Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan

(1)

Rikki Josua Silitonga : Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan, 2008.

USU Repository © 2009

di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Oleh :

RIKKI JOSUA SILITONGA NIM : 040200025

Departemen Hukum Administrasi Negara Program Kekhususan Hukum Perburuhan

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Administrsi Negara

DR. Pendastaren Tarigan,SH.,MS Nip.131410462

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Kelelung Bukit,SH DR. Budiman Ginting,SH.,M.Hum

Nip. 131652411 Nip. 131570456

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semoga Tuhan tetap melindungi pada hari yang akan datang.

Telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa yang hendak menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis memberanikan diri untuk menyusun suatu skripsi dengan judul “Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat

Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Anak: Studi di LSM Yayasan Pusaka Indonesia Medan”.

Kepada Ayahanda T.Silitonga dan Ibunda Dra.N.Pasarib,Msi, terima kasih atas kasih sayang, doa, dan dukungannya, baik dukungan moril maupun materil. Tanpa doa dari kalian mungkin skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membreri dukungan serta doanya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr. Suhaedi,SH., M.H, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS, selaku Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(3)

4. Bapak Kalelung Bukit, SH., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan begitu banyak nasehat dan dukungan yang tak terhingga selama penulis berada di kampus, penulis tidak akan pernah melupakan semua kebaikan dan perhatian beliau;

5. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang membantu dan mendukung penulis di dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih buat kemaklumanya terhadap keterbatasan penelitian ini.

6. Bang Edy Ikhsan, yang telah mengijinkan penulis untuk riset di Pusaka Indonesia, dan seluruh staf Pusaka yang telah membantu penulis dalam memberikan masukan-masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

8. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpusatakaanserta para Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ;

9. Buat sahabat-sahabatku di group A stambuk 04; Sabtia, Tias dkk(jangan kebanyakan gossip di kelas), Ade, Samuel E to`o dkk (sory ya kwn2, kalau berkawan jangan sama sibiru saja, sekali-sekali berbaurla ama si MeRAh, itu kalau ga di marahi ama senior kalian atau doktrinnya emang seperti itu), Soe-Goendo dan 131 IS-nya (makasih ya buat kepercayaanya dalam Pemira, semangat trus ya di PKPA), Rico, Manda, wanda, Dery dkk(woi da lama kita ga main bola ya ama anak PRM)….buat semua kawan-kawan lamaku aku akan tetap mengingat kalian semua.


(4)

10. Kepada teman-teman satu jurusanku: Dedy Yusznizar(thanks ya lae buat dukungan lae dalam PT), Hamdhani dan Firdawaty(my new friend), Edy dan Julianto(bisa la kalian sarja duluan, itupun ga bilang-bilang) ;

11. Buat adik-adik ku Stambuk'07 Akmal, Rio, Adre, dll (sorry ya).

12. Buat Adik-adikku Rebecca Sonia Issabel Silitonga (si gen-gen), Geraldo Silitonga (si brebet), Sarah Silitonga, Adytia Pandapotan Silitonga , Jeremya Silitonga (jangan nakal & rajin belajar ya);

13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu persatu ;

Oleh karena keterbatasan penulis dalam mengerjakan skripsi ini, maka penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis mengharapkan saran ataupun masukan dari pembaca semua.

Akhir kata dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Dan ilmu yang diperoleh penulis dapat dipergunakan dan diterapkan oleh penulis untuk Nusa dan Bangsa.

Harapan Penulis semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap melindungi kita semua.

Medan, Agustus 2008

Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ………... i

DAFTAR ISI ……….. v

ABSTRAKSI ……….. viii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ……….... 1

B. Perumusa masalah………..……….. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……..……….. 9

D. Keaslian Penulisan ……….….. 11

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 11

1. Tinjauan Konseptual …. ……….………... 11

2. Tinjauan Historis, Budaya dan Ekonomi Pekerja Anak………..…..………….... 15

F. Metode Penelitian ………. 17

1. Jenis Penelitian ………... 17

2. Jenis Data dan sumber data ……… 17

3. Metode Pengumpulan Data ……… 18

G. Sistematika Penulisan ………... 19

BAB II PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAPPEKERJA ANAK ..……….. 20

A. Lembaga Swadaya Masyarakat Bagi Pekerja Anak di Sumatera Utara ……….………..……20


(6)

B. Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang Proaktif Dalam Memberikan Advokasi Hukum

Terhadap Pekerja Anak ………....………...……….. 29

C. Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak ....………..32

D.Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak

………...………42

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK

YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM YANG DIBERIKAN OLEH PUSAKA INDONESIA ………. 57

A. Asas-asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak…....…... …….57 B. Perlindungan Pekerja Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidikan

……….………...58 C. Perlindungan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penuntutan ……….64 D. Perlindungan pekerja anak dalam proses peradilan…………...67 E. Perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan..…72

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI PUSAKA INDONESIA DALAM

MEWUJUDKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK……….76

A. Minimnya akses bantuan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum………..……...76


(7)

B. Minimnya Perhatian Pemerintah dalam Persoalan Pekerja Anak

yang Berkonflik Dengan Hukum ..………..…78

C. Upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk Menekan angka Pekerja Anak yang berkonflik dengan hukum ………..81

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 84

A. Kesimpulan ……… 84

B. Saran ……….. 88

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak sebagai generasi penerus bangsa dan sumber daya penggerak pembangunan yang utama dimasa mendatang harus memperoleh kesempatan agar dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik fisik, mental, intelektual maupun sosialnya. Persoalan pekerja anak sebagai salah satu jenis tenaga kerja telah lama menjadi persoalan dalam dunia hukum ketenagakerjaan/perburuhan. Diizinkannya seorang anak bekerja dalam suatu lapangan kerja menimbulkan respon yang berbagai macam dari masyarakat. Banyak kekhawatiran yang muncul dengan keberadaan pekerja anak ini.1 Permasalahan pekerja anak di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak. Kenyataan menunjukkan keluarga miskin sangat membutuhkan pekerjaan bagi anak-anaknya, baik untuk membantu perekonomian keluarganya maupun melangsungkan kehidupannya sendiri. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan juga sebagai pekerja anak yang mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya, maka hal ini dapat dibenarkan.2

1

Tadjuddin Effendi Noer, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Jakarta, Tiara Wacana, 1995, hal. 2

2

Pandji Putranto, Berbagai Upaya Penanggulangan Pekerja Anak, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 15

Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya dan menjaga agar hak-haknya senantiasa dipenuhi.

Konvensi PBB mengenai hak anak pada tahun 1989 mengemukakan hak-hak yang harus diperhatikan pada kehidupan anak. Hak-hak yang dimaksud mencakup :


(9)

1. Hak untuk kelangsungan hidup (hak untuk hidup dan memperoleh perlakuan dan perawatan kesehatan yang mandiri), tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, 2. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtua;

4. Hak mengetahui orangtuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orangtuanya sendiri;

5. Dalam hal karena suatu sebab orangtuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;

7. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan bakatnya;

8. Hak memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat dan hak mendapatkan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan;

9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;


(10)

10. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

11. Hak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial bagi anak yang menyandang cacat. 3

Indonesia merupakan salah satu Negara yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak, melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 36 tanggal 25 Agustus 1990. Berkaitan dengan pekerja anak, Pasal 32 Konvensi Hak anak tersebut menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari pelaksanaan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan anak atau merugikan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak. Dengan diratifikasinya konvensi tersebut, berarti secara hukum Negara berkewajiban melindungi dan memenuhi hak-hak anak, baik hak sipil, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Di samping telah meratifikasi Konvensi PBB mengenai hak-hak anak tersebut, Indonesia juga telah meratifkasi berbagai Konvensi ILO seperti :

1. Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum Anak untuk diperbolehkan bekerja, yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 20 Tahun 2000 dan

2. Konvensi ILO No.. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan segera untuk menghapuskan bentuk-bentuk terburuk pekerjaan anak, yang telah diratifikasi menjadi Undang-undang No. 1 Tahun 2000.

Fakta tersebut penting untuk diperhatikan dalam relevansinya dengan situasi pekerja anak di Indonesia. Badan Pusat Statistika (BPS) mencatat bahwa angkatan


(11)

kerja anak-anak berusia 11 sampai 14 tahun mengalami kenaikan secara absolut dari sekitar 2 juta pada tahun 1980 menjadi 2,5 juta pada tahun 1990. Pada tahun 2006 tercatat bahwa di Indonesia ada sekitar 4,2 juta anak yang bekerja, 1,5 juta anak diantaranya adalah anak perempuan. Tercatat juga ada 2,6 juta anak yang bekerja menjadi Pembantu Rumah Tangga, 93% diantaranya adalah anak perempuan. Data-data tersebut masih akan meningkat, jika tidak karena keterbatasan pelaporan tentang anak-anak yang bekerja di instansi pemerintahan yang masih rendah. Menurut Nachrowi D Nahcrowi dan Salahudin A.M, yang khusus menyoroti perburuhan anak di Indonesia menyatakan ada 6 alasan mengapa buruh anak Indonesia mendapat sorotan yaitu:

1. Meningkatnya jumlah pekerja anak akan menimbulkan dinamika tersendiri dalam proses pembangunan sumber daya manusia selama 25 tahun mendatang (PJP II);

2. Upaya mengantisipasi secara dini permasalahan yang mungkin timbul sebagai akibat bertambahnya jumlah absolut pekerja anak dari tahun ke tahun permasalahan ketenagakerjaan yang mungkin muncul sebagai akibat adanya persaingan dan peningkatan investasi dalam sektor industri;

3. Era ekonomi global telah mengubah sistem perdagangan dunia internasional; 4. Melonjaknya jumlah pekerja anak berimplikasi terhadap pasar kerja;

5. Banyaknya perusahaan industri manufaktur yang mempergunakan tenaga kerja dibawah umur;

3

Edy Ikhsan, Pekerja Anak di Perkebunan Tebu, Lembaga Advokasi Anak Indonesia dan American Center for International Labour Solidarity, Jakarta, 2000, hal. 1


(12)

6. Masih banyaknya pekerja di bawah umur yang harus bekerja tanpa mengetahui hak-hak yang mereka miliki dalam peningkatan kesejahteraan mereka.4

Anak berhak untuk dapat berkembang menjadi orang dewasa yang positif yang mampu mengambil alih tugas dan tanggung jawab orang dewasa di dalam masyarakat. Agar anak dapat berkembang dengan wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya, anak harus diberi kesempatan berada dalam lingkungan keluarga yang bertanggung jawab atas kesejahteraannya. Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk bermain-main, bergembira dan mendapat kesempatan mengikuti pendidikan untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual dan sosialnya. Berkaitan dengan kondisi di atas, wacana yang berkembang berkaitan dengan fenomena pekerja anak belakangan ini memberikan gambaran bahwa anak-anak bekerja baik sebagai sumber tenaga produktif keluarga maupun sebagai penyumbang dalam ekonomi rumah tangga merupakan fenomena yang tidak selayaknya dibiarkan. Sekalipun Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO namun pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas. Telah sejak lama Indonesia lebih memilih kebijakan untuk mentolerir keberadaan pekerja anak dengan memberikan perlindungan terhadap mereka. Sekalipun berbagai peraturan telah ditetapkan untuk melindungi pekerja anak, pada kenyataannya tidak sedikit pengusaha atau majikan yang masih memperlakukan anak-anak dengan buruk, seperti praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi fisik dan mental si anak dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Dalam masyarakat sendiri masih banyak dijumpai anak-anak yang bekerja dalam lingkungan kerja,

4


(13)

peralatan, bahan-bahan produksi, lokasi kerja, lingkungan alam, bahan fisik dan mental yang mengganggu pertumbuhan anak, jam kerja yang berkepanjangan juga mengalami kekurangan gizi akibat pekerjaan yang dilakukan.

Secara umum pemerintah juga membuat suatu undang-undang tentang perlindungan anak, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tersebut diberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat, lembaga swadaya masyarakat untuk menyelenggarakan perlindungan anak.

Dalam Undang-undang Perlindungan anak diatur tentang peran masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap seorang anak yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini diberikan kesempatan bagi Lembaga Swadaya Masyarakat, Serikat Pekerja, Organisasi Buruh untuk turut serta memberikan perlindungan terhadap anak.

Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi kemasyarakatan yang memberikan kepedulian terhadap pembangunan baik di tingkat nasional, kawasan internasional maupun pada tingkat lokal. LSM merupakan mitra pemerintah, yang kegiatannya dapat bergerak dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya atau yang lain. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat yang perduli secara individual memang memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penanganan masalah buruh anak. Harus kita akui bahwa LSM memang sudah senantiasa berjuang mulai dari sejak dahulu dan senantiasa terus berjuang dalam penegakan HAM. Fenomena LSM memang pada awalnya dipandang negatif oleh pemerintah yang dianggap mencampuri secara usil kebijakan-kebijakan pemerintah serta senantiasa melakukan kritik tanpa solusi.

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat judul : “Peranan Lembaga Swadaya


(14)

Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak: Studi di Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia, Medan.

B. Perumusan Masalah

Adapun masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak.

2. Bagaimana proses advokasi hukum / perlindungan hukum yang diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. TujuanPenulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap Perkerja Anak.

2.Untuk mengetahui proses advokasi hukum / perlindungan hukum yang diberikan kepada Pekerja Anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.Untuk mengetahui Kendala apa saja yang dihadapi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak.


(15)

2. Manfaat Penulisan

1. Secara Teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum di Indonesia.

2. Secara Praktis Pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya bagi para pekerja anak mengenai peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak dan juga mengenai proses hukum yang berlaku untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Bagi masyarakat luas, selain daripada pekerja/ buruh dan pengusaha, seperti pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis buruh dan lainnya yang berjuang untuk kepentingan pekerja/ buruh kiranya penulisan skripsi ini dapat menjadi pola upaya perlindungan terhadap pekerja anak juga bahan bacaan yang bisa berguna dalam pengorganisiran dan advokasi pekerja/ buruh dalam mencapai tatanan ketenagakerjaan yang lebih baik sesuai dengan prinsip Hubungan Industrial Pancasila.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini tentang “Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam

memberikan advokasi hukum terhadap Pekerja Anak (Studi pada Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia)”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif, ilmiah melalui data-data referensi dari buku-buku, bantuan dari para narasumber dan pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.


(16)

E. Tinjauan kepustakaan E.1. Tinjauan Konseptual

Menurut Undang-undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian tenaga kerja sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 butir 2 (satu) adalah “ Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Payaman Simanjuntak memberikan definisi tenaga kerja atau man power adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Dan secara peraktis pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan hanya oleh batas umur.5

Iman Soepomo memberikan definisi hukum ketenagakerjaan/ perburuhan sebagai himpunan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.6

Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan ketenagakerjaan menurut Pasal 1 butir 1 (satu) adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. Sedangkan hubungan industrial dalam Pasal 1 butir 16 Jo Pasal 1 butir 1 (satu) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial didefinisikan sebagai suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/ atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/ buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.


(17)

Menurut Manulang bahwa tujuan Hukum Ketenagakerjaan ialah:

a. Untuk mencapai/ melaksanakan keadilan sosial dalam bidang ketenagakerjaan.

b. Untuk melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha.7

Butir (a) lebih menunjukan bahwa hukum ketenagakerjaan harus menjaga ketertiban, keamanan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, untuk dapat mencapai ketenangan bekerja dan kelangsungan berusaha. Sedangkan butir (b) dilatarbelakangi adanya pengalaman selama ini yang kerap kali terjadi kesewenang-wenangan pengusaha terhadap pekerja/ buruh. Untuk itu diperlukan suatu perlindungan hukum secara komprehensif dan konkret dari pemerintah.8

Hukum Ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) dan dapat bersifat publik. Dikatakan bersifat perdata oleh karena sebagaimana kita ketahui bahwa hukum perdata mengatur kepentingan orang perorangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha, yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja, sedangkan mengenai hukum perjanjian terdapat atau diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku III, disamping bersifat perdata juga bersifat publik (pidana), alasannya adalah:

1. Dalam hal-hal tertentu Negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam masalah pemutusan hubungan kerja (PHK);

5

Payaman Simanjuntak, Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia (SDM), Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1985, hal 10.

6

Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan. Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992, hal 3.

7

Sendjun H. Manulang, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 2.


(18)

2. Adanya sanksi-sanksi atau aturan-aturan hukum di dalam setiap undang atau peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Adapun tujuan pembangunan ketenagakerjaan menurut Pasal 4 undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.;

c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan

d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi, asas adil dan merata. Hal ini dilakukan karena pembangunan ketenagakerjaan menyangkut multi dimensional dan terkait dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh.

Budiono membagi sifat hukum ketenagakerjaan menjadi 2 (dua), yaitu bersifat imperatif dan bersifat fakultatif. Hukum bersifat imperatif atau dwingenrecht (hukum memaksa) artinya hukum yang harus ditaati secara mutlak, tidak boleh dilanggar. Sedang hukum bersifat fakultatif atau regelendrecht/ aanvul-lendrecht (hukum yang mengatur/ melengkapi), artinya hukum yang dapat dikesampingkan pelaksanaannya.

8

Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 7.


(19)

Konsepsi anak dalam Konvensi Hak Anak dan juga Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak yang masih dalam kandungan dianggap telah lahir apabila kepentingan anak memerlukan untuk itu, sebaliknya dianggap tidak pernah ada apabila anak meninggal pada waktu dilahirkan.9 Ketentuan ini juga penting untuk mencegah adanya tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab terhadap usaha penghilangan janin yang dikandung seseorang.

Untuk Indonesia terdapat konsepsi yang berbeda-beda dalam penentuan batasan usia anak. Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 6 ayat 2 misalnya memberikan batasan 21 tahun sebagai usia seseorang untuk kawin. Sementara itu Undang-undang kesejahteraan anak No. 4 Tahun 1979 mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah kawin. Dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-12/M/BW/ 1997, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Memperhatikan berbagai batasan tersebut, maka anak dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berusia di bawah 18 tahun.

Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat tahun 1996 memberi batasan bahwa yang termasuk pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10-14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal 1 jam dalam seminggu. Dalam hal ini pekerja anak tidak selalu identik dengan buruh anak. Buruh anak didefinisikan sebagai anak yang bekerja dalam situasi yang biasanya mengandung unsur lingkungan kerja yang membahayakan dan unsur eksploitatif.

9


(20)

Batasan lainnya diungkapkan oleh Horiuchi yang menyebutkan pekerja anak sebagai anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya, yang bertujuan membiayai dirinya dan keluarganya.10 Dalam hal ini aspek usia pekerja anak sama sekali tidak ditentukan. Namun di dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 69 disebutkan bahwa pekerja anak adalah seseorang yang berusia antara 13 sampai 15 tahun (kategori ini ditujukan untuk jenis pekerjaan yang ringan).

E.2. Tinjauan Historis, Budaya dan Ekonomi Pekerja Anak

Fenomena pekerja anak di Indonesia bukanlah hal yang berkembang saat ini saja. Anak-anak yang bekerja di perkebunan misalnya telah ditemui sejak awal abad keduapuluh. Menurut Yasuo Uemura menunjukkan bahwa pada masa itu pemakaian buruh wanita dan anak-anak telah semakin banyak digunakan dalam proses pembudidayaan tebu di suatu perkebunan yang bernama Krian, pada afdeling Sidoarjo.11 Buruh wanita dan anak-anak ini terutama bekerja untuk pemupukan tanaman tebu. Pada waktu yang bersamaan, penggunaan tenaga wanita dan anak-anak juga telah terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau di daerah Sumatera Utara. Pekerjaan yang biasanya mereka lakukan adalah menggantungkan daun tembakau yang sudah dipetik di lumpung pengeringan, mencari ulat tembakau dan menggaru tanah pada masa pemeliharaan tanaman. Pada perkebunan karet di Sumatera Utara pekerja anak biasanya bekerja untuk mengorek karet atau mengangkat sekeranjang karet untuk ditimbang.

Penggunaan tenaga kerja anak dalam ekonomi rumah tangga dengan bekerja mendapatkan upah sendiri juga dapat dilihat pada kehidupan masyarakat pedesaan

10

Ahmad Sofian, dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999,hal 7.


(21)

yang mengalami transisi dan golongan miskin di kota, perubahan kondisi ekonomi akan menuntut adaptasi keluarga dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia terutama dengan memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Jika tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memacahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa pun diikutsertakan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga.

Diluar hal-hal di atas, fenomena pekerja anak dapat dipahami dalam kerangka sistem perekonomian yang kapitalistik. Yaitu untuk meningkatkan produksi dan teknologi dengan menekan biaya produksi dengan jalan menekan biaya pengeluaran untuk upah. Salah satu jalan yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan wanita dan anak. Oleh karena di kebanyakan Negara berkembang wanita dan anak-anak secara kultural dipandang sebagai pencari nafkah kedua dan karenanya dapat dibayar murah, pemilik modal lebih menyukai memperkerjakan mereka sebagai buruh dengan upah yang rendah. Walaupun demikian tidak dapat diabaikan struktur makro yang membingkai fenomena pekerja anak di perkebunan.

F. Metode Pengumpulan Data

Suatu karya tulis ilmiah haruslah disusun berdasarkan data-data yang benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya. Data adalah kumpulan keterangan-keterangan baik tulisan maupun lisan untuk membantu dan menunjang penelitian.

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris.

11

Uemura Yasuo, Perkebunan Tebu dan masyarakat pedesaan di Jawa, dalam Akira Nagazami (editor),Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX dan XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia, Jakarta, 1986, hal 18.


(22)

Metode penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan prilaku manusia yang dianggap pantas.12

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak seperti seminar hukum, majalah-majalah, karya tulis ilmiah yang terkait dengan peran lembaga swadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain,

Sedangkan data primer diperoleh dari penelitian lapangan dengan melakukan wawancara.

12


(23)

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam Penulisan skripsi ini dipergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan, yang berasal dari buku-buku, makalah-makalah, situs internet maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Yaitu dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan. Dalam hal ini penulis langsung mengadakan penelitian ke Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Pusaka Indonesia.

Data sekunder dan primer yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan skripsi ini, yaitu dengan apa yang diperoleh dari penelitian dilapangan yang kemudian dipelajari secara utuh dan menyeluruh untuk memperoleh jawaban permasalahan dalam skripsi ini

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab-bab tersebut tersusun secara sistematik dan saling berkaitan satu dengan yang lain. Uraian singkat bab-bab dan sub bab-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Persada, Jakarta, hal 118.


(24)

BAB II : Merupakan bab yang berisi tentang peran lembaga sawadaya masyarakat dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak, bab ini terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat bagi pekerja anak yang ada di Sumatera Utara, Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia sebagai LSM yang proaktif dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak, Program-program yang dilakukan LSM Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak, Kerja sama LSM dengan pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak.

BAB III : Merupakan bab yang di berisi tentang bagaimana proses advokasi hukum/ perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja anak yang bermasalah dengan hukum menurut peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan, bab ini terdiri dari Asas-asas Hukum Perlindungan Pekerja Anak, Perlindungan Pekerja Anak dalam Proses Pemeriksaan Penyidikan, Perlindungan pekerja anak dalam proses pemeriksaan penuntutan, Perlindungan pekerja anak dalam proses peradilan, Perlindungan pekerja anak pada Lembaga Pemasyarakatan.

BAB IV : Merupakan bab yang menguraikan tentang kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh lembaga swadaya masyarakat dalam mewujudkan advokasi hukum/ perlindungan hukum terhadap pekerja anak, bab ini terdiri dari Minimnya akses bantuan hukum bagi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum, Minimnya Perhatian Pemerintah dalam Persoalan Pekerja Anak yang Berkonflik Dengan Hukum, Upaya yang dilakukan Pusaka Indonesia untuk Menekan angka Pekerja Anak yang berkonflik dengan hukum.

BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi tentang kesimpulan terhadap skripsi dan saran-saran terhadap peranan LSM dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak.


(25)

18

BAB II

PERAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MEMBERIKAN ADVOKASI HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK

A. Lembaga Swadaya Masyarakat bagi pekerja anak yang ada di Sumatera Utara

Memperhatikan percaturan sosial dan politik di Indonesia pada akhir abad ke-20 ini kiranya kita tidak dapat mengabaikan peranan yang dimainkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mulai bermunculan pada awal tahun 1970, kini LSM hadir dalam setiap bidang kehidupan dan dalam beberapa kasus menjadi penggerak utama perubahan di dalamnya. Peranan LSM tersebut adalah melakukan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, yang selama ini menjadi pengendali perubahan dalam skala besar atau melakukan hal yang sama dengan pemerintah tetapi dengan cara yang berbeda. Dengan mempertimbangkan semangatnya yang hendak menciptakan perbedaan ini, serta keberhasilan relatif di tengah ketiadaan kekuatan lain yang berani berhadapan dengan pemerintah, wajar saja kiranya untuk menyebut LSM sebagai salah satu pendorong dinamika sosial dan politik masyarakat. Dalam hubungan dan situasi seperti inilah maka sebagian orang lebih suka menyebut lembaga-lembaga ini sebagai Organisasi Non-Pemerintah, atau Ornop, yang merupakan terjemahan lurus dari istilah Inggris Non-Governmental Organization (NGO). Dalam situasi politik Indonesia di akhir abad ke-20 yang baru saja terbebas dari otoritarinisme ini, LSM boleh jadi tidak perlu lagi menjadi kekuatan penentang pemerintah, melainkan, sesuai dengan namanya sebagai penganjur keswadayaan, berperan sebagai pelopor masyarakat sipil yang masih jauh dari kuat.

Namun demikian, terlepas dari apapun peranan mereka, yang jelas dalam periode sepuluh sampai limabelas tahun terakhir ini telah sangat banyak bermunculan LSM di Indonesia. LSM tidak hanya menawarkan jalan alternatif yang praktis untuk


(26)

kegiatan-kegiatan yang bersifat pembangunan sosial dan ekonomi, tetapi juga kegiatan yang bersifat penyadaran dan pembelaan kepentingan umum. Mereka semua berharap dapat memberdayakan masyarakat dalam berhadapan dengan kekuatan besar pemerintah dan bisnis swasta. Tetapi ada pula LSM yang bergerak dalam bidang-bidang yang sesungguhnya merupakan kepentingan semua orang, seperti lingkungan hidup dan hak konsumen. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemunculan mereka didorong oleh dua hal, kebutuhan riil masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya serta adanya dana bantuan masyarakat luar negeri yang disalurkan langsung kepada masyarakat.

Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) berasal dari suatu seminar yang diselenggarakan Sekretariat Bina Desa (SBD) di Ungaran, Jawa Tengah 1978. Penulis berkonsultasi dengan Prof. Dr. Sayogyo minta pendapat beliau tentang istilah yang sebaiknya dipakai untuk menyebut berbagai kelompok, lembaga atau organisasi yang bermunculan pada waktu itu, yang sangat aktif dalam upaya-upaya pembangunan terutama diantara lapisan masyarakat bawah.

Di kalangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kelompok, lembaga atau organisasi tersebut disebut Non Government Organization (NGO) yang kemudian dalam suatu konferensi (1976) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) diterjemahkan menjadi Organisasi Non Pemerintah (disingkat ORNOP). Penulis merasa kurang "sreg" dengan istilah tersebut. Pertama, karena pengertian organisasi Non Pemerintah dapat mencakup berbagai organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi Pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan pers, paguyuban seni, olah raga dan lain-lain, padahal dengan NGO yang dimaksud lebih khusus yaitu yang berhubungan langsung dengan pembangunan.


(27)

Kedua, dalam sejarah pergerakan, kita mengenal istilah ''Non" dan "Co". Pada waktu pendudukan Belanda ada kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut "golongan Co" dan ada kelompok yang menolak kerjasama disebut "golongan Non". Istilah NGO dapat diartikan atau dituduh sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah. Padahal untuk mencapai tujuan dari kelompok, lembaga atau organisasi tersebut, yaitu meningkatkan keswadayaan dan kemandirian masyarakat yang dilayani, sering perlu banyak bekerjasama dengan Pemerintah.

Dalam mencari istilah Indonesia bagi NGO, penulis kemudian menemukan istilah yang sering dipakai oleh Kementrian Kerjasama International Jerman (Barat) yaitu Self Help Promoting Institute (SHPI) dan Self Help Organization (SHO), masing-masing dimaksudkan sebagai lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong yang lain, sedang yang kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Penulis pikir istilah ini cocok untuk Indonesia. Dan atas saran Prof. Sayogyo kemudian diperkenalkan istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) untuk SHPI dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk SHO.

Dalam Seminar (kerjasama antara SBD dan WALHI) di Gedung YTKI 1981 antara lain dimaksudkan memberi masukan pada Undang-undang Lingkungan Hidup yang sedang disusun DPR, untuk memudahkan pemahaman di masyarakat disepakati menggunakan satu istilah saja yaitu LSM.

Istilah LSM lalu didefinisikan secara tegas dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990, yang ditujukan kepada gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri menyebutkan bahwa LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara Republik Indonesia yang secara sukarela atau


(28)

kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara swadaya.

Dalam Pilot Proyek Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PPHBK) istilah LSM mencakup pengertian LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). PPHBK yang dikelola oleh Bank Indonesia dimaksudkan menghubungkan Bank (formal) dengan KSM (non formal) dalam bidang permodalan. Sejak diperkenalkan Bank Indonesia tahun 1988, skema HBK telah berjalan sangat baik, hingga September 2001, dilaksanakan di 23 propinsi, mencakup lebih dari 1000 kantor bank partisipan, 257 LPSM, 34.227 kelompok swadaya masyarakat dengan anggota sekitar 1.026.810 KK, menyalurkan kredit (akumulasi) Rp 331 milyar, memobilisasi tabungan beku (akumulasi) Rp 29,5 milyar, dan tingkat pengembalian kredit 97,3%.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian LSM mencakup dua kategori yaitu KSM dan LPSM. Disamping itu ada kategori ketiga yang disebut LSM Jaringan, yaitu suatu bentuk kerjasama antara LSM dalam bidang kegiatan atau minat tertentu, misalnya :

1. Sekretariat Bina Desa (SBD), berdiri 1974, merupakan forum dari LSM yang bekerja di kawasan pedesaan

2. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), berdiri 1976, merupakan wadah kebersamaan LSM yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian lingkungan


(29)

3. Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk (FISKA), berdiri 1983, merupakan forum LSM yang bergerak dibidang kependudukan

4. Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI), berdiri 1986, merupakan forum LSM yang bekerja mengembangkan koperasi

5. Forum Pengembangan Keswadayaan (Participatory Development

Forum- PDF), berdiri 1991, merupakan peningkatan dari Forum

Kerjasama LSM -- PBB (NGO - UN Cooperation Forum) yang didirikan pada 1988. PDF menggabungkan berbagai LSM berinteraksi dengan Pemerintah, dunia usaha dan badan-badan Internasional dalam suatu forum untuk mengembangkan peran serta berbagai aktor dalam pembangunan.

LSM tidak hanya muncul dalam dekade 70-an, ada pula yang telah berdiri pada dekade 50-an dan 60-an. Bahkan Budi Utomo dan Serikat Islam yang telah didirikan jauh lebih lama adalah LSM juga. Walaupun pada prinsipnya tujuan LSM dari berbagai jaman adalah sama yaitu mencapai tingkat kemandirian yang lebih tinggi dari masyarakat yang dilayani, tetapi mereka mempunyai motivasi kerja yang berbeda dari jaman ke jaman. LSM jaman penjajahan didirikan dengan motivasi membebaskan diri dari kungkungan penjaiahan dengan upaya pendidikan dan usaha di bidang ekonomi. Sementara LSM dalam jaman Orde Lama menghadapi situasi yang berbeda. Penjajahan oleh bangsa asing sudah tiada, diganti dengan arus berbangsa dan bernegara yang kita kenal dengan istilah "politik komando" atau politik nomor satu. Pada situasi semacam itu motivasi LSM memperjuangkan agar pembangunan mendapat tempat yang memadai yaitu melalui upaya-upaya


(30)

peningkatan keswadayaan rakyat kecil, para petani dan nelayan di desa-desa dan lain sebagainya sambil memperjuangkan suatu kebijakan yang kondusif bagi upaya-upaya tersebut dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kemudian karena situasi dan kondisi berbeda, berbeda pula motivasi kerja LSM di jaman Orde Baru. Pada orde pembangunan ini, LSM berusaha mempersiapkan masyarakat agar berkemampuan memanfaatkan berbagai peluang yang muncul dari proses pembangunan meningkatkan keswadayaan mereka sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan nasional. Selanjutnya dari berbagai pengalaman pelayanan kepada masyarakat disusun model-model pendekatan yang dapat direkomendasikan untuk perbaikan pendekatan pembangunan yang sedang berjalan.

Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan organisasi kemasyarakatan yang memberikan kepedulian terhadap pembangunan baik di tingkat nasional, kawasan internasional maupun pada tingkat lokal. LSM merupakan mitra pemerintah, yang kegiatannya dapat bergerak dalam bidang keagamaan, politik, ekonomi, sosial budaya atau yang lain. Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat yang perduli secara individual memang memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam penanganan masalah buruh anak. Harus kita akui bahwa LSM memang sudah senantiasa berjuang mulai dari sejak dahulu dan senantiasa terus berjuang dalam penegakan HAM. Fenomena LSM memang pada awalnya dipandang negatif oleh pemerintah yang dianggap mencampuri secara usil kebijakan-kebijakan pemerintah serta senantiasa melakukan kritik tanpa solusi.

Sebagai lembaga non-pemerintah yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan kaum lemah dan tertindas, LSM telah memberikan suatu kontribusi yang sangat besar dalam mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.


(31)

Tanpa adanya dorongan advokasi, baik melalui lembaga-lembaga yuridis maupun lembaga non-yuridis dan berbagai fungsi mediasi yang dilakukan oleh berbagai LSM, kecil kemungkinan eksploitasi pekerja anak muncul menjadi isu nasional bahkan internasional. Meskipun, sementara kalangan beranggapan bahwa keberadaan LSM merupakan sesuatu yang kontra-produktif dan bahkan anasionalis karena menggunakan sumber daya internasional yang disinyalir mendapat dukungan politik dari pihak-pihak tertentu untuk menciptakan instabilitas di dalam negeri.

LSM di dalam menangani masalah pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak mengusahakan beberapa kegiatan yang dapat dilakukan seperti misalnya:

1. Menerbitkan buku-buku, poster yang dapat membangkitkan kesadaran hukum masyarakat terhadap hak anak dan mencegah pelanggaran terhadap hak-haknya;

2. Mengusahakan/memperjuangkan kerjasama dengan Departemen-departemen ataupun instansi terkait dalam rangka mewujudkan peraturan perundang-undangan tentang pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak dan pengawasan dalam masyarakat;

3. Menyelenggarakan kursus-kursus kader penyuluhan hukum;

4. Menyelenggarkan forum-forum pertemuan dengan pengusaha agar lebih aktif berpartisipasi dalam pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak demi masa depan generasi penerus bangsa.13

Di Sumatera Utara tercatat ada beberapa LSM yang perduli dengan keberadaan pekerja anak, yaitu:


(32)

2. LAAI (Lembaga Advokasi Anak Indonesia) 3. KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkitaan) 4. Yayasan Handal Mardika

5. Kelompok Pelita Sejahtera

6. PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak) 7. PPAI (Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia) 8. Save The Children

9. Anti-Slavery International (ASI);

10. Lembaga Pengkajian Sosial "Humana" (GIRLI); 11. The Indonesian Child Advocacy Institute (LAAI);

12. Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A); 13. International Programme on the Elimination of Child Labour IPEC - ILO ; dan 14. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.14

Meskipun demikian, masih terdapat berbagai LSM yang tidak secara khusus memfokuskan pada perlindungan pekerja anak di Indonesia akan tetapi memasukkan hal tersebut sebagai salah satu programnya. LSM seperti ini antara lain: Yayasan Rumah Singgah, Suara Ibu Peduli (SIP), dan Lembaga Perlindungan Anak.

Dengan telah diratifikasinya konvensi tentang Hak-hak Anak, Indonesia terikat dalam suatu jaringan perlindungan anak dunia yang berada dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Konvensi tersebut kemudian akan dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Draft Undang Undang tersebut secara eksplisit memberikan suatu legitimasi keberadaan LSM sebagai salah satu infrastuktur Perlindungan Anak yang turut serta dalam kegiatan pembimbingan, pembinaan, advokasi, maupun pengumpulan data tentang permasalahan-permasalahan.

13

K Irsan, Peran Masyarakat dan Penegak hukum. Jurnal Konvensi Vol. III No. 1, Jakarta, 1999, hal. 18.


(33)

Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak, sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung bersifat patriarchi dan kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi pekerja anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya nasib pekerja anak.

Dari waktu ke waktu, perlindungan terhadap pekerja anak di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Perlindungan secara yuridis yang merupakan faktor penting terhadap keberadaan pekerja anak mengandung ambivalensi yang mengindikasikan kemenduaan sikap pemerintah terhadap masalah ini. Penerapan discretion clausule dalam berbagai aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum terhadap eksploitasi pekerja anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada Undang Undang Ketenagakerjaan yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada batas garis kemiskinan mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu keluarga" yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat.

Komitmen mungkin merupakan salah satu kata kunci untuk sementara ini yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak, seperti yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan praktek pekerja anak di Indonesia. Ditengah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan belum ada tanda-tanda berakhir, perlu kiranya ditempuh berbagai alternatif program cepat dan tepat sasaran

14


(34)

sebelum keadaan yang lebih buruk terjadi. Penjajagan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional, maupun internasional merupakan alternatif penting. Jaringan kerjasama ini diharapkan dapat membantu membe-rikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia, yaitu: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.

B. Kehadiran Yayasan Pusaka Indonesia Sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang Proaktif Dalam Memberikan Advokasi Hukum Terhadap Pekerja Aanak

Yayasan Pusaka Indonesia sebagai Lembaga Advokasi penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) khususnya advokasi perlindungan dan penanganan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Sumatera Utara. Lembaga yang berbadan hukum yayasan ini didirikan pada tanggal 10 Desember 2000 yang bertepatan pada hari Hak Asasi Manusia sedunia. Pendirian lembaga ini dipicu oleh komitmen dari beberapa aktivis hak asasi anak untuk mengambil peran dalam menjawab tantangan keprihatinan yang sangat mendalam tentang nasib anak-anak Indonesia dan generasi Sumatera Utara khususnya yang diterjang berbagai persoalan.15

Nama Pusaka Indonesia ditetapkan dan dipilih secara demokratis dan dibungkus dengan sebuah makna bahwa aktivis-aktivis sosial ingin terus memelihara komitmen untuk secara bersama-sama berjuang dan bahu membahu untuk mengurangi beban persoalan bangsa sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam isuue strategis yang selama ini menjadi pilihan mereka, yakni bagaimana memperjuangkan dan melahirkan kebijakan (isi, struktur dan kultur) yang lebih baik bagi perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak anak dan masyarakat pencari keadilan (justiabelen).

Menggeluti issue strategis dalam memperjuangkan perlindungan terbaik bagi anak bangsa ini merupakan pilihan pergumulan yang utama hari ini, taktala Negara

15


(35)

masih menjadikannya sebagai persoalan yang dinomor duakan. Isu-isu sentral seputar kebijakan perlindungan pekerja anak di Indonesia masih sering diselipkan kedalam pengorganisasian bidang-bidang lain tanpa adanya prioritas yang diuatamakan. Sehingga masyarakat masih kurang memahami rencana aksi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pekerja anak ini. Kemunculan lembaga ini juga didasarkan pada tingkat struktural, kita masih melihat lemahnya apresiasi dan keberpihakan para pejabat, aparat pemerintah untuk mengedepankan kepentingan terbaik untuk pekerja anak dan masyarakat pencari keadilan. Sehingga berdampak pada koneskuensi anggaran untuk perlindungan yang rendah dan tidak jelas indikatornya. Catatan lain adalah betapa lemahnya pemahaman para aparatur negara tentang hak-hak anak. Disamping itu, rendahnya partisipasi dan apresiasi dari segi nilai budaya hukum masyarakat dalam merespon kebutuhan dasar anak dalam upaya kelanjutan generasi juga menjadi persoalan. Lemahnya peran institusi budaya lokal (sebagai salah satu transformasi budaya kota) adalah merupakan salah satu penyebab dominan yang berpengaruh pada implementasi perlindungan anak di Indonesia seperti yang kita lihat dewasa ini.

Sejalan dengan kenyataan di atas, kita melihat bahwa perubahan konfigursi politik yang begitu cepat di tanah air (utamanya dalam wacana demokratisasi dan otonomi) telah memberi peluang dan juga tantangan dalam mempercepat perubahan kebijakan publik yang berkaitan dengan pekerja anak.

Satu persoalan lainnya yang juga menjadi konsentrasi lembaga ini adalah dalam isu seputar lemahnya penegakan hukum, terutama dalam bidang peradilan anak di Indonesia. Walaupun beberapa peraturan hukum nasional telah dilahirkan dalam penaganan dan perlindungan anak di Indonesia, namun dalam kenyataan impelementasinya masih terjadi kesalahan-kesalahan dan kecurangan dari aparatur


(36)

pelaksana hukum yang ada. Masyarakat umum telah sering menilai betapa amburadulnya peradilan Indonesia, Korupsi, kolusi dan nepotisme, maia peradilan, pembusukan hukum, jual beli kasus, moralitas aparat penegak hukum yang tidak baik adalah sesuatu yang tidak terbantahkan lagi dalam penegakan hukum di Indonesia. Meskipun demikian merupakan sebuah kemajuan dan kebanggaan anak bangsa, ketika pemerintah melahirkan beberapa produk hukum nasional maupun lokal tentang perlindungan dan penegakan anak seperti halnya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak walaupun masih terdapat kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki.

Diperlukan ribuan halaman kertas untuk menuliskan segi-segi persoalan anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia. Belum lagi bila kita lihat dalam bagimana anak-anak kita yang diperjualbelikan untuk tujuan pelacuran (trafficking), anak di bawah umur yang di pekerjakan di tempat berbahaya, kesejahteraan anak, pendidikan anak dan berbagai persoalan anak baik pada tingkat keluarga, masyarakat maupun dengan pemerintah. Kita tidak bisa dengan hanya menyalahkan kemiskinan, tetapi munculnya berbagai persoalan anak di Indonesia tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum dan minimnya perhatian pemerintah. Melihat dari segi kebijakan hukum, sebelum lahirnya Undang-undang Pengadilan Anak dan instrument hukum internasional yang telah diadopsi dan diratifikasi oleh Indonesia. Namun sejauh dan sebanyak itu pula muncul persoalan dan pelanggaran hak-hak anak di Indonesia.

Fenomena demikian hanya menggambarkan sedikit dari banyak persoalan yang ada, yang sering sekali justru menjadi penyebab terampasnya hak-hak anak dan kaburnya posisi anak dalam mendapatkan perlindungan hukum dari Negara dan jaminan pemenuhan kepentingan terbaik bagi anak sebagai generasi muda.


(37)

Meskipun demikian, kita tetap harus optimis dan menyakini bahwa undang-undang dan peraturan hukum merupakan patokan dan sandaran utama yang dapat dijadikan alas perjuangan advokasi penegakan hak-hak anak ke depan. Walaupun dengan harapan yang sempurna dalam perlindungan anak masih membutuhkan perjalanan advokasi yang panjang, tetapi kita mengakui bahwa perjuangan bagi sebuah perubahan adalah sebuah proses yang harus dirangkai, digelutik, dicermati dan dirancang secara terarah dan terencana. Paling tidak perjuangan advokasi yang dilakukan diharapkan dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak-hak untuk kepentingan terbaik bagi anak khususnya anak yang berkonflik dengan hukum. Kita akan tetap melakukan advokasi pada tataran penguatan dan pendampingan hukum, advoksi pada tataran kebijakan lokal maupun nasional dalam konteks perlindungan terhadap anak.

Harapan baru juga sudah mulai muncul dalam sistem pemerintahan yang baru saat ini, termasuk dalam hal penegakan hukum di seluruh Indonesia. Perubahan-perubahan dan kemajuan saat ini, sangat membuka ruang gerak publik untuk ikut berperan serta membantu, saling membahu dalam mengatasi setiap persoalan bangsa ini termasuk dalam hal penaganan dan perlindungan anak sebagai generasi penerus bangsa.

C. Program-program yang dilakuan Lembaga Swadaya Masyarakat

Yayasan Pusaka Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak pekerja anak

Di tahun 1990, Indonesia mengikatkan diri untuk memberikan perlindungan dan penegakan Hak Anak dengan merativikasi Konvensi Hak Anak (Convention on

the rights of the child) lewat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. konvensi Anak

tersebut dalam pasal menegaskan bahwa Negara peserta (state parties) mempunyai kewajiban untuk menjamin anak-anak terhindar dari eksploitasi ekonomi dan


(38)

pemaksaan setiap pekerjaan yang berbahaya bagi anak, menggangu pendidikan, kesehatan dan perkembangan fisik, mental maupun spiritual dan moral atau social anak.

Upaya penaggulangan anak sebagaimana dimaksukan diatas, diarahkan secara konfrenhensip meliputi aspek hukum (legislasi), pendidikan dan administrative guna mendukung menjamin anak terlepas dari cengkraman eksploitasi ekonomi. Dengan demikian upaya penghapusan pekerja anak tersebut harus inter-departemtal, konseptual, praktis dan aplikatif. Jadi bukan tugas satu departemen seperti Departemen Tenaga Kerja dan bukan sekedar membuat hukum melainkan program aksi kongkrit. Namun amat disayangkan, hingga kini program aksi penggulangan pekerja anak masiih belum dilakukan pemerintah.

Hampir satu dekade, sejak kasus anak-anak yang bekerja di Jermal ditemukan pertama kali oleh aktivis perlindungan anak di Sumatera Utara, telah begitu banyak waktu, tenaga, pikiran dan uang yang dialokasikan untuk mengakhiri penderitaan anak-anak tersebut. Kampanye untuk kasus pekerja anak di Jermal sudah mencapai klimaksnya pada 5 atau 6 tahun yang lalu, ketika Republik Indonesia diajukan ke siding komisi ILO di Jenewa yang intinya meminta pertanggung-jawaban pemerintah Indonesia terhadap isu eksploitasi pekerja anak di Jermal, khususnya yang ada di sepanjang perairan pantai Timur Sumatera Utara

Di Sumatera Utara, persolan buruh anak Jermal menjadi salah satu bentuk kondisi pekerja anak yang dikategorikan sebagai jenis pekerjaan yang dapat mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau jiwa social si anak tersebut. Yang akhirnya secara aklamasi pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Surat Edaran Menaker No. 12/M/BW/1997 tentang petunjuk pelaksanaan anak yang bekerja, dan mengategorikan bahwa jermal adalah merupakan salah satu tempat yang


(39)

terlarang bagi anak untuk bekerja. Dalam level propinsi kebijakan serupa muncul kembali dengan lahirnya sebuah kebijakan dari Gubernur Sumatera Utara melalui Surat Edaran No. 560/17372, tangal 15 Desember 1998, tentang larangan pengusaha jermal mempekerjakan anak-anak di lokasi jermal.

Namun, dalam kenyataannya jumlah anak yang bekerja di jermal masih tetap ada. Hal mana dengan terungkapnya beberapa kasus anak jermal yang tidak tahan dengan perlakuan di jermal dan akhirnya melarikan diri dari jermal di perairan Salah Nama, Kabupaten Asahan.

Walupun di Indonesia telah ada peraturan yang dapat melindungi pekerja anak, namun pada kenyataanya belum bisa memberikan kenyamanan bagi pekerja anak tersebut. Oleh karena itu Pusaka Indoesia sebagai Lembaga Swadya Masyarakat yang konsentrasi memberikan perlindungan hukum terhdap pekerja anak memiliki program-program yang berkaitan dengan pemberian advokasi terhadap pekerja anak yang bemasalah dengan hukum, yaitu:

1. Melakukan perlindungan bagi anak yang berkonflilk dengan hukum. Aktivitas:

a.Pemberian layanan hukum agi anak-anak yang menjadi korban dan pelaku tindak pidana.

b.Melakukan kajian dan kritisi terhadap peraturan yang berkaitan dengan anak berkonflik dengan hukum.

c.Mendorong terbentuknya lembaga restroatif dan diversi bagi anak sebagai pelaku tindak pidana.

d.Penyusunan dokumentasi kasus-kasus kekerasan yang dialami anak dan perempuan.


(40)

2. Melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan, termasuk perdagangan anak dan perempuan.

Aktivitas:

a.Penguatan kapasitas organisasi masyarakat dalam memerangi perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara.

b.Kampanye kesadaran public tentang bahaya praktek perdagangan anak dan perempuan di Sumatera Utara.

c.Penguatan kapasitas aparatur pemerintah da dukungan bagi Komite Aksi Propinsi dalam melakukan pencegahan praktek perdagangan anak dan perempuan.

d.Dukungan bagi penguatan aparatur penegak hukum dalam perlindungan dan penanganan korban perdagangan anak dan perempuan, khususnya dalam pendirian shelter/crisis centre bagi anak dan perempuan korban kekerasan.

e.Melakukan pendampingan hukum bagi korban tindak kekerasan dan trafficking.

3. Melakukan pencegahan anak-anak yang bekerja di sector terburuk. Aktivitas:

a.Penyusunan draf Peraturan Daerah Sumatera Utara dalam mencegah anak-anak bekerja disektor terburuk di Sumatera Utara.

b.Penyusunan buku proses pembuatan dan pengesahan Peraturan Daerah dalam mencegah anak bekerja di sector terburuk.

c.Monitoring terpadu dengan aparat pemerintah dan penegak hukum terhadap anak-anak yang bekerja di jermal.


(41)

d.Bantuan hukum bagi anak-anak yang bekerja di sector terburuk.

e.Pembuatan publikasi untuk kampanye public menentang pekerja anak di sector terburuk dan keluarga.

4. Melakukan penyelamatan anak-anak kprban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias.

Aktivitas:

a.Pendataan anak-anak yang terpisah dengan orangtua dan keluarga akibat tsunami dan gempa di Aceh dan Pulau Nias.

b.Pemberian logistic (child food, hygiene kids and scholl kids) kepada anak-anak Koran tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias.

c.Pemberian/pelayanan perwalian (guardianship) agi anak-anak korban tsunami. d.Program lifeskill dan livehood bagi kelompok perempuan korban konflik dan

tsunami di Nangroe Aceh Darusalam.

e.Pelayanan traumatic, pendidikan emergency (psikososial) bagi anak-anak korban tsunami dan gempa bumi di Aceh dan Nias.

5. Melakukan penguatan kapasitas kelompok anak dan perempuan dalam isu lingkungan dan demokrtisasi.

Aktivitas:

a.Program penguatan aktivitas anak dan lingkungan. b.Program pendidikan polotik bagi perempuan.

c.Program penguatan kapasitas kelompok rakyat dalam konservasi hutan dan orang utan.

d.Program pendidikan lingkungan disekolah.16 Program-program yang telah dijalankan:

16


(42)

a. Penaganan dan pendampingan korban perdagangan manusia.

b. Monitoring penyusunan Draf Rancangan Peratuaran Daerah Tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak-anak.

c. Perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta penyadaran hukum bagi anak jalanan di kota Medan.

d. Pendokumentasian kasus dan pembuatan buku saku pendampingan.

e. Membangun koordinasi penaganan perempuan dan anak korban trafficking di Sumatera Utara.

f. Advokasi pengembangan kapasitas propinsi Sumatera Utara untuk memberantas perdagangan anak dan perempuan di Indonesia.

g. Penigkatan kapasitas peer group dalam penanganan anak jalanan berkonflik dengan hukum.

h. Workshop penyusunan program bagi anak jalanan di kota Medan.

i. Pendataan anak korban gempa da tsunami Aceh dan Nias yang ada di kota Medan.

j. Workshop evaluasi dan refleksi penaganan anak jalanan yang ada di Sumatera Utara.

k. Pencetakan buku “Membangun Kekuatan di Atas Ketidakpastian Perlindungan Hukum”.

l. Kampanye anti trafficking di propinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). m. Penaganan dan penaggulangan trafficking di Sumatera Utara.

n. Pemberdayaan anak yang berkonflik dengan hukum yang di bina di Lembaga Pemasyarakatan (LP) anak Tanjung Gusta Medan.

o. Progam bantuan bagi anak dan perempuan korban kekerasan dan trafficking.17

17


(43)

Program-program yang sedang berjalan:

a. Program penaggulangan dan penegakan hak-hak anak korban gempa bumi dan tsunami di aceh dan Nias.

b. Program pengembagan Chidren Centre di Aceh dan Nias.

Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, perjalanan advokasi penanganan dan pendampingan hukum bagi terpenuhinya hak-hak normatif bagi pekerja anak telah dilakukan oleh lembaga ini. Seperti yang kita ketahui bahwa hak-hak anak yang harus dipenuhi ketika anak tersebut melakukan pekerjaan adalah:

a. Hak mendapat upah

b. Hak mendapatkan pendidikan c. Hak perlindungan kesehatan

d. Hak istirahat baik harian maupun mingguan e. Hak cuti tahunan maupun cuti besar

f. Hak libur di hari-hari raya

g. Hak mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja

Secara umum ada empat hal yang menjadi target advokasi yang dilakukan oleh Pusaka Indonesia dalam konteks perlindungan hukum bagi pekerja anak yaitu:

1. Pendampingan Hukum bagi pekerja anak sebagai dampingan mitra LSM anak.

Tujuannya adalah agar anak mendapat bantuan hukum ketika berkonflik dengan hukum. Sudah ada sekitar 67 kasus anak baik sebagai korban maupun sebagai pelaku yang mana bantuan hukum dari Pusaka Indonesia. Hal ini harus dilakukan mengingat kurangnya partisipasi orangtua dan juga masih banyaknya pekerja anak yang belum mendapat penyuluhan hukum. 2. Penyuluhan Hukum pada tingkat shelter.


(44)

Tujuannya adalah agar pekerja anak memperoleh penyadaran dan peningkatan pengetahuan tentang proses hukum. Hal tersebut harus dilakukan mengingat pekerja anak kurang memahami tentang pentingnya penyuluhan hukum tersebut.

3. Penerbitan buku saku untuk anak.

4. Pemberian kartu klien kepada pekerja anak.18

Dengan adanya berbagai program yang dilakukan diatas Pusaka Indonesia mengharapkan dapat mewujudkan hak-hak normatif yang harus dipenuhi ketika seorang anak dipekerjakan. Dalam hal kebijakan hukum, Pusaka Indonesia juga telah melakukan beberapa hal, seperti misalnya:

1. Mendorong lahirnya Perda Kota Medan tentang perlindungan anak jalanan;

Melakukan kajian dan analisis terhadap kebijakan hukum tentang anak yang berkonflik dengan hukum;

2. Mendorong adanya revisi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Semua kegiatan yang telah dilakukan oleh LSM ini merupakan pengalaman bagi kita semua baik tingkat masyarakat, NGO Anak maupun pemerintah bahwa sistem penyelenggaraan haruslah ditetapkan secara partisipatif dan berkeadilan sehingga dapat menghasilkan output kebijakan yang diharapkan. Kini saatnya kita saling merangkul dan bekerjasama dalam mengatasi semua persoalan sosial yang ada khususnya di Kota Medan. Kita yakin bahwa persoalan itu akan dapat lebih ringan jika semua unsur terlibat dalam penanganan dan penyelesaiannya dengan memperhatikan tingkat kepentingan masyarakat bawah. Komitemen mungkin merupakan salah satu kata kunci untuk sementara ini yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak,


(45)

seperti yang telah dilakukan LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan pekerja anak di Indonesia ataupun jikalau seorang anak harus bekerja, pemenuhan terhadap hak-hak normatifnya harus dilakukan. Ditengah krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 dan belum ada tanda-tanda berakhir, perlu kiranya ditempuh berbagai alternatif program cepat dan tepat sasaran sebelum keadaan yang lebih buruk terjadi. Penjajakan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional maupun internasional merupakan alternatif penting. Jaringan kerjasama ini diharapkan dapat membantu memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia yaitu kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.

Bila dikaji pergerakan advokasi penaganan pekerja anak yang dilakukan selama ini oleh Pusaka Indonesia adalah yang lebih dominant bergerak pada tingkat penaganan krisis (protection) bagi kasus-kasus yang sudah terjadi. Sementara dari segi penelusuran asal usul atau upaya preventif belum ditanggulangi secara maksimal. Karena persoalan ini tidak dapat diselesaikan kalau penyelesaian akar masalah belum dilakukan secara malsimal dan total. Dalam penanganan anak yang membutuhkan perlindungan khusus (child in need special protection) khususnya bagi pekerja anak, ada beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam rencana tindak lanjut penanganan. Usulan rekomendasi kedepan yang menjadi gagasan Pusaka Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pekerja anak, yaitu:

1. Tahap pencegahan (Preventif)

Pada tahap ini, aktivitas lebih diarahkan pada upaya-upaya pencegaha dan analisis akar masalah. Sehingga dengan dilakukan upaya pencegahan ini dapat mempermudah dan meringankan penganan lanjutan. Serta dapat mengurangi anak

18


(46)

turun ke jalan untuk bekerja, dapat menghindarkan anak berkonflik dengan hukum dan lainnya. Pendekatan yang dilakukan adalah lebih pada tingkat komunitas anak, keluarga, orangtua, lingkungan, sekolah dan target lainnya yang disesuaikan dengan awal persoalan. Setelah ditemukan akae persoalan seperti halnya persoalan ekonomi berarti penguatan ekonomi keluarga yang perlu ditopang. Masalah perpecahan keluarga berarti peran orangtua dan penyadaran masyarakat yang perlu didorong dan sebagainya. Tanpa adanya pencegahan ini, maka sulit untuk mengurangi persoalan pekerja anak.

2. Tahap penaganan dan perlindungan (protection)

a. Dalam tahap ini lebih disarankan pada penanggulangan anak-anak yang sudah bekerja.sehingga upaya penaganan dan perlindungan harus tetap dilakukan. Baik dari segi perlindungan hukum, pembenahan pendidikan, kesehatan dan lainya. Selama pekerja anak belum ada penanganan yang kuat, upaya ini harus tetap dilakukan.

b. Perlu dilakukan upaya pendanpingan dan perlindungan hukum bagi pekerja anak.

c. Perlu dilakukan kajian dan analisis terhadap beberapa produk hukum lakal dan nasional yang belum mengakomodir kepentingan terbaik untuk anak.

d. perlu melahirkan kebijakan local tentang perlindungan pekerja anak dan anak jalanan.

e. Perlu penyadaran dan sosialisasi untuk membangun stigma positif terhadap pekerja anak dan anak jalanan.

f. Perlu dibenahi system pendidikan formal bagi pekerja anak dan anak jalanan yang sudah putus sekolah.

Pusaka Indonesia, Medan, 2005, hal. 38.


(47)

g. Perlu dilakukan pembenahan dan penguatan pendampingan pekerja anak dan anak jalanan.

h. Perlu penanganan alternative pelayanan kesehatan.

i. Perlu pengembangan dan persiapan keterampilan khusus bagi pekerja anak dan anak jalanan.

j. Perlu penyadaran dan pembinaan agar memiliki prilaku dan disiplin yang kuat. k. Perlu membangun kerjasama dan koordinasi terpadu dari unsure yang terkait

untuk penanggulangan pekerja anak.

l. Perlu melakukan dorongan untuk penigkatan anggaran pembinaan pekerja anak. m. Perlu dilakukan pendekatan dan penyadaran bagi aparat pemerintah dan aparat

hukum dalam penanganan dan perlindungan pekerja anak. 3. Tahap rehabilitasi (reintegrasi)

Pada tahap ini sebenarnya tinggal melanjutkan upaya-upaya yang telah disiapkan pada tahap pencegahan dan penganan bagi pekerja anak. Dalam langkah ini bagaimana kita akan mengembalikan status sosisal dan dapat kembali ke komunitas anak-anak pada lazimnya dimasyarakat dengan mengikuti pendidikan formal dan lainya serta dapat diterima di lingkungan sosialnya.19

D. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pihak-pihak terkait dalam memberikan advokasi hukum terhadap pekerja anak

D.1. Kerja sama Lembaga Swadaya Masyarakat dengan Pemerintah Pusat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak

Indonesia sebagai negara hukum sebetulnya sudah mulai sejak zaman kolonial mempunyai serta menekankan perlunya perlindungan terhadap buruh anak dan perempuan yang dirasakan sangat rentan (fragile) terhadap pelanggaran norma dan

19


(48)

hak asasi manusia. Sejak zaman kolonial keberadaan pekerja anak Indonesia sesungguhnya sudah mengalami pergeseran dari ruang privat (keluarga) kepada ruang publik (masyarakat), apalagi kondisi kolonialisme sangat memberi peluang yang sangat besar dan bahkan mengarahkan agar anak-anak pada waktu itu memasuki sektor-sektor publik (kerja di luar lingkungan keluarga) karena ruang untuk mengalihkan anak dalam mengisi waktu luangnya sangat sedikit misalnya sekolah-sekolah pada waktu ini hanya dimasuki oleh keturunan ningrat (bangsawan).

Persoalan pekerja anak sebagai persoalan multifaset dan kompleks menurut penanganan yang holistik dan kotinuitas yang integratif baik pada tingkat makro maupun mikro dengan memanfaatkan seluruh institusi dan realitas anak sendiri. Puncak dalam penanganan pekerja anak adalah kewajiban mutlak sebuah negara dan untuk Indonesia hal ini diatur melalui Konstitusi Dasar Negara UUD 1945 (Obligation of state) namun peran serta masyarakat juga mutlak diperlukan karena isu permasalahan terletak pada level masyarakat sendiri.

Menurut data ketenagakerjaan pemerintah, kebanyakan pekerja anak bekerja di sektor pertanian, meskipun jumlah pekerja anak di kota-kota telah meningkat secara berarti sebagai akibat urbanisasi. Anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal daripada di sektor formal. Seperti bersama-sama dengan orangtua mereka di industri rumah tangga dan perkebunan, di toko milik keluarga atau pabrik kecil, terutama pabrik yang merupakan “satelit” dari industri besar. Ada juga anak-anak yang bekerja di industri besar meskipun jumlahnya tidak diketahui, terutama mungkin karena mungkin dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Di sektor informal, mereka menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, atau cara lain untuk mendapatkan upah. Banyak anak-anak bekerja di lingkungan yang


(49)

berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah atau di bagian-bagian ikan dan kapal nelayan. Banyak juga pembantu rumah tangga yang masih anak-anak.

Pemerintah Indonesia sebetulnya sudah dari dahulu menyadari fenomena ini, walaupun pemerintah terkesan lamban dalam melihat permasalahan anak sebagai sesuatu hal yang urgent (mendesak) untuk ditangani. Secara jujur harus diakui bahwa perlindungan terhadap pekerja anak juga merupakan refleksi pemerintah kita terhadap hak-hak asasi manusia yang bolong-bolong dan jangankan perlindungan untuk pekerja anak, pekerja dewasa yang juga notabene dilindungi dengan berbagai macam perundang-undangan serta serikat pekerja dan keberadaannya adalah legal juga mengalami hal yang dialami oleh pekerja anak apalagi pekerja anak yang naif dan keterlibatannya dalam dunia kerja tidak diharapkan oleh undang-undang dan pemerintah. Pemerintah memang terkesan selalu berlindung dalam paradigma kemampuan ekonomi yang terbatas serta cita-cita pembangunan yang menetes kebawah (trickle down effect).

Kebijakan yang secara umum dapat dilakukan pemerintah dalam mengelimir pekerja anak dalam berbagai lapangan pekerjaan merupakan program secara nasional. Beberapa langkah strategis yang dapat diambil pemerintah dalam mengeliminir pekerja anak secara nasional antara lain:

1. Program penyempurnaan/ pembaharuan perundang-undangan;

2. Program-program penanganan langsung untuk mencegah terjadinya atau setidaknya mengurangi keterlibatan anak dalam dunia kerja;

3. Program-program promosi/pembinaan pada upaya peningkatan kesejahteraan anak;

4. Program-program rehabilitasi ditujukan pada anak-anak yang menjadi pekerja/telah bekerja.


(50)

Persoalan anak di Indonesia sekarang sudah menjadi lingkaran setan (vicious

circle), karena akar persoalan dan penyelesaiannya sudah menjadi dilema. Pemerintah

Indonesia sekarang memang masih menempatkan persoalan anak sebagai persoalan marginal dan belum menjadi sentral dari keseluruhan strategi pembangunan bangsa, padahal sesungguhnya Indonesia sudah menempatkan persoalan anak dalam wacana publik dengan meratifikasi berbagai instrumen-instrumen (perangkat-perangkat) internasional.

Pengeliminiran terhadap pekerja anak secara nasional dapat kita bagi dalam tiga kategori usaha, yakni:

Usaha Pertama yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani pekerja anak adalah membuat berbagai peraturan dan usaha-usaha yang berfungsi untuk mengisi waktu si anak dalam masa kanak-kanak (childhood), yakni:

1. Permenaker No. 1 Tahun 1987 tentang perlindungan anak yang bekerja; 2. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989 tentang pembinaan kesejahteraan anak;

3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar;

4. Keputusan Menteri Sosial No. 52/Huk/1996 tentang Pembentukan Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh (GN-OTA);

5. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Kualitas Anak;

6. Keputusan MENKOKESRA No. 04/Kep/Menko/Kesra/III/1997 tentang penyelenggaraan pembinaan kualitas anak dalam dasawarsa anak Indonesia 1996-2000;

7. Surat Edaran Menaker No. 12 Tahun 1997 tentang petunjuk penanganan anak yang bekerja; dan


(51)

8. Berbagai peraturan perundangan lainnya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan upaya mengurangi jumlah pekerja anak di Indonesia. Usaha Kedua pemerintah adalah kebijakan makro, yaitu kebijakan yang menangani persoalan pekerja anak dari konteks keseluruhan dalam lingkup yang besar dari alasan-alasan keterlibatan anak yang bekerja. Alasan kemiskinan menjadi akar seluruh persoalan dalam keterlibatan anak dalam dunia kerja, sehingga memerangi kemiskinan adalah upaya makro pemerintah. Strategi-strategi pemerintah dalam hal ini antara lain dengan memberdayakan ekonomi masyarakat dengan:

1. Program Bantuan Kesejahteraan Sosial (BKS) yang diatur PP No. 42 tahun 1981 tentang pelayanan kesejahteraan sosial bagi fikir miskin;

2. Kebijakan program inpres desa tertinggal (IDT) yaitu program kebijakan menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk kesempatan berusaha diarahkan untuk mempercepat upaya penduduk miskin dan jumlah desa dan kelurahan yang tertinggal;

3. Pengembangan program keluarga bina sosial. Yang khusus memberi modal kerja kepada keluarga yang tergabung pada usaha produktif;

4. Bimbingan dan pembinaan kesejahteraan sosial keluarga melalui tabungan kesejahteraan keluarga (Takesra);

5. Usaha pemerintah dalam pemberian kredit usaha keluarga sejahtera (Kukesra); 6. Pembentukan Bina Keluarga Muda Mandiri (BKMM).

Kebijakan ketiga pemerintah adalah kebijakan mikro yakni usaha-usaha pemerintah yang bersinggungan langsung dengan keberadaan anak, hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengeliminir/mengurangi, memberdayakan ataupun menghapus pekerja anak. Usaha ini dilakukan dengan pendirian lembaga-lembaga ataupun institusi yang langsung berhadapan dengan anak, diantaranya:


(52)

Memperkuat akses anak terhadap sekolah. Hal ini dilakukan dengan: 1. Program wajib belajar 9 tahun (Inpres No. 1 Tahun 1994);

2. Lembaga Gerakan Nasional Orangtua Asuh; 3. Pengadaan Dana JPS bagi anak-anak sekolah;

4. Penghapusan biaya SPP bagi menunjang program wajib belajar 9 tahun.

Program penegakan hukum terhadap anak-anak yang bekerja, usaha ini dilakukan dengan adanya pegawai pengawas perburuhan (Labour Inspector) untuk menegakkan semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pembentukan lembaga-lembaga yang khusus menangani persoalan anak, diantaranya: - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang diatur dalam SK Mensos

081/HUK/1997;

- Komite Nasional Hak Asasi Anak (Komnas HAM Anak) - Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)

Intervensi langsung birokrat pemerintah terhadap pekerja anak dilakukan dengan: Mengadakan razia terhadap anak-anak yang bekerja, misalnya terhadap pengamen, anak jalanan, pekerja pabrik, dan lain-lain

Menyediakan sarana-sarana perlindungan anak, misalnya dengan pendirian rumah singgah dan rumah bermain anak.

Beberapa hal lain yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal penanggulangan pekerja anak adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Penanggulangan Pekerja Anak, dimana dalam Pasal 5 disebutkan bahwa :

Penanggulangan Pekerja Anak akan dilakukan dengan cara:


(1)

pekerja anak dampingannya berkonflik dengan hukum baik sebagi korban maupun pelaku sering tidak melakukan upaya-upaya yang dapat membantu pekerja anak menghadapi proses tersebut dengan segera seperti, menghubungi penasihat hukum, mencari dan mengamankan barang bukti, membuat kronologis dan upaya-upaya lain yang dapat mempercepat pekerja anak memperoleh bantuan. Oleh karena itu, pendampingan juga harus diberikan penguatan-penguatan tentang prosedur hukum penanganan pekerja anak yang berkonflik dengan hukum.

Selain dari pada itu dengan pengetahuan proses-proses dan akibat berkonflik dengan hukum, pendamping dapat lebih mudah untuk memberikan arahan-arahan dan penyuluhan-penyuluhan bagi pekerja anak dampingannya agar terhindar dari persoalan hukum.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian mengenai peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja anak, khususnya pada Yayasan Pusaka Indonesia Medan, maka dapatlah ditarik kesimpulan dari uraian-uraian tersebut dan juga dari tinjauan kepustakaan dan lapangan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pusaka Indoesia sebagai Lembaga Swadya Masyarakat yang konsentrasi memberikan perlindungan hukum terhdap pekerja anak memiliki program-program yang berkaitan dengan pemberian advokasi terhadap pekerja anak yang bemasalah dengan hukum, yaitu:

Pertama : Melakukan perlindungan agi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum.

Kedua : Melakukan upaya untuk melawan dan mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan, termasuk perdagangan anak dan perempuan. Ketiga : Melakukan pencegahan terhadap anak yang melakukan pekerjaan di

sektor terburuk.

Keempat : Melakukan penyelamatan anak-anak korban tsunami.

Kelima : Melakukan penguatan kapasitas kelompok anak dan perempuan dalam isu lingkungan dan demokratisasi.

2. Strategi penanganan pekerja anak yang dilakukan oleh pemerintah bersama sama dengan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dilakukan pada dasarnya dengan 3 penanganan yaitu:


(3)

a) Pendekatan dengan penghapusan total keberadaan anak dari sektor pekerjaan;

b) Perlindungan buruh anak; c) Pemberdayaan terhadap anak.

4. Proses perlindungan hukum yang diberikan terhadap seorang pekerja anak yang diberikan oleh Pusaka Indonesia dilakukan dengan tetap membedakan prosedur yang dilalui Pekerja anak dengan orang dewasa, yang didasarkan pada Undang-undang Peradilan Anak.

5. Kendala-kendala yang dihadapi oleh Pusaka Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum terhap pekerja anak adalah bersifat praktek di lapangan, seperti: minimnya akses bantuan hukum agi pekerja anak yang berkonflik dengan hukum, Minimnya perhatian pemerintah dalam persoalan pekerja anak yang berkonflik dengan hukum.

B. SARAN

Dari penelitian dan pemaparan di atas maka beberapa hal yang dapat penulis sarankan yaitu:

1. Masyarakat yang permisif dan cenderung serba boleh dalam memandang anak yang bekerja sebagai sesuatu yang wajar, hal ini harus segera disadarkan dengan usaha-usaha publik melalui inseminasi konvensi hak anak (KHA) kepada publik dan menjadikan persoalan anak menjadi persoalan public, dan untuk mensosialisasikan hal ini kepada masyarakat maka LSM memiliki peran dalam hal ini;

2. Pentingnya upaya perlindungan hukum bagi pekerja anak, sesuai dengan isi Konvensi Hak-Hak Asasi Anak, pasal 32 Alinea 1 yang menyatakan


(4)

Pemerintah wajib mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan penuh resiko. Dengan landasan konvensi tersebut , pemerintah wajib memberikan sanksi berat kepada para pengusaha yang masih mengeksploitasi pekerja anak;

3. Dalam hal seorang pekerja anak berkonflik dengan hukum, aparat penegak hukum sebaiknya menghargai hak-hak seorang anak.


(5)

Daftar Pustaka A. BUKU

Amrinal, B., Masalah Ketenagakerjaan dalam Perlindungan Anak. Semiloka draf RUU Perlindungan Anak, Badan Pekerja FK-PPAI, Jakarta, 1998.

Aulia, W. Amil, Berjuta-juta dari Deli; Satoe Hikajat Koeli Contrac, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Hakim, Abdul, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.

Ikhsan, Edy, Pekerjaan Anak di Perkebunan Tebu, Lembaga Advokasi Anak Indonesia American Center for International Labour Solidarity, Jakarta, 2000. Ikhsan, Edy dkk, Menuju Perlindungan Anak yang Holistik, Pusaka Indonesia,

Medan, 2005.

Ikhsan, Edy dkk, Membangun Kekuatan di atas KetidakPastian Perlindungan Hukum, Pusaka Indonesia, Medan, 2005.

Putranto, Pandji, Berbagai Upaya Penanggulangan Pekerja Anak, Rajawali Press, Jakarta, 1995.

Sendjun H. Manulang, sendjun H., Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2001.

Sinaga, K. Peran LSM dalam Penganan dan Perlindungan HAM dalam Membangun Jaringan Kerjasama HAM, Jakarta, Komnas HAM, 1998.

Sofian, Ahmad dkk, Kekerasan Seksual terhadap Anak Jermal, Kerjasama Fored Foundation dengan Penelitian Kependudukan Universitas Gajah nada, Yogyakarta, 1999.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia UI Press, Jakarta, 1986.

Soepomo, Imam, Pengantar Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja, PT Pradnya PAramita, Jakarta, 1988.

Tabatabi, Hamid, Aksi-aksi Utama Untuk Mengatasi Masalah Pekerja Anak Dalam Pembangunan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan, ILO-IPEC, Juni 2003. Tjandraningsih, Indrasari, Pemberdayaan Pekerja Anak, Studi Mengenai

Pendampingan Pekerja Anak, Penerbit Akatiga, Bandung, 1995.

Tjandraningsih, Indrasari, Buruh Anak dan Dinamika industri Kecil, Akatiga, Bandung, 1995.


(6)

Usman, Hardius dan Nachrowi Djalal, Pekerja Anak di Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004.

Wadong, Maulana Hasan, Pengantar advokasi dan hukum perlindungan anak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2000.

Yasuo,Uemura, Perkebunan Tebu dan Masyarakat Pedesaandi Jawa, dalam Akira Nagazami, Indonesia dalam kajian sarjana Jepang perubahan social ekonomi abad XIX dan XX dan berbagai aspek nasionalisme Indonesi, Jakarta,1986. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Ktab Undang-undang Hukum Acara Pidana

C. SITUS INTERNET

www.balipost.com.,Perspektif Global pekerja anak oleh Indra Ismawan,2005.

D. MEDIA CETAK

Konvensi Vol.III Tertanggal 1 Februari 1999 Majalah Tempo Pada Tanggal 23 Desember 2004 Koran Kompas, Sabtu 25 April 2007