TABUNGAN GIRO DAN DEPOSITO (1)

TABUNGAN, GIRO DAN DEPOSITO
A. Pengertian
Giro yaitu simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan

cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan.
Tabungan adalah simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syaratsyarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat
lainnya yang dipersamakan dengan itu. Artinya tabungan itu digunakan untuk membuat pengaturan
keuangan dalam jangka pendek.
Deposito adalah simpanan dana berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank. Berbeda dengan tabungan, jika
deposito merupakan pengaturan keuangan untuk jangka panjang.
B. Implementasi
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah

prinsip wadiah dan prinsip mudharabah. Dalam produk rekening tabungan, deposito dan giro,
dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah. Pengertian Wadi`ah
menurut bahasa adalah berasal dari akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip.
Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah adalah titipan
atau simpanan.
Sedangkan dalam prinsip mudharabah dari hasil pengelolaan dananya, Bank syariah akan
membagihasilkan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dan

dituangkan dalam akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak
bertanggung jawab terhadap kerugian yang bukan disebabkan oleh kelalaiannya. Namun, apabila
yang terjadi adalah mismanagement, bank bertanggung jawab penuh terhadap kerugian tersebut.
1. Giro
Dalam ketentuan umum Giro berdasrkan Mudharabah, ada beberapa ketentuan yakni,
dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syari'ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah
keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada
produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah
amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi.
Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas

keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan
yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak
sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip
seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman
Rasulullah SAW’ . Giro ini bersifat titipan. Titipan bisa diambil kapan saja (on call). Tidak
ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athaya) yang bersifat
sukarela dari pihak bank.
2. Tabungan
Ada beberapa ketentuan umum berdasarkan mudharabah Tentang tabungan, diantaranya
dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Bank tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Begitu pula secara teradapat beberapa ketentuan Tabungan berdasarkan wadi’ah,

yakni Bersifat simpanan. Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasar-kan
kesepakatan. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian
(‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
3. Deposito
Ada beberapa ketentuan umum berdasarkan mudharabah Tentang Deposito, diantaranya
Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah
disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti
deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak
perlu dibuat akad baru.
Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank
bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,

bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip
syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukaan rekening. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. Bank tidak diperkenankan
mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.
C. Landasan Hukum

Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29

“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
sukarela di antaramu…”.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283

“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:

“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”.
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 2:

“dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan….”
Hadis Nabi riwayat al-Thabrani:

“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib)

harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
D. Analisis Fiqih
Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29 menjelaskan tentang larangan Allah Subhanahu wa
ta’ala kepada hamba-hamanya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian
yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat. Maksudnya
adalah janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan
dengan melakukan perniagaan yang tifak berdasarkan syariat Islam.
Kemudian dalam ayat tersebut kita juga diperintahkan untuk berniaga menurut peraturan
yang diakui syariat, yaitu perniagaan yang dilakukan suka sama suka antara pihak penjual dan
pembeli, dan carilah keuntungan dengan cara yang diakui syariat.
Artinya jika secara fiqih maka tidak sah jual beli itu kecuali dengan serah terima secara lafzi
(qabul). Karena yang demikian menunjukan adannya suka sama suka sesuai nas ayat. (pendapat
Imam syafii). Namun ada pula berbeda pendapat, dimana mereka mengatakan sebagaimana
ucapan dan perilaku/ perbuatan juga dapat menunjukan kepastian adannya suka sama suka.
Makna suka sama suka adalah saling ridho dan ikhlas antara keduanya, yaitu penjual dan
pembeli. Faktor yang menjukan adanya suka sama suka secara sempurna terbukti adanya khiyar
majlis.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283 kutipan ayat ini menasakh ayat sebelumnnya.
Menurut asy-sya’ibi mengaakan “apabila sebagian dari kalian percaya kepada sebagian yang

lain, maka tidak mengapa jika kalian tidak melakukan pencatatan atau tidak mengadakan

persaksian.”

Kalian yang dimaksud adalah orang yang sedang dalam musafir, kemudian

melakukan transaksi secara tidak tunai hingga batas waktu yang ditentukan. Namun tidak ada
atau tidak mendapatkan seorang sebagai saksi, atau yang mencatatnya. Maka dibolehkan terjadi
suatu akad, namun dengan syarat, diantara keduanya itu saling percaya, dan yang dipercaya itu
diwajibkan untuk kemudian bertanggung jawab atas amanatnya utang). Kemudan Allah
memerintahakan, hendaklah orang dipercaya untuk menanggung amanat tersebut adalah orang
yang bertakqwa kepada Allah.
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: ayat 1 dan 2. Syaikh As Sa'diy berkata, "Ini merupakan
merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin untuk mengerjakan
konsekwensi daripada iman, yaitu memenuhi janji, yakni menyempurnakannya, melengkapinya,
tidak membatalkan dan tidak mengurangi. Hal ini mencakup akad (perjanjian) yang dilakukan
antara

seorang


hamba

dengan

Tuhannya

berupa

mengerjakan

ibadah

kepada-Nya,

mengerjakannya secara sempurna, tidak mengurangi di antara hak-hak itu.
Yang dimaksud ‘uqud adalah perjanjian-perjanjian. Ali ibnu abu talhah meriwayatkan dari
ibnu abbas, yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah, dan hal yang
diharamkan, hal-hal yang fardu dan batasan-batasan hukum29) yang terkandung di dalam Al
Quran. Intinya perintah Allah dalam ayat ini adalah kepada orang yang beriman untuk
bertanggung jawab atas akad atau perjanjian yang dia lakukan

Untuk penjelasan Hadis Nabi riwayat al-Thabrani, kalimat “tidak mengarungi lautan dan
tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak” memilik makna bahwa dalam
transaksi mudharabah itu terdapat banyak resiko. Maka dari itu dalam akad tersebut
diberlakukan kesepakatan untuk menngatasi resiko yang ada.
Kesimpulan dari analisis landasan hukum diatas adalah :
1. Adanya akad wadiah dan mudharabah dalam penerapan tabungan, deposito dan giro adalah
sebuah keniscayaan untuk menghindari kebatilan. Adalah ketiadaan kebatilan dalam akad
wadiah dan mudharabah. Karna akad tersebut menghindari sesuatu yang batil.
2. Keterikatan kesepakatan awal. Hadits peratama hadis Nabi riwayat Ibnu Abbas : terkait
permasalahan mudharabah, harta tidak dibawa mengarungi lautan, tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Tentang resiko, mudharabah akad yg penuh resiko. Dalam
konteks, oarang mentitip uang dengan akad tersebut, masing pihak diberi hak untuk membuat
kspekatan baru untuk mnghndri resiko.
Prasarat moral dan manajerial. Prasarat moral yaitu akad tersebut akan berjalan baik apabila
terdapat kejujuran, terbuka, tidak ada penyembunyian info antar pihak, serta ada usaha yang

kuat untuk menanggung amanat. Sedangkan prasyarat manajerial adalah adanya catatan,
keteraturan, untuk menjamin prasarat moral.
3. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi : Sepakat dalam hal kebaikan bukan kesepakatan yang
diharamkan atau batil. Kesepakatan yang diperkenankan, selama tidak mengharamkan yg

halal. Akad yang berlangsung dalam tabungan, giro, dan deposito adalah kesepakatan baru
yang sesuai syariah untuk kemudian menghidarkan dari sesuatu yang batil atau haram.

DAFTAR PUSTAKA
Al Quran tafsir Ibnu Katsir
Fatwa DSN MUI