, mahal dan menimbulkan
risiko besar terhadap penanam modal serta keselamatan jiwa dan usaha bagi
calon investor
Ketiga, permasalahan yang berkaitan dengan birokrasi yang tercerminkan oleh
antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi (seperti perizinan,
peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah
prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat
investor enggan melakukan investasi di Indonesia.
3.4.
Masalah Regulasi Penanaman Modal di Bidang Pertambangan4
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan memberikan izin kepada Pemerintah untuk melaksanakan
pengusahaan bahan galian (tambang) baik secara langsung terlibat dalam
kegiatan usaha maupun menunjuk kontraktor untuk melaksanakan pengusahaan
bahan galian (tambang) apabila instansi pemerintahan tersebut tidak atau belum
mampu untuk melaksanakan pengusahaan bahan galian (tambang) secara
langsung. Apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor, kedudukan
Pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan.
Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada
badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Kuasa
pertambangan dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu: 9 (1) kuasa
pertambangan penyelidikan umum; (2) kuasa pertambangan eksplorasi; (3)
kuasa pertambangan ekploitasi; (4) kuasa pertambangan pengolahan dan
pemurnian; dan (5) kuasa pertambangan pengangkutan dan penjualan.
Pengelolaan bahan galian tambang emas, perak maupun tembaga yang
bekerjasama dengan investor asing umumnya menggunakan sistem kerja sama
modal kontrak karya yang mulai dikenal pada tahun 1967 bersamaan dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan. Perjanjian karya pengusahaan pertambangan memiliki
pola yang berbeda antara pola perpajakan dengan pola pembagian hasil
produksinya. Pola perpajakan perjanjian karya pertambangan menggunakan pola
kontrak karya sementara pola pembagian hasil tambang menggunakan pola
production sharing. Berdasarkan skema Kontrak Karya, perusahaan diwajibkan
untuk membayar sejumlah pajak mineral, diantaranya royalti yang nilainya
4 Bagian ini sangat banyak didasarkan pada tulisan An An Chandrawulan, Kepastian Hukum
dalam Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia dalam Rina Indiastuti dan Arief Anshory
Yusuf, Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa (Unpad’s Contribution for Nation Leaders)
Unpad Press, 2013
11
berbeda-beda berdasarkan jenis mineral, sewa tanah dan berbagai jenis pajak
berdasarkan tahapan setiap kegiatan Kontrak Karya, seperti pajak perusahaan
yang sejak model Kontrak Karya (KK) diperkenalkan berkisar antara 35%-48%.
Saat ini pajak perusahaan adalah 30% yang apabila dibandingkan dengan negaranegara lain, seperti Philipina (32%) dan China (33%) sangat kompetitif.
Kegiatan penaman modal asing pada sektor pertambangan merupakan upaya
untuk menggali sedalam-dalamnya potensi sumber daya alam Indonesia untuk
memberikan keuntungan ekonomis bagi setiap pihak yang melibatkan diri di
dalam kegiatan usaha tersebut dengan mengutamakan pemberian sumbangsih
dari kegiatan usaha pertambangan kepada kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi. Industri migas menduduki
posisi penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia, oleh karena itu
daya saing dalam industri hulu migas sangat tinggi, salah satu faktor terpenting
dalam peningkatannya saing ini adalah faktor kepastian hukum. Terdapat
beberapa permasalahan yang krusial dalam pengelolaan sumber kekayaan alam
yang berkaitan dengan persoalan kepastian hukum yaitu pertama, dampak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13
November 2012 mengenai putusan pengujian terhadap Undang-undang No 22
Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang berujung pada pembubaran
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Untuk mencegah kekosongan hukum pasca putusan MK pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 95 Tahun 2012 tentang
Pengalihan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Adapun
tujuan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 ini dikeluarkan agar menjamin
kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau mencegah
rechtsvacuum.
Pada tahun 2013 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang
kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas sebagai pengganti fungsi
BP Migas yang berada di bawah Kementerian Ekonomi Sumber Daya dan Mineral
(ESDM). Adanya putusan tersebut belum menyelesaikan semua masalah
berkaitan dengan keberadaan BP Migas, khususnya terkait dengan pengalihan
kewenangan dari BP Migas kepada SKK Migas dibawah Kementerian ESDM,
karena pembentukan SKK Migas oleh Pemerintah sifatnya sementara sampai
adanya aturan yang baru atau merevisi UU Migas. Oleh karena itu pengganti BP
Migas sebagai pelaku usaha harus ditetapkan sesuai dan berdasarkan konsep
hukum.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah
tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yaitu antara UU Minerba, UU
Tata Ruang serta UU Kehutanan yang telah menimbulkan dampak terhadap
kelangsungan industri pertambangan di Indonesia. Permasalahan ini terkait
dengan proses pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan yang ketentuannya
berbeda dengan yang lainnya. Selain permasalahan perijinan terdapat pula
permasalahan lain dalam pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara yaitu belum harmonisnya peraturan lintas Kementerian teknis yang
mendukung kegiatan eksplorasi, konstruksi, produksi, jasa usaha pertambangan
dan pengiriman hasil produksi serta dampak penerapan UU Otonomi Daerah
12
yang menimbulkan benturan kewenangan antara pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut menghambat
gerak pelaku bisnis pertambangan, sehingga menimbulkan
adanya
ketidakpastian berbisnis dan ketidakpastian hukum.
3.5.
Pembangunan Kawasan, Penanaman Modal, dan Kerjasama
antar Daerah
Pemerintah pada tanggal 27 Mei 2011 telah mengeluarkan Perpres No. 32 Tahun
2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan
proyek-proyek investasi, baik di sektor riil maupun infrastruktur yang telah
melakukan groundbreaking di berbagai daerah. MP3EI memiliki semangat
mempercepat pembangunan sektor pangan, energi, dan infrastruktur dengan
berbasiskan pendekatan spasial yang membagi Indonesia menjadi 6 (enam)
Koridor Ekonomi (KE) di mana pembangunan sektor pangan difokuskan pada 2
(dua) Koridor, yaitu Koridor Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku.
Program ini dibangun atas dasar argumen tentang pentingnya membangun daya
saing Indonesia di dunia, tetapi mengapa wilayah pembangunan sektor pangan
dibatasi hanya di KE Sulawesi dan KE Papua-Kepulauan Maluku? Apakah daerahdaerah lain tidak memerlukan penguatan pembangunan pangan? Kemudian,
bagaimana dengan komitmen negara untuk memastikan ketersediaan lahan
pangan, sementara wilayah-wilayah lain di luar dua koridor tersebut boleh
dialihfungsikan untuk pembangunan industri, pertambangan dan sektor lainnya
yang padat modal? Wajar jika muncul dugaan adanya pengalihan lahan produktif
di KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, dan KE Bali-Nusa Tenggara.
Memang terasa bahwa MP3EI ini sepertinya tidak akan dijadikan semangat
pembangunan kawasan dalam pembangunan ekonomi nasional dalam
pemerintahan Jokowi sampai dengan tahun 2019. Ini sangat jelas terlihat dari
bertentangannya isi Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang tentang Daftar Bidang
Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal yang jelas tidak memberlakukan persyaratan lokasi untuk
bidang-bidang usaha yang boleh dijadikan obyek investasi kecuali peternakan
babi yang tentu disadari karena factor sentimen agama dan kesehatan. Hampir
semua jenis industry usaha selain peternakan babi dalam bidang pertanian dan
kehutanan terkait pangan tidak mensyaratkan lokasi, dan hal ini jelas
bertentangan dengan semangat Penetapan K.E Sulawesi dan K.E PapuaKepulauan Maluku sebagai koridor pembangunan sektor pangan nasional dalam
MP3EI.
Berdasarkan kebutuhan kerjasama kewilayahan dengan prinsip kebersamaan
dan terkait dengan penyediaan pelayanan public dan infrastruktur, Pemerintah
telah merumuskan kebijakan sebagai pedoman penyelenggaraan Kerjasama
Antar Daerah (KAD). yaitu PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan
Kerjasama Antar Daerah.
Dalam implementasinya terdapat kendala-kendala sbb:
13
a. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD sebagai
salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan. Salah satu
penyebabnya adalah adanya persaingan dan ego daerah dimana semangat
otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan. Setiap daerah memacu
perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan
kebutuhan wilayah lain.
b. Belum tersedia mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja sama
dalam peningkatan efektivitas/efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik
c. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan untuk
bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk, karena euphoria
baru menjadi sebuah daerah otonom.
d. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas untuk
di-diseminasikan ke daerah. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif
daerah sendiri.
4. Rekomendasi ke Depan
4.1. Rekomendasi Umum Penanaman Modal.
Hal utama yang perlu dilakukan oleh DPD-RI adalah mendorong pemerintah
pusat untuk mengkaji ulang semua peraturan, Kepres, atau UU yang berlaku yang
mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri
dengan UU PM No.25 Tahun 2007) untuk melihat apakah semua peraturan,
Kepres atau UU tersebut konsisten dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak
konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM tersebut harus segera
dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket
(Tambunan, 2007).
4.2.
Rekomendasi Penanaman Modal di Daerah
Khusus untuk implementasi kebijakan penanaman modal di daerah, untuk
meningkatkan iklim investasi dan mendorong investasi daerah, terdapat
sejumlah agenda yang layak dipertimbangkan oleh DPD-RI untuk memfasilitasi
pemerintah daerah untuk mengembangkan antara lain perumusan kebijakan
investasi daerah, memperbaiki regulasi, penyederhanaan prosedur perijinan,
mengembangkan infrastruktur, melakukan promosi daerah, mengembangkan
regional management, dan lain-lain. Meski agenda-agenda tersebut bukanlah
sesuatu yang baru, namun tetap menarik untuk didiskusikan mengingat bahwa
selama ini agenda-agenda tersebut belum diimplementasikan secara optimal.
4.3.
Rekomendasi Penanaman Modal Sektor Pertambangan dan
Migas
Pengelolaan Migas pasca putusan MK tidak cukup dengan dikeluarkan Perpres
No.95 Tahun 2012 dan PP No 9 tahun 2013 karena lembaga sebagaimana
ditetapkan Perpres tersebut bersifat hanya sementara. SKK MIGAS yang berada
dibawah Kementerian ESDM bukan pelaku usaha dalam konsep hukum bisnis,
tidak seharusnya melaksanakan kontrak kerjasama yang menjadi kewajiban dari
BP Migas. Pengganti BP Migas harus mempertahankan eksistensi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) sebagai suatu pelaku usaha yang memiliki landasan hukum
14
dalam sistem hukum nasional. BUMN akan membawa manfaat yang lebih besar
sepanjang BUMN tersebut tersebut konsisten melaksanakan prinsip-prinsip
hukum, karena kehadiran BUMN pun diserahi amanat sesuai yang ditentukan
dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selain DPD-RI dapat mengusulkan secara inisiatif atau menyiapkan aturan
tentang pembentukan lembaga atau badan khusus yang harus segera dibentuk
oleh pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum baik bagi penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing, juga pemerintah harus
segera membuat kebijakan membuat UU Migas atau merevisi UU No 22 Tahun
2001 sesuai dengan konstitusi yang mencantumkan dengan jelas, terang dan
tidak samar-samar tentang tujuan pembangunan. Selain itu pelaksanaan UU
Migas demi tercapainya kepastian hukum yang mendasarkan segala pada
perundang-undangan berdasakan pada hukum harus didukung oleh moral yang
tinggi dari para pelaksana atau birokrat. Dalam hal penyelesaian permasalahan
dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara diperlukan suatu
harmonisasi peraturan lintas kementerian dan harmonisasi peraturan pusat dan
daerah.
4.4.
Rekomendasi Kerjasama Kawasan dalam Penanaman Modal.
Dengan fakta yang tak terbantahkan ini maka beberapa langkah harus dilakukan
khususnya oleh pengambil kebijakan legislasi (DPR dan DPD) dengan masingmasing kewenangannya:
a. Memastikan UUPM dan peraturan-peraturan pelengkap lain yang menjadi
impementasi teknis harus sinergi dengan semangat efisiensi dan
pemerataan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
b. Memastikan UUPM dan peraturan yang menjadi impementasi teknis harus
fleksibel atau dibuat secara sistemik dinamika perubahannya secara
berkala (tahunan atau 4-tahunan sesuai RPJM) berdasarkan pencapaian
realisasi pembangunan infrastruktur terutama tol laut dan infrastruktur
dasar seperti jalan, listrik, pelabuhan, Bandar udara dan air bersih..
c. Mengajukan usulan revisi peraturan kerjasama antar daerah pengganti PP
No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
yang lebih bernafaskan “kolaborasi” dan “semi professional” ketimbang
semangat “kerjasama konvensional” yang sarat dengan muatan dan
kendala politik terutama semangat primordialisme/kedaerahan terkait
masalah penanaman modal. Revisi ini Harus juga memberika skema
insentif-disinsentif guna mengakselarasi terlaksananya kerjasama
kewilayahan terkait penanaman modal ini.
d. Mendorong agar penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah
didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Bila dibutuhkan maka
diupayakan adanya sosialisasi dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang ikut mengatur kewenangan tanggung jawab
dalam masalah bidang penanaman modal mengikuti juga semangat
pembagian kewenangan dan tanggung jawab pada pelayanan public
seperti jalan dan pendidikan, sebagai contoh: Penyelenggaraan
penanaman modal yang ruang.
15
e. Melakukan upaya perbaikan aturan yang lebih mendorong Pemerintah
daerah untuk melakukan reorientasi peran, dari peran tradisional menuju
peran kewiraswastaan, terlebih karena penanaman modal sangat erat
dengan semangat swasta dalam mencari keuntungan maksimum. Karena
telah tersedia data pemetaan potensi daerah, maka revisi perundangundangan khususnya tentang penanaman modal yang harmonis dengan
UU Tata Ruang dan Wilayah serta semangat konsep Kerjasama kawasan
harus diupayakan.
Untuk masalah penyediaan pelayanan publik khususnya infrastruktur jalan dan
listrik yang memang menjadi pertimbangan utama para penanam modal selain
potensi pasar dan insentif fiscal, kerjasama konvensional mungkin masih relevan
dipraktekkan, namun dalam rangka pengembangan perekonomian wilayah
terkait penanaman modal, penekanan model kerjasama yang dapat dijalankan
adalah Bentuk/model kerjasama berupa badan kerjasama yang independen atau
terpisah dari kelembagaan pemerintah daerah, dan dikelola secara profesional
dengan prinsip manajemen bisnis murni dan semangat kolaborasi. Hal ini karena
badan semacam ini dapat bergerak lebih fleksibel dan terpisah dari birokrasi
yang kadang menghambat inovasi-inovasi strategi perdagangan. 5 Model
kerjasama ini perlu didukung juga dengan strategi-strategi tertentu dalam
menghadapi era globalisasi, karena peningkatan daya saing daerah pada
hakikatnya saat ini tidak hanya diperlukan dalam konteks daya saing diantara
wilayah lain, melainkan juga dalam konteks global.
DAFTAR PUSTAKA
An An Chandrawulan, Kepastian Hukum dalam Peningkatan Daya Saing Ekonomi
Indonesia dalam Rina Indiastuti dan Arief Anshory Yusuf, Sumbangsih
Unpad Bagi Pemimpin Bangsa, Unpad Press, 2013.
Fuller, Lon L. The Morality of Law, New Haven Connecticut: Yale University Press,
1964. Pp. viii, 2002.
Kodrat Wibowo, “Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi Kebijakan Ekonomi
Nasional, Artikel dalam buku: “Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa”,
Unpad Press, 2013.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung :
Alumni. 2002).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas
Indonesia Press, 1999).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Tulus Tambunan, Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga
Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press, 2007
______, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Ghalia Indonesia,
Jakarta,2009.
5 Model yang sama dapat direplikasi dari implementasi kepemilikan Bank Jabar-Banten antara
Provinsi Jawa barat dan Banten serta Bank Sumbagsel antara Provinsi Sumatera Selatan dan
Bangka-Belitung dalam bidang perbankan.
16
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Oleh: Kodrat Wibowo, SE, Ph.D
ABSTRACT
In the theory of development, investment is one of the most effective ways to
optimize the management of existing potentials and resources. It opens more jobs,
improves productivity, increases income per capita, and encourages economic
growth. Formation of investment attractiveness has been decreasing continuously
over time and is influenced by many aspects: Economic factors, political and
institutional, social, and culture, are believed to be some of the key factors forming
investment attractiveness of an area. Primary Regulation related to investments is
Law No. 25 Year 2007 regarding Investment (UUPM) which has now covered all
important aspects in investments. UUPM is to increase investment from the point of
view of government and certainty to invest in terms of entrepreneurs/investors
perspective. Though, inconsistencies between investment policy and policies in
other sectors are very disturbing.
After decentralization era with a more regional autonomy, the authority in capital
investment is very difficult to implement within a spirit of unity and cooperation
both among regions, horizontally and between governments vertically. With the
inconsistency and lack of synchronized of UUPM with the other legislation, as well
as obstacles to the effort to promote investments that have a spirit of cooperation in
the development of the region, this study provides recommendations to policy
makers to improve the UUPM and its supporting regulations in order to support the
acceleration of national development, but without sacrificing the political and
economic sovereignty of Indonesia, and of course supporting sustainability by
applying Empirical-Juridical and Socio-Legal Analysis.
Keywords: Investment, Regulation, Juridical, Socio-Legal.
1. Latar Belakang
Apabila iklim investasi di daerah; provinsi dan kota/kabupaten, berjalan dengan
dinamis maka akan ada implikasi positif bagi stabilitas ekonomi di tingkat
nasional, sebab dalam teori pembangunan, investasi merupakan salah satu cara
efektif untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi yang ada, membuka lebih
banyak lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan
per kapita, dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Artinya, apabila terjadi
pertumbuhan ekonomi yang positif di daerah maka kondisi perekonomian
nasional pun akan dengan sendirinya ikut terjamin.
Oleh karena itulah, tiap daerah memiliki kewenangan untuk terus memperbaiki
iklim investasi agar roda perekonomian semakin tumbuh dan berkembang.
Investasi atau penenaman modal pada sektor-sektor unggulan baru di daerah
juga akan mendorong tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di sektor-sektor
lain sebagai penunjang. Efek multiplier inilah yang menjadikan investasi sebagai
prioritas dalam kebijakan perekonomian di daerah.
1
Regulasi utama yang terkait dengan Investasi adalah UU No 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. Pada undang-undang tersebut tujuan dari
penanaman modal adalah untuk :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
Menciptakan lapangan kerja;
Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan ;
Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal dari baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri.
UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting
(termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor,
ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang
terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan
kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Namun Wibowo (2013)
menyatakan bahwa inkonsistensi kebijakan penanaman modal dengan kebijakan
di sector lain sangatlah mengganggu.1
Dengan diserahkannya kewenangan atas sejumlah urusan pemerintahan,
termasuk di bidang ekonomi kepada pemerintah daerah, maka para pelaku usaha
akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, daripada
dengan pemerintah pusat. BKPMD bertugas melakukan koordinasi antara
seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan
pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha
penanaman modal. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan dengan baik
karena berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi dengan UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah Kabupaten/Kota
terlalu kuat walaupun sudah dikeluarkan kebijakan posisi Propinsi sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2010
Jo. PP No 23 Tahun 2011 tentang Penguatan peran gubernur sebagai kepala
daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Lebih parah lagi,
ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri,
tetapi harus menjadi satu kesatuan terintegrasi dengan kebijakan aturan ijin-ijin
lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan
penanaman modal dan usaha.
Terlebih lagi masalah penanaman modal tidak mudah dijalankan kebijakannya
terkait dengan fakta bahwa pasca desentralisasi dan otonomi daerah
kewenangan dalam hal penanaman modal sangat sulit dilaksanakan dalam
semangat kebersamaan dan kerjasama antar daerah dan antar pemerintahan
baik vertikal maupun horizontal. Secara eksplisit penyelenggaraan urusan
penanaman modal seperti tertuang dalam UU Penanaman Modal sebenarnya
cukup jelas didistribusikan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang
1 Kodrat Wibowo, “Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi Kebijakan Ekonomi Nasional
(Indonesia and The Needs of Policy Consisntency), Artikel dalam buku: “Sumbangsih Unpad Bagi
Pemimpin Bangsa (Unpad’s Contribution for Nation Leaders)”, Unpad Press, 2013.
2
Pemerintahan Daerah yang diadopsi dari PP No. 38 tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yaitu untuk kasus dimana
bentuk penanaman modal di daerah merupakan penanaman modal yang
kepentingannya lintas wilayah secara horizontal khususnya Kabupaten/Kota
maka peran dan posisi pemerintah pusat dan propinsi sangatlah dominan.
Namun seperti sudah diketahui secara umum, pertentangan atau konflik
kepentingan khususnya politik antar pemerintahan kabupaten/kota
menyebabkan bentuk penanaman modal yang sebenarnya berguna dalam upaya
pembangunan kawasan sangat sulit kita temukan. Penguatan peran gubernur
seakan-akan tidak ampuh dalam mengatasi hambatan kerjasama ini. Dengan
ketidak-konsistenan dan ketidak-singkronan UU No. 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal dengan peraturan perundang-undangan lainnya, beserta
hambatan-hambatan yang nyata dalam upaya menggalakkan penanaman modal
yang memiliki semangat kerjasama dalam pembangunan kawasan disadari
kebutuhan adanya upaya menyempurnakan UU ini guna mendukung percepatan
pembangunan nasional namun tanpa mengorbankan kedaulatan politik serta
ekonomi Indonesia dan tentunya bernafaskan keberlanjutan.
1.1.
Permasalahan
Penanaman modal dalam pembangunan ekonomi dalam skala domestik
seringkali dikaitkan dengan peran intermediasi perbankan dalam sector
ekonomi. Sebenarnya sumber permodalan yang ada di pasar sangatlah beragam,
mulai dari perbankan, financing, koperasi simpan pinjam, pasar saham,
reksadana, dll. Dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2013
tercatat pada tabel 1 hanya 5,54% dari total permodalan perbankan komersil
(Bank Umum) mendanai sektor pertanian (termasuk perburuan dan kehutanan),
yaitu sebesar Rp117.16 triliun; angka ini tidak jauh berbeda dengan data tahun
2011 di mana kredit yang disalurkan perbankan komersil ke sektor pertanian
hanya sebesar 5,21%. Jumlah penyaluran kredit pada tahun 2013 tersebut sangat
jauh lebih kecil dibanding dana kredit yang disalurkan perbankan umum ke
sektor industri pengolahan (17,4%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran
(20,04%), apalagi sektor non usaha berupa kredit konsumtif, kendaraan
bermotor, dan perumahan (27,88%). Pada tahun yang sama, dari sisi permodalan
perbankan asing hanya 10% saja dari total dana kredit yang disalurkan
digunakan untuk mendanai sektor pertanian .
Data Bank Indonesia tahun 2012 menunjukkan pula bahwa dari total dana Kredit
Usaha Rakyat (KUR) perbankan sebesar Rp2,7 triliun, hanya 7,73% saja yang
disalurkan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pertanian; porsi
60% dana KUR tersebut disalurkan untuk UMKM bidang lain seperti
perdagangan (47,28%) dan jasa lainnya (12,72%). Sehingga disadari bahwa
dibutuhkan jenis modal lain yang tidak terbatas pada modal perbankan seperti
penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri (PMA/PMDN).
Investor akan menanamkan modalnya pada tempat yang peluang investasinya
kondusif. Salah satu faktor yang dijadikan parameter untuk menilai apakah
tempat berinvestasi kondusif atau tidak, adalah keberadaan kepastian hukum.
Dalam artii bahwa pelaku usaha mendapatkan jaminan dan rasa aman dalam
3
menjalankan usahanya oleh peraturan perundang-undangan yang jelas karena
keputusan investor untuk menanamkan modalnya pada suatu negara tidak
terlepas dari perhitungan bisnis yang identik dengan untung dan rugi. Disinilah
diperlukan penyempurnaan UU penanaman modal dalam hal ini UU No. 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal untuk mengantisipasi kegiatan investasi di
Indonesia agar dapat berkompetisi dalam menarik investor namun tetap
mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya yang tidak melanggar
kedaulatan Negara dan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara
umum.
1.2.
Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah menyediakan rekomendasi kebijakan
penyempurnaan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terkait
Kerjasama Kawasan dengan pendekatan Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis
sehingga kedepan akan tersedia regulasi tentang penanaman modal yaang
mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan sekaligus sebagai
jawaban atas konsep pasar bebas yang tetap berpedoman pada filosofi ekonomi
Indonesia yang mengarahkan negara pada bentuk negara kesejahteraan.
1.3.
Metode Kajian
Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian
sosio-Legal dan yuridis empiris yang merupakan penelitian untuk menemukan
teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum di dalam
masyarakat, karena itu metode ini menekankan pada data-data primer yaitu
persoalan-persoalan yang dianalisis dalam hubungannya dengan realita empiris
yang berupa hubungan timbal balik antara hukum dengan realita yang ada.
Secara umum Kajian Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis: Pengembangan
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal akan dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu analisis literatur dan kebijakan serta analisis kualitatif. Analisis
literatur dan kebijakan merupakan kegiatan ekploratif yang mencoba untuk
mendalami dan mengkaji lebih jauh dasar teori mengenai investasi dan
penanaman modal serta mencoba menjelaskan latarbelakang kebijakan yang
terkait dengan pentingnya peran penanaman modal dalam implementasi
pembangunan pusat dan daerah yang singkron dan bersinergi tanpa mematikan
semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ada. Kedua kegiatan ini
diharapkan mampu menjadi dasar pijakan dari kebijakan penanaman modal
terkait Kerjasama Kawasan seperti apa di masa yang akan datang yang tetap
mengedepankan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan aspek kedaulatan
dalam perekonomian nasional.
2. Pengertian Sosio Legal-Yuridis Empiris
Soerjono Soekanto (2003) menjelaskan bahwa Sosiologi Hukum di awali oleh
Anzilloti (1882) yaitu yang memperkenalkan ruang lingkup dan objek kajian
sosiologi hukum dan juga dipengaruhi oleh disiplin ilmu filsafat hukum, ilmu
hukum dan sosiologi hukum. Dimana filsafat hukum adalah yang menjadi
penyebab lahirnya sosiologi hukum yaitu aliran Positivisme yang artinya hukum
itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih diatas derajatnya
dengan maksud bahwa yang paling bawah adalah Putusan Peradilan dan
4
diatasnya adalah Undang-Undang dan Kebiasaan, dan diatasnya lagi adalah
Konstitusi, dan diatasnya lagi adalah Grundnorm yaitu dasar atau basis sosial dari
hukum yang merupakan salah satu obyek pembahasan didalam sosiologi hukum.
Kemudian dipengaruhi pula oleh perkembangan Ilmu Hukum yang menganggap
bahwa hukum sebagai gejala sosial, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi
hukum. Hukum bersifat represif diasosiasikan seperti dalam hukum pidana.
Sedangkan solidaritas organik yaitu terdapat dalam masyarakat modern,
hukumnya bersifat restitutif yang sering diasosiasikan seperti dalam hukum
perdata dan hukum administratif.2
Dengan demikian dalam upaya pembangunan hukum harus memperhatikan
Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, karena jika hukum
positif yang diberlakukan didalam masyarakat tidak sejalan dan bertentangan
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum
positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif. Hal ini
terkait dengan dua dari 8 (delapan) prinsip Hukum menurut Fuller (1965) yang
harus terpenuhi agar hukum memiliki esensi moral yaitu aturan-aturan hukum
tidak boleh bertentangan di dunia nyata dan aturan-aturan hukum dibuat dengan
pertimbangan masyarakat dapat mematuhinya.3
Analisa sosiologi yang berdasarkan metode pendekatan dan fungsi hukum, pada
pokoknya terdapat unsur-unsur seperti sosiologi hukum pendekatan
intrumental, pendekatan hukum alam dan karakteristik kajian sosiologi hukum.
Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum, perbandingan
yuridis empris dan yuridis normatif, hukum sebagai sosial kontrol serta hukum
sebagai alat untuk mengubah masyarakat, merupakan tolak ukur terhadap
norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah
norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar
bagaimana penerapan sanksi, bagi yang melakukan pelanggaran tersebut. Norma
atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi
internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.
2.1.
Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi Hukum
Menganalisis isu penanaman modal secara sosiologi hukum tentunya tidak akan
lepas dari Ilmu Ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah juga ilmu sosial yang
hubungannya dengan ilmu sosiologi sangat jelas. Pengertian yaitu : Ekonomi juga
merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas –aktivitas manusia
yang berhubungan dengan konsumsi, produksi, distribusi barang dan jasa. Secara
garis besar ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen
rumah tangga.” Manusia tidak lepas dari perekonomian dalam hidupnya dan
ekonomi apabila tidak ada manusia tidak akan muncul yang namanya ekonomi.
2 Sistem Hukum Pidana Indonesia telah mengalami pembaharuan. Salah satu bentuk
pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum
pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan
setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif
justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan
keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).
3 Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven Connecticut: Yale University Press, 1964. Pp. viii,
2002.
5
Pengembang dari dua disiplin ilmu dasar yaitu: ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi
menciptakan analisa dan kajian baru untuk pengetahuan serta menciptakan
analisa baru tentang ilmu ekonomi yang bersudut pandang sosiologis serta
perilaku manusia. Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi contohnya di pasar, dan
di tempat perbelanjaan yang lain, yang mana pada hal itu kita juga memerlukan
analisa sosiologi selain memerlukan ilmu ekonomi, jadi Aliran neo klasik
manganggap bahwa setiap pelaku ekonomi mempunyai informasi yang lengkap
dan sifatnya sangat rasional. Informasi yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi
tersebut tidak memiliki nilai namun faktanya dalam perkembangan ekonomi
modern, informasi yang dimiliki dianggap sebagai biaya dan selalu menuntut
biaya. Informasi yang didapat dari orang yang menjalankan ekonomi mampu
memberikan kemungkinan atas resiko dan peluang dari transaksi ekonomi itu
sendiri. Keterkaitan lainnya tentunya dengan melihat kentalnya aspek empiris
dalam analisis ekonomi yang berarti bahwa analisis ekonomi akan juga bersamasama memperkaya kajian socio-legal dan yuridis empiris tentang Pengembangan
Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
3. Review Terhadap Regulasi tentang Penamanan Modal Dan
Kerjasama Kewilayahan Di Indonesia
3.1.
Permasalahan Umum
UU No.25 Tahun 2007 tentang PM dapat dikatakan sudah mencakup semua
aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban
investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasuki oleh investor)
yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan
kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua dua hal tersebut
merupakan aspek-aspek yang selama ini merupakan masalah serius yang
dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif
terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia.
Tabel 1. Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU
PM No.25/2007
UU/ Peraturan
Tahun
Materi
UU No. 23
Perpres No. 39
2014
2014
Perpres No. 32
2011
Peraturan Mendag No.
37/M-DAG/Per/9
Peraturan Mendag No.
36/M-DAG/Per/9
UU No. 40
UU No. 39
UU No. 17
UU No. 2
2007
Pemerintahan Daerah
Daftar Bidang Usaha Tertutup & Terbuka dgn
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
2007
Penerbitan SIUP
2007
2007
2006
2005
Perseroan Terbatas
Cukai
Kepabeanan
Penyelesaian Hubungan Industrial
6
UU No. 13
2003
Ketenagakerjaan
UU No. 22
2001
Investasi Sektor Migas
UU No. 5
1999
Anti Monopoli dan Praktek Persaingan Tidak Sehat
Sumber: Dari berbagai sumber data.
Sejumlah UU dan peraturan menteri yang sangat berpengaruh terhadap
kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan
yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel
3.1 berbenturan dengan UU PM No.25/ 2007, sangat kecil harapan bahwa
kehadiran UU PM ini akan memberi hasil optimal. Misalnya, kontradiksi selama
ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya
mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22
tahun 2001 yang menyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga
pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea
Cukai (Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap
membatalkan niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan ijin
investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UU PM
No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak
menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor,
atau pasar tenaga kerja di Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU
No.13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan.
Di sektor perhotelan, sebagai contoh, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37
buah, karena setiap bagian dari hotel harus memiliki ijin khusus dari kementrian,
dinas, badan, dan lembaga terkait. Untuk membangun restoran di dalam hotel
perlu ijin dari Kementrian Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat
dan aman bagi konsumen, sedangkan untuk membangun kolam renang harus
dapat ijin dari Kementrian Olah Raga, dan untuk pemakaian tenaga kerja harus
dapat ijin dari Kementrian Tenaga Kerja, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika
izin penanaman modal sudah keluar, seorang investor yang akan membangun
sebuah hotel di sebuah kota akan tetap skeptis apabila beberapa atau semua dari
izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.
3.2. Masalah Regulasi Penanaman Modal Daerah
Telah terbit Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2007 tentang Investasi
Pemerintah. Seiiring waktu pelaksanaannya pada tanggal 4 Februari 2008
pemerintah telah mengganti Peraturan Pemerintah tersebut dengan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah”. ”Pasal 30 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah
mengamanahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyusun Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang Investasi Pemerintah Daerah”.
Investasi daerah merupakan salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi
pembangunan daerah. Secara normatif, investasi daerah (local investment)
dipahami sebagai salah satu kekuatan penting untuk mengakselerasi
pembangunan daerah. Tak terkecuali di kalangan pemerintah daerah, timbul
semacam kesadaran - terlebih sesudah implementasi desentralisasi dan otonomi
daerah - bahwa akselerasi pembangunan hanya dimungkinkan jika terdapat arus
7
investasi yang signifikan. Persepsi yang kuat tentang pentingnya investasi telah
mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya, mulai dari
promosi investasi yang gencar hingga kunjungan pejabat daerah keluar negeri.
Meskipun investasi sangat penting bagi daerah, namun mendatangkan investasi
ke daerah bukanlah pekerjaan sederhana. Bagaimanapun, investasi memiliki
logikanya sendiri. Secara umum, investasi, baik dalam bentuk penanaman modal
dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA), akan masuk ke
suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi serta
adanya iklim investasi yang kondusif.
Pemerintah telah mencanangkan tiga kebijakan dasar yaitu: (i) mempertahankan
penanaman modal yang sudah ada melalui peningkatan check and balanced
system yang mampu menampung keluhan dari kegiatan investasi yang ada serta
menindaklanjuti secara cepat dan efektif; (ii) meningkatkan daya tarik
perekonomian yang mampu menarik minat investor melalui penanganan aksi
teror dan konflik, peningkatan kepastian hukum, penyederhanaan proses
perijinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penyempurnaan
system perpajakan; dan (iii) mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah
(kawasan) guna pemenuhan skala ekonomis jenis usaha yang didanai oleh
investor.
Selanjutnya adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah Pusat harus
tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanaman modal di Indonesia
adalah BKPM. Koordinasi antara pemerintah pusat (dalam hal ini BKPM) dan
pemerintah daerah demikian juga antar daerah yang buruk telah menjadi faktor
disinsentif bagi pertumbuhan investasi di daerah. Buruknya koordinasi antar
pemerintah daerah telah menciptakan ekstra ekonomi biaya tinggi (diseconomies
of scale). Hal ini jelas disebabkan tidak adanya visi dan pemahaman yang sama
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun antar sesama
pemerintah daerah mengenai pembangunan atau pentingnya kerjasama dalam
investasi.
Selanjutnya mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan untuk
menentukan bidang-bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka bagi kegiatan
penanaman modal ditentukan oleh persyaratan terbaru berdasarkan Perpres No.
39 Tahun 2014. Berdasarkan Perpres tesebut, maka terdapat 6 bidang-bidang
usaha yang tertutup untuk penanaman modal termasuk penanaman modal asing
dan 17 bidang usaha yang diperbolehkan:
29 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil, menengah
dan koperasi (dari 43 bidang sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007
dan No.77 Tahun 2007),
46 bidang usaha yang harus bermitra (dari 36 bidang sebelumnya dalam
PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
82 bidang usaha yang diatur besarnya nilai modal asing (dari 120 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
1 bidang usaha yang diatur lokasinya (dari 19 bidang sebelumnya dalam
PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
8
30 bidang usaha yang harus memiliki izin khusus (dari 25 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),
49 bidang usaha yang modal dalam negeri 100% (dari 48 bidang
sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007), dan
22 bidang usaha yang diatur pemilik modal dan lokasinya (tetap
jumlahnya seperti aturannya sebelumnya PP No. 76 Tahun 2007 dan
No.77 Tahun 2007),
21 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal asing.
4 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal dalam negeri
100%.
3 Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam
modal dari negara-negara ASEAN.
Terdapat 4 (empat) persoalan utama yang menjadi keprihatinan dunia usaha dari
aturan ini. Pertama, adanya “gray areas” yang sangat membutuhkan kejelasan
informasi yang lebih tegas dan jernih. Sebagai contoh, dalam DNI terdapat
berbagai kasus dimana industri yang sama memiliki tingkatan kepemilikan
modal asing yang berbeda. Atau pada industri yang sama terdaftar sebagai
bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal pada lampiran yang
pertama, sedangkan pada lampiran yang lainnya dinyatakan sebagai bidang
usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Kesulitan lain adalah
membedakan penanam modal dari negara ASEAN dan non ASEAN karena pada
era globalisasi seperti sekarang sangatlah sulit dapat menahan para penanam
modal dari negara-negara ASEAN yang sebenarnya secara kepemilikan modal
perusahaanya sendiri memperoleh dana dari luar negaranya melalui pasar uang
dan pasar saham.
Kedua, dunia usaha juga masih memiliki berbagai pertanyaan berkenaan dengan
dasar pemikiran rasional, nilai atau filosofi yang melatarbelakangi keputusan
penentuan kriteria khususnya persentase yang berbeda untuk kepemilikan
modal asing maksimum yang diijinkan. dan apa yang melatarbelakangi
perbedaan persentase ini? Beberapa perbedaan persentase ini masih belum
menyediakan insentif bagi dunia usaha dan mungkin tidak memberikan daya
tarik bagi ekonomi nasional. Ini tentunya hak pemerintah untuk menyusun dan
menetapkan tingkat kepemilikan modal asing, tetapi dunia usaha dan
masyarakatr umum harus pula memahami landasan filosofi ini.
Ketiga, ketidakpastian mengenai proses perubahan dan transisi serta bagaimana
perubahan DNI ini dapat diaplikasikan dimasa depan. Sebagai contoh, apa yang
terjadi bila sebuah perusahan yang telah berdiri ingin melakukan ekspansi?
Apakah mereka harus mengikuti peraturan DNI yang baru atau mengikuti
peraturan yang berlaku pada saat perusahaan tersebut berdiri?
Keempat, masalah kerjasama kawasan utamanya kerjasama horisontal antar
pemerintahan lokal akan terpengaruh oleh berkurangnya penentuan DN
berdasArkan lokasi yang sekarang hanya diterapkan pada usaha peternakan babi.
Sangat jelas terlihat bagaimana Perpres ini dibuat dengan pertimbangan teknis
belaka tanpa melihat nilai dan filosofi lainnya terutama wacana kerjasama
9
kawasan yang selama ini memiliki paradigma tentang pengembangan kawasan
ekonomi secara kekhususan.
3.3.
Masalah Regulasi Penanaman Modal Asing
Peran penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu sumber
penggerak pembangunan ekonomi yang pesat selama era Orde Baru tidak bisa
disangkal. Selama periode tersebut, pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia
memang sangat pesat, terutama pada periode 80-an dan bahkan mengalami
akselerasi sejak tahun 1994. Indonesia selama era Soeharto tersebut didorong
oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan ekonomi yang
kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis
ekonomi 1997 hingga saat ini sulit sekali tercapai (Tambunan, 2007).
Penanaman Modal sangat penting sebagai motor utama perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Harus diakui bahwa PMA, khususnya dari
negara-negara maju, tetap lebih penting daripada Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN), terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini
disebabkan tiga alasan utama yaitu pertama, PMA membawa teknologi baru dan
pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam negeri. Kedua,
pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga
keuangan global, sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di
Indonesia. Ketiga, bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang
berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang
kuat, sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor (Tambunan, 2009).
Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi para penanam modal asing
di Indonesia adalah infrastruktur dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien,
perijinan dan kurangnya koordinasi antar Kementrian dan lembaga. UndangUndang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 dikeluarkan dengan maksud
menyelesaikan permasalahan-permasalahan dan ketidakpastian dalam
penanaman modal. Tetapi dalam pelaksanaanya tetap saja timbul berbagai
ketidakpastian terutama dalam aspek hukum sehingga penanam modal asing
enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Masalah nyata berkaitan dengan kepastian hukum dalam penanaman modal
asing adalah perijinan penanaman modal. Terdapat tiga hal penting yang perlu
dipahami yaitu Pertama, ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan ijin-ijin lain yang
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau
menentukan untung ruginya suatu usaha. Oleh Karena itu peraturan terkait
seperti UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU No 39 tahun 2007
tentang Cukai, UU No 17 tahun 2006 tentang kepabeanan, UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, UU No 4 tahun
2009 tentang Minerba dan Peraturan Presiden, Peraturan pemerintah, Peraturan
Menteri, dan peraturan daerah, dll. tentang penyelenggaraan pendaftaran
perusahaan dan penerbitan SIUP tidak boleh bertentangan dengan UU No 25
Tahun 2007 tentang Penanam modal. sejumlah UU dan peraturan menteri yang
sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga
menjadi suatu perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan.
Apabila UU dan Peraturan Menteri itu berbenturan dengan UU PM No.25, 2007
maka pelaksanaan UU Penanaman modal akan menjadi tidak optimal.
10
Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan persoalan pembebasan tanah.
Dalam pelaksanaan penanaman modal dilapangan menunjukan bahwa kegiatan
berinvestasi menjadi terhambat, dibatalkan atau penanam modal asingnya
mengundurkan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini berarti
masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan investasi
seperti yang dimaksud di atas. UU No.25 tahun 2007 tentang Penanam modal
tidak akan efektif dalam meningkatkan penanaman modal di Indonesia apabila
persoalan pembebasan tanah semakin menyulitkan, mahal dan menimbulkan
risiko besar terhadap penanam modal serta keselamatan jiwa dan usaha bagi
calon investor
Ketiga, permasalahan yang berkaitan dengan birokrasi yang tercerminkan oleh
antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi (seperti perizinan,
peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah
prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat
investor enggan melakukan investasi di Indonesia.
3.4.
Masalah Regulasi Penanaman Modal di Bidang Pertambangan4
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan memberikan izin kepada Pemerintah untuk melaksanakan
pengusahaan bahan galian (tambang) baik secara langsung terlibat dalam
kegiatan usaha maupun menunjuk kontraktor untuk melaksanakan pengusahaan
bahan galian (tambang) apabila instansi pemerintahan tersebut tidak atau belum
mampu untuk melaksanakan pengusahaan bahan galian (tambang) secara
langsung. Apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor, kedudukan
Pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan.
Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada
badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Kuasa
pertambangan dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu: 9 (1) kuasa
pertambangan penyelidikan umum; (2) kuasa pertambangan eksplorasi; (3)
kuasa pertambangan ekploitasi; (4) kuasa pertambangan pengolahan dan
pemurnian; dan (5) kuasa pertambangan pengangkutan dan penjualan.
Pengelolaan bahan galian tambang emas, perak maupun tembaga yang
bekerjasama dengan investor asing umumnya menggunakan sistem kerja sama
modal kontrak karya yang mulai dikenal pada tahun 1967 bersamaan dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing
serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pertambangan. Perjanjian karya pengusahaan pertambangan memiliki
pola yang berbeda antara pola perpajakan dengan pola pembagian hasil
produksinya. Pola perpajakan perjanjian karya pertambangan menggunakan pola
kontrak karya sementara pola pembagian hasil tambang menggunakan pola
production sharing. Berdasarkan skema Kontrak Karya, perusahaan diwajibkan
untuk membayar sejumlah pajak mineral, diantaranya royalti yang nilainya
4 Bagian ini sangat banyak didasarkan pada tulisan An An Chandrawulan, Kepastian Hukum
dalam Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia dalam Rina Indiastuti dan Arief Anshory
Yusuf, Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa (Unpad’s Contribution for Nation Leaders)
Unpad Press, 2013
11
berbeda-beda berdasarkan jenis mineral, sewa tanah dan berbagai jenis pajak
berdasarkan tahapan setiap kegiatan Kontrak Karya, seperti pajak perusahaan
yang sejak model Kontrak Karya (KK) diperkenalkan berkisar antara 35%-48%.
Saat ini pajak perusahaan adalah 30% yang apabila dibandingkan dengan negaranegara lain, seperti Philipina (32%) dan China (33%) sangat kompetitif.
Kegiatan penaman modal asing pada sektor pertambangan merupakan upaya
untuk menggali sedalam-dalamnya potensi sumber daya alam Indonesia untuk
memberikan keuntungan ekonomis bagi setiap pihak yang melibatkan diri di
dalam kegiatan usaha tersebut dengan mengutamakan pemberian sumbangsih
dari kegiatan usaha pertambangan kepada kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi. Industri migas menduduki
posisi penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia, oleh karena itu
daya saing dalam industri hulu migas sangat tinggi, salah satu faktor terpenting
dalam peningkatannya saing ini adalah faktor kepastian hukum. Terdapat
beberapa permasalahan yang krusial dalam pengelolaan sumber kekayaan alam
yang berkaitan dengan persoalan kepastian hukum yaitu pertama, dampak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13
November 2012 mengenai putusan pengujian terhadap Undang-undang No 22
Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang berujung pada pembubaran
Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Untuk mencegah kekosongan hukum pasca putusan MK pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 95 Tahun 2012 tentang
Pengalihan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Adapun
tujuan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 ini dikeluarkan agar menjamin
kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau mencegah
rechtsvacuum.
Pada tahun 2013 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang
kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas sebagai pengganti fungsi
BP Migas yang berada di bawah Kementerian Ekonomi Sumber Daya dan Mineral
(ESDM). Adanya putusan tersebut belum menyelesaikan semua masalah
berkaitan dengan keberadaan BP Migas, khususnya terkait dengan pengalihan
kewenangan dari BP Migas kepada SKK Migas dibawah Kementerian ESDM,
karena pembentukan SKK Migas oleh Pemerintah sifatnya sementara sampai
adanya aturan yang baru atau merevisi UU Migas. Oleh karena itu pengganti BP
Migas sebagai pelaku usaha harus ditetapkan sesuai dan berdasarkan konsep
hukum.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam adalah
tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yaitu antara UU Minerba, UU
Tata Ruang serta UU Kehutanan yang telah menimbulkan dampak terhadap
kelangsungan industri pertambangan di Indonesia. Permasalahan ini terkait
dengan proses pemberian ijin pinjam pakai kawasan hutan yang ketentuannya
berbeda dengan yang lainnya. Selain permasalahan perijinan terdapat pula
permasalahan lain dalam pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara yaitu belum harmonisnya peraturan lintas Kementerian teknis yang
mendukung kegiatan eksplorasi, konstruksi, produksi, jasa usaha pertambangan
dan pengiriman hasil produksi serta dampak penerapan UU Otonomi Daerah
12
yang menimbulkan benturan kewenangan antara pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut menghambat
gerak pelaku bisnis pertambangan, sehingga menimbulkan
adanya
ketidakpastian berbisnis dan ketidakpastian hukum.
3.5.
Pembangunan Kawasan, Penanaman Modal, dan Kerjasama
antar Daerah
Pemerintah pada tanggal 27 Mei 2011 telah mengeluarkan Perpres No. 32 Tahun
2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan
proyek-proyek investasi, baik di sektor riil maupun infrastruktur yang telah
melakukan groundbreaking di berbagai daerah. MP3EI memiliki semangat
mempercepat pembangunan sektor pangan, energi, dan infrastruktur dengan
berbasiskan pendekatan spasial yang membagi Indonesia menjadi 6 (enam)
Koridor Ekonomi (KE) di mana pembangunan sektor pangan difokuskan pada 2
(dua) Koridor, yaitu Koridor Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi PapuaKepulauan Maluku.
Program ini dibangun atas dasar argumen tentang pentingnya membangun daya
saing Indonesia di dunia, tetapi mengapa wilayah pembangunan sektor pangan
dibatasi hanya di KE Sulawesi dan KE Papua-Kepulauan Maluku? Apakah daerahdaerah lain tidak memerlukan penguatan pembangunan pangan? Kemudian,
bagaimana dengan komitmen negara untuk memastikan ketersediaan lahan
pangan, sementara wilayah-wilayah lain di luar dua koridor tersebut boleh
dialihfungsikan untuk pembangunan industri, pertambangan dan sektor lainnya
yang padat modal? Wajar jika muncul dugaan adanya pengalihan lahan produktif
di KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, dan KE Bali-Nusa Tenggara.
Memang terasa bahwa MP3EI ini sepertinya tidak akan dijadikan semangat
pembangunan kawasan dalam pembangunan ekonomi nasional dalam
pemerintahan Jokowi sampai dengan tahun 2019. Ini sangat jelas terlihat dari
bertentangannya isi Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang tentang Daftar Bidang
Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal yang jelas tidak memberlakukan persyaratan lokasi untuk
bidang-bidang usaha yang boleh dijadikan obyek investasi kecuali peternakan
babi yang tentu disadari karena factor sentimen agama dan kesehatan. Hampir
semua jenis industry usaha selain peternakan babi dalam bidang pertanian dan
kehutanan terkait pangan tidak mensyaratkan lokasi, dan hal ini jelas
bertentangan dengan semangat Penetapan K.E Sulawesi dan K.E PapuaKepulauan Maluku sebagai koridor pembangunan sektor pangan nasional dalam
MP3EI.
Berdasarkan kebutuhan kerjasama kewilayahan dengan prinsip kebersamaan
dan terkait dengan penyediaan pelayanan public dan infrastruktur, Pemerintah
telah merumuskan kebijakan sebagai pedoman penyelenggaraan Kerjasama
Antar Daerah (KAD). yaitu PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan
Kerjasama Antar Daerah.
Dalam implementasinya terdapat kendala-kendala sbb:
13
a. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD sebagai
salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan. Salah satu
penyebabnya adalah adanya persaingan dan ego daerah dimana semangat
otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan. Setiap daerah memacu
perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan
kebutuhan wilayah lain.
b. Belum tersedia mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja sama
dalam peningkatan efektivitas/efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik
c. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan untuk
bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk, karena euphoria
baru menjadi sebuah daerah otonom.
d. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas untuk
di-diseminasikan ke daerah. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif
daerah sendiri.
4. Rekomendasi ke Depan
4.1. Rekomendasi Umum Penanaman Modal.
Hal utama yang perlu dilakukan oleh DPD-RI adalah mendorong pemerintah
pusat untuk mengkaji ulang semua peraturan, Kepres, atau UU yang berlaku yang
mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri
dengan UU PM No.25 Tahun 2007) untuk melihat apakah semua peraturan,
Kepres atau UU tersebut konsisten dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak
konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM tersebut harus segera
dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket
(Tambunan, 2007).
4.2.
Rekomendasi Penanaman Modal di Daerah
Khusus untuk implementasi kebijakan penanaman modal di daerah, untuk
meningkatkan iklim investasi dan mendorong investasi daerah, terdapat
sejumlah agenda yang layak dipertimbangkan oleh DPD-RI untuk memfasilitasi
pemerintah daerah untuk mengembangkan antara lain perumusan kebijakan
investasi daerah, memperbaiki regulasi, penyederhanaan prosedur perijinan,
mengembangkan infrastruktur, melakukan promosi daerah, mengembangkan
regional management, dan lain-lain. Meski agenda-agenda tersebut bukanlah
sesuatu yang baru, namun tetap menarik untuk didiskusikan mengingat bahwa
selama ini agenda-agenda tersebut belum diimplementasikan secara optimal.
4.3.
Rekomendasi Penanaman Modal Sektor Pertambangan dan
Migas
Pengelolaan Migas pasca putusan MK tidak cukup dengan dikeluarkan Perpres
No.95 Tahun 2012 dan PP No 9 tahun 2013 karena lembaga sebagaimana
ditetapkan Perpres tersebut bersifat hanya sementara. SKK MIGAS yang berada
dibawah Kementerian ESDM bukan pelaku usaha dalam konsep hukum bisnis,
tidak seharusnya melaksanakan kontrak kerjasama yang menjadi kewajiban dari
BP Migas. Pengganti BP Migas harus mempertahankan eksistensi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) sebagai suatu pelaku usaha yang memiliki landasan hukum
14
dalam sistem hukum nasional. BUMN akan membawa manfaat yang lebih besar
sepanjang BUMN tersebut tersebut konsisten melaksanakan prinsip-prinsip
hukum, karena kehadiran BUMN pun diserahi amanat sesuai yang ditentukan
dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selain DPD-RI dapat mengusulkan secara inisiatif atau menyiapkan aturan
tentang pembentukan lembaga atau badan khusus yang harus segera dibentuk
oleh pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum baik bagi penanam
modal dalam negeri maupun penanam modal asing, juga pemerintah harus
segera membuat kebijakan membuat UU Migas atau merevisi UU No 22 Tahun
2001 sesuai dengan konstitusi yang mencantumkan dengan jelas, terang dan
tidak samar-samar tentang tujuan pembangunan. Selain itu pelaksanaan UU
Migas demi tercapainya kepastian hukum yang mendasarkan segala pada
perundang-undangan berdasakan pada hukum harus didukung oleh moral yang
tinggi dari para pelaksana atau birokrat. Dalam hal penyelesaian permasalahan
dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara diperlukan suatu
harmonisasi peraturan lintas kementerian dan harmonisasi peraturan pusat dan
daerah.
4.4.
Rekomendasi Kerjasama Kawasan dalam Penanaman Modal.
Dengan fakta yang tak terbantahkan ini maka beberapa langkah harus dilakukan
khususnya oleh pengambil kebijakan legislasi (DPR dan DPD) dengan masingmasing kewenangannya:
a. Memastikan UUPM dan peraturan-peraturan pelengkap lain yang menjadi
impementasi teknis harus sinergi dengan semangat efisiensi dan
pemerataan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
b. Memastikan UUPM dan peraturan yang menjadi impementasi teknis harus
fleksibel atau dibuat secara sistemik dinamika perubahannya secara
berkala (tahunan atau 4-tahunan sesuai RPJM) berdasarkan pencapaian
realisasi pembangunan infrastruktur terutama tol laut dan infrastruktur
dasar seperti jalan, listrik, pelabuhan, Bandar udara dan air bersih..
c. Mengajukan usulan revisi peraturan kerjasama antar daerah pengganti PP
No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah
yang lebih bernafaskan “kolaborasi” dan “semi professional” ketimbang
semangat “kerjasama konvensional” yang sarat dengan muatan dan
kendala politik terutama semangat primordialisme/kedaerahan terkait
masalah penanaman modal. Revisi ini Harus juga memberika skema
insentif-disinsentif guna mengakselarasi terlaksananya kerjasama
kewilayahan terkait penanaman modal ini.
d. Mendorong agar penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah
didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Bila dibutuhkan maka
diupayakan adanya sosialisasi dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang ikut mengatur kewenangan tanggung jawab
dalam masalah bidang penanaman modal mengikuti juga semangat
pembagian kewenangan dan tanggung jawab pada pelayanan public
seperti jalan dan pendidikan, sebagai contoh: Penyelenggaraan
penanaman modal yang ruang.
15
e. Melakukan upaya perbaikan aturan yang lebih mendorong Pemerintah
daerah untuk melakukan reorientasi peran, dari peran tradisional menuju
peran kewiraswastaan, terlebih karena penanaman modal sangat erat
dengan semangat swasta dalam mencari keuntungan maksimum. Karena
telah tersedia data pemetaan potensi daerah, maka revisi perundangundangan khususnya tentang penanaman modal yang harmonis dengan
UU Tata Ruang dan Wilayah serta semangat konsep Kerjasama kawasan
harus diupayakan.
Untuk masalah penyediaan pelayanan publik khususnya infrastruktur jalan dan
listrik yang memang menjadi pertimbangan utama para penanam modal selain
potensi pasar dan insentif fiscal, kerjasama konvensional mungkin masih relevan
dipraktekkan, namun dalam rangka pengembangan perekonomian wilayah
terkait penanaman modal, penekanan model kerjasama yang dapat dijalankan
adalah Bentuk/model kerjasama berupa badan kerjasama yang independen atau
terpisah dari kelembagaan pemerintah daerah, dan dikelola secara profesional
dengan prinsip manajemen bisnis murni dan semangat kolaborasi. Hal ini karena
badan semacam ini dapat bergerak lebih fleksibel dan terpisah dari birokrasi
yang kadang menghambat inovasi-inovasi strategi perdagangan. 5 Model
kerjasama ini perlu didukung juga dengan strategi-strategi tertentu dalam
menghadapi era globalisasi, karena peningkatan daya saing daerah pada
hakikatnya saat ini tidak hanya diperlukan dalam konteks daya saing diantara
wilayah lain, melainkan juga dalam konteks global.
DAFTAR PUSTAKA
An An Chandrawulan, Kepastian Hukum dalam Peningkatan Daya Saing Ekonomi
Indonesia dalam Rina Indiastuti dan Arief Anshory Yusuf, Sumbangsih
Unpad Bagi Pemimpin Bangsa, Unpad Press, 2013.
Fuller, Lon L. The Morality of Law, New Haven Connecticut: Yale University Press,
1964. Pp. viii, 2002.
Kodrat Wibowo, “Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi Kebijakan Ekonomi
Nasional, Artikel dalam buku: “Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa”,
Unpad Press, 2013.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung :
Alumni. 2002).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas
Indonesia Press, 1999).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).
Tulus Tambunan, Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga
Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press, 2007
______, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Ghalia Indonesia,
Jakarta,2009.
5 Model yang sama dapat direplikasi dari implementasi kepemilikan Bank Jabar-Banten antara
Provinsi Jawa barat dan Banten serta Bank Sumbagsel antara Provinsi Sumatera Selatan dan
Bangka-Belitung dalam bidang perbankan.
16