PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW TERHA

1

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW TERHADAP
KETERAMPILAN HUBUNGAN ANTAR SISWA DAN KERJASAMA
KELOMPOK PADA SISWA SDN SUKODADI 2

ARTIKEL

Oleh

MUHYIDIN, S.Pd.,M.Pd.
NIP. 19640405 198803 1 019

PEMERINTAH KABUPATEN MAGALANG
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
SEKOLAH DASAR NEGERI SUKODADI 2
UPT KECAMATAN BANDONGAN
2015

2
LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: MUHYIDIN, S.Pd.,M.Pd.

NIP

: 19640405 198803 1 019

Lokasi Kerja

: SD Negeri Sukodadi 2

Alamat Sekolah

: Kalinongko, Sukodadi, Bandongan, Magelang, KP.
56151

Judul

: “Pengaruh Model Pembelajaran Jigsaw Terhadap

Keterampilan Hubungan Antar Siswa dan Kerjasama
Kelompok pada Siswa SDN Sukodadi 2”

Artikel ini telah disetujui oleh Ka UPT Disdikpora Kecamatan Bandongan untuk
dapat dipublikasikan di Perpustakaan SD Negeri Sukodadi 2 Kec, Bandongan.

Bandongan, 24 Maret 2015
Mengetahui,

Pembimbing,

Kepala UPT Disdikpora Kec. Bandongan,

Pengawas Pembina,

Drs. SUMEDI
NIP. 19590604 198012 1 005

LARASATI, S.Pd.MM.Pd
NIP. 19601213 198012 2 003


1
ABSTRAK
Muhyidin. 2015. Pengaruh Model Pembelajaran Jigsaw Terhadap Keterampilan
Hubungan Antar Siswa dan Kerjasama Kelompok pada Siswa SDN
Sukodadi 2. Artikel. Program Pengembangan Diri. Pengawas Pembina:
Larasati, S.Pd.MM.Pd.
Kata kunci : model jigsaw, keterampilan hubungan antar siswa, kerjasama
kelompok)
Model pembelajaran kooperatif berdampak bukan saja pada ranah
akademik, tapi juga pada keterampilan hubungan antar siswa dan kerjasama
kelompok. Penelitian ini bertujuan menguji dampak salah satu model
pembelajaran kooperatif, yaitu model jigsaw, terhadap keterampilan hubungan
antar siswa dan kerjasama kelompok pada siswa Fakultas Psikologi SDN
Sukodadi 2.
Model penelitian yang dipilih adalah eksperimen dengan menggunakan
rancangan satu grup pra test dan post test. Sebanyak 45 siswa kelas IV, V, dan VI
pada semester genap tahun pelajaran 2013/2014 menjadi responden penelitian.
Masing-masing kelas dibagi menjadi tiga kelompok diskusi siswa. Pada minggu
terakhir sebelum dilaksanakan ujian tengah semester, mereka diukur keterampilan

hubungan antar siswa dan kerjasama kelompoknya dengan skala. Memasuki masa
perkuliahan setelah ujian tengah semester, selama tujuh minggu (tujuh kali
pertemuan), mereka diajar dengan model pembelajaran jigsaw mata pelajaran
matematika. Pada akhir semester mereka diukur lagi keterampilan hubungan antar
siswa dan kerjasama kelompoknya dengan skala yang sama.
Perangkat skor keterampilan hubungan antar siswa dan kerja sama
kelompok yang diperoleh responden sebelum dan setelah pembelajaran
dibandingkan, dan diuji perbedaannya dengan paired samples t test. Hasilnya
menunjukkan bahwa model pembelajaran Jigsaw secara signifikan mampu
meningkatkan keterampilan hubungan antar siswa siswa. Hasil analisis terhadap
variabel kerjasama kelompok dengan membandingkan skor pre test dan post test
menunjukan bahwa model pembelajaran Jigsaw secara sangat signifikan mampu
meningkatkan keterampilan kerjasama kelompok siswa.

PENDAHULUAN
Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi siswa dalam
domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk mengembangkan level
kompetensi yang berbeda (baik dalam domain kognitif, afektif, maupun
psikomotorik) diperlukan metode pembelajaran yang berbeda; misalnya metode
ceramah lebih pas untuk mengembangkan knowledge, dan kurang pas untuk

mengembangkan kemampuan analisis. Demikian juga untuk mengembangkan

2
domain yang berbeda diperlukan model pembelajaran yang berbeda pula; metode
diskusi kurang pas untuk mengembangkan domain psikomotorik, tapi akan
menjadi pas kalau dipakai untuk mengembangkan domain kognitif. Model role
play

lebih cocok untuk mengembangkan domain afektif daripada domain

kognitif.
Peneliti memperkenalkan dan selanjutnya mempraktikan pembelajaran
yang berpusat pada siswa (student centered learning) sejak tahun 2012.
Implementasinya di kelas IV, V, dan VI, masih variatif tergantung pada guru kelas.
Berdasar pengamatan, beberapa guru secara bertahap berusaha mengubah cara
pembelajarannya yang dipakai selama ini, menuju ke arah pembelajaran yang
berpusat pada siswa, paling tidak hal ini tampak dalam hal pemberian kesempatan
yang lebih luas kepada siswa untuk lebih berperan secara aktif dalam berbagai
aktivitas belajar, misalnya diskusi kelompok, pemberian tugas, survei lapangan,
dan presentasi-presentasi yang dilakukan oleh siswa.

Pembelajaran dengan pendekatan student centered memiliki banyak
metode dan/atau model pembelajaran. Salah satu yang sudah nampak diterapkan
oleh guru kelas V adalah model jigsaw, walaupun belum sepenuhnya. Penelitian
ini bertujuan untuk menguji teori, yang menyebutkan bahwa model pembelajaran
jigsaw memiliki keunggulan dalam mengembangkan keterampilan hubungan
antar siswa dan kerjasama kelompok pada siswa.
Istilah instructional methods dan teaching methods memiliki arti yang
sama yaitu metode pembalajaran. Model pembelajaran menguraikan tentang
aktivitas-aktivitas yang diorientasikan pada tujuan belajar dan cara penyampaian
informasi dari guru ke siswa. Salah satu pengelompokan model pembelajaran
adalah pengelompokan berdasar pendekatan teacher-centered dan studentcentered. Model pembelajaran yang berpusat pada siswa (students center) antara
lain model belajar kooperatif (cooperative learning). Belajar kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil. Siswa
belajar dalam kelompok yang masing-masing anggotanya memiliki kemampuan
yang berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok antara empat sampai enam siswa
yang bekerjasama antara yang satu dengan yang lain dalam kegiatan belajar.

3
Kelompok biasanya diberi rewards sesuai dengan seberapa banyak setiap anggota
kelompok telah belajar (Slavin, 1991).

Belajar kooperatif secara teoretik dipandang mampu mengembangkan
bukan saja capaian akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti hubungan
antar siswa dan kerjasama kelompok. Menurut Arends (2007) belajar kooperatif
dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting; yaitu prestasi
akademik,

toleransi

dan

penerimaan

terhadap

keanekaragaman,

serta

pengembangan keterampilan sosial. Marning dan Lucking (1991) mengatakan
bahwa belajar kooperatif selain memberikan kontribusi secara positif terhadap

prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa.
Salah satu bentuk belajar kooperatif adalah model jigsaw, yang dalam
penelitian ini, akan diuji dampaknya terhadap keterampilan hubungan antar siswa
dan kerjasama kelompok. Pada pembelajaran dengan model jigsaw, siswa belajar
dalam kelompok yang anggotanya berkemampuan heterogin dan masing-masing
siswa bertanggungjawab atas satu bagian dari materi (Arends, 2007). Topik
pembelajaran ditentukan oleh guru, sedangkan tugas siswa adalah mempelajari
dan mendiskusikan berbagai materi di kelompok ahli, selanjutnya saling berbagi
(sharing) berbagai materi di kelompok asal.
Menurut Aronson (www.jigsaw.org), langkah-langkah pembelajaran model
jigsaw adalah sebagai berikut: (1) Menempatkan siswa dalam kelompok, yang
masing-masing kelompok beranggotakan antara 5 - 6 orang; (2) Menugaskan
seorang siswa dari setiap kelompok sebagai pemimpin; (3) Membagi materi
pelajaran menjadi 5 - 6 bagian; (4) Menugaskan setiap siswa untuk mempelajari
satu bagian materi; (5) Memberi waktu kepada siswa untuk mempelajari materi
yang menjadi bagiannya paling tidak dua kali agar ia menjadi familier dengan
materinya; (6) Membentuk “kelompok-kelompok ahli”, yang anggotanya adalah
seorang siswa dari masing-masing kelompok asal. Mereka bergabung menjadi
satu kelompok (ahli) untuk mempelajari satu bagian materi yang sama. Guru
memberikan waktu pada masing-masing kelompok ahli untuk mendiskusikan

poin-poin penting dari materi bagian mereka sebagai pedoman presentasi yang
akan mereka lakukan di kelompok asal; (7) Meminta masing-masing siswa untuk

4
kembali ke kelompok asal mereka; (8) Meminta masing-masing siswa untuk
mempresentasikan materi bagiannya di kelompok asal. Guru mendorong anggota
kelompok yang lain untuk mengajukan pertanyaan yang bertujuan untuk
klarifikasi; (9) Guru mengobservasi proses diskusi dari satu kelompok ke
kelompok yang lain. Jika kelompok mengalami hambatan (misalnya ada yang
mendominasi atau mengganggu) guru melakukan intervensi; (10) Di akhir sesi
berikan kuis berkaitan materi sehingga siswa dengan segera dapat menyadari
bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah aktivitas yang sia-sia.
Model jigsaw pertamakali dikenalkan pada guru-guru SD dan SMP pada
akhir tahun 1970-an sebagai model pembelajaran yang dapat menghasilkan
capaian akademik dan social-emotional (Resor, 2008; Steiner, Stromwall, Brzuzy,
dan Gerdes, 1999). Pembelajaran dengan menggunakan model jigsaw
memberikan kesempatan pada siswa mengembangkan banyak kemampuankemampuan kerjasama yang dibutuhkan (Taylor, http://wikis.lib.ncsu.edu/index.
php/Jigsaw)
Aronson, dkk (Marning dan Lucking, 1991) dari penelitiannya
menyimpulkan bahwa siswa yang diajar dengan model jigsaw menjadi lebih

menyukai teman-temannya dalam satu kelompok belajar dibanding dengan
kesukaan mereka terhadap teman-temannya satu kelas yang bukan anggota
kelompok belajarnya. Dengan belajar kooperatif mereka saling menghargai dan
saling peduli satu sama lain, sehingga mampu meningkatkan hubungan antar
siswa di antara mereka.
Chun-Yen dan Song-Ling (1999) meneliti pengaruh model jigsaw terhadap
kinerja akademik dan non-akademik pada siswa sekolah menengah yang
mengikuti matapelajaran Ilmu Alam. Satu dari dua kelompok siswa yang
penempatannya dilakukan secara random, diajar dengan model jigsaw (kelompok
eksperimen) dan kelompok lainnya diajar dengan model tradisional (kelompok
kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki kinerja
akademik yang lebih tinggi, berkurang prasangka dan prejudice nya, dan
meningkat hubungan sosialnya dibandingkan dengan kelompok kontrol.

5
Gillies dan Ashman (1998) meneliti perilaku dan interaksi sosial siswa saat
belajar matapelajaran ilmu pengetahuan sosial. Sebanyak 212 siswa kelas 1 SD
dan 184 siswa kelas 3 SD berpartisipasi dalam penelitian. Mereka dibagi menjadi
kelompok-kelompok melalui stratified random assignment; setiap kelompok
terdiri dari empat siswa, yang masing-masing kelompok beranggotakan satu siswa

berkemampuan tinggi, dua siswa berkemampuan moderat, dan satu siswa
berkemampuan rendah. Kelompok-kelompok tersebut secara acak dimasukkan
dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen
selama enam minggu belajar dalam kelompok kecil terstruktur, sedangkan
kelompok kontrol selama periode waktu yang sama belajar dalam kelompok kecil
tidak terstruktur. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok kecil
terstruktur secara konsiten lebih kooperatif dan lebih banyak memberi atau
menerima bantuan dari anggota kelompoknya dibandingkan dengan siswa dalam
kelompok kontrol.
Gillies (2003), meneliti siswa SMP yang belajar memecahkan problem,
mengerjakan tugas-tugas dalam pelajaran matematika, ilmu alam dan bahasa
inggris dalam kelompok kecil terstruktur dan tidak terstruktur. Sebanyak 220
siswa kelas 8 berpartisipasi dalam penelitian, yang dilaksanakan dalam 3 termin.
Siswa bekerja dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari empat siswa,
laki-laki dan perempuan dengan kemampuan yang heterogin di dalam kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belajar dalam kelompok
terstruktur lebih kooperatif dan lebih banyak saling memberikan bantuan antara
yang satu dengan yang lain ketika belajar bersama dalam kelompok dibandingkan
dengan siswa dalam kelompok yang tidak terstruktur. Selain itu, juga ditemukan
bahwa siswa yang belajar dalam kelompok terstruktur memiliki persepsi yang
kuat bahwa belajar dalam kelompok kecil sangat menyenangkan dan
memungkinkan mereka memperoleh kesempatan untuk belajar bersama secara
berkualitas.
Penelitian Resor (2008) menemukan beberapa komentar dari siswa yang
diajar dengan model jigsaw. Sebagian besar komentar mereka adalah bahwa
model pembelajaran jigsaw membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan

6
meningkatkan kemampuan berfikir secara mendalam dan kemampuan melakukan
analisis kritis. Seorang siswa mengatakan model jigsaw menyenangkan (fun) dan
memberi pencerahan karena membawa pada hal-hal yang terang yang tak pernah
terfikirkan.
Berdasar hasil-hasil penelitian tentang dampak model belajar kooperatif,
khususnya model jigsaw seperti diuraikan di atas, maka hipotesis yang diajukan
pada penelitian ini adalah: Model jigsaw yang dipakai dalam pembelajaran
Psikologi Pendidikan, mampu mengembangkan keterampilan hubungan antar
siswa dan kerjasama kelompok pada siswa kelas IV, V, dan VI SDN Sukodadi 2.
METODE
Subjek penelitian adalah 45 siswa kelas IV, V, dan VI SDN Sukodadi 2
pada semester genap Tahun pelajaran 2013/2014. Variabel dalam penelitian ini
ada tiga, yaitu (1) model pembelajaran, yaitu model pembelajaran jigsaw (2)
keterampilan (skills) hubungan antar siswa, yaitu kemampuan seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain, dan (3) kerjasama kelompok (working together),
yaitu belajar bersama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu
memahami materi pelajaran.
Metode

yang

dipakai

untuk

mengumpulkan

data

adalah

Skala

Keterampilan Hubungan Antar siswa dan Skala Kerjasama Kelompok, yang
keduanya disusun sendiri oleh peneliti. Rancangan penelitiannya adalah
eksperimen dengan menggunakan one group pretest and posttest design. Prosedur
penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Sebelum diberi perlakuan, yaitu
pembelajaran dengan model jigsaw, 45 responden diukur keterampilan hubungan
antar siswa dan kerjasama kelompoknya, (2) menerapkan pembelajaran dengan
model jigsaw sebanyak tujuh kali pertemuan, dan (3) mengukur kembali
keterampilan hubungan antar siswa dan kerjasama kelompok 45 responden
dengan menggunakan skala yang sama, (4) skor variabel keterampilan hubungan
antar siswa dan variabel kerjasama kelompok yang diperoleh dari dua kali
pengukuran tersebut dibandingkan dan diuji perbedaannya. Metode analisis data
yang digunakan adalah paired samples t test.

7
PELAKSANAAN PENELITIAN
Langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut: Langkah pertama,
mengukur keterampilan hubungan antar siswa dan kerjasama kelompok 45
responden sesaat sebelum mereka menempuh ujian tengah semester 2. Langkah
kedua, pada pertemuan pertama setelah UTS, membagi 45 responden berdasar
nomer urut daftar presensi menjadi 9 kelompok (selanjutnya disebut kelompok
asal: kelas IV (kelompok A, B, dan C), kelas V (Kelompok D, E, dan F), kelas VI
(Kelompok G, H, dan I), yang masing-masing terdiri dari 5 siswa. Langkah
ketiga, masing-masing satu anggota dari ke-9 kelompok asal diberi tugas menjadi
anggota kelompok ahli. Dua anggota dari masing-masing kelompok asal diberi
materi perkalian secara klasikal untuk dipelajari selama satu minggu; dua anggota
yang lain diberi materi pembagian untuk dipelajari selama satu minggu; satu
anggota yang lain lagi diberi materi hitung campuran untuk dipelajari selama satu
minggu; Jadi secara keseluruhan terdapat 9 kelompok ahli yang masing-masing
kelompok ahli per kelas terdiri dari tiga kelompok ahli yang terdiri dua kelompok
beranggotakan enam siswa dan satu kelompok beranggotakan 3 siswa.
Selanjutnya, pada langkah keempat, masing-masing dari tiga kelompok ahli
mendiskusikan materi yang sudah ditetapkan sebelumnya pada langkah ketiga.
Langkah kelima, setelah selesai diskusi dalam kelompok ahli, masing-masing
anggota kembali ke kelompok asal. Langkah keenam, secara bergantian masingmasing anggota kelompok ahli mempresentasikan materi bagiannya yang sudah
mereka diskusikan di kelompok ahli, di kelompok asal. Langkah ketujuh, guru
memberikan evaluasi dan masukan atas hasil belajar siswa yang diperoleh dari
hasil diskusi dan sharing di antara mereka.
Prosedur pembelajaran seperti diuraikan di atas dilaksanakan selama tujuh
kali pertemuan dengan materi yang berbeda. Pada hari terakhir pembelajaran 45
responden diukur lagi keterampilan hubungan antar siswa dan kerjasama
kelompoknya dengan skala yang sama.
Selain diukur keterampilan hubungan antar siswa dan kerjasama
kelompoknya, setiap responden juga diminta untuk memberikan penilaian dengan
menyebutkan dua keunggulan dan dua kelemahan penggunaan pembelajaran

8
jigsaw yang sudah mereka alami selama tujuh kali pertemuan. Tujuannya adalah
untuk memperoleh data tambahan dalam rangka elaborasi kualitatif atas hasil
analisis data kuantitatif.
HASIL
Perangkat skor dari kedua variabel yang diperoleh subjek sebelum dan
setelah eksperimen dibandingkan dan diuji perbedaannya. Metode analisis data
yang digunakan adalah paired samples t test. Hasil analisis terhadap variabel
keterampilan hubungan antar siswa dengan membandingkan skor pre test dan post
test, menunjukkan bahwa model pembelajaran jigsaw secara signifikan mampu
meningkatkan keterampilan hubungan antar siswa. Hasil analisis terhadap
variabel kerjasama kelompok dengan membandingkan skor pretes dan postes,
menunjukkan bahwa model pembelajaran jigsaw secara sangat signifikan mampu
meningkatkan kerjasama kelompok.
Selain temuan yang dikemukakan di atas, ditemukan juga hasil penilaian
yang diberikan responden tentang keunggulan dan kelemahan penggunaan model
pembelajaran jigsaw yang mereka rasakan setelah mengikuti pembelajaran dengan
model tersebut selama tujuh kali pertemuan. Keunggulan model jigsaw menurut
penilaian responden disajikan pada tabel 1.
Tabel 1: Keunggulan model pembelajaran jigsaw menurut responden
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No
11
12

Keuntungan Model Jigsaw berdasar persepsi siswa
Siswa tidak takut bertanya dan sharing dalam diskusi
Dapat memahami materi lebih cepat dan efektif
Siswa lebih aktif
Materi yang diperoleh lebih banyak
Kelompok presenter lebih menguasai topik yang
didiskusikan
Tidak membosankan
Meningkatkan motivasi
Materi lebih banyak yang diingat
Mampu memahami kelebihan dan kelemahan teman dalam
kelompok
Memiliki persepsi yang sama dalam satu kelompok
Keuntungan Model Jigsaw berdasar persepsi siswa
Belajar secara mandiri
Belajar mengajari teman sebaya

f
11
9
6
3

%
24,44
20,00
13,33
6,67

3

6,67

2
3
2

4,44
6,67
4,44

2

4,44

1
f
1
1

2,22
%
2,22
2,22

9
13

Meningkatkan kemampuan berfikir kritis
J u m l a h
j a w a b a n

1
45

2,22
100

Kelemahan model jigsaw menurut penilaian responden setelah mereka
mengikuti pembelajaran dengan model tersebut selama tujuh kali pertemuan
disajikan pada tabel 2.
Tabel 2: Kelemahan model pembelajaran jigsaw menurut responden
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kelemahan Model Jigsaw berdasar persepsi siswa
Kurangnya pemahaman presenter dalam menyampaikan materi
Banyak waktu terbuang karena siswa ngobrol dalam diskusi
Tidak semua siswa aktif
Sering menimbulkan persepsi yang salah terhadap suatu teori
Jika seorang anggota kelompok tidak datang akan merugikan
seluruh anggota kelompok
Waktu kurang untuk diskusi
Mudah lupa karena terlalu banyak materi
Kurangnya penjelasan dari guru
Siswa kurang memperoleh penjelasan yang tuntas dari presenter
Materi yang disampaikan tidak mencakup seluruh materi yang
penting
Bosan
Perbedaan pendapat diantara siswa
Kurang menimbulkan rasa kompetisi
Tugas guru jadi lebih mudah
J u m l a h
j a w a b a n

f
9
9
5
3

%
20,00
20,00
11,11
6,67

3

6,67

3
2
3
2

6,67
4,44
6,67
4,44

2

4,44

1
1
1
1
45

2,22
2,22
2,22
2,22
100

KESIMPULAN
Berdasar analisis data seperti diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan keterampilan hubungan
antar siswa dan kerjasama kelompok pada siswa SDN Sukodadi 2. Hasil ini
memperkuat teori dan hasil penelitian-penelitian terdahulu, bahwa model
pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan keterampilan sosial.
Hasil lain penelitian ini adalah yang berkaitan dengan proses
pembelajaran, yaitu bagaimana siswa memberikan penilaian terhadap pelaksanaan
model jigsaw. Tiga keunggulan utama penggunaan model jigsaw menurut
penilaian siswa adalah: (1) siswa tidak ragu-ragu untuk menyatakan pendapat dan
bertanya dalam diskusi (24,44%), (2) siswa dapat memahami materi dengan lebih

10
cepat (20,00%), dan (3) siswa lebih aktif dalam belajar (13,33%). Penilaian butir 1
dan butir 3 yang diberikan siswa menunjukkan bahwa dengan menggunakan
model jigsaw dapat melibatkan siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran
dibandingkan sebelumnya. Keaktifan dalam belajar, baik mental, emosi, dan
sosial, akan membuat belajar menjadi lebih efektif dan bermakna daripada belajar
secara pasif menerima informasi. Penilaian butir 2 menunjukkan bahwa dengan
belajar bersama melalui diskusi dan saling sharing secara aktif dengan anggota
kelompok, siswa lebih cepat dapat memahami materi yang sedang dipelajari. Ini
merupakan proses yang masuk akal karena informasi atau konsep yang belum
dipahami oleh seorang siswa, akan segera bisa memperoleh jawaban atau
klarifikasi dalam diskusi kelompok; berbeda kalau siswa diceramahi dalam
pembelajaran yang belum tentu ia mengajukan pertanyaan spontan atau bersikap
kritis dalam menerima pelajaran.
Tiga kelemahan utama model jigsaw menurut penilaian siswa adalah: (1)
presenter belum sepenuhnya memahami materi yang disampaikan (20,00%), (2)
banyak siswa yang saling ngobrol ketika proses diskusi berlangsung (20,00%),
dan (3) tidak semua siswa aktif (11,11%). Penilaian butir 1 yang diberikan siswa,
menunjukkan bahwa siswa belum menyadari atau belum sepenuhnya siap
menerima tanggungjawab, bahwa mereka semua pada materi tertentu akan
berposisi sebagai tim ahli dalam kelompok asalnya, yang banyak diharapkan oleh
teman satu kelompok asalnya untuk memberikan penjelasan yang lengkap tentang
materi yang menjadi “keahliannya”. Kemungkinan lain adalah bahwa dalam
diskusi kelompok ahli sebenarnya masih ada permasalahan-permasalahan atau
konsep-konsep yang belum dipahami sepenuhnya, tetapi belum terklarifikasi.
Penilaian butir 2 dan butir 3 yang diberikan siswa menunjukkan bahwa guru perlu
meningkatkan monitoring ke setiap kelompok, baik kelompok ahli maupun
kelompok asal, secara merata.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R.I. (2007). Learning to Teach. Diterjemahkan oleh Helly Prayitno
Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto (2008). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

11
Chun-Yen Chang & Song-Ling Mao (1999). The Effects on Students’Cognitive
Achievement When Using the Cooperative Learning Method in Earth
Science Classroom. School Science and Mathematics, Volume 99.
(Diakses dari Questia Media America. Inc. www.questia.com)
Gillies, R.M. & Ashman, A.F. (1998). Behavior and Interactions of Children in
Cooperative Group in Lower and Middle Elementary Grades. Journal of
Educational Psychology, Vol. 90, No. 4, pp.746-757.
Gillies, R.M. (2003). The Behaviors, Interactions, and Participations of Junior
High School Students During Small-Group Learning. Journal of
Educational Psychology, Vol. 95, No. 1, pp. 137-147.
Marning, M. L. & Lucking, R. (1991). The What, Why and How of Cooperative
Learning. Social Studies, Volume 82. (Diakses dari Questia Media
America. Inc. www.questia.com)
Resor, C. (2008). Encouraging Students to Read the Text: The Jigsaw Method.
Teaching History: A Journal of Methods, Volume 33. (Diakses dari
Questia Media America. Inc. www.questia.com)
Siregar, LYS. (2009). Pengaruh Metode Belajar Kooperatif Terhadap Efikasi
Diri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Program Magister Psikologi Fakultas
Psikologi UGM.
Slavin, R.E. (1991). Educational Psychology. Englewoods Cliffs, New Jersey:
Prentice Hall International Limited.
Steiner, S., Stromwall, L.K., Brzuzy, S. & Gerdes, K. (1999). Using Cooperative
Learning Strategies in Social Work Education. Journal of Social Work
Education, Volume 35. (Diakses dari Questia Media America. Inc.
www.questia.com)