A. Pendahuluan - Transportasi Literasi Informasi

Transportasi Literasi Informasi,
Peran Sejati Perpustakaan Nasional RI
Oleh : Romi Febriyanto Saputro ∗
A. Pendahuluan
Menurut Keputusan Menpan Nomor 132/KEP/M.PAN/2002, perpustakaan adalah
unit kerja yang memiliki sumber daya manusia, ruangan khusus, dan koleksi bahan pustaka
sekurang-kurangnya terdiri dari 1.000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan
jenis perpustakaan yang bersangkutan dan dikelola menurut sistem tertentu.
International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA) mengartikan
perpustakaan sebagai kumpulan materi tercetak dan media non cetak dan atau sumber
informasi dalam komputer yang disusun secara sistematik untuk digunakan pemakai.
Webster’s Third Edition International Dictionary, menyebutkan bahwa perpustakaan
merupakan kumpulan buku, manuskrip, dan bahan pustaka lainnya yang digunakan untuk
keperluan studi atau bacaan, kenyamanan atau kesenangan.
Dari berbagai definisi tentang perpustakaan di atas, ada satu benang merah yang
dapat ditarik bahwa perpustakaan adalah tempat untuk melayankan informasi melalui koleksi
bahan pustaka yang dimilikinya.
Keberadaan suatu perpustakaan adalah untuk
memberdayakan masyarakat agar memiliki kesadaran informasi yang baik. Kesadaran akan
arti penting informasi inilah yang lazim disebut dengan literasi informasi.
Literasi informasi merupakan jiwa sebuah perpustakaan. Perpustakaan Nasional RI

melukiskan kemampuan informatif ini dalam logonya yang terdiri dari : buku terbuka; nyala
obor; dua tangan terkatup dengan lima jari menopang; lima dasar penunjang dan lima sinar
memancar dengan latar belakang lingkaran warna biru.
Buku terbuka melambangkan sumber ilmu pengetahuan yang senantiasa
berkembang. Nyala obor melambangkan pelita dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dua tangan terkatup dengan lima jari menopang melambangkan ilmu pengetahuan baru dapat
dicapai melalui pembinaan pendidikan seutuhnya dengan ditunjang oleh sarana pustaka yang
lengkap. Lima dasar penunjang dan lima sinar memancar melambangkan dasar falsafah
Pancasila dalam ilmu pengetahuan menghasilkan manusia Indonesia seutuhnya yang berguna
bagi nusa dan bangsa.
Latar belakang lingkaran melambangkan kebulatan tekad dalam usaha mewujudkan
pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sedangkan warna biru adalah warna
yang memiliki sifat tenang dan memberikan kesan kedalaman. Jadi, pengertian warna biru
pada logo Perpustakaan Nasional RI ialah ketenangan berpikir, dan kedalaman ilmu
pengetahuan yang dimiliki merupakan landasan pengabdian kepada masyarakat, nusa dan
bangsa.
B. Literasi Peradaban
Literasi informasi adalah seperangkat ketrampilan untuk mendapatkan jalan keluar
dari suatu masalah yang ada. Ketrampilan ini mencakup ketrampilan mengidentifikasi
masalah, mencari informasi, menyortir, menyusun, memanfaatkan, mengkomunikasikan dan

mengevaluasi hasil jawaban dari pertanyaan atau masalah yang dihadapi.
Literasi sendiri secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan
memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi masyarakat.
Literasi memiliki fungsi penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan
mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat. Bangsa yang literate
adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, bangsa yang tidak
literate akan menjelma menjadi sebuah bangsa lemah. Bangsa lemah ini tidak akan pernah
mampu merespon tantangan dan rintangan di masa depan.


Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah PNS pada UPTD Perpustakaan Kab. Sragen JL Pemuda No. 1
SRAGEN 57214 Telp. (0271) 892721. Tinggal di Teguhan RT 09 RW 03 No. 34 SRAGEN 57214. HP
08882911850. Rekening BCA Cabang Sragen 077 036 1451

1

Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Arnold J Toynbee dalam buku A Study of
History yang menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban adalah diakibatkan oleh

ketidakmampuan pelaku peradaban itu untuk merespon tantangan yang sedang berkembang.
Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap tantangan-tantangan
yang berkembang dan tenggelam dalam kejumudan, maka bisa dipastikan peradaban itu akan
mengalami pembusukan. Ketidakmampuan memberi respon terhadap tantangan ini
mengindikasikan adanya impotensi dalam peradaban tersebut.
Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap
perpustakaan. Perpustakaan selalu menjadi transportasi literasi ketika suatu peradaban
mencapai puncak keemasan. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sepanjang peradaban manusia tidak dapat lepas dari perpustakaan.
Peradaban Yunani kuno yang kaya akan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
melahirkan perpustakaan yang prestisius pada zamannya. Pisistratus, tercatat sebagai orang
yang pertama kali mendirikan perpustakaan di Yunani pada abad 6 SM. Pada periode
selanjutnya orang-orang Athena sudah mulai memiliki koleksi buku-buku pribadi. Ketika
tokoh filsafat Aristoteles hidup ( 384 – 322 SM) telah mendirikan sebuah perpustakaan yang
ia maksudkan sebagai pusat penelitian dan pendidikan pengikut-pengikutnya.
Begitu pula dengan peradaban Islam abad pertengahan, perpustakaan kembali
menjadi transportasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama pada masa Dinasti Abasiyah
(750 – 1258 M) yang pada saat itu Eropa sedang mengalami kegelapan. Zaman keemasan
tersebut ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan perkembangan itu dipercepat
dengan didirikannya perpustakaan-perpustakaan.

Salah satu yang terkenal dan terbesar ialah Baitul Hikmah. Tidak sembarang orang
bisa bekerja sebagai pustakawan di sana. Hanya orang-orang kepercayaan khalifah dan para
ilmuan sajalah yang boleh bekerja. Diantaranya adalah Al - kindi, Al - khawarizmi, seorang
ilmuan matematika terkenal saat itu. Mereka adalah para ilmuwan yang bekerja di
perpustakaan Baitul Hikmah. Mereka adalah Ilmuwan-Pustakawan. Saat itu keberadaan
perpustakaan dan buku sangat dihormati, bahkan jabatan pustakawan saat itu menjadi
primadona. pustakawan memperoleh gaji yang sangat besar dari pemerintah Andy Alayyubi
(2001).
Peradaban Eropa pasca renaissance juga ditandai dengan perkembangan perpustakaan
yang mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat itu keberadaan bukubuku mampu meningkatkan status sosial masyarakat. Setelah penemuan kertas oleh bangsa
Cina dan penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg dari Jerman, perkembangan buku,
perpustakaan, dan IPTEK makin cerah.
Perpustakaan muncul hampir di semua daratan Eropa.Di Perancis dikenal
Bibliotheque Nationale, yang koleksi awalnya berasal dari milik pribadi raja-raja Perancis. Di
Inggris dikenal Perpustakaan Universitas Oxford dan Cambridge, dan juga British Museum
yang kemudian menjadi perpustakaan nasional.
Di era milenium ini pun, keberadaan perpustakaan tetap menjadi ikon peradaban
sebuah bangsa yang memiliki tradisi keilmuan yang kuat. Amerika Serikat memiliki
perpustakaan paling besar masa kini, yaitu The Library of Congress dengan jumlah koleksi
sekitar 86 juta bahan pustaka dalam 470 bahasa, termasuk 22 juta buku dan brosur. Yang

menarik ada sejumlah 30.000 buku pelatihan dan pelajaran dalam huruf Braille, pertitur
musik, dan media rekaman khusus untuk penyandang cacat. Sedangkan Inggris memiliki The
British Museum Library dengan koleksi 11 juta buku.
C. Membudayakan Literasi
Menurut H.A.R Tilaar (1999), kemampuan informatif merupakan kemampuan
seseorang untuk menganalisa dan mencari manfaat dari informasi yang diperoleh. Ada beda
antara data dan informasi. Data yang telah diolah berubah menjadi informasi dan inilah yang
mempunyai kegunaan di dalam perkembangan ilmu pengetahuan ataupun aplikasi ilmu
pengetahuan dan teknologi di dalam kehidupan manusia.
Sebenarnya yang kita perlukan ialah penguasaan informasi hasil olahan kemampuan
berpikir. Informasi yang diperoleh di dalam proses pembelajaran bukanlah informasi yang
masing-masing berdiri sendiri, melainkan informasi tersebut merupakan suatu rangkaian di

2

dalam suatu pola jaringan sehingga memiliki arti. Informasi tersebut adalah hasil karya
banyak pakar sehingga nanti akan menghasilkan sesuatu yang kreatif dan bermakna.
Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
merupakan suatu keharusan. Proses pembangunan harus diartikan sebagai proses membangun
literasi bangsa. Hal ini dapat ditempuh dengan membangun literasi dalam berbagai bidang

kehidupan.
Pertama, literasi pendidikan. Data yang dilansir BPS pada 2003 menggambarkan,
penduduk Indonesia usia di atas 15 tahun yang membaca koran hanya 55,11 %. Yang
membaca majalah atau tabloid 29,22 %, buku cerita 44,28 %, dan buku pengetahuan lainnya
21,07 %. Dari tahun 1993, kecenderungan mendapatkan informasi lewat membaca hanya naik
sekitar 0,2 %, jauh jika dikomparasikan dengan menonton televisi yang kenaikannya
mencapai 21,1 %.
Data BPS tahun 2006 menunjukkan, penduduk Indonesia yang menjadikan membaca
sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5 %. Sedangkan yang menonton televisi 85,9 %,
dan mendengarkan radio 40,3 %. Laporan Bank Dunia No. 16369-IND (Education in
Indonesian from Crisis to Recovery), mengutip hasil Vincent Greannary tahun 1998,
menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI sekolah dasar di Indonesia hanya mampu
meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6); Thailand (65,1) dan Singapura (74,0).
Fakta di atas sungguh membuat hati kita khawatir. Ternyata, sistem pendidikan
nasional telah gagal melahirkan generasi yang membaca. Pendidikan kita hanya sekedar
menghasilkan generasi yang membaca agar disebut ”sudah belajar”. Generasi yang membaca
hanya untuk menggapai kelulusan belaka. Bukan generasi yang terus membaca untuk
mendapatkan kemanfaatan sepanjang hidupnya.
Literasi pendidikan menghendaki proses belajar mengajar yang berorientasi
meningkatkan minat baca peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang sangat

mendukung bagi peningkatan minat baca peserta didik adalah meaningful learning, yang
mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar,
menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan
diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak
akan menempel lama dalam pikiran.
Strategi ini menghendaki baik peserta didik maupun guru memiliki kedudukan
sebagai subyek belajar. Sebagai subyek belajar keduanya dituntut aktif untuk mencari datadata, informasi, dan interpretasi dari materi pelajaran. Peserta didik dituntut untuk bersikap
kritisisme terhadap materi pelajaran bukan sekedar meniru, copy-paste, dan menghafal apa
yang diberikan oleh guru. Dengan strategi ini peserta didik dan guru didorong untuk memiliki
minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Kedua, literasi teknologi. Indonesia saat ini mengalami kesenjangan teknologi yang
dapat membuat Indonesia tertinggal dalam segala bidang dari negara lain. Kesenjangan ini
tampak jelas pada keterlambatan Indonesia dalam mengembangkan teknologi nano.
Teknologi nano adalah sebuah rekayasa teknologi dengan memanfaatkan karakter suatu
material pada ukuran nanometer (seper satu miliar meter). Teknologi ini dapat dimanfaatkan
di berbagai bidang seperti kesehatan, bangunan, dan energi masa depan.
Pemahaman tentang kesenjangan teknologi sendiri sudah mengalami distorsi.
Perusahaan multinasional sering membuat kita berpikir bahwa kesenjangan teknologi adalah
perbedaan antara mereka yang dapat akses teknologi dan yang tidak. Padahal kesenjangan
teknologi adalah gap antara mereka yang dapat mengambil manfaat dari teknologi dan yang

tidak.
Mereka mempengaruhi kita agar lebih terfokus pada akses, bukan pada bagaimana
meraih manfaat dari teknologi. Jika pemikiran ini terus berlaku, maka Indonesia hanya akan
menjadi mangsa dari produk multinasional tanpa pernah bisa mandiri. Dengan mengejar
kesenjangan teknologi, Indonesia dapat mengejar ketinggalan berbagai sektor seperti
ekonomi, politik, dan budaya.
Memanfaatkan teknologi merupakan inti dari literasi teknologi. Selama ini Indonesia
memang kenyang mengkonsumsi aneka produk teknologi. Indonesia menjadi sasaran
pemasaran dari produk-produk teknologi negara maju. Mobil, sepeda motor, komputer,

3

laptop, kamera digital, dan televisi telah menjadi menu teknologi sehari-hari. Ironisnya, kita
sebatas hanya pemakai teknologi, bukan penghasil teknologi.
Indonesia telah lama memiliki Institut Teknologi Bandung tetapi hingga kini belum
mampu menghasilkan mobil dan sepeda motor produk dalam negeri. Bumi kita kaya akan
sumber daya alam tetapi pemerintah telah mempercayakan eksplorasinya kepada pihak asing.
Indonesia adalah negeri penghasil minyak bumi tetapi harga BBM dipersamakan dengan
BBM di Singapura yang notabene bukan penghasil minyak bumi. Hal ini terjadi karena negeri
ini belum mampu untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM siap pakai.

Ketiga, literasi ekonomi. Laporan UNESCO tahun 2005 berjudul Literacy for Life
menyebutkan bahwa ada hubungan yang erat antara literasi dengan kemiskinan. Di banyak
negara, di mana angka kemiskinan tinggi, tingkat literasi cenderung rendah. Literasi
menyebabkan tingkat penghasilan perkapita rendah. Seperti yang terjadi di Banglades,
Ethiopia, Ghana, India, Nepal, dan Mozambique. Lebih dari 78 persen penduduknya,
penghasilan per hari di bawah 2 dollar AS.
Manusia yang memiliki kemampuan literasi ekonomi akan lebih mudah untuk
mengakses informasi bisnis dan memberdayakannya menjadi sebuah usaha mandiri.
Sebaliknya, lemahnya kemampuan literasi akan menghasilkan manusia tipe pekerja, buruh,
dan karyawan. Manusia miskin literasi tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk
membuka usaha mandiri.
Ironisnya, kemiskinan literasi ini menular kepada pemerintah. Pemerintah memberi
ruang yang terlalu bebas bagi kaum kapitalis. Upah buruh yang murah dijadikan daya tarik
untuk menarik perusahaan transnasional agar berinvestasi di Indonesia. Padahal buruh juga
manusia yang memiliki keinginan untuk hidup layak. Kini, setelah kaum buruh menuntut
kesejahteraan, perusahaan transnasional seperti Nike mengancam akan hengkang dari
Indonesia. Tanpa peduli dengan nasib ribuan buruh perusahaan yang menjadi supplier Nike.
Padahal dalam konteks kesejahteraan sosial, sebagaimana dikutip Faisal Basri (2007),
Bung Karno menegaskan bahwa tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka,
tidak boleh ada dominasi kaum kapitalis, dan kesejahteraan yang merata ke seluruh rakyatnya,

bukan kesejahteraan orang seorang. Jelas kiranya, landasan ideologis kita bukanlah
libertarian, melainkan demokrasi sosial.
Dalam kehidupan ekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit
antisipatif, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada ekonomi
pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak
berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Mengedepankan
mekanisme pasar bukan berarti menabukan peran negara. Justru sebaliknya, semakin besar
peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk mewujudkan kesejahteraan
yang berkeadilan.
Keempat, literasi harga diri. Dalam bukunya “Can Asians Think ?” , Kishore
Mahbubani (2000) menyatakan bahwa orang Asia itu tidak dapat berpikir karena pengaruh
kolonialisme. Pengaruh atau dampak yang amat menyakitkan bukanlah pengaruh fisik
melainkan pengaruh mental dari kolonialisasi tersebut. Banyak negara di Asia, termasuk
beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang menganggap bahwa orang Eropa lebih
unggul daripada orang Asia. Inilah dampak yang sampai saat ini sangat melekat di hati orang
Asia.
Analisa Kishore Mahbubani di atas sangat tepat jika pisau analisa di arahkan ke
Indonesia. Bangsa Indonesia yang telah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun
oleh Jepang merupakan bangsa yang paling menderita lahir dan batin daripada bangsa Asia
manapun. Penjajahan selama itu telah menyebabkan bangsa tercinta ini menderita penyakit

rendah diri. Manusia Indonesia menjadi kehilangan kemampuan dan kemandiriannya dalam
berpikir.
Kolonialisme telah menyebabkan tumbuhnya mentalitas yang menganggap eks
bangsa penjajah adalah bangsa yang lebih superior. Tanpa disadari keberhasilan kolonialisme
Belanda dalam memperdayai Pangeran Diponegoro memberikan kesan yang mendalam di
alam psikologi manusia Indonesia bahwa kita tak mungkin bisa menang bersaing dengan
manusia-manusia Eropa. Pada titik ekstrim, hal ini akan membawa dampak berupa lahirnya

4

manusia Indonesia yang memandang rendah diri sendiri sekaligus memuja setinggi langit
bangsa asing.
Virus rendah diri ini begitu jelas terlihat dalam Perjanjian Kerja Sama Pertahanan
(Defence Cooperation Agreement – DCA) antara RI – Singapura satu paket dengan Perjanjian
Ekstradisi pada tanggal 27 April 2007. Dalam perjanjian tersebut kedaulatan negara
digadaikan. Indonesia mengijinkan Angkatan Bersenjata Singapura menggelar latihan militer
di laut, darat, dan udara di wilayah Indonesia bersama pihak ketiga dengan menggunakan
peluru tajam dan peluru kendali sebanyak empat kali dalam setahun.
Kelima, literasi karakter. Menurut Mochtar Lubis (1977) ada tujuh ciri manusia
Indonesia, yaitu : hipokrit, senang berpura-pura; enggan bertanggung jawab; berjiwa feodalis;
percaya pada takhayul; berjiwa artistik; berwatak lemah, suka meniru; dan kurang sabar, cepat
cemburu dan dengki.
Bayangkan dari tujuh karakter tersebut, hanya satu yang merupakan karakter positif
yaitu berjiwa artistik. Mochtar Lubis tidak sedang mengada-ada. Kecelakan transportasi darat,
laut, dan udara yang datang silih berganti merupakan indikator bahwa bangsa ini kurang
disiplin dalam berlalu lintas. Kecelakaan sering terjadi bukan karena para pelaku transportasi
buta terhadap aturan melainkan karena mereka kurang peduli terhadap peraturan.
Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to
mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Orang yang berperilaku jujur, suka menolong
dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya
dengan personality (kepribadian) seseorang, dimana seseorang bisa disebut orang yang
berkarakter (a person of character) jika tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral.
Literasi karakter menekankan pentingya tiga komponen karakter yang baik yaitu
pengetahuan tentang moral, perasaan tentang moral dan perbuatan bermoral. Moralitas ini
meliputi cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya, kemandirian tanggung jawab dan
kedisiplinan, kejujuran, amanah dan bijaksana, hormat dan santun, dermawan suka tolongmenolong dan gotong-royong, percaya diri, kreatif dan pekerja keras, kepemimpinan dan
keadilan, baik dan rendah hati serta toleransi, kedamaian, dan kesatuan
Foerster (2000) menjelaskan ada empat cara untuk mengubah karakter seseorang,
pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan. Pemahaman norma agama, masyarakat, keluarga, maupun
negara merupakan “imunisasi jiwa” terbaik untuk menolak timbulnya karakter negatif.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip,
tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Ketiga, otonomi. Seseorang
menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat
penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai moral
merupakan tujuan utama dari pendidikan karakter.
Dengan demikian jurang pemisah antara cita-cita moral dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari dapat terus dipersempit. Kematangan keempat karakter ini
memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas
D. Strategi Membangun Literasi
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ungkapan ini sungguh sesuai
dengan kondisi literasi bangsa ini yang masih memprihatinkan. Menilik literasi negara-negara
lain di dunia, Indonesia berada pada urutan ke-95 dari 176 negara, dibawah Malaysia,
Vietnam, Singapura dan Filipina. Perpustakaan Nasional harus bekerja sangat keras untuk
membangun budaya literasi di tanah air.
Strategi yang dapat ditempuh Perpustakaan Nasional adalah pertama, menjadikan
Perpustakaan Nasional RI sebagai sarana transportasi literasi informasi. Hal ini dapat dimulai
dengan menghadirkan situs perpustakaan yang lebih menarik. Ashadi Siregar sebagaimana
dikutip Yusuf Fitri (2004) mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal utama yang harus

5

dipenuhi oleh sebuah media organisasi dalam membangun komunikasi yang baik dengan
audience-nya.
Persoalan pertama, berkaitan dengan substansi informasi yang dimuat. Jika hanya
bersinggungan dengan dengan satu pihak saja (baca organisasi) tanpa memperhatikan pihak
lain, tentunya pihak lain tidak merasa perlu untuk merespon informasi tersebut. Komunikasi
yang searah tentunya sulit diukur kemanfaatannya.
Persoalan kedua, berhubungan dengan bahasa maupun format penyampaian
informasinya. Jika bahasa yang digunakan hanya dipahami oleh pihak organisasi saja, maka
informasi yang disampaikan tidak akan dipahami oleh pihak lain. Contoh mudahnya,
informasi lisan akan lebih tepat jika diterapkan pada orang yang tidak bisa baca tulis.
Persoalan ketiga, menyangkut ketepatan pemilihan waktu informasi disampaikan.
Penyampaian yang terlalu lambat akan menjadikan komunikasi tidak jalan.
Selama ini situs resmi milik Perpustakaan Nasional RI masih berjalan stagnan. Belum
membuat terobosan berarti bagi kepentingan pengguna internet untuk mencari informasi. Para
pengguna internet masih lebih suka mencari informasi melalui mesin pencari google atau
yahoo. Perpustakaan Nasional mestinya berada dalam garda terdepan dalam membuat mesin
pencari informasi “rasa Indonesia”. Bukan sekedar menampilkan indeks artikel atau buku
melainkan kliping digital yang dapat diakses masyarakat secara langsung. Harapan ini tentu
tak berlebihan dalam rangka membudayakan literasi di tanah air.
Di masa depan, situs resmi perpustakaan yang ideal adalah yang berfungsi sebagai
pusat rujukan informasi masyarakat. Jadi, Perpustakaan Nasional RI dituntut berfungsi
sebagai “kantor berita online”. Perpustakaan dapat meniru langkah koran online yang
menghimpun aneka informasi dari masyarakat dan melayankannya kepada masyarakat pula.
Dalam hal ini masyarakat berfungsi sebagai pemberi sekaligus pemakai informasi.
Kedua, menghadirkan perpustakaan seluler. Selama ini, layanan tambahan operator
seluler yang dijalin dengan mitra bisnisnya (content provider) cenderung membunuh literasi
bangsa. Klenikisme dan hedonisme sangat mendominasi. Muatan klenik diwakili oleh
ramalan bintang,primbon, feng shui, dan hong shui. Nuansa hedonisme diwakili oleh sms
selebritis, humor, cinta, dan kencan.
Selain memberikan informasi yang tidak bermutu, layanan tambahan tersebut juga
dijual dengan harga yang terlalu mahal. Akibatnya, banyak konsumen seluler yang pusing
mendadak karena kehilangan pulsa. Ketika mereka sadar pun, sangat sulit untuk
menghentikan. Mengapa ? Karena pihak penyedia jasa layanan biasanya tidak mencantumkan
cara berhenti berlangganan. Mereka hanya mencantumkan cara berlangganan.
Perpustakaan seluler merupakan langkah cerdas bagi Perpustakaan Nasional RI
untuk memberi nuansa cerdas pada dunia seluler di tanah air. Apalagi di era teknologi 3 G,
kehadiran perpustakaan seluler merupakan sesuatu yang ditunggu. Perpustakaan seluler
memberikan informasi seputar informasi sains, teknologi, politik, ekonomi, dan informasi lain
sesuai kebutuhan masyarakat. Untuk mewujudkan ide ini, Perpustakaan Nasional RI dapat
bekerja sama dengan PDII LIPI, Kementrian Riset dan Teknologi, dan Depdiknas.
Biaya untuk mengakses perpustakaan seluler ini harus dirangcang semurah mungkin
karena diperuntukkan bagi misi mencerdaskan bangsa. Rp 400 - 500/ SMS merupakan tarif
yang cukup terjangkau. Selain itu, perpustakaan seluler perlu dirancang dengan sistem sesuai
permintaan pelanggan. Artinya,tanpa permintaan pelanggan tidak ada SMS yang masuk. Hal
ini sangat penting untuk mencegah praktik layanan dari content provider hadir tanpa diundang
yang terbukti merugikan masyarakat.
Ketiga, membudayakan literasi melalui radio. Kalau untuk membudayakan musik
dangdut saja sebuah stasiun televisi swasta rela mendirikan radio dangdut yang tersebar di
kota-kota besar di Indonesia, mengapa untuk membudayakan minat baca dan literasi tidak
ditempuh cara yang sama.
Meskipun telah terjadi revolusi teknologi informasi, radio tetap memiliki pangsa
pasar yang cukup besar. Perpustakaan Nasional dapat mendirikan Perpustakaan FM dengan
memanfaatkan jaringan perpustakaan umum yang berdiri disetiap kabupaten/kota. Program
acara dalam radio ini dirancang untuk membudayakan literasi di masyarakat. Acara bedah

6

buku on air, info buku baru, info penulisan, info sains dan teknologi, jumpa penulis buku,
serta info dunia sastra merupakan menu utama. Selain itu, menu harian seperti musik harus
tetap ada sebagai pemanis acara dalam dosis tepat.
Membudayakan literasi melalui radio merupakan sebuah langkah terobosan untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan arti penting informasi bagi kelangsungan
hidupnya. Hal ini terutama ditujukan bagi masyarakat tipe X. Menurut Douglas Mc Gregor,
Teori X yang merupakan teori tradisional dapat diasumsikan bahwa masyarakat umumnya
tidak suka membaca. Mereka umumnya mau membaca jika ada momentum tertentu seperti
musim ujian sekolah, membuat skripsi, ataupun lomba karya ilmiah. Membaca bagi mereka
merupakan beban tersendiri dan belum menjadi kebutuhan pokok. Mereka lebih suka
mendapatkan informasi dari media non baca seperti radio dan televisi.
Keempat, mempelopori CSR (Corporate Social Responsibility) untuk perpustakaan.
Dana yang merepresentasikan kewajiban sosial perusahaan ini akan lebih bermanfaat jika
diinvestasikan di bidang perpustakaan.
Selama ini kesadaran perusahaan untuk mengalokasikan CSR memang masih rendah.
CSR sekedar difungsikan sebagai sarana propaganda untuk mengangkat citra perusahaan.
Untuk itu, Perpustakaan Nasional RI perlu mengusulkan kepada pemerintah agar membuat
peraturan yang mewajibkan setiap perusahaan untuk mengalokasikan CSR bagi perpustakaan.
Sehingga disamping mencari keuntungan dari masyarakat, perusahaan juga merupakan mitra
masyarakat guna meningkatkan kesadaran literasi masyarakat.
CSR dari perusahaan dapat dimanfaatkan untuk membuka kran informasi di pulaupulau terpencil yang selama ini miskin literasi. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan
kapal buku keliling yang mampu menjangkau pulau-pulau terpencil. Konsep perpustakaan
keliling yang selama ini hanya memanfaatkan mobil, bus, dan sepeda motor untuk
melayankan bahan pustaka sudah saatnya menggunakan alat transportasi yang lebih besar
seperti kapal dan bahkan pesawat terbang.
Menurut Effnu Subiyanto (2007), untuk ukuran Indonesia, CSR memang relatif baru.
Namun perusahaan multinasional di AS, seperti Intel bahkan sudah memelopori CSR pada era
80-an. Seratus eksekutif Intel setiap bulan terjun ke lingkungan terdekat untuk berbagi
pengetahuan dan keterampilan guna memberi dukungan dan memperkuat fundamental
community.
Dalam hal ini, Intel tentu saja tidak mengharapkan keuntungan, namun Intel
mempunyai visi jauh ke depan yang bertujuan melibatkan masyarakat sebagai salah satu
competitive advantage dari Intel. Perusahaan pesawat Boeing, bahkan kini sudah memulai
menerapkan pengelolaan manusia yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar
perusahaan. Definisi "profit" di negara-negara maju memang sudah mengalami reinkarnasi
tidak semata-mata fokus menumpuk laba, tetapi lebih humanis dengan memasukkan unsur
nilai (value).
Kelima, serius dalam memberdayakan perpustakaan desa. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa memiliki peranan yang sangat strategis untuk mengembangkan minat baca
masyarakat. Mengapa ? Karena desa merupakan unit pemerintahan terkecil bersinggungan
langsung dengan rakyat. Selain itu, lebih dari 60 persen rakyat Indonesia tinggal di pedesaan.
Kedudukan desa yang cukup strategis ini merupakan lahan subur bagi Perpustakaan
Nasional RI untuk membumikan budaya literasi di tanah air. Perpustakaan Desa yang selama
ini terpinggirkan dan sudah diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun
1984 dan diperbarui dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3
Tahun 2001 harus diposisikan sebagai transportasi literasi informasi yang utama di tingkat
desa.
Pemberdayaan perpustakaan desa harus berorientasi pada peningkatan sumber daya
manusia desa. Menurut Rogers dan Soemaker (1987), salah satu hambatan dalam upaya
pemberdayaan sumber daya manusia desa adalah adanya mentalitas Lack thingking for the

7

future. Artinya, kemampuan petani sangat terbatas untuk memikirkan masa depannya. Ini
mengakibatkan para petani mengalami kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Sebagai transportasi literasi, peran perpustakaan desa adalah : pertama, memberantas
buta huruf. Data tahun 2006 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun
ke atas yang masih buta aksara tercatat 12,8 juta orang. Dari 12,8 juta warga yang buta aksara
ini 81,3 persen di antaranya tersebar di 10 provinsi yang bisa disebut sebagai kantung-kantung
buta aksara, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara
Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua, Banten, Bali, dan Lampung.
Perpustakaan desa dapat mengadakan kegiatan keaksaraan fungsional dalam bentuk
kelompok belajar membaca dan menulis. Kerala, salah satu negara bagian di India
memberikan suatu bukti bahwa perpustakaan desa mampu memberantas buta huruf. Di
Negara Bagian Kerala, setiap kabupaten memiliki 10 – 100 perpustakaan desa yang sangat
berperan dalam memerangi buta aksara (Kompas, 5 Februari 2007).
Perang terhadap buta aksara dilaksanakan dengan program kursus dua bulan di
perpustakaan-perpustakaan desa, terutama untuk massa petani. Slogan Read and Grow diganti
dengan "untuk menghapus buta huruf dan memperkuat rakyat". Saat itulah dimulainya perang
secara terorganisasi terhadap buta huruf. Tahun 1975, gerakan ini mendapat penghargaan dari
Unesco atas sumbangan pentingnya penghapusan buta huruf dan pendidikan untuk orang
dewasa.
Kedua, meningkatkan kualitas kecapakan hidup masyarakat (life skill). Menurut
WHO (1997), kecakapan hidup (life skills) adalah berbagai ketrampilan/kemampuan untuk
dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi
berbagai tuntuan dan tantangan dalan hidupnya sehari-hari secara efektif.
Untuk meningkatkan life skill, perpustakaan desa perlu didesain sebagai pusat
pembelajaran dan ketrampilan masyarakat desa. Artinya, disamping aktivitas meminjamkan
buku, perpustakaan juga merupakan balai latihan kerja untuk meningkatkan ketrampilan
masyarakat desa. Jadi, di perpustakaan desa masyarakat dapat membaca buku tentang
menjahit sekaligus mempraktikkannya di balai latihan kerja.
Perpustakaan desa juga daat dikembangkan sebagai pusat kebudayaan dan kesenian
masyarakat desa. Aktivitas sastra, teater, dan menari dapat dilakukan di perpustakaan desa.
Dengan demikian kehadiran perpustakaan desa dapat “membuat hidup menjadi lebih hidup”.
Ketiga, membudayakan literasi sejak dini. Perpustakaan dapat membuka layanan bagi
anak usia dini dengan mendirikan Kelompok Bermain. Fokus layanan Kelompok Bermain
(KB) ini adalah mengupayakan agar anak-anak usia dini memiliki minat baca yang tinggi
meskipun mereka belum bisa membaca. Dengan kata lain mereka memiliki kecintaan,
ketertarikan, dan “kegilaan” kepada buku.. Untuk mewujudkan ide ini, perpustakaan desa
perlu melengkapi koleksinya dengan buku-buku anak usia dini.
Menumbuhkan minat membaca jauh lebih penting daripada megajarkan agar anak
usia dini “bisa” membaca. Mengapa ? Karena betapa banyak anak-anak bangsa ini yang bisa
membaca tetapi miskin minat baca. Ketika masih TK mereka begitu semangat dalam
membaca, tetapi tatkala menginjak SD minat bacanya “surut”.
Memberdayakan perpustakaan desa sebagai sarana transportasi literasi bukanlah
utopia. Perpustakaan Nasional RI dapat membuat MOU (Memorandum Of Understanding)
dengan pemerintah kabupaten/kota untuk memberdayakan perpustakaan desa. Dalam hal ini,
Perpustakaan Nasional RI dapat memberikan dana block grant khusus untuk memberdayakan
perpustakaan desa. MOU ini merupakan syarat utama bagi pemerintah kabupaten/kota ketika
mereka mengajukan aneka proposal permintaan block grant perpustakaan umum dan mobil
perpustakaan keliling kepada Perpustakaan Nasional RI. Hal ini merupakan strategi untuk
“menjewer” pemerintah kabupaten/kota agar lebih peduli dengan perpustakaan desa.
E. Kesimpulan
Literasi memiliki arti penting dalam kehidupan. Kesadaran berliterasi akan
mengantarkan sebuah peradaban pada kedudukan yang terhormat. Bangsa yang literate
adalah bangsa yang mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, bangsa yang tidak
literate akan menjelma menjadi sebuah bangsa lemah. Bangsa lemah ini tidak akan pernah
mampu merespon tantangan dan rintangan di masa depan.

8

Literasi informasi merupakan upaya untuk mewujudkan kesadaran akan arti penting
informasi bagi masyarakat. Masyarakat yang berliterasi adalah masyarakat yang memiliki
kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap informasi. Inilah yang disebut dengan
masyarakat yang cerdas.
Sebagai sarana transportasi literasi, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk
menumbuhkan, membudayakan, melayankan, mengembangkan, dan memelihara literasi
informasi dalam kehidupan masyarakat. Artinya, perpustakaan berperan menghantarkan
informasi cerdas yang diperlukan masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
ekonomi, kesehatan, sosial, dan budayanya.

Referensi
Basri, Faisal. Reformasi Birokrasi. Kompas, 16 Juli 2007.
Fitri, Yusuf. 2004. Membangun Citra Perpustakaan Dengan Duta Pustaka. Majalah
Pusdokinfo Duta Pustaka, Volume 6. No. 10 Tahun 2004.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 132/Kep/M.Pan/2002
tentang Jabatan Fungsional Pustakawan.
Lubis, Mochtar. 1977. Manusia Indonesia.
Martianto, Dwi Astuti. 2002. Pendidikan Karakter Paradigma Baru Dalam Pembentukan
Manusia Berkualitas. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Mulyasa,E.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi : Konsep, Karakteristik, dan Implementasi,
Bandung : Remaja Rosda Karya.
Tilaar, H.A.R.1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, Magelang : Indonesia Tera.

DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BIODATA

1. Nama

: Romi Febriyanto Saputro, S.IP

2. Tempat/Tanggal Lahir

: Sragen, 14 Februari 1975

3. Pekerjaan

: PNS

4. NIP.

: 500 105 963

5. Kantor

: UPTD Perpustakaan Umum Dinas P & K Kab. Sragen
Telp. (0271) 892721 Jl. Pemuda No. 1 SRAGEN
Email : perpustakaansragen@yahoo.com

6. Rumah

: Teguhan RT 09 RW 03 No. 34 SRAGEN 57214
Telp. (0271) 892850 HP. 08882911850
Email : romifebri@plasa.com

7. Nomor Rekening

: BCA Cabang Sragen 077 036 1451

9

PENDIDIKAN
8. Tahun 1987

: Lulus SD N 15 SRAGEN

9. Tahun 1990

: Lulus SMP N 1 SRAGEN

10. Tahun 1993

: Lulus SMA N 1 SRAGEN

11. Tahun 1998

: Lulus Diploma III Teknik Elektro UGM
Yogyakarta

12.Tahun 2003

: Lulus Program Studi Administrasi Negara FISIP UT

PEKERJAAN
13. Sejak tahun 1998 sampai sekarang bekerja di UPTD Perpustakaan Kab. Sragen.

PRESTASI MENULIS
14. a. Juara 3 Lomba Penulisan Artikel Seperempat Abad Perpustakaan Nasional RI
Tahun 2005
b. Juara 2 Lomba Karya Tulis Jurnalistik Dompet Dhuafa Republika Tahun 2005
c. Nominasi 10 Besar Lomba Penulisan Cheng Ho dan Kaitannya Dengan
Indonesia Tahun 2005.
d. Juara 2 Smart Article Solo Pos Contest 2005
e. Juara 1 Lomba Penulisan Perpajakan KP4 Kab. Sragen 2006

PENGALAMAN MENULIS
15. Tulisan yang pertama kali dimuat berjudul “ Perpustakaan, Antara Obsesi &
Realitas (Solo Pos, 16 September 2003). Artikel yang lain, antara lain :
a. Relevansi Pengadaan Buku Paket Dalam KBK (Solo Pos, 1 Oktober 2003)
b. Perpustakaan Selama Ramadan (Suara Merdeka, 3 November 2003)
c. Ketika Pornografi Melanda Indonesia (Suara Merdeka, 29 November 2003)
d. Perpustakaan, Sumber Ilmu Yang Terabaikan (Pikiran Rakyat, 2 Februari 2004)
e. Membangun Perpustakaan “Model Puskesmas” (Kompas, 14 September 2004)
f. Bebaskan Pendidikan Dari Belenggu Buku Paket (Kompas, 11 Oktober 2004)
g. Menyoal Kontrak Kerja PNS (Kompas Jateng, 6 Januari 2005)
h. Perpustakaan & Meaningful Learning (Banjarmasin Pos, 2 Februari 2005)
i. Agama & Degradasi Moral Remaja (Solo Pos, 29 April 2005)
j. Perpusda Jateng, Alternatif Ruang Bermain Anak (Kompas Jateng,
31 Mei 2005)
10

k. Quo Vadis Perpustakaan Umum Kota Semarang? (Kompas Jateng,
21 Desember 2005)
l. Memimpikan BOS Untuk Perpustakaan (Kompas Jateng, 27 Desember 2005)
m.Belajar Lagi Bahasa Jawa Kromo Inggil (Kompas Jateng, 30 Januari 2006)
n. Banjir Kok Jadi Tradisi, Tanya Kenapa? (Sindo, 15 Februari 2006)
o. Reaktualisasi UU Karya Cetak & Karya Rekam (Sindo, 2 Maret 2006)
p. Menjadi Pustakawan, Mengapa Takut ? (Kompas Jateng, 3 Oktober 2007)
q. Pemerintahan Berbasis Desa (Kompas Jateng, 30 Desember 2006)
r. Quo Vadis Pengadaan Bahan Pustaka ? (Solo Pos, 3 Februari 2007)
s. Mewujudkan Halte Kota Yang Ramah Informasi (Kompas Jateng, 6 Februari
2007)
t. Quo Vadis RUU Perpustakaan ? (Republika, 13 Maret 2007)

Sragen, 27 Juli 2007

Yang Menyatakan

Romi Febriyanto Saputro, S.IP

11