Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PROGRAM

KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persayaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

REBEKKA RISKI ANGGELINA BATUBARA

091301045

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2012/2013


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi in saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juli 2013

Rebekka Riski A. Batubara NIM : 091301045


(3)

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).

Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement

karayawan dan sebaliknya.

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan kerja


(4)

The Relationship between Perception of Occupational Health and

Safety Program and Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).

Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.

Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.

Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety program


(5)

KATA PENGANTAR

Segala pujian dan syukur hannya bagi-Mu ya Bapaku karena hanya dengan berkat, kasih dan penyertaan-Mu saja saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Peneliti juga menyadari bahwa penelitian ini terwujud tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Vivi Gusrini Pohan, M.Sc, M.A selaku dosen pembimbing skripsi peneliti yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti selama proses pembimbingan serta terima kasih atas bimbingan, arahan dan masukan yang telah beliau berikan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Zulkarnain, Ph.D dan Ibu Siti Zahreni, M.Psi selaku dosen penguji yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji peneliti. Terima kasih atas masukan dan saran yang Bapak dan Ibu berikan kepada saya.

4. Keluarga peneliti, Bapak (S.R. Batubara) dan Mama (N. Harahap) yang selalu setia mendoakan dan mendukung saya khususnya selama proses pengerjaan skripsi ini. Terima kasih juga buat kakak saya, Kak Ida yang menjadi tempat saya berdiskusi. Terima kasih atas bantuan dan dorongan semangat dari kakak selama ini.


(6)

5. Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, Psikolog selaku dosen pembimbing akademik peneliti yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada peneliti selama menjalani masa perkuliahan.

6. Kelompok KTB peneliti, Yesyurun New Born (Kak Pipin, Rani Dian, Rani Ketaren dan Reffoni) yang menjadi tempat saya curhat dan saling berbagi. Sungguh bersyukur kita dapat dipersatukan dalam satu kelompok KTB. 7. Teman-teman saya, RanDi, Katriin, Lia, Ori, Tina, Susi, Holy, Repo,

RanKet dan Mayo yang selalu membantu, menyemangati serta menghibur saya di tengah kesibukan kalian masing-masing. Terima kasih atas tawa dan canda kalian selama ini. Trima kasih juga buat teman-teman seperjuangan, angkatan 2009. Sungguh menyenangkan dapat menjadi bagian dari angkatan 2009.

8. PT Perkebunan Nusantara III PKS Sei Daun yang telah menerima dan mengijinkan saya melakukan penelitian. Terima kasih juga kepada staf dan karyawan PT PN III PKS Sei Daun yang telah bersedia menjadi subjek penelitian saya, secara khusus kepada Pak Manurung yang mendampingi saya selama proses pengambilan data serta terima kasih atas masukan dan diskusinya.

9. PT Tapian Nadenggan yang telah mengijinkan saya untuk melakukan pengambilan data untuk uji coba alat ukur penelitian ini. Terima kasih kepada seluruh staf dan karyawan PT Tapain Nadenggan yang telah bersedia menjadi subjek saya.


(7)

10.Semua pihak yang telah mendukung peneliti selama proses pengerjaan skripsi ini, yang namaya mungkin tidak sengaja terlupakan oleh peneliti. Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Peneliti sadar bahwa penelitian ini jauh dari sempurna dan memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat terbuka terhadap kritik, masukan, dan saran yang membangun, yang dapat digunakan untuk perbaikan skripsi ini.

Medan, Juli 2013


(8)

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

ABSTRACT

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian...9

1.Manfaat Teoritis...9

2.Manfaat Praktis...9

E. Sistematika Penulisan...9

BAB II LANDASAN TEORI A.Employee Engagement...11

1. Definisi Employee Engagement...11

2. Aspek-Aspek Employee Engagement...13

3. Teori yang Mendasari Employee Engagement...15


(9)

B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja

(K3)...20

1. Pengertian Persepsi...20

2. Aspek-Aspek Persepsi...21

3. Pengertian Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...21

4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)...23

5. Aspek-Aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja...24

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja..27

C.Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan Employee Engagement...26

D.Hipotesis Penelitian...30

BAB III METODE PENELETIAN A.Identifikasi Variabel Penelitian...32

B.Defenisis Operasional...32

1. Employee Engagement...32

2. Persepsi terhadap Program K3...33

C.Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel...33

1. Populasi...33

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel...34


(10)

1. Skala Engagement...35

2. Skala Persepsi terhadap Program K3...38

E.Validitas, Uji Daya Beda dan Reliabilitas Alat Ukur...40

1. Validitas Skala...39

2. Uji Daya Beda...40

3. Reliabilitas...41

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur...42

1. Skala Engagement...42

2. Skala Persepsi terhadap Program K3...43

G. Prosedur Penelitian...44

1. Persiapan Penelitian...44

2. Uji Coba Alat Ukur...45

3. Pelaksanaan Penelitian...45

H. Metode Analisis Data...46

1. Uji Normalitas...46

2. Uji Linearitas...46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Subjek Penelitian...47

1. Gambaran Subjek Berdasarkan Masa Kerja...47

2. Gambaran Subjek Berdasarkan Pendidikan...48


(11)

1.Hasil Uji Asumsi...49

2.Hasil Utama Penelitian...51

3.Kategorisasi Hasil Penelitian...52

C. Hasil Tambahan...53

1. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Masa Kerja...53

2. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Pendidikan...54

3. Gambaran Engagement Subjek Ditinjau dari Usia...54

D. Pembahasan...54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...60

B. Saran...61

1. Saran Metodologis...61

2. Saran Praktis...62

DAFTAR PUSTAKA...64 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Engagement... 37

Tabel 2 Blue Print Skala Persepsi terhadap Program K3...39

Tabel 3 Distribusi Aitem-aitem Skala Engagement setelah Uji Coba...42

Tabel 4 Distribusi Aitem-aitem Skala Persepsi tehadap Program K3 setelah Uji Coba...43

Tabel 5 Gambaran Subjek Berdasarkan Masa kerja...47

Tabel 6 Gambaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan...48

Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia...49

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov...50

Tabel 9 Hasil Uji Linearitas Persepsi terhadap Program K3 dengan Employee Engagement...51

Tabel 10 Hasil Uji Hipotesis dengan Pearson Product Moment...52

Tabel 11 Nilai Empirik dan Hipotetik Persepsi terhadap Program K3...52

Tabel 12 Kategorisasi Persepsi terhadap Program K3...53

Tabel 13 Nilai Empirik dan Hipotetik Employee Engagement...54

Tabel 14 Kategorisasi Tingkat Engagement Subjek...54

Tabel 15 Perbedaan Engagement Berdasarkan Masa Kerja...55

Tabel 16 Perbedaan Engagement Berdasarkan Pendidikan...56


(13)

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara dan Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan employee engagement. Penelitian ini dilakukan pada 90 orang karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sampling yaitu dengan teknik purposive. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala. Engagement diukur dengan menggunakan Skala Employee Engagement (α = 0,899) dan persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) diukur dengan Skala Persepsi terhadap Program K3 (α = 0,890).

Hasil analisis data menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment yang menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,205 dengan p = 0,026 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara persepsi terhadap program K3 dengan employee engagement yakni semakin positif persepsi terhadap program K3 maka semakin tinggi tingkat engagement

karayawan dan sebaliknya.

Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penilaian karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang dilaksanakan dalam organisasi dapat mempengaruhi tingkat engagement karyawan.

Kata kunci: employee engagement, persepsi, program kesehatan dan keselamatan kerja


(14)

The Relationship between Perception of Occupational Health and

Safety Program and Employee Engagement

Rebekka Riski Anggelina Batubara and Vivi Gusrini R. Pohan

ABSTRACT

This study aims to examine the relationship between perception of Occupational Health and Safety Program and employee engagement. This research was involved of 90 employees who work in an oil palm plantation company. The sampling technique used was purposive sampling and data were collected by using scales. Engagement measured by using Employee Engagement Scale (α = 0,899) and perception of occupational health and safety program measured by using Perception of Occupational Health and Safety Program Scale (α = 0,890).

Data analysis by using Pearson Product Moment produced coeficient corelation 0,205 with p = 0,026. These results indicate that there is a positive relationship between employees perception of occupational health and safety program and employee engagement which is the increased of perception on the occupational helath and safety program, the higher the level of engagement and vice versa.

Implication of this study is that the appraisal of employee on occupational health and safety program are implemented in organization can effect the level of employee engagement.

Keywords: employee engagement, perception, occupational health and safety program


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Karyawan sebagai sumber daya manusia merupakan aset paling penting bagi sebuah perusahaan. Ketatnya persaingan global menuntut perusahaan harus mampu bertahan dan tampil berbeda dengan perusahaan lain dan semua itu dapat didukung dengan adanya sumber daya manusia (SDM) yang handal dan kompeten. Menurut Fisher, Schoenfeldt, dan Shaw (2006), beberapa hal yang dibutuhkan oleh organisasi untuk dapat bersaing adalah sumber daya fisik, sumber keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

Lebih jauh, Fisher et al (2006) mengatakan bahwa faktor SDM dan bagaimana organisasi mengelolanya merupakan faktor yang paling potensial. Faktor produksi, keuangan, teknologi, dan marketing cenderung mudah ditiru. Dasar pengelolaan manusia sebenarnya juga dapat ditiru, namun strategi yang paling efektif bagi organisasi dalam menemukan cara-cara yang unik untuk menarik, mempertahankan, serta memotivasi karyawan mereka lebih sulit untuk ditiru oleh yang lainnya.

Pentingnya keberadaan SDM mendorong perusahaan memberikan perhatian khusus dalam pengelolaan SDM. Pengelolaan sumber daya manusia ini dilakukan dalam suatu bentuk manajemen yang disebut dengan Human Resource Management (Manajemen SDM). Besarnya peranan sumber daya manusia bagi keberhasilan perusahaan menuntut perusahaan untuk dapat mencari dan mempertahankan pekerja yang dapat mendukung tujuan perusahaan. Artinya,


(16)

selain berusaha untuk mendapatkan karyawan yang kompeten melalui proses seleksi, perusahaan juga berusaha untuk memelihara dan mempertahankan karyawan terbaik yang mereka miliki agar tetap berada dalam perusahaan. Holland, Sheehan & De Cieri ( (2007) mengatakan bahwa kebutuhan akan SDM semakin meningkat sehingga argumen bahwa usaha dalam rangka menarik perhatian dan mempertahankan karyawan penting untuk dipertimbangkan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa karyawan yang puas terhadap organisasinya cenderung akan menunjukkan komitmen yang lebih tinggi (Moynihan, Boswell & Boudreau, 2000; Warsi, Fatima dan Sahibzada, 2009; Asikgil, 2011; Samad, 2011; Gharakhani & Eslami, 2012). Oleh karena itu, organisasi berusaha untuk dapat mempertahankan karyawannya dengan memperhatikan kesejahteraannya. Dengan demikian, yang menjadi tugas perusahaan adalah mampu memotivasi dan menunjukkan sejauh mana dukungan perusahaan terhadap karyawan sehingga karyawan akan memberi penilaian positif bagi organisasi.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa kondisi karyawan sangat mempengaruhi perilaku kerja mereka. Salah satu trend topic yang sering dibicarakan oleh para praktisi, konsultan organisasi dan peneliti beberapa tahun terakhir ini adalah employee engagement (Saks, 2006 ; Attridge, 2009; Siddhanta & Roy, 2010). Albrecht (2010) mengatakan bahwa engagement telah menjadi salah satu konsep yang menarik perhatian baik bagi para praktisi maupun di kalangan akademis. Lee (2012) mengatakan bahwa engagement telah menjadi


(17)

perhatian dalam dekade terakhir bagi komunitas pebisnis, konsultan perusahaan dan praktisi. Akan tetapi, dalam komunitas akademis, konsep ini terbilang baru.

Lockwood (2007) mengatakan bahwa engagement kini hadir sebagai faktor penentu keberhasilan bisnis ditengah pasar yang semakin kompetitif. Lebih jauh dijelaskan bahwa engagement dapat menjadi faktor penentu keberhasilan sebuah organisasi. Selanjutnya, Mathapati (2012) mengatakan bahwa sekarang kebanyakan organisasi mulai menyadari bahwa bukan karyawan yang puas yang terpenting dalam peningkatan loyalitas dan produktivitas. Akan tetapi, hanya karyawan yang engaged yang secara intelektual dan emosional terikat dengan organisasinya, bersemangat dan berkomitmen terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi.

Menurut Kahn (1990) karyawan yang engaged secara sadar mengikat dirinya dengan pekerjaannya, dan ketika mereka sudah terikat maka mereka memperkerjakan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif dan emosional selama pelaksanaan pekerjaann. Menurut Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) engagement adalah kondisi karyawan yang ditandai dengan kekuatan, dedikasi dan absorpsi. Lebih jauh, dijelaskan bahwa

engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu. Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh


(18)

makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa engagement berpengaruh positif terhadap peningkatan komitmen karyawan (Hallberg & Schaufeli, 2006),

in-role and extra-role behavior (Bakker, Demerouti & Verbeke, 2004) dan service climate, employee performance, dan kesetiaan pelanggan (Salanova, Agut & Peiro, 2005). Hasil riset Corporate Leader Council pada tahun 2005 menemukan bahwa engagement menyumbang 40% terhadap peningkatan kinerja, 57% untuk bekerja lebih keras, 80% untuk performa yang lebih baik dan 87% untuk kemungkinan menetap dalam organisasi (CPID, 2009). Hasil survei CPID (2006) juga menunjukkan bahwa karyawan yang engaged menunjukkan performa yang lebih baik, lebih sering direkomendasikan, jarang absen dan tingkat keluar dari organisasi yang lebih rendah.

Bertolak belakang dengan hasil di atas, survei juga menunjukkan bahwa banyak karyawan yang tidak engaged. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Blessing White (2011) terhadap karyawan di Amerika Utara, Eropa, India, Asia, Cina, Australia dan New Zealand ditemukan bahwa hanya 31% karyawan yang engaged terhadap organisasinya. Hasil survei The Gallup Organization (2004) menunjukkan bahwa tingkat engagement karayawan di Australia sebesar 18%, China sebesar 12%, Jepang sebesar 9%, New Zealand sebesar 17%, dan Singapura sebesar 9%.

Menurut The Gallup Organization (Blessing White, 2008) karyawan yang tidak engaged menghabiskan pengeluaran perusahaan sebesar $250 hingga $350


(19)

per tahun. Menurut Wah (1999), berdasarkan survei yang dilakukan oleh lebih dari 600 CEO di seluruh dunia, didapatkan bahwa usaha untuk membuat karyawan menjadi engaged terhadap organisasi menjadi satu dari lima permasalahan penting yang dihadapi oleh manajemen.

Hasil penelitian Saks (2006) menemukan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan engagement adalah dengan meningkatkan penilaian karyawan terhadap dukungan organisasi yang mereka terima (perceived organizational support). Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) perceived organizational support (POS) adalah keyakinan karyawan bahwa organisasi memberi nilai terhadap kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Saks (2006) juga mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged.

Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan teori pertukaran sosial dimana ketika karyawan merasakan adanya dukungan yang diberikan oleh organisasi maka kan menimbulkan sebuah kewajiban bagi mereka untuk membalasnya (Saks, 2006). Dengan kata lain, semakin besar dukungan organisasi yang dirasakan maka semakin memunculkan kewajiban bagi karyawan untuk membalas dukungan organisasi yang mereka terima.

Robinson, Perryman, dan Hayday (2004) mengatakan bahwa faktor penggerak yang paling kuat munculnya engagement karyawan adalah perasaan bernilai dan dilibatkan. Lebih jauh, Robinson et al (2004). mengatakan bahwa


(20)

munculnya perasaan bernilai tersebut dapat melalui sejauh mana organisasi

concern terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

Selanjutnya, Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa pengalaman cidera dan kecelakaan saat bekerja mempunyai dampak signifikan terhadap tingkat

engagement karyawan. Karyawan yang tidak memiliki pengalaman cidera ataupun kecelakaaan saat bekerja relatif memiliki tingkat engagement yang lebih tinggi. Penemuan tersebut mengindikasikan pentingnya tindakan pencegahan terjadinya kecelakaan kerja serta kebutuhan akan kebijakan, praktik dan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja.

Berdasarkan data dari Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (dalam Bisnis Indonesia tanggal 1 Juni 2012), angka kecelakaan kerja di Indonesia pada tahun 2011 tergolong masih tinggi, yakni mencapai 99.491 kasus. Tingginya angka kecelakaan kerja di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kurangnya kesadaran perusahaan akan pentingnya implementasi Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) dan performansi K3 (safety performance) di lingkungan kerja.

Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3) merupakan bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif (Santoso, 2004).


(21)

Aplikasi SMK3 di organisasi dapat berbeda sejauhmana komitmen organisasi itu sendiri terhadap topik kesehatan dan keselamatan kerja karyawan. Komitmen yang tinggi terhadap kesehatan dan keselamatan kerja ditunjukkan dengan adanya manajemen tersendiri yang mengatur kesehatan dan keselamatan kerja atau yang lebih dikenal dengan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Akan tetapi, aplikasi SMK3 di organanisasi juga dapat dilaksanakan dalam bentuk program atau yang lebih dikenal dengan program kesehatan dan keselamatan kerja, selanjutnya disebut dengan program K3.

Perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini merupakan sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dalam produksinya, perusahaan ini melakukan pengolahan bahan baku kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit (CPO) dan inti kelapa sawit (kernel). Oleh sebab itu, karyawan sangat sering berhubungan dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya yang dapat merusak kesehatan serta lingkungan fisik yang rentan terhadap resiko kecelakaan. Untuk dapat mengatasi resiko-resiko tersebut maka perusahaan menerapkan program K3 sebagai upaya untuk memberikan perlindungan bagi karyawannya.

Utari dan Margaretha (2011) mengatakan bahwa pelaksanaan K3 dalam organisasi kini dijadikan sebagai strategi oleh banyak perusahaan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa perusahaan telah malaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Survei yang dilakukan oleh Sirota Survey Intelligene (dalam Robertson, Smith & Marcwick, 2009) menunjukkan bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi mereka terhadap tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai tingkat


(22)

engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif terhadap integritas dan ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, komitmen organisasi terhadap K3 dapat menimbulkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi yang kemudian dapat mendorong munculnya engegement

karyawan.

Levinson (2007) mengatakan ketika organisasi menunjukkan komitmen mereka dalam hal peningkatan sumber daya manusia ataupun kondisi lingkungan akan menciptakan makna dan nilai bagi karyawan dan hal ini dapat mendorong munculnya engagement karyawan ketika mereka memahami bahwa komitmen tersebut membuat suatu perbedaan dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa komitmen terhadap tanggung jawab sosial perusahaan, salah satunya pelaksanaan K3, dapat menimbulkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi yang kemudian dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara persepsi karyawan terhadap program K3 dengan employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap program K3 dengan engagement karyawan.


(23)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat dalam menambah wawasan bagi pembaca mengenai Psikologi Industri dan Organisasi khususnya mengenai employee engagement. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan employee engagement dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis antara lain:

a. Untuk mengetahui tingkat engagement karyawan

b. Untuk memberikan informasi mengenai persepsi karyawan terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja dan keterkaitannya dengan engagement.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(24)

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang akan menjadi objek penelitian. Memuat landasan teori tentang employee engagement, persepsi dan implementasi K3. Bab ini juga mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan antara persepsi terhadap program K3 dan employee engagement.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda item dan reliabilitas alat ukur serta metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan yang diungkapkan berdasarkan hasil

penelitian dan saran penelitian yang meliputi saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Robertson dan Cooper (2010) mengatakan bahwa masih terdapat ketidakjelasan definisi dan pengukuran engagement. Robinson et al (2004) mengatakan bahwa engagement didefinisikan dan diukur dengan berbagai cara dan seringkali disamakan dengan konsep organizational commitment dan

organizational citizenship behavior. May, Gilson, dan Harter (2004) mengatakan bahwa engagement juga sering diasosiasikan dengan konsep job involvement dan

flow.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam penelitian tentang

engagement adalah tidak adanya definisi yang universal tentang employee engagement (Kular, Gatenby, Rees, Soane & Truss, 2008). Kahn sebagai tokoh pertama yang mengemukakan engagement, mengatakan engagement sebagai penguasaan karyawan sendiri terhadap peran mereka dalam pekerjaan; dalam

engagement, karyawan memperkerjakan diri mereka sendiri dan mengekspresikannya secara fisik, kognitif, dan emosional (Kahn, 1990). Dengan kata lain, karyawan yang engaged memiliki keterhubungan secara fisik, kognitif, dan emosional dengan peran mereka dalam pekerjaan (Albrecht, 2010). Kahn mengatakan (1990) engagement adalah kehadiran psikologis ketika menduduki atau menjalankan sebuah peran dalam organisasi. Meskipun Kahn mengembangkan model teoritis yang komprehensif, bahwa engagement


(26)

merupakan sebuah kehadiran psikologis saat bekerja, ia tidak membuat definisi operasional terhadap engagement (Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker, 2002).

Rothbard (2001) memperluas definisi Kahn dengan mendefinisikan

engagement sebagai sebuah kehadiran psikologis yang terdiri dari dua dimensi yakni atensi dan absorpsi. Atensi mengacu pada ketersediaan kognitif dan sejumlah waktu yang dihabiskan untuk memikirkan sebuah peran. Sedangkan absorpsi bermakna menjadi tertarik pada sebuah peran dan mengacu pada intensitas fokus seseorang pada sebuah peran.

Konrad (2006) mengatakan bahwa engagement memiliki tiga komponen yang berhubungan yakni aspek kognitif, emosional, dan perilaku. Aspek kognitif meliputi keyakinan pekerja tentang organisasi, pemimpin, dan kondisi kerja. Aspek emosional fokus pada bagaiman perasaan pekerja terhadap organisasi, pemimpin dan kondisi kerjanya serta sejauh mana sikap mereka (positif atau negatif) terhadap organisasi dan pemimpin mereka. Aspek perilaku adalah komponen nilai tambah bagi organisasi dengan adanya discretionary effort yang membuat mereka memberikan waktu ekstra, kekuatan otak dan energi yang dikhususkan untuk tugas dan perusahaan.

Definisi engagement yang lebih luas dan lebih sering dipakai dalam riset

engagement dikemukakan oleh Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (Albrecht, 2010; Lee, 2012). Schaufeli et al (2002) medefinisikan engagement

sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi kerja yang dikarakteristikkan dengan kekuatan, dedikasi, dan absorpsi. Mereka juga


(27)

membedakan engagement dari konstruk-konstruk yang berhubungan dimana mereka mengatakan bahwa engagement merupakan keadaan pikiran dan perasaan yang lebih persisten dan menyeluruh, tidak hanya fokus pada objek, kejadian, individu atau perilaku tertentu (Schaufeli et al, 2002).

Kekuatan mengacu pada tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Dedikasi mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Absorpsi dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Berdasarkan uraian di atas maka definisi engagement adalah keadaan motivasional yang postitif dan memunculkan pemenuhan diri yang dikarakteristikkan dengan kekuatan , dedikasi dan absorpsi.

2. Aspek-Aspek Engagement

Aspek-aspek yang membangun dimensi engagement menurut Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, dan Bakker (2002) adalah:

a. Kekuatan

Dikarakteristikkan dengan energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi, semangat yang bergelora ketika bekerja sedangkan yang memiliki skor


(28)

rendah pada aspek kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat bekerja (Schaufeli dan Bakker, 2003).

b. Dedikasi

Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggaan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka selalu antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka sedangkan individu dengan skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka tidak antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka (Schaufeli dan Bakker, 2003). c. Absorpsi

Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada aspek absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam dalam pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat sedangkan individu dengan skor rendah pada aspek absorpsi tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan waktu (Schaufeli dan Bakker, 2003).


(29)

3. Teori yang Mendasari Engagement

Albrecht (2010) mengatakan ada beberapa teori yang dapat menjelaskan engagement, diantaranya adalah:

a. Job demand-resource theory (JD-R)

Asumsi dasar dari model JD-R adalah bahwa setiap pekerjaan mempunyai faktor resiko tersendiri yang biasanya berhubungan dengan stres dan faktor ini diklasifikasikan dalam 2 kategori yakni tuntutan pekerjaan (job demand) dan sumber daya kerja (job resource). Tuntutan pekerjaan merujuk pada aspek fisik, sosial maupun psikologis dari pekerjaan yang membutuhkan usaha fisik, psikologis maupun keterampilan tertentu. Sumber daya kerja merujuk pada semua aspek fisik, psikologis maupun sosial dalam organisasi yang dapat mendukung penyelesaian tugas, mereduksi tuntutan pekerjaan,dan menstimulasi adanya pembelajaran dan pengembangan personal. Sumber daya kerja dapat mendorong munculnya motivasi intrinsik maupun ekstrinsik karena tersedianya sumber yang mendukung untuk penyelesaian tugas (Bakker & Demerouti, 2007).

Asumsi kedua adalah ada dua proses yang bertolak belakang yang mendasarinya yakni health impairement process dan motivational process. Dalam

health impairement process, tuntutan tugas yang kronis menguras mental dan fisik karyawan yang dapat mebgarah pada penurunan energi. Oleh sebab itu, tuntutan pekerjaan dapat mengarah pada kelelahan, burnout dan masalah kesehatan. Dalam motivational process, sumber daya kerja berkaitan dengan motivasi termasuk komitmen dan engagement (Bakker & Demerouti, 2007).


(30)

Asumsi ketiga adalah kekurangan sumber daya kerja, misalnya kurangnya dukungan sosial dan sedikitnya kontrol, berhunbungan dengan kelelahan dan

burnout yang mengarah pada penurunan tingkat engagement (Bakker & Demerouti, 2007).

b. Social exchange theory (SET)

Menurut Saks (2006) dasar teoritis yang paling rasional dalam menjelaskan engagement adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory). Saks (2006) mengatakan bahwa bedasarkan teori pertukaran sosial, kewajiban dihasilkan oleh serangkaian interaksi timbal balik antara pihak-pihak yang berkaitan. Prinsip dasar dari teori pertukaran sosial ini adalah sebuah hubungan akan berkembang dengan adanya saling percaya, kesetian dan komitmen sepanjang pihak yang terlibat mematuhi aturan pertukaran yang sudah dibuat. Aturan yang dibuat biasanya melibatkan pembayaran timbal balik misalnya, ketika karyawan menerima sumber ekonomi dari organisasi maka mereka akan berkewajiban untuk membalas organisasi misalnya dengan lebih engaged

terhadap pekerjaan mereka.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Engagement

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi engagement antara lain: a. Karakteristik Pekerjaan (Job Characteristic)

Salah satu faktor yang mempengaruhi engagement adalah karakteristik pekerjaan (Saks, 2006). Menurut Kahn (1990) psychological meaningfulness dapat dicapai melalui karakter tugas yang menyediakan pekerjaan yang menantang, bervariasi, membutuhkan berbagai


(31)

keterampilan, kebebasan mengambil keputusan sendiri dan kesempatan untuk membuat suatu kontribusi yang penting.

b. Perceived Organizational Support (POS) dan Perceived Supervisor Support (PSS)

Salah satu aspek penting yang mempengaruhi rasa psychological safety

karyawan adalah sejauh mana dukungan dan kepedulian yang dirasakan oleh karyawan yang diberikan baik oleh organisasi maupun atasannya (Saks, 2006). POS mengacu pada keyakinan umum karyawan bahwa organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka. Dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan akan membuat karyawan merasa bernilai. Robinson et al. (2004) mengatakan bahwa faktor pendorong yang paling kuat munculnya engagement adalah perasaan bernilai dan dilibatkan. Berdasarkan teori pertukaran sosial, POS menciptakan sebuah kewajiban karyawan untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi mencapai tujuannya (Rhoades, Eisenberg & Armeli, 2001). PSS juga merupakan prediktor penting munculnya engagement. Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) mengatakan kurangnya dukungan atasan menjadi faktor penting munculnya burnout.

c. Reward and Recognition

Kahn (1990) mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan bervariasi sejauhmana persepsi mereka terhadap keuntungan yang mereka peroleh dari sebuah peran yang mereka jalani. Saks (2006) mengatakan bahwa


(32)

ketika karyawan menerima reward dan penghargaan dari organisasinya, mereka akan merasa berkewajiban untuk meresponnya dengan meningkatkan tingkat engagement mereka, sesuai dengan teori pertukaran sosial.

d. Distributive dan Procedural Justice

Distributive justice merupakan persepsi terhadap keadilan sebuah keputusan sedangkan procedural justice merupakan persepsi keadilan terhadap proses yang digunakan dalam menentukan dan mendistribusikan

resource yang ada. Ketika karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap keadilan dalam organisasi mereka, mereka akan lebih merasa wajib untuk juga berlaku adil dengan lebih engaged terhadap organisasi mereka (Saks, 2006).

e. Image

Tingginya tingkat engagement karyawan tidak lepas dari tingginya tingkat

engagement konsumen terhadap perusahaan. Dengan kata lain, image

perusahaan di mata konsumen mempengaruhi tingkat engagement

karyawan (Vazirani, 2007). f. Pay dan Benefits

Perusahaan sebaiknya memiliki sistem penggajian sehingga karyawan termotivasi dalam bekerja. Dalam rangka mendorong engagement

karyawan juga seharusnya menyediakan kompensasi dan beberapa keuntungan tertentu bagi karyawan (Vazirani, 2007).


(33)

g. Health and Safety

Penelitian telah mengindikasikan bahwa tingkat engagement rendah jika karyawan merasa tidak aman ketika bekerja. Oleh sebab itu, organisasi seharusnya membuat metode dan sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan (Vazirani, 2007).

h. Job Satisfaction

Hanya karyawan yang puas yang dapat menjadi karyawan yang engaged. Oleh sebab itu, sangat penting bagi organisasi untuk melihat pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dan membuat suatu tujuan karir dimana hal yersebut akan membuat mereka menikmati pekerjaan mereka dan otomatis akan puas dengan pekerjaannya (Vazirani, 2007).

i. Job Resource

Job resource seperti dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, umpan balik, variasi keterampilan, otonomi dan learning opportunities secara positif berhubungan dengan engagement (Bakker dan Demerouti, 2008) . j. Personal Resource

Bakker dan Demerouti (2008) mengatakan bahwa karyawan yang engaged

pada umumnya memiliki karakteristik seperti optimisme, efikasi diri, resiliensi dan active coping style yang membantu mereka untuk mengontrol lingkungannya dan dampaknya dengan baik.

k. Usia, jabatan, status pekerja dan masa kerjaloiol

Berdasarkan hasil survei tahun 2008 (Blessing White, 2011) ditemukan bahwa ada korelasi kuat antara usia karyawan dengan tingkat engagement


(34)

dimana karyawan dengan usia yang lebih tua cenderung lebih engaged. Hasil survei juga menemukan bahwa jabatan juga berkorelasi positif dengan tingkat engagement dimana karyawan dengan jabatan yang lebih tinggi dan kekuasan yang besar cenderung lebih engaged. Menurut Robinson et al (2004) status karyawan mempengaruhi tingkat engagement karyawan dimana karyawan dengan status sebagai karyawan tetap akan cenderung lebih engaged. Robinson et al (2004) juga mengatakan bahwa tingkat engagement karyawan akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya masa kerja.

B.Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) 1. Pengertian Persepsi

Robbins (1998) mengatakan persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna pada lingkungan. Lebih lanjut, Robbins (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah cara individu atau kelompok dalam memandang sesuatu. Persepsi seseorang terhadap suatu realitas akan mendasari perilaku seseorang. McShane & Glinow (2003) mengatakan persepsi adalah proses memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi dalam rangka memberi makna terhadap lingkungan

Walgito (2002) mengatakan bahwa persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan terhadap suatu stimulus yang kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera tersebut. Individu karena memiliki perasaan,


(35)

kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman yang tidak sama menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi terhadap stimulus atau objek yang sama.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses mengorganisasikan, menafsirkan dan memberi makna pada lingkungan yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku yang muncul.

2. Aspek - Aspek Persepsi

Aspek-aspek persepsi menurut Mc Dowwell & Newel (1996) adalah: a. Kognisi : cara berpikir, mengenali, memaknai dan memberi arti suatu

rangsang yaitu pandangan individu berdasarkan informasi yang diterima oleh panca indera, pengalaman atau yang pernah dilihat dalam kehidupan seharihari.

b. Afeksi : cara individu dalam merasakan, mengekspresikan emosi terhadap rangsang berdasarkan nilai-nilai dalam dirinya yang kemudian mempengaruh persepsinya.

3. Pengertian Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Pasal 9 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia dan moral agama”. Untuk mewujudkan perlindungan tenaga kerja tersebut maka pemerintah melakukan upaya pembinaan norma di bidang ketenagakerjaan. Dalam pengertian pembinaan norma ini sudah mencakup pengertian pembentukan, penerapan, dan pengawasan norma itu sendiri (Santoso, 2004).


(36)

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, sebagai pengganti peraturan perundangan di bidang keselamatan kerja yang telah ada sebelumnya yaitu Veilegheids Reglement Stbl. No. 406 tahun 1910, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan dan perkembangan masalah ketenagakerjaan. Walaupun namanya Undang-Undang tentang keselamatan kerja, namun cakupan materinya termasuk pula masalah kesehatan kerja, karena keduanya tidak dapat dipisahkan, jika keselamatan kerja sudah terlaksana dengan baik maka kesehatan kerja pun akan tercapai (Husni, 2001).

Menurut UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23 Kesehatan Kerja adalah suatu upaya penyesuaian antara kapasitas kerja dan lingkungan kerja,agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat sekelilingnya sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian (Argama, 2006).

Husni (2001) menyatakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja harus diterapkan dan dilaksanakan di setiap tempat kerja (perusahaan).


(37)

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik pengertian bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah program yang penerapannya berguna untuk mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan fisik.

4. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Lahey (2007) mendefinisikan persepsi sebagai pemberian arti stimulus yang berbeda dan mempunyai arti yang menimbulkan kesadaran, arti yang diberikan individu terhadap suatu stimulus berdasarkan cara orang tersebut mempolakannya. Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai proses organisasi dan interpretasi informasi yang diterima dari dunia luar.

Persepsi terhadap program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah pandangan karyawan terhadap apa yang diberikan perusahaan yang bertujuan supaya karyawan terjaga dan terjamin keselamatan dan kesehatan kerjanya sebagai bentuk komitmen organisasi terhadap kesejahteraan karyawan. Persepsi disini tidak lepas dari respon kognitif yang mana suatu bentuk usaha untuk memahami pertama apa yang dipikirkan orang sewaktu mereka dihadapkan pada stimulus persuasif, dan kedua bagaimana pikiran serta proses kognitif yang berkaitan menentukan apakah mereka mengalami perubahan sikap dan sejauh mana perubahan itu terjadi .


(38)

Miner (1992) mengemukakan beberapa aspek kesehatan dan keselamatan kerja, yaitu:

a. Pelatihan Keselamatan Kerja

Salah satu pendekatan yang paling penting untuk pencegahan kecelakaan kerja adalah melalui pelatihan. Program pelatihan untuk karyawan baru dan tidak terbiasa melakukan hal-hal yang termasuk dalam isi program keselamatan yang dipertimbangkan. Teknik yang dapat digunakan untuk pelatihan keselamatan misalnya ceramah, peragaan, film dan simulasi kecelakaan.

b. Kontes, Insentif dan Publisitas Keselamatan

Publisitas keselamatan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk. Bentuk yang paling umum digunakan adalah poster, buklet, nota khusus, dan artikel terbitan perusahaan. Mathis dan Jackson (2006) mengatakan bahwa untuk mendukung pelatihan K3 dibutuhkan komunikasi yang terus menerus untuk mengembangkan kesadaran keselamatan. Selain itu, juga dapat dilakukan kontes untuk membantu perkembangan keselamatan. Misalnya dengan melakukan pertandingan antar departemen yang memiliki potensi kecelakaan yang sama. Mathis dan Jackson (2003) mengatakan selain dengan kontes, untuk dapat memotivasi karyawan agar menunujukkan perilaku kerja yang aman, dapat dengan memberikan insentif bagi karyawan yang menununjukkan perilaku kerja yang aman. c. Pengontrolan Lingkungan Kerja


(39)

Perancangan tempat kerja dan peralatan yang digunakan merupakan pendekatan utama untuk mencegah kecelakaan dan yang paling efektif. Peralatan/perlengkapan perlindungan diri atau Personal Protective Equipment (PPE) yang wajib disediakan oleh perusahaan kontraktor untuk semua karyawan : pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup telinga, sarung tangan, helm, masker, jas hujan, sabuk pengaman, tangga, dan P3K. Selain itu, hal lainyang perlu diperhatikan dalam pekerjaan konstruksi, yaitu lokasi pekerjaan dan merokok saat bekerja. Kebersihan tempat bekerja di kantor maupun di lokasi pekerjaan ikut menentukan hasil kerja bagi pekerja konstruksi. Perilaku merokok di lokasi pekerjaan beresiko mengakibatkan terjadinya kebakaran dan juga merugikan kesehatan.

d. Inspeksi dan Disiplin

Inspeksi dapat dilakukan oleh komite keselamatan atau oleh seseorang koordinator keselamatan, Inspeksi harus dilakukan secara teratur. Mathis dan Jackson (2003) mengatakan tahap-tahap investigasi tempat kecelakaan kerja antara lain, meninjau lokasi kecelakaan, mewawancarai pekerja dan saksi-saksi kejadian, membuat laporan dan membuat rekomendasi mengenai perubahan dan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindai kecelakaan serupa.

e. Program Kesehatan

Usaha-usaha peningkatan kesehatan dapat dimulai dengan pemberian informasi dan peningkatan kesadaran karyawan mengenai persoalan


(40)

kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan ini biasanya juga dibarengi dengan program promosi kesehatan dan program kesejahteraan karyawan yang dirancang untuk meningkatkan kesehatan karyawan sebelum muncul masalah, misalnya pemeriksaan kesehatan berkala. Program kesehatan juga dilakukan dengan pemberian jaminan terhadap pengobatan karyawan khususnya akibat kecelakaan kerja.

Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan tempat pengambilan data penelitian ini adalah:

a. Identifikasi sumber bahaya & pengendalian resiko

b. Pemantauan lingkungan kerja dan pengendalian ceceran air dan debu di tempat kerja

c. Indentifikasi pemeriksaaan kesehatan karyawan

d. Inspeksi lingkungan kerja (umum, khusus, dan tidak teratur) e. Pelatihan/simulasi tanggap darurat, peledakan, dan bencana f. Pemeriksaan peralatan tanggap darurat

g. penyuluhan/ceramah K3 dan sosialisasi kebijakan K3 h. Pembuatan/pembersihan rambu-rambu K3

i. Alat perlindungan diri (APD)

6. Tujuan Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Menurut Suma’mur (1989) tujuan kesehatan dan keselamatan kerja adalah sebagai berikut :


(41)

a. Melindungi karyawan atas hak keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.

b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja c. Pemeliharaan sumber produksi dan mempergunakannya secara aman

dan efisien.

C. Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Kesela- matan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

Siagian (1995) mengatakan bahwa dalam persepsi, apa yang dilihat seseorang belum tentu sama dengan fakta yang ada karena adanya motif atau keinginan yang berbeda pada setiap individu. Motif atau keinginan tersebut yang membuat dua individu dapat memandang suatu hal secara berbeda.

Lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh organisasi. Srivastava (2008) mengatakan bahwa karyawan yang menyadari dan merasakan bahwa lingkungan kerjanya cukup aman dan menyenangkan akan mengembangkan sikap positif terhadap berbagai komponen pekerjaan yang kemudian menghasilkan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Persepsi karyawan yang dibentuk oleh kondisi lingkungan kerja yang kemudian dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Karyawan yang merasa bahwa lingkungan kerjanya lebih sehat mempunyai kepuasan kerja yang lebih tinggi (Lowe, Schellenberg & Shannon, 2003). Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor pendorong munculnya engagement karyawan adalah kepuasan kerja.


(42)

Dengan kata lain, persepsi positif karyawan terhadap lingkungan kerjanya yang aman dapat mendorong munculnya engagement karyawan dengan kepuasan kerja sebagai faktor penghubungnya.

Model Job Demand-Job Resource (JDR) menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan yakni kondisi fisik, psikologis, dan sosial lingkungan kerja dapat menjadi sumber stres bagi karyawan. Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi engagement karyawan adalah rasa aman dalam melakukan pekerjaan. Salah satu tujuan program K3 adalah untuk memberikan jaminan terhadap keselamatan karyawan (Suma’mur, 1989). Dengan adanya jaminan tersebut, karyawan akan lebih merasa aman ketika sedang bekerja sehingga dapat mendorong munculnya engagement karyawan.

Robinson et al (2004) mengatakan bahwa salah satu cara untuk membuat karyawan engaged adalah dengan menunjukkan bahwa organisasi peduli terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka dengan demikian akan muncul persepsi positif terhadap organisasi. Lebih jauh, Robinson et al (2004) mengatakan bahwa pengalaman saat bekerja seperti cidera dan kecelakaan kerja mempunyai efek signifikan terhadap tingkat engagement karyawan.

Menurut Husni (2001) tujuan dari program K3 meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial serta mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja. Program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan sehingga


(43)

memunculkan persepsi positif terhadap organisasi dan mendorong munculnya

engagement karyawan.

Berdasarkan teori perceived organizational support (POS), engagement

karyawan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan persepsi positif karyawan terhadap organisasi melalui pemberian dukungan dan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan (Saks, 2006). Lebih jauh, Saks (2006) mengatakan ketika karyawan meyakini bahwa organisasi mereka concern terhadap mereka dan peduli terhadap kesejahteraan mereka maka mereka akan berusaha untuk memenuhi kewajiban mereka terhadap organisasi dan mereka akan menjadi lebih engaged dan program K3 dapat menjadi sarana bagi organisasi untuk menunjukkan seberapa besar kepedulian organisasi terhadap kesehatan dan kesejahteraan karyawan.

Montero dan Araque (2009) mengatakan Corporate Social Responsibility

(CSR) adalah tanggung jawab sosial perusahaan sebagai tindakan sukarela untuk mengintegrasikan kepedulian sosial serta lingkungan dalam setiap pengambilan keputusan di organisasi dan salah satu fokus CSR ini adalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

Survei yang dilakukan oleh Sirota Survey Intelligence menunjukkan bahwa 86% karyawan yang puas dengan komitmen organisasi mereka terhadap CSR mempunyai tingkat engagement yang tinggi dan memiliki pandangan positif terhadap integritas dan ketertarikan organisasi terhadap kesejahteraan mereka (Robertson, Smith dan Marcwick, 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap CSR (Grobs, 2011) menunjukkan bahwa karyawan memberikan


(44)

penilaian positif terhadap organisasi yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap CSR. CSR yang dilaksanakan oleh organisasi menjadi suatu kebanggaan bagi pekerja dan ini tidak lepas dari pandangan positif masyarakat terhadap organisasi itu sendiri .

Vazirani (2007) mengatakan bahwa salah satu faktor yang mendorong munculnya engagement karyawan adalah image organisasi. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan melalui manajemen K3 yang baik akan membentuk

image yang baik bagi organisasi. Dengan kata lain, program K3 dapat mempengaruhi persepsi positif karyawan terhadap organisasi dimana karyawan menunjukkan kebanggaannya terhadap organisasinya. Semakin baik program K3 maka semakin baik image organisasi di mata masyarakat dan semakin tinggi pula tingkat engagement karyawannya.

D. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara. Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu : ada hubungan positif antara persepsi terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan employee engagement, yaitu bila karyawan memiliki persepsi positif terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement juga akan tinggi, demikian sebaliknya, bila karyawan memiliki persepsi negatif terhadap program kesehatan dan keselamatan kerja (K3) maka tingkat engagement akan rendah.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif jenis korelasional dimana tujuan penelitian jenis korelasional adalah untuk menguji hubungan antara dua variabel.

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel tergantung : employeeengagement

2. Variabel bebas : persepsi terhadap program K3

B. Definisi Operasional

1. Employee Engagement

Engagement adalah evalauasi yang dilakukan oleh karyawan terhadap kondisi kerjanya yang dikarakteristikkan dengan adanya kekuatan, dedikasi dan absorpsi. Engagement diukur dengan menggunakan skala psikologi yang diadopsi dari skala Uterecht Work Engagement Scale (UWES) yang dibuat oleh Schaufeli & Bakker (2003). Semakin tinggi skor subjek maka semakin tinggi pula tingkat

engagement yang dimiliki subjek dan sebaliknya semakin rendah skor subjek maka semakin rendah pula tingkat engagement yang dimiliki subjek.

2. Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Persepsi terhadap program K3 adalah evaluasi karyawan terhadap pelaksanaan program K3. Persepsi terhadap program K3 diukur dengan menggunakan skala yang membuat aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja


(46)

yakni pelatihan keselamatan kerja, publisitas, pengontrolan kerja, inspeksi dan disiplin dan program kesehatan. Semakin tinggi skor subjek maka karyawan memiliki persepsi positif terhadap program K3 dan sebaliknya semakin rendah skor subjek maka karyawan memiliki persepsi negatif terhadap porgram K3.

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi

Populasi penelitian merupakan individu yang menjadi sumber data penelitian. Populasi adalah keseluruhan dari karakteristik atau unit hasil pengukuran objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian (Hadi, 2000). Sugiyono (2008) mengatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang digunakan untuk menentukan sifat-sifat serta ciri-ciri yang dikendalikan populasi (Hadi, 2000). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik sebagai berikut :


(47)

a. Karyawan tetap

b. Lama bekerja minimal satu tahun dengan asumsi bahwa masa satu tahun karyawan telah memahami nilai, tujuan dan peraturan-peraturan perusahaan (McShane & Glinow, 2000).

c. Tingkat pendidikan minimal SMU atau sederajat dengan asumsi bahwa dengan tingkat pendidikan tersebut karyawan memiliki pemikiran yang lebih kompleks dan mampu merespon skala dengan baik.

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang karakteristik sampelnya sudah diketahui lebih dulu berdasarkan ciri dan sifat populasinya (Hadi, 2000). Populasi dalam penelitian ini berjumlah 204 orang dan ada 180 eksemplar skala yang disebar oleh peneliti. Berdasarkan skala yang telah disebar, ada 144 eksemplar skala yang terkumpul. Skala yang digunakan untuk menjadi data penelitian adalah skala yang memenuhi karakteristik sampel yang telah ditetapkan sebelumnya, memenuhi kelengkapan identitas dan pengisian aitem skala secara lengkap sehingga subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90 orang.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi, yaitu instrumen yang dapat dipakai untuk mengukur atribut psikologis. Menurut Azwar (2009), skala sebagai alat ukur psikologis mempunyai karakteristik tertentu, yaitu :


(48)

a. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang akan diukur melainkan dengan mengungkap indikator perilaku dari atribut tersebut.

b. Indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem sehingga skala psikologi selalu berisi banyak aitem dan kesimpulan hanya akan didapat jika semua aitem direspon.

c. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban benar atau salah. Skala yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala yaitu skala engagement dan skala persepsi terhadap program K3.

1. Skala engagement

Skala engagement bertujuan untuk mengukur tingkat engagement karyawan. Skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek engagement yang dikemukakan oleh Schaufeli et al (2002) yaitu:

a. Kekuatan

Dikarakteristikkan dengan tingkat energi dan resiliensi mental yang tinggi ketika sedang bekerja, kemauan berusaha sunguh-sunguh dalam pekerjaan dan gigih dalam menghadapi kesulitan. Individu yang memiliki skor tinggi pada kekuatan biasanya memiliki energi dan stamina tinggi, semangat yang bergelora ketika bekerja sedangkan yang memiliki skor rendah pada kekuatan memiliki tingkat energi, semangat dan stamina yang rendah saat bekerja.


(49)

Mengacu pada perasaan yang penuh makna, antusias, inspirasi, kebanggan dan tantangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada dedikasi secara kuat mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan karena adanya pengalaman bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu mereka selalu antusiass dan bangga dengan pekerjaan mereka. Sedangkan individu dengna skor rendah tidak mengidentifikasikan diri dengan pekerjaan mereka karena mereka tidak memiliki pengalaman yang bermakna, menginspirasi dan menantang. Selain itu, mereka tidak antusias dan bangga dengan pekerjaan mereka.

c. Absorpsi

Dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, minat yang mendalam terhadap pekerjaan dimana waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan. Individu yang memiliki skor tinggi pada absorpsi biasanya merasa tertarik dengan pekerjaannya, tenggelam dalam pekerjaannya dan sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya. Akibatnya, lupa akan sekelilingnya dan waktu berlalu begitu cepat. Sedangkan individu dengan skor rendah pada absorpsi tidak tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaannya, mereka tidak punya kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan ataupun lupa akan sekeliling dan waktu. Model Skala Engagement dibuat berdasarkan model skala Likert dimana setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan tujuh pilihan jawaban, yaitu Tidak Pernah (TP), Hampir Tidak pernah (HTP), Jarang (J), Kadang-kadang (K), Sering (S), Sangat Sering (SS), dan Selalu (SL). Model skala Likert dengan 7 pilihan


(50)

jawaban dipilih karena disesuaikan dengan skala engagement yang diadopsi oleh peneliti yakni Uterecht Work Engagement Scale (UWES) yang dibuat oleh Schaufeli & Bakker (2003).

Skala yang disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-7. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SL=7, SS=6, S=5, K=4, J=3, HTP=2, dan TP=1 sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable

yaitu: TP=7, HTP=6, J=5, K=4, S=4, SS=2, SL=1. Skor total engagement

karyawan akan dibagi dalam 3 kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi.

Rancangan jumlah aitem skala engagement yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(51)

Tabel 1

Blue Print Skala Engagement

No Aspek Indikator Perilaku Aitem JLH Bobot

(%)

F UF

1. Kekuatan - Memiliki tingkat energi yang tinggi untuk bekerja menghadapi kesulitan

- Memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan gigih - Kemauan untuk

menginvestasikan usaha 1,4,7,10, 16,19,22, 25,33, 13,27,29, 35

13 37,14

2. Dedikasi - Perasaan bermakna dari pekerjaan yang dilakukan

- Bangga dan antusias terhadap pekerjaan

- Merasa tertantang dengan pekerjaan

2,5,11,14, 17,20,23, 26,28,30, 32

8,34 13 37,14

3 Absorpsi - Konsentrasi penuh pada pekerjaan - Tenggelam dalam

pekerjaan yang dilakukan

3,6,12,15, 18,21,24, 31

9 9 25,72

TOTAL 35 100


(52)

Model Skala Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dibuat berdasarkan model skala Likert dimana setiap aitem terdiri dari pernyataan dengan lima pilihan jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (N), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Model skala ini dipilih untuk mengukur derajat kesetujuan subjek terhadap aitem-aitem dan untuk memudahkan subjek dalam merespon maka skala dibuat dalam bentuk 5 pilihan jawaban.

Skala yang disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1-5. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS=5, S=4, N=3, TS=2, STS=1. Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS=1, S=2, N=3, TS=4, STS=5. Skor total persepsi terhadap program K3 yang dimiliki subjek akan dibagi dalam dua kategori yaitu positif dan negatif.

Rancangan jumlah aitem skala persepsi terhadap program K3 adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Blue Print Skala Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan

Kerja (K3)

No Aspek Indikator Perilaku Aitem JLH Bobot

(%)

F UF

1. Pelatihan keselamatan kerja

Pelatihan K3 1,2,24 5,13,25, 26

7 20

2. Publisitas Pembuatan simbol-simbol K3 di lokasi pekerjaan


(53)

3. Pengontrolan Lingkungan Kerja

- Penyedian APD - Lokasi kerja yang

aman dan bersih

8,9,10, 11,12

27,28,29 8 22,86

4. Inspeksi dan disiplin

- Pembentukan komite/koordinator keselamatan - Pengawasan

terhadap

penggunaan APD

15,16,1 8, 30

17,19 6 17,14

5. Program Kesehatan

- Penyediaan klinik P3K

- Jaminan biaya pengobatan akibat kecelakaan kerja

20,21,2 2, 35

23,31,34 7 20

TOTAL 35 100

Model skala engagement dan skala persepsi terhadap program K3 memiliki format respon yang berbeda akan tetapi hal ini tidak mempengaruhi hasil analisis statistik antara kedua variabel. Colman, Norris, & Preston (1997) berdasarkan hasil penelitannya mengatakan bahwa perbedaan jumlah respon skala tidak mempengaruhi hasil korelasi.

E. Validitas, Uji Daya Beda dan Realibilitas Alat Ukur 1. Validitas Skala

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2009). Dalam penelitian ini, validitas yang akan diestimasi yaitu validitas tampang (face validity) dan validitas isi (content validity). Validitas tampang merupakan validitas yang didasarkan pada penilaian


(54)

terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity telah terpenuhi. Validitas isi berkaitan dengan aitem-aitem alat ukur sesuai dengan apa yang akan di ukur. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian isi tes atau aitem pada alat ukur dengan analisis rasional atau melalui professional judgment.

2. Uji Daya Beda

Uji daya beda aitem bertujuan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Pengujian daya beda aitem ini dilakukan dengan komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap aitem dengan skor total aitem itu sendiri, yaitu dengan menggunakan koefisien Pearson Product Moment. Prosedur pengujian ini akan menghasilkan koefisen-koefisien aitem total yang dikenal dengan indeks daya beda aitem (Azwar, 2009).

Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0 sampai dengan 1 dengan tanda positif atau negatif. Semakin mendekati angka 1 maka semakin baik daya diskriminasi aitem dan sebaliknya koefisien yang mendekati angka 0 atau memiliki tanda negatif mengindikasikan daya diskriminasi yang tidak baik. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan r ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga r kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2009).


(55)

3. Reliabilitas Skala

Reliabilitas mengacu pada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2009). Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat tersebut mampu menunjukkan sejauhmana pengukurannya memberi hasil yang relatif sama bila dilakukan pengukuran kembali pada subjek yang sama. Relatif sama berarti tetap ada toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil beberapa kali pengukuran. Bila perbedaan itu sangat besar dari waktu ke waktu maka hasil pengukuran tidak dapat dipercaya dan dikatakan tidak reliabel.

Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS dengan teknik koefisien Alpha Cronbach yaitu dengan membelah aitem sebanyak jumlah aitemnya. Semakin besar koefisien reliabilitas berarti semakin kecil kesalahan pengukuran maka semakin reliabel alat ukur tersebut. Sebaliknya, semakin kecil koefisien reliabilitas berarti semakin besar kesalahan pengukuran maka semakin tidak reliabel alat ukur tersebut.

F. Hasil Uji Coba Alat Ukur 1. Skala Engagement

Uji coba skala engagement dilakukukan terhadap 100 orang karyawan. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 35 aitem skala engagement diperoleh 29 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r ≥ 0.30 ) dengan koefisien alpha sebesar


(56)

0,899. Koefisien korelasi aitem-aitem yang reliabel berkisar antara 0,352 sampai dengan 0,78. Distribusi aitem hasil uji coba dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 3

Distribusi Aitem-aitem Skala Engagement setelah Uji Coba N

o

Aspek Indikator Perilaku Aitem JLH Bobot

(%)

F UF

1. Kekuatan - Memiliki tingkat energi yang tinggi untuk bekerja menghadapi kesulitan - Memiliki tingkat

resiliensi yang tinggi dan gigih

- Kemauan untuk menginvestasikan usaha

1,4,7,10, 16,19, 22,25,33

35 10 34,5

2. Dedikasi - Perasaan bermakna dari pekerjaan yang dilakukan

- Bangga dan antusias terhadap pekerjaan - Merasa tertantang

dengan pekerjaan

2,5,11, 14,17,20, 23,28,30, 32

8,34 12 41,38

3 Absorpsi - Konsentrasi penuh pada pekerjaan - Tenggelam dalam

pekerjaan yang dilakukan

3,6,12,18 ,21,31

9 7 24,12


(57)

2. Skala Persepsi terhadap Program K3

Uji coba skala persepsi terhadap program K3 dilakukan terhadap 100 orang karyawan. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 35 aitem skala persepsi terhadap K3 diperoleh 32 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (r ≥ 0.30 ) dengan koefisien alpha sebesar 0,890. Koefisien korelasi aitem-aitem yang reliabel berkisar antara 0,323 sampai dengan 0,582. Distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala persepsi terhadap program K3 dijelaskan pada tabel berikut:


(1)

Bakker, A.B., Schaufeli, W.B., Leiter, M.P., & Taris, T.W. (2008). Work engagement: an emerging concept in occupational health psychology. Work and Stress, 22 (3), 187-200

Barling, J. & Hutchinson, I. (2000). Commitment vs control-based safety practices, safety reputation, and perceived safety climate. Canadian Journal of Administrative Sciences, 17 (1), 76-84.

Bisnis Indonesia diakses dari http://www.bisnis.com/articles/kecelakaan-kerja-dalam-5-tahun-klaim tanggungan-jamsostek-naik-200-percent

pada tanggal 7 Oktober 2012

BlessingWhite. (2008). The state of employment engagement: North American overview. Princeton, NJ: Author

Blessing White.(2011). Employee engagement report 2011. Princeton, NJ: Author

Chartered Institute Of Personnel And Development (CPID). (2006). How engaged are british employees. London: CIPD

Chartered Institude of Personnel and Development (CIPD). (2009). An HR

director’s guide to employee engagement. Discussion Paper. London: CIPD

Colman, A. M., Norris, C. E., & Preston, C. C. (1997). Comparing rating scales of different lengths: Equivalence of scores from 5-point and 7-point scales. Psychological Reports, 80, 355-362

Dicke, C., Holwerda, J., Kontakos, Anne-Marie. (2007). Employee engagement: What do we really know? What do we need to know to take action?. A Collection of White Paper. Paris: Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS)

Fisher, C.D., Schoenfeldt, L.F. & Shaw, J.B. (2006). Advanced human resource management. Boston: Houghton Mifflin Customer Publishing


(2)

Garakhani, D., & Eslami, J.(2012). Organizational commitment and job satisfaction. ARPN Journal of Science and Technology, 2 (2), 85-91

Grobs, R. (2011). Corporate social responsibility and employee engagement: Making the connection. White Paper, 1-23

Hadi, S. (2000). Metodology research (jilid 1). Yogyakarta: Penerbit Andi

Hallberg, U.E. & Schaufeli, W.B. (2006). Same same’ but different? Can work

engagement be discriminated from job involvement and organizational commitment?. European Psychologist, 11, 119–27.

Holland P, Sheehan, C &De Cieri, H. (2007). Attracting and retaining talent exploring human resources management trends in Australia. Human Resource Development, 10 (3), 247262.

Hurlock, E.B. (1990). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Penerbit Erlangga

Husni. (2001). Pengantar hukum ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Kahn, W.A. (1990). Psychological condition of personal engagement and disengagament at work. Academy of Management Journal, 33, 692-723

Kular, S., Gatenby, M., Rees, C., Soane, E., & Truss, K. (2008). Employee engagement : A literature riview. Kingston University

Konrad, A.M. (2006). Engaging employees through high involvement work practices. Ivey Businees Journal, 1-8

Lahey, B.(2007). Psychology : An Introduction 9th ed. New York : McGraw-Hill Companies


(3)

Lee, Junghoon. (2012). Antecendents and consequences of employee engagement : Empirical study of hotel employees and managers. Disertasi. Kansas State University

Levinson, E. (2007). Authentic corporate social responsibility creates higher employee engagement. Harvard Business School Working Paper, 5, 1-30

Lockwood, N.R. (2007). Laveraging employee engagement for competitive

advantage: HR’s strategic role. Society for Human Resource Management (SHRM) Research Quarterly, 1, 1-10

Lowe, G.S., Schellenberg, G., & Shannon, H.S. (2003). Correlates of employees’

perceptions of a healthy work environment. American Journal of Health Promotion, 17 (6), 390-399

Margaretha, F., & Utari, L. (2011). Evaluasi pengaruh sistem manajemen keselamatan kerja dan kesehatan terhadap PT X. Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia, 2 (2), 34-57

May, D.R., Gilson, R.L., & Harter, L.N. (2004). The psychological condition of meaningfulness, safety and availability and engagement of the human spirit at work. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 77, 11-37

Mc Dowwel, M. & Newel, C. (1996). Measuring health a guide to rating scales and questionnaires (second edition). New York: Oxford University Press

McShane, S., & Glinow. M. (2000). Organizational behaviour. New York : Random House Inc

Maslach, C., Schaufeli, W.B., & Leiter, M.P. (2001). Job burnout. Annual Review of Psychology, 52 397-422

Mathapati, C.M. (2012). Employee engagement: A leader’s priority. International Journal of Research in Marketing, 1, 2, 1-8


(4)

Mathis, R.L., & Jackson, J.H. (2006). Human resource management10th edition (edisi terjemahan). Jakarta: Penerbit Salemba Empat

Miner, J.B. (1992). Industrial-organizational psychology. Singapore : McGraw- Hill

Montero, J.M., & Araque, R.A (2009). Occupational health and safety in the framework of corporate social responsibility. Safety Science, 4, 1440-1445

Moorman, R.H., Blakelly, G.L, & Niehoff, B.P (1998). Does perceived organizational support mediate the relationship between procedural justice?.Academy of Management Journal , 41 (3), 351-357

Moynihan, L.M., Boswell, W.R & Boudreau, J.R. (2000). The influence of job satisfaction and organizational commitment on executive withdrawal and performance. Working Paper Series Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS). Cornell University ILR Study

Rhoades, L., Eisenberger, R. & Armeli, S. (2001). Affective commitment to the organization: the contribution of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 86, 825-36.

Rhoades, L. & Eisenberger, R. (2002). Perceived organizational support:a review of the literature, Journal of Applied Psychology, 87, 698-714.

Robertson, S., Gemma, S. & Marcwick, C. (2009). Employee engagement a riview of current thinking. Institute for Employment Studies

Robertson, I.T. & Cooper, C. L. (2010). Full engagement: the integration of employee engagement and psychological well-being. Leadership & Organization Development Journal, 31 (4), 324-336

Robbins, S. (1998). Perilaku organisasi : Konsep, kontroversi dan aplikasi.. Jakarta: PT Prenhallindo

Robbins, S. (2002). Prinsip-prinsip perilaku organisasi. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga


(5)

Robinson, D.,Perryman, S., & Hayday, S.(2004). The drives of employee engagement. Institude for Employment Studies

Rothbard, N.P. (2001). Enriching or depleting? The dynamics of engagement in work and family roles, Administrative Science Quarterly, 46, 655-84

Saks, A.M. (2006). The antacendents and consequence of employee engagement. Journal of Managerial Psychology , 21(7), 600-619. Emerald Group Publihing Limited

Salanova, M., Agut, S. & Peiro, J.M. (2005). Linking organizational resources and work engagement to employee performance and customer loyalty: The mediation of service climate. Journal of Applied Psychology, 90(6), 1217 - 27.

Samad, S. (2011). The effects of job satisfactionon organizational commitment

and job performance relationship: A case of managers in Malaysia’s

manufacturing companies. European Journal of Social Sciences, 18 (4), 602-611

Santoso, G. 2004. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Prestasi Pustaka, Jakarta

Schaufeli, W., Salanova, M., Gonzales-Roma, V., & Bakker, A.B. (2002). The measurement of employee engagement and burnout: A two sample confirmatory factor analytic approach. Journal of Happiness Studies, 3, hal. 71-92

Schaufeli, W., & Bakker, A. (2003). UWES (Uterecht Work Engagement Scale). Preliminary Manual. Occupational Health Psychology Unit.Utrecht University

Schaufeli, W. B., Bakker, A. B., & Salanova, M. (2006). The measurement of work engagement of with a short questionnaire: A cross-national study. Educational and Psychological Measurement, 66(4), 701-716.


(6)

Siddhanta, A., & Roy, D. (2010). Employee engagement : Engaging the 21st century workforce. Asian Journal Of Management Research, hal.170-189 Smith, C.L. (2012). The perception of organizational prestige and employee

engagement. Thesis. Colorado : Colorado State University

Srivastava, A.K. (2008). Effect of perceived work environment on employees’

job behaviour and organizational effectiveness. Journal of the Indian Academy Of Applied Psychology, 34 (1), 47-55

Suma’mur. (1989). Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung

The Gallup Organisation (2004). [online] diakses dari www.gallup.com

Vazirani, N. (2007). Employee engagement. SIES College of Management Studies Working Paper Series, 5, 1-17

Wah, L. (1999). Engaging employees a big challenge. Management Review, 88(9), 10-18.

Walgito, B. (2002). Psikologi sosial suatu pengantar. Yogyakarta : Penerbit Andi Yogyakarta

Warsi, S., Fatima, N. & Sahibzada, S.A. (2009). Study on relationship between organizational commitment and its determinants among private sector employee of Pakistan. International Review of Business Research Papers, 5 (3), 399- 410

Wulandari, P., & Gustomo, A. (2011). Analisis pengaruh total returns terhadap tingkat engagement dosen Institut Teknologi Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi, 10 (3), 281-297


Dokumen yang terkait

Pengaruh Tingkat Pemahaman Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Manajer Konstruksi Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan suatu Proyek Dilihat dari Sisi Peningkatan Kinerja Waktu dan Biaya Pelaksanaan Proyek di PT. Waskita Karya (Persero) Medan

7 42 200

Analisis Penerapan Program Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Dengan Pendekatan SMK3 dan Risk Assessment Di PT. Kreasi Kotak Megah.

11 166 139

Hubungan Persepsi terhadap Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Produktivitas.

14 71 130

Pelaksanaan Keselamatan, Kesehatan Kerja (K3) Dan Sistem Manajemen K3 (Smk3) Dalam Memberikan Perlindungan Dan Meningkatkan Produktivitas Pekerja (Studi Pada Pt.Telkom Divre I Sumatra Dan Pt.Coca-Cola Bottling Indonesia)

18 134 183

Analisis Tingkat Penerapan Program Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan Pengendalian Hazards dengan Pendekatan Risk Assessment pada PKS Torgamba PT. Perkebunan Nusantara III

5 84 153

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA DENGAN STRES KERJA.

0 0 47

Hubungan antara persepsi terhadap dukungan organisasi dan employee engagement.

0 0 134

Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

1 1 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Employee Engagement 1. Definisi Employee Engagement - Hubungan antara Persepsi terhadap Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dengan Employee Engagement

0 1 20

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PROGRAM KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

0 0 12