NERACA KETERSEDIAAN PUPUK; PERBAIKAN SISTIM DISTRIBUSI DAN EFISIENSI PENGGUNAANNYA UNTUK MENDUKUNG PROGRAM “PAJALE” (PADI, JAGUNG, KEDELAI) DI KABUPATEN BANJAR
*Surel korespondensi: [email protected]
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
NERACA KETERSEDIAAN PUPUK; PERBAIKAN SISTIM DISTRIBUSI DAN
EFISIENSI PENGGUNAANNYA UNTUK MENDUKUNG PROGRAM “PAJALE”
(PADI, JAGUNG, KEDELAI) DI KABUPATEN BANJAR
Yusuf Azis *, Abdullah Dja’far
Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Jalan A. Yani Km 36 Banjarbaru 70714, Indonesia
Abstrak. Selama ini belum jelas sejauh mana neraca ketersediaan pupuk, juga sistim pendistribusian dan pengadaan
pupuk sering tidak sesuai dengan pemberian saat masa tanam serta belum terkait secara spesifik dengan suatu
program khusus seperti halnya „pajale‟ sekarang. Tidak mengherankan bila masalah pupuk ini justru bisa menjadi faktor
penghambat bagi petani untuk berproduksi secara optimal dan berpotensi menggagalkan program “Pajale”. Penelitianini bertujuan menentukan neraca ketersediaan dan sistem distribusi pupuk serta mengoptimalkan penggunaan pupuk
ditingkat petani agar tidak berlebihan. Lingkup penelitian meliputi produsen dan distributor pupuk wilayah Kalimantan
Selatan pada berbagai lini serta para petani yang terlibat dalam program “Pajale” khususnya petani tanaman padi danjagung di Kabupaten Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa neraca ketersediaan pupuk bersubsidi untuk upsus
Pajale masih belum mencukupi/tidak sesuai RDKK, sampai tahun 2019 bila tidak ada tambahan alokasi. Untuk pupuk
non subsidi cukup tersedia di pasar, tapi dengan harga yang lebih mahal. Dilihat dari sistem distribusinya, ternyata
terbagi atas empat (4) lini kegiatan, yaitu lini I (pabrikan/PT.Pupuk Kaltim), lini II (distributor Kalsel yang
mendistribusikan pupuk ke Kabupaten Banjar), lini III (penampung pupuk level kecamatan) dan lini IV (kelompok tani
yang menyusun RDKK). Masalah dalam distribusi ini adalah ketidaksesuaian antara ktersediaan pupuk dan masa
tanam atau saat diperlukan. Hasil analisis efisiensi penggunaan menunjukkan bahwa penambahan faktor produksi
pupuk (urea dan pupuk lainnya) dapat meningkatkan produksi padi dan jagung. Pada padi, elastisitas produksinya
adalah 0,215 (urea) dan 0,867 (pupuk lainnya), sedangkan pada jagung adalah 0,622 (urea) dan 0,244 (pupuk lainnya)
Kata Kunci: distribusi, efisiensi, ketersediaan, neraca, pajale, pupuk 1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasca tahun 1984 (swasembada beras), kita lengah sehingga setelah swasembada tersebut, Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras dan komoditas pertanian lainnya yang sangat menguras devisa negara. Pada tahun 2015 pemerintah menggaungkan kembali upaya pencapaian kedaulatan pangan khususnya untuk padi, jagung dan kedelai yang dikenal dengan upaya khusus (upsus)
“Pajale”. Tahun 2015; produksi padi ditargetkan 73,4 juta ton GKG, jagung 20,33 juta ton pipilan kering dan kedelai 1,27 juta ton biji kering (Deptan, 2014).
Agar program “Pajale” ini dapat berhasil, tentu saja diperlukan ketersediaan faktor produksi. Salah satu faktor produksi yang sangat berperan dalam upaya peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai adalah pupuk; baik pupuk organik maupun pupuk anorganik. Tanpa pupuk, penggunaan input lainnya seperti benih unggul, air dan tenaga kerja, hanya akan memberi manfaat minimal (Prayogo et al; 2007).
Secara nasional; sampai saat ini pengadaan pupuk bersubsidi masih mengalami kendala karena suplai yang kurang. Bahkan masalah pupuk ini selalu muncul setiap tahun. Data Deptan menyebutkan bahwa dari luas lahan tanaman pangan 20,14 juta ha maka kebutuhan teknis mencapai 18,27 juta ton (Harian Kompas, 20 April 2015). Dari sejumlah tersebut, pihak daerah mengusulkan pupuk bersubsidi sebesar 9,05 juta ton sedangkan pihak Deptan hanya mampu mengalokasikan 6,7 juta ton. Selisihnya 2,35 juta ton terpaksa dipenuhi dari pupuk non subsidi yang bagi petani padi, jagung dan kedelai tentu cukup memberatkan.
Permasalahan diatas diperparah lagi oleh sistim pendistribusian pupuk pada setiap daerah yang tidak didasarkan pada permintaan aktual atau tidak didasarkan pada besarnya kebutuhan petani sesuai tipologi lahannya, akibatnya ada yang kelebihan suplai pupuk dan ada pula sentra produksi padi yang mengalami kelangkaan pupuk. Oleh sebab itu, kebijakan pendistribusian (suplai) yang cenderung seragam tanpa didasarkan kebutuhan aktual pupuk oleh petani yang spesifik lokasi harus dirubah. Di level petani juga ada persoalan tentang belum diketahuinya efisiensi dari penggunaan pupuk tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah optimalisasi pemanfaatan pupuk untuk mendukung keberhasilan program khusus “Pajale” (kususnya peningkatan produksi padi) di Kabupaten Banjar sebagai sentra produksi pangan Kalsel. Optimalisasi ini akan dicapai melalui penentuan neraca ketersediaan pupuk serta mengefisienkan penggunaan dosisnya agar tidak berlebihan.
Oleh sebab itu kaitannya dengan kedaulatan pangan maka diperlukan peran pemerintah dalam hal teknologi dam penyediaan input termasuk penyediaan pupuk bersubsidi. Dalam program khusus “Pajale” dengan arget produksi tahun 2015 untuk padi, 73,4 juta ton GKG; jagung 20,33 juta ton pipilan kering dan kedelai 1,27 juta ton biji kering (Deptan, 2014); maka pemerintah akan menyediakan benih serta sebagian keperluan faktor produksi yang lain termasuk pupuk bersubsidi.
Peningkatan ketahanan pangan dan target mencapai kedaulatan pangan sangat terkait dengan komitmen Indonesia sebagai salah satu penendatangan kesepakatan dalam MDGs dan sejalan pula dengan Deklarasi Roma dalam World Food Summit (Enirawan, 2014; Ariani et al., 2007). Sejarah membuktikan bahwa masalah pangan erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabiltas ekonomi, dan stabilitas keamanan. Timmer (1997) menyebutkan bajwa ketahanan dan kedaulatan pangan merupakan syarat keharusan agar suatu Negara dapat membangun dan stabil.
2.1 Kedaulatan Pangan dan Program “Pajale”
Kabupaten Banjar 2.
(2) mengukur efisiensi teknis penggunaan pupuk oleh petani yang ikut dalam program khusus “Pajale” di
Secara khusus, penelitian ini bertujuan : (1) menentukan neraca ketersediaan pupuk yang sudah memperhitungkan keseimbangan antara kebutuhan riil dengan kemampuan penyediaan oleh pemerintah.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan diatas dan mencoba menjawab berbagai persoalan tersebut maka penelitian ini menentukan neraca ketersediaan pupuk (subsidi dan non subsidi) dalam kaitannya mendukung program Pajale. Penelitian ini juga ingin mengetahui efisiensi penggunaan pupuk oleh petani.
(2) Bagaimana tingkat efisiensi penggunaan pupuk sebagai salah satu faktor produksi untuk tanaman padi agar dapat mendukung keberhasilan program “Pajale” di Kabupaten Banjar?
Bagaimana neraca ketersediaan pupuk yang sudah memperhitungkan keseimbangan antara kebutuhan riil dengan kemampuan penyediaan oleh pemerintah?
Berdasarkan paparan di atas dirumuskan permasalahan; yaitu (1)
Tidak adanya data akurat untuk mengetahui luasan lahan pertanian pangan yang menjadi dasar penentuan penyusunan kebutuhan pupuk petani sesuai rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) mengakibatkan selalu terjadi gap antara usulan kebutuhan riil yang diajukan kelompok tani dengan realisasi alokasi pupuk bersubsidi yang ditentukan pemerintah. Dampak adanya gap ini akan semakin jauh lagi bila pupuk bersubsidi yang telah disetujui untuk dialokasikan terlambat datang akibat masalah transportasi. Pada beberapa daerah sentra produksi padi di Kabupaten Banjar, antara lain di Kecamatan Martapura Barat; kerap juga terjadi dimana pupuk telah disebar ternyata banjir datang sehingga pemupukan harus diulang untuk mengganti pupuk yang hanyut.
Sejumlah 70.978 rumah tangga pertanian yang ada di Kabupaten Banjar (BPS, 2014); sebagian besar adalah petani yang hanya mampu membeli pupuk bersubsidi. Tentu saja kemampuan pemerintah untuk menyediakan pupuk bersubsidi tersebut terbatas. Pada tahun 2015 ini; pemerintah secara nasional hanya mampu menyediakan sebanyak 9,54 juta ton yang terdiri dari 6,7 juta ton untuk tanaman pangan; 0,7 juta ton untuk hortikultura dan sisanya untuk perkebunan rakyat, peternakan dan perikanan budidaya (Kompas, 20 April 2015).
menurunnya jumlah produksi dan tidak tercapainya target yang telah ditetapkan pada program “Pajale”.
al; 2007). Dampak lanjutannya adalah
Salah satu faktor produksi yang sangat berperan dalam upaya peningkatan produksi padi , jagung dan kedelai adalah pupuk. Tanpa pupuk, penggunaan input lainnya seperti benih unggul, air dan tenaga kerja, hanya akan memberikan manfaat minimal sehingga produktivitas pertanian dan pendapatan petani akan rendah (Prayogo, et
TINJAUAN PUSTAKA
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
Pupuk merupakan unsur pokok dalam memproduksi komoditas pertanian (terutama padi) secara efisien dan berkelanjutan. Untuk komoditas tertentu, pupuk merupakan komponen terbesar dari biaya variabel produksi. Selama beberapa tahun terakhir, harga pupuk cenderung meningkat secara dramatis karena meningkatnya biaya energi untuk produksi, terutama gas alam, meningkatnya biaya transportasi dan meningkatnya permintaan (Alley and Wysor, 2005).
Di Indonesia, pupuk diproduksi oleh enam perusahaan yang membentuk sebuah holding company, dimana PT Pusri bertindak sebagai the leading company. Jumlah produksi masing-masing jenis pupuk sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Hal ini terjadi karena perusahaan pembuat pupuk adalah BUMN yang tujuan utamanya adalah mendukung pembangunan pertanian. Namun demikian pabrik diperbolehkan melakukan ekspor pupuk yang diproduksinya jika memungkinkan, dalam arti kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi lebih dahulu. Di sektor pertanian, kebutuhan pupuk setiap tahunnya ditetapkan dalam Permentan, terutama pupuk yang disubsidi pemerintah. Di luar pupuk yang disubsidi, terdapat pupuk nonsubsidi yang digunakan untuk perusahaan perkebunan besar dan perikanan.
Implikasi dari hal tersebut di atas adalah bahwa produksi pupuk tidak bersifat random atau stokastik tetapi direncanakan berdasarkan kebutuhan pupuk yang sebagian terbesar ditetapkan oleh pemerintah. Namun produksi pupuk dibatasi oleh kapasitas terpasang di pabrik. Faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah ketersediaan bahan baku pupuk seperti gas alam untuk pupuk nitrogin (N) dan fosfat alam (rock phosphate) untuk pupuk fosfat (P). Dengan demikian, maka paling sedikit ada tiga faktor yang mungkin sangat berpengaruh terhadap produksi pupuk, yaitu: (1) kapasitas terpasang di pabrik; (2) kebutuhan pupuk ketetapan pemerintah; dan (3) ketersediaan bahan baku pupuk.
Permintaan pupuk di tingkat agregat dapat dikelompokkan menjadi permintaan potensial dan permintaan aktual (Rachmat, M., Saptana dan Erwidodo, 1993) dan (Nurmanaf et al; 2003). Permintaan potensial adalah permintaan berdasarkan rekomendasi pemupukan per hektar yang ditetapkan menurut hasil-hasil percobaan lapangan yang dilakukan oleh lembaga penelitian. Selama ini, kebutuhan pupuk yang ditetapkan oleh pemerintah di sektor pertanian melalui Peraturan
Menteri Pertanian (Permentan) dapat dikategorikan sebagai permintaan potensial.
2.2 Penawaran dan Permintaan Pupuk
Menurut Nataatmadja, Tjakrawerdaya dan Erwidodo (1984) maupun pendapat Hadi et al (1997); Rachmat, M., Saptana dan Erwidodo, (1993) serta Prayogo et al (2007); kebutuhan pupuk yang ditetapkan berdasarkan permintaan potensial mempunyai kelemahan yaitu jika permintaan potensial lebih kecil dibanding permintaan aktual maka akan terjadi kekurangan pasokan pupuk di pasar sehingga harga pupuk akan naik dan penggunaan pupuk akan lebih kecil dari yang diharapkan petani.
2.3 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
Prinsip penggunaan faktor produksi (termasuk penggunaan pupuk) yang optimal dapat didekati dengan prinsip efisiensi. Menurut Yotopoulus dan Nugent, (1976) serta Battese (1992); efisiensi dalam pengertian teoritis ekonomi dapat dipandang dari dua segi, yaitu dalam arti teknis (keefisienan teknis) dan dalam arti ekonomis (keefisienan harga atau allokatif). Efisiensi teknis mengandung pengertian sebagai pencapaian kuantitas output secara maksimum yang dapat dihasilkan dari penggunaan tertentu sejumlah faktor produksi. Semakin besar kuantitas output yang dihasilkan, relatif dibandingkan dengan kuantitas input yang digunakan, maka semakin tinggi pula taraf keefisienan secara teknis yang dicapai input (Yotopoulus dan Nugent, 1976). Menurut Teken (1983), pencapaian keefisienan teknis dapat ditempuh melalui pemaksimuman produktifitas fisik faktor produksi. Apabila pencapaian ini gagal, dikatakan proses di atas tidak efisien secara teknis (Timmer, 1970).
Efisiensi teknis dapat diukur dengan penggunaan fungsi produksi frontier. Bahkan fungsi ini juga dapat mengukur dampak dari penyuluhan pertanian (Dinar, Karagiannis dan Tzouvelleles, 2006). Fungsi ini menggambarkan secara teknis kedudukan output yang potensial yang mungkin dicapai oleh suatu usaha pertanaman (tanaman padi atau lainnya) dengan sejumlah faktor produksi tertentu (Lau dan Yotopaulus, 1971; Battese, 1992).
3. METODE Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Banjar.
Pada tingkatan komoditas (mikro) dipilih lokasi pengambilan data petani padi dan jagung. Untuk petani padi dilakukan di Kecamatan Martapura Barat dan Sungai Tabuk. Sedangkan untuk jagung di Kecamatan Mataraman dan Simpang Empat.
1 2016 3.817 2.042 3.564 1.830 -253 -212
2 2017* 3.982 2.093 3.671 1.876 -261 -217
3 2018* 4.050 2.145 3.781 1.923 -269 -222
4 2019* 4.172 2.199 3.894 1.971 -278 -228
Dalam hal ini: X j = faktor produksi yang digunakan, X 1 = luas lahan (Ha);
Tabel 1. Neraca ketersediaan pupuk dan proyeksinya di Kabupaten Banjar
No Tahun Permintaan pupuk urea bersubsidi (ton) Permintaan pupuk NPK bersubsidi (ton) Ketersediaan pupuk urea bersubsidi (ton) Ketersediaan pupuk NPK bersubsidi (ton) Neraca Urea (ton) Neraca NPK (ton)Adapun neraca ketersediaan pupuk di Kabupaten Banjar dan proyeksinya disajikan pada Tabel 1.
Permintaan pupuk didekati dengan luas areal tanam sebagai proxy karena data sekunder luas areal tanam cukup lengkap tersedia. Selain itu model persamaan dinamik respon luas areal Nerlove dapat mengetahui factor penyesuaian apakah terjadi respon sebagian atau sepenuhnya dalam satu periode (tahun) terhadap factor-faktor yang mempengaruhinya.
4.1 Neraca Ketersediaan dan Sistem Distribusi Pupuk
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
X 7 = obat-obatan (unit); D= dummy (khusus tanaman padi)
X 6 = pupuk organik (kg);
X 5 = pupuk SP 36 (kg);
X 4 = pupuk urea (kg);
X 3 = benih (kg);
X 2 = tenaga kerja (HKO);
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
i i i i i iD X . e PRODUK e
Keterhubungan teknis antara produksi tanaman padi dan jagung dengan faktor-faktor produksi (termasuk pupuk) dalam proses produksi dinyatakan dengan fungsi produksi froentier dengan mengikuti type CD (Cob-Douglass) berikut: u
tanaman Untuk menentukan efisiensi penggunaan pupuk maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dengan menggunakan analisis fungsi produksi. Salah satu kinerja usahatani yang sering menjadi indikator adalah efisiensi yaitu efisiensi teknik. Pencapaian efisiensi teknis yang tinggi sangat penting dalam upaya meningkatkan tingkat kompetitif dan keuntungan suatu usahatani, termasuk dalam usahatani padi dan jagung.
NP = SP - KP; NP = Neraca Pupuk SP = Suplai pupuk baik pupuk subsidi maupun non subsdi KP = Keperluan pupuk petani yang didasarkan pada RDKK dan Keperluan per hektar
Untuk menentukan neraca ketersediaan pupuk dilakukan dengan persamaan :
Pemilihan sampel kecamatan dan desa dilakukan secara purposive. Sedangkan pemilihan petani contoh di level desa dilakukan secara acak sederhana. Jumlah petani contoh untuk padi dan jagung masing-masing sebanyak 60 orang, sehingga total sampel petani adalah 120 orang.
Data sekunder diambil dari berbagai instansi (Perwakilan pabrikan pupuk bersubsidi; Distributor produsen pupuk; Badan Pusat Statistik Daerah; Dinas Pertanian; Badan Ketahanan Pangan dan instansi lainnya) yang dianggap relevan dan datanya mampu menunjang terhadap kegiatan penelitian.
Penelitian menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara secara terstruktur dipandu kuesioner dengan petani yang mengelola usahatani padi dan jagung pada upsus “Pajale”.
Pada tingkatan makro yaitu neraca ketersediaan pupuk dan sistim distribusi akan dilaksanakan pada tiap lini sistim distribusi mulai dari Lini I-II (pabrikan dan perwakilan serta distributor utama); lini III (distributor dari Provinsi ke Kabupaten dan ke Kecamatan); serta distributor IV (distributor tingkat petani).
- *Proyeksi
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
6. DAFTAR PUSTAKA Alley, M. & Wysor, W.G. (2005). Fertilizer in 2005.
Banjarbaru: Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa. Battese, G.E. (1992). Frontier production function and technical efficiency a survey of empirical
Usahatani Lahan rawa dan Lahan Kering.
Jakarta: Penerbit PT Kompas Media Nusantara. Aseri, M. (1995). Tampilan Potensi Usahatani di Lahan rawa lebak. Prosiding Seminar Teknologi Sistem
M. Syam & A. Widjono (ed), Padi Buku 2. Bogor: Puslibangtan. Arifin, B. (2004). Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia.
Model: A Survey. International Economic Review 1 8(2):257-292. Anwarhan, H. (1989). Bercocok tanam padi pasang surut dan rawa. Dalam: M. Ismunadji, S. Partohardjono,
& Darwis, V. (2000). Perumusan Kebijksanaan Harga Gabah dan Pupuk dalam Era Pasar Bebas. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Askari, H. & Cummings, J.T. (1977). Estimating Agricultural Supply Response with the Nerlovian
Pengembangan Padi Di Lahan Pasang Surut Sumsel, Kalsel, Jambi, Riau dan Kalbar. Bogor: Proyek Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa, SWAMPS II Bogor. Adnyana, M.O., Djulin, A., Kariyasa, K., Dermoredjo, S.K.
Ananto, E.E. (2001). Pengembangan Lahan Pasang Surut Untuk Produksi Pangan dalam Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Anonim. (1991). Identifikasi Wilayah Potensial Untuk
Crop and Soil Environmental News, February 2005.
Disarankan agar distribusi pupuk bersubsidi memperhitungkan jadwal tanam petani. Selain itu perlu pula dilakukan penambahan stok dan jumlah pupuk yang didistribusikan karena diprediksi jumlah pupuk bersubsidi yang dibutuhkan petani akan terus bertambah setiap tahunnya.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2019 diperkirakan terjadi kekurangan persediaan pupuk bersubsidi di Kabupaten Banjar. Ini dapat mempengaruhi ketercapaian sasaran produksi pada upsus pajale, karena petani tidak dapat memenuhi dosis pupuk yang dianjurkan.
Penggunaan pupuk di level usahatani padi dan jagung relatife sudah cukup efisien meskipun masih belum sesuai dosis anjuran dan masih memungkinkan buat petani untuk menambah penggunaan pupuknya untuk meningkatkan produksi padi dan jagungnya.
Sistem distribusi pupuk bersubsidi terdiri atas Lini I (distributor ke provinsi), Lini II (distributor ke kabupaten), Lini III (distributor ke kecamatan) dan Lini IV (distributor ke para petani anggota Poktan).
Neraca ketersediaan pupuk bersubsidi untuk mendukung upsus pajale belum mencukupi kebutuhan yang diinginkan RDKK. Kekurangan ini diproyeksikan terjadi sampai tahun 2019.
Secara umum penggunaan pupuk sudah cukup efisien meskipun masih belum sesuai dosis anjuran dan masih memungkinkan buat petani untuk menambah penggunaan pupuknya untuk meningkatkan produksi padi dan jagungnya.
Pada produksi jagung nilai parameter dugaan atau elastisitas produksi setiap faktor tersebut adalah 0,245; 0,111; 0,621; 0,244 dan 0,343. Terlihat di sini bahwa koefisien elastisitas produksi untuk pupuk urea 0,621 dan pupuk lainnya 0,244, artinya bila setiap pupuk tersebut ditambahkan penggunaannya 10% akan dapat menaikkan produksi padi masing-masing 6,21% dan 2,44% atau pada daerah produksi rasional (daerah II).
Seluruh faktor produksi seperti luas lahan, modal, pupuk urea dan pupuk non ureal serta tenagakerja ditemukan berpengaruh positif terhadap produksi padi dan jagung. Pada produksi padi nilai parameter dugaan atau elastisitas produksi setiap faktor adalah 0,179; 0,208; 0,215; 0,867 dan 0,196. Terlihat di sini bahwa koefisien elastisitas produksi untuk pupuk urea 0,215 dan pupuk lainnya 0,867. Artinya bila setiap pupuk tersebut ditambahkan penggunaannya 10% akan dapat menaikkan produksi padi masing-masing 2,15% dan 8,67% atau pada daerah produksi rasional (daerah II).
4.3 Efisiensi Penggunaan Pupuk
Distributor Lini II adalah distributor yang mendistribusikan ke setiap kabupaten, termasuk Kabupaten Banjar. Distribusi ke tiap kecamatan dilakukan oleh Distributor Lini III. Distributor Lini IV (Kelompok Tani Pengusul RDKK) mendistribusikan pupuk bersubsidi kepada para petani anggotanya.
Pengadaan pupuk bersubsidi di Kalsel dan Kabupaten Banjar dilakukan oleh PT.Pupuk Kaltim yang sekaligus bertindak sebagai distributor Lini I.
4.2 Sistem Distribusi Pupuk
5. SIMPULAN
Yotopoulus, P.A. & Lau, L.J. (1973). A test for relative economic efficiency: some further results. The American Economic Review Journal 63:1.
Nurmanaf, A.R., Rusastra, I.W., Darwis, V., Marisa, Y. & Situmorang, J. (2003). Evaluasi Sistem Distribusi Benih dan Pupuk dalam Mendukung Ketersediaan dan Stabilitas Harga di Tingkat Petani. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Parthasarathy, N.S. (1994). Demand Forecasting for
Development. Empirical Investigations. New York: Harper & Row, Publishers.
Ithaca: Cornel University Press. Yotopoulus, P.A. & Nugent, J.B. (1976). Economics of
Food Research Institute Studies in Agricultural Economics, Trade and Development 9:2. Timmer, C.P. (1992). Agriculture and the State: Growth, Employment and Poverty in developing Program.
Soekartawi. (1984). Farm Resource-Allocation and Efficiency in Three Regions of East Java, Indonesia. A Ph.D Thesis. Armidale, Australia: The University of New England. Timmer, C.P. (1970). On measuring technical efficiency.
Subsidi Pertanian terhadap Pertumbuhan Produksi Subsektor Tanaman Pangan. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Harga dan Subsidi Pupuk di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. BogorL Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Santoso, B. & Ariani. M. (1990). Implikasi Pengurangan
Institut Pertanian Bogor. Rachmat, M., Saptana & Erwidodo. (1993). Studi Kebijakan
Rachbini, W. (2006). Dampak Liberalisasi Perdagangan Pupuk terhadap Kinerja Perdagangan Pupuk dan Sektor Pertanian di Indonesia. Disertasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana.
Pramudito, D. & Kasmiati. (2013). Tinjauan Kebijakan Subsidi Pupuk di Indonesia. Bogor: Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pascasarjana IPB.
(2007). Analisis Penawaran dan Permintaan Pupuk di Indonesia. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Peertanian, Departemen Pertanian
Prajoga, U.H., Swástica, DK., Betsí, F., M.D., Agustin, N.K., Siregar, M., Hidayat, D. & Maulana. M.
Fertilizer Marketing. Rome: Food and Agricuture Organization of the United Nations.
Theoretical Considerations. Journal of Farm Economics 40(2):301- 314.
© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat applications in agricultural economics. American Agricultural Economics Journal No 7.
Permintaan terhadap Pupuk dan Kebijaksanaan Harga. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Nerlove, M. (1958). Distributed Lags and Estimation of Long-run Supply and Demand Elasticities:
Noor, M. (1996). Padi Lahan Marjinal. Jakarta: Penerbit Penebar Swadaya. Noor, M. (2004). Lahan Rawa. Jakarta: Penerbit Raja Grasindo Persada. Nataatmadja, H., Tjakrawerdaya, S. & Erwidodo. (1984).
American Economic Review 61(1).
Semarang: Universitas Diponegoro. Kompas; Edisi 16 Desember 2008 Kompas; Edisi 6 Januari 2009 Lau, L.J. & Yotopaulus, P.A. (1971). A test for relative efficiency and aplication to Indian agriculture. The
Kredit Pangan dan Pengeluaran Pemerintah Atas Infrastruktur terhadap Ketahanan Pangan.
Hadi, P.U., Hendiarto, Sudana, I.W., Pramono, A. & Utomo, I. (1997). Analisis Kemampuan Petani Membeli Pupuk. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan PT. Petro Kimia Gresik. Kapindo, R.K. (2002). Analisis Pengaruh Subsidi Pupuk,
Evaluating the impact of agricultural extention on farm‟s performance in crete: a nonneutral stochastic frontier approach. Agricultural Economics Journal 36(2):135 –146.
Doll, J.P. & Orazem, F. (1984). Production Economics : Theory with Applications. 2nd Ed. New York: John Willey & Sons. Dinar, A, Karagiannis, G. & Tzouvelleles, V. (2007).
BPS Kalimantan Selatan. 2007. Kalimantan Selatan dalam Angka 2005. Banjarmasin
Jakarta. BPS Kalimantan Selatan. (2006). Kalimantan Selatan dalam Angka 2005. Banjarmasin
BPS. (2003). Data Konsumsi Beras di Indonesia.
Battese, G.E & Tessema, G.A. (1993). Estimation of stochastic frontier production function with time- varying parameters and technical efficiencies using panel data from Indian villages. American Agricultural Economics Journal 9.
-----