PERAN ULAMA DAN TEORI IMAMAH DALAM SYI A
PERAN ULAMA DAN TEORI IMAMAH
DALAM SYI’AH ITHNA ‘ASHARIYAH
Rendra Khaldun1
Latar Belakang Masalah
Setelah Nabi wafat, muncullah permasalahan tentang imamah
(kepemimpinan) dalam Islam sebagai pengganti Nabi. Dalam menyikapi hal ini umat
Islam pada saat itu terbagi manjadi dua kelompok besar, yaitu: Pertama, kelompok
yang berpendapat bahwa Nabi tidak menentukan khalifah sesudahnya, tetapi
kekhalifahan (imamah) diserahkan kepada umat dan merekalah yang memilihnya,
kelompok ini kelak dikemudian hari disebut dengan nama Ahl al-Sunnah. Kedua,
kelompok yang menyatakan bahwa pengganti Nabi harus dipilih oleh Allah, melalui
rasulNya, dan Nabi telah melakukannya dengan memilih Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifahnya2 yang kemudian kelompok ini di sebut dengan Syi’ah. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa perbedaan yang muncul di kalangan umat Islam setelah Nabi
wafat adalah persoalan khilafah (imamah). Perselisihan itu berkisar pada masalah
apakah Nabi menentukan atau tidak, siapa cikal bakal penggantinya sebagai kepala
pemerintahan dan apakah Nabi menetapkan atau tidak mekanisme suksesi
kepemimpinan tersebut.
Perbedaan inilah nantinya menjadi polemik yang paling mendasar dan
berkepanjangan antara Islam Syi’ah dan Sunni. Bagi Syi’ah, imamah adalah suatu
masalah penting dan prinsipil, karena merupakan bagian dari akidah dan mempunyai
posisi sentral serta perwujudan dari luthf (anugerah) Allah terhadap makhluk-Nya
sebagaimana nubuwah. Adapun hal-hal prinsip dalam akidah Syi’ah adalah tauhid,
nubuwah, keadilan ilahi, imamah, dan hari kebangkitan. Sedangkan dalam Islam
Sunni persoalan imamah (khilafah) tidaklah sepenuhnya ditolak, tetapi bukanlah
suatu prinsip utama dalam agama (lebih bernuansa politis dan sosial)3.
Dalam perspektif Syi’ah, sepeninggal Nabi, kendatipun tidak ada kesepakatan
mengenai identitas pengganti (khilafah), semua Muslim sepakat bahwa, selain
memiliki kualifikasi umum seperti kecerdasan dan kemampuan memerintah
(kafa’ah), orang tersebut harus memiliki persyaratan seperti faqahah, yakni
berpengetahuan mengenai ketentuan dan aturan Islam dan ’adalah, bersifat adil dan
sangat terpuji iman dan moralnya.
Dalam konsep Syi’ah, kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan
ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Untuk keselamatan
manusia, dipilihNya manusia yang sudah mencapai kesempurnaan dalam sifat dan
perkembangan kepribadiannya. Manusia-manusia ini adalah para nabi yang menjadi
1 Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram
2Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Ma'rifat al-Imamah,. (Bangil: Yayasan as-Sajjad, 1990),
h. 1
3 Ayatullah Murtadha Mutahhari, Man and Universe, (Islamic Seminary Publication, tt), h. 7
1
imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan.
Kepemimpinan para nabi dilanjutkan oleh para imam (awsyiya). Dan para awsyiya
dilanjutkan oleh pafa faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian, merupakan
keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia.4
Oleh sebab itu pendirian institusi imamah dalam perspektif Syi’ah pada
hakikatnya untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan dan kemaksiatan. Untuk
itulah Allah mengangkat seorang imam yang dipercaya. Kepercayaan itu adalah luthf
Allah kepada hambaNya dan ia diyakini sebagai pelanjut misi kenabian sehingga
imam harus selalu ada. Keberadaan imam merupakan hal mutlak, sehingga ketiadaan
sementara harus digantikan oleh seorang faqih sampai kedatangan Imam al-Mahdi
yang biasa dikenal dengan Maraji’ al-Taqlid dan Wilayah al-Faqih yang merupakan
implikasi imamah dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan.
Dalam perspektif Syi’ah peran imam dan ulama nampak dalam
konsep ”Marja’ al-Taqlid dan Wilayah al-Faqih”. Wilayah al-Faqih adalah
pemerintahan para fuqaha, yaitu suatu bentuk negara Islam di mana kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan para fuqaha (mullah). Fuqaha (mullah) yaitu mereka
yang memiliki pemahaman ajaran dan peraturan Islam serta memiliki keutamaan
dalam iman dan akhlak. Sedangkan Marja’ al-Taqlid berarti orang atau kelompok
orang yang memiliki otoritas yuridis dalam umat Syi’ah, sangat alim, yang fatwafatwanya mengenai syari’ah diikuti oleh mereka yang meyakininya dan praktikpraktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan pada fatwa-fatwa mereka. 5
Kedua konsep tersebut menunjukkan betapa tradisi Syi’ah dalam masalah hukum
sangat menggantungkan pada otoritas ulama. Ada ketaatan yang luar biasa di
kalangan komunitas Syi’ah terhadap ulama sebagai pengganti imam yang menghilang
sejak Imam ke duabelas.
Sejarah Syi’ah Immiyah
Terminologi Syi’ah sudah lama dikenal dalam dunia Islam, bahkan dalam alQur’an setidaknya kata Syi’ah disebutkan sebanyak 7 kali. Namun kata Syi’ah yang
tersebut dalam al-Qur’an bermakna “golongan atau kelompok” bukan bermakna
madzhab atau aliran teologis yang seperti kita kenal saat ini.6 Terminologi Syi’ah saat
ini merupakan satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad saw.
4Jalaludin Rakhmat, Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw. via Al-Farabi hingga Ayatullah
Khomeini, Pengantar dalam Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,
2002), h. 19
5Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan,
1991), h. 12
6Mengenai ayat-ayat yang yang menyinggung kata syi’ah dapat dilihat dalam Mohammad
Baharun, Epistemologi Syiah dari Imamah Sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2004) h. 13-15
2
Secara etimologis Syi’ah berarti pengikut, pendukung, pembela, pencinta, yang
kesemuanya mengarah kepada ide atau individu dan kelompok tertentu 7 (kata tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
pertama ahlul bait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan
dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika Nabi
masih hidup.)8
Secara terminologis, Syi’ah adalah suatu golongan aliran yang berpegang
kepada Ali bin Abi Thalib, baik dalam masa Nabi maupun sesudah Nabi wafat,
dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan dan keimanannya seperti yang
dilakukan oleh Miqdad bin Aswad, Salman al-Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasar,
dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali bin Abi Thalib. Orang-orang
inilah yang menggunakan nama Syi’ah. Sementara itu Husein Thabathaba’i
mendefinisikan Syi’ah sebagai kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi
adalah keturunan Nabi yang merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka
yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti madzhab Ahlul
Bait.9
Jawad Mughniyah mendefiniskan kelompok Syi’ah sebagai kelompok yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash tentang khalifah
(pengganti) beliau dengan menunjuk Imam Ali. Hal senada juga disampaikan oleh Ali
Muhammad al-Jurjani yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti
Sayyidina Ali dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Nabi Muhammad dan
percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.10
Sementara itu Abu Zahrah mendefinisikan bahwa Syi’ah adalah madzhab
politik yang pertama lahir dalam Islam. Madzhab Syi’ah tampil pada akhir masa
pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Mereka
mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmu yang dimiliki oleh Ali
sehingga mereka mengekspoilitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran mereka tentang Ali. Kefanatikan terhadap Syi’ah, khususnya
kepada Sayyidina Ali dan keturunannya semakin kuat dan tersebar ketika keturunan
Rasulullah mendapat perlakuan zalim dan penyiksaan dari kelompok Bani Umayyah
yang menjadi penguasa pada masa itu. Meraka beranggapan bahwa Ahlul Bait
sebagai syuhada dan korban kezaliman dari sikap mempertahankan kekuasaan yang
bukan merupakan hak mereka.11
7M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Konsep
Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 1998), h. 60
8Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 904.
9Allamah Sayyid Muhammad Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 32
10 Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah, h. 61
11Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), h.
34
3
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar dapat
disimpulkan bahwa Syi’ah merupakan sebuah golongan ataupun pengikut yang lebih
mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari sahabat lainnya dan sekaligus mempercayai
bahwa Ahlul Bait lebih berhak untuk memegang estafet kepemimpinan pasca
wafatnya Nabi.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan
cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan
mereka baik mengenai sifat ataupun syarat-syarat dari seorang Imam atau siapa yang
menjadi pengganti setelah wafatnya Imam mereka.12
Dari sekian banyak kelompok ditubuh Syi’ah, setidaknya ada tiga kelompok
besar yang sampai saat ini masih eksis antara lain: Pertama, kelompok Syi’ah yang
umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar dan biasanya ini direpresentasikan oleh kalangan Syi’ah Zaidiyah.
Sekte ini dinamakan Zaidiyah karena mereka mengakui Zaid Bin Ali Zainal Abidin
sebagai Imam kelima.13 Dalam lintasan sejarah, Syi’ah Zaidiyah merupakan sekte
Syi’ah yang paling dekat dengan Sunni dalam pengamalan tradisi keagamaan maupun
keilmuan.14
Kedua, Syi’ah Ismailiyah merupakan sekte terbesar kedua dalam Syi’ah dan
hanya mengakui tujuh orang imam dan Ismail Bin Ja’far merupakan Imam terakhir 15
dari madzhab ini yang kelak dikenal dengan sekte Syi’ah Isma’iliyah atau Syi’ah
Sab’iyah. Para pengikut sekte ini berpendapat bahwa sesudah Imam Ja’far al-Shadiq,
Imam keenam dalam Syi’ah jatuh kepada putra sulung Isma’il. Berbeda dengan
Syi’ah Imamiyah yang menyatakan bahwa imam ketujuh jatuh pada Musa alKadzim.16
12Untuk lebih jelasnya tentang berbagai macam sekte dan golongan dalam Shi’ah lihat M.
Th. Houtsma et.al., First Encyclopaedia of Islam (Leiden: A.J. Brull, 1987).
13Untuk lebih jelasnya tentang sejarah Syi’ah Zaidiyah dan ajaran-ajarannya lihat Ignaz
Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1910), h. 121 dst. Lihat juga William J.
Hamblin dan Daniel C. Patterson, Zaydiyah dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopedia or
The Modern Islamic World (Oxford: Oxford Univercity Press, 1995), h. 373 dst.
14Hal ini dapat dilihat dari respon dan apresiasi kalangan Sunni khususnya di Indonesia yang
menjadikan kitab karangan Muhammad bin Ali bin Ibrahim al-Syaukani baik dalam Ushul Fiqh
maupun hadits sebagai rujukan.
15 Menurut Syi’ah Isma’iliyah bahwa Isma’il ibn Ja’far yang akan muncul kembali menjadi
al-Mahdi al-Muntadhar. Untuk lebih jelasnya lihat Allamah Sayyid Hussein Thabathaba’i, Shi’ite
Islam (Houston: Free Islamic Literature, 1979), h. 79
16Untuk beberapa ajaran dasar dari Syi’ah Ismailiyah lihat Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Mizan, 1984), h. 280. Sami Nasib Makareem, The Doctrien of Isma’ilis
(Beirut: The Arab Institute for Arab for research and Publishing, 1972), h. 13
4
Ketiga, Syi’ah Imamiyah atau yang lebih dikenal dengan nama Itsna
Asy’ariyah17 yang tersebar diberbagai negara Islam dan merupakan madzhab resmi
Republik Iran. Madzhab ini mengakui Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah
dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali. Syi’ah Itsna
Asy’ariyah mengakui imam dalam Islam berjumlah dua belas orang dan Ali sebagai
Imam Pertama serta Musa al-Kazim sebagai Imam ke dua belas.18
ALI
HASAN
HUSEIN
4. Muhammad bin Hanafiyyah
(Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi),
(sekte Kaisaniyah)
4. Ali Zaenal Abidin
5. Zaid
(Sekte Zaidiyah)
5. Abu Ja’far
Muhammad al – Baqir
6. Ja’far ash - Shadiq
7. Isma’il
(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)
7. Musa al - Kadzim
8. Ali al - Ridho
9. Muhammad al – Taqi’
10. Ali al - Hadi
11. Hasan al - Askari
12. Muhammad al –Mahdi
Asyariyah)
17Shi’ah Ithna Ashariyah mempunyai berbagai macam ajaran/doktrin ushuluddin yang wajib
diikuti oleh para pengikutnya seperti ishmah, washiyah, raj’ah, bada’ dan lain sebagainya. Namun pada
prinsipnya seluruh ajaran tersebut bertumpu pada lima hal yakni: 1) Tauhid; 2) Keadilan; 3)
Nubuwwah; 4) ma’ad; 5) imamah, untuk lebih jelasnya tentang perincian dari doktrin ushuluddin
Syi’ah lihat Allamah Sayyid Muhammad Thabathba’i, Shi’ite, h. 120 - 133
18Untuk lebih jelasnya lihat S. Hussein M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Syi’ah dari
Saqifah sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989). Bandingkan dengan Muhammad Iqbal,
Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), h. 24
5
Konsep Imamah dan Peran Ulama Dalam Syi’ah
1. Konsep Imamah Dalam Syi’ah Imamiyah
Madzhab Syi’ah dan ahlus sunnah dalam hal ini berbeda pandangan dalam
definisi imamah, kriteria seorang imam, metode penentuan imam, legitimasi
imam, individu-individu imam, dan lain sebagainya. Secara umum, Ahlus Sunnah
memandang imamah identik dengan khilafah dan membatasi ruang lingkupnya
hanya pada ranah politik, sementara Syi’ah memberikan ruang lingkup yang jauh
lebih besar kepada imamah.
Menurut Ahlus Sunnah bahwa seorang imam atau khalifah adalah seorang
pemimpin politik yang hanya bertugas memerintah dan mengatur tatanan sosialpolitik. Maka wajar saja jika pemimpin politik yang biasa disebut dengan
khalifah ini tidak perlu terlalu tinggi dalam hal keilmuan atau ketakwaan,
melainkan cukup memiliki sifat adil (‘adalah). Sebagai pemimpin politik sudah
sepantasnya imam ini dipilih secara demokratis melalui musyawarah.
Musyawarah menyangkut urusan “sosial-politik” ini ditegaskan dalam firman
Allah yang berbunyi: “…dan urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di
antara mereka.” (QS 42: 38). Jadi, karena seorang imam ini tidak lebih daripada
khalifah yang dipahami sebagai ‘pemegang kekuasaan politik’, maka syarat ‘adil’
dan ‘dipilih secara musyawarah’ sudah cukup untuk membuat siapa saja
mengajukan diri sebagai calon imam.19
Menurut madzhab Syi’ah, imamah memiliki dimensi spiritual yang jauh
lebih penting dibandingkan dengan dimensi politiknya. Dimensi spiritual ini
menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik adalah cabangnya. Seseorang
dapat menjadi imam dikarenakan maqam spiritualnya yang tinggi di sisi Allah
dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena itu, untuk mengetahui
imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu kepada nash dan
petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat musyawarah
atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena
pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi
di sisi Allah.20
Konsep imamah adalah sebuah teori kepemimpinan yang diyakini dan
berkembang dalam pemikiran religio-politik Syi’ah Imamiyah. Kata imam,
sebagai figur ummah, diterjemahkan untuk menunjuk orang atau seseorang yang
di samping memiliki hak sebagai pemimpin politik, juga sebagai pemimpin
keagamaan. Menurut konsep Syi’ah, otoritas keagamaan tidak dapat dipisahkan
dengan otoritas politik dalam lembaga kepemimpinan umat. Bagi kaum Syi’ah
19Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana konsep musyawarah dalam Islam sekaligus
mekanismenya lihat Artani Hasbi, Musyawarah dan demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001).
20 Mengenai logika-logika Syi’ah tentang hal ini dan bagaimana hubungan antara para imam
dan Nabi dalam dunia metafisika lihat Murtadha Muthahhari, Khatemiat, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001) h. 62-67
6
Imamiyah, konsep imamah adalah kelanjutan dari konsep nubuwwah, di mana
manusia dengan kekuatan akal yang dimilikinya mampu membedakan antara
kebaikan dan keburukan. Akan tetapi mesti disadari bahwa dengan hanya
berbekal pada akal saja, manusia tidak mampu menguraikan masalah dan
membimbing ke arah realisme dan tindakan yang benar. Semua sifat dan
perbuatan buruk yang ada di tengah masyarakat, bersumber dari manusia-manusia
yang memiliki akal dan kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan.
Karena egoisme, kerakusan, dan hawa nafsu, akal manusia dikalahkan oleh emosi
dan pada akhirnya mereka tersesat. Allah Yang Maha Adil mesti membimbing
manusia ke arah jalan kebahagiaan, dengan cara yang tidak mungkin dikalahkan
oleh hawa nafsu, atau keliru dalam memberikan petunjuk. Inilah konsep
nubuwwah.21 Menurut konsep di atas, imamah bukanlah urusan manusia, tetapi
harus berdasarkan nash agama. Imamah harus berdasar wasiat, bukan
musyawarah.22
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab Syi’ah
imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain
keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-‘adl), kenabian (al-nubuwah),
dan hari kebangkitan (al-ma’ad).23 Sehingga secara sederhana dapat dikatakan,
seseorang dapat disebut sebagai penganut Syi’ah jika ia mempercayai adanya
imam yang dipilih Nabi SAW, yang secara formal berhak penuh melanjutkan
kedudukan menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang
dalam keyakinan Syi’ah, orang yang dipilih Nabi tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Secara kronologis, kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad SAW,
menurut perspektif Syi’ah, dimulai oleh Imam Ali bin Abi Thalib, kemudian anak
beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba, Imam Husain, dan dilanjutkan sembilan
keturunan dari Imam Husain yaitu Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan alAskari, dan Muhammad al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang terakhir ini, meskipun
telah lahir pada abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H) namun mengalami kegaiban
hingga waktu yang tidak diketahui. Dalam masa ketersembunyian Imam Mahdi
ini, wilayah imam terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk secara formal memimpin, membimbing, dan menjelaskan syariat
21Muhammad Husayn al-Thabathaba’i, Inilah Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1992), h.63.
22Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication, 1982), h.
573.
23Untuk lebih jelasnya tentang penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar dalam Shi’ah lihat
Mahmud Shehabi, Syi’ah dalam Islam Jalan Lurus, Kenneth W. Morgan (ed.) terj. Abu Basalamah
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 237 dst.
7
Islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya
Imam ke dua belas, Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntadzar.24
Ketika al-Mahdi, Imam kedua belas datang kembali, maka otoritasotoritas temporal dan spiritual akan terpadu pada dirinya seperti halnya Nabi
Muhammad. Dia akan mempersatukan dua bidang pemerintahan islami yang ideal
itu. Maka gagasan tentang Imamah yang ditunjuk di antara keturunan Ali, yang
berkesinambungan disepanjang sejarah dan dalam segala keadaan politis,
diperkuat oleh harapan berkenaan dengan imamah dari Imam terakhir yang
sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan
islami sejati oleh seorang imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.25
Kegaiban dalam pemikiran dan keyakinan Syi’ah terbagi dalam dua
tingkatan. Pertama, ‘kegaiban kecil’ (minor occultation/ghaibah al-shugra)
selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi ‘bersembunyi di dunia
fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam’. Pada masa
ini, kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa
diatasi. Karena, posisi marja’ dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu
‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu Ja’far Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim alHusain bin Ruh dan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Samari.26
Kedua, ‘kegaiban besar’ (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu
pasca meninggalnya keempat wakil Imam di atas hingga datangnya kembali
Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir zaman. Dalam periode ‘kegaiban besar’
inilah kepemimpinan didelegasikan kepada para faqih. Konsepsi inilah yang
nantinya dikenal dengan istilah Marja’i taqlidi dan Wilayat al-faqih.27
OTORITAS ULAMA PADA MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
Dalam tradisi Syi’ah, sumber otoritas ulama lebih kokoh dibandingkan
dalam tradisi Sunni, baik secara teori maupun praktik. Jika golongan Sunni
pernah menyatakan bahwa penutupan pintu ijtihad, golongan Syi’ah tidak pernah
sekalipun melakukan hal demikian. Bagi Syi’ah, setiap ulama harus senantiasa
melakukan ijtihad. Ini mengingat fungsi ulama mujtahid (mereka yang berijtihad)
24Untuk lebih jelasnya lihat S. Husein M. Jafri, Origin and Early Development of Shi’a Islam
(New York: Longman, 1979)
25Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan, h. 167.
26ibid
27Konsep marja’ al-Taqlidi pada muncul dari elaborasi ijtihad ulama ushuli dalam Shi’ah dan
nantinya menjadi embrio munculnya konsep yang dikenal dengan nama Wilayat al-Faqih. Untuk lebih
jelasnya tentang rivalitas dari ulama ushuli dan akhbari dalam Shi’ah dan sejarah munculnya konsep
wilayat al-Faqih lihat Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Shi’ah Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20 (Bandung: Pustaka Salman, 1988) h. 240 dst.
8
adalah memberikan bimbingan terus menerus kepada masyarakat, khususnya
selama Imam yang ghaib belum muncul kembali.28
Selama menunggu kembalinya Sang Imam, maka ulama tertinggi (mujtahid)
dalam kedudukannya sebagai Marja’i al-Taqlidi bertanggungjawab memberikan
bimbingan kepada kaum Muslimin dalam berbagai macam permasalahan. 29 Bagi
kaum Syi’ah adalah wajib mengikuti prinsip-prinsip yang digariskan mujtahid
guna menjamin kontinuitas otoritas ulama ditengah absennya Sang Imam
Tertinggi.30
Marja’i al-Taqlidi merupakan sebuah otoritas keagamaan tertinggi dalam
Syi’ah yang dipegang oleh sejumlah faqih yang pendapat dan aturan-aturannya
dianggap harus diterima oleh semua orang awam dalam Syi’ah. 31 Konsep Marja’
28 Dalam tradisi Shi’ah, ulama yang yang bertugas untuk melakukan ijtihad khususnya dalam
bidang politik kemudian mengelaborasikannya atas imamah dan kemudian menjadi keyakinan
fundamental terutama selama penantian terhadap munculmnya Imam Mahdi al-Muntadhar. Sedangkan
ulama Akhbari adalah para ulama yang telah meyakini bahwa petunjuk (akhbar) yang dibawa oleh para
Imam adalah cukup untuk dijadikan sebagai pedoman keberagamaan sambil menunggu kedatangan alMahdi al-Muntadhar. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Kazemi Mousavi, “The Establishment of
Position at Marja’iyat i Taqlid in The Twelve Shi’i Community”, Journal of The Society for Iranian
Studies, Vol. XVIII (Boston: Iranian Studies, 1985), h. 35-60
29Namun, dari beberapa hasil ijtihad marja’, jika terdapat perbedaan yang signifikan dalam
pengambilan satu keputusan hukum maka hal itu dikembalikan kepada satu otoritas marja’iyat altamm (complete authority) atau marja’ mutlak yang mempunyai kualifikasi keilmuan yang universal
(‘alamiyyat, superiority in learning). Untuk lebih jelasnya lihat Abbas Amanat, “In Between the Madrasa
and the Marketplace: The Designation of Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and Political
Culture In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York Press, Albany, 1988), h. 9899.
30Para muqallid adalah masyarakat umum yang tidak memiliki kompetensi secara intelektual
maupun keagamaan untuk menemukan hukum-hukum Tuhan dari sumbernya sebagai sarana untuk
pengabdian dalam ibadah kepada Allah swt. Karenaya para muqallid adalah orang yang tidak mampu
berijtihad, maka harus menyerahkan urusannya kepada ulama mujtahid yang disebut marja’. Mereka
bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama kepada marja’, , melainkan juga memberikan
zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan
meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari
penguasa, dan berakar di masyarakat. Adapun muhtath adalah lapisan tengah yang memiliki
kemampuan untuk memilih dan memilah pandangan para mujtahid (marja’) dan mereka bebas
memilih kepada siapa akan bertaqlid. Inilah yang membedakan antara muqallid dan muhthat dalam
Syi’ah.
31Di antara tokoh-tokoh Marja’ al-Taqlid yang pernah muncul dalam sejarah Imamiyah,
dihitung sejak era Syaikh Anshari dan sebelum masa Imam Khomeini ialah: (1) H. Syaikh Muhammad
Hasan Isfahani Najafi (w.1849); (2) Syaikh Murtadha al-Anshari (w.1894); (3) Mirza Hasan asySyirazi (w.1894); (4) Akhund Mullah Muhammad Kazhim Khurasani (w.1911); (5) H. Muhammad
Kazhim Thabathaba’i Yazdi (w.1919); (6) Muhammad Taqi Ha’iri Syiazi (w.1920); (7) Syaikh
Fathullah Syari’ati Isfahani (w.1945); (9) H. Aqa Husain Burujerdi (w.1961). Sedangkan dimasa Imam
Khomeini, ada empat marja’ taqlid yang terkenal, yakni Imam Khomeini sendiri, Muhammad Kazhim
Syariat Madari, Sayyid Abu al-Qasim al-Khu’i, dan Husain Muntazheri (Zubaidi Mastal, 1989).
Sementara marja’ taqlid pasca Khomeini yang termasyhur adalah Ayatullah Uzhma Sayyid Ali
9
al-Taqlidi ini merupakan konsep baru dalam Syi’ah Imamiyah yang muncul pada
pertengahan abad kesembilan belas hasil dari ijtihad Murtadha Anshari.32 Ia
memperkenalkan bentuk kepemimpinan terpusat dalam sistem keulamaan dan
bimbingan rohani bagi kaum Syi’ah yang pada waktu itu bersifat majemuk dan
dipimpin oleh ulama/faqih yang paling tinggi ilmunya (a’lam) sebagai orang yang
fatwa-fatwanya paling patut ditaqlidi.33
Para faqih dipandang sebagai the living oracles orang yang mampu
memberikan bimbingan yang terpercaya dan menjadi contoh bagi Muslim
lainnya. Mereka dianggap sebagai ulama dengan rangking tertinggi. Setelah
kegaiban besar (major occultation/ ghaibah al-kubra) imam ke 12 hingga ia
muncul kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) merupakan penerus
rangkaian kepemimpinan dalam Syi’ah.34 Mereka mengambil alih peran para
Imam sekaligus mewakili pelaksanaan peran dari Imam yang ghaib. Bahkan
mereka dipercayai mendapatkan bimbingan langsung dari imam yang sedang
ghaib tersebut. Jika para imam mendapatkan kedudukannya secara langsung dari
Allah sehingga dengan demikian mereka ma’shum. Sedangkan para
faqih/mujtahid memperoleh kedudukannya berdasarkan berdasarkan kualifikasi
yang dimilikinya.35
Faqih adalah Muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu dan
kesalehan. Seorang faqih disyaratkan ‘harus mengetahui semua peraturan Allah,
Khamene’i, Ayatullah Uzhma Syaikh Muhammad Taqi Bahjat Fumani, Ayatullah Ruhani, Ayatullah
Uzhma Fadhil Lankarani, dan seterusnya.
32Pendapat lain mengatakan bahwa istilah itu muncul pada abad pra-modern, dan dielaborasi
pada masa dinasti Safawiyah dan Post-Syafawiyah, lihat Abbas Amanat, “In Between the Madrasa and
the Marketplace: The Designation of Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and
Political Culture In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York Press,
Albany, 1988), h. 98-99.
33seorang Thalabeh (pelajar) di sebuah Hawzah telah mencapai predikat Mujtahid Muthlaq
sehingga berhak untuk berijtihad secara individual setelah melalui beberapa tahapan yang telah
ditentukan. Untuk lebih jelasnya lihat Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari; Muslim dalam Aqidah,
Syari’ah dan Akhlaq”, dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab, 1417 H
34Dalam tradisi Syi’ah, para mujtahid mempunyai hierarki tersendiri. Peringkat tertinggi
diatas para ulama (di Iran sering disebut Mullah) adalah mujtahid, yang untuk para seniornya dikenal
dengan nama Ayatullah dan untuk Mujtahid Besar dikenal dengan nama Ayatullah ‘Uzma (agung).
Sedangkan untuk terminologi Sadr adalah mereka yang menduduki jabatan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di pengadilan ulama dengan gelar Shaikh al-Islam. Untuk lebih jelasnya lihat, W.
Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1998),
h. 162-165
35Menurut Murtadha Muthahhari, seorang mujtahid yang hanya mempunyai kecakapan,
keahlian, jujur, tidak pernah berbohong akan tetapi dia tidak mampu menahan dirinya dari berbuat
dosa kecil seperti ghibah, tidak mampu menahan dirinya dari rasa dengki maka derajadnya tidak bisa
naik menjadi marja’. Dan fatwanya tidak bisa diikuti oleh orang awam. Untuk lebih jelasnya lihat
Murthada Muthahhari, Kenabian Terakhir, h. 144
10
mampu membedakan sunnah yang shahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang
terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan
akalnya untuk membedakan hadits dari situasi lain, situasi taqiyah, serta
memahami kriteria yang telah ditetapkan’.
Secara terperinci, seorang faqih antara lain harus mempunyai syarat-syarat
berikut:
1)
Faqahah, mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup
melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.36
2)
‘Adalah, memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari
watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al-Shalah, dan
tadayyun.37
3)
Kafa’ah, memiliki kemampuan untuk memimpin umat, mengetahui
ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang, secara
kejiwaan dan ruhani.
Karenanya dalam tradisi Syi’ah menjadi faqih bukanlah pemberian gratis
ilahiah, melainkan usaha ikhtiari yang penuh perjuangan dan pengorbanan untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, baik itu pada dimensi keilmuan,
keterampilan, maupun kepribadian. Karenanya, program pendidikan yang
sitematis dan integratif diperlukan untuk memberikan sarana bagi terciptanya
pribadi unggul dalam komunitas Islam.38
36 Untuk kompetensi faqahah, misalnya, banyak dirumuskan dalam buku-buku fiqih
persayaratan seseorang untuk dikategorikan sebagai ahli fikih atau mujtahid. Diantaranya harus
menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman diantaranya Bahasa Arab dengan aneka cabangnya, fiqh dan
ushul fiqh, ilmu hadith, ilmu al-Rijal (Ilmu menyelidiki para penyebar hadis dan orang-orang yang
membentuk mata rantai penyebaran sejak masa kemunculan hadis), dan pengetahuan penuh tentang
ayat-ayat
al-Quran
(‘ulum
al-Quran).
Lihat
Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung: Mizan, 2001) h. 65
37
Mujtahid dan Marja' disyaratkan bukan hanya ahli dalam fiqh saja, tetapi juga kesucian hati. Imam
Ali bin Abi Thalib berkata: "Faqih berada pada posisi yang paling tinggi, mengeluarkan setiap yang
masuk. Seorang yang hendak menerapkan berbagai cabang pada pokoknya; mesti memiliki sifat di atas
keadilan. Kita tidak hendak mengatakan bahwa mereka menerima wahyu atu ilham, tetapi mestilah
lebih tinggi dari yang lain. Memiliki kesucian dan kecerahan hati yang senantiasa mendukung dan
membimbingnya. Tidak cukup hanya dilengkapi kekuatan berpikir, tetapi juga mesti dilengkapi dengan
kekuatan jiwa dan maknawiyah. Untuk lebih jelasnya lihat, Murtadha Muthahari, Kenabian, h. 166
38
Ada tiga level yang harus ditempuh oleh seorang calon mujtahid Syiah untuk menuntaskan studinya
agar menjadi seorang mujtahid, sebuah gelar “yang hanya dicapai oleh pelajar-pelajar yang paling
cemerlang”. Yang pertama apa disebut muqaddimah; para siswa mempelajari tata bahasa, tata kalimat
(sintaksis), retorika dan logika; kedua, suthuh. Mengkaji, menggali berbagai disiplin ilmu ‘ulumuddin
seperti ushul al-fiqh dll, dalam jenjang suthuh juga diperkenalkan studi substansi fiqih (yurisprudensi)
deduktif (al-fiqh al-istidlal). Shutuh membutuhkan tiga hingga lima tahun, terkadang lebih lama lagi.
Pada akhir periode tersebut, para siswa akan dipertimbangkan sebagai seorang murahiq, yang
bermakna “dewasa”. Gelar ini menunjukkan batas kemampuannya pada kedewasaan yang dituntut
untuk berijtihad; ketiga, merupakan tahapan yang paling menentukan disebut bahth al-kharij.
Sistemnya, para siswa memilih untuk menghadiri kuliah-kuliah umum dari para mujtahid paling
terkemuka, yang memimpin diskusi-diskusi mereka sebagaimana perkuliahan dan seminar disusun
dalam suatu seri (daurah), meliputi sebuah periode berbilang bulan dan tahun. Untuk lebih jelasnya
lihat Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65
11
Signifikansi marja’ al-taqlid di tengah-tengah masyarakat Syi’ah terletak
pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir legitimate
dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan al-hadits. Dikarenakan
pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, marja’ bergerak pada
berbagai lapisan sosial. Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar
dalam masyarakat. Oleh karena itu juga pengetahuan termasuk pengetahuan
agama yang dimiliki marja’ adalah suatu kekuatan pencipta dan pembentuk;
pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power) berkaitan erat sekali, dan
konfigurasi keduanya merupakan kekuatan yang tangguh atas masyarakat.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan dalam Syi’ah
Imamiyah meliputi era kepemimpinan Nabi (ashr al-anbiya), era kepemimpinan para
Imam (ashr al-awsyia), dan era kepemimpinan ulama (ashr al-’ulama).
Kepemimpinan para aushiya/imam dalam teologi Syi’ah merupakan seorang
pembimbing umat secara sosio-administratif tetapi yang lebih signifikan adalah
merekalah yang punya kemampuan memahami makna batin ayat-ayat al-Quran
karena mendapatkan bimbingan dan petunjuk langsung dari Nabi melalui alam
metafisika. Dimensi spiritual ini menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik
adalah cabangnya. Seseorang dapat menjadi imam dikarenakan maqam spiritualnya
yang tinggi di sisi Allah dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena
itu, untuk mengetahui imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu
kepada nash dan petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat
musyawarah atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena
pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi di
sisi Allah.39
Secara teologis kelahiran Marja’ al-Taqlidi dilatari oleh kuatnya doktrin dan
akidah Syi’ah terhadap ulama sebagai pelanjut, pelindung agama, dan pewaris
esoteris Nabi setelah gaibnya Imam Keduabelas. Keyakinan ini ditunjang oleh ayat
dan riwayat yang menyatakan perlunya pemimpin dunia setelah Nabi, dan secara
rasional dalam menghadapi krisis yang mencuat menyusul gabinya Imam Mahdi,
umat Syi’ah perlu mendapatkan yurisprudensi hukum dan politik tersendiri.
Daftar Pustaka
Amanat, Abbas, “In Between the Madrasa and the Marketplace: The Designation of
Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and Political Culture
In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York
Press, Albany, 1988).
39
Mengenai logika-logika Shi’ah tentang hal ini dan bagaimana hubungan antara para imam dan Nabi
dalam dunia metafisika lihat Murtadha Muthahhari, Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001) h. 62-67
12
Baharun, Mohammad, Epistemologi Syiah dari Imamah Sampai Mut’ah (Malang:
Pustaka Bayan, 2004).
Beik, Abdullah, “Murtadha Muthahhari; Muslim dalam Aqidah, Syari’ah dan
Akhlaq”, dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab, 1417 H
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20 (Bandung: Pustaka Salman, 1988)
Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1984).
Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1910)..
Hasbi, Artani, Musyawarah dan demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam (Ciputat: Gaya Media Pratama,
2001).
Houtsma, M. Th. et.al., First Encyclopaedia of Islam (Leiden: A.J. Brill, 1987).
Hughes, Thomas Patrick, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication,
1982).
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001).
Jafri, S. Hussein M., Awal dan Sejarah Perkembangan Syi’ah dari Saqifah sampai
Imamah (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989).
Makareem, Sami Nasib, The Doctrien of Isma’ilis (Beirut: The Arab Institute for
Arab for research and Publishing, 1972).
Mallat, Chibli, Menyegarkan Islam, (Bandung: Mizan, 2001).
Mousavi, Ahmad Kazemi, “The Establishment of Position at Marja’iyat i Taqlid in
The Twelve Shi’i Community”, Journal of The Society for Iranian Studies,
Vol. XVIII (Boston: Iranian Studies, 1985).
Mutahhari, Ayatullah Murtadha, Man and Universe, (Islamic Seminary Publication,
tt).
--------Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001).
Patterson, Daniel C dan William J. Hamblin, Zaydiyah dalam John L. Esposito (ed.)
The Oxford Encyclopedia or The Modern Islamic World (Oxford: Oxford
Univercity Press, 1995).
13
Rakhmat, Jalaludin, Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw. via Al-Farabi hingga
Ayatullah Khomeini, Pengantar dalam Antara al-Farabi dan Khomeini,
Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Schedina, Abdul Aziz A.,
Kepemimpinan
Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991).
dalam
Islam
Perspektif
Shehabi, Mahmud, Syi’ah dalam Islam Jalan Lurus, Kenneth W. Morgan (ed.) terj.
Abu Basalamah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian
Konsep Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 1998).
Syirazi, Ayatullah Nasir Makarim, Ma'rifat al-Imamah,. (Bangil: Yayasan as-Sajjad,
1990).
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992).
Thabathaba’i, Allamah Sayyid Muhammad, Islam Syi’ah: Asal Usul dan
Perkembangannya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).
-------, Inilah Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992).
Zahrah, Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos,
1996).
Watt, W. Montgomery, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New
York: Routledge, 1998).
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,
2002).
14
DALAM SYI’AH ITHNA ‘ASHARIYAH
Rendra Khaldun1
Latar Belakang Masalah
Setelah Nabi wafat, muncullah permasalahan tentang imamah
(kepemimpinan) dalam Islam sebagai pengganti Nabi. Dalam menyikapi hal ini umat
Islam pada saat itu terbagi manjadi dua kelompok besar, yaitu: Pertama, kelompok
yang berpendapat bahwa Nabi tidak menentukan khalifah sesudahnya, tetapi
kekhalifahan (imamah) diserahkan kepada umat dan merekalah yang memilihnya,
kelompok ini kelak dikemudian hari disebut dengan nama Ahl al-Sunnah. Kedua,
kelompok yang menyatakan bahwa pengganti Nabi harus dipilih oleh Allah, melalui
rasulNya, dan Nabi telah melakukannya dengan memilih Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifahnya2 yang kemudian kelompok ini di sebut dengan Syi’ah. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa perbedaan yang muncul di kalangan umat Islam setelah Nabi
wafat adalah persoalan khilafah (imamah). Perselisihan itu berkisar pada masalah
apakah Nabi menentukan atau tidak, siapa cikal bakal penggantinya sebagai kepala
pemerintahan dan apakah Nabi menetapkan atau tidak mekanisme suksesi
kepemimpinan tersebut.
Perbedaan inilah nantinya menjadi polemik yang paling mendasar dan
berkepanjangan antara Islam Syi’ah dan Sunni. Bagi Syi’ah, imamah adalah suatu
masalah penting dan prinsipil, karena merupakan bagian dari akidah dan mempunyai
posisi sentral serta perwujudan dari luthf (anugerah) Allah terhadap makhluk-Nya
sebagaimana nubuwah. Adapun hal-hal prinsip dalam akidah Syi’ah adalah tauhid,
nubuwah, keadilan ilahi, imamah, dan hari kebangkitan. Sedangkan dalam Islam
Sunni persoalan imamah (khilafah) tidaklah sepenuhnya ditolak, tetapi bukanlah
suatu prinsip utama dalam agama (lebih bernuansa politis dan sosial)3.
Dalam perspektif Syi’ah, sepeninggal Nabi, kendatipun tidak ada kesepakatan
mengenai identitas pengganti (khilafah), semua Muslim sepakat bahwa, selain
memiliki kualifikasi umum seperti kecerdasan dan kemampuan memerintah
(kafa’ah), orang tersebut harus memiliki persyaratan seperti faqahah, yakni
berpengetahuan mengenai ketentuan dan aturan Islam dan ’adalah, bersifat adil dan
sangat terpuji iman dan moralnya.
Dalam konsep Syi’ah, kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan
ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Untuk keselamatan
manusia, dipilihNya manusia yang sudah mencapai kesempurnaan dalam sifat dan
perkembangan kepribadiannya. Manusia-manusia ini adalah para nabi yang menjadi
1 Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram
2Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, Ma'rifat al-Imamah,. (Bangil: Yayasan as-Sajjad, 1990),
h. 1
3 Ayatullah Murtadha Mutahhari, Man and Universe, (Islamic Seminary Publication, tt), h. 7
1
imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan.
Kepemimpinan para nabi dilanjutkan oleh para imam (awsyiya). Dan para awsyiya
dilanjutkan oleh pafa faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian, merupakan
keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia.4
Oleh sebab itu pendirian institusi imamah dalam perspektif Syi’ah pada
hakikatnya untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan dan kemaksiatan. Untuk
itulah Allah mengangkat seorang imam yang dipercaya. Kepercayaan itu adalah luthf
Allah kepada hambaNya dan ia diyakini sebagai pelanjut misi kenabian sehingga
imam harus selalu ada. Keberadaan imam merupakan hal mutlak, sehingga ketiadaan
sementara harus digantikan oleh seorang faqih sampai kedatangan Imam al-Mahdi
yang biasa dikenal dengan Maraji’ al-Taqlid dan Wilayah al-Faqih yang merupakan
implikasi imamah dalam kehidupan sosial politik dan keagamaan.
Dalam perspektif Syi’ah peran imam dan ulama nampak dalam
konsep ”Marja’ al-Taqlid dan Wilayah al-Faqih”. Wilayah al-Faqih adalah
pemerintahan para fuqaha, yaitu suatu bentuk negara Islam di mana kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan para fuqaha (mullah). Fuqaha (mullah) yaitu mereka
yang memiliki pemahaman ajaran dan peraturan Islam serta memiliki keutamaan
dalam iman dan akhlak. Sedangkan Marja’ al-Taqlid berarti orang atau kelompok
orang yang memiliki otoritas yuridis dalam umat Syi’ah, sangat alim, yang fatwafatwanya mengenai syari’ah diikuti oleh mereka yang meyakininya dan praktikpraktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan pada fatwa-fatwa mereka. 5
Kedua konsep tersebut menunjukkan betapa tradisi Syi’ah dalam masalah hukum
sangat menggantungkan pada otoritas ulama. Ada ketaatan yang luar biasa di
kalangan komunitas Syi’ah terhadap ulama sebagai pengganti imam yang menghilang
sejak Imam ke duabelas.
Sejarah Syi’ah Immiyah
Terminologi Syi’ah sudah lama dikenal dalam dunia Islam, bahkan dalam alQur’an setidaknya kata Syi’ah disebutkan sebanyak 7 kali. Namun kata Syi’ah yang
tersebut dalam al-Qur’an bermakna “golongan atau kelompok” bukan bermakna
madzhab atau aliran teologis yang seperti kita kenal saat ini.6 Terminologi Syi’ah saat
ini merupakan satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad saw.
4Jalaludin Rakhmat, Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw. via Al-Farabi hingga Ayatullah
Khomeini, Pengantar dalam Antara al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan,
2002), h. 19
5Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan,
1991), h. 12
6Mengenai ayat-ayat yang yang menyinggung kata syi’ah dapat dilihat dalam Mohammad
Baharun, Epistemologi Syiah dari Imamah Sampai Mut’ah (Malang: Pustaka Bayan, 2004) h. 13-15
2
Secara etimologis Syi’ah berarti pengikut, pendukung, pembela, pencinta, yang
kesemuanya mengarah kepada ide atau individu dan kelompok tertentu 7 (kata tersebut
dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
pertama ahlul bait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan
dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika Nabi
masih hidup.)8
Secara terminologis, Syi’ah adalah suatu golongan aliran yang berpegang
kepada Ali bin Abi Thalib, baik dalam masa Nabi maupun sesudah Nabi wafat,
dikenal dengan ketaatannya dalam keputusan dan dan keimanannya seperti yang
dilakukan oleh Miqdad bin Aswad, Salman al-Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasar,
dan orang-orang yang bersimpati kepada kepribadian Ali bin Abi Thalib. Orang-orang
inilah yang menggunakan nama Syi’ah. Sementara itu Husein Thabathaba’i
mendefinisikan Syi’ah sebagai kaum muslimin yang menganggap pengganti Nabi
adalah keturunan Nabi yang merupakan hak istimewa keluarga Nabi, dan mereka
yang dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan Islam mengikuti madzhab Ahlul
Bait.9
Jawad Mughniyah mendefiniskan kelompok Syi’ah sebagai kelompok yang
meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menetapkan dengan nash tentang khalifah
(pengganti) beliau dengan menunjuk Imam Ali. Hal senada juga disampaikan oleh Ali
Muhammad al-Jurjani yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah mereka yang mengikuti
Sayyidina Ali dan percaya bahwa beliau adalah Imam sesudah Nabi Muhammad dan
percaya bahwa imamah tidak keluar dari beliau dan keturunannya.10
Sementara itu Abu Zahrah mendefinisikan bahwa Syi’ah adalah madzhab
politik yang pertama lahir dalam Islam. Madzhab Syi’ah tampil pada akhir masa
pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Mereka
mengagumi bakat-bakat, kekuatan beragama, dan ilmu yang dimiliki oleh Ali
sehingga mereka mengekspoilitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk
menyebarkan pemikiran mereka tentang Ali. Kefanatikan terhadap Syi’ah, khususnya
kepada Sayyidina Ali dan keturunannya semakin kuat dan tersebar ketika keturunan
Rasulullah mendapat perlakuan zalim dan penyiksaan dari kelompok Bani Umayyah
yang menjadi penguasa pada masa itu. Meraka beranggapan bahwa Ahlul Bait
sebagai syuhada dan korban kezaliman dari sikap mempertahankan kekuasaan yang
bukan merupakan hak mereka.11
7M. Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian Konsep
Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 1998), h. 60
8Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 904.
9Allamah Sayyid Muhammad Thabathaba’i, Islam Syi’ah: Asal Usul dan Perkembangannya
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 32
10 Quraish Shihab, Sunnah-Syi’ah, h. 61
11Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), h.
34
3
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para pakar dapat
disimpulkan bahwa Syi’ah merupakan sebuah golongan ataupun pengikut yang lebih
mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari sahabat lainnya dan sekaligus mempercayai
bahwa Ahlul Bait lebih berhak untuk memegang estafet kepemimpinan pasca
wafatnya Nabi.
Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan
cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan
mereka baik mengenai sifat ataupun syarat-syarat dari seorang Imam atau siapa yang
menjadi pengganti setelah wafatnya Imam mereka.12
Dari sekian banyak kelompok ditubuh Syi’ah, setidaknya ada tiga kelompok
besar yang sampai saat ini masih eksis antara lain: Pertama, kelompok Syi’ah yang
umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar dan biasanya ini direpresentasikan oleh kalangan Syi’ah Zaidiyah.
Sekte ini dinamakan Zaidiyah karena mereka mengakui Zaid Bin Ali Zainal Abidin
sebagai Imam kelima.13 Dalam lintasan sejarah, Syi’ah Zaidiyah merupakan sekte
Syi’ah yang paling dekat dengan Sunni dalam pengamalan tradisi keagamaan maupun
keilmuan.14
Kedua, Syi’ah Ismailiyah merupakan sekte terbesar kedua dalam Syi’ah dan
hanya mengakui tujuh orang imam dan Ismail Bin Ja’far merupakan Imam terakhir 15
dari madzhab ini yang kelak dikenal dengan sekte Syi’ah Isma’iliyah atau Syi’ah
Sab’iyah. Para pengikut sekte ini berpendapat bahwa sesudah Imam Ja’far al-Shadiq,
Imam keenam dalam Syi’ah jatuh kepada putra sulung Isma’il. Berbeda dengan
Syi’ah Imamiyah yang menyatakan bahwa imam ketujuh jatuh pada Musa alKadzim.16
12Untuk lebih jelasnya tentang berbagai macam sekte dan golongan dalam Shi’ah lihat M.
Th. Houtsma et.al., First Encyclopaedia of Islam (Leiden: A.J. Brull, 1987).
13Untuk lebih jelasnya tentang sejarah Syi’ah Zaidiyah dan ajaran-ajarannya lihat Ignaz
Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1910), h. 121 dst. Lihat juga William J.
Hamblin dan Daniel C. Patterson, Zaydiyah dalam John L. Esposito (ed.) The Oxford Encyclopedia or
The Modern Islamic World (Oxford: Oxford Univercity Press, 1995), h. 373 dst.
14Hal ini dapat dilihat dari respon dan apresiasi kalangan Sunni khususnya di Indonesia yang
menjadikan kitab karangan Muhammad bin Ali bin Ibrahim al-Syaukani baik dalam Ushul Fiqh
maupun hadits sebagai rujukan.
15 Menurut Syi’ah Isma’iliyah bahwa Isma’il ibn Ja’far yang akan muncul kembali menjadi
al-Mahdi al-Muntadhar. Untuk lebih jelasnya lihat Allamah Sayyid Hussein Thabathaba’i, Shi’ite
Islam (Houston: Free Islamic Literature, 1979), h. 79
16Untuk beberapa ajaran dasar dari Syi’ah Ismailiyah lihat Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Mizan, 1984), h. 280. Sami Nasib Makareem, The Doctrien of Isma’ilis
(Beirut: The Arab Institute for Arab for research and Publishing, 1972), h. 13
4
Ketiga, Syi’ah Imamiyah atau yang lebih dikenal dengan nama Itsna
Asy’ariyah17 yang tersebar diberbagai negara Islam dan merupakan madzhab resmi
Republik Iran. Madzhab ini mengakui Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah
dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali. Syi’ah Itsna
Asy’ariyah mengakui imam dalam Islam berjumlah dua belas orang dan Ali sebagai
Imam Pertama serta Musa al-Kazim sebagai Imam ke dua belas.18
ALI
HASAN
HUSEIN
4. Muhammad bin Hanafiyyah
(Mukhtar bin Ubaid al – Tsqifi),
(sekte Kaisaniyah)
4. Ali Zaenal Abidin
5. Zaid
(Sekte Zaidiyah)
5. Abu Ja’far
Muhammad al – Baqir
6. Ja’far ash - Shadiq
7. Isma’il
(Sekte Isma’iliyyah/Bathiniyyah)
7. Musa al - Kadzim
8. Ali al - Ridho
9. Muhammad al – Taqi’
10. Ali al - Hadi
11. Hasan al - Askari
12. Muhammad al –Mahdi
Asyariyah)
17Shi’ah Ithna Ashariyah mempunyai berbagai macam ajaran/doktrin ushuluddin yang wajib
diikuti oleh para pengikutnya seperti ishmah, washiyah, raj’ah, bada’ dan lain sebagainya. Namun pada
prinsipnya seluruh ajaran tersebut bertumpu pada lima hal yakni: 1) Tauhid; 2) Keadilan; 3)
Nubuwwah; 4) ma’ad; 5) imamah, untuk lebih jelasnya tentang perincian dari doktrin ushuluddin
Syi’ah lihat Allamah Sayyid Muhammad Thabathba’i, Shi’ite, h. 120 - 133
18Untuk lebih jelasnya lihat S. Hussein M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Syi’ah dari
Saqifah sampai Imamah, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989). Bandingkan dengan Muhammad Iqbal,
Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001), h. 24
5
Konsep Imamah dan Peran Ulama Dalam Syi’ah
1. Konsep Imamah Dalam Syi’ah Imamiyah
Madzhab Syi’ah dan ahlus sunnah dalam hal ini berbeda pandangan dalam
definisi imamah, kriteria seorang imam, metode penentuan imam, legitimasi
imam, individu-individu imam, dan lain sebagainya. Secara umum, Ahlus Sunnah
memandang imamah identik dengan khilafah dan membatasi ruang lingkupnya
hanya pada ranah politik, sementara Syi’ah memberikan ruang lingkup yang jauh
lebih besar kepada imamah.
Menurut Ahlus Sunnah bahwa seorang imam atau khalifah adalah seorang
pemimpin politik yang hanya bertugas memerintah dan mengatur tatanan sosialpolitik. Maka wajar saja jika pemimpin politik yang biasa disebut dengan
khalifah ini tidak perlu terlalu tinggi dalam hal keilmuan atau ketakwaan,
melainkan cukup memiliki sifat adil (‘adalah). Sebagai pemimpin politik sudah
sepantasnya imam ini dipilih secara demokratis melalui musyawarah.
Musyawarah menyangkut urusan “sosial-politik” ini ditegaskan dalam firman
Allah yang berbunyi: “…dan urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di
antara mereka.” (QS 42: 38). Jadi, karena seorang imam ini tidak lebih daripada
khalifah yang dipahami sebagai ‘pemegang kekuasaan politik’, maka syarat ‘adil’
dan ‘dipilih secara musyawarah’ sudah cukup untuk membuat siapa saja
mengajukan diri sebagai calon imam.19
Menurut madzhab Syi’ah, imamah memiliki dimensi spiritual yang jauh
lebih penting dibandingkan dengan dimensi politiknya. Dimensi spiritual ini
menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik adalah cabangnya. Seseorang
dapat menjadi imam dikarenakan maqam spiritualnya yang tinggi di sisi Allah
dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena itu, untuk mengetahui
imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu kepada nash dan
petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat musyawarah
atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena
pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi
di sisi Allah.20
Konsep imamah adalah sebuah teori kepemimpinan yang diyakini dan
berkembang dalam pemikiran religio-politik Syi’ah Imamiyah. Kata imam,
sebagai figur ummah, diterjemahkan untuk menunjuk orang atau seseorang yang
di samping memiliki hak sebagai pemimpin politik, juga sebagai pemimpin
keagamaan. Menurut konsep Syi’ah, otoritas keagamaan tidak dapat dipisahkan
dengan otoritas politik dalam lembaga kepemimpinan umat. Bagi kaum Syi’ah
19Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana konsep musyawarah dalam Islam sekaligus
mekanismenya lihat Artani Hasbi, Musyawarah dan demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001).
20 Mengenai logika-logika Syi’ah tentang hal ini dan bagaimana hubungan antara para imam
dan Nabi dalam dunia metafisika lihat Murtadha Muthahhari, Khatemiat, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001) h. 62-67
6
Imamiyah, konsep imamah adalah kelanjutan dari konsep nubuwwah, di mana
manusia dengan kekuatan akal yang dimilikinya mampu membedakan antara
kebaikan dan keburukan. Akan tetapi mesti disadari bahwa dengan hanya
berbekal pada akal saja, manusia tidak mampu menguraikan masalah dan
membimbing ke arah realisme dan tindakan yang benar. Semua sifat dan
perbuatan buruk yang ada di tengah masyarakat, bersumber dari manusia-manusia
yang memiliki akal dan kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan.
Karena egoisme, kerakusan, dan hawa nafsu, akal manusia dikalahkan oleh emosi
dan pada akhirnya mereka tersesat. Allah Yang Maha Adil mesti membimbing
manusia ke arah jalan kebahagiaan, dengan cara yang tidak mungkin dikalahkan
oleh hawa nafsu, atau keliru dalam memberikan petunjuk. Inilah konsep
nubuwwah.21 Menurut konsep di atas, imamah bukanlah urusan manusia, tetapi
harus berdasarkan nash agama. Imamah harus berdasar wasiat, bukan
musyawarah.22
Keyakinan pada posisi imamah ini begitu mendasar dalam mazhab Syi’ah
imamiyah, sehingga dijadikan salah satu prinsip agama (ushuluddin), selain
keyakinan pada ketuhanan (tauhid), keadilan (al-‘adl), kenabian (al-nubuwah),
dan hari kebangkitan (al-ma’ad).23 Sehingga secara sederhana dapat dikatakan,
seseorang dapat disebut sebagai penganut Syi’ah jika ia mempercayai adanya
imam yang dipilih Nabi SAW, yang secara formal berhak penuh melanjutkan
kedudukan menggantikan Nabi Muhammad sebagai Imam seluruh umat, yang
dalam keyakinan Syi’ah, orang yang dipilih Nabi tersebut adalah Ali bin Abi
Thalib, kerabat dan menantu beliau.
Secara kronologis, kepemimpinan umat pasca Nabi Muhammad SAW,
menurut perspektif Syi’ah, dimulai oleh Imam Ali bin Abi Thalib, kemudian anak
beliau yakni Imam Hasan al-Mujtaba, Imam Husain, dan dilanjutkan sembilan
keturunan dari Imam Husain yaitu Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad al-Jawad, Ali al-Hadi, Hasan alAskari, dan Muhammad al-Mahdi. Hanya saja, Imam yang terakhir ini, meskipun
telah lahir pada abad ke-3 Hijrah (tahun 255 H) namun mengalami kegaiban
hingga waktu yang tidak diketahui. Dalam masa ketersembunyian Imam Mahdi
ini, wilayah imam terdelegasikan kepada ulama yang memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk secara formal memimpin, membimbing, dan menjelaskan syariat
21Muhammad Husayn al-Thabathaba’i, Inilah Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1992), h.63.
22Thomas Patrick Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication, 1982), h.
573.
23Untuk lebih jelasnya tentang penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar dalam Shi’ah lihat
Mahmud Shehabi, Syi’ah dalam Islam Jalan Lurus, Kenneth W. Morgan (ed.) terj. Abu Basalamah
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 237 dst.
7
Islam kepada kaum muslimin. Kepemimpinan ulama ini berlaku hingga hadirnya
Imam ke dua belas, Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntadzar.24
Ketika al-Mahdi, Imam kedua belas datang kembali, maka otoritasotoritas temporal dan spiritual akan terpadu pada dirinya seperti halnya Nabi
Muhammad. Dia akan mempersatukan dua bidang pemerintahan islami yang ideal
itu. Maka gagasan tentang Imamah yang ditunjuk di antara keturunan Ali, yang
berkesinambungan disepanjang sejarah dan dalam segala keadaan politis,
diperkuat oleh harapan berkenaan dengan imamah dari Imam terakhir yang
sedang gaib. Hal ini mengukuhkan kembali harapan Imamiyah akan pemerintahan
islami sejati oleh seorang imam yang absah dari kalangan keturunan Husein.25
Kegaiban dalam pemikiran dan keyakinan Syi’ah terbagi dalam dua
tingkatan. Pertama, ‘kegaiban kecil’ (minor occultation/ghaibah al-shugra)
selama 74 tahun (255-329 H), yaitu ketika Imam Mahdi ‘bersembunyi di dunia
fisik dan mewakilkan kepemimpinannya kepada para wakil Imam’. Pada masa
ini, kesulitan dalam hal marja’ (kepemimpinan agama dan politik) relatif bisa
diatasi. Karena, posisi marja’ dijabat oleh empat wakil al-Mahdi, yaitu Abu
‘Ammar Usman bi Sa’id, Abu Ja’far Muhammad bin Usman, Abu al-Qasim alHusain bin Ruh dan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Samari.26
Kedua, ‘kegaiban besar’ (major occultation/ ghaibah al-kubra), yaitu
pasca meninggalnya keempat wakil Imam di atas hingga datangnya kembali
Imam Muhammad al-Mahdi pada akhir zaman. Dalam periode ‘kegaiban besar’
inilah kepemimpinan didelegasikan kepada para faqih. Konsepsi inilah yang
nantinya dikenal dengan istilah Marja’i taqlidi dan Wilayat al-faqih.27
OTORITAS ULAMA PADA MADZHAB SYI’AH IMAMIYAH
Dalam tradisi Syi’ah, sumber otoritas ulama lebih kokoh dibandingkan
dalam tradisi Sunni, baik secara teori maupun praktik. Jika golongan Sunni
pernah menyatakan bahwa penutupan pintu ijtihad, golongan Syi’ah tidak pernah
sekalipun melakukan hal demikian. Bagi Syi’ah, setiap ulama harus senantiasa
melakukan ijtihad. Ini mengingat fungsi ulama mujtahid (mereka yang berijtihad)
24Untuk lebih jelasnya lihat S. Husein M. Jafri, Origin and Early Development of Shi’a Islam
(New York: Longman, 1979)
25Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan, h. 167.
26ibid
27Konsep marja’ al-Taqlidi pada muncul dari elaborasi ijtihad ulama ushuli dalam Shi’ah dan
nantinya menjadi embrio munculnya konsep yang dikenal dengan nama Wilayat al-Faqih. Untuk lebih
jelasnya tentang rivalitas dari ulama ushuli dan akhbari dalam Shi’ah dan sejarah munculnya konsep
wilayat al-Faqih lihat Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Shi’ah Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20 (Bandung: Pustaka Salman, 1988) h. 240 dst.
8
adalah memberikan bimbingan terus menerus kepada masyarakat, khususnya
selama Imam yang ghaib belum muncul kembali.28
Selama menunggu kembalinya Sang Imam, maka ulama tertinggi (mujtahid)
dalam kedudukannya sebagai Marja’i al-Taqlidi bertanggungjawab memberikan
bimbingan kepada kaum Muslimin dalam berbagai macam permasalahan. 29 Bagi
kaum Syi’ah adalah wajib mengikuti prinsip-prinsip yang digariskan mujtahid
guna menjamin kontinuitas otoritas ulama ditengah absennya Sang Imam
Tertinggi.30
Marja’i al-Taqlidi merupakan sebuah otoritas keagamaan tertinggi dalam
Syi’ah yang dipegang oleh sejumlah faqih yang pendapat dan aturan-aturannya
dianggap harus diterima oleh semua orang awam dalam Syi’ah. 31 Konsep Marja’
28 Dalam tradisi Shi’ah, ulama yang yang bertugas untuk melakukan ijtihad khususnya dalam
bidang politik kemudian mengelaborasikannya atas imamah dan kemudian menjadi keyakinan
fundamental terutama selama penantian terhadap munculmnya Imam Mahdi al-Muntadhar. Sedangkan
ulama Akhbari adalah para ulama yang telah meyakini bahwa petunjuk (akhbar) yang dibawa oleh para
Imam adalah cukup untuk dijadikan sebagai pedoman keberagamaan sambil menunggu kedatangan alMahdi al-Muntadhar. Untuk lebih jelasnya lihat Ahmad Kazemi Mousavi, “The Establishment of
Position at Marja’iyat i Taqlid in The Twelve Shi’i Community”, Journal of The Society for Iranian
Studies, Vol. XVIII (Boston: Iranian Studies, 1985), h. 35-60
29Namun, dari beberapa hasil ijtihad marja’, jika terdapat perbedaan yang signifikan dalam
pengambilan satu keputusan hukum maka hal itu dikembalikan kepada satu otoritas marja’iyat altamm (complete authority) atau marja’ mutlak yang mempunyai kualifikasi keilmuan yang universal
(‘alamiyyat, superiority in learning). Untuk lebih jelasnya lihat Abbas Amanat, “In Between the Madrasa
and the Marketplace: The Designation of Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and Political
Culture In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York Press, Albany, 1988), h. 9899.
30Para muqallid adalah masyarakat umum yang tidak memiliki kompetensi secara intelektual
maupun keagamaan untuk menemukan hukum-hukum Tuhan dari sumbernya sebagai sarana untuk
pengabdian dalam ibadah kepada Allah swt. Karenaya para muqallid adalah orang yang tidak mampu
berijtihad, maka harus menyerahkan urusannya kepada ulama mujtahid yang disebut marja’. Mereka
bukan saja menyerahkan keputusan-keputusan agama kepada marja’, , melainkan juga memberikan
zakat dan khumus. Tetapi, kalau ulama itu cacat atau bersalah, umat dengan serentak akan
meningggalkan ulama tersebut. Sistem ini melahirkan ulama yang secara alami terseleksi, bebas dari
penguasa, dan berakar di masyarakat. Adapun muhtath adalah lapisan tengah yang memiliki
kemampuan untuk memilih dan memilah pandangan para mujtahid (marja’) dan mereka bebas
memilih kepada siapa akan bertaqlid. Inilah yang membedakan antara muqallid dan muhthat dalam
Syi’ah.
31Di antara tokoh-tokoh Marja’ al-Taqlid yang pernah muncul dalam sejarah Imamiyah,
dihitung sejak era Syaikh Anshari dan sebelum masa Imam Khomeini ialah: (1) H. Syaikh Muhammad
Hasan Isfahani Najafi (w.1849); (2) Syaikh Murtadha al-Anshari (w.1894); (3) Mirza Hasan asySyirazi (w.1894); (4) Akhund Mullah Muhammad Kazhim Khurasani (w.1911); (5) H. Muhammad
Kazhim Thabathaba’i Yazdi (w.1919); (6) Muhammad Taqi Ha’iri Syiazi (w.1920); (7) Syaikh
Fathullah Syari’ati Isfahani (w.1945); (9) H. Aqa Husain Burujerdi (w.1961). Sedangkan dimasa Imam
Khomeini, ada empat marja’ taqlid yang terkenal, yakni Imam Khomeini sendiri, Muhammad Kazhim
Syariat Madari, Sayyid Abu al-Qasim al-Khu’i, dan Husain Muntazheri (Zubaidi Mastal, 1989).
Sementara marja’ taqlid pasca Khomeini yang termasyhur adalah Ayatullah Uzhma Sayyid Ali
9
al-Taqlidi ini merupakan konsep baru dalam Syi’ah Imamiyah yang muncul pada
pertengahan abad kesembilan belas hasil dari ijtihad Murtadha Anshari.32 Ia
memperkenalkan bentuk kepemimpinan terpusat dalam sistem keulamaan dan
bimbingan rohani bagi kaum Syi’ah yang pada waktu itu bersifat majemuk dan
dipimpin oleh ulama/faqih yang paling tinggi ilmunya (a’lam) sebagai orang yang
fatwa-fatwanya paling patut ditaqlidi.33
Para faqih dipandang sebagai the living oracles orang yang mampu
memberikan bimbingan yang terpercaya dan menjadi contoh bagi Muslim
lainnya. Mereka dianggap sebagai ulama dengan rangking tertinggi. Setelah
kegaiban besar (major occultation/ ghaibah al-kubra) imam ke 12 hingga ia
muncul kembali pada akhir zaman, maka para ulama (faqih) merupakan penerus
rangkaian kepemimpinan dalam Syi’ah.34 Mereka mengambil alih peran para
Imam sekaligus mewakili pelaksanaan peran dari Imam yang ghaib. Bahkan
mereka dipercayai mendapatkan bimbingan langsung dari imam yang sedang
ghaib tersebut. Jika para imam mendapatkan kedudukannya secara langsung dari
Allah sehingga dengan demikian mereka ma’shum. Sedangkan para
faqih/mujtahid memperoleh kedudukannya berdasarkan berdasarkan kualifikasi
yang dimilikinya.35
Faqih adalah Muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu dan
kesalehan. Seorang faqih disyaratkan ‘harus mengetahui semua peraturan Allah,
Khamene’i, Ayatullah Uzhma Syaikh Muhammad Taqi Bahjat Fumani, Ayatullah Ruhani, Ayatullah
Uzhma Fadhil Lankarani, dan seterusnya.
32Pendapat lain mengatakan bahwa istilah itu muncul pada abad pra-modern, dan dielaborasi
pada masa dinasti Safawiyah dan Post-Syafawiyah, lihat Abbas Amanat, “In Between the Madrasa and
the Marketplace: The Designation of Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and
Political Culture In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York Press,
Albany, 1988), h. 98-99.
33seorang Thalabeh (pelajar) di sebuah Hawzah telah mencapai predikat Mujtahid Muthlaq
sehingga berhak untuk berijtihad secara individual setelah melalui beberapa tahapan yang telah
ditentukan. Untuk lebih jelasnya lihat Abdullah Beik, “Murtadha Muthahhari; Muslim dalam Aqidah,
Syari’ah dan Akhlaq”, dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab, 1417 H
34Dalam tradisi Syi’ah, para mujtahid mempunyai hierarki tersendiri. Peringkat tertinggi
diatas para ulama (di Iran sering disebut Mullah) adalah mujtahid, yang untuk para seniornya dikenal
dengan nama Ayatullah dan untuk Mujtahid Besar dikenal dengan nama Ayatullah ‘Uzma (agung).
Sedangkan untuk terminologi Sadr adalah mereka yang menduduki jabatan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi di pengadilan ulama dengan gelar Shaikh al-Islam. Untuk lebih jelasnya lihat, W.
Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1998),
h. 162-165
35Menurut Murtadha Muthahhari, seorang mujtahid yang hanya mempunyai kecakapan,
keahlian, jujur, tidak pernah berbohong akan tetapi dia tidak mampu menahan dirinya dari berbuat
dosa kecil seperti ghibah, tidak mampu menahan dirinya dari rasa dengki maka derajadnya tidak bisa
naik menjadi marja’. Dan fatwanya tidak bisa diikuti oleh orang awam. Untuk lebih jelasnya lihat
Murthada Muthahhari, Kenabian Terakhir, h. 144
10
mampu membedakan sunnah yang shahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang
terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan
akalnya untuk membedakan hadits dari situasi lain, situasi taqiyah, serta
memahami kriteria yang telah ditetapkan’.
Secara terperinci, seorang faqih antara lain harus mempunyai syarat-syarat
berikut:
1)
Faqahah, mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup
melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.36
2)
‘Adalah, memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari
watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al-Shalah, dan
tadayyun.37
3)
Kafa’ah, memiliki kemampuan untuk memimpin umat, mengetahui
ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang, secara
kejiwaan dan ruhani.
Karenanya dalam tradisi Syi’ah menjadi faqih bukanlah pemberian gratis
ilahiah, melainkan usaha ikhtiari yang penuh perjuangan dan pengorbanan untuk
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan, baik itu pada dimensi keilmuan,
keterampilan, maupun kepribadian. Karenanya, program pendidikan yang
sitematis dan integratif diperlukan untuk memberikan sarana bagi terciptanya
pribadi unggul dalam komunitas Islam.38
36 Untuk kompetensi faqahah, misalnya, banyak dirumuskan dalam buku-buku fiqih
persayaratan seseorang untuk dikategorikan sebagai ahli fikih atau mujtahid. Diantaranya harus
menguasai disiplin ilmu-ilmu keislaman diantaranya Bahasa Arab dengan aneka cabangnya, fiqh dan
ushul fiqh, ilmu hadith, ilmu al-Rijal (Ilmu menyelidiki para penyebar hadis dan orang-orang yang
membentuk mata rantai penyebaran sejak masa kemunculan hadis), dan pengetahuan penuh tentang
ayat-ayat
al-Quran
(‘ulum
al-Quran).
Lihat
Chibli Mallat, Menyegarkan Islam, (Bandung: Mizan, 2001) h. 65
37
Mujtahid dan Marja' disyaratkan bukan hanya ahli dalam fiqh saja, tetapi juga kesucian hati. Imam
Ali bin Abi Thalib berkata: "Faqih berada pada posisi yang paling tinggi, mengeluarkan setiap yang
masuk. Seorang yang hendak menerapkan berbagai cabang pada pokoknya; mesti memiliki sifat di atas
keadilan. Kita tidak hendak mengatakan bahwa mereka menerima wahyu atu ilham, tetapi mestilah
lebih tinggi dari yang lain. Memiliki kesucian dan kecerahan hati yang senantiasa mendukung dan
membimbingnya. Tidak cukup hanya dilengkapi kekuatan berpikir, tetapi juga mesti dilengkapi dengan
kekuatan jiwa dan maknawiyah. Untuk lebih jelasnya lihat, Murtadha Muthahari, Kenabian, h. 166
38
Ada tiga level yang harus ditempuh oleh seorang calon mujtahid Syiah untuk menuntaskan studinya
agar menjadi seorang mujtahid, sebuah gelar “yang hanya dicapai oleh pelajar-pelajar yang paling
cemerlang”. Yang pertama apa disebut muqaddimah; para siswa mempelajari tata bahasa, tata kalimat
(sintaksis), retorika dan logika; kedua, suthuh. Mengkaji, menggali berbagai disiplin ilmu ‘ulumuddin
seperti ushul al-fiqh dll, dalam jenjang suthuh juga diperkenalkan studi substansi fiqih (yurisprudensi)
deduktif (al-fiqh al-istidlal). Shutuh membutuhkan tiga hingga lima tahun, terkadang lebih lama lagi.
Pada akhir periode tersebut, para siswa akan dipertimbangkan sebagai seorang murahiq, yang
bermakna “dewasa”. Gelar ini menunjukkan batas kemampuannya pada kedewasaan yang dituntut
untuk berijtihad; ketiga, merupakan tahapan yang paling menentukan disebut bahth al-kharij.
Sistemnya, para siswa memilih untuk menghadiri kuliah-kuliah umum dari para mujtahid paling
terkemuka, yang memimpin diskusi-diskusi mereka sebagaimana perkuliahan dan seminar disusun
dalam suatu seri (daurah), meliputi sebuah periode berbilang bulan dan tahun. Untuk lebih jelasnya
lihat Chibli Mallat. Menyegarkan, h. 65
11
Signifikansi marja’ al-taqlid di tengah-tengah masyarakat Syi’ah terletak
pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir legitimate
dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni al-Qur'an dan al-hadits. Dikarenakan
pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, marja’ bergerak pada
berbagai lapisan sosial. Mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar
dalam masyarakat. Oleh karena itu juga pengetahuan termasuk pengetahuan
agama yang dimiliki marja’ adalah suatu kekuatan pencipta dan pembentuk;
pengetahuan (knowledge) dan kekuatan (power) berkaitan erat sekali, dan
konfigurasi keduanya merupakan kekuatan yang tangguh atas masyarakat.
Kesimpulan
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan dalam Syi’ah
Imamiyah meliputi era kepemimpinan Nabi (ashr al-anbiya), era kepemimpinan para
Imam (ashr al-awsyia), dan era kepemimpinan ulama (ashr al-’ulama).
Kepemimpinan para aushiya/imam dalam teologi Syi’ah merupakan seorang
pembimbing umat secara sosio-administratif tetapi yang lebih signifikan adalah
merekalah yang punya kemampuan memahami makna batin ayat-ayat al-Quran
karena mendapatkan bimbingan dan petunjuk langsung dari Nabi melalui alam
metafisika. Dimensi spiritual ini menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik
adalah cabangnya. Seseorang dapat menjadi imam dikarenakan maqam spiritualnya
yang tinggi di sisi Allah dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena
itu, untuk mengetahui imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu
kepada nash dan petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat
musyawarah atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena
pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi di
sisi Allah.39
Secara teologis kelahiran Marja’ al-Taqlidi dilatari oleh kuatnya doktrin dan
akidah Syi’ah terhadap ulama sebagai pelanjut, pelindung agama, dan pewaris
esoteris Nabi setelah gaibnya Imam Keduabelas. Keyakinan ini ditunjang oleh ayat
dan riwayat yang menyatakan perlunya pemimpin dunia setelah Nabi, dan secara
rasional dalam menghadapi krisis yang mencuat menyusul gabinya Imam Mahdi,
umat Syi’ah perlu mendapatkan yurisprudensi hukum dan politik tersendiri.
Daftar Pustaka
Amanat, Abbas, “In Between the Madrasa and the Marketplace: The Designation of
Clerical Leadership in Modern Shi’ism” dalam Authority and Political Culture
In Shi’ism, ed. Said Amir Arjomad. (New York: State University of New York
Press, Albany, 1988).
39
Mengenai logika-logika Shi’ah tentang hal ini dan bagaimana hubungan antara para imam dan Nabi
dalam dunia metafisika lihat Murtadha Muthahhari, Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad
Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001) h. 62-67
12
Baharun, Mohammad, Epistemologi Syiah dari Imamah Sampai Mut’ah (Malang:
Pustaka Bayan, 2004).
Beik, Abdullah, “Murtadha Muthahhari; Muslim dalam Aqidah, Syari’ah dan
Akhlaq”, dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab, 1417 H
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad ke-20 (Bandung: Pustaka Salman, 1988)
Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 1984).
Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam (Jakarta: INIS, 1910)..
Hasbi, Artani, Musyawarah dan demokrasi Analisis Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam (Ciputat: Gaya Media Pratama,
2001).
Houtsma, M. Th. et.al., First Encyclopaedia of Islam (Leiden: A.J. Brill, 1987).
Hughes, Thomas Patrick, Dictionary of Islam (New Delhi: Cosmo Publication,
1982).
Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah, (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2001).
Jafri, S. Hussein M., Awal dan Sejarah Perkembangan Syi’ah dari Saqifah sampai
Imamah (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989).
Makareem, Sami Nasib, The Doctrien of Isma’ilis (Beirut: The Arab Institute for
Arab for research and Publishing, 1972).
Mallat, Chibli, Menyegarkan Islam, (Bandung: Mizan, 2001).
Mousavi, Ahmad Kazemi, “The Establishment of Position at Marja’iyat i Taqlid in
The Twelve Shi’i Community”, Journal of The Society for Iranian Studies,
Vol. XVIII (Boston: Iranian Studies, 1985).
Mutahhari, Ayatullah Murtadha, Man and Universe, (Islamic Seminary Publication,
tt).
--------Kenabian Terakhir, terj. Muhammad Jawad Bafaqih, (Jakarta: Lentera, 2001).
Patterson, Daniel C dan William J. Hamblin, Zaydiyah dalam John L. Esposito (ed.)
The Oxford Encyclopedia or The Modern Islamic World (Oxford: Oxford
Univercity Press, 1995).
13
Rakhmat, Jalaludin, Pemikiran Politik Islam, dari Nabi Saw. via Al-Farabi hingga
Ayatullah Khomeini, Pengantar dalam Antara al-Farabi dan Khomeini,
Filsafat Politik Islam, (Bandung: Mizan, 2002).
Schedina, Abdul Aziz A.,
Kepemimpinan
Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991).
dalam
Islam
Perspektif
Shehabi, Mahmud, Syi’ah dalam Islam Jalan Lurus, Kenneth W. Morgan (ed.) terj.
Abu Basalamah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
Shihab, M. Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan Mungkinkah? Kajian
Konsep Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 1998).
Syirazi, Ayatullah Nasir Makarim, Ma'rifat al-Imamah,. (Bangil: Yayasan as-Sajjad,
1990).
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992).
Thabathaba’i, Allamah Sayyid Muhammad, Islam Syi’ah: Asal Usul dan
Perkembangannya (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).
-------, Inilah Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992).
Zahrah, Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos,
1996).
Watt, W. Montgomery, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New
York: Routledge, 1998).
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan,
2002).
14