Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Permainan Ular Tangga pada Siswa Kelas IV SDN 2 Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten G

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1

Matematika
Istilah matematika berasal dari kata Yunani, mathein atau manthenein yang

berarti mempelajari. Menurut Fitria (2013: 47) dalam bahasa Belanda, matematika
disebut dengan kata wiskunde yang berarti ilmu tentang belajar (hal ini sesuai
dengan arti kata mathein pada matematika).
Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol
(Susanto, 2013: 183). Menurut Wahyudi (2011:1) matematika adalah ilmu dasar
yang menjadi alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain. Jadi dapat disimpulkan
bahwa, matematika merupakan ilmu dasar yang berisi ide-ide abstrak dan simbolsimbol dan dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
2.1.1.1 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Secara mendasar, pembelajaran matematika dimaksudkan agar siswa pandai
dalam urusan hitung menghitung. Namun lebih lengkap lagi, Susanto (2013: 189)
menambahkan dua tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Secara
umum, tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar adalah agar siswa
mampu dan terampil menggunakan matematika. Selain itu, dengan pembelajaran

matematika dapat memberikan tekanan penataan nalar dalam penerapan
matematika.
Lebih spesifik lagi tujuan pembelajaran matematika yang dijelaskan oleh
Depdiknas dalam (Susanto, 2013: 190) adalah sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritme.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model,
dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah.

8

9

5. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam

kehidupan sehari-hari.
Mencermati tujuan pembelajaran di atas, tentunya seorang guru harus
memaksimalkan kemampuan yang dimiliki dalam proses pembelajaran sehingga
siswa dapat mencapai semua tujuan pembelajaran matematika di sekolah dasar.
2.1.1.2 Karakteristik Matematika di Sekolah Dasar
Pemahaman karakteristik matematika sangat penting bagi para tenaga
pendidik. Sebab, dalam menyampaikan materi guru dituntut agar materi yang
disampaikan mudah diterima dan dipahami oleh peserta didik atau siswa. Maka
dari itu, agar guru dalam menyampaikan bahan ajar matematika dapat dengan
mudah dipahami oleh siswanya, guru diwajibkan memahami karakteristik dari
matematika itu sendiri. Adapun karakteristik matematika seperti

yang

diungkapkan Ariyanto (2011: 29) sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

6.

Memiliki obyek kajian abstrak.
Bertumpu pada kesepakatan.
Berpola pikir deduktif.
Memiliki symbol yang kosong dari arti.
Memperhatikan semesta pembicaraan.
Konsisten dalam sistemnya.

Matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak. Namun jika melihat usia
anak sekolah dasar yang cenderung berpikir konkrit, untuk memahami sesuatu
yang sifatnya abstrak masih diperlukan pengajaran melalui obyek yang konkrit.
Selain itu, matematika juga mengajarkan siswa untuk berpikir secara sistematis
dimana sesuatu yang dipelajari harus dibuktikan secara deduktif. Namun
demikian, melihat kemampuan anak SD , penerapan pola deduktif tidak dilakukan
secara ketat dan membutuhkan kesabaran yang lebih dari para guru.
2.1.2

Problem Based Learning


2.1.2.1 Pengertian Problem Based Learning
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Problem Based Learning
memiliki arti Pembelajaran Berbasis Masalah. Artinya, model pembelajaran ini
memanfaatkan permasalahan sebagai bahan penyampaian pembelajaran. Agar
pengertian mengenai Problem Based Learning lebih jelas, Yanti dkk (2017: 5)
mendefinisikan model pembelajaran Problem Based Learning sebagai berikut:

10

Problem Based Learning adalah salah satu model pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar Sejarah secara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pembelajaran, sehingga pada proses
pembelajaran nantinya peserta didik diarahkan untuk melakukan
analisis sendiri mengenai pemecahan masalah yang ada.
Mayo dalam Affandi (2016: 24) mengungkapkan pendapatnya sebagai
berikut, “PBL is defined as a pedagogical strategy which uses real-world
situations as the basis for development of content, knowledge, and problemsolving skills”. Artinya, PBL didefinisikan sebagai strategi pedagogis yang
menggunakan situasi dunia nyata sebagai dasar pengembangan konten,

pengetahuan, dan keterampilan memecahkan masalah. Adapun Arends dalam
Sihaloho dkk (2016: 12) juga menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
PBL is one of learning models designed primarily to help student’s
develop their thinking, problem-solving and intellectual abilities,
learn the roles of adults by experiencing them through simulated
real situations, and become independent and autonomous learners.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, arti dari pernyataan di
atas adalah sebagai berikut:
PBL adalah salah satu model pembelajaran yang dirancang terutama
untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir,
pemecahan masalah dan intelektual mereka, mempelajari peran
orang dewasa dengan mengalaminya melalui simulasi situasi nyata,
dan menjadi peserta didik mandiri dan otonom.
Mencermati beberapa pernyataan di atas, penulis mendapat benang
merah bahwa PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan
masalah untuk membelajarkan siswanya. Melalui model pembelajaran ini para
siswa dituntut untuk memecahkan masalah yang disajikan secara berkelompok
ataupun mandiri, sistematis dan kritis. Dengan demikian, keterampilan siswa
dalam memecahkan masalah akan semakin meningkat dan para siswa juga
diajarkan secara mandiri untuk memecahkan masalah tersebut. Dari beberapa

pernyataan di atas, penulis menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata untuk pengembangan konten, pengetahuan,

11

dan keterampilan memecahkan masalah agar menjadi peserta didik yang
mandiri dan otonom.
2.1.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Problem Based Learning
Setelah mengetahui tantang pengertian Problem Based Learning (PBL) akan
lebih baik jika juga mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Adapun kelebihan
dari Problem Based Learning (PBL) dijelaskan oleh Amir (2009:27) seperti
berikut:
1) Fokus ke bermakna, bukan fakta (deep versus surface learning)
2) Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif
3) Pengembangan keterampilan dan pengetahuan
4) Pengembangan keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok
5) Pengembangan sikap self-motivated
6) Tumbuhnya hubungan siswa-fasilitator
7) Jenjang penyampaian pembelajaran dapat ditingkatkan
Melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), pembelajaran

yang bermakna dapat diperoleh siswa dengan cara melibatkan lingkungan belajar.
Pembelajaran lingkungan akan lebih bermakna bagi siswa, hal tersebut
dikarenakan selain memperoleh ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,
siswa juga mempunyai keleluasaan memahami pembelajaran dengan cara
kooperatif melalui interaksi sosial. Jika dicermati lebih lanjut, model
pembelajaran ini lebih cenderung mengedepankan kepada sisi pengembangan
pada diri siswa. Pengembangan tersebut antara lain meningkatkan kemampuan
berinisiatif, keterampilan, pengetahuan, keterampilan interpersonal, dinamika
kelompok dan pengembangan sikap self-motivated. Selain itu, hubungan antara
anak dan fasilitator atau guru juga akan ditumbuhkan.
Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) juga memiliki
kekurangan. Kekurangan dari model pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) antara lain:
1. Siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka
mereka akan merasa enggan untuk mencoba.

12

2. Keberhasilan model pembelajaran melalui PBL membutuhkan

cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan
masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar
apa yang ingin mereka pelajari (Sanjaya, 2009: 221).
Model ini berpeluang memunculkan keengganan siswa untuk belajar jika
mereka tidak cukup mempunyai minat dan kepercayaan untuk belajar. Namun hal
ini dapat diatasi dengan dengan memberikan motivasi dengan intensitas yang
cukup tinggi kepada para siswa. Serta meyakinkan para siswa, bahwa para siswa
mampu untuk memecahkan permasalahan yang disajikan. Selain itu, model ini
juga membutuhkan waktu yang lama untuk persiapan. Namun sejatinya jika dikaji
lebih dalam, semua model pembelajaran memerlukan waktu persiapan. Tetapi hal
ini dapat disiasati dengan menggunakan waktu yang ada dengan semaksimal
mungkin untuk persiapan.
2.1.2.3 Langkah-Langkah Model Problem Based Learning
Agar langkah-langkah yang disusun sesuai dengan apa yang diharapkan,
penulis membutuhkan suatu sintak. Arends dalam Sihaloho dkk (2017: 12)
menyatakan sintak PBL seperti berikut:
1. Orient student’s to the problem;
2. Organize student’s for study;
3. Assist independent and group investigations;

4. Develop and present artifacts and exhibit;
5. Analyze and evaluate the problem solving process.
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sintak PBL tersebut adalah
seperti berikut:
1. Memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa
2. Mengorganisasikan siswa untuk meneliti
3. Membantu investigasi mandiri dan kelompok
4. Mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan exhibit
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah
PBL merupakan model pembelajaran yang berbasis kepada masalah untuk
membelajarkan

siswanya,

hal

pertama

yang


perlu

dilakukan

ialah

13

mengorientasikan siswa kepada suatu permasalahan. Kegiatan yang dilakukan
oleh guru pada tahap pertama ini diantaranya menyampaikan tujuan pembelajaran,
memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah. Tahap
kedua yaitu mengorganisasikan siswa untuk meneliti. Pada tahap ini, siswa
nantinya akan dibentuk dalam beberapa kelompok belajar serta guru memberikan
tugas-tugas belajar terkait materi yang berbasis kepada pemecahan masalah.
Memasuki tahap selanjutnya yaitu membantu investigasi mandiri dan kelompok.
Pada fase ini, guru membantu para siswa dalam memecahkan suatu permasalahan.
Guru dapat berkeliling dan membimbing para siswa yang mengalami kesulitan
dalam memecahkan permasalahan yang menjadi tugasnya.
Tahap keempat yakni tahap pengembangan dan presentasi. Para siswa
diharuskan untuk membuat artefak atau laporan atas diskusi kelompok yang telah

dilakukan. Laporan tersebut diantaranya berisi tentang solusi atas permasalahan
yang didapat oleh masing-masing kelompok. Selanjutnya, laporan tersebut akan
dipresentasikan di depan kelas bila perlu para siswa juga mendemonstrasikannya
di depan kelas. Tahap terakhir adalah tahap evaluasi. Dalam tahap ini tugas guru
adalah membantu peserta didik menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir
mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan. Hal yang
paling penting yaitu siswa mempunyai keterampilan berpikir secara sistematis dan
kritis.
2.1.3

Media Pembelajaran

2.1.3.1 Pengertian Media Pembelajaran
Istilah “media” berasal dari bahasa Latin “medium” yang bermakna
“perantara” atau “pengantar”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
istilah media diartikan sebagai alat (sarana). Kemudian, Mahnun (2012: 27)
mengemukakan media merupakan sarana penyalur pesan atau informasi belajar
yang hendak disampaikan oleh sumber pesan kepada sasaran atau penerima pesan
tersebut. Senada dengan Mahnun, Ali (2010: 89) juga menyatakan bahwa media
pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan (message), merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa
sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar. Kemudian, Sadiman

14

(2010:12) juga menerjemahkan media pembelajaran sebagai pesan, sumber,
saluran, dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi.
Berdasarkan paparan mengenai pernyataan para ahli di atas, menulis
mencermati adanya 3 unsur penting dalam penggunaan media pembelajaran.
Ketiga unsur tersebut yaitu pengiri atau penyalur pesan, isi pesan dan penerima
pesan. Apabila diterapkan dalam proses pembelajaran, maka yang berperan
sebagai penyampai informasi dari sumber informasi adalah guru dan si penerima
informasi adalah siswa, media yang digunakan guru pada umumnya yakni papan
tulis. Kemudian yang dimaksud pesan dalam beberapa pendapat di atas dalam
pembelajaran adalah materi pelajaran. Dari beberapa pengertian mengenai media
pembelajaran dari para ahli dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah
segala sesuatu yang dapat dijadikan perantara untuk mengantarkan informasi dan
sifatnya dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa
sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar menjadi lebih baik.
2.1.3.2 Fungsi Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat dijadikan
perantara untuk mengantarkan informasi dan sifatnya dapat merangsang pikiran,
perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar
mengajar menjadi lebih baik. Maka dari itu, lebih terperinci lagi, Pribadi (1996:
23-25) menyebutkan kegunaan atau fungsi media pembelajaran seperti di bawah
ini:
1. Membantu memudahkan belajar bagi siswa dan juga
memudahkan pengajaran bagi guru.
2. Memberikan pengalaman lebih nyata (abstrak menjadi konkret).
3. Menarik perhatian siswa lebih besar (jalannya tidak
membosankan).
4. Semua indera murid dapat diaktifkan.
5. Lebih menarik perhatian dan minat murid dalam belajar.
6. Dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.
Dihadirkannya media sebagai alat bantu pembelajaran akan sangat
membantu siswa dalam memahami materi yang disampaikan dan guru juga akan
lebih mudah dalam menyampaikan materi yang diajarkan karena penyajian materi
menjadi lebih konkret dan jelas. Selain itu, adanya media pada saat proses

15

pembelajaran berlangsung akan memberikan atmosfer baru bagi para siswa karena
siswa tidak akan bosan pada saat mengikuti proses pembelajaran, sehingga tingkat
perhatian dan minat siswa juga akan meningkat. Kemudian, media pembelajaran
juga dapat membuat siswa lebih aktif karena melibatkan beberapa indera seperti
penglihatan dan pendengaran sehingga siswa tidak hanya berangan-angan tapi
siswa juga dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.
2.1.3.3 Jenis Media Pembelajaran
Dewasa ini, telah kita ketahui bahwa media pembelajaran tidak hanya terdiri
dari satu jenis, melainkan lebih dari itu. Djamarah dan Zain (2014: 124-126)
mengklasifikasikan media dari jenisnya yang meliputi media auditif, visual dan
audiovisual.
1. Media Auditif
Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara
saja, seperti radio, cassette recorder, piringan hitam. Media ini tidak cocok
untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.
2. Media Visual
Media visual adalah media yang hanya mengandalkan indra penglihatan.
Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film strip (film
rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada
pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak
seperti film bisu, dan film kartun.
3. Media Audiovisual
Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur
gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena
meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua. Media ini dibagi lagi ke
dalam:
1) Audiovisual Diam, yaitu media yang menampilkan suara dan gambar
diam seperti film bingkai suara (sound slides), film rangkai suara, dan
cetak suara.
2) Audiovisual Gerak, yaitu media yang dapat menampilkan unsur suara
dan gambar yang bergerak seperti film suara dan video cassette.
Pembagian lain dari media ini adalah:
a. Audiovisual Murni, yaitu baik unsur suara maupun unsur gambar
berasal dari satu sumber seperti film video-cassette, dan
b. Audiovisual Tidak Murni, yaitu yang unsur suara dan unsur
gambarnya berasal dari sumber yang berbeda, misalnya film
bingkai suara yang unsur gambarnya bersumber dari slides
proyektor, dan unsur suaranya bersumber dari tape recorder.
Contoh lainnya adalah film strip suara dan cetak suara.

16

Dunia pendidikan mengkategorikan media pembelajaran menjadi 3 yaitu
media auditif, visual, dan audio visual. Media auditif hanya mengandalkan suara
yang dihasilkan melalui barang elektronik seperti radio. Menurut penulis, media
ini kurang cocok digunakan karena para siswa hanya diajarkan menghafal apa
yang mereka dengar. Media yang kedua yaitu media visual atau bisa disebut juga
dengan media gambar. Media visual mengandalkan indra penglihatan sebagai
penyalur materi pelajaran kepada para siswa. Penulis berpendapat bahwa media
ini cocok digunakan untuk mengajar, karena media gambar bersifat sederhana dan
tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk memperolehnya. Media pembelajaran
yang terakhir yaitu media audiovisual atau disebut juga dengan video. Media
audio visual mampu merangsang pemahaman siswa melalui indra penglihatan dan
pendengaran. Namun demikian media ini membutuhkan persiapan yang cukup
lama dan biaya yang cukup tinggi. Seperti contoh, untuk menampilkan video guru
memerlukan LCD proyektor dan laptop atau PC untuk menampilkannya.
Ditambah lagi jika guru tidak mahir dalam menjalankan program untuk memutar
video, para siswa akan ribut sendiri karena perhatian guru hanya terfokus pada
pengoperasian laptop.
Maka dari itu dalam penelitian ini penulis lebih memilih untuk
menggunakan media visual sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran.
Sebab, media visual atau gambar bersifat sederhana dan tidak memerlukan biaya
tinggi. Lebih spesifik lagi, penelitian ini menggunakan media permainan ular
tangga sebagai alat bantu penyampaian materi dalam kegiatan belajar mengajar.
Dengan berpedoman pada kutipan di atas, penulis berpendapat bahwa media
permainan ular tangga termasuk dalam jenis media pembelajaran visual. Sebab,
media ini hanya hanya mengandalkan indra penglihatan.
2.1.3.4 Media Permainan Ular Tangga
Permainan ular tangga merupakan permainan Tradisional yang biasa
dimainkan

oleh

anak-anak.

Muaddab

dalam

Nachiappan

(2014:

220)

mengungkapkan “snake and ladder game was created in the 2nd century BC by
the name of ‘Paramapada Sopanam’ (Ladder to Salvation)”. Artinya, permainan
ular dan tangga diciptakan pada abad ke-2 SM dengan nama "Paramapada

17

Sopanam" atau tangga keselamatan. Permainan ini telah dikembangkan oleh umat
Hindu untuk mengajar anak-anak mereka sebagai pelajaran moralitas dimana ular
merupakan pertanda buruk dan tangga mewakili nilai-nilai yang baik. Selanjutnya
media ular tangga termasuk media visual karena melibatkan indera penglihatan
dalam menggunakan media tersebut dan disebut media grafik karena media ular
tangga disajikan dalam bentuk gambar (Widowati dan Mulyani, 2014: 2).
Menurut Baiquni (2016: 195) media ular tangga merupakan sebuah media
bermain anak karena ular tangga merupakan salah satu permainan tradisional yang
sampai saat ini masih eksis dimainkan oleh anak.
Permainan ular tangga merupakan permainan tradisional yang masih eksis
digunakan oleh anak-anak hingga saat ini. Permainan ini disajikan dalam gambar
yang berbentuk persegi dengan beberapa kotak kecil dengan jumlah 100 kotak di
dalamnya. Permainan ular tangga bisa dimainkan oleh 4 anak atau lebih. Dengan
demikian, penulis merasa cocok jika permainan ini dikolaborasikan dengan model
PBL yang masuk dalam kategori model pembelajaran kooperatif. Alasan penulis
menggunakan permainan ini karena masih familiar di kalangan anak sekolah
dasar, khususnya di Indonesia. Disamping itu, permainan ini bersifat sederhana
dan tidak membutuhkan banyak biaya. Permainan ular tangga juga mengajarkan
tentang sportivitas, karena permainan ini mengenal kalah dan menang. Adapun
peraturan dalam bermain ular tangga dalam penelitian ini yaitu:
1. Secara berurutan para siswa bergiliran melempar dadu yang telah
disediakan.
2. Siswa menjalankan pion sesuai dengan jumlah titik pada dadu yang
dilemparkannya dan menjawab soal yang terdapat pada kotak-kotak ular
tangga tersebut.
3. Jika siswa mendapatkan 6 titik, maka Ia berhak melempar kembali.
Namun jika pion siswa berdiri pada ekor ular, maka turun ke kotak dimana
kepala ular berada.
4. Jika pion siswa berdiri di bawah anak tangga, maka pion dari siswa
tersebut berhak naik sesuai dengan kotak anak tangga tersebut.

18

5. Siswa yang mencapai garis finis pertama kali merupakan pemenangnya
dan berhak mendapatkan penghargaan atau hadiah.
2.1.3.5 Kelebihan dan Kekurangan Media Permainan Ular Tangga
Yumarlin (2013: 76), menyatakan media yang digunakan haruslah media
yang menarik dan sesuai dengan karakteristik peserta didik sehingga dapat
memotivasi untuk belajar. Aspek kemenarikan ini dapat dilakukan dengan
menerapkan teknik belajar sambil bermain. Untuk memenuhi kriteria tersebut,
penulis memenuhi beberapa kriteria tersebut dengan menguraikan beberapa
kelebihan media permainan ular tangga. Adapun kelebihan yang dikemukakan
oleh Afandi (2015: 80) adalah sebagai berikut:
1. Siswa belajar sambil bermain.
2. Siswa tidak harus belajar sendiri, melainkan harus berkelompok.
3. Memudahkan siswa belajar karena dibantu dengan gambar yang ada dalam
permainan ular tangga.
4. Tidak memerlukan biaya mahal dalam membuat media pembelajaran
permainan ular tangga.
Suasana pembelajaran yang hanya berpusat pada guru merupakan hal yang
membosankan bagi para siswa. Dengan adanya media pembelajaran ular tangga
ini, siswa akan lebih aktif karena siswa bisa belajar sambil bermain. Hal itu
dibenarkan oleh Zaini (2015: 120) bahwa Belajar sambil bermain dapat
menyenangkan dan menghibur bagi anak-anak. Media permainan ular tangga juga
memungkinkan para siswa untuk belajar bekerja sama, karena dalam permainan
ini anak tidak belajar sendiri tetapi belajar dalam kelompok. Sementara itu,
dengan dihadirkannya gambar-gambar menarik yang ada dalam permainan ular
tangga akan menjadi daya tarik tersendiri bagi siswa untuk tetap belajar. Namun
demikian, permainan ular tangga juga termasuk media pembelajaran yang masuk
kategori dengan harga murah dan mudah didapatkan. Sehingga tidak ada alasan
lagi bagi para tenaga pendidik untuk tidak menggunakan media permainan ular
tangga karena harganya murah dan mudah didapatkan.
Media pembelajaran ular tangga juga memiliki kekurangan. Dengan
mengutip pernyataan Anjani dalam Anita Noviana (2014:33), penulis dapat

19

menjelaskan kekurangan media pembelajaran permainan ular tangga seperti di
bawah ini:
1. Penggunaan media ular tangga ini banyak waktu dan penjelasan kepada
siswa.
2. Kurangnya pemahaman aturan permainan oleh anak dapat menimbulkan
kericuhan.
3. Bagi anak yang tidak menguasai materi akan kesulitan dalam bermain.
Jika guru tidak pandai dalam mengatur waktu yang digunakan, penggunaan
media ini akan menimbulkan beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan
tersebut seperti waktu yang digunakan untuk menjelaskan cukup lama. Sebab,
apabila siswa kurang paham mengenai aturan dalam bermain akan menimbulkan
kericuhan dan kegaduhan dalam kelas. Selain itu, bagi anak yang kurang atau
bahkan tidak menguasai materi pelajaran akan kesulitan dalam bermain dan
cenderung mengganggu temannya. Namun segala kekurangan tersebut dapat
tertutupi jika implementasinya dilaksanakan secara sistematis dan terstruktur.
2.1.4

Langkah-Langkah Model PBL berbantuan Media Permainan Ular
Tangga
Implementasi model pembelajaran PBL bernantian media permainan ular

tangga adalah seperti di bawah ini:
A. Kegiatan Awal
Tahap 1 PBL: Orient student’s to the problem
1. Guru membuka kegiatan belajar mengajar dengan berdoa
2. Guru melakukan presensi siswa
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
4. Guru melakukan apersepsi dengan bertanya jawab dengan siswa.
5. Guru memberi motivasi siswa agar siswa semangat dalam mengikuti
kegiatan belajar mengajar.
6. Guru memberikan orientasi masalah dan siswa memecahkan masalah
terkait materi yang akan dipelajari.

20

B. Kegiatan Inti
Tahap 2 PBL: Organize student’s for study
1. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok belajar yang
beranggotakan 4-5 siswa untuk bermain ular tangga.
2. Guru memberikan penjelasan peraturan dalam bermain ular tangga.
3. Guru meminta siswa bersama anggota kelompoknya memainkan
permainan ular tangga dan menjawab permasalahan yang ada pada
setiap kotaknya.
Tahap 3 PBL: Assist independent and group investigations
4. Guru

meminta

siswa

berdiskusi

dan

bekerjasama

dalam

menyelesaikan masalah yang disajikan
5. Guru berkeliling untuk melakukan pengawasan dan pembimbingan
siswa dalam kelompok
Tahap 4 PBL: Develop and present artifacts and exhibit
6. Guru meminta masing-masing kelompok mempresentasikan hasil
diskusi dan penyelesaian masalah yang ada pada ular tangga di depan
kelas
7. Guru meminta siswa yang lain untuk memperhatikan kelompok yang
sedang mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas.
8. Guru memberikan penghargaan untuk kelompok yang mampu
mempresentasikan hasil diskusinya dengan baik.
9. Guru membimbing siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari.
C. Kegiatan Penutup
Tahap 5 PBL: Analyze and evaluate the problem solving process
1. Guru memberikan kesempatan bertanya kepada siswa mengenai materi
yang belum dimengerti atau kurang jelas.
2. Guru memberikan penguatan tentang materi yang telah dipelajari.
3. Guru melakukan refleksi jalannya pembelajaran.
4. Guru mengadakan kegiatan evaluasi/pengukuran hasil belajar.
5. Guru melakukan kegiatan pengukuran motivasi belajar.
6. Menutup kegiatan belajar mengajar dengan mengucapkan salam.

21

2.1.5

Hasil Belajar

2.1.5.1 Pengertian Hasil Belajar
Pengertian hasil belajar secara fleksibel merupakan nilai atau dalam bentuk
angka yang didapat siswa setelah melalui ujian, ulangan, maupun melalui
pengerjaan tugas-tugas dari guru. Namun lebih dalam lagi Susanto (2013:5)
menerangkan bahwa yang dinamakan hasil belajar yaitu perubahan-perubahan
yang terjadi pada diri siswa, baik menyangkut aspek kognitif, afektif dan
psikomotor sebagai hasil dari kegiatan hasil belajar. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa hasil belajar tidak selalu dalam bentuk angka maupun nilai.
Tetapi juga dalam bentuk perubahan tingkah laku. Adapun dari sumber tersebut
juga diterangkan bahwa aspek-aspek dalam hasil belajar yaitu Kognitif
(pengetahuan), Afektif (Sikap) dan Psikomotor (Keterampilan). Sejalan dengan
Susanto, Suprijono (2009: 5) juga menyatakan hasil belajar adalah pola-pola,
perbuatan,

nilai-nilai,

pengertian-pengertian,

sikap-sikap,

aspirasi,

dan

keterampilan-keterampilan.
Kedua sumber yang dikutip tersebut telah membatu penulis menarik
benang merah bahwa hasil belajar baik itu dalam aspek pengetahuan, sikap,
maupun keterampilan setelah melalui kegiatan belajar. Artinya, hasil belajar itu
sendiri merupakan perubahan yang dialami oleh siswa dalam aspek Kognitif
(pengetahuan),

Afektif

(Sikap)

dan

Psikomotor

(Keterampilan)

setelah

melaksanakan kegiatan belajar.
Kurikulum 2013 membagi hasil belajar menjadi 3 kompetensi inti, yaitu
kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemudian kompetensi sikap
dipecah lagi menjadi dua, yaitu kompetensi sikap spiritual dan sosial
(Kemendikbud, 2013:5). Urutan tersebut mengacu pada urutan yang disebutkan
dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang
menyatakan bahwa kompetensi terdiri dari kompetensi sikap, pengetahuan dan
keterampilan. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang akan diukur ialah hasil
belajar pada ranah afektif (sikap), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik
(keterampilan).

22

2.1.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Baik atau tidaknya hasil belajar yang diperoleh siswa mampu dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Mulyasa, (2005: 189-196) mengemukakan beberapa faktor
tersebut seperti di bawah ini:
1.

Faktor Internal
a. Fisiologis: menyangkut keadaan jasmani atau fisik individu, yang dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu keadaan jasmani pada umumnya dan
keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indera
b. Psikologis: dari dalam diri seperti intelegensi, minat, sikap, dan motivasi.
Faktor fisiologis bisa juga disebut dengan faktor kesehatan. Siswa yang

sedang sakit dan mengikuti pelajaran akan sulit berkonsentrasi karena kondisi
tubuhnya yang tidak fit. Selain itu, siswa dengan panca inderanya mengalami
gangguan juga akan kesulitan dalam belajar. Sebagai contoh siswa yang
pendengarannya terganggu atau penglihatannya terganggu. Akan sangat sulit
apabila siswa tersebut tidak memakai alat bantu pendengaran atau penglihatan.
Psikologis, yang berisi faktor intelegensi, minat, sikap, dan motivasi.
Intelegensi atau kemampuan berpikir setiap tidak dapat disamaratakan. Anak yang
mempunyai kemampuan berpikir tingkat tinggi akan dengan mudah mencerna apa
yang disampaikan oleh guru. Sebaliknya, anak dengan tingkat berpikir rendah
lebih cenderung memakan waktu yang lama untuk memahami apa yang dijelaskan
oleh guru. Selain itu, cara siswa menyikapi suatu mata pelajaran dan mampu
menentukan skala prioritas waktu yang disediakan untuk belajar. Sementara itu,
motivasi belajar juga merupakan faktor yang sangat penting bagi siswa. Sebab
motivasi belajar merupakan dorongan yang ada pada diri siswa untuk belajar.
2.

Faktor Eksternal
a. Sosial: menyangkut lingkungan keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.
b. Non Sosial: keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku
sumber, dan sebagainya.
Keadaan keluarga akan sangat berpengaruh bagi siswa. Siswa tidak hanya

belajar di sekolah, siswa juga melakukan kegiatan belajar di rumah. Siswa dengan
keluarga dengan keadaan orang tua yang sering bertengkar akan kesulitan

23

berkonsentrasi untuk belajar di rumah. Selain itu, pergaulan di sekolah dan di
masyarakat juga memerlukan perhatian khusus bagi guru maupun orang tua.
Pertemanan di lingkungan dapat menyebabkan siswa bertambah pintar atau
sebaliknya menjadi nakal. Lingkungan masyarakat yang dipenuhi oleh orangorang yang tidak terpelajar juga bisa menjadi dampak buruk bagi anak karena
sebagian besar waktu siswa melakukan kegiatan di lingkungan masyarakat.
keadaan rumah, ruang belajar, fasilitas belajar, buku-buku sumber, dan
sebagainya.
Fasilitas belajar baik di rumah maupun di sekolah juga perlu diperhatikan.
Hal tersebut seperti rumah yang nyaman dengan ruang belajar yang cukup
kondusif, perpustakaan sekolah yang dipenuhi buku-buku dari berbagai sumber
dan bermanfaat bagi siswa.
2.1.6

Motivasi Belajar

2.1.6.1 Pengertian Motivasi Belajar
Menurut Peklaj dan Levpušček (2006: 148), “The most important
motivational construct, related to the question ‘Do I want to do this activity and
why?’, is intrinsic end extrinsic motivation”. Terjemahan dari kutipan tersebut
yakni Konstruksi motivasional yang paling penting, terkait dengan pertanyaan
"Apakah saya ingin melakukan aktivitas ini dan mengapa?", yaitu motivasi
intrinsik dan ekstrinsik. Artinya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri siswa.
Sedangkan ekstrinsik merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu yang berasal
dari luar. Adapun pengertian motivasi yang dikemukakan oleh Hakim (2007: 26)
adalah suatu dorongan kehendak yang menyebabkan seseorang melakukan suatu
perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu.

Sedangkan pengertian belajar itu

sendiri menurut Syarifudin (2011: 116) merupakan suatu perubahan tingkah laku
yang relatif menetap pada seseorang akibat pengalaman atau latihan yang
menyangkut aspek fisik maupun psikis, seperti dari tidak tahu menjadi tahu, dari
tidak berpengetahuan menjadi tahu tentang sesuatu, dari tahu menjadi lebih tahu,
dari tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan dan sebagainya.

24

Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai motivasi
dalam belajar. Oleh karena itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Untuk

memperoleh

hasil

belajar

yang

optimal,

guru

dituntut

kreatif

membangkitkan motivasi belajar siswa. Salah satu cara yang ditempuh oleh
peneliti dalam penelitian ini yaitu dengan menghadirkan suasana belajar bermain
dalam kelas. Jika motivasi belajar diartikan sebagai suatu dorongan yang ada pada
diri siswa untuk belajar, maka penulis percaya jika siswa mempunyai motivasi
belajar yang tinggi, hasil belajar siswa juga akan meningkat. Karena siswa akan
mau untuk mempelajari materi yang diajarkan oleh guru.
Mencermati beberapa sumber kutipan di atas, disimpulkan bahwa motivasi
belajar merupakan dorongan atau kehendak, baik itu yang berasal dari luar
maupun dalam diri siswa untuk berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
berpengetahuan menjadi tahu tentang sesuatu, dari tahu menjadi lebih tahu, dari
tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki keterampilan dan sebagainya.
2.1.6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Dimyati dan Mudjiono (2010: 97-100) menyebutkan 6 faktor yang mampu
mempengaruhi motivasi belajar siswa. Keenam faktor tersebut diantaranya:
1. Cita-Cita
Jika siswa mempunyai cita-cita, maka dengan sendirinya siswa tersebut
akan memperkuat semangatnya dalam belajar. Pada anak usia SD dapat
diajarkan dengan ditekankan pola pikir “menjadi seseorang”.
2. Kemampuan Belajar
Kemampuan belajar meliputi beberapa aspek psikis yang terdapat dalam
diri siswa. Misalnya pengamatan, perhatian, ingatan, daya pikir, dan
fantasi. Di dalam kemampuan belajar ini, sehingga perkembangan berpikir
siswa menjadi ukuran. Siswa yang taraf perkembangan berpikirnya konkrit
(nyata) tidak sama dengan siswa yang berpikir secara operasional
(berdasarkan pengamatan yang dikaitkan dengan kemampuan daya
nalarnya). Siswa yang mempunyai belajar tinggi, biasanya lebih
termotivasi dalam belajar, karena siswa seperti itu lebih sering
memperoleh sukses dan karena kesuksesan akan memperkuat motivasinya.

25

3. Kondisi Jasmani dan Rohani
Kondisi siswa yang sedang sakit atau sedang dalam kondisi emosi
tentunya akan sulit dalam mengarahkan konsentrasinya untuk belajar.
4. Kondisi Lingkungan Siswa
Lingkungan siswa dapat berupa keadaan alam, lingkungan tempat tinggal
atau keluarga, lingkungan pergaulan atau teman sebaya, dan kehidupan
masyarakat. Dengan lingkungan yang aman, tentram tertib dan indah maka
semangat dan motivasi belajar mudah diperkuat.
5. Unsur-unsur Dinamis Belajar
Unsur-unsur

dinamis

dalam

belajar

adalah

unsur-unsur

yang

keberadaannya dalam proses belajar yang tidak stabil, kadang lemah dan
bahkan hilang sama sekali. Unsur dinamis pada siswa terkait kondisi siswa
yang memiliki perhatian, kemauan dan pikiran yang mengalami perubahan
berkat pengalaman hidup yang diberikan oleh lingkungan siswa.
6. Upaya Guru Membelajarkan Siswa
Upaya yang dimaksud disini adalah bagaimana guru mempersiapkan diri
dalam membelajarkan siswa mulai dari penguasaan materi, cara
menyampaikannya, menarik perhatian siswa, dan mengatur tata tertib di
kelas atau sekolah.
2.1.6.3 Indikator Motivasi Belajar
Motivasi belajar merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi seorang siswa
untuk mempelajari suatu materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk
mengetahui tingkat motivasi belajar seorang siswa, diperlukan beberapa indikator
di dalamnya. Menurut Aini (2014: 4), untuk mengetahui kekuatan motivasi belajar
siswa, dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
1. Perasaan senang terhadap pelajaran.
2. Kemauan untuk belajar.
3. Perhatian siswa pada saat belajar.
4. Ketekunan.
Perasaan senang terhadap pelajaran juga dapat diartikan gairah dalam
mengikuti pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari semangat, dan selalu bergembira

26

dalam mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tanpa mengeluh. Selanjutnya,
siswa dengan motivasi belajar yang tinggi menurut Aini identik dengan adanya
niat atau kemauan untuk belajar bahkan tanpa harus menunggu perintah. Dengan
kemauan yang dimiliki oleh siswa dalam belajar, maka mereka dengan sendirinya
akan tumbuh kemauan belajar secara mandiri. Ciri-ciri siswa yang bermotivasi
belajar tinggi selanjutnya adalah mempunyai perhatian yang besar terhadap
pelajaran itu sendiri. Melalui perhatian yang besar ini, para siswa akan dengan
mudah dalam mencerna apa yang disampaikan dan diajarkan oleh guru.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Haryanto (2015) dengan judul Penerapan Problem Based
Learning Berbantuan Permainan Ular Tangga untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Matematika Kelas IV SD Negeri 03 Jambangan Kecamatan Geyer Kabupaten
Grobogan Semester I Tahun Ajaran 2015/2016. Hasil penelitian Haryanto
menunjukkan bahwa dengan menerapkan Problem Based Learning berbantuan
media pembelajaran permainan ular tangga dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas IV SD Negeri 03 Jambangan semester I tahun ajaran
2015/2016. Hal tersebut dibuktikan hasil belajar matematika pada pra siklus
sebesar 56,67% atau 17 dari 30, siklus I sebesar 73,33% atau 22 dari 30 siswa,
siklus II sebesar 93,33% atau 28 dari 30 siswa. Ditinjau dari menunjukkan juga
menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari
kenaikan dari pra siklus, siklus I, dan siklus II yakni 63,97, 72,83, dan 81,93.
Penelitian yang dilakukan oleh Afandy Rifki (2015) dengan judul
Pengembangan Media Pembelajaran Permainan Ular tangga Untuk Meningkatkan
Motivasi Belajar Siswa dan Hasil Belajar IPS di Sekolah Dasar. Hasil penelitian
terdahulu ini juga menunjukkan dan membuktikan bahwa dengan digunakannya
media pembelajaran permainan ular tangga mampu mendongkrak motivasi
maupun hasil belajar siswa. Ditinjau dari motivasi belajar siswa, peningkatan
dibuktikan dengan aspek keaktifan belajar dan semangat belajar yang meningkat
sebesar 66,7%. Sedangkan aspek ketertarikan motivasi belajar siswa meningkat
sebesar 70%. Mengenai hasil belajar, dibuktikan dengan jumlah ketuntasan siswa

27

dalam belajar. pada pra siklus, ketuntasan belajar hanya mencapai 40%, siklus I
meningkat menjadi 55% dan meningkat pesat pada siklus II menjadi 100%.
Dari hasil penelitian yang relevan yang telah diuraikan di atas, peneliti juga
akan melakukan penelitian yang sama dengan kedua penelitian di atas. Jika
Haryanto Ari menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
berbantuan media permainan ular tangga hanya untuk meningkatkan hasil belajar
siswa dan Afandy Rifki hanya menggunakan media permainan ular tangga untuk
meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Maka peneliti akan membedakan
penelitian ini dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning
(PBL) berbantuan media permainan ular tangga untuk meningkatkan motivasi dan
hasil belajar siswa.
Kelebihan dari penelitian ini ialah peneliti akan mengukur hasil belajar pada
tiga ranah, yaitu afektif, kognitif dan psikomotorik. Sedangkan pada penelitian
yang dilakukan oleh Haryanto Ari hanya mengukur hasil belajar pada ranah
kognitif saja. Begitu juga dengan penelitian Afand Rifki, hanya mengukur hasil
belajar pada ranah kognitif saja dan meninggalkan celah berupa tidak diukurnya
hasil belajar pada ranah afektif dan psikomotorik. Dengan melihat celah tersebut,
peneliti akan mengisinya sekaligus melengkapi penelitian yang pernah dilakukan
oleh Haryanto. Jadi, dapat dipastikan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti ini benar-benar berbeda dengan penelitian yang terdahulu.
2.3 Kerangka Berpikir
Model pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan bahan
ajar merupakan sesuatu yang mampu mempengaruhi tercapai atau tidaknya tujuan
kegiatan pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi awal yang telah dilakukan
oleh peneliti, dijumpai beberapa permasalahan dalam kegiatan pembelajaran.
Permasalahan tersebut yaitu motivasi dan hasil belajar siswa yang masih rendah.
Kemudian, peneliti melakukan identifikasi permasalahan untuk menemukan sebab
adanya permasalahan tersebut. Penyebabnya ialah guru belum sepenuhnya
memberikan materi pelajaran dengan menerapkan metode yang bervariasi dan
lebih cenderung menggunakan metode ceramah. Selain itu, guru tidak
menggunakan media sebagai alat bantu dalam membelajarkan siswanya. Dampak

28

dari adanya beberapa hal tersebut dapat dilihat dari siswa yang kurang antusias,
kurang aktif, bosan, bermain sendiri, mengabaikan guru. Akibatnya siswa tidak
menjadi tidak termotivasi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan hasil
belajar yang didapat rendah.
Dari masalah tersebut dipilih alternatif pemecahan masalah yakni dengan
mengubah metode ceramah yang digunakan oleh guru diubah dengan menerapkan
model pembelajaran yang inovatif. Dengan memahami karakteristik anak kelas IV
sekolah dasar yang masih suka bermain, penulis melakukan penyesuaian dengan
menghadirkan suasana bermain sambil belajar. PBL merupakan model
pembelajaran yang menggunakan permasalahan untuk membelajarkan siswanya.
Melalui model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), pembelajaran yang
bermakna dapat diperoleh siswa dengan cara melibatkan lingkungan belajar.
Pembelajaran lingkungan akan lebih bermakna bagi siswa, hal tersebut
dikarenakan selain memperoleh ilmu pengetahuan secara langsung dari guru,
siswa juga mempunyai keleluasaan memahami pembelajaran dengan cara
kooperatif melalui interaksi sosial. Jika dikolaborasikan dengan permainan, tentu
saja para siswa akan senang dalam belajar, karena ini merupakan suasana baru
dalam belajar. Hal inilah yang akan menjadi pendorong bangkitnya motivasi siswa
untuk belajar. Jika dilogika, siswa yang mempunyai motivasi yang tinggi akan
senang terhadap pelajaran, mempunyai kemauan keras untuk belajar, mempunyai
perhatian pada saat belajar dan ketekunan dalam belajar. Dengan beberapa
indikator tersebut, penulis percaya bahwa motivasi belajar yang tinggi juga akan
diikuti dengan hasil belajar yang tinggi.
2.4 Hipotesis Tindakan
Hipotesis penelitian tindakan kelas dirumuskan sebagai di bawah ini:
1. Diduga langkah-langkah model yang terdapat dalam model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) berbantuan permainan ular tangga mampu
membuat siswa lebih aktif dan senang karena adanya suasana bermain
sambil belajar sehingga mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar
tematik siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan Kedungjati Kabupaten
Grobogan.

29

2. Diduga motivasi belajar siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan
Kedungjati Kabupaten Grobogan akan meningkat jika model Problem
Based Learning (PBL) berbantuan permainan ular tangga diterapkan
dengan ciri-ciri senang terhadap pelajaran, mempunyai kemauan keras
untuk belajar, mempunyai perhatian pada saat belajar dan ketekunan
dalam belajar.
3. Diduga hasil belajar siswa kelas IV SDN 02 Jumo Kecamatan Kedungjati
Kabupaten Grobogan akan meningkat jika model Problem Based Learning
(PBL) berbantuan permainan ular tangga diterapkan.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Increasing Mathematic Learning Outcomes Using Cooperative Learning Type Student Team Achievement Division (STAD) Methodology with Fifth Grade Second Semester Students at SD Negeri Sumogawe 1 Ke

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berbantu Media Audio Visual untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas 4 SDN Ledok 07 Salatiga Semester II Tahun Ajaran 2

0 0 18

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Menggunakan Software Adobe Flash Materi Bumi dan Alam Semesta Kelas III SDN Kutowinangun 01 dan 11 Salatiga

0 0 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Prinsip- Prinsip Pembelajaran di Sekolah Dasar - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Menggunakan Software Adobe Flash Materi Bumi dan Alam

0 0 13

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Menggunakan Software Adobe Flash Materi Bumi dan Alam Semesta Kelas III SDN Kutowinangun 01 dan 11 S

0 0 14

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Menggunakan Software Adobe Flash Materi Bumi dan Alam Semesta Kelas III SDN Kutowinangu

0 0 38

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN INTERAKTIF MENGGUNAKAN SOFTWARE ADOBE FLASH MATERI BUMI DAN ALAM SEMESTA KELAS III SDN KUTOWINANGUN 01 DAN 11 SALATIGA TUGAS AKHIR - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelaja

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Menggunakan Software Adobe Flash Materi Bumi dan Alam Semesta Kelas III SDN Kutowinangun 01 dan 11 Salatiga

0 0 88

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Siswa Kelas 4 SDN 1 Tegalrejo Semester 2 Tahun 2017/2018

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Permainan Ular Tangga pada Siswa Kelas IV SDN

0 1 7