KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM PEMBAN

1

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
---------

KEWENANGAN PUSAT DAN DAERAH
DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI ERA OTONOMI1
Oleh. Dr. M. Akil Mochtar, S.H., M.H.2

I.

Negara Kesatuan dan Otonomi Daerah
Salah satu permasalahan mendasar organisasi negara adalah pilihan

bentuk negara yang menentukan hubungan di dalam organisasi pemerintahan
di pusat dan daerah. Para pendiri bangsa Indonesia telah memilih bentuk
negara kesatuan yang dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 yaitu
“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.
Ketentuan tersebut tetap dipertahankan oleh MPR yang melakukan perubahan
UUD 1945 pada 1999 hingga 2002. Hal itu menunjukkan bahwa bagi bangsa

Indonesia, bentuk negara kesatuan adalah sesuatu yang diidealkan dan
diposisikan sebagai salah satu prinsip utama yang harus dipertahankan.
Bahkan, dalam Perubahan UUD 1945 juga dihasilkan ketentuan yang
menyatakan bahwa terhadap bentuk negara kesatuan tidak dapat dilakukan
Disampaikan pada Seminar “Relations between Governments at Central and Regional Level” pada
Universitas Tanjungpura, Pontianak. 21 Juli 2010.
2
Hakim Konstitusi.

1

2

perubahan. Pasal 37 Ayat (5) UUD 1945 menegaskan “Khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
Pilihan terhadap bentuk negara kesatuan bukanya tanpa perdebatan.
Adalah Mohammad Hatta yang sejak tahun 1930 sudah menyatakan
pemikiran bahwa Indonesia merdeka sebaiknya berbentuk federal. Hal itu
karena kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Namun pada saat
pembahasan UUD di BPUPKI, Bung Hatta tidak lagi mempersoalkan bentuk

negara kesatuan bahkan pada saat beliau ikut merumuskan Pasal 18 UUD
1945. Perubahan itu terjadi karena argumen-argumen tokoh nasional lain saat
itu cukup meyakinkan bahwa dalam wadah Negara Kesatuan yang dicitacitakan akan mewadahi prinsip desentralisasi.
Dalam suatu negara kesatuan, pemerintahan dapat dijalankan dengan
cara sentralisasi atau desentralisasi. Desentralisasi dari sisi ketatanegaraan
adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerahdaerah sehingga salah satu aspek yang penting di dalamnya adalah hubungan
antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Desentralisasi menjadi
salah satu hal pokok dalam negara demokrasi karena hanya melalui
desentralisasi itulah rakyat memperoleh kesempatan yang semakin luas untuk
turut serta dalam pemerintahan melalui wakil-wakilnya di setiap tingkatan
daerah masing-masing. Dengan adanya desentralisasi tersebut keragaman
daerah juga mendapatkan pengakuan. Selain itu, melalui desentralisasi akan
memperpendek jarak antara organisasi pemerintahan dengan rakyat sehingga
pelayanan publik yang menjadi tugas pemerintahan dapat dinikmati oleh
seluruh rakyat.

3

Kewenangan pemerintah yang diserahkan kepada daerah sebagai
bentuk pelaksanaan asas desentralisasi tersebut menciptakan daerah-daerah

otonom. Dengan demikian substansi otonomi daerah adalah kewenangan
pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom sebagai wujud asas
desentralisasi dalam lingkup negara kesatuan. Pelimpahan tersebut tidak
hanya kepada pemerintahan daerah, tetapi juga kepada masyarakat daerah.
Oleh karena itu daerah otonom didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Adanya otonomi
daerah bermakna bahwa daerah tersebut membuat perundang-undangan
sendiri (peraturan daerah) serta menjalankan pemerintahan sendiri. Rakyat
dalam suatu daerah otonom memiliki hak mengatur dan menjalankan rumah
tangga daerah itu sendiri.

II. Otonomi Daerah Dalam UUD 1945
UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia sejak awal telah
menegaskan dianutnya prinsip otonomi daerah dalam penyelenggaan
pemerintahan. Hal itu tercermin dalam amanat Pasal 18 UUD 1945 Sebelum
Perubahan mengenai pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahan yang ditetapkan dengan
undang-undang. Di dalam Penjelasan pasal tersebut dikemukakan adanya

daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) dan pada daerah-daerah tersebut akan diadakan badan perwakilan
sehingga pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

4

Pentingnya otonomi daerah juga dapat dilihat dari keputusan PPKI
pada 19 Agustus 1945 yang menetapkan pembagian Negara Indonesia
menjadi 8 provinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur.
Provinsi tersebut adalah (1) Jawa Barat; (2) Jawa Tengah; (3) Jawa Timur; (4)
Sumatera; (5) Borneo; (6) Sulawesi; (7) Maluku; dan (8) Sunda Kecil. Selain itu,
Penjelasan UUD 1945 juga mencantumkan adanya lebih dari 250 daerah yang
memiliki susunan pemerintahan tersendiri (zelfbestuurende landschappen dan
volksgemeenschappen).
Walaupun secara tegas UUD 1945 menghendaki adanya otonomi
daerah, namun praktik penyelenggaraannya mengalami pasang surut. Bahkan
kita pernah mengalami puncak-puncak sentralisasi seperti pada masa
diterapkannya demokrasi terpimpin di bawah kekuasaan Presiden Soekarno.
Di awal Orde Baru, pemikiran pentingnya otonomi daerah sempat menguat
dan menjadi salah satu kebijakan yang dituangkan dalam Ketetapan MPRS
Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-Luasnya Kepada

Daerah. Namun idealisme tersebut kembali pupus oleh kebijakan konsolidasi
kekuasaan Orde Baru yang mengarah kepada sentralisasi yang diwujudkan
dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah dan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Sentralisasi dimasa lalu telah mengakibatkan berbagai dampak negatif
seperti kesenjangan pusat dan daerah serta antar daerah. Bahkan sentralisasi
yang dibarengi ketidakadilan juga melahirkan konflik dan gerakan separatisme.
Hal itu menyadarkan bangsa Indonesia terhadap perlunya penyelenggaraan
otonomi daerah. Tuntutan pemberian otonomi daerah kemudian menjadi
bagian dari agenda demokratisasi di era reformasi hingga lahirlah Undang-

5

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah jo Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Kembalinya otonomi daerah tidak hanya diwujudkan
dalam bentuk hukum undang-undang, tetapi juga ditegaskan dalam UUD 1945
melalui


perubahan

yang

dilakukan

oleh

MPR.

Ketentuan

tentang

pemerintahan daerah yang semula hanya diatur dalam satu pasal tanpa ayat
(Pasal 18), diperinci pengaturannya menjadi 3 Pasal (Pasal 18, Pasal 18A,
dan Pasal 18B), yang berisi 11 ayat.
Selain menentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas daerah kabupaten

dan kota, juga ditentukan bahwa masing-masing daerah tersebut mempunyai
pemerintahan daerah yang mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas perbantuan. Pemerintahan daerah menjalankan
otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk melaksanakan
otonomi tersebut pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain (misalnya keputusan gubernur atau keputusan
bupati/walikota).
Selain

mengatur

tentang

prinsip-prinsip

otonomi

daerah

dan


pemerintahan daerah, UUD 1945 pasca perubahan juga menggariskan
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
akan diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keragaman daerah. Bahkan ditegaskan untuk hubungan keuangan, pelayanan

6

umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya harus diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Ketentuan

konstitusional

tersebut

menunjukkan

bahwa


dalam

penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
boleh dilakukan secara sentralisasi, tetapi harus merupakan pemerintahan
yang terdesentralisasi melalui penerapan otonomi daerah. Dengan demikian,
undang-undang yang dibentuk sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan
daerah tidak boleh bersifat sentralistik. Daerah berhak atas otonomi yang
seluas-luasnya dengan batasan prinsip Negara Kesatuan itu sendiri.

III. Pengaturan Kewenangan Pemerintahan Pusat dan Daerah
Salah

satu

konsekuensi

dianutnya

sistem


desentralisasi

yang

menyerahkan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah
adalah perlunya pengaturan hubungan antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah sehingga otonomi daerah di satu sisi dapat dijalankan,
dan di sisi lain prinsip negara kesatuan tidak dilanggar. Kewenangan
pemerintah merupakan dasar utama bagi setiap tindakan dan perbuatan
hukum dari setiap level pemerintahan. Dengan adanya dasar kewenangan
yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh
setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan
perbuatan hukum yang sah. Sebaliknya, apabila tanpa ada dasar kewenangan,
maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level
pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikatakan sebagai pelanggaran
terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik.

7


Secara umum, kewenangan pemerintahan dapat diperoleh melalui
atribusi, delegasi dan mandat serta tugas pembantuan (medebewind). Cara
memperoleh kewenangan tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan
yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara.
Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya
pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional dan lokal atau
level

pemerintahan

atasan

dan

pemerintahan

bawahan.

Selain

itu

pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level pemerintahan yang lebih
tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah (delegans).
Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak,
kewajiban, dan tanggung jawab diantara berbagai level pemerintahan yang
ada. Dengan adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan mandat
dapat

digambarkan

bagaimana

berbagai

level

pemerintahan

tersebut

mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang berbeda antara satu
level pemerintahan dengan level pemerintahan lainnya. Dengan demikian,
terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai level pemerintahan
tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan ruang lingkup
kekuasaan dan tanggungjawab di antara mereka. Oleh karena itu, makna dari
perbedaan

hak,

pemerintahan

kewajiban

yang

ada

dan

tanggungjawab

merupakan

suatu

hal

dari

berbagai

level

yang

secara

pokok

menggambarkan secara nyata kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing
level pemerintahan yang ada di suatu negara.

8

Pasal 18A UUD 1945 memberikan dasar konstitusional pengaturan
hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
sebagai berikut:
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan
kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan

ketentuan

tersebut,

untuk

mengatur

hubungan

kewenangan pusat dan daerah yang diamanatkan UUD 1945 dapat dilakukan
melalui

berbagai

peraturan

perundang-undangan,

mengatur otonomi daerah, atau tersebar di berbagai

baik

yang

peraturan

khusus

perundang-

undangan sektoral lainnya. Hal ini didasarkan pada kenyataaan empiris dan
yuridis yang menggambarkan bahwa materi dan cakupan pengaturan tentang
hubungan kewenangan pusat dan daerah tidak dapat hanya diatur oleh satu
undang-undang. Hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan
sumber daya terkait dengan berbagai sektor lain yang tidak dapat
diperlakukan secara sama. Oleh karena itu diperlukan adanya undang-undang
yang khusus mengatur hubungan kewenangan pusat dan daerah secara
umum serta dibutuhkan pula berbagai undang-undang lainnya yang berkaitan
dengan otonomi daerah.
Undang-Undang UU 32/2004 jo UU 12/2008 yang saat ini menjadi
salah satu dasar pelaksanaan hubungan kewenangan pusat dan daerah lebih
berfokus pada organisasi pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengatur
berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas dari Pemerintah Daerah dalam

9

melaksanakan tugas pokoknya sebagai suatu organisasi pemerintahan di
tingkat lokal dan mempunyai hubungan yang dekat dengan masyarakat
sebagai konstituennya. Sebagai contoh, UU 32/2004 jo UU 12/2008 mengatur
tentang kewenangan daerah sebagai daerah otonom, urusan wajib dan urusan
pilihan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan juga mengatur
tentang perangkat organisasi pemerintahan daerah. Oleh karena itu, undangundang ini merupakan undang-undang yang mengatur tentang organisasi
pemerintahan daerah sebagai bagian dari organisasi pemerintahan negara
kesatuan secara keseluruhan.
Kewenangan sebagaimana diatur dalam UU 32/2004 jo UU 12/2008,
memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan pola UU 22/1999 yang
dituangkan dalam PP No. 25 Tahun 2000. Pola yang dikembangkan UU
22/1999 vide PP 22/2000 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah
dan daerah, di mana sudah ditentukan apa-apa yang menjadi kewenangan
pemerintah dan apa-apa yang menjadi kewenangan propinsi dan apa yang
menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak
temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini undangundang tidak memberi ruang kepada pemerintah untuk mencampuri urusan
yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak
pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.
Di dalam UU 22/1999 yang diatur adalah pembagian urusan
pemerintahan yang dituangkan khusus untuk penyelenggaraan pemerintahan.
Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat
perbedaan yang mendasar. Secara yuridis yang diartikan dengan kewenangan
adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil

10

kebijakan

dalam

rangka

penyelenggaraan

pemerintahan

(Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 2000 pada Pasal 1 angka 3), sedangkan yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri.
Dengan demikian, maka tendensi UU 22/1999 adalah pada kewenangan dan
dengan kewenangan itu daerah menentukan apa-apa yang akan menjadi isi
dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreativitas dan prakarsa daerah
menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, kalau
titik penekanannya pada pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya
sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya kewenangan
daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan. Meskipun UU 32/2004
jo UU 12/2008 masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan
wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan
yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah
untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri.
Undang-Undang 32/2004 jo UU 12/2008 juga menegaskan kembali
kedudukan daerah otonom sebagai bagian integral dari negara kesatuan
Indonesia. Walaupun daerah otonom merupakan badan hukum yang memiliki
hak dan kewajiban mandiri, sebagaimana negara sebagai badan hukum, akan
tetapi kedudukan (pemerintahan) daerah otonom adalah melaksanakan
berbagai kewenangan pemerintahan yang telah didesentralisakan oleh
Pemerintah Pusat, dan kepemilikan kewenangan tersebut tetap berada di
tangan Pemerintah Pusat. Sehingga secara teoritis yuridis, pemerintahan
daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan negara secara

11

keseluruhan. Oleh karena itu, UU 32/2004 jo UU 12/2008 merupakan undangundang yang mengatur bagaimana suatu organisasi pemerintahan negara
dijalankan berdasarkan prinsip lokalitas dan kekhasan di daerah masingmasing
Beranjak dari pengalaman yang ada maka perlu adanya pengaturan
tata hubungan khusus yang khas mengenai hubungan kewenangan
Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. UU 32/2004 jo UU 12/2008
mengatur mengenai organisasi pemerintahan daerah, khususnya yang
berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah, maka
undang-undang yang mengatur hubungan akan melengkapinya dengan
memberikan pengaturan mengenai hubungan kewenangan antara (pemerintah)
nasional atau pusat dengan (pemerintah) daerah, dan juga mengatur
hubungan kewenangan antar daerah otonom di Indonesia.
Undang-undang tersebut merupakan semacam software dari hubungan
kewenangan pusat dan daerah, yang berkaitan dengan norma, prosedur dan
aturan umum hubungan kewenangan, UU 32/2004 jo UU 12/2008 merupakan
hardware, yang berbentuk antara lain organisasi dan para pejabat pelaksana
dari hubungan kewenangan tersebut. Oleh karena itu, diharapkan undangundang yang mengatur hubungan pusat dan daerah mengatur tentang hal-hal
yang lebih bersifat abstrak, sedangkan UU 32/2004 jo UU 12/2008 lebih
banyak mengatur hal-hal yang bersifat konkrit dari pelaksanaan hubungan
kewenangan pusat dan daerah.
Undang-undang hubungan kewenangan secara khusus akan mengatur
materi yang berkaitan dengan prosedur, tata cara, dan hal-hal lain-lainnya
tentang distribusi, atribusi dan delegasi kewenangan, termasuk mengenai

12

tugas pembantuan, dan lain sebagainya. Undang-undang ini akan menata
terjadinya hubungan hukum dan kekuasaan, baik yang bersifat statis maupun
dinamis, dari berbagai level pemerintahan yang ada. Hubungan hukum dan
kekuasaan yang terjadi dilakukan berdasarkan prinsip harmonisasi dan
sinkronisasi di antara level-level pemerintahan yang ada sehingga tidak
menciptakan benturan kepentingan di antara pembuat dan pelaksana
kewenangan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal.
Undang-undang hubungan kewenangan akan mengatur dan menata
integrasi dan sinergi di antara pembuat dan pelaksana kewenangan yang ada
di berbagai level pemerintahan yang ada dan mengatur secara baik koordinasi
dan evaluasi dari hubungan kewenangan yang terjadi di antara para pembuat
dan pelaksana kewenangan tersebut. Oleh karena itu, undang-undang
hubungan kewenangan tersebut sangat mempengaruhi hubungan kerja dan
kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah regional, dan pemerintah
lokal di Indonesia.
Hubungan undang-undang yang mengatur Hubungan Pusat dan
Daerah dan UU 32/2004 jo UU 12/2008 merupakan satu rangkaian undangundang yang mengatur secara umum berbagai hal yang berkaitan dengan
pemerintahan daerah di Indonesia, dan secara khusus mengatur hubungan
kewenangan di antara organisasi dan otoritas pelaksana pemerintahan yang
ada di tingkat pusat dan lokal. Dengan demikian, hubungan antara kedua
undang-undang tersebut dapat disimpulkan sebagai hubungan hukum yang
saling berkait, melengkapi dan tidak terpisahkan antara satu undang-undang
dengan undang-undang lainnya.

13

IV. Penutup
Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa

Indonesia

sebagai suatu negara kesatuan yang menganut prinsip otonomi daerah
memerlukan suatu undang-undang khusus

yang

mengatur hubungan

kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka menciptakan integrasi
dan distribusi kewenangan dari seluruh level pemerintahan yang ada serta
menghindari

terjadi

pemerintahan tersebut.

overlapping

kewenangan

antara

berbagai

level