Gerakan Mahasiswa Di Jakarta (1981-1990)

(1)

Skripsi

GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA

(1981-1990)

D I S U S U N Oleh:

AMIN YEREMIA SIAHAAN 02076018

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA (1981-1990)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

AMIN YEREMIA SIAHAAN 020706018

Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP: 131284307

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Skripsi

GERAKAN MAHASISWA JAKARTA (1981-1990) yang diajukan oleh

NAMA :AMIN YEREMIA SIAHAAN

NIM :020706018

Telah disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi oleh:

Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap S.U tanggal,………

NIP 131284309

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Firiaty Harahap tanggal,……….

NIP 131284309

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

GERAKAN MAHASISWA DI JAKARTA (1981-1990) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

NAMA :AMIN YEREMIA SIAHAAN

NIM :020706018

Pembimbing,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U

NIP: 131284307

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian fakultas Sastra USU Medan, untuk

melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua

Disetujui Oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

Ketua,

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP: 131284307


(6)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dosen dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A. Phd NIP:132098531

Panitia Ujian Tanda Tangan

1……… ( )

2……… ( )


(7)

ABSTRAK

Tidak ada yang menyangkal bahwa mahasiswa selalu ambil bagian dalam setiap perubahan. Sejarah kiranya telah mencatat hal ini. Dari berbagai literatur yang kita baca, nampak dengan jelas keterlibatan mahasiswa tersebut telah ada sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Dan, dilanjutkan setelah kemerdekaan berhasil dikumandangkan. Latar belakang utama bagi mahasiswa untuk mencatatkan peranannya dalam sejarah gerakan mahasiswa adalah adanya kesadaran sense of belonging terhadap kondisi di masyarakat.

Mahasiswa dengan kecakapan analisanya akan berontak dengan sendirinya, jika keadaan di sekelilingnya tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan: terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan demokratis. Artinya, mahasiswa sudah mempunyai pemikiran subyektif yang sewajibnya menjadi kenyataan di masyarakat.

Namun, perjalanan bangsa selalu mencatat bahwa tujuan-tujuan ideal mahasiswa, yang juga sudah digariskan sebelumnya oleh para pendiri bangsa (faunding fathers), tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Kita melihat selalu ada kondisi-kondisi dimana masyarakat mengalami praktek dehumanisasi yang sangat hebat: kemiskinan.

Dengan latar belakang ini jugalah mahasiswa pada periode 1981-1990 di Jakarta kembali bergerak. Hanya saja metodenya berbeda dengan para pendahulunya. Ini tentunya sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) yang ada ketika itu. Di satu sisi, bicara gerakan mahasiswa, maka tidak terlepas dari prestasi apa yang ditorehkannya. Prestasi ini sendiri bisa berupa ada atau tidak adanya sebuah momentum yang tercipta.

Pada tataran inilah gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta, sebagaiman juga di daerah lainnya, bisa dikatakan telah gagal dalam mengemban misi mulianya itu. Yaitu karena mereka tidak bisa menciptakan sebuah momentum. Seperti Peristiwa Malari pada gerakan mahasiswa 1974.

Namun di sisi lain, gerakan mahasiswa di Jakarta ini telah membuktikan bahwa mahasiswa tidaklah benar-benar “tidur”, meskipun di tengah-tengah tindakan represif pemerintah, seperti pemberlakuan NKK/BKK. Lihat saja, kita dapat menyaksikan hasil kreatifitas mereka seperti pembentukan Kelompok Studi, Pers Mahasiswa, Organisasi Non-pemerintah atau LSM dan Komite Rakyat.


(8)

Adapun metode penelitian yang penulis terapkan di sini sesuai dengan kaidah penelitian sejarah yaitu yang terdiri dari heuristik, verifikasi, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Di samping itu penulis juga melibatkan wawancara terstruktur untuk menambah analisa penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini.

Penulis meyakini tujuan penelitian ini setidaknya dapat menambah literatur mengenai gerakan mahasiswa yang sudah ada. Terkhususnya gerakan mahasiswa yang terjadi di tataran lokal. Lebih jauh, penelitian ini juga bertujuan agar mahasiswa menjadi tahu dan memahami apa latar belakang, bagaimana metode yang digunakan, serta keberhasilan dan kegagalan terhadap sebuah gerakan mahasiswa.


(9)

SEPATAH KATA

Sebagai individu yang menyadari akan segala kekurangannya, maka

penulis terlebih dahulu mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta manusia.

Karena Dialah segala usaha penulis dalam menyusun skripsi ini akhirnya

terselesaikan. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah membantu penulis.

Skripsi ini berceritakan mengenai Gerakan Mahasiswa di Jakarta pada

periode 1981-1990. Di mana penulis ingin melihat sejauh mana keterlibatan

mahasiswa pada masa itu dalam usahanya menjaga nilai-nilai demokrasi. Selain

itu, skripsi ini dikerjakan juga sebagai salah satu persyaratan dalam

menyelasaikan perkuliahan penulis di Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas

Sastra-USU.

Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dalam proses

pengherjaan skripsi ini. Sehingga hasil ideal yang diharapkan belum tentu

tercapai. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya kritikan yang

membangun demi peningkatan kualitas topik ini di masa yang akan datang.

Penulis


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari pengerjaan skripsi ini tidak semata-semata kerja keras

penulis sendiri. Namun, di balik itu banyak pihak-pihak yang dengan setia

membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Baik itu dengan memberikan

bantuan dalam bentuk materi maupun moril. Oleh karenanya dalam kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. S. Siahaan dan M. Tambunan, selaku orangtua tercinta. Penulis

mengucapkan terima kasih yang tak terkira atas segala cinta dan

kasih mereka selama ini, terkhususnya dalam memberikan

kesempatan kepada penulis untuk dapat menempuh dunia

perguruan tinggi. Penulis meyakini segala pengorbanan mereka

tidak akan sia-sia. Dan juga kepada adik-adik tersayang, Junita,

Jepri, dan Ruth. Terima kasih atas segala dukungannya selama ini,

baik melalui doa maupun nasehat dan sarannya.

2. Drs. Syaifuddin, M. A. Phd, selaku Dekan Fakultas Sastra


(11)

3. Dra. Fitriaty Harahap, S.U, selaku ketua Departemen Sejarah dan

Dra. Nurhabsyah, M.si, selaku sekretaris Departemen Sejarah.

Penulis mengapresiasi atas ilmu dan nasehat yang diberikan,

terkhusus selama penulisan skripsi.

4. Dra. Fitriaty Harahap S.U, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan nasehat dan juga sarannya selama proses penulisan

skripsi.

5. Drs. Sentosa Tarigan selaku dosen wali penulis, yang juga telah

memberikan sarannya selama masa perkuliahan.

6. Kepada rekan-rekan penulis di departemen mahasiswa sejarah,

khususnya angkatan 2002, yaitu Roi, Leo, Bohal, Dedy, Zulkifli,

Belli, Antoni, Tomi, Daru, Ringgus, Bambang, Novri, Miftah,

Sandri, Edwin, Erwin, Evaria, Pinta, Pana, Tiomsi, Nana,

Magdalena, Christina, Siti, Ayi, Fitri, Nurbaity, Lisbeth.

7. Kepada rekan-rekan penulis di UKM KMK USU FS, khususnya di

KTB Joyful-Imanuel, yaitu B handayani, Era, Friska, Leli dan Lita.

8. Kepada rekan-rekan seperjuangan penulis di KDAS, yaitu Oscar,


(12)

Shinta, Juliana, Novita, Indira, Zuena, Benny, Reagen, John,

Tongam, Ganda, Randy, Steven, Retta, Edward, Hizkia, Jepri,

Ekha, Theodora, Wati, Rossi, Ravi, Luki, Nerly, Cahriady.

9. Kepada rekan-rekan seperjuangan penulis di CC-Medan, yaitu

Januar, John, Hendra, Dozier, Hendro, Surya, Binsar, Yoga, Helen,

Lestari, Neil.

10.Kepada KK Amadea Gracia, yaitu Theo, Eva, dan Meixi. Terima

kasih atas dukungan kalian.

11.Kepada kekasih penulis, Friska S.

Kepada mereka di ataslah penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Kiranya segala kebaikan dan amal budinya, terbalaskan oleh kasih dan karunia


(13)

DAFTAR ISI

Abstrak………i

Kata Pengantar………..ii

BAB I Pendahuluan………...1

1.1Latar Belakang Masalah……….1

1.2Rumusan Masalah……….10

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian………10

1.4Tinjauan Pustaka………...12

1.5Metode Penelitian………. 13

BAB II Gambaran Umum Jakarta………15

2.1 Sejarah Singkat Jakarta...15

2.2 Keadaan Geografis………17

2.3 Sistem Ekonomi-Penduduk Jakarta………18

2.3.1 Penduduk Jakarta………..18

2.3.2 Ekonomi Jakarta………20

2.4 Sistem Kekerabatan………..22

BAB III Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta………….…….24

3.1 Kondisi Umum Gerakan Mahasiswa di Jakarta 1970-an……….24

3.2 Gerakan Mahasiswa 1981-1990………28

3.3 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta…..………….32

3.3..1 Organisasi Non-Pemerintah atau LSM…...………36

3.3.2 Pembentukan Kelompok Studi………….……….39


(14)

3.3.2.2 Kelompok Studi LSI……..………..42

3.3.2.3 Kelompok Studi Formaci………….…………...42

3.3.3 Pembentukan Pers Mahasiswa….……….44

3.3.4 Pembentukan Komite Rakyat…….………...47

BAB IV Kelemahan Gerakan Mahasiswa 1981-1990...48

4.1 Tidak Adanya Partner Politik Mahasiswa…...………...50

4.2 Lemahnya Penetrasi Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990…..52

4.2.1 Kelemahan Kelompok Studi…….……….54

4.2.2 Kelemahan LSM……….55

4.2.3 Kelemahan Persmawa………57

4.2.4 Kelemahan Komite Rakyat………58

BAB V Penutup………60 Narasumber


(15)

ABSTRAK

Tidak ada yang menyangkal bahwa mahasiswa selalu ambil bagian dalam setiap perubahan. Sejarah kiranya telah mencatat hal ini. Dari berbagai literatur yang kita baca, nampak dengan jelas keterlibatan mahasiswa tersebut telah ada sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Dan, dilanjutkan setelah kemerdekaan berhasil dikumandangkan. Latar belakang utama bagi mahasiswa untuk mencatatkan peranannya dalam sejarah gerakan mahasiswa adalah adanya kesadaran sense of belonging terhadap kondisi di masyarakat.

Mahasiswa dengan kecakapan analisanya akan berontak dengan sendirinya, jika keadaan di sekelilingnya tidaklah sesuai dengan kaidah-kaidah kemanusiaan: terciptanya tatanan masyarakat yang adil, damai, sejahtera, dan demokratis. Artinya, mahasiswa sudah mempunyai pemikiran subyektif yang sewajibnya menjadi kenyataan di masyarakat.

Namun, perjalanan bangsa selalu mencatat bahwa tujuan-tujuan ideal mahasiswa, yang juga sudah digariskan sebelumnya oleh para pendiri bangsa (faunding fathers), tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Kita melihat selalu ada kondisi-kondisi dimana masyarakat mengalami praktek dehumanisasi yang sangat hebat: kemiskinan.

Dengan latar belakang ini jugalah mahasiswa pada periode 1981-1990 di Jakarta kembali bergerak. Hanya saja metodenya berbeda dengan para pendahulunya. Ini tentunya sesuai dengan jiwa zaman (zeitgeist) yang ada ketika itu. Di satu sisi, bicara gerakan mahasiswa, maka tidak terlepas dari prestasi apa yang ditorehkannya. Prestasi ini sendiri bisa berupa ada atau tidak adanya sebuah momentum yang tercipta.

Pada tataran inilah gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta, sebagaiman juga di daerah lainnya, bisa dikatakan telah gagal dalam mengemban misi mulianya itu. Yaitu karena mereka tidak bisa menciptakan sebuah momentum. Seperti Peristiwa Malari pada gerakan mahasiswa 1974.

Namun di sisi lain, gerakan mahasiswa di Jakarta ini telah membuktikan bahwa mahasiswa tidaklah benar-benar “tidur”, meskipun di tengah-tengah tindakan represif pemerintah, seperti pemberlakuan NKK/BKK. Lihat saja, kita dapat menyaksikan hasil kreatifitas mereka seperti pembentukan Kelompok Studi, Pers Mahasiswa, Organisasi Non-pemerintah atau LSM dan Komite Rakyat.


(16)

Adapun metode penelitian yang penulis terapkan di sini sesuai dengan kaidah penelitian sejarah yaitu yang terdiri dari heuristik, verifikasi, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Di samping itu penulis juga melibatkan wawancara terstruktur untuk menambah analisa penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini.

Penulis meyakini tujuan penelitian ini setidaknya dapat menambah literatur mengenai gerakan mahasiswa yang sudah ada. Terkhususnya gerakan mahasiswa yang terjadi di tataran lokal. Lebih jauh, penelitian ini juga bertujuan agar mahasiswa menjadi tahu dan memahami apa latar belakang, bagaimana metode yang digunakan, serta keberhasilan dan kegagalan terhadap sebuah gerakan mahasiswa.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah mencatat bahwa mahasiswa selalu ikut ambil bagian dalam

perubahan sosial. Setidaknya ini dapat kita lihat sejak awal abad ke-20, yang

umumnya dipelopori mahasiswa STOVIA. Keterlibatan mahasiswa ini bertujuan

untuk mengubah tatanan sosial-politik yang tidak mengedepankan nilai-nilai

kemanusiaan. Lebih jauh, mahasiswa bergerak untuk mengubah penindasan

(kemiskinan) menuju kehidupan yang lebih beradab. Paradigma berpikir ini di

dapat mahasiswa ketika mereka mulai bersentuhan dekat dengan dunia

pendidikan.

Definisi gerakan mahasiswa itu sendiri cukup jamak. Artinya, gerakan

mahasiswa tidak hanya dipahami sebagai adanya sekelompok massa (mahasiswa)

yang berkumpul dan melakukan unjuk rasa, dan dimana umumnya dilakukan di


(18)

mahasiswa adalah sebuah komunitas sosial yang melakoni aktifitas politik,

terlepas dari jumlah, metode dan hasilnya1

Bicara tentang gerakan mahasiswa, paling tidak ada dua kondisi yang

menyebabkan mahasiswa terlibat dalam kegiatan politik tersebut. Pertama,

pemikiran yang mengatakan mahasiswa sebagai ujung tombak perubahan sistem

sosial-politik. Dalil ini sendiri berangkat dari pernyataan bahwa mahasiswa

sebagai komunitas yang lebih maju dibandingkan dengan komunitas masyarakat

lainnya. Lebih maju karena mahasiswa mempunyai tingkat pendidikan yang lebih

tinggi.

.

Kedua, pemikiran yang menyebutkan mahasiswa adalah komunitas sosial

yang lebih cepat meresponi ketimpangan sistem politik. Biasanya gerakan

mahasiswa ini dipicu karena adanya penindasan secara struktural dari atas ke

bawah. Yang akibatnya tak jarang menimbulkan krisis di masyarakat.2

Seperti telah disinggung di awal tulisan, gerakan mahasiswa sudah hadir

seiring datangnya abad ke-20. Namun, mengingat begitu terlalu jauh untuk

menuliskannya, maka penulis di sini akan membatasi latar belakang sejarah

1

Adi Suryadi Culla, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999, hal., 17

2


(19)

gerakan mahasiswa. Yaitu dimulai pasca Indonesia merdeka, tepatnya pada

periode 1960-an. Berbicara gerakan mahasiswa pada periode ini, maka kita akan

melihat dinamika gerakan yang berbeda dengan dinamika sebelum kemerdekaan.

Salah satunya yaitu mengenai musuh gerakan itu sendiri. Jika sebelumnya

musuh gerakan mahasiswa adalah pemerintah Kolonial Belanda yang sudah

menginjakkan kakinya di Indonesia sejak akhir abad ke-16 dan pendudukan

Jepang selama kurang lebih 3,5 tahun, maka setelah kemerdekaan musuh tersebut

adalah anak bangsa sendiri.

Kedudukan atau peranan mahasiswa pascakemerdekaan yaitu ikut untuk

mengisi alamnya kemerdekaan itu sendiri. Terutama dalam hal pendidikan (back

to campus). Mahasiswa menyadari dengan pendidikan tinggi yang nantinya

diperoleh, mereka bisa menyumbangkan pemikiran dan tenaga untuk membangun

bangsanya. Sebagai contoh, yaitu untuk memasuki pos-pos di setiap departemen

atau kementerian yang tentunya membutuhkan tenaga-tenaga ahli di bidangnya.

Namun, mahasiswa ketika itu juga tidak semerta-merta meninggalkan dirinya dari

kegiatan aktifitas politik.

Pada masa ini banyak bermunculan organisasi pergerakan mahasiswa.


(20)

dari partai politik (parpol) yang ada ketika itu. Lihat saja misalnya, Gerakan

Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan PNI, Consentrasi

Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang berafiliasi dengan PKI, Gerakan

Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) yang berafiliasi dengan PSI, Pergerakan

Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi dengan NU, Himpunan

Mahasiswa Indonesia (HMI) yang berafiliasi dengan Masyumi, dll.

Sayangnya, di satu sisi, hal ini cukup membuat gerakan mahasiswa

menjadi lemah (tidak independen). Dalam arti, gerakan mahasiswa tidak lagi

berdiri secara otonom, tetapi sudah menjadi komoditi politik dari parpol. Maka,

warna pergerakan organisasi mahasiswa saat itu sama dengan warna pergerakan

parpol yang menaunginya. Di satu sisi, adalah tidak salah jikalau gerakan

mahasiswa mempunyai kekuatan politik yang berasal dari pihak elite (parpol).

Namun, kondisi ini menjadi tidak sehat ketika gerakan mahasiswa lebih

menampakkan diri sebagai alat kepentingan sesaat dari elite. Memasuki periode

1960-an warna politik Indonesia adalah buah dari pelaksanaan Demokrasi

Terpimpin sebagai pengganti dari Demokrasi Parlementer atau Liberal. Pada


(21)

disebabkan kebijakan Soekarno yang banyak membubarkan parpol,3

Kalau toh ada organisasi mahasiswa yang masih menjadi underbouw

sebuah parpol, itu lebih dikarenakan parpol tersebut pro kepada pemerintah

(Soekarno). Seperti PNI dan PKI. Dari sinilah perlahan-lahan gerakan mahasiwa

mulai tampil kritis, terlepas dari tidak adanya parpol yang menaungi mereka. Di

sisi lain, konstelasi politik ketika itu semakin memanas.

sehingga

organisasi gerakan mahasiswa sebagai underbouw sebuah parpol, merasa

kehilangan induknya.

Pertentangan parpol (kecuali PKI) dengan pemerintah, militer (AD)

dengan pemerintah maupun dengan PKI semakin menjadi-jadi. Situasi ini

semakin kritis ketika dua kekuatan politik internasional ikut mempengaruhi

konstelasi politik dalam negeri. Yaitu antara AS (liberal) dengan Uni Soviet

(komunis). Dalam perkembangannya dominasi politik luar negeri AS lebih

kentara dibandingkan dengan Uni Soviet.

3

Beberapa partai politik yang dilarang adalah Masyumi dan PNI. Ini terjadi di bulan Agustus 1960. Selain partai politik, beberapa tokoh yang dianggap berseberangan dengan Soekarno dijebloskan ke penjara. Diantaranya yaitu, Syarifuddin, Natsir, Simbolon, Burhanudin, Syahrir, dll. Lihat M.C. Ricklefs, Dharmono Hardjowidjono (pnj.), Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hal., 406 dan 408


(22)

Salah satunya bisa dilihat dari usaha-usaha AS untuk menjatuhkan

Soekarno. Langkah ini diambil karena Soekarno tidak bisa diajak berkerja sama

dengan AS, terutama dalam hal ekonomi dan ideologi. Sejalan waktu dengan

meletusnya peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S), seakan menjadi pertanda

bahwa kejatuhan Soekarno tinggal menunggu waktu.

Kejadian ini sendiri sampai sekarang masih menjadi catatan gelap dalam

historiografi Indonesia.4 Pascaperistiwa ini gerakan mahasiswa semakin menguat.

Ini bisa dilihat dari terbentuknya KAMI5 yang mengusung Tritura.6

4

Sampai saat ini belum diketahui apa motif sesungguhnya pada peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 itu. Ada beberapa spekulasi/teori yang muncul berkaitan dengan peristiwa tersebut. Diantaranya yaitu, pemberontakan PKI, kudeta “merangkak”militer (AD), konspirasi kekuatan internasional (AS-CIA), bahkan ada yang menyebutkan Soekarno sendirilah sebagai dalang utamanya.

Ada hal yang

menarik di sini. Pada masa Demokrasi Parlementer atau Liberal, organisasi

5

Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI didirikan pada tanggal 25 Oktober 1965 yang dipelopori oleh Menteri PTIP Mayjen dr. Syarief Thayeb. KAMI terdiri antara lain dari HMI, PMII, GMKI, dll. Lebih jauh lihat Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 47-53. Sementara tujuannya adalah untuk menyatukan gerakan mahasiswa dalam rangka mengamankan Pancasila, menggalang anti-Nasakom, dan membantu ABRI untuk memberangus G 30 S/PKI. Lihat juga Muridan S. Widjojo, Penakluk Rezim Orde Baru: Gerakan Mahasiswa 1998, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999, hal., 45.

6

Isi Tritura (sebelumnya dikenal dengan istilah suara hati nurani rakyat-Hanura) yaitu bubarkan PKI, rombak Kabinet Dwikora dan turunkan harga.


(23)

mahasiswa cenderung untuk menjadi underbouw dari parpol, sedangkan pada

masa Demokrasi Terpimpin, mahasiswa cenderung melekat kepada militer (AD).

Kembali gerakan mahasiswa menjadi tidak otonom. Sama halnya ketika

menjadi underbouw parpol, pergerakan mahasiswa lebih menunjukkan

kepentingan (alat) militer. Yaitu untuk mengganti Soekarno. Perjuangan KAMI

yang di back up penuh militer akhinya menuai hasil. Pertanggungjawaban

Soekarno dengan judul Nawaksara ditolak anggota MPRS7

Memasuki zaman Orba, gerakan mahasiswa menemui kondisi yang sama

dengan ketika Indonesia baru saja merdeka. Yaitu lebih menarik diri sambil

mengikuti perkembangan situasi atau keadaan. Ketika Soeharto berkuasa

mahasiswa seakan-akan memberikan kesempatan kepadanya untuk membuktikan

pemerintahan yang dipimpinnya dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih

baik. Namun, memasuki pertengahan tahun 1970-an, gerakan mahasiswa kembali . Peristiwa ini ibarat

membukan pintu masuk kepada Soeharto untuk menjadi Presiden, yang di

kemudian hari dikenal dengan istilah Orde Baru (Orba)

7

Sebelum pidato Soekarno di MPRS, terlebih dahulu terbit yang namanya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Hal ini digunakan oleh Soeharto sebagai senjata ampuh untuk memuluskan rencananya. Diantaranya yaitu dengan mengganti anggota MPRS dengan anggota baru pilihannya.


(24)

bergolak. Tepatnya di tahun 1974 dan tahun 1978. Di tahun 1974 meletuslah

peritiwa Malari. Peritiwa ini sendiri tidak terlepas dari kontroversi.

Ada yang mengatakan aksi mahasiswa tersebut bukanlah murni

perjuangan mereka sebagai agen of change. Dengan kata lain peristiwa Malari

telah ditunggangi. Beberapa spekulasi yang berkembang mengatakan peristiwa ini

lebih merupakan puncak pertikaian terselubung antara Sumitro dengan Ali

Moertopo. Keduanya ingin mendapatkan nilai lebih di mata Soeharto. Peristiwa

ini sendiri meninggalkan noda hitam bagi sejarah pergerakan mahasiswa.

Bagi mahasiswa, beberapa aktivis ditangkap dan diadili. Termasuk mantan

ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar. Sedangkan di tataran elite, yaitu

dengan mundurnya Soemitro selaku Pangkopkamtib. Peristiwa Malari adalah

gerakan pertama mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan

pembangunan Soeharto. Gerakan mahasiswa berikutnya yaitu pada tahun 1978.

Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini muncul karena kekecewaan

mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan Soeharto.

Namun, kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari

nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Hanya saja isu-isu yang dilemparkan oleh


(25)

Orba dalam proses pemilu. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan berani

mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali

mencalonkan dirinya menjadi Presiden.

Untuk menghindari aksi-aksi berikutnya dari mahasiswa, maka pemerintah

mengeluarkan kebijakan NKK/BKK.8

Memasuki periode 1980-an, dinamika pergerakan mahasiswa (dalam hal

ini di Jakarta) benar-benar lemah, jika tak mau dikatakan mati total. Dalam

rentang waktu sepuluh tahun, kita tidak melihat adanya sebuah peristiwa atau

momentum sebagai hasil dari gerakan mahasiswa. Pergerakan mahasiswa

seakan-akan kehilangan akal (daya kreatifitas) untuk menciptseakan-akan sebuah momentum. Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk

mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup

memahami politik dalam artian teori bukan praktek. Kemudian, jika diadakan

evaluasi terhadap kedua aksi tersebut, maka nilainya adalah kegagalan. Salah satu

yang menyebabkannya yaitu tidak adanya partner politik mahasiswa ketika itu.

Akibatnya, gerakan ini dengan mudahnya ditumpas oleh penguasa. Ini berbeda

dengan gerakan mahasiswa 1966 yang mendapatkan dukungan penuh dari militer.

8

NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) berdasarkan SK No 0156/U/1978 dan BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan) berdasarkan SK RI No 037/U/1979. Keduanya dikeluarkan oleh Menteri PTIK, Daoed Yosoef


(26)

Gejala ini tentunya menarik untuk dipertanyakan. Apakah memang jiwa

zaman (zeitgeist) pada periode ini berbeda dengan periode sebelumya? Jika

memang benar, permenungan selanjutnya adalah mengapa gerakan mahasiswa tak

kunjung jua mencari jalan keluarnya. Maksudnya, mencari solusi dalam kerangka

proses menuju penciptaan momentum yang baru. Toh, gerakan mahasiswa

1970-an berhasil menciptak1970-an momentum: Malari.

Padahal, kondisi zamannya berbeda dengan tahun 1960-an. Oleh

karenanya, penulis beralasan pada periode ini adalah memang masa stagnan

gerakan mahasiswa. Terkhususnya ketidakberhasilan gerakan mahasiswa ketika

itu untuk menciptakan sebuah momentum. Kenapa? Karena penulis juga

beranggapan sebuah gerakan mahasiswa dapat dikatakan berhasil jika ia bisa

menciptakan sebuah momentum. Dari sinilah akan nampak keunggulan gerakan

mahasiswa dalam menjalankan proses perubahan. Persoalan momentum itu sukses

atau tidak, adalah lain hal. Di satu sisi, kevakuman gerakan mahasiswa pada

periode ini dikarenakan beberapa hal.

Pertama, pemerintah sangat menyadari betul bahwa mahasiswa adalah

salah satu elemen terpenting dalam mewujudkan perubahan sosial. Oleh karena


(27)

ingin kecolongan lagi. Karena itulah keluar kebijakan NKK/BKK. Kebijakan ini

benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada. Karena setiap

tindakan yang mengarah kepada kritikan terhadap pemerintah, langsung dihadapi

oleh cara-cara represif. Alasannya, hal itu dapat menggganggu stabilitas

keamanan.

Kedua, selain adanya campur tangan pemerintah yang sangat jauh,

melemahnya gerakan mahasiswa periode 1981-1990 juga dikarenakan belum

terkonsolidasinya dengan kuat gerakan mahasiswa. Apalagi mahasiswa tidak

mempunyai partner politik dalam perjuangannya. Sesuatu yang berbeda dengan

gerakan mahasiswa tahun 1966 yang di back up penuh oleh militer.

Kondisi-kondisi ini berlaku secara umum (nasional) dan demikan pula halnya di Jakarta.

Selain permasalahan kevakuman ini, hal lain yang penulis lihat menarik

untuk dikaji di sini yaitu berubahnya pola atau metode pergerakan mahasiswa.

Jika pada masa Demokrasi Liberal gerakan mahasiswa terkonsentrasi pada

kehidupan parpol, maka pada periode ini gerakan mahasiswa sangat jauh

bersentuhan dengan parpol. Maka, fenomena yang muncul adalah berdirinya


(28)

muncul adalah kehadiran organisasi non-pemerintah (Ornop) atau Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM).

Jika kelompok studi fokus terhadap pembentukan sense of intelectual,

maka LSM lebih kepada aksi langsung ke basis-basis masyarakat. Juga

kemunculan pers mahasiswa atau Persmawa. Surat kabar kampus ini muncul

sebagai counter product terhadap media cetak umum yang isi pemberitaannya

condong merupakan “pesanan” dari penguasa. Dan terakhir, pembentukan komite

rakyat (KR) sebagai sebuah sintesa baru pergerakan mahasiswa. Di mana

kehadirannya karena perpaduan dari mantan anggota-anggota kelompok studi atau

Persmawa.

Berjamurnya kembali kelompok studi adalah salah satu dari sedemikian

banyak fenomena yang muncul. Untuk lebih jauh mengenai permasalahan

kelompok studi dan lainnya, akan dibahas dalam isi skripsi ini. Sedangkan untuk

pemilihan topik, penulis mengikuti apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo

mengenai pemilihan topik. Yaitu berdasarkan pada kedekatan emosional. Di mana

adanya kesamaan lokasi penelitian dengan tempat tinggal penulis9

9

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005, hal., 91-93


(29)

Tetapi, tentunya penulis tetap bersikap krisis dalam melakukan penelitian,

agar hasilnya tidak cenderung subyektifitas penulis. Untuk batasan periodesasinya

sendiri penulis mulai dari tahun 1981-1990.

1.2 Rumusan Masalah

Dinamika gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 memang tidak bisa

dilepaskan begitu saja dari periode-periode sebelumnya. Sifat, bentuk dan

permasalahan di dalamnya adalah kelanjutan dari periode sebelumnya. Tentunya

dengan ciri khas tersendiri. Oleh karena itu permasalahan inti (rumusan masalah)

yang ingin penulis kaji adalah berkaitan dengan:

1. Apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa Jakarta melemah

dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya?

2. Bagaimana pola atau metode gerakan mahasiswa Jakarta pada

periode 1981-1990?

3. Apa kontribusi gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 dalam

hubungannya sebagai agen perubahan sosial?

Seperti telah disinggung di atas, pembatasan pada periode 1981-1990

dikarenakan pada periode inilah gerakan mahasiswa benar-benar sangat jauh


(30)

mahasiswa pada masa ini sangat minim. Mungkin saja dikarenakan gerakan

mahasiswa pada saat itu sangat miskin dari prestasi. Tetapi ini bukan berarti

gerakan mahasiswa Jakarta periode 1981-1990 tidak menarik sama sekali untuk

dikaji.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Setiap proses pasti ada maknanya. Demikian pula halnya dengan proses

gerakan mahasiswa 1981-1990 di Jakarta. Dengan proses inilah kita dapat

mengetahui pengalaman berharga seperti apa yang dapat kita petik. Oleh karena

itu penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui kondisi-kondisi apa saja yang membuat gerakan

mahasiswa Jakarta 1981-1990 lemah dibandingkan dengan

periode-periode sebelumnya.

2. Mengetahui pola atau metode gerakan mahasiswa Jakarta

1981-1990

3. Mengetahui kontribusi apa saja yang dihasilkan dari gerakan

mahasiswa Jakarta 1981-1990


(31)

Setiap babakan waktu gerakan mahasiswa, terlepas dari kegagalan atau

keberhasilan, pasti mempunyai nilai-nilai positif bagi perkembangan perubahan

sosial-politik ke arah yang lebih baik. Begitu juga dengan penelitian ini

setidaknya dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk mengetahui beberapa

hal. Antara lain yaitu:

1. Bahwa gerakan mahasiswa Jakarta 1981-1990 tidak bisa

dilepaskan begitu saja dari masa-masa sebelumnya. Apa yang

terjadi pada periode ini adalah kelanjutan kisah dari

periode-periode sebelumnya.

2. Terlepas dari menurunnya prestasi pada periode ini, adalah

sangat tidak bijaksana untuk mengatakan tidak ada sama sekali

prestasi yang ditorehkannya. Paling tidak dalam skala kecil

sekalipun.

3. Untuk menambah literatur atau bahan bacaan yang berkaitan

langsung dengan gerakan mahasiswa di Jakarta.


(32)

Dalam pemilihan topik, penulis menggunakan kedekatan emosional seperti

yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Namun, bukan berarti penulis melepaskan

begitu saja faktor referensi untuk melakukan penelitian. Secara umum, buku-buku

tentang gerakan mahasiswa ditulis secara nasional. Oleh karenanya, penulis tidak

mendapatkan buku-buku yang penulisannya concern untuk gerakan mahasiswa

Jakarta saja.

Untuk menutupi kekurangan ini, penulis menggunakan referensi yang

secara tidak langsung menceritakan gerakan mahasiswa di Jakarta. Buku pertama

yang penulis gunakan yaitu “Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an” karya Denny J.A. Buku ini adalah tulisan Denny J.A yang sebelumnya di muat di media massa. Hubungannya dengan judul penelitian penulis adalah

banyak hal mengenai gerakan mahasiswa yang terjadi pada tahun 1980-an

dilengkapi di sini. Baik dalam hal tujuan atau orientasi gerakan, pola atau metode

gerakan, dll. Dari pemikiran inilah yang penulis tangkap sebagai gambaran

gerakan mahasiswa Jakarta pada periode 1981-1990.

Buku kedua yaitu berjudul “ Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998)” yang ditulis oleh Adi Suryadi Culla. Buku ini menceritakan sejarah gerakan


(33)

mahasiswa yang dimulai sejak terbentuknya Budi Utomo sampai meletusnya

reformasi 1998. Memang tidak diceritakan secara detail bagaimana dinamika

gerakan mahasiswa di Jakarta. Tetapi, ia setidaknya telah memberikan gambaran

umum apa yang terjadi pada gerakan mahasiswa di Jakarta. Seperti halnya mulai

terbentuk kelompok-kelompok studi di Jakarta. Kondisi yang hampir sama pada

awal pergerakan.

Sedangkan buku ketiga yang penulis gunakan yaitu “Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik” karangan Arbi Sanit. Buku ini mencoba melihat dinamika gerakan mahasiswa itu

sebagai gerakan politikkah atau hanya sebatas gerakan moral. Kaitannya dengan

judul penelitan penulis yaitu apakah dinamika gerakan mahasiswa Jakarta ketika

itu juga dipengaruhi pernyataan tersebut.

Lebih jauh Arbi Sanit juga menceritakan wilayah kekuasaan sebagai

sesuatu yang sangat mempengaruhi gerakan mahasiswa. Ada semacam

pragmatisme di kalangan mahasiswa. Ketika ia di luar struktur kekuasaan, akan

sangat giat untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Namun, setelah ia memasuki


(34)

Kondisi ini jugalah yang ingin penulis kaji, apakah juga menjadi bagian dari

gerakan mahasiswa Jakarta tahun 1981-1990?

1.5 Metode Penelitian

Kuntowijoyo mengatakan penelitian sejarah mempunyai lima tahapan

yang seyogyangya dilakukan sejarawan, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan

sumber, verifikasi, interpretasi dan historigrafi.10

Pada tahapan pengumpulan sumber (dikenal dengan istilah heuristik) yang

terdiri dari pengumpulan sumber berdasarkan urutan penyampaian (sumber primer

dan sumber sekunder) dan pengumpulan sumber berdasarkan bahannya (dokumen

dan artefak), penulis berada dalam posisi kedua. Maksudnya yaitu, sumber yang

penulis dapatkan masih kebanyakan berasal dari sumber sekunder, yaitu

buku-buku yang menceritakan sejarah gerakan mahasiswa. Pengumpulan buku-buku-buku-buku ini

sebagai dasar dari penelitian kepustakaan. Selain buku-buku, penulis juga akan Penulis sendiri cenderung untuk

mengikuti kelima tahapan tersebut. Dalam pemilihan topik, seperti telah diuraikan

dalam latar belakang, penulis menggunakan kedekatan emosional.

10


(35)

berusaha melengkapinya dengan dokumen baik berupa arsip maupun kliping

koran.

Untuk kekurangannya akan penulis lengkapi pada saat penelitian di

lapangan. Di mana di sini juga akan digunakan metode wawancara untuk

melengkapi data yang akan diteliti. Wawancara juga sangat dimungkinkan

mengingat periodesasi penelitikan yang tidak terlalu jauh. Sedangkan pada

tahapan verifikasi atau kritik sumber yaitu yang terdiri dari kritik internal

(kredibilitas) dan kritik eksternal (autensitas atau keaslian sumber) dan

interpretasi akan penulis lakukan jika data-data yang diinginkan telah memadai.

Kemudian barulah sampai pada tahapan terakhir, yaitu historiografi atau penulisan


(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM JAKARTA 2.1 Sejarah Singkat Jakarta

Seperti umumnya kota-kota besar lain di Indonesia, Jakarta juga

mempunyai riwayat panjang tentang sejarah berdirinya. Jakarta saat ini adalah

bermula dari pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sendiri berada

di bawah taklukan kerajaan Pajajaran yang beragama Hindhu. Sunda Kelapa

merupakan pelabuhan yang strategis. Setidaknya hal ini sesuai dengan laporan

musafir Portugis yang bernama Tome Pires. Di mana ia menyebutkan Sunda

Kelapa dapat menghasilkan 1000 bahar lada, sepuluh jung beras setiap tahun,

emas, sayuran, lembu, babi, dll.11

Karena alasan strategis perdagangan inilah, bangsa Portugis yang telah

menduduki Malaka sejak tahun 1511, mengadakan perjanjian kerjasama dengan

Sunda Kelapa pada tanggal 21 Agustus 1522. Selain alasan ekonomis, Portugis

11

Abdurracman Surjomihardjo, Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LKRN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 2000, hal., halaman tidak diketahui


(37)

BAB II

GAMBARAN UMUM JAKARTA 2.1 Sejarah Singkat Jakarta

Seperti umumnya kota-kota besar lain di Indonesia, Jakarta juga

mempunyai riwayat panjang tentang sejarah berdirinya. Jakarta saat ini adalah

bermula dari pelabuhan yang bernama Sunda Kelapa. Pelabuhan ini sendiri berada

di bawah taklukan kerajaan Pajajaran yang beragama Hindhu. Sunda Kelapa

merupakan pelabuhan yang strategis. Setidaknya hal ini sesuai dengan laporan

musafir Portugis yang bernama Tome Pires. Di mana ia menyebutkan Sunda

Kelapa dapat menghasilkan 1000 bahar lada, sepuluh jung beras setiap tahun,

emas, sayuran, lembu, babi, dll.11

Karena alasan strategis perdagangan inilah, bangsa Portugis yang telah

menduduki Malaka sejak tahun 1511, mengadakan perjanjian kerjasama dengan

Sunda Kelapa pada tanggal 21 Agustus 1522. Selain alasan ekonomis, Portugis

11

Abdurracman Surjomihardjo, Perkembangan Kota Jakarta, Jakarta: Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LKRN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 2000, hal., halaman tidak diketahui


(38)

juga berniat untuk membangun benteng pertahanan.12 Namun, niat Portugis ini

tidak kesampaian karena Sunda Kelapa terlebih dahulu keburu jatuh ke tangan

Fatahillah, menantu Sultan Demak, Trenggana, yang juga dibantu oleh kerajaan

demak13. Ini terjadi di tahun 1527. Dan pada tanggal 22 Juni 1527 Sunda Kelapa

diganti namanya menjadi Jayakarta.14

Pengalihan kekuasaan ini sendiri tidak mengurangi peranannya sebagai

pelabuhan yang strategis. Di satu sisi, bangsa Belanda telah tiba di Nusantara,

tepatnya di Banten pada bulan Juni 1596. Kedatangan bangsa Belanda ini

dipimpin oleh Cornelis de Houtman.

Dan tak lama kemudian ia pun menjadi

kerajaan islami.

15

12

Ibid., Lihat juga Edi Sedyawati, Supratikno Rahardjo, dkk., Sejarah Kota Jakarta 1950-1980, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1987, hal., 15

Namun, kehadiran mereka di Banten tidak

mendapatkan sambutan yang baik. Hal ini dikarenakan sikap monopoli

perdagangan Belanda. Tahun 1619 terjadilah pertempuran antara Belanda di

bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen dengan Banten dan Inggris. Pertempuran

ini sendiri untuk memperebutkan Jayakarta.

13

Demak sebelumnya bagian dari Pajajaran. Namun, memisahkan diri seiring masuknya agama Islam ke sana. Ibid.

14 Ibid. 15


(39)

Akhirnya, Belanda dapat menduduki Jayakarta. Kemenangan ini karena

adanya dukungan Kerajaan Banten yang balik menyerang Inggris. Keputusan

Banten ini di dasari bahwa lebih menguntungkan jika Belanda yang menguasai

Jayakarta dibandingkan Inggris.16 Keputusan ini ternyata di kemudian hari sebuah

blunder. Pada bulan Mei 1619, JP Coen dengan armada kapal yang lebih besar

memukul balik Banten untuk segera menguasai secara keseluruhan dari

Jayakarta17

Dengan alasan pelabuhan yang strategis, maka Belanda pun dengan segera

memindahkan VOC dari markasnya di Banten ke Batavia. Selain digunakan

sebagai pelabuhan (perdagangan), Batavia juga dijadikan sebagai pusat kekuatan

militer VOC. Seiring waktu, Batavia berkembang menjadi kota yang modern.

Berbagai macam infrastruktur pun dibangun. Seperti jalan, trem, kantor, istana.

Batavia juga mulai di padati penduduk. Baik yang berasal dari Eropa, Cina

maupun penduduk lokal nusantara yang hijrah ke Batavia.

. Dan sejak saat itulah nama Jayakarta berubah menjadi Batavia, yang

berasal dari suku bangsa Jerman kuno di Belanda.

16

Ibid., hal., 45 17


(40)

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) Batavia diubah lagi menjadi

Jakarta. Dan melalui peraturan UU no 10 tahun 1964, Jakarta ditetapkan sebagai

pusat Ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2.2 Keadaan Geografis

Jakarta terletak pada posisi 106˚22´42˝ BT sampai 106˚58´18˝ BT dan -5˚19´12˝ LS sampai -6˚23´54˝ LS. Luasnya sendiri adalah 655,76 km² atau 65.000 ha. Sedangkan untuk batas-batasnya adalah:

Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa,

Sebelah selatan berbatasan dengan Depok,

Sebelah barat berbatasan dengan Banten,

Sebelah timur berbatasan dengan Jawa Barat.18

Selain itu, Jakarta juga terbagai atas lima wilayah Kotamadya dan satu

Kabupaten Administratif, yaitu: Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Utara,

Jakarta Timur, Jakarta Pusat, dan Kepulauan Seribu. Jakarta mempunyai keunikan

dalam hal luas wilayah. Paling tidak dalam rentang waktu dari tahun 1967-1978,

Jakarta mengalami lima kali perluasan wilayah. Di awali tahun 1967 luas Jakarta

18


(41)

adalah 590,11 km², dan tahun 1969-1975 menjadi 587, 62 km². Berubah kembali

menjadi 637,44 km² pada tahun 1976-1977. Kemudian di tahun 1978 wilayah

Jakarta bertambah lagi menjadi 654,90 km² dan akhirnya sesudah tahun 1978

menjadi 655,76 km².

Adanya disparitas luas wilayah Jakarta dari tahun ke tahun ini disebabkan

oleh kebijakan pembulatan atau tambahan wilayah dari desa-desa provinsi Jawa

Barat ke dalam wilayah Jakarta.19 Sebagai pusat Ibukota dari Republik Indonesia

adalah wajar jika setiap lahan di Jakarta banyak bangunan. Baik itu diperuntukkan

untuk kepentingan pemerintahan, bisnis (ekonomi), hiburan, dll. Kota Jakarta juga

selalu dijadikan acuan atau barometer utama untuk mengubah tingkat kehidupan.

Maka tidak aneh salah satu masalah kota Jakarta ialah kepadatan penduduk.

2.3 Sistem Ekonomi Penduduk Jakarta 2.3.1 Penduduk Jakarta

Sama dengan daerah lainnya di Indonesia, sifat heterogen menjadi ciri

penduduk kota Jakarta. Heterogenitas ini juga sangat didukung oleh potensi

Jakarta sebagai wilayah utama bagi penduduk di luar Jakarta untuk mencari

19


(42)

pekerjaan. Pluralitas masyarakat Jakarta ini sudah berlangsung sejak lama.

Bahkan ketika masih sebagai wilayah kolonialisme Belanda. Tepatnya, ketika

Jayakarta berhasil dikuaasai VOC dan diganti namanya menjadi Batavia.

Pengalihan kekuasaan ini membuat VOC melakukan pembangunan

menuju sebuah kota yang lebih modern. Akibatnya, Batavia menjadi lebih ramai

oleh kedatangan penduduk dari luar Batavia, seperti orang-orang Cina. Namun,

kota Jakarta juga mempunyai penduduk asli (lokal). Yaitu suku bangsa Betawi.

Menurut sejarahnya, suku Betawi merupakan hasil perkawinan campuran

beberapa suku bangsa: Bali, Sumatera, Arab dan juga Portugis. Jadi dengan kata

lain, suku Betawi terbentuk oleh heterogenitas masyarakat Jakarta (Batavia) pada

masa lalu.

Suku Betawi sendiri terdiri atas dua jenis. Pembagian ini didasari oleh

letak geografisnya. Pertama, Masyarakat Betawi Tengah. Domisilinya meliputi

wilayah bekas kekuasaan Batavia. Namun, tidak termasuk wilayah Tanjung Priok

dan sekitarnya. Masyarakat Betawi Tengah sangat kuat dipengaruhi oleh

kebudayaan Melayu dan juga agama Islam. Dalam wujud fisik hal ini nampak dari


(43)

Ciri lain Masyarakat Betawi Tengah adalah pengucapan tutur kata.

Dimana terjadi perubahan huruf vocal “a” menjadi huruf vokal “e” pada setiap

akhir suku kata. Misalnya, “di mana” menjadi “di mane”. Kedudukan sosial

masyarakat Betawi Tengah pada umumnya berada di tingkatan menengah ke atas.

Ini dikarenakan pada masa lalu kelompok Betawi Tengah mendapatkan akses

ekonomi yang lebih baik dari penguasa.

Kedua, Masyarakat Betawi Pinggiran. Kelompok masyarakat ini dibagi

lagi menjadi dua bagian.

1. Masyarakat Betawi Pinggiran bagian Utara. Domisilinya

meliputi bagian Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Tengerang.

Dalam soal kebudayaan kelompok masyarakat ini banyak

dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Hal ini terlihat dari

manifestasi kesenian mereka seperti Gambang Kromong,

Lenong, dan Tari Cokek.

2. Masyrakat Betawi Pinggiran bagian Selatan. Domisilinya

mulai dari Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Bogor, dan Bekasi.

Bedanya, kelompok masyarakat ini kental dengan budaya


(44)

mana terjadi perubahan vokal “a” menjadi huruf “ah” pada

akhir setiap kata. Misalnya, kata “gua” menjadi “guah”.

Adapun kelompok suku lainnya yang mendiami kota Jakarta

yaitu suku Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Ambon, dll.20

2.3.2 Ekonomi Penduduk Jakarta

Status Jakarta sebagai ibukota Indonesia sungguh berdampak positif bagi

perekonomian provinsi tersebut. Bisa dikatakan pusat perekonomian (bisnis)

nasional banyak ditentukan dari Jakarta. Peredaran uang secara nasional pun

terkonsentrasikan di sini. Adapun lapangan pekerjaan umumnya terbagi atas tiga

sektor. Sektor pertama meliputi pertanian. Kedua, terdiri dari pertambangan,

industri, bangunan, listrik, air, dan gas. Terakhir, perdagangan, angkutan atau

komunikasi, keuangan dan jasa masuk ke sektor ketiga.21

20

Tim Peneliti atau Penulis, Tito Adonis (ed.), Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional di Kelurahan Kebagusan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1989, hal., 13-15

21


(45)

Pada periode ini lahan pertanian masih bisa dijumpai di Jakarta. Umumnya

berseberangan dengan gedung-gedung bertingkat. Seperti perkantoran, perumahan

maupun bangunan untuk industri. Mereka yang bekerja di sektor pertanian

kebanyakan berpendidikan rendah sehingga sangat menyulitkan bagi mereka

untuk mendapatkan akses pekerjaan di sektor lainnya.

Di kota Jakarta banyak juga dijumpai pedagang, baik itu pedagang kecil,

pedagang keliling maupun pedagang kaki lima. Barang dagangannya bisa berupa

makanan, sayur-sayuran, buah-buahan, dll. Untuk profesi buruh juga mudah

dijumpai di kota besar seperti Jakarta. Sektor ini termasuk kelompok yang

mempunyai pekerjaan tidak menentu.

Karena sifat pekerjaannya tergantung kepada ada tidaknya proyek

pembangunan. Oleh karenanya untuk menyiasati kelangsungan hidup ketika tidak

ada pekerjaan, mereka beralih ke pekerjaan yang lainnya. Seperti menjadi kuli

sawah atau tukang becak. Selain penduduk dengan spesifikasi pekerjaan

menengah ke bawah, ada juga golongan pekerjaan menengah ke atas.

Mereka adalah pegawai atau karyawan. Baik itu pegawai di lingkungan

instansi pemerintah maupun yang bekerja di perusahaan swasta. Demikian juga


(46)

adalah pemilik akses atau penyedia lahan pekerjaan. Harus diakui, faktor

pendidikan ternyata sangat mempengaruhi tingkat perekonomian (status)

masyarakat Jakarta. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin tinggi pula

status sosial yang dimilikinya. Dan juga berlaku sebaliknya.

2.4 Sistem Kekerabatan

Suku Betawi memandang perkawinan sebagai suatu yang sakral. Selain

terdapat dalam ajaran agama (Islam), bagi suku Betawi pernikahan adalah suatu

kewajiban. Umumnya pernikahan berlangsung bagi laki-laki dan perempuan yang

menjelang usia dewasa. Meskipun demikian, pernikahan di bawah umur juga

terkadang terjadi. Orang tua suku Betawi sebenarnya mempunyai kewajiban

mencarikan jodoh untuk anaknya.

Namun, dalam perkembangannya si anak juga bisa mencari jodohnya

sendiri. Dengan syarat ia sudah akil baliq. Mengingat suku Betawi cukup fanatik

dalam menjalankan agamanya, maka jodoh yang akan dinikahi haruslah beragama

Islam. Dalam hal prosesi atau adat pernikahan, suku Betawi memiliki caranya


(47)

laki-laki dalam masyarakat Betawi mendatangi orang tua si perempuan untuk

melamarnya.

Beda dengan suku Batak yang biasanya rumit pada acara pelamaran, suku

Betawi justru sebaliknya. Kemudian, sebelum pesta pernikahan berlangsung,

maka diadakan terlebih dahulu prosesi ijab kabul.22 Setelah pernikahan

berlangsung, kebiasaan suami-isteri Betawi dalam bertempat tinggal mengikuti

prinsip utrolokal atau bilokal.23

Dalam keluarga inti di masyarakat Betawi, setiap anggota mempunyai

tugasnya masing-masing. Di mana isteri dan anak mempunyai kebiasaan

membantu suami sebagai kepala rumah tangga. Di samping keluarga inti (batih),

terkadang terdapat juga saudara lain yang ikut menumpang untuk bertempat

tinggal sementera. Bisa dari pihak si suami atau si isteri. Mereka biasanya sambil

menunggu mendapatkan pekerjaan yang tetap.

22

Tim Peneliti atau Penulis, Op., Cit., hal., 26-27 23

Utrolokal yaitu adat yang memberikan kebebasan kepada pasangan pengantin baru untuk tinggal menetap di dekat keluarga suami atau isteri. Sedangkan bilokal adalah adat menetap bagi pengantin baru untuk secara bergantian bertempat tinggal di keluarga suami atau isteri. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hal., 1257 dan 151


(48)

BAB III

Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta 3.1 Kondisi Umum Gerakan Mahasiswa 1970-an

Pascatumbangnya Orde Lama (Soekarno) gerakan mahasiswa masih

menunjukkan eksistensinya. Paling tidak di periode 1970-1980, ada dua peristiwa

yang bisa di tandai sebagai gerakan mahasiswa. Pertama, peristiwa 15 Januari

1974 atau yang dikenal dengan sebutan peristiwa Malari. Latar belakang peristiwa

ini di awali oleh kritikan mahasiswa terhadap konsep pembangunan yang

dijalankan Orde Baru (Soeharto).

Mahasiswa menegaskan bahwa pembangunan ekonomi dengan bantuan

hutang luar negeri sebagai fondasi utamanya tidak akan berhasil. Sebaliknya

pemerintah meyakini bahwa konsep pembangunan tersebut akan berdampak pada

pertumbuhan ekonomi. Formula trickle down effect sangat diyakini dalam hal

ini.24

24

Tickle down effect atau penetesan ke bawah adalah pemahaman bahwa rakyat akan mengalami perbaikan taraf hidup dengan sendirinya apabila pertumbuhan ekonomi nasional naik. Pemahaman ini dengan sendirinya gagal total sejalan krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997


(49)

Selain isu nasional, mahasiswa juga menyoroti permasalahan yang

sifatnya spesifik, yaitu soal Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Diantaranya adalah

Ali Moertopo dan Soedjono Hoermadani. Mahasiswa menilai mereka sebagai

tokoh-tokoh utama agar perekonomian Indonesia disusun berdasarkan konsep

pembangunan kapitalis. Singkatnya, meyakini ketergantungan terhadap modal

asing sebagai dasar pembangunan nasional.25

Lebih jauh, kekecewaan mahasiswa ini disebabkan adanya ingkar janji

Orba kepada mahasiswa. Seperti diketahui, mahasiswa melalui KAMI bersama

militer (AD) berhasil menggulingkan Soekarno. Mahasiswa kemudian mengambil

langkah wait and see. Artinya, mahasiswa ingin memberikan kesempatan kepada

Orba untuk memperbaiki keadaan Indonesia. Terutama soal kondisi politik dan

ekonomi.

Namun, kondisi ideal yang diidam-idamkan mahasiswa tak kunjung

datang. Puncak dari kekecewaan mahasiswa ini adalah peristiwa Malari. Satu hari

sebelum peristiwa ini terjadi, mahasiswa berdemonstrasi di lapangan udara Halim

Perdanakusuma berkaitan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuae

Tanaka. Jepang dijadikan sasaran mahasiswa karena dianggap sebagai salah satu

25


(50)

negara kreditor terbesar bagi Indonesia. Pada hari naas tersebut, mahasiswa telah

berkumpul di beberapa titik di Jakarta, yaitu di Salemba, Monas Glodok dan

Senen. Diperkirakan jumlah massa lebih dari 15.000 orang.

Aksi tersebut berubah menjadi tindakan kriminal yang di tandai dengan

pembakaran kendaraan bermotor, toko-toko, kantor-kantor, pusat bisnis, dll.

Untuk kendaraan sendiri diutamakan produk Jepang. Aksi ini meluas di beberapa

titik strategis di Jakarta, terutama kawasan Senen. Dari peristiwa ini diperkirakan

sebelas orang meninggal.26

Peristiwa Malari adalah gerakan mahasiswa pertama pada masa Orba.

Namun, sangat disayangkan gerakan ini tidak mengikuti sukses seperti

pendahulunya, generasi mahasiswa angkatan 1966. Ada beberapa hal yang

menyebabkan peristiwa Malari gagal. Pertama, Malari sebenarnya adalah

pertarungan elite militer, yaitu antara Ali Murtopo dan Sumitro. Keduanya

menjadi berseberangan karena ingin mendapatkan posisi tawar di depan

Soeharto.

27

26

Ibid, hal., 86-88

27


(51)

Hal yang sama juga dikatakan mantan ketua Dewan Mahasiswa (Dema)

UI yang juga tokoh Malari, Hariman Siregar. Dia menyatakan gerakan mahasiswa

(Malari) telah ditunggangi oleh banyak pihak28. Kedua, adanya anggapan bahwa

kerjasama mahasiswa dengan militer justru merugikan mereka sendiri.29

Momentum kedua gerakan mahasiswa periode 1970-an adalah gerakan

mahasiswa tahun 1978. Perbedaan mencolok dengan gerakan mahasiswa 1974

adalah gerakan mahasiswa 1978 lebih memfokuskan isu-isu yang sifatnya

spesifik. Memang isu-isu nasional masih juga dijadikan agenda aksi seperti

penyimpangan politik.

Diantaranya, pro dan kontra mekanisme pemilu mengenai rekruitmen

calon legislatif dari pusat hingga daerah, dan tata cara pemilihan Gubernur.30

Sedangkan isu spesifik yang diangkat adalah menolak Soeharto untuk kembali

menjadi Presiden.31

28

Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia, Jakarta: Network for South East Asian Studies (NSEAS), 1999, hal., 217

Perbedaan yang lainnya adalah tidak adanya dukungan elite

29

Denny J.A., Politik Kaum Muda Dan Pergerakan Zaman, Media Indonesia, 22 November 1989

30

Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 98 31

Ibid., hal., 99. Mahasiswa bahkan, dalam hal ini dipelopori Dipo Alam dan Bambang Sulastomo yang berasal dari keluarga mahasiswa UI Jakarta, mencalonkan mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, sebagai alternatif calon Presiden selain Soeharto. Lih., Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 106


(52)

(militer) pada gerakan mahasiswa kali ini32

Pada lain pihak, pemerintah segera bertindak cepat terhadap dua

gelombang gerakan mahasiswa pada periode 1970-an. Kebijakan penting yang

diambil yaitu keputusan Pangkopkamtib No. SKEP. 02. KOPKAM/1978 tentang

pembekuan Dema dan keputusan Menteri P dan K No. 0156/U/1978 tentang

Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

. Hal ini berbeda dengan angkatan

1966 dan angkatan 1974 yang didukung militer, meskipun dengan cara dan hasil

yang berbeda. Dengan kata lain gerakan mahasiswa 1978 menuai hasil yang sama

dengan gerakan mahasiswa 1974: kegagalan.

Inti kebijakan ini adalah pembubaran organisasi mahasiswa yang ada, di

mana selama ini dianggap dapat membahayakan status quo. Pendapat yang lebih

radikal menyebutkan, ini adalah bagian strategi elite (militer) untuk

mengamankan kekuasaan.33 Pendapat lain namun sejalan maknanya menyebutkan

NKK bermaksud agar mahasiswa hanya fokus pada studi (akademik) dan tidak

boleh terlibat dalam kegiatan politik.34

32

Ibid., Op., Cit., hal., 99 33

Muchtar E. Harahap, Op., Cit., hal., 55 34


(53)

Setahun kemudian pemerintah mengeluarkan konsep Badan Koordinasi

Kemahasiswaan (BKK) melalui SK Menteri P dan K No 037/U/1979. Kebijakan

ini mengatur organisasi baru di lingkungan perguruan tinggi sebagai pengganti

Dema. Bentuknya adalah berupa Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Badan

Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun, kebijakan ini tidak jauh

bedanya dengan NKK, yaitu sebagai usaha mengalienasi mahasiswa dari kegiatan

politik. Ini nampak dari besarnya wewenang birokrasi kampus, dalam hal ini

Rektor dan Pembantu Rektor (Purek) III, dalam menentukan kegiatan mahasiswa.

Jadi, dapat disimpulkan kebijakan pemerintah ini berdampak pada dua hal

bagi mahasiswa ketika itu. Pertama, mahasiswa menjadi tidak peka lagi terhadap

kondisi riil masyarakat. Mahasiswa menjadi apatis karena hanya ditempa dalam

perkuliahan semata-mata. Kedua, mahasiswa kehilangan basis massanya. Ini

dikarenakan organisasi yang ada telah dibekukan.35 Denny J.A.

membahasakannya sebagai depolitisasi dan deideologisasi kampus.36

35

Ibid., hal., 120-123 36


(54)

3.2 Gerakan Mahasiswa 1981-1990

Pascagerakan mahasiswa 1974 dan 1978, bisa dikatakan periode 1980-an

merupakan masa stagnasi gerakan mahasiswa. Bahkan boleh dikatakan tidak ada

momentum berarti yang berhasil tercipta pada masa ini. Gerakan mahasiswa pun

seakan-akan melupakan hakiki mengapa gerakan mahasiswa itu lahir. Menurut

Hariman Siregar ada dua hal mendasar dalam hal ini.

Pertama, adanya kondisi subyektif. Kondisi ini lahir sebagai buah

pemikiran intelektualitas mahasiswa. Yaitu kecakapan mahasiswa dalam soal

menganalisa lingkungannya. Dalam pemikiran ini mahasiswa menggambarkan

keadaan masyarakat yang ideal. Seperti terpenuhinya hak-hak dasar mereka dalam

soal pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Kedua, kondisi obyektif. Yaitu kondisi sebenarnya di lapangan

(lingkungan). Pada dua pemikiran ini terdapat disparitas antara alam pemikiran

ideal mahasiswa dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Jika yang pertama

mendambakan kesejahteraan, maka yang kedua malah menggambarkan

penindasan (kemiskinan).37

37

Hariman Siregar, Gerakan Mahasiswa: Pilar ke-5 Demokrasi, Jakarta: TePlok Press, 2002, hal., 1-3. juga lihat Adi Surya Culla, Op., Cit., hal., 20


(55)

lahirnya gerakan mahasiswa, baik sebelum kemerderkaan maupun setelah

kemerdekaan.

Memang harus diakui, banyak faktor yang menyebabkan gerakan

mahasiswa melemah pada periode ini. Misalnya, pemberlakukan NKK/BKK

seperti yang telah disinggung sebelumnya. Namun yang menjadi pertanyaan,

benarkah gerakan mahasiswa periode 1981-1990 tidak berbuat apa-apa bagi

sebuah proses perubahan sosial? Pertanyaan utama inilah yang akan penulis kaji,

terkhususnya gerakan mahasiswa di Jakarta.

Gerakan mahasiswa Jakarta pada periode 1981-1990 umumya tidak jauh

berbeda kondisi dan situasinya dengan daerah lainnya di Indonesia. Satu hal yang

pasti, mereka sedang mengalami masa-masa stagnasi pergerakan. Stagnasi dalam

arti mahasiswa tidak berhasil menciptakan momentum atau peristiwa seperti yang

terjadi di tahun 1966 atau 1974. Di mana ada penetrasi atau kontrol sosial yang

mengkerucut pada sebuah gerakan mahasiswa yang masif.

Melemahnya kontrol mahasiswa ini agaknya bertentangan dengan

pemikiran Denny J.A. Dirinya menyebutkan, jika mahasiswa tidak lagi terlalu

ketat dalam mengontrol pemerintahnya, maka bisa disebut negara itu berasal dari


(56)

sudah mapan.38

Justru, seharusnya mahasiswa lebih memainkan peranan penting dalam

konteks perubahan yang lebih baik. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa

negara-negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat demokrasi yang masih

lemah. Dengan begitu, jika tidak ada pengawasan yang efektif terhadap para

pengambil kebijakan (penguasa), maka ditakutkan akan terjadi penyelewengan

atau pelanggaran dalam penyelenggaraan politik, ekonomi dan sosial-budaya. Kondisi ini tentunya bertolak belakang dengan Indonesia, yang

masih dikategorikan sebagai negara berkembang. Dengan kata lain terjadi anomali

dalam hal ini.

Namun meskipun demikian, gerakan mahasiswa tidaklah benar-benar mati

total. Masih ada sekelompok anak muda yang tetap concern pada perubahan

sosial. Hanya saja masalahnya, gerakan ini tidaklah sporadik seperti gerakan

sebelumnya, tapi hanya pada tataran lokal saja. Dan isu yang diangkat juga

sifatnya spesifik. Seperti gerakan mahasiswa di Jakarta.

Orientasi gerakan mahasiswa di Jakarta tidak jauh berbeda dengan

orientasi gerakan di daerah lain. Setidaknya terdapat tiga orientasi di sini.

38

Kemapanan demokrasi ini ditandai dengan sistem check and balance yang ketat antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ditambah lagi adanya kontrol sosial yang efektif dari pers dan lembaga sosial lainnya, LSM, misalnya. Denny J.A. Op., Cit., hal., 3-4


(57)

Pertama, orientasi untuk menggugat depolitisasi kampus. Kedua, orientasi

advokasi (bantuan hukum) terhadap berbagai isu-isu lokal. Ketiga, orientasi yang

masih mengaitkan isu-isu nasional seperti kenaikan tarif listrik dan protes

legalisasi judi.39

Dari ketiga kondisi di atas, konsentrasi gerakan mahasiswa terlihat

memfokuskan diri terhadap perjuangan untuk mengikis depolitisasi kampus.

Depolitisasi kampus di sini artinya adalah strategi dari policy maker untuk

mengeliminasi infrastruktur politik kampus. Di mana dalam prakteknya

termanifestasikan dalam lima kebijakan.

1. Pembekuan Dewan Mahasiswa (Dema) sebagai pusat aktifitas politik

mahasiswa. Sehingga berdampak kepada polarisasi kegiatan politik di

kampus. Dampaknya adalah kegiatan politik mahasiswa beralih dari

kegiatan universitas ke tiap-tiap fakultas. Lebih jauh, setiap fakultas

ini hanya bisa mengadakan kegiatan ekstrakurikuler jika sesuai

dengan asal disiplin ilmu fakultasnya.

2. Masuknya Pembantu Rektor (PR) dan Pembantu Dekan (PD) bidang

kemahasiswaan ke dalam struktur organisasi mahasiswa. Meskipun

39


(58)

ditujukan sebatas pengayom atau pembina, kehadiran mereka lebih

berfungsi sebagai penyeleksi setiap kegiatan atau aktifitas yang ingin

dikerjakan oleh mahasiswa di kampus.

3. Pembredelan surat kabar kampus.

4. Pengambilalihan kegiatan inisiasi mahasiswa baru (Ospek). Hal ini

berdampak kepada terputusnya mata rantai penyebaran “virus”

ideologi atau pendidikan politik dari pihak senioren kepada

mahasiswa baru.

5. Adanya pemberlakuan sanksi akademis yang ketat bagi mahasiswa

yang dianggap melawan kebijakan kampus. Ini bisa dilakukan baik

melalui skorsing maupun pemberlakuan droup out (DO).40

Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan represif birokrat kampus ini adalah

tindak lanjut dari pemberlakukan konsep NKK/BKK sebelumnya. Di satu sisi,

fenomena gerakan mahasiswa dalam hal isu yang diangkat telah mengalami

pergesaran. Yaitu, tidak lagi mengusung isu nasional, namun sudah beralih ke

isu-isu lokal.

40


(59)

3.3 Metode Gerakan Mahasiswa 1981-1990 di Jakarta

Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata metode adalah

cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai

sesuai dengan yang dikendaki. Atau juga cara kerja yang bersistem untuk

memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.

41

Mereka juga mempunyai metode atau caranya sendiri sebagai pelampiasan

fungsi kontrol mereka terhadap penguasa. Seperti telah disinggung sebelumnya,

orientasi gerakan mahasiswa telah berubah. Yaitu, dari isu nasional beralih ke isu

lokal. Perubahan orientasi ini juga mengakibatkan perubahan metode gerakan

mahasiswa.

Demikian pula halnya dengan perjuangan Jakarta tahun 1980-an.

Di satu sisi, perubahan metode gerakan mahasiswa adalah pemikiran yang

wajar. Di mana metode ini harus disesuaikan dengan semangat jiwa atau zeitgeist.

Jika melihat gerakan mahasiswa jauh ke belakang, misalnya tahun 60-an dan

70-an, dapat disaksikan kekuatan mahasiswa masih terintegrasikan. Artinya,

mahasiswa bersatu padu menyatukan langkah dalam aksinya menentang sikap

41


(60)

otoriter penguasa. Di tahun 60-an, muncul aliansi KAMI dengan isu yang terdapat

dalam Tritura.

Kemudian pada tahun 1970-an, dengan dipelopori Dema universitas,

melahirkan konsep Tritura yang baru.42

Tak pelak kondisi ini menimbulkan polarisasi pada gerakan mahasiswa

ketika itu. Bahkan terkadang menimbulkan persaingan yang tidak sehat

antarindividu atau kelompok. Di satu sisi, kelemahan metode pada gerakan

mahasiswa ini juga diakibatkan karena tidak berfugsinya dengan baik organ-organ

mahasiswa yang berbasiskan massa atau kelompok Cipayung: HMI, GMKI, Hanya saja kekuatan politik mahasiswa

tahun 60-an (KAMI) lebih besar dibandingkan gerakan mahasiswa tahun 70-an

(Dema). Hal ini dapat dimaklumi saja, mengingat KAMI di back up penuh oleh

militer (AD). Kondisi berbeda justru dialami gerakan mahasiswa tahun 1980-an.

Dengan latar belakang masifnya sikap otoriter Orba, ketiadaan dukungan politik

dan timbulnya sikap saling curiga antarorgan mahasiswa, mengakibatkan metode

gerakan mahasiswa pada periode ini tidak terintegrasikan dengan baik. Dengan

kata lain, metode gerakan mahasiswa ini berjalan sendiri-sendiri.

42

Tritura baru berisikan ganyang korupsi, bubarkan asisten pribadi (Aspri) Presiden, dan turunkan harga. Lihat Adi Suryadi Culla, Op., Cit., hal., 82.


(61)

GMNI, PMKRI, PMII. Organisasi massa yang berbasiskan politik aliran ini

semakin merosot kualitasnya, sehingga menjadi tidak popular di mata mahasiswa.

Kondisi yang sama juga dialami oleh organisasi intra kampus seperti

Dema. Apalagi sejak dibekukannya lembaga tersebut pascatragedi Malari.43

Perpecahan internal HMI diawali oleh adanya kebijakan pemerintah Orba

untuk menerapkan asas tunggal Pancasila sesuai dengan UU No 18/1985 tentang

Keormasan. Menanggapi rencana pemerintah tersebut HMI terpecah menjadi dua

kubu. Kelompok pertama yaitu HMI Dipo dan kelompok kedua yaitu HMI

Majelis Penyelamat Organisasi (MPO).

Salah

satu kasus yang menunjukkan kemunduran kelompok-kelompok Cipayung

tersebut ialah perpecahan yang terjadi di tubuh Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI).

44

43

Denny J. A., Berpencarnya Kekuatan Politik Mahasiswa dan Lemahnya Organisasi, dalam Media Indonesia, 11 April 1989.

44

Nama HMI Dipo merujuk kepada alamat kantor HMI ini yang terletak di jalan Diponegoro. HMI Dipo adalah HMI yang pro kepada pemerintah (Orba) atau dengan kata lain menerima asas tunggal Pancasila. Sedangkan HMI MPO berasal dari adanya Majelis Penyelamat Organisasi yang beralamat di Bilangan, Tebet, Jakarta Selatan. Kelompok inilah yang menolak asas tunggal Pancasila dan tetap setia kepada asas Islam. Lihat Ubedilah dalam tesisnya yang berjudul Radikalisasi Gerakan Mahasiswa (studi kasus HMI MPO) tahun 1998-2001, Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan politik UI, Depok, 2003, hal., 42.


(62)

HMI Dipo menerima asas tunggal Pancasila sejak kongres ke-15 diadakan

di Medan tahun 1983. Dan sekaligus ditegaskan atau dikuatkan pada sidang pleno

III PB HMI dan rapat Majelis Pekerja Kongres (MPK) di Ciloto, Jawa Barat

(Jabar), tanggal 1-7 April 1985. Tindakan ini segera mendapatkan reaksi

penolakan dari beberapa cabang HMI, seperti dari Jakarta, Yogyakarta, Bandung,

Ujung Pandang, Bogor, Pekalongan, Semarang, Serang dan Tanjung

Karang-Lampung.

Cabang-cabang inilah, dengan motornya dari Jakarta, Yogyakarta, dan

Bandung, mengadakan forum bersama nasional pada Milad HMI ke-37 pada

tanggal 14-16 Februari 1986 di Jakarta. Dari sinilah muncul HMI MPO.45 Di sisi,

kelesuan pergerakan kelompok Cipayung secara tidak langsung telah menciderai

nilai-nilai mulia yang menjadi dasar pembentukan kelompok Cipayung tersebut.

Menurut Ahmad Bagdja46

45

Ibid., hal., 41

, paling tidak ada enam poin penting yang menjadi

tujuan berdirinya Kelompok Cipayung, yaitu:

46


(63)

1. Untuk menetang kebijakan pemerintah Orde Baru menjadikan

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai satu-satunya

wadah generasi pemuda Indonesia

2. Menentang pembubaran organisasi mahasiswa ekstra kampus,

3. Menolak politisasi kampus,

4. Menolak kebijakan NKK/BKK,

5. Menolak regimentasi generasi muda Indonesia, dan

6. Sebagai media untuk menjungjung tinggi kebersamaan, keanekaan,

toleransi, dan demokrasi.47

Selain keenam poin penting tersebut, kelompok Cipayung juga

mengusung tema sentral. Yaitu menjadikan kelompok Cipayung sebagai wahana

untuk menuju kebersamaan Indonesia yang sejahtera, adil, demokratis, bersatu,

dan berdaulat yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.48

Namun, terlepas dari ketidakberesan metode gerakan mahasiswa pada

periode ini, bukan berarti tidak ada sama sekali metode yang setidaknya menjadi

ciri khas gerakan mahasiswa ketika itu. Bonar Tigor Naipospos mengatakan,

47

Hasil tanya-jawab antara penulis dengan Ahmad Bagdja 48


(64)

kondisi kemunduran gerakan mahasiswa pasca 1978 membuat mahasiswa mencari

format baru.

Tentunya format ini diharapkan dapat menyalurkan aspirasi politik

mereka. Menurutnya ada dua keputusan yang diambil. Pertama, metode yang

konsentrasi gerakannya di luar domain kampus. Umumnya didominasi oleh

mantan aktivis mahasiswa. Bentuknya yaitu dengan membuat organisasi

non-pemerintah (Ornop). Kedua, bagi mahasiswa yang tetap berjuang dalam institusi

kampus banyak membentuk kelompok studi-kelompok studi.49 Tetapi, selain

Ornop atau LSM dan kelompok studi (KS), ada juga beberapa format baru yang

juga muncul pada era itu. Mereka adalah pers mahasiswa atau persmawa dan

Komite Rakyat

3.3.1 Organisasi Non Pemerintah (Onop) atau Lembaga Swdaya Masyarakat (LSM)

Kehadiran Ornop atau LSM bukanlah gejala yang baru pada era 80-an di

Jakarta. Lembaga swadaya ini sudah ada jauh-jauh hari sebelumnya. Esensi

49

Fahruz Zaman fadhly (ed.), Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998 dalam Gerakan Mahasiswa pasca NKK oleh Bonar Tigor Naipospos, Bandung: Pustakan Hidayah, 1999, hal., 48


(65)

terbentuknya sebuah LSM biasanya didasarkan kepada kondisi obyektif

perkembangan masyarakat. Dengan begitu esensi LSM bisa berubah pada tiap

waktu. Meskipun demikian, LSM awalnya berdiri untuk menyikapi proses

pembangunan.

LSM mencoba mengawal pembangunan itu, apakah ia sejalan dengan

tingkat pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebanyakan LSM mencoba

mempertanyakan konsep pembangunan yangg telah dijalankan. Dan pada

akhirnya, LSM melihat proses pembangunan itu sudah tidak ramah lagi kepada

lingkungan bahkan terhadap masyarakat.

Selanjutnya, LSM mulai mengkritisi kebijakan pembangunan. Dan tak

jarang LSM mengambil garis berseberangan dengan penguasa.50

Biasanya didasarkan akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengurusi

atau memenuhi kebutuhan publik. Seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dll. Kemudian,

adanya LSM bisa dipandang sebagai dua hal. Pertama, lembaga yang

kehadirannya sebagai perlambang kontrol sosial masyarakat(di dalamnya sudah

terkandung elemen dari mahasiswa) terhadap penguasa (negara).

50

Sebagaimana dikatakan oleh informan penulis, Saurlin Siagian, mahasiswa S2 di Belanda. Beliau juga ativis LSM di BAKUMSU, Medan.


(66)

Dengan kata lain LSM mencoba mengambil alih peranan atau fungsi negara

dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Kedua, LSM hadir secara sengaja

sebagai alat kepanjangan tangan pemerintah dalam membantu melaksanakan

kebijakan-kebijakan pemerintah.

Jadi, jika yang pertama tadi LSM adalah kelompok oposisi bagi penguasa,

maka yang kedua LSM adalah partner penguasa. Atas dasar dua pemikiran inilah

kelompok LSM juga hadir pada gerakan mahasiswa era 80-an. Pertanyaannya,

apakah kehadiran mereka sebagai lambang kontrol sosial atau justru sebaliknya?

Munculnya LSM pada tahun 80-an sebenarnya adalah kelanjutan dari periode

1970-an.

Di mana pada masa itu keberadaannya sebagai kelompok oposisi. Hanya

saja keberadaan mereka semakin terkonsolidasikan pada tahun 1980-an. LSM itu

sendiri dibagi dalam dua jenis. Pertama LSM besar (Big Non-Govermental

Organization/BINGO’S), di mana wilayah operasi kerjanya berskala nasional dan

disertai juga dengan dana besar.

Kedua, LSM kecil (Little Non-Govermental Organizations/LINGO’S)


(67)

kota atau wilayah saja.51

1. Sebagai jawaban atas pencarian strategi atau model pembangunan

alernatif yang lebih menekankan pemerataan, partisipasi

masyarakat dan pemenuhan kebutuhan pokok,

Adapun faktor yang menyebabkan mahasiswa ikut

terlibat dalam LSM antara lain adalah:

2. Untuk menanggapi kritik yang mengatakan gerakan mahasiswa

bersifat elitis, jauh dari persoalan nyata masyarakat, serta lebih

berorientasi pada tema-tema besar seperti keadilan, demokrasi,

korupsi, dll.

Faktor terakhir ini berkembang setelah beberapa aktifis mengevaluasi dan

mengidentifikasi kelemahan gerakan mahasiswa 1978, yang tidak mendapat

dukungan rill rakyat kebanyakan. Konsentrasi gerakan LSM adalah di luar

kampus. Mereka lebih fokus pada bidang pemberdayaan masyarakat. Tentunya

dalam kerangka kerja menciptakan iklim demokrasi yang sehat.

Makanya, tidaklah mengherankan jika kelompok-kelompok LSM banyak

menyerap ide-ide atau teori-teori yang dianggap penguasa ketika itu

“membahayakan” status quo, seperti marxisme, feminisme, islam radikal, teologi

51


(68)

pembebasan, dll.52 Ciri mencolok LSM adalah lebih menekankan kepada aksi

daripada pemikiran. Bagi mereka hal ini dapat menambah pengalaman untuk

semakin merasakan persentuhan dengan rakyat kecil.

3.3.2 Pembentukan Kelompok Studi (KS)

Fenomena kelompok studi (KS) seakan mengingatkan kita kembali kepada

salah satu metode perjuangan founding fathers kita di awal abad ke-20. Misalnya

saja, kita mengenal Kelompok Studi Umum (Algemeene Studieclub) yang

dikembangkan oleh Soekarno dan Kelompok Studi Indonesia (Indonesische

Studieclub) yang dimotori oleh Soeteomo. Setidaknya ada tiga alasan penting

terbentuknya KS ketika itu.

Pertama, kekecewaan pemuda terhadap parpol yang ada seperti PKI, dan

SI. Umumnya mereka kecewa dalam hal perbedaan ideologi. Kedua, anggapan

KS sebagai media alternatif pada waktu itu. Dalilnya adalah sangat

membahayakan bagi mereka jika menghadapi kolonialisme dengan cara-cara yang

represif. Ketiga, KS adalah media yang sifatnya lintas agama, suku dan daerah.

52 Ibid.


(69)

Sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial dan dapat membina persaudaraan.53

Kini sejarah berulang. Fenomena kelompok studi kembali hadir di era

80-an. Tentunya dengan jiwa atau semangat zaman (zeitgeist) yang berbeda.

Pembentukan KS tentunya mempunyai latar belakang seperti KS yang terbentuk

pada awal pergerakan nasional. Menurut Rizal Mallarangeng pembentukan KS

adalah sebuah perubahan gerakan mahasiswa akibat tindakan represif pemerintah

(militer) terhadap mahasiswa.

Tujuan mereka sendiri sangat tegas: Indonesia merdeka.

Perubahan ini juga sebagai ketidakpuasan mahasiswa terhadap lembaga

kepemudaan yang merepresentasikan kepentingan mahasiswa seperti Komite

Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Resimen Mahasiswa (Menwa).54 Sebab

lain kelahiran KS adalah terputusnya gerakan politik praktis mahasiswa. Apalagi

semenjak diberlakukannya konsep NKK/BKK.55

53

Adi Suryadi Culla, Op., Cit., hal., 25-26. Dan juga lihat Frank Dhont, Nunung Prajarto (ed.), Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005, hal., 30-47

Dengan kata lain KS adalah

metamorfosis gerakan mahasiswa akibat tidak mendukungnya sistem politik

ketika itu: depolitisasi dan tindakan represif penguasa.

54

Rizal Mallarangeng, PRD dan Megawati dalam majalah Gatra, 10 Agustus 1996 55


(70)

Kondisi ini sama halnya dengan KS pada awal ke-20. Hanya saja yang

menjadi subyek pembuat sistem politik yang dehumanisasi berasal dari kekuasaan

luar (asing), yaitu pemerintah Kolonial Belanda. KS pada periode 1980-an,

tepatnya pada tahun 1984-1986, tentunya berdiri dengan fungsi yang mengikuti

zamannya. Oleh karena kondisi saat itu tidak bersahabat dengan gerakan

mahasiswa, maka fungsi utama hadirnya KS adalah sebagai sense of intelektual.

Hal ini dapat dilihat pada tiga kondisi:

1. Format kegiatan mahasiswa pada periode ini adalah menekankan

terhadap aksi informasi.

2. Jika mahasiswa sebelumya terjebak dalam kegiatan politik praktis,

maka pada periode ini gerakan mahasiswa mempunyai tipe gerakan

berupa penyadaran, dakwah atau diskusi. Dan umumnya tema

diskusi tersebut berkisar di permasalahan politik, ekonomi dan

sosial budaya.

3. Karena bentuknya adalah kelompok studi, maka gugatan atau

tuntutan gerakan mahasiswa saat itu adalah gugatan politik berupa

teori atau konsep terhadap kebijakan yang ada.56

56


(71)

Pada umumnya kelompok studi-kelompok studi terkonsentrasikan di

kota-kota besar antara lain, di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Hal ini dapat saja

dimaklumi karena konstelasi politik nasional sangat dominan di pulau Jawa

(tentunya tanpa mengucilkan peranan atau kontribusi dari daerah lainnya,

terkhusus dari luar pulau Jawa). Untuk di Jakarta sendiri ada beberapa KS yang

menghiasi pergerakan mahasiswa pada periode 80-an.

Diantaranya yaitu, Kelompkok Studi Proklamasi (KSP), Kelompok Studi

Indonesia (KSI), Kelompok Studi Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci),

Kelompok Studi Lingkaran Studi Indonesia (LSI), Indonesian Students Forum for

International Studies (ISAFIS), dll. Namun, pada kesempatan ini, penulis hanya

akan membicarakan tiga KS saja: KSP, LSI dan Formaci.

3.3.2.1 Kelompok Studi Proklamasi (KSP)

Kata “Proklamasi” pada KSP didasarkan pada alamat KSP di jalan

Proklamasi, Jakarta Pusat. KSP sendiri berdiri pada tahun 1983. Mereka

melakukan diskusi bulanan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Makanya, tak

heran anggota-anggota KSP didominasi dari STF Driyarkara. Selain ada juga


(72)

Agama Islam Negeri (IAIN) Hidayatullah, Universitas Nasional (Unas), dan IKIP

Jakarta yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Dalam kegiatan diskusi rutinnya, KSP mengambil topik-topik sekitar

dunia mahasiswa dan isu-isi politik dan ekonomi yang berkembang pada saat itu.

Seiring perjalanan waktu, KSP sempat memindahkan sekretariatnya ke daerah

Rawasari.

3.3.2.2 Kelompok Studi Lingkaran Studi Indonesia

Jika KSP concern pada permasalahan sosial-politik, maka LSI

terkonsentrasi kepada soal perlindungan konsumen di pedesaan. Dengan kata lain,

domain ekonomi mendapatkan porsi yang besar dalam kegiatan diskusi mereka,

meskipun tema-tema tentang sosial-politik juga tetap disinggung oleh mereka.

Para anggota LSI kebanyakan berasal dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan

Politik dan Fakultas Sastra UI. Pada perkembangannya, LSI juga terkadang aktif

mendatangkan pembicara atau pemateri dari luar negeri.

Kemampuan mereka mendatangkan pembicara dari luar menunjukkan


(73)

(logistik). Ini terbukti juga ketika LSI sering mengadakan diskusi di hotel. LSI

sendiri berdiri pada tahun 1989.

3.3.2.3 Kelompok Studi Diskusi Formaci

Kelompok Studi ini adalah sempalan atau pecahan dari KSP.

Dibandingkan KS sebelumnya, KS Formaci termasuk KS yang “pas-pasan” dalam

hal pendanaan. Ini terlihat ketika mereka hanya mampu mengadakan diskusi di

rumah-rumah kontrakan mereka sendiri. Dan untuk pembicara atau pemateri juga

lebih banyak berasal dari kalangan internal mereka saja. Namun, kondisi ini

bukan berarti mengakibatkan mereka tidak serius dalam menjalankan

kegiatannya.

Bahkan KS ini termasuk golongan KS yang “radikal” dalam hal

pemikiran. Ini bisa dimaklumi karena pola pikir mereka kebanyakan diserap dari

ide-ide “kiri”. Buku-buku tentang Marxisme menjadi bacaan “wajib” bagi KS

Formaci. Keradikalan mereka juga ditunjukkan dalam kuantitas diskusi yang

intensitasnya cukup tinggi, yaitu sebanyak empat kali dalam seminggu.57

57


(74)

Dari beberapa contoh KS di atas kiranya cukuplah jelas bahwa fokus

utama berdirinya KS adalah sebagai media penyadaran. Mereka hadir sebagai

sebuah counter product terhadap isu-isu politik yang ada. Dan pada akhirnya

berharap kegiatan mereka dapat memberikan pengaruh kepada mahasiswa

lainnya, bahkan juga kepada masyarakat sekitarnya. Di lain pihak, ada juga yang

menyebutkan pembentukan KS merupakan sebuah gerakan intelektual mahasiswa.

Tentunya intelektual yang menekankan pada banyaknya kegiatan diskusi.

Sisi positif KS adalah adanya bukti dari mahasiswa untuk tetap bisa berkreatifitas

di tengah-tengah himpitan pihak penguasa. Memang dari segi penciptaan

momentum, gerakan kelompok studi belum bisa mengimbangi para

pendahulunya. Dengan kata lain, KS tidak berhasil merombak srtuktur atau sistem

politik otoriter ketika itu.

Keberadaan kelompok studi dan LSM ternyata bukan satu-satunya media

“pelarian” mahasiswa ketika itu. Memang kedua lembaga ini bisa dikatakan lebih

dominan. Baik dari segi jumlah (kuantitas organisasi dan anggota) maupun dari

segi kegiatannya. Tetapi, gerakan mahasiswa periode 1980-an juga menghadirkan

beberapa elemen perjuangan lainnya. Yaitu, pers mahasiswa (Persmawa) dan


(1)

DAFTAR NARASUMBER

NAMA : Ahmad Bagdja

PEKERJAAN : Salah satu ketua PB NU

ALAMAT : Jakarta

NAMA : Bambang Purwanto

TTL : Sungaliat, Bangka, 17 September 1961

PEKERJAAN : Dosen Sejarah UGM

ALAMAT : Dongkelan RT 09 No. 349, Yogyakarta

NAMA : Saurlin Siagian

PEKERJAAN : Aktivis LSM di BAKUMSU, dan kini sedang S2 di

Belanda

ALAMAT : Belanda

NAMA : Indra Piliang

PEKERJAAN : Staf CSIS


(2)

LAMPIRAN

Tabel 1. Penduduk DKI Jakarta Tahun 1981-1990

No. Tahun Penduduk

1. 1981 6.555.954

2. 1982 6.715.273

3. 1983 7.250.100

4. 1984 7.500.100

5. 1985 7.756.200

6. 1986 7.977.500

7. 1987 8.203.400

8. 1988 8.438.000

9. 1989 8.682.100

10. 1990 8.227.746


(3)

Table 2. Penduduk Menurut Kotamadya dan Jenis Kelamin

DKI Jakarta

No. Kotamadya Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Jakarta Selatan 967.161 938.122 1.905.283

2. Jakarta Timur 1.052.681 1.011.814 2.064.499

3. Jakarta Pusat 539.221 535.776 1.074.997

4. Jakarta Barat 912.880 907.139 1.820.019

5. Jakarta Utara 681.643 681.305 1.362.948

6. Jumlah 4.153.586 4.074.160 8.227.746

Sumber: Sensus Penduduk 1990 BPS Jakarta


(4)

Gambar 1: Pangkopkamtib Jenderal Sumitro sedang berorasi di tengah-tengan massa, pada peristiwa Malari tahun 1974


(5)

Gambar2: kerusahan melanda kota Jakarta dalam peristiwa Malari tahun 1974 Sumber: Tempophoto


(6)

Gambar 3: Lambang Kota Jakarta