HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran CAESARIA SARAH SELLECA G0009042

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru

Caesaria Sarah Selleca, NIM: G0009042, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada Hari Rabu, Tanggal 31 Oktober 2012

Pembimbing Utama

Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp. P (K) ……………………….. NIP : 19570315 198312 1 002

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. Reviono, dr., Sp. P (K) ……………………….. NIP : 19651030 200312 1 001

Penguji Utama

Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp. P ……………………….. NIP : 19620502 198901 2 001

Penguji Pendamping

Nama : Slamet Riyadi, dr., M. Kes ……………………….. NIP : 19600418 199208 1 001

Surakarta, ……………………..

Ketua Tim Skripsi

Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp-PD-KR-FINASIM

NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 31 Oktober 2012

Caesaria Sarah Selleca

NIM. G0009042

ABSTRAK

Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Pada saat ini keterlambatan pengobatan TB masih sering terjadi. Faktor status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB mempengaruhi seseorang dalam usaha pemenuhan kesehatannya, sehingga jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam hal ini pada kasus TB paru. Penelitian ini berguna untuk mengetahui adanya faktor risiko status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB terhadap terjadinya keterlambatan pasien.

Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional Penelitian ini diadakan bulan Mei-Agustus 2012 di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total 60 subjek, sampel diambil dengan metode consecutive sampling. Penderita TB paru kasus baru di BBKPM Surakarta diminta untuk menjawab kuesioner tentang keterlambatan, status ekonomi (pendapatan) dan tingkat pengetahuan TB. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi linier ganda (multivariat).

Hasil Penelitian: Dari total 60 sampel, diperoleh sampel dengan status ekonomi rendah berjumlah 31 orang dan sampel berstatus ekonomi tinggi berjumlah 29

orang. Sampel dengan pengetahuan TB tinggi sebanyak 34 orang dan sampel dengan pengetahuan TB rendah sebanyak 26 orang. Sampel yang mengalami keterlambatan jumlahnya 38 orang dan yang tidak mengalam i keterlambatan berjumlah 22 orang. Status ekonomi (pendapatan) berpengaruh terhadap terjadinya keterlambatan pasien. Pasien dengan pendapatan rendah rata-rata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari lebih lambat dibandingkan pasien dengan pendapatan tinggi (b : 165,68 ; CI 95% -33,21 s/d 364,56, p = 0,101). Tingkat pengetahuan TB berpengaruh terhadap terjadinya keterlambatan pasien. Pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah rata-rata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84 hari lebih lambat dibandingkan pasien dengan tingkat pengetahuan TB tinggi (b : 128,84 ; CI 95% - 71,73 s/d 329,40, p = 0,204).

Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien namun hasilnya tidak signifikan secara statistik.

Kata Kunci: status ekonomi, tingkat pengetahuan TB, keterlambatan pasien

Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. The Relations of Economic Status and Level of Knowledge of TB Patients with Delay in Cases of Pulmonary Tuberculosis at Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Mini Thesis. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.

Background: At this time of TB treatment delays are still common. Factor of economic status and level of knowledge of TB affecting the health of someone in

a business meeting, so that if not met could lead to delays in diagnosis due to the delay in this case the patient with pulmonary tuberculosis. This study is useful to

know the risk factors of economic status and level of knowledge of the occurrence of TB patient delay.

Subject and Method: This study was an observasional analytic cross-sectional study approach (cross-sectional) are held May to August 2012 in Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total of 60 subjects sampled by consecutive sampling method. New cases of pulmonary TB patients in Surakarta BBKPM asked to answer a questionnaire about the delay, economic status (income) and the level of knowledge of TB. Data were analyzed using multiple linear regression analysis method (multivariate).

Results: The total 60 samples, obtained samples with low economic status amounted to 31 people and a sample of high economic status amounted to 29 people. Samples with high TB knowledge as many as 34 people and samples with low TB knowledge as many as 26 people. Samples were late number 38 and who do not experience delays totaling 22 people. Economic status (income) effect on patient delays. Patients with lower incomes on average visit for the first time to a health facility 165.68 days slower than those with higher incomes (b: 165.68; 95% CI -33.21 s / d 364.56, p = 0.101) . TB affects the level of knowledge in a delay of the patient. Patients with a low level of TB knowledge the average visit for the first time to a health facility 128.84 days slower than patients with high levels of TB knowledge (b: 128.84; 95% CI -71.73 s / d 329.40, p = 0.204).

Conclusions: There is a relationship between economic status and level of knowledge of TB patients with a delay, but the results were not statistically significant.

Keywords: economic status, level of knowledge of TB, the patient delays

Alhamdulillahhirabbil’aalamin, puja dan puji penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai p ihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

3. Dr. Reviono, dr, Sp.P (K) selaku Pembimbing Pendamping yang tak henti- hentinya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Slamet Riyadi, dr., M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpid dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.

7. Keluarga besar Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, Ibu Uud, Ibu Heni, Ibu Herlina, Ibu Sur yang telah banyak membantu saya dalam melakukan penelitian.

8. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Abbi Yusuf dan Ibunda Natalia Nanik Heryani, serta adik terganteng Relanfa Farando, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tanpa henti, juga memberikan support dalam segala hal hingga terselesaikannya penelitian in i.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Elsa, Isfalia, Tiara, Lilis, Asri, Mamet, Catur, Aggil, teman-teman kelompok 11 dan angkatan 2009 atas doanya, semangat dan bantuan yang tak kunjung henti serta waktu yang selalu tersedia.

10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu. Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 31 Oktober 2012

Caesaria Sarah Selleca

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................

44

A. Simpulan .................................................................................................

44

B. Saran ........................................................................................................

44 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................ 34 Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ...................................................... 34 Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................... 35 Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Waktu Tempuh ke UPK (BBKPM) ..... 35 Tabel 4.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepercayaan terhadap UPK (BBKPM).. 36 Tabel 4.6 Distribusi Waktu Diagnosis dan Skor Tingkat Pengetahuan ………….. 36 Tabel 4.7 Sampel Berdasarkan Status Ekonomi ....................................................... 37 Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan TB …………….. 37 Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Keterlambatan Pasien ………………... 38 Tabel 4.10 Analisis Bivariat tentang Hubungan Status Ekonomi dengan

Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru …………….... 38

Tabel 4.11 Analisis Bivariat tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan TB dan

Keterlambatan Pasien ………………………………………………….. 39

Tabel 4.12 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan Status

Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru ………………………………………. 40

Gambar 1. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 25 Gambar 2. Rancangan Penelitian ………………………………………………. .... 29

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian Lampiran 3. Informed Consent Lampiran 4. Kuesioner Keterlambatan, Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian Lampiran 6. Analisis Data

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah sekian lama hampir 10 tahun Indonesia menempati peringkat ke-3 dengan banyaknya jumlah penderita TB (Tuberkulosis), pada tahun 2009 World Health Organization (WHO) mencatat bahwa Indonesia telah berhasil turun peringkat menjadi peringkat ke lima setelah India, Cina, Afrika Selatan dan Nigeria dengan jumlah penderita TB 429 ribu orang (WHO, 2010). WHO memperkirakan pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta penderita TB di seluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik menjadi 9,27 juta jiwa dan hingga tahun 2009 angka penderita TB menjadi 9,4 juta jiwa.

Pada tahun 2010, angka insidensi semua tipe TB di Indonesia yaitu 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian akibat TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari (WHO, 2011).

Terlepas dari itu permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar karena Indonesia masih berkontribusi 5,8% dari kasus TB di dunia. Masih ada sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka kematian sebesar 64.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk dan hal ini masih menjadi tantangan yang besar dalam masalah kesehatan di Indonesia. (Kemenkes RI, 2011).

Status ekonomi merupakan tingkatan kekayaan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002). Status ekonomi sering berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Keadaan sosial ekonomi juga berkaitan erat dengan pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan Status ekonomi merupakan tingkatan kekayaan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002). Status ekonomi sering berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Keadaan sosial ekonomi juga berkaitan erat dengan pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan

Pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”. Tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi kebudayaan, informasi, pendidikan, pengalaman, usia, pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi akan lebih mau menerima masukan dan informasi tentang hal baru terutama dalam masalah kesehatan, sehingga dirinya mampu berperilaku atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam hal ini pemenuhan kesehatan sehingga tidak akan menunda-nunda. Orang yang lebih peka atau lebih paham terhadap munculnya gejala penyakit maka cenderung akan lebih cepat dalam mencari bantuan pertolongan dan mendapatkan pengobatan dengan cepat pula (dikutip dari Hidayati, 2003).

Kedua hal tersebut mempengaruhi sesorang dalam usaha pemenuhan akan kesehatannya, sehingga jika tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam hal ini pada kasus TB paru. Jika terjadi keterlambatan diagnosis TB paru maka akan semakin memperburuk penyakit dan dapat menimbulkan komplikasi antara lain batuk darah, pneumotoraks, kolaps paru, dan sebagainya. Kasus TB dengan komplikasi dapat meningkatkan risiko kematian, selain itu dengan adanya keterlambatan diagnosis juga akan memperpanjang transmisi infeksi di komunitas (Depkes RI, 2006).

Dari uraian tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru?

Untuk mengetahui hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB

paru.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritik:

Memberikan informasi tentang adanya hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.

2. Manfaat Aplikatif:

Penelitian ini diharapkan dapat membantu program pemerintah untuk semakin mensukseskan program pemberantasan TB di Indonesia, serta dapat memberikan data masukkan kepada Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKP M) Surakarta.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tuberkulosis

a. Definisi

Tuberkulosis

merupakan penyakit

menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Werdhani, 2006).

b. Cara Penularan

Sumber penularannya adalah pasien TB BTA positif, pada waktu batuk atau bersin, pasien dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang terpajan kuman TB (Depkes RI, 2007).

c. Patofisiologi

1) Tuberkulosis primer

Bila kuman ini terhisap oleh orang sehat, maka kuman akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel

(Amin, 2006). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai salah satu unit yang

terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalam i konsolidasi dan timbul pneumonia akut (Price, 2006).

Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20 hari (Price, 2006).

Bila kuman menetap dalam jaringan paru, kuman akan berkembang biak dalam sitoplasama makrofag. Dari sini kuman dapat menuju organ-ogan lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru dan kalau menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena Bila kuman menetap dalam jaringan paru, kuman akan berkembang biak dalam sitoplasama makrofag. Dari sini kuman dapat menuju organ-ogan lainnya. Sarang tuberkulosis primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru dan kalau menjalar sampai ke pleura maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus (limfangitis fokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis fokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis- garis fibrotik, kalsifikasi d i hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5mm dan 10% di antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant .

c) Berkomplikasi dan menyebar secara: (1) Perkontinuitatum (ke sekitarnya) (2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan atau

pun pada paru di sebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.

(3) Secara limfogen ke organ-organ lainnya. (4) Secara hematogen ke organ-organ tubuh lainnya

(Amin, 2006).

2) Tuberkulosis pasca-primer (sekunder)

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi menjadi 90% TB sekunder terjadi Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa. Mayoritas reinfeksi menjadi 90% TB sekunder terjadi

atas paru (segmen apical-posterior lobus superior atau lobus inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula-mula tampak seperti sarang pneumonia kecil dan dalam 3-10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans (Amin, 2006). Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi:

a) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

b) Sarang yang mula-mula meluas tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini yang

berkembang menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi

lembek membentuk jaringan tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang d iproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang terjad i pada imunodefisiensi dan usia lanjut (Amin, 2006). Kavitas dapat mengalam i: (1) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia

baru. Bila isi kavitas masuk ke dalam pembuluh darah arteri maka akan terjadi TB m illier.

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan

menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus) sehingga membentuk misetoma.

(3) Menyembuh dan bersih. Kadang berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai bintang (stellate shape).

Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang: (a) Sarang yang sudah sembuh (tidak perlu pengobatan). (b) Sarang aktif eksudatif (perlu pengobatan lengkap dan

sempurna). (c) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan pengobatan sempurna.

d. Gejala

Gejala klinik TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistem ik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (PDPI, 2002).

1) Gejala respiratorik

a) Batuk 2-3 minggu

b) Batuk darah

Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang keluar produk-produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam paru yakni setelah berm inggu-minggu

Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non- produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus (Amin, 2006).

Gejala TB yang sangat umum ialah batuk produktif yang tak henti-henti dan terkadang batuk disertai darah (hemoptisis), seringkali disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam dan penurunan badan. Batuk selama 2-3 minggu tidak spesifik, namun batuk yang berlangsung selama itu secara tradisional digunakan sebagai kriteria dugaan TB (TBCTA, 2009).

c) Sesak napas

Jika sakit masih ringan, sesak napas masih belum dirasakan. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru (Amin, 2006).

d) Nyeri dada

Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya (Amin, 2006).

a) Demam

Biasanya subfebril seperti demam influenza, tapi kadang panas badan dapat mencapai 40-41 o

C. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara tapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus-menerus sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi Mycobacterium Tuberculosis yang masuk (Amin, 2006).

b) Malaise

Gejala malaise yang sering ditemukan adalah berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan semakin kurus, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot dan keringat malam. Gejala ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

3) Gejala TB ekstra paru

Tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat

dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2002).

e. Penemuan pasien TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Suspek TB sendiri pengertiannya adalah setiap orang yang datang dengan gejala atau tanda TB. Penemuan pasien merupakan langkah Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Suspek TB sendiri pengertiannya adalah setiap orang yang datang dengan gejala atau tanda TB. Penemuan pasien merupakan langkah

TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan

1) Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.

2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada keluarga, anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama harus diperiksa dahaknya.

3) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif (Depkes RI, 2007).

f. Diagnosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu

2 hari, yaitu Sewaktu - Pagi - Sewaktu (SPS). S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK). S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien

Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam

beberapa situasi:

1) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

2) Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak

3) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda.

Tes resistensi tersebut hanya dapat dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah.

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjad i overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit (Depkes RI, 2007).

g. Klasifikasi penderita TB

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru :

1) Tuberkulosis paru BTA positif 1) Tuberkulosis paru BTA positif

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

a) Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.

b) Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: (1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

negatif (2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

tuberkulosis (3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT (4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan

Klasifikasi pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik,

bakteriologik

(b iakan),

radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (Depkes RI, 2007).

h. Pengobatan TB

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis antara lain, isoniazid, rifampicin. pyrazinamide, streptomycin dan ethambutol, obat tersebut diberikan dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Pengobatan Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis antara lain, isoniazid, rifampicin. pyrazinamide, streptomycin dan ethambutol, obat tersebut diberikan dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan. Pengobatan

pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan. Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).

i. Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin timbul adalah :

1) Batuk darah

2) Pneumotoraks

3) Luluh paru

4) Gagal napas

5) Gagal jantung

6) Efusi pleura (PDPI, 2006).

2. Keterlambatan Pasien

Tingkah laku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan bukanlah tingkah laku yang acak tapi tingkah laku yang selektif, terencana dan berpola dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian integral dari budaya yang bersangkutan (Foster & Anderson, 1998). Kecepatan pencarian bantuan dalam masalah kesehatan pun akan semakin cepat jika jarak waktu yang dibutuhkan untuk Tingkah laku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan bukanlah tingkah laku yang acak tapi tingkah laku yang selektif, terencana dan berpola dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan bagian integral dari budaya yang bersangkutan (Foster & Anderson, 1998). Kecepatan pencarian bantuan dalam masalah kesehatan pun akan semakin cepat jika jarak waktu yang dibutuhkan untuk

hal ini adalah kasus TB (Smet, 1994). Ada beberapa perilaku kesehatan menurut Becker (1979), yaitu:

a. Perilaku sehat (heatlh behavior), dalam pengertian yang luas perilaku sehat meliputi semua perilaku yang berhubungan dengan menjaga atau mempertahankan dan meningkatkan status sehat.

b. Perilaku sakit (illness behavior) merupakan semua tindakan dan kegiatan yang dilakukan seseorang untuk merasakan, mendefinisikan, mengintepretasikan gangguan kesehatan yang dirasakannya termasuk juga kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit dan penyebabnya serta upaya pencegahannya.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) merupakan segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhannya. Perilaku ini berpengaruh terhadap sehat dan sakitnya diri-sendiri, orang lain juga lingkungan.

Kasus TB yang luput dan keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta penyebaran penyakit yang semakin luas. Penelitian menunjukkan bahwa 58-63% kasus BTA negatif pada periode follow up -58 bulan dapat berkembang menjadi BTA positif. Pasien dengan BTA negatif dan mendapat pengobatan pencegahan TB dapat menghambat perkembangan reaktivasinya sebesar 90% dibanding dengan yang tidak mendapat pengobatan (Greenaway, 2002).

Interval waktu antara timbulnya gejala pertama kali sampai datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama kali disebut dengan keterlambatan pasien (patient’s delay) (Hidayati, 2003).

dikemukakan Anderson (1974), antara lain:

a. Faktor predisposisi

Merupakan faktor yang mendahului terjadinya perilaku yang memberikan alasan dan motivasi untuk berperilaku. Faktor tersebut antara lain demografi (umur dan jenis kelamin), sosial (pendidikan,

pekerjaan,

suku/ras),

manfaat kesehatan (kepercayaan/keyakinan terhadap pelayanan kesehatan). Bila dalam masyarakat mempunyai kepercayaan yang salah tentang penyakit maka dapat menghambat dalam proses pencarian bantuan kesehatan atau membawa berobat kepada orang yang tidak profesional. Selain itu, masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi akan lebih mau menerima masukan dan informasi tentang hal baru terutama dalam masalah kesehatan, sehingga dirinya mampu berperilaku atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Begitu juga dalam mencari bantuan kesehatan, dirinya akan membawa berobat diri/anggota keluarga yang sakit tanpa menunda-nunda.

b. Faktor pendukung

Merupakan faktor yang mendahului perilaku yang menunjang motivasi atau aspirasi dapat terwujud. Faktor tersebut antara lain ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya untuk menunjang perilaku kesehatan termasuk biaya pengobatan. Status ekonomi berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Biaya kesehatan pun telah dipersiapkan. Sedangkan masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah, masyarakat tersebut sangat takut Merupakan faktor yang mendahului perilaku yang menunjang motivasi atau aspirasi dapat terwujud. Faktor tersebut antara lain ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya untuk menunjang perilaku kesehatan termasuk biaya pengobatan. Status ekonomi berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Biaya kesehatan pun telah dipersiapkan. Sedangkan masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah, masyarakat tersebut sangat takut

c. Faktor kebutuhan

Merupakan faktor yang mendorong perilaku kesehatan karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain adanya persepsi yang serius mengenai gejala atau penyakit yang dialaminya. Bila gejala tidak terlalu dirasakan, orang tersebut tidak akan mencari pengobatan sampai penyakitnya bertambah parah. Sebaliknya jika orang yang lebih peka atau lebih paham terhadap munculnya gejala akan lebih cepat dalam mencari bantuan pertolongan dan mendapatkan pengobatan dengan cepat pula (dikutip dari Hidayati, 2003).

Terdapat beberapa cara dan kriteria dalam menentukan batas keterlambatan diagnosis TB atau pengkategorisasian variabel terikat, antara lain :

a. Berdasarkan cut off point median atau rata-rata waktu keterlambatan. Dikatakan terlambat jika waktu keterlambatan di atas median atau rata-rata (Demissie, Rajeswari).

b. Tetap berdasarkan data kontinyu (Pronyk, Leinhard, Long, Sherman) dan analisa menggunakan cox regresi.

c. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kontak yang terekspos penderita TB aktif sering kali menunjukkan gejala infeksi setelah 2 bulan terekspos. Sehingga keterlambatan yang bermakna secara klinis didefinisikam sebagai periode lebih dari 60 hari dari gejala TB pertama kali timbul sampai pertama kali berkunjung ke dokter (Asch, 1988).

d. Berdasarkan Lonnroth (1999): Long patient delay: jika lebih dari

4 minggu; long provider delay: jika lebih dari 4 minggu; long total delay : jika mulai dari gejala pertama hingga diagnosis lebih 4 minggu; long provider delay: jika lebih dari 4 minggu; long total delay : jika mulai dari gejala pertama hingga diagnosis lebih

TB dapat ditegakkan (Hidayati, 2003).

Berdasarkan penelitian kelambatan diagnosis oleh Reviono tahun 2008, kelambatan pasien merupakan penyumbang terbanyak dari kelambatan diagnosis total. Hal itu disebabkan oleh terdapatnya kasus dengan kelambatan pasien yang cukup panjang meskipun tidak terjadi kelambatan fasilitas kesehatan akan tetapi secara total waktu diagnosis melampaui median diagnosis total seh ingga masuk dalam kelompok kelambatan diagnosis total. Pada penelitian Reviono disebutkan bahwa kelambatan pasien reratanya yaitu 24,33 hari dan mediannya 21 hari sedangkan untuk diagnosis total adalah reratanya 40,42 hari dan mediannya 35 hari. Penelitian tersebut menggunakan cut off point median waktu yang digunakan oleh subjek penelitian untuk menentukan kelambatan.

Faktor risiko keterlambatan pelayanan kesehatan pada penelitian-penelitian agak berbeda dengan teori perilaku di mana semua faktor berfokus pada pasien sehingga jika dikaitkan dengan teori perilaku maka faktor keterlambatan pelayanan kesehatan hanya merupakan faktor pendorong petugas kesehatan untuk berperilaku mendiagnosis TB (Hidayati, 2003)

3. Status Ekonomi

Menurut kamus bahasa Indonesia, pengertian status adalah tingkatan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya, sedangkan pengertian ekonomi adalah ilmu mengenai azas-azas produksi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, sehingga pengertian status ekonomi adalah tingkatan Menurut kamus bahasa Indonesia, pengertian status adalah tingkatan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya, sedangkan pengertian ekonomi adalah ilmu mengenai azas-azas produksi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, sehingga pengertian status ekonomi adalah tingkatan

Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi status sosial

ekonomi adalah:

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan sehingga semakin banyak juga penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya, pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.

b. Pekerjaan

Pekerjaan adalah simbol status seseorang di masyarakat. Pekerjaan merupakan jembatan untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.

c. Keadaan ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga yang rendah berkaitan dengan status gizi yang buruk.

d. Latar belakang budaya

Culture Universal adalah suatu kebudayaan yang bersifat universal, ada di dalam semua kebudayaan dunia, seperti pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial, adat istiadat dan penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah

mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang member corak pengalaman individu-individu menjadi anggota kelompok mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang member corak pengalaman individu-individu menjadi anggota kelompok

e. Pendapatan

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi akan mempraktikan gaya hidup mewah atau konsumtif karena orang tersebut mampu untuk membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan keluarga yang status ekonominya rendah (Indrawati, 2009).

Upah minimum Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2012 adalah Rp 991.500,00. Berdasarkan Susenas 2009, pengeluaran rata-rata perkapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2008 tercatat sebesar 409,33 ribu rupiah. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat.

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan sehingga berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk akan menyebabkan kekebalan tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru.

Pada penelitian Reviono tahun 2008 dikatakan bahwa variabel pendapatan pasien tidak ada hubungannya dengan keterlambatan namun hal itu disebabkan besaran Upah Minimum Regional (UMR) pada sat itu bukan batasan yang tepat untuk menilai pendapatan orang tersebut cukup atau kurang. Selain itu, penelitian Ohmori mengatakan bahwa diagnosis TB dipengaruhi oleh sistem asuransi atau pembiayaan kesehatan.

Kata pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”, biasanya terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek.

Penginderaan terjadi melalu panca indera manusia, tetapi pengetahuan manusia lebih banyak didapat melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2003). Komponen pengetahuan, antara lain:

a. Tahu

Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari sebelumnya disebut juga istilah recal (mengingat lagi) namun apa yang telah diketahui hanya sekedar informasi yang diingat saja. Oleh sebab itu, ini merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.

b. Pemahaman

Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan yang telah dipakai dipelajari seperti menafsirkan. Menjelaskan dan meringkas tentang sesuatu kemampuan. Ini lebih tinggi dari pengetahuan.

c. Penerapan

Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang telah dipelajari dalam sesuatu yang baru atau konkrit.

d. Analisis

Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu bahan obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya sama lain.

e. Sintesa

Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam keseluruhan seperti merugikan tema rencana atau melihat hubungan abstrak dan sebagian fakta.

Adalah berkenan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan untuk membantu penelitian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau kriteria tertentu (Notoadmodjo, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

a. Faktor eksternal

1) Kebudayaan

Kebudayaan dimana seseorang hidup dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikapnya. Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan maka sangatlah mungkin berpengaruh dalam pembentukan sikap pribadi seseorang (Saifuddin, 2009).

2) Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna dapat diartikan sebagai pemberitahuan sesering adanya informasi baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestis dibawa oleh informasi tersebut pendidikan ini biasanya digunakan.

b. Faktor internal

1) Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh pelindung dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada kedewasaan. GBHN Indonesia mengidentifikasi lain bahwa pendidikan dari dalam dan dari luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Notoadmodjo, 2003).

Pengalaman terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi penghayatan.

Pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas (Saifuddin, 2009).

3) Usia

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang telah dewasa akan lebih dipercaya daripada seseorang yang belum cukup tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwanya.

4) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau pencaharian. Masyarakat yang sibuk dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk memperoleh informasi.

5) Pendapatan

Pendapatan merupakan sesuatu yang didapatkan dan pendapatan erat sekali dengan status kesehatan.

6) Informasi

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang memperoleh banyak informasi maka dirinya cenderung mempunyai pengetahuan lebih luas.

Penelitian Reviono menunjukkan bahwa pada pasien yang tahu mengenai TB jumlah kelambatan pasiennya lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak tahu. Penelitian oleh Golub tahun 2005 juga mencatat bahwa pasien yang tahu gejala TB dan kemana Penelitian Reviono menunjukkan bahwa pada pasien yang tahu mengenai TB jumlah kelambatan pasiennya lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak tahu. Penelitian oleh Golub tahun 2005 juga mencatat bahwa pasien yang tahu gejala TB dan kemana

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti : Yang mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka Pem ikiran

Diagnosis TB

Mengunjungi fasilitas kesehatan

Tingkat Keterlambatan pengetahuan TB

Keterlambatan fasilitas kesehatan

Umur

Pendidikan