Pemertahanan Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada

  diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk., 2003: 588).

  Pemertahanan Bahasa

  Menurut Siregar (1998:2) pemertahananbahasa adalah penggunaan bahasa yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa yang masih terus menggunakan bahasanya pada ranah-ranah penggunaan bahasa yang biasanya secara tradisi dikuasai oleh bahasa tersebut.

  Interferensi

  Interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa; ciri bahasa lain itu masih kentara.

  Interferensi berbeda-beda sesuai dengan medium, gaya, ragam, dan konteks, yang dipergunakan oleh orang yang bilingual itu (Kridalaksana, 1984:76).

  Pergeseran bahasa

  Pergeseran bahasa merupakan suatu guyup (komunitas) meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa lain (Sumarsono, 2004:231)

  Bahasa Batak Toba

  Bahasa Batak Toba adalah salah satu bahasa daerah di Sumatera Utara yang digunakan di daerah sekitardan sekitarnya;meliputi

  Samosir

2.1.5 Kecamatan Pangururan

  Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir.Kabupaten Samosir merupakan kabupaten yang berada di pulau yang dikelilingi oleh Danau Toba, yakni Pulau Samosir. Kabupaten Samosir merupakan daerah yang sering dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.

  Landasan Teori Sosiolinguistik

  Di dalam Kamus Lingustik, (Kridalaksana, 1984), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sosiolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Chaer (1995:4) mengemukakan, sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sisiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.

  Fishman (dalam Umar, 1994:2) menyatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas hubungan antara pemakaian bahasa dan perilaku sosial.

  Bilingulisme atau Kedwibahasaan

  Bilingualisme adalah penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu masyarakat (Kridalaksana, 1984:29).

  Faktor-faktor timbulnya bilingualisme ataukedwibahasaan beranekaragam (Umar, 1994:9) antara lain: Mobilisasi penduduk Terjadinya perpindahan atau mobilisasi mendorong individu atau kelompok untuk mempelajari bahasa di luar bahasanya untuk memperlancar proses komunikasi.

  Gerakan nasionalisme Gerakan nasionalisme juga telah mendorong terjadinya bilingualisme. Gerakan nasionalisme menimbulkan kebutuhan akan adanya bahasa nasional yang digunakan untuk mempersatukan seluruh bangsa atau sebagai bahasa resmi dalam komunikasi formal.

  Pendidikan Di berbagai tempat, telah terjadi perpindahan atau mobilisasi penduduk karena berbagai alasan. Kedwibahasaan dimulai ketika penduduk yang berpindah itu berkontak dengan penduduk pribumi, lalu pihak yang satu mempelajari bahasa pihak lainnya untuk memperlancar proses komunikasi.

  Faktor keagamaan Pelajaran agama atau penyebaran agama menyebabkan orang mempelajari bahasa baik yang digunakan di dalam kitab suci dan literatur keagamaan maupun yang digunakan oleh penduduk yang menjadi sasaran penyebaran agama.

  Pola-pola kedwibahasaan , dalam arti profil kemampuan dan bahasa-bahasa apa yang dipakai, dapat berubah bergantung pada faktor-faktor dalam masyarakat dan tempat tinggal penutur-penutur. Pola kedwibahasaan terdiri dari unsur (1) bahasa yang dipakai, (2) bidang (domain) kebahasaan, (3) teman berbahasa.

  Pemertahanan Bahasa

  Pemertahananbahasa adalah penggunaan bahasa yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa yang masih terus menggunakan bahasanya pada ranah-ranah penggunaan bahasa yang biasanya secara tradisi dikuasai oleh bahasa tersebut (Siregar, 1998:2).

  Faktor-faktor pemertahanan bahasa

  Menurut Siregar(1998:2) pengkajian pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa biasanya mengarah kepada hubungan di antara perubahan atau kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa dengan proses psikologis, sosial, dan budaya yang sedang berlangsung pada saat masyarakat bahasa yang berbeda berhubungan satu sama lain. Pemertahanan bahasa merupakan ciri khas masyarakat dwibahasa atau multibahasa yang dapat terjadi pada masyarakat yang diglostik, yaitu masyarakat yang memepertahankan penggunaan beberapa bahasa untuk fungsi yang berbeda pada ranah yang berbeda pula.Berhasil tidaknya suatu pemertahanan bahasa tergantung pada dinamika masyarakatpemakai bahasa tersebut dalam kaitannya terhadap perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut. Pemertahanan bahasa banyak ditentukan oleh kerentanan masyarakat terhadap proses industrialisasi, urbanisasi, politik, bahasa nasional, dan tingkat mobilitas anggota masyarakat bahasa itu.

  Sikap Bahasa

  Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 1984:177).

  Sumarsono (2004: 363) mengemukakan, sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang sebagian mengenaibahasa tertentu, mengenai obyek bahasa yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu dengan cara yang disenanginya.

2.2.4.1 Jenis-jenis sikap bahasa

  Purba (1996:33) mengemukakan sikap-sikap bahasa dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu: Sikap bahasa positif Pemakaian bahasa yang bersifat positif ialah pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan situasi.

  Garvin dan Mathiot (dalam Purba, 1996: 34) mengemukakan ciri pokok sikap bahasa positif, yaitu: (1). kesetiaan bahasa, adalah sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa mempertahankan kemandirian bahasanya, meskipun apabila perlu, sampai dengan terpaksa mencegah masuknya pengaruh asing; (2). kebanggaan bahasa, merupakan sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lainnya. (3). kesadaran akan adanya norma yang mendorong penggunaan norma bahasa adalah sikap yang mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun, dan layak.

  Menurut Purba, ketiga pengertian tersebut mengandung persamaan, yaitu (1) pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang benar dengan kecermatan pemakaian bentuk bahasa dan struktur bahasa serta pemilihan kata yang tepat dan kesadaran adanya norma bahasa dengan penggunaan bahasa secara cermat, santun, dan layak; (2) pemakaian bahasa dengan baik, wajar dan sesuai dengan situasi sama dengan kebanggaan bahasa yang dijadikan syarat identitas diri dan kelompok serta menghilangkan warna bahasa daerah atau dialeknya dalam pemakaian bahasa nasional.

  Sikap kesetiaan bahasa terungkap jikaorang lebih suka memakai bahasanya sendiri dan bersedia menjaganya terhadap pengaruh bahasa asing yang berlebihan.

  Bertalian dengan sikap kesetiaan bahasa adalah kebanggaan bahasa yang pada gilirannya bertautan dengan ikatan emosional pribadi pada bahasa baku (Purba, :35). Sikap bahasa negatif Adul (dalam Purba, 1996:35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa.

  Garvin dan Mathiot (dalam Purba, 1996:35) memerikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu: (1). Jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, makahal itu merupakan satu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah yang pada gilirannya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali.

  (2). Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggaan kepada bahasa lain yang bukan miliknya. (3). Jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat sampai kepada ketidaksadaran akan adanya norma bahasa.

  Menurut Sumarsono (2002:363), dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial pemakai bahasa, kelompok umur, jenis kelamin dan situasi pemakaian. Apabila seseorang petani, termasuk kelompok etnik Jawa, tetapi sekaligus juga pemakai Bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa dan tua, tentang upacara pengantin khas Jawa, dalam situasi resmi khas Jawa, ia akan cenderung memilih bahasa Jawa yang baku daripada Bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang dipilihnya. Sebaliknya, apabila ia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Hal ini menunjukkan sikap terhadap Bahasa Jawa tidak positif lagi.Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik, mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakuan kaidah gramatikalnya serta kejelasan, keruntunan jalan pikirannya.Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi perbendaharaan bahasa.Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang mengatasi dialek-dialek.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Rumondang (2002), dalam tesisnya Kajian Kasus Tentang Tingkat Pemertahanan

  Bahasa pada Masyarakat Batak Toba di Medan Berdasarkan Pilih Bahasa

  menyimpulkan bahwa masyarakat bahasa pada kelompok orang tua mengacu kepada pola pemertahanan bahasa aktif, sedangkan masyarakat bahasa pada kelompok anak dalam proses pergeseran bahasa yang mengacu kepada pola pemertahanan bahasa pasif.

  Deliana (2000), dalam tesisnya Faktor-Faktor Pemertahanan Bahasa

  

Minangkabau di Kota Medan, Studi Kasus Pedagang-Pedagang Minangkabau

Bilingual di Pasar Sukaramai , meneliti mengenai faktor-faktor yang

  mempengaruhi pemertahanan bahasa daerah Minangkabau di Medan di luar wilayah penggunaan bahasa Minangkabau. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuesioner, dan pengamatan langsung.Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, data dianalisis secara kuantitatif, analisis meliputi frekuensi penggunaan bahasa dan juga melihat hubungan antara penggunaan bahasa dengan faktor-faktor diluar bahasa.

  Apriani (2009), dalam skripsinya Bilingualisme pada Masyarakat Simalungun di

  

Kecamatan Pematang Raya menyatakan penguasaan bahasa secara pasif sudah

  dapat dianggap sebagai bilingualisme. Masyarakat Simalungun di Desa Sondi Raya baik etnis Simalungun maupun etnis pendatang yang ada di Desa Sondi Raya lebih banyak menggunakan bahasa Simalungun daripada bahasa Indonesia.

  Gultom (2012),dalam skripsinya Pergeseran Bahasa Bagi Penutur Bahasa Batak

  

Toba di Kelurahan Titi Rantai Kecamatan Medan Baru menyimpulkan bahwa faktor pendorong yang mengakibatkan pergesaran bahasa Batak Toba di Kelurahan Titi Rantai terdiri atas (1) perpindahan penduduk, (2) pendidikan, (3) perkawinan campuran, (4) faktor bahasa Indonesia. Bahasa Batak Toba dalam ranah keluarga antaretnik yang telah mengalami pergeseran berdasarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari adalah (1) pola hubungan suami ke istri, (2) pola hubungan komunikasi istri ke istri ke suami, dan (3) pola hubungan komunikasi orangtua ke anak.

  Bangun (2012), dalam skripsinya Pola Pemertahanan Bahasa Bagi Penutur

  

Bahasa Karo di Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara ,

  menyimpulkan bahwa bahasa Karo dalam ranah keluarga tetap bertahan bersadarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam kehidupan sehari-hari adalah (1) pola hubungan komunikasi antara suami dengan istri, (2) pola hubungan komunikasi antara istri dengan suami, (3) pola hubungan komunikasi antara orang tua dengan anak, dan (4) pola hubungan komunikasi antara anak dengan anak.