Eksistensi Perjanjian Gala (Gadai) Tanah Pertanian Pada Masyarakat Aceh Di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara

  BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KEBERADAAN

PERJANJIAN GALA (GADAI) TANAH PADA MASYARAKAT ACEH

DI KECAMATAN MEURAH MULIA KABUPATEN ACEH UTARA A. Gambaran Umum Daerah Penelitian Kecamatan Meurah Mulia adalah salah satu kecamatan yang secara administratif termasuk dalam wilayah kabupaten Aceh Utara, provinsi Aceh. Kecamatan Meurah Mulia letaknya berbatasan dengan :

  1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Syamtanira Bayu;

  2. Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Samudera dan kecamatan Nibong, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Semudera;

  3. Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Bener Meriah dan Kecamatan Geuredong Pase.

  Kecamatan Meurah Mulia di pimpin oleh seorang Camat yang diangkat dan diberhentikan oleh dan atas kewenangan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Aceh Utara, dengan masa jabatannya sangat tergantung kepada Bupati yang mengangkatnya.

  Kecamatan Meurah Mulia terdiri dari 50 (limapuluh) Gampoeng (desa), yang masing-masing Gampong (desa) dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut “Kechik”, Kechik dipilih langsung oleh warga masyarakat Gampong (desa) secara demokratis melalui suatu pemilihan umum Gampong untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode jabatan ke depan.

  33

  2 Kecamatan Meurah Mulia mempunyai luas wilayahnya 29.217 km . Terdiri

  dari tiga kemukiman yaitu kemukiman Baroh dengan jumlah 15 (limabelas)

  Gampong

  (desa), kemukiman Teungoh dengan jumlah 12 (duabelas) Gampong (Desa) dan kemukiman Teungoh dengan jumlah 23 (dua puluh tiga) Gampong (Desa). Dengan jumlah kepala keluarga (KK) 4410 dan jumlah penduduk: 17.812 jiwa, yang terdiri dari laki-laki : 8677 jiwa dan perempuan: 9162 jiwa dengan mata pencaharian masyarakat sebagai berikut :

  1. Petani 95 %

  2. Pedagang 1 %

  3. Industri Rumah Tangga 1 %

  4. PNS 2 %

  5. Buruh dan Pegawai Swasta 1 % Sumber : Profil Umum Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara Propinsi

  Aceh tahun 2013 pada Kantor Camat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Keadaan geografis Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara memiliki bentangan alam yang pada umumnya rata (datar) dan sebagian kecil yang keadaannya berbukit. Pada bagian yang datar terhampar areal persawahan yang dipasilitasi dengan irigasi teknis serta permukiman penduduk dalam bentuk perkampungan yang disebut “gampong”, sedangkan sebagian kecil daerah perbukitan difungsikan sebagai perkebunan rakyat, dimana masyarakat yang setelah menanam padi di sawah mereka pada setiap musim tanam, lalu sebagian diantara mereka mulai bekerja membersikan areal perbukitan untuk menanam tanam-tanaman muda seperti jagung, kedelai, kacang hijau dan sayur-sayuran. Disamping itu ada pula yang menanam tanaman keras seperti durian, mangga dan karet.

  Ketika musim tanam tiba, setiap hari ketika matahari mulai menampakkan sinarnya kira-kira jam 07.00 WIB para penduduk disetiap kampung baik laki-laki maupun perempuan (yang telah dewasa) berbondong-bondong keluar dari perkampungan menuju sawah mereka masing-masing dalam rangka mengolah sawah atau mempersiapkan keadaan sawah supaya dapat ditanami padi.

  Setelah sawah mereka ditanami padi, maka tibalah waktu rehat atau waktu menunggu masa panen. Kalau masa panen tiba maka warga masyarakat berbondong- bondong turun lagi ke sawah untuk melakukan panenan padi mereka.

  Antara waktu selesai masa tanam dengan tibanya masa panen (masa rehat), waktu inilah yang digunakan sebagian penduduk desa untuk mengerjakan kebun/ lahan mereka yang berada di daerah perbukitan guna menambah penghasilan keluarga dengan menanam berbagai tanaman palawija dan tanaman sayur-sayuran.

  Kehidupan masyarakat desa dalam wilayah Kecamatan Meurah Mulia pada umumnya sama, yaitu setiap desa ditandai dengan adanya sebuah bangunan Menasah yang bentuknya adalah sama persis dengan bangunan rumah adat Aceh, hal ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan bangunan rumah adat Aceh yang semakin lama semakin menghilang keberadaannya.

  Fungsi Menasah adalah sangat banyak, diantaranya :

  1. Sebagai tempat shalat berjamaah, kecuali hari Jumat

  2. Sebagai tempat musyawarah desa

  3. Sebagai tempat pertemuan, bila ada acara-acara pertemuan yang diprakarsai oleh pihak kecamatan atau oleh pemerintah kabupaten

  4. Sebagai tempat belajar para orangtua yang biasanya diadakan setiap hari Jumat

  Fungsi menasah sebagaimana disebut di atas semakin lama semakin berkurang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Kalau tempo dulu fungsi menasah sangat strategis dimana para pemuda desa senantiasa menggunakan menasah sebagai tempat berkumpul pada siang hari sekedar untuk beristirahat setelah bekerja di sawah dan pada malam hari berfungsi untuk tempat istirahat (tidur) bersama dengan para pemuda sekampung, karena pada waktu tempo dulu sangat jarang para pemuda tidur di rumah pada malam

  45 hari.

  Pada waktu sekarang ini menurut penelitian, bahwa menasah tidak lagi mempunyai fungsi strategis, dimana para pemuda sangat jarang berkumpul di Menasah, kecuali sudah ditentukan secara khusus, misalnya pada acara rapat pemuda sekampung yang secara kebetulan mengambil tempat di menasah. Selebihnya para pemuda lebih suka berkeliaran kemana mereka suka, seperti pada warung-warung yang ada, baik di desa yang bersangkutan maupun di luar desa dengan berbagai macam kegiatan seperti menonton televisi sambil menikmati secangkir kopi atau sebagian hanya dengan nongkrong sambil ngobrol bersama di teras warung.

  Pada waktu malam ada yang pulang kerumah masing-masing, ada yang tidur di warung-warung tempat mereka bekerja pada siang hari. Keadaan seperti ini adalah

45 Wawancara dengan Bapak H. Syafari, selaku responden, pada tanggal 11 Februari 2013.

  merupakan delemma tersendiri yang tengah terjadi di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

  Ketidak konsistenan para pemuda dalam memiliki tempat istirahat pada malam hari membuat orang tua akan sangat sulit untuk mengontrol keadan dan keberadaan anaknya pada malam hari, keadaan seperti ini membuat pusing orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka.

  Berkaitan dengan pendidikan di kalangan para pemuda dan pemudi desa sangat beragam. Ada yang masih sekolah ditingkat SLTA bahkan ada juga sebagian kecil yang sedang mengikuti pendidikan tinggi (kuliah). Namun disamping itu banyak juga para pemuda yang tidak lagi dalam pendidikan, atau pengangguran setelah tamat sekolah tingkat SMP, para pemuda yang tergabung dalam kelompok ini keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh negatif khususnya narkoba, hal ini memang terbukti dilapangan memang sangat memperhatinkan, bahkan pengaruh narkoba ini tidak hanya dikalangan pemuda yang menganggur akan tetapi sudah merambah sampai ke pematang persawahan, dimana para bapak-bapak muda sudah kecanduan sabu-sabu yang tidak segan-segan menghisapnya di pematang persawahan ketika istirahat sejenak dari mengerjakan sawahnya.

  Keadaan seperti ini sudah sangat memprihatinkan masyarakat disana, khususnya di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara yang merupakan bagian dari keprihatinan secara nasional dari bangsa kita republik Indonesia.

B. Gadai Tanah Menurut Hukum Adat

  Di lingkungan masyarakat adat istilah gadai sudah sangat popular dipergunakan untuk melakukan suatu transaksi yang berhubungan dengan tanah. Pada dasarnya alasan yang paling mendasar seseorang melakukan transaksi gadai adalah keadaan kebutuhan akan uang.

  Pada mulanya istilah gadai tanah ini (grondverpanding) diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Pemberian nama untuk gadai ini dalam masyarakat hukum adat di Indonesia terdapat beraneka ragam, misalnya di daerah Minangkabau dikenal dengan nama “Manggadai” di Jawa dikenal dengan “Odol Sende” di sunda dikenal dengan “Jual Sende”, di Pariangan, Bogor, Purwokerto Selatan dan Kuningan memakai istilah “Akad”, “Gade”, “jual akad”, “Jual Gade” atau “Tandon”, di Jakarta, Cirebon dikenal dengan istilah “gade” di Riau dan Jambi dikenal istilah “menjual gade” di Medan dikenal dengan istilah “menggadai”, di beberapa daerah Nusa Tenggara Timur seperti daerah Kupang/Desa Teubaun disebut “Tarun”, di daerah Ermera disebut “Pinor”.

  Sebagaimana yang telah disebutkan di atas di daerah Istimewa Aceh gadai tanah ini juga diberi nama beraneka ragam, misalnya di Kuala Simpang dipergunakan istilah “Agun”, Kecamatan Babussalam dipakai istilah “Cinderan”, daerah Lawe Alas menyebut istilah “Cinder”, Kecamatan Peugasing dan Bebesan menyebutnya dengan nama “Garal” Kecamatan Kluet Selatan, Kecamatan Meukiek, Kecamatan Pidie, Kecamatan Meureudu dan Kecamatan Indrapuri menyebut dengan “Gala”, Kecamatan Montasik, Kecamatan Darussalam ada juga menyebut dengan istilah “Geumala” atau

  46 46Gala-Geumala”.

  T.I. EL. Hakimy, Beberapa Segi Hukum Adat Tanah Pedesaan Aceh, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, 1981), hal. 152. Di samping itu ada yang menyebut dengan istilah “Publo-Gala” atau “Publo

47 Akad ”. Khusus Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara disebut dengan

  istilah “Gala” (gadai). Istilah-istilah gadai tersebut di atas pada prinsipnya di daerah masyarakat hukum adat Aceh, diperuntukan terutama tanah-tanah pertanian.

  Di dalam hukum tanah adat istilah menjual gadai ini tidak sama pengertian dengan istilah menjual lepas, menjual tahunan, walaupun ketiga jenis ini merupakan transaksi tanah yang bersifat riil di dalam hukum harta kekayaan. Pada prinsipnya pemilik tanah yang melakukan transaksi gadai tidak menginginkan pelepasan tanahnya itu kepada pihak lain, melainkan pada suatu saat tertentu si pemilik tanah dapat menebus hak atas tanah tersebut dengan syarat membayar kembali uang tebusan yang diterimanya dahulu, adanya penebusan kembali ini merupakan salah satu ciri jual gadai yang artinya sebelum ditebus tanah yang bersangkutan berada dalam penguasaan pemegang gadai.

  Sesuai dengan aneka ragam istilah menjual gadai dalam masyarakat hukum adat di daerah masing-masing, maka mengenai pengertian gadai ini juga terdapat berbagai bentuk pengertian yang diungkapkan oleh para sarjana, namun tujuan dan artinya tetap sama.

47 Syahbuddin Mahyuddin, Pelaksana Gadai di Lampuuk Darussalam Aceh Besar dan Tinjauannya Menurut Hukum Islam , (Banda Aceh: Sinar Darussalam, 1980), hal. 256.

  Adapun pengertian gadai menurut para sarjana adalah sebagai berikut :

  1. R. Supomo, pengertian gadai tanah adalah penyerahan hak atas tanah dengan syarat bahwa tanah itu tidak dapat pulang kembali pada yang menjual, kecuali

  48 uang pembayaran dari pembeli itu dikembalikan (ditebus).

  2. Iman Sudiyat, pengertian menjual gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengambilan atas tanahnya dengan jalan menebusnya

  49 kembali.

  3. Soerojo Wignjodipuro, gadai adalah penyerahan kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak mengambil kembali tanah itu

  50 dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.

  4. A. Fauzi Ridwan, pengertian gadai adalah suatu transaksi (penyerahan) tanah kepada pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejumlah uang pembayaran dengan tunai, dengan perjanjian bahwa pemberi gadai yang menyerahkan tanah berhak menarik kembali tanah itu dengan jalan menebus

  51 pembayaran di atas.

  5. Van Dijk, gadai tanah adalah perpindahan tanah dengan pembayaran dengan sejumlah uang, yang dibayar dengan tunai dan yang memindahkan hak tanah itu (si pemberi gadai atau yang menggadaikan) dapat memperoleh kembali tanah itu 48 49 R. Supomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), hal. 28. 50 Iman Sudiyat, Op.Cit, hal. 28.

  Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 207. 51 A. Fauzi Ridwan, Op.Cit, hal. 37. jika ia membayar kembali kepada yang mendapatkan tanah itu, uang sejumlah

  52 yang diterimanya dahulu.

  6. S.A. Hakim, jual gadai adalah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran

  53 kembali sejumlah yang tersebut.

  7. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan gadai tanah adalah seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian dikemudian hari ia berhak menebus kembali tanah itu dengan membayar

  54 sejumlah uang tunai yang sama dengan uang yang ia terima semula.

  8. Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, jual gadai adalah merupaan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yakni pribadi kodrati yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak, mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai

  55 sifat sementara waktu tersebut.

  52 53 Van Dijk, Op.Cit, hal. 56. 54 S.A. Hakim, Op.Cit, hal. 19. 55 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 57.

  Soerjono Soekanto, Op.Cit, hal. 214.

  9. Soerjono Soekanto mengatakan gadai tanah adalah penyerahan tanah dengan pembayaran kontan, akan tetapi yang menyerahkan mempunyai hak mengambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.

  56 Kalau diperhatikan beberapa konsep uraian yang dikemukakan oleh para

  sarjana sebagaimana tersebut di atas, dapatlah disimpulkan bahwa ada beberapa unsur penting yang dapat ditarik dari transaksi gadai tanah, yaitu : a. Yang menjadi subjek gadai adalah penjual dan pembeli gadai.

  b. Yang menjadi objek gadai adalah tanah.

  c. Transaksi gadai ini mempunyai sifat berdiri sendiri.

  d. Transaksi gadai terjadi apabila objek gadai telah diserahkan oleh penjual gadai kepada pembeli gadai.

  e. Sifat penyerahan tanah dilakukan bersama dengan penerimaan sejumlah uang secara tunai.

  f. Hak untuk menebus kembali objek gadai terletak pada penjual gadai dengan cara mengembalikan harga gadai yang diterima semula.

  g. Transaksi gadai tidak mengenal dengan istilah bunga.

  Berdasarkan konsepsi gadai tanah tersebut dan berdasarkan unsur-unsur, dapat dirumuskan “Gala” (gadai) adalah sebagai suatu perbuatan hukum (rechthandeling) berupa penyerahan tanah pertanian/kebun atau benda-benda lainnya yang berharga oleh pemberi gadai (ureung peugala) dengan menerima sejumlah uang secara tunai 56 Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat , (Jakarta: Rajawali, 1981), hal. 85. dari penerima gadai (ureung Gala) dan pada waktu pemberi gadai hendak menguasai kembali atas tanah/benda gadai dapat dilakukan dengan cara menebus kembali sebesar sejumlah uang seperti semula.

  Pemegang gadai mendapat hak untuk menarik manfaat yang timbul dari hukum hak-hak milik. Tetapi ada perkecualiannya, Pertama, pemegang gadai tidak boleh menjual tanah itu dalam arti jual lepas, juga tidak boleh mempersewakannya lebih dari satu musim (jual tahunan). Kedua, dia harus membiarkan tanah itu kosong agar sewaktu-waktu tanah itu dapat ditebus

  57 kembali oleh pemberi gadai.

  Disamping apa yang telah diuraikan di atas, ada bentuk/cara lain dalam transaksi gadai yaitu perjanjian penglunasan (delgings-overeenkomst) yakni penyerahan sebidang tanah guna penglunasan sejumah hutang uang artinya dengan pemebrian sebidang tanah oleh debitur kepada kreditur untuk dipergunakan oleh kreditur, maka debitur memberikan kepada kreditus sebagai suatu jalan untuk melunasi hutangnya dengan memperhitungkan harga hasil

  58 tanah tersebut dengan jumlah hutang itu.

  Dalam hubungan yang tersebut di atas, Hilman Hadikusuma, menguraikan dengan contoh mengenai delgings-overeenkomst ini gadai pelunasan atau disebut juga dengan nama persetujuan pelunasan misalnya, apabila si berhutang A mempunyai hutang pada B, maka untuk dapat melunasi hutangnya itu A menyerahkan (menggadaikan) tanahnya kepada B dan dengan demikian maka tanah lalu diusahakan oleh B, dari hasil tanah itu diperhitungkan sebagai pembayaran hutang sampai lunas, tentu saja dengan

  59 menarik keuntungan dari hasil tanah tersebut.

  Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam lapangan hukum adat, tanah sebagai objek hukum khusus mengenai jual gadai dapat dialihkan untuk sementara waktu adalah melalui 2 (dua) cara yaitu jual gadai dan perjanjian pelunasan hutang (delgingsovereenkomst).

  57 Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yutisia, Yogyakarta, 2012, hal. 62. 58 59 S.A. Hakim, Op.Cit, hal. 19.

  Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 130. Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, maka dalam praktek masyarakat hukum adat, diperoleh ciri-ciri hak gadai adalah sebagai berikut : 1) Hak gadai jangka waktu terbatas, artinya pada suatu waktu akan dihapus apabila sipemberi gadai menebusnya.

  2) Hak gadai tidak berakhir dengan sendirinya, bila si pemberi gadai meninggal dunia, akan tetapi hak gadai tersebut beralih kepada ahli warisnya.

  3) Hak gadai dapat dibebani dengan hak-hak tanah lainnya, seperti menyewakan atau sewa bagi hasil kepada pihak lain.

  4) Hak gadai dengan persetujuan pemberi gadai dapat dialihkan kepada pihak ketiga apabila sipemegang gadai sangat memerlukan uang.

  5) Hak gadai tidak menjadi hapus walaupun hak atas tanah dialihkan kepada pihak lain.

  6) Selama hak gadai berlangsung, maka atas persetujuan kedua belah pihak, uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai).

  7) Gadai sebagai lembaga, karena ketentuan Pasal 53 UUPA, bersifat sementara maka pada waktunya akan dihapus.

  Di samping ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka berikut ini akan diuraikan perbedaan jual gadai tanah dalam hukum adat dengan pinjaman uang dengan jaminan. Transaksi gadai tanah dalam hukum adat, tanah bukanlah jaminan hutang akan tetapi perjanjian yang berdiri sendiri, sedangkan pand dalam KUHPerdata objeknya tidak menyangkut tanah atau benda tidak bergerak, melainkan benda-benda bergerak dan perjanjian tersebut merupakan perjanjian pinjam meminjam uang dengan benda bergerak sebagai jaminannya.

  Untuk lebih jelas perbedaan antara 2 (dua) lembaga tersebut, dapat diuraikan berikut ini : a) Jual gadai merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, sedangkan pinjaman

  overeenkomst

  dengan jaminan adalah perjanjian tambahan (accessoire ) disamping hutang uang.

  b) Jual gadai mengakibatkan penyerahan barang (objek) gadai kepada si pemegang gadai, sedangkan pinjaman dengan jaminan barang tidak diserahkan untuk dinikmati kepada yang memberi hutang.

  c) Jual gadai dilakukan dalam tempo/jangka waktu tertentu atau tidak ditentukan, sedangkan pinjaman dengan jaminan dilakukan hanya untuk jangka waktu yang pendek.

  d) Apabila tidak ditentukan jangka waktu dalam perjanjian maka jual gadai berakhir jika pemberi gadai menebusnya, sedang dalam pinjaman dengan jaminan ditentukan waktu.

  e) Apabila dalam jual gadai ditentukan jangka waktu, maka si pemegang gadai dapat meminta agar perjanjian diakhiri, jika si pemberi gadai tidak mampu untuk menebusnya, maka si pemegang gadai memintakan penetapan hukum lain dengan si pemegang gadai untuk memperoleh hak milik atas benda gadai tersebut, sedangkan pinjaman dengan jaminan apabila jangka waktu yang telah ditentukan berakhir maka yang menerima jaminan berhak untuk meminta pembayaran hutang.

  f) Dalam jual gadai memebri hak kepada si pemegang gadai untuk memindahkan atau mengalihkan gadai kepada pihak lain, sedangkan jaminan dengan pinjam tidak memberikan hak untuk memberikan barang jaminan kepada pihak lain.

  g) Dalam jual gadai apabila barang yang telah digadaikan itu musnah maka dengan sendirinya hubungan berakhir dan si penerima gadai tidak berhak meminta kembali uang gadai tersebut dari pemberi gadai, sedangkan pinjaman dengan jaminan apabila barang jaminan tersebut musnah maka si penerima jaminan tetap berhak meminta pembayaran hutang.

  h) Dalam jual gadai apabila pihak-pihak meninggal dunia maka perjanjian tersebut beralih kepada ahli warisnya masing-masing sedangkan pinjaman dengan jaminan apabila yang berhutang meninggal dunia maka hutang dapat ditagih.

C. Faktor Telah Melembaga Perjanjian Gala (Gadai) Tanah pada Masyarakat Aceh Di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara

  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menyangkut gadai tanah diatur pada Pasal 16 ayat (1) huruf h junto Pasal 53 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

  Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hal usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang- undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat”.

  Dalam penjelasan Pasal 16 UUPA, antara lain dijelaskan bahwa : “Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan undang- undang ini, tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat

  60 dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur”.

  Dari aturan yang telah disebutkan di atas, menginsyaratkan bahwa : pemerintah republik Indonesia tidak menginginkan praktek gadai tanah pertanian terus berlangsung di kalangan masyarakat warga negara Indonesia khususnya di pedesaan, karena pemerintah telah terlanjur mengasumsikan bahwa gadai tanah pertanian telah mengandung unsur pemerasan. Hal itu diperkirakan banyak masyarakat yang mengadaikan tanahnya akan tetapi tidak mampu menembus sampai dalam waktu yang lama bahkan bisa mencapai puluhan tahun hingga meninggalnya pemberi gadai.

  Disisi lain sipenerima gadai telah mendapat hasil atau keuntungan yang diperoleh dari pengolahan tanah tersebut, hingga melebihi bunga yang wajar dari besarnya uang gadai yang dikeluarkannya. Hal ini menjadi tidak sebanding, dan pihak pemberi gadai dianggab sebagai pihak yang sangat merugi.

  Mengenai asumsi yang telah menjiwai UUPA tersebut ternyata berbanding terbalik dengan apa yang sesungguhnya terjadi dan dialami oleh masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia kabupaten Aceh Utara. Dari 10 (sepuluh) orang responden, 60 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Cetakan Keduabelas, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 42.

  3 (tiga) orang Keucik (kepala desa), 1 (satu) orang kepala Mukim (pengetua adat) dan 1 (satu) orang Camat kepala wilayah Kecamatan Meurah Mulia yang telah saya wawancarai sebagai responden semuanya memberi jawaban yang sama, yaitu Gala

  geumala

  (gadai mengadai) tersebut tidak dapat dipisahkan lagi dengan masyarakat, hal itu disebabkan perjanjian Gala (gadai) tanah sudah begitu membudaya dan sangat berarti bagi masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia.

  Mengenai hal-hal yang telah diasumsikan oleh UUPA hampir tidak diketemukan di kalangan masyarakat Aceh khususnya di kecamatan Meurah Mulia, seperti dijelaskan oleh Bapak H. Abdul Rasyid, seorang pengetua adat di Kecamatan Meurah Mulia.

  Masalah Gala (gadai) tanah di Kecamatan Meurah Mulia ini sudah mendarah daging bagi masyarakat, karena hampir tidak ada suatu cara lain yang dapat digunakan oleh masyarakat disini untuk memenuhi kebutuhannya akan uang yang

  61 datangnya terkadang sangat tiba-tiba.

  Bahkan masyarakat sangat bersyukur dengan adanya suatu perjanjian Gala (gadai) tanah ini masyarakat sangat tertolong atau terbantu dan kami tidak sanggup membayangkan jika perjanjian Gala ini tidak dikenal dalam masyarakat disini, siapa yang akan membantu jika kami memerlukan uang dalam jumlah yang besar dalam

  62 waktu yang sangat tiba-tiba. 61 Wawancara Dengan Bapak H. Abdur Rasyid, selaku Kepala Mukim Teungoh (Pengetua Adat Di Kecamatan Meurah Mulia), pada tanggal 14 Februari 2013. 62 Wawancara Dengan Bapak Abdullah, selaku Sekretaris Desa Paya Kambuek, pada tanggal 13 Februari 2013.

  Berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan di atas, maka telah menjadi bukti bahwa perjanjian Gala (gadai) tanah telah melembaga dikalangan masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

D. Faktor Kemudahan dan Efesiensi

  Faktor kemudahan dan efisiensi merupakan alasan yang paling utama di pertahankan lembaga Gala (gadai) tanah oleh masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, ketika ada diantara anggota masyarakat yang secara tak terduga sangat memerlukan uang yang relatif besar hanya dengan cara menggalakan (menggadaikan) tanahnya tersebut sebagai jalan satu-satunya dan hampir tidak ada cara lain.

  Sebagaimana dikatakan Bapak Abdul Hamid Sabil, kepala desa Paya Kambuek: “Pernah suatu ketika di desa ini, seseorang Bapak ingin membawa anaknya berobat ke rumah sakit di kota Medan, waktu itu ia membutuhkan dana Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Untuk mendapatkan dana sebesar itu hanya membutuhkan waktu setengah hari atau setara dengan + 6 jam saja, yaitu untuk mencari orang yang bersedia menerima Gala atas tanah sawahnya seluas

  63 6 (enam) gupang upah”.

  Hal yang senada di kemukakan oleh Sdr. Amirullah salah seorang warga desa Paya Kumbuek, beliau menjelaskan bahwa masalah Gala (gadai) tanah sudah sangat mengakar di kalangan masyarakat desa, karena betul-betul sangat mudah urusannya, hampir tidak membutuhkan apapun persyaratannya, sehingga begitu seseorang membutuhkan uang, maka disitupula sudah menunggu orang yang bersedia membantu uang yang diperlukan dengan aturan

  64 perjanjian Gala gemala.

  63 Wawancara dengan Bapak Abdul Hamid Sabil, selaku Kesyik (Kepala Desa) Paya Kambuek, pada tanggal 11 Februari 2013. 64 Wawancara dengan Amirullah, selaku responden Paya Kambuek, pada tanggal 11 Februari 2013.

  Dengan merujuk kepada kedua penjelasan diatas, maka dapatlah dipahami bahwa betapa stategisnya pranata perjanjian Gala (gadai) tanah yang keberadaanya semakin kuat ditengah-tengah masyarakat tersebut khususnya di kecamatan Meurah Mulia kabupaten Aceh Utara.

  Pada dasarnya setiap transaksi yang dilakukan oleh para pihak terutama yang objeknya berupa benda tidak bergerak harus didasari dengan adanya alas hak yang jelas. Alas hak sangat menentukan dalam suatu transaksi benda tidak bergerak, karena berhubungan dengan keabsahan suatu transaksi.

  Pemilikan hak atas tanah oleh seseorang harus dibuktikan. Pembuktian kepemilikan hak atas tanah dilakukan atau ditunjukkan dengan berbagai macam alat bukti. Namun pembuktian yang terkuat adalah melalui sertifikat tanah yang

  65 merupakan tanda bukti hak yang kuat bagi kepemilikan hak atas tanah.

  Berdasarkan kepemilikan hak atas tanah, seseorang mempunyai kewenangan/berhak untuk melakukan suatu tindakan hukum atas tanah miliknya.

  Menurut Soedikno Mertokusomo, wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak

  66

  atas tanah terhadap tanahnya dibagi menjadi dua yaitu:

  1. Kewenangan Umum Wewenang yang bersifat umum, yaitu pemegang hak atas tanah 65 mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh

  J. Andy Hartanto, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Lasbang Mediantama, Yogyakarta, 2009, hal.16. 66 Sudikno Mertokusomo, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta, 1988, hal. 45.

  bumi, air, dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

  2. Wewenang Khusus Wewenang yang bersifat khusus, yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya, misalnya wewenang pada Tanah Hak Milik adalah dapat digunakan untuk kepentingan pertanian dan / atau mendirikan bangunan.

  Transaksi Gala (gadai) yang dilakukan antara pemilik tanah dengan penerima Gala (gadai) pada umumnya tidak menggunakan alas hak apapun dalam bentuk tertulis. Hal ini bukan berarti setiap orang bebas sesuka hatinya untuk melakukan transaksi Gala atas tanah yang bukan miliknya.

  Setiap orang yang menggalakan tanahnya pasti ia adalah pemiliknya, karena di pedesaan sangat tidak mungkin seseorang bertindak atas tanah yang bukan miliknya.

  Keberadaan tanah baik tanah sawah, maupun tanah kebun di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara sangatlah terang bagi masyarakat. Dalam arti setiap petak tanah sudah diketahui oleh umum siapa

  Gala

  pemiliknya. Oleh karenanya dalam transaksi (gadai) tidak memerlukan alas hak dalam bentuk tulis, karena perjanjian Gala (gadai) bukanlah tindakan perpindahan hak milik, akan tetapi hanya perpindahan hak sementara untuk menguasai dan menikmati hasil selama belum ditebus.

  Menurut hasil penelitian yang telah di lakukan pada umumnya kebutuhan anggota masyarakat akan uang yang jumlahnya relatif banyak, selalu terpenuhi melalui perjanjian Gala dan hampir tidak pernah saya ketemukan dalam bentuk lain, termasuk secara utang piutang secara biasa. Hal ini telah membuktikan betapa tidak mungkinnya lembaga Gala dipisahkan dari kehidupan masyarakat Meurah Mulia sebagaimana dicita-citakan oleh UUPA dan Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

  Bushar Muhammad, dalam bukunya pokok-pokok hukum adat menjelaskan sebagai berikut : Dalam penjelasan umum Perpu tersebut Pasal 9 diuraikan, bahwa transaksi jual gadai itu diadakan oleh pemilik tanah, hanya bila ia berada dalam keadaan yang sangat mendesak dan kalau tidak terdesak oleh kebutuhan- kebutuhan yang mendesak sekali, biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya. Oleh karena itu dalam transaksi jual gadai terdapat imbangan yang sangat merugikan penjual-gadai serta sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian jelas sekali, bahwa transaksi ini mudah menimbulkan praktek-praktek pemerasan, hal mana bertentangan dengan asas-asas Pancasila.

67 Di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara perjanjian Gala (Gadai)

  tanah tidak hanya dilakukan jika terdesak, di waktu keadaan tidak terdesak pun wagra melakukan transaksi Gala. Misalnya ketika seseorang membutuhkan dana yang relatif besar untuk menyelesaikan pembangunan rumahnya yang belum begitu rampung, maka ia menggalakan tanahnya, padahal perampungkan pembangunan 67 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan Kesepuluh, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), hal. 116. rumahnya yang belum selesai betul bukanlah kebutuhan yang mendesak karena masih dapat menunggu beberapa kali panen ke depan. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa banyak hal yang berbeda antara perjanjian Gala (gadai) tanah dalam masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia dengan perjanjian gadai tanah pertanian secara umum yang berlangsung di lingkungan masyarakat adat diseluruh Indonesia.

  Pada bagian lain faktor efisiensi juga sangat berpengaruh dan menentukan dalam rangka dipertahankannya perjanjian Gala (Gadai) tanah di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, hal ini dikemukakan oleh seluruh responden yang diwawancarai, antara lain sebagai berikut : “Perjanjian Gala keberadaanya sangat praktis dan efisien karena keadaanya sangat bebas dan terbuka bagi siapa saja tidak terkecuali, dan pada dasarnya tidak ada

  68 persyaratan apapun termasuk surat keterangan Gala (gadai) dan kwitansi”.

  Namun dengan semakin berkembangnya cara berpikir masyarakat, maka tata cara perjanjian Gala (Gadai) tanah ini juga berkembang, kalau dulu belum dikenal surat keterangan atau surat perjanjian Gala, sekarang sudah banyak yang membuatnya, kalau dulu belum dikenal kwitansi sebagai tanda terima pembayaran sejumlah uang, maka sekarang sudah mulai diperbuat oleh yang melakukan transaksi

  Gala (Gadai) tanah.

E. Faktor Belum Terbukanya Akses Perbankan dan Pengaruh Unsur Riba

  Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata di Kecamatan Meurah Mulia belum ada tersedia kantor perbankan, belum ada satupun kantor unit BRI yang 68 Kesimpulan hasil wawancara dengan beberapa orang masyarakat desa Paya Kambuek pada tanggal 13 Februari 2013. membuka aktifitasnya di sana, namun di daerah lain yang berdekatan dengan Kecamatan Meurah Mulia sudah tersedia fasilitas perbankan yaitu disamping BRI unit juga ada kantor perwakilan BNI dan Bank Pembangunan Daerah Aceh.

  Jarak antara ibukota kecamatan Meurah Mulia dengan fasilitas perbankan tersebut tidaklah terlalu jauh dan menurut keterangan yang diperoleh dilapangan bahwa perbankan yang ada di daerah yang berdekatan tersebut juga melayani kepentingan masyarakat yang ada di Kecamatan Meurah Mulia.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden diperoleh keterangan sebagai berikut : “Sebenarnya ada juga keinginan masyarakat untuk mempergunakan fasilitas perbankan dalam rangka mendapatkan dana segar guna digunakan untuk berbagai keperluan, baik keperluan yang datangnya secara mendadak, maupun keperluan lain, terutama sekali untuk modal usaha produktif, namun keinginan masyarakat tersebut sangat jauh panggang dari api, artinya sangat tidak mungkin dijangkau oleh masyarakat di kecamatan Meurah Mulia, di karenakan persyaratan yang diminta oleh pihak bank sangat tidak mungkin di penuhi oleh masyarakat”.

  69

  “Apabila pihak bank mau menerima surat keterangan hak milik tanah dari kepala desa atau akta jual beli yang dibuat oleh camat, mungkin banyak juga orang yang bersedia mengambil kredit, tetapi yang seperti itu tidak mau diterima oleh bank, mereka meminta sertifikat, padahal warga masyarakat disini sangat jarang yang telah memsertifikatkan tanahnya”.

  70

  69 Wawancara dengan Bapak H. Abdur Rasyid, selaku Kepala Mukim Teungoh (Pengetua Adat Di Kecamatan Meurah Mulia), pada tanggal 14 Februari 2013. 70 Wawancara dengan Bapak A. Hamid, selaku Kesyik (Kepala Desa) Menasah Nga Kecamatan Meurah Mulia, pada tanggal 12 Februari 2013.

  Berdasarkan hal tersebut dapatlah dipahami, bahwa ketiadaan bukti formal sebagai bukti hak milik atas tanah (alas hak) bagi masyarakat merupakan faktor yang paling utama, sehingga mereka tidak dapat memohon kredit kepada pihak bank karena pihak bank meminta sertifikat tanah sebagai jaminannya.

  Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden diperoleh keterangan bahwa sangat jarang bagi masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara yang telah memiliki sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak milik, baik tanah pertanian, maupun tanah perumahan sekalipun. Disisi lain bank sangat membutuhkannya.

  Jaminan ini merupakan hak mutlak atas suatu benda tertentu, berupa bagian dari harta kekayaan debitur atau penjamin, sehingga memberikan kedudukan preference (diutamakan) kepada kreditor dari pada kreditor lainnya atas benda tersebut. Jadi, jika debitur wanprestasi (kredit macet), ada benda yang secara khusus untuk dijual oleh

  71 kreditor agar dapat melunasi hutan debitur tersebut.

  Kemudian ada lagi persyaratan yang sangat berat untuk kami penuhi, yaitu pembayaran cicilan pada setiap bulannya. Seharusnya pihak bank mau mengerti bahwa kemampuan kami untuk mencicil utang adalah pada waktu selesai panen padi di sawah. Kendala-kendala seperti inilah yang membuat masyarakat disini tidak

  

72

begitu teringat dengan lembaga perbankan. 71 Irma Devita Purnamasari, Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Mizan Pustaka, Bandung, 2011, hal. 4.

  Jaminan Perbankan, 72 Wawancara dengan Bapak T. Ismail, selaku responden Desa Paya Itek Kecamatan Meurah Muliah, pada tanggal 13 Februari 2013.

  Dari beberapa keterangan yang diberikan oleh anggota masyarakat dapat di mengerti bahwa antara kedua pihak tersebut, masih diperlukan komunikasi yang intensif kalau memang benar ada keinginan atau komitmen dari kedua belah pihak untuk saling membutuhkan. Kalau selama ini masing-masing pihak masih berpegang pada kepentingan sendiri-sendiri dalam arti belum bersedia melihat dan berpegang kepada realitas yang ada, terutama sekali realitas masyarakat petani yang ada di lapangan.

  Kemudian ada suatu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yang diyakini oleh masyarakat di Kecamatan Meurah Mulia sehingga sangat jarang mereka memutuskan untuk mengambil kredit di bank, yaitu apa yang disebut dengan “riba”. Riba adalah berupa bunga bank yang dalam hukum Islam adalah haram hukumnya, oleh karena masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia masih sangat kental dan begitu fanatiknya terhadap agama yang dianutnya, maka sangat berpengaruh kepada mereka terhadap tindakan apa saja yang dilakukan termasuk tindakan permohonan kredit pada lembaga perbankan.