Eksistensi Perjanjian Gala (Gadai) Tanah Pertanian Pada Masyarakat Aceh Di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara

(1)

TESIS

Oleh

MARSYUDDIN

117011042/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARSYUDDIN

117011042/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 117011042 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring,SH,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 2. Dr. Idha Aprilyana, SH, MHum

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn


(5)

Nama : MARSYUDDIN

Nim : 117011042

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : EKSISTENSI PERJANJIANGALA(GADAI) TANAH PERTANIAN PADA MASYARAKAT ACEH DI

KECAMATAN MEURAH MULIA KABUPATEN ACEH UTARA)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat pernyataan

Nama : MARSYUDDIN Nim :117011042


(6)

ke bank. Berbeda dengan masyarakat dipedesaan yang belum mengenal sama sekali lembaga perbankan. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan akan uang yang jumlahnya relatif besar dan datangnya tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya, hanyalah dengan menggunakan lembagagala(gadai). Yaitu dengan suatu perjanjian seseorang menyerahkan tanahnya yang dapat menghasilkan kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang sesuai kesepakatan. Apabila pemilik tanah mengembalikan sejumlah uang tersebut, maka tanah kembali kepadanya. Adapun permasalahannya yaitu faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberadaan perjanjiangala(gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, bagaimana bentuk (kontruksi) perjanjian gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gala(gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis empiris. Data-data yang dihimpun dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan studi leteratur terhadap tulisan-tulisan yang berhubungan dengan gadai tanah pertanian. Responden pada penelitian ini sebanyak 15 orang sebagai mewakili 3 desa, masing-masing desa terdiri 5 orang yang sudah pernah melakukan transaksigala(gadai).

Perjanjian gala (gadai) tanah telah begitu melembaga dikalangan masyarakat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara dan tidak dapat dipisahkan lagi dengan masyarakatnya. Ada 4 bentuk (kontruksi) perjanjian gala(gadai) tanah yaitu berpindahnya objek gala (gadai) kedalam kekuasaan penerima gala (gadai), tidak berpindah objek yang diikuti dengan pembayaran sewa, tidak ada objek / tidak jelas juga diikuti dengan pembayaran sewa, gala kontrak (gadai kontrak) sebagai bentuk pergeseran perjanjian gala

(gadai). Penebusan dapat dilakukan kapan saja, paling cepat setelah selesai 1 kali panen dengan mengembalikan sejumlah uang gadai yang dulu diterima. Sepanjang penelitian tidak pernah terjadi permasalahan yang prinsip dalam perjanjian gala (gadai) tanah. Sebaiknya pemerintah daerah mulai Gubernur, Bupati dan Camat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara mengupayakan suatu terobosan melalui Qanun (Perda), untuk adanya keseragaman aturan yang berlaku tentang perjanjian gala (gadai) diseluruh provinsi Aceh. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh tentang perjanjiangala(gadai) agar dapat ditemukan persamaan dan perbedaan yang prinsip tentang hal yang sama didaerah lain.


(7)

money in a relatively big amount and are able to meet the requirements, they can send their application to the bank. Therefore, to meet the need for money in a relatively big amount whose coming could not be predicted, they used the mortgage institution available. Only with an agreement, somebody hands his productive land over to another party and in return he receives a certain sum of money in accordance with the agreement. If the land owner returns the amount of money, the land is returned to him/her. The problems to be solved in this study were the factors constituting the background for land mortgage agreement, the construction of land mortgage agreement, and how to pay and settle the land mortgage dispute in Acehnese community in Meurah Mulia Subdistrict, Aceh Utara District.

The data for this descriptive analytical study with empirical juridical approach were obtained through interviews and studying the documents related to the agricultural land mortgage. The respondents of this study were 15 persons who have experienced conducting mortgage transaction representing 3 (three) villages (5 person for each village).

The land mortgage agreement has been so institutionalized in the communities in Meurah Mulia Subdistrict, Aceh Utara District and it is unseparable from them. There are four constructions of land mortgage agreements: the object of mortgage is transfered to the power of mortgage receiver, the object of mortgage is not transfered but followed with lease payment, the object of mortgage is absent/unclear but also followed with lease payment, contracted mortgage as the shifted construction of mortgage agreement. The payment can be carried out any time, the quickest is right after one-time harvest by returning a certain amount of the mortgage money received. During the study, there was no principle issue occuring in land mortgage agreement. The local government commencing from the Governor, Head of Districts, and the Head of Meurah Mulia Subdistrict of Aceh Utara District should make a breakthrough through a Qanun (Local Regulations) that there are uniformed regulations on mortgage agreement existing in all areas of the Province of Aceh. Therefore, a comprehensive study on mortgage agreement needs to be carried out to find out the similarity and the principle difference on the same subject in other areas.


(8)

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Eksistensi PerjanjianGala(Gadai) Tanah Pertanian Pada Masyarakat Aceh Di

Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terimakasih yang mendalam secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Dengan selesainya penulisan tesis ini kami menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah


(9)

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku Penguji yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Penguji yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah. 8. Seluruh staf/pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan.

9. Rekan-rekan mahasiswa dan mahasiswi di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2011 yang telah banyak memberikan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

10. Kakanda Tarmizi, SH, SpN, MKn, yang telah banyak memberikan dorongan moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya, semoga amal baiknya mendapat berkah dari Allah SWT.

11. Bapak Camat Kecamatan Meurah Mulia beserta staf yang telah memberikan data dan informasi berguna dalam penelitian tesis ini.

12. Teristimewa kepada motivator terbesar dalam hidup penulis istri tercinta ibu Setiarsih dan anak penulis M. Nadhir Setiawan yang telah memberikan motivasi serta inspirasi bagi penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum adat dan ilmu kenotariatan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT / Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan rahmat dan hidayah Nya sereta rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amin.

Medan, Juli 2013 Penulis,


(11)

Nama Lengkap : Marsyuddin

Tempat/Tanggal Lahir : Paya Kambuk, 3 Januari 1965 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Kawin

Alamat : Jl. Karya Gg. Sosro No. 25-A Medan II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : M. Thaib

Nama Ibu : Maryam

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. SD Negeri Kuta Batee Aceh Utara : Tamat Tahun 1979 2. SMP Syamtalira B Aceh Utara : Tamat Tahun 1982 3. SMA Swasta Samudera Lhokseumawe : Tamat Tahun 1985 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara : Tamat Tahun 1990 5. S-2 MKn Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Tamat Tahun 2013


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian... 18

D. Manfaat Penelitian... 18

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20

1. Kerangka Teori... 20

2. Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian... 28

1. Sifat Penelitian ... 28

2. Metode Pendekatan ... 28

3. Lokasi Penelitian ... 29

4. Populasi dan Sampel ... 29

5. Metode Pengumpulan Data ... 30

6. Alat Pengumpulan Data... 30


(13)

B. Gadai Tanah Menurut Hukum Adat ... 37 C. Faktor Telah Melembaga PerjanjianGala(Gadai) Tanah

Pada Masyarakat Aceh Di Kecamatan Meurah Mulia

Kabupaten Aceh Utara ... 46 D. Faktor Kemudahan dan Efesiensi ... 48 E. Faktor Belum Terbukanya Akses Perbankan dan

Pengaruh Unsur Riba... 53 BAB III BENTUK (KONSTRUKSI) PERJANJIAN GALA (GADAI)

TANAH PADA MASYARAKAT ACEH DI KECAMATAN MEURAH MULIA KABUPATEN ACEH UTARA... 57 A. ObjekGala(Gadai) Tanah ... 57 B. Syarat-Syarat dan Tata Cara Pengikatan Perjanjian

Gala(Gadai) Tanah ... 59 C. Bentuk-Bentuk PerjanjianGala(Gadai) Tanah ... 60

1. Bentuk PerjanjianGala(Gadai) Yang Objeknya Berpindah Ke Dalam Penguasaan PenerimaGala

(Gadai)... 60 2. Bentuk PerjanjianGala(Gadai) Yang Objeknya

Tidak Berpindah Ke Dalam Penguasaan Penerima

Gala(Gadai)... 63 3. Bentuk PerjanjianGala(Gadai) Yang Objeknya

Tidak Ada (Tidak Jelas) ... 67 4. Bentuk PerjanjianGalaKontrak (Gadai Kontrak)... 71

BAB IV PENEBUSAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA GALA

(GADAI) TANAH PADA MASYARAKAT ACEH DI

KECAMATAN MEURAH MULIA KABUPATEN ACEH UTARA... 76 A. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam PerjanjianGala(Gadai) . 76 B. Penebusan ObjekGala(Gadai) oleh Pemilik Tanah... 82


(14)

Sengketa Gadai Tanah ... 87

D. SengketaGala(Gadai) dan Penyelesaiannya di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara ... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 103

A. Kesimpulan... 103

B. Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA... 106 LAMPIRAN


(15)

ke bank. Berbeda dengan masyarakat dipedesaan yang belum mengenal sama sekali lembaga perbankan. Oleh karenanya untuk memenuhi kebutuhan akan uang yang jumlahnya relatif besar dan datangnya tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya, hanyalah dengan menggunakan lembagagala(gadai). Yaitu dengan suatu perjanjian seseorang menyerahkan tanahnya yang dapat menghasilkan kepada pihak lain dengan menerima sejumlah uang sesuai kesepakatan. Apabila pemilik tanah mengembalikan sejumlah uang tersebut, maka tanah kembali kepadanya. Adapun permasalahannya yaitu faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberadaan perjanjiangala(gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, bagaimana bentuk (kontruksi) perjanjian gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara, bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa gala(gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis empiris. Data-data yang dihimpun dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode wawancara dan studi leteratur terhadap tulisan-tulisan yang berhubungan dengan gadai tanah pertanian. Responden pada penelitian ini sebanyak 15 orang sebagai mewakili 3 desa, masing-masing desa terdiri 5 orang yang sudah pernah melakukan transaksigala(gadai).

Perjanjian gala (gadai) tanah telah begitu melembaga dikalangan masyarakat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara dan tidak dapat dipisahkan lagi dengan masyarakatnya. Ada 4 bentuk (kontruksi) perjanjian gala(gadai) tanah yaitu berpindahnya objek gala (gadai) kedalam kekuasaan penerima gala (gadai), tidak berpindah objek yang diikuti dengan pembayaran sewa, tidak ada objek / tidak jelas juga diikuti dengan pembayaran sewa, gala kontrak (gadai kontrak) sebagai bentuk pergeseran perjanjian gala

(gadai). Penebusan dapat dilakukan kapan saja, paling cepat setelah selesai 1 kali panen dengan mengembalikan sejumlah uang gadai yang dulu diterima. Sepanjang penelitian tidak pernah terjadi permasalahan yang prinsip dalam perjanjian gala (gadai) tanah. Sebaiknya pemerintah daerah mulai Gubernur, Bupati dan Camat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara mengupayakan suatu terobosan melalui Qanun (Perda), untuk adanya keseragaman aturan yang berlaku tentang perjanjian gala (gadai) diseluruh provinsi Aceh. Oleh karenanya perlu dilakukan penelitian yang menyeluruh tentang perjanjiangala(gadai) agar dapat ditemukan persamaan dan perbedaan yang prinsip tentang hal yang sama didaerah lain.


(16)

money in a relatively big amount and are able to meet the requirements, they can send their application to the bank. Therefore, to meet the need for money in a relatively big amount whose coming could not be predicted, they used the mortgage institution available. Only with an agreement, somebody hands his productive land over to another party and in return he receives a certain sum of money in accordance with the agreement. If the land owner returns the amount of money, the land is returned to him/her. The problems to be solved in this study were the factors constituting the background for land mortgage agreement, the construction of land mortgage agreement, and how to pay and settle the land mortgage dispute in Acehnese community in Meurah Mulia Subdistrict, Aceh Utara District.

The data for this descriptive analytical study with empirical juridical approach were obtained through interviews and studying the documents related to the agricultural land mortgage. The respondents of this study were 15 persons who have experienced conducting mortgage transaction representing 3 (three) villages (5 person for each village).

The land mortgage agreement has been so institutionalized in the communities in Meurah Mulia Subdistrict, Aceh Utara District and it is unseparable from them. There are four constructions of land mortgage agreements: the object of mortgage is transfered to the power of mortgage receiver, the object of mortgage is not transfered but followed with lease payment, the object of mortgage is absent/unclear but also followed with lease payment, contracted mortgage as the shifted construction of mortgage agreement. The payment can be carried out any time, the quickest is right after one-time harvest by returning a certain amount of the mortgage money received. During the study, there was no principle issue occuring in land mortgage agreement. The local government commencing from the Governor, Head of Districts, and the Head of Meurah Mulia Subdistrict of Aceh Utara District should make a breakthrough through a Qanun (Local Regulations) that there are uniformed regulations on mortgage agreement existing in all areas of the Province of Aceh. Therefore, a comprehensive study on mortgage agreement needs to be carried out to find out the similarity and the principle difference on the same subject in other areas.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang dalam hidup dan kehidupannya selalu membutuhkan orang lain agar segala sesuatu yang diinginkan dapat tercapai, sehingga hubungan seseorang dengan orang lain, suatu kelompok dengan kelompok lain, satu golongan dengan golongan lain tidak dapat dihindarkan sudah menjadi kebutuhan.

Kebutuhan seseorang terhadap orang lain sangatlah banyak, salah satu diantaranya adalah kebutuhan finansial. Suatu ketika seseorang sangat membutuhkan finansial untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan tersebut ia berhutang kepada orang lain, namun orang lain tidak begitu saja melepaskan uangnya apabila tidak ada suatu jaminan yang dapat di pegangnya.

Sebagaimana diketahui banyak lembaga keuangan seperti perbankan dan lembaga keuangan non bank yang menyediakan berbagai bentuk fasilitas keuangan, seperti fasilitas kredit dengan kewajiban membayar bunga dan segala macam hal lainnya, belum lagi untuk mendapatkan dana dari bank harus terlebih dahulu memenuhi berbagai persyaratan, yang biasanya tidak mampu atau sulit dipenuhi oleh masyarakat, khususnya masyarakat Aceh di pedesaan.


(18)

Oleh karena itu dalam lingkungan masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara dikenal suatu lembaga dalam hukum adat yaitu apa yang disebut dengan “Gala” yaitu berupa suatu perjanjian yang secara umum telah mengetahui bahwa seseorang berutang kepada orang lain berupa sejumlah uang dengan menyerahkan suatu benda berupa tanah pertanian atau tanah kebun yang dapat menghasilkan sebagai objekGala.

Perjanjian Gala dalam masyarakat adat Aceh tempo dulu biasanya dilakukan secara lisan, dengan suatu anggapan bahwa, apa yang diperjanjikan tersebut dianggap telah disetujui dan di anggap telah memahami tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban diantara mereka, itulah yang menjadi ciri khas perjanjian “Gala” menurut hukum adat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

Perjanjian “Gala” (gadai) tanah dalam masyarakat hukum adat Aceh hingga saat ini masih merupakan suatu lembaga yang dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan akan uang, yang ada kalanya datang secara mendesak dengan tidak diduga-duga sebelumnya. Misalnya ada anggota keluarga yang menderita sakit dan harus dilakukan tindakan operasi dengan biaya yang relatif besar atau meninggal dunia dan lain-lain, maka cara yang paling mudah ditempuh untuk itu adalah dengan menggalakan (menggadaikan) tanah pertanian seperti tanah sawah atau tanah kebun yang dapat menghasilkan kepada pihak lain yang kemampuan ekonominya lebih baik. Pada dasarnya lembaga Gala ini tidak pernah hilang dari kehidupan masyarakat desa, karena merupakan salah satu sarana tolong-menolong dalam masyarakat desa, maka gadai tanah ini merupakan suatu pranata yang sangat penting keberadaannya dalam upaya memenuhi kebutuhan uang yang tidak dapat di elakkan. Dengan waktu yang sedemikian cepat dan mendesak harus


(19)

ada tersedia uang, tanpa harus menjuali benda-benda miliknya serta tidak perlu di ketahui oleh orang banyak. Justru kalau satu keluarga telah menjual lepas tanahnya, maka akan dirasakan sebagai yang merendahkan martabat keluarga tersebut. Sebab dalam kebiasaan masyarakat kalaupun terjadi jual lepas tanah, harus terlebih dahulu menuruti ketentuan “hak terdahulu” yakni orang yang mau menjual tanah tidak begitu saja dapat menjualnya kepada siapa saja. Akan tetapi harus mendahulukan penjualan itu kepada kerabat dekatnya atau keluarga satu marganya. Bila tidak ada kawan satu kerabat yang hendak membeli tanah itu, dia harus menjualnya kepada orang sekampungnya dan apabila juga tidak ada yang membeli dari kawan sekampung, pemilik tanah masih harus mencari orang yang berdekatan dengan tanah tersebut atau di mana tanah itu berada, tetangganyalah didahulukan. Bila juga tetangga yang berdekatan dengan tanah itu tidak ada yang mau membeli, barulah dia dapat menjual lepaskannya kepada siapa saja yang mau membelinya.1

Gadai tanah merupakan suatu perjanjian yang menyebabkan bahwa tanahnya diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si penyerah akan berhak mengembalikan tanah itu kedirinya sendiri dengan jalan membayarkan sejumlah uang yang sama.2

Perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain, yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak masih mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian, maka pemindahan hak atas tanah adalah bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara tersebut.

1 Muhammad Yamin,Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 127.

2B. Ter Haar Bzn, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981), hal. 112.


(20)

Ada kecendrungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, di mana yang terakhir cenderung untuk memberikan semacam patokan pada sifat sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut.3

Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. Untuk melindungi kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit 2 (dua) tindakan, yakni :

1. Menganakgadaikan (onderverpanden), dimana penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada pihak ketiga. Dalam hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai pertama dengan penerima gadai pertama dan kedua antara penggadai kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan pihak ketiga (sebagai penerima gadai yang kedua). 2. Memindahgadaikan (doorverpanden), yakni suatu tindakan di mana

penerima gadai menggadaikan tanah kepada pihak ketiga dan pihak ketiga tersebut menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara penggadai dengan penerima gadai yang baru.4

Pada gadai jangka waktu, biasanya dibedakan antara gadai jangka waktu larang tebus dengan gadai jangka waktu wajib tebus. Deskripsinya adalah, sebagai berikut :

a. Gadai jangka waktu larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan penerima gadai ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai dilarang untuk menebus tanahnya. Dengan demikian maka, apabila jangka waktu tersebut telah lalu, gadai ini menjadi gadai biasa.

3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 192.


(21)

b. Gadai jangka waktu wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan penerima gadai ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah harus ditebus oleh penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas.5

Dalam hukum adat, tanah merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat, sebagai harta kekayaan yang dapat memberikan kehidupan bagi masyarakat dan sekaligus barang yang bernilai ekonomis, yang pada saat-saat tertentu dapat dipertukarkan dengan keperluan lain yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari dan dilakukan transaksi-transaksi yang ada hubungan dengan tanah.6 Pengalihan tanah untuk memperoleh uang kontan seketika itu juga dapat dilakukan dengan cara menjual. Pengertian jual dalam hukum adat meliputi jual lepas, jual tahunan dan jual gadai.

Gadai merupakan transaksi atas tanah dan benda-benda lain yang dipersamakan dengan tanah yang dilakukan oleh pemiliknya, dengan pihak lain untuk jangka waktu sementara. Jadi hak milik sementara atas tanah dan benda berharga lainnya yang digadaikan tidak untuk dilepaskan selama-lamanya kepada orang lain, yang dalam jangka waktu tertentu akan diperoleh kembali dengan cara menebusnya.

Menurut R. Subekti, dalam kertas kerjanya yang berjudul perkembangan lembaga-lembaga jaminan di Indonesia dewasa ini, pada seminar hipotik dan lembaga jaminan lainnya tahun 1977 mengatakan bahwa transaksi gadai tanah mempunyai ciri-ciri penting yaitu: Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa, sipenerima gadai berhak untuk mengulang gadaikan (hervenpanden), oleh karenanya ia tidak boleh menuntut supaya tanahnya ditebus dan barang yang digadaikan tidak bisa secara otomatis menjadi milik sipenerima gadai apabila

5Ibid., 193.

6Rengena Purba,Pembahasan Atas Laporan Hasil Penelitian tentang Hukum Adat di Bidang


(22)

tidak ditebus, meskipun itu diperjanjikan tetapi selalu diperlukan transaksi lagi (penambahan uang).7

Dari pendapat di atas dapat ditarik suatu asas hukum dari gadai tanah adat adalah sebagai berikut:

1) Hak menuntut pengembalian uang gadai dari pemberi gadai tidak dapat dipaksakan.

Dalam hukum adat, selama transaksi gadai berlangsung, si penerima gadai tidak dapat memaksa si pemberi gadai untuk segera menebus benda gadai. Berkaitan dengan kapan gadai itu akan ditebus tergantung dari kehendak si pemberi gadai, sembarang waktu ia dapat menebus gadai itu dan hak menebus ini beralih kepada hali warisnya sipemberi gadai, dengan demikian penebusan benda gadai tergantung kepada kemauan sipemberi gadai.

Hilman Hadikusuma, mengatakan bahwa waktu penebusan kembali itu akan dilakukan oleh penggadai terserah pada kehendak dan kemampuan si penggadai. Pemegang gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada penggadai agar tanahnya ditebus dan hak gadai dapat beralih kepada ahli warisnya.8

A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa pemegang gadai tidak dapat menuntut hutang gadai itu dalam hal tidak ditebus oleh pemberi gadai, sebab pokok transaksi disini adalah tanah bukan uang. Namun demikian sarjana menambahkan bahwa walaupun ada ketentuan tersebut tidak berarti bahwa setiap waktu dapat dilakukannya sehingga dapat mengakibatkan merugikan pemegang gadai, kecuali untuk tanah yang tidak diusahakan,

7R. Subekti,Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 39.


(23)

kalau tanah yang diusahakan harus diperhatikan bahwa untuk tanah sawah jika yang mengerjakan sawah pemegang gadai, maka penggadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah selesai dipanen, untuk tebat tanah perikanan harus menunggu hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya.9

2) Hak menebus tidak hilang karena lewat waktu

Menurut hukum adat Indonesia, hak menebus dalam transaksi gadai tanah tidak mungkin hilang karena pengaruh lewat waktu (verjaring). Selama uang gadai belum dibayar/ditebus kembali kepada pemegang gadai, maka sipemegang gadai tetap menguasai benda gadai tersebut. Demikian juga kalau dalam transaksi gadai yang di perjanjikan/ditentukan tidak berarti bahwa dengan habisnya waktu kemudian secara otomatis benda gadai menjadi milik sipemegang gadai akan tetapi harus ditempuh suatu tindakan hukum lain yakni dengan cara meminta kepada pemberi gadai agar tanah tersebut ditebus atau dijual, dari hasil harga jual diberikan kepada pemegang gadai sisanya dikembalikan kepada pemberi gadai atau dengan perantaraan pengadilan.

Untuk diambil keputusan sesuai kebijaksanaannya, dengan adanya keputusan hakim tersebut maka kerugian tidak hanya dialami oleh pemberi gadai saja tetapi sama-sama memikul kerugian. Hal ini dapat dilihat dari keputusan beberapa Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain :

9A. Fauzi Ridwan,Hukum Tanah Adat, (Jakarta: Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewa Ruci Press, 1982), hal. 37.


(24)

a) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 33/K/SIP/1952 tanggal 21 September 1955 yang berbunyi: Gadai tanah tidak ada batas waktu untuk menebus kembali tanah itu.10

b) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 18/K/SIP/1956 tanggal 10 Januari 1957 yang berbunyi menurut hukum adat seluruh Indonesia hak menebus tidak mungkin lenyap dengan pengaruh lampau waktu.11

c) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret 1960 yang berbunyi : Jual gadai tanah sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya sipemegang gadai untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain.12

d) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 45/K/SIP/1960 jo Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 30/K/SIP/1961 tanggal 17 Mei 1961 yang berbunyi apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah harus ditebus ini tidak berarti bahwa setelah waktu itu lampau tanpa tebusan tanahnya dengan sendirinya menjadi milik sipemegang gadai melainkan harus ada suatu penegasan yang konkrit.13

10Abdurrahman,Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria VI, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 750.

11Ibid., hal. 766. 12Ibid., hal. 773. 13Ibid., hal. 783.


(25)

e) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 116/K/SIP/1962 tanggal 30 Mei 1962 yang berbunyi : Dalam hal gadai tanah hak menebus menurut hukum adat tidak dapat lenyap secara daluarsa.14

f) Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor : 420/K/SIP/1969 yang berbunyi gadai tanah tidak tunduk pada kadaluarsa.15

3) Pemegang gadai tidak dapat secara otomatis menjadi pemilik benda gadai

Adakalanya dalam transaksi gadai, para pihak menentukan waktu penebusan gadai. Dengan batas waktu ini sipemberi gadai berkewajiban menebus benda gadai dari tangan pemegang gadai, maka benda gadai menjadi milik pemegang gadai. Kalau hal demikian telah diperjanjikan para pihak, maka menurut S.A. Hakim isi perjanjian itu tidak boleh diartikan secara leterlek (menurut kata-kata). Dengan perkataan lain isi perjanjian itu tidak berlaku secara otomatis.16

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut harus ada tindakan hukum yang lain, berupa perbuatan kongkrit agar pemegang gadai dapat menjadi pemilik benda gadai. Hal ini dikemukakan oleh Mahkamah Agung dalam keputusannya Nomor: 45/K/SIP/1960 tanggal 09 Maret 1960 yang berbunyi sebagai berikut: Jual gadai tanah dengan perjanjian bahwa apabila lewat waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi milik sipemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan sawah itu dengan sendirinya menjadi miliknya sipemagang gadai. Untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain.17

14 Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, Jilid II, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1981), hal. 32.

15Ibid., hal. 37.

16S.A. Hakim,Jual Lepas, Jual Gadai, Jual Tahunan, (Jakarta: Tanpa Penerbit, 1960), hal. 23. 17Abdurrahman,Op.Cit, hal. 733.


(26)

Berdasarkan pendapat para sarjana dan didukung oleh putusan Mahkamah Agung maka dapat dipahami bahwa berakhirnya batas waktu gadai tidak mengakibatkan pemegang gadai menjadi pemilik benda secara otomatis, pendapat ini didasarkan kepada ratio transaksi gadai itu sendiri yang pada hakekatnya bukan untuk melepaskan tanah kepada pihak lain untuk selama-lamanya melainkan bersifat sementara.

Ini berarti sipemberi gadai memiliki keamanan untuk memiliki kembali benda gadai tersebut. Oleh karena itulah kalau sipenerima gadai ingin memiliki benda gadai maka ia harus menempuh cara lain yaitu adanya perbuatan hukum lain secara konkrit yang dikenal dengan istilah jual lepas.

Dari putusan Mahkamah Agung dapat disimpulkan bahwa gadai tanah ini bisa meliputi tanah secara umum dan gadai tanah khusus tanah sawah. Baik gadai atas tanah sawah atau tanah pada umumnya, hak menebusnya tidak hapus karena pengaruh lampau waktu (daluarsa).

Dalam masyarakat hukum adat, transaksi gadai tanah ini dapat dilakukan secara lisan dan tertulis. Walaupun transaksi dilakukan secara tertulis dengan janji bahwa sipemberi gadai akan menebusnya pada waktu yang ditentukan itu, ternyata sipemberi gadai tidak memenuhi janjinya, maka sipenerima gadai tidak dapat memaksa sipemberi gadai untuk menebus benda gadai dengan alasan waktu gadai telah berakhir. Berakhirnya waktu gadai juga tidak membawa akibat hukum bahwa sipemegang gadai dapat menjual atau memiliki benda gadai.


(27)

Hak menebus benda gadai ini suatu hal yang patut dicontoh adalah kebiasaan yang terjadi di Minangkabau yang dikenal dengan istilah “pitungguh gadai” yaitu bahwa pihak penerima gadai setiap tahun memberi kiriman nasi kepada pihak pemberi gadai. Perbuatan ini merupakan suatu pertanda bahwa pihak pemberi gadai mempunyai hak untuk menebus kembali benda gadai tersebut.

Hal ini berbeda dengan pand yang dikenal KUHPerdata bahwa jika waktu pand berakhir dan debitur tidak melaksanakan kewajibannya yakni membayar hutang beserta bunganya, maka menimbulkan hak bagi kreditur untuk menjual barang pand (melelang). Dari hasil penjualan barang ini, kreditur berhak atas piutangnya dan sisanya dikembalikan kepada kreditur.

4) Penerimaan dan pengembalian uang gadai harus dilakukan sekaligus

Transaksi harus dilakukan secara tunai dan pembayaran gadai ini tidak boleh sebahagian demi sebahagian melainkan harus dibayar sekaligus. Yang dimaksud dengan uang gadai adalah jumlah uang yang telah dibayar oleh sipemegang gadai kepada si pemberi gadai, tidak merupakan hutang yang dapat ditagih.18

Apabila dalam transaksi gadai, pembayaran dilakukan secara mencicil, maka perbuatan ini sudah tidak sesuai dengan sifat transaksi gadai itu sendiri, yang menghendaki adanya perbuatan tunai. Merupakan hal yang sukar di

18Van Dijk,Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Verkink, Van Hove (Bandung: S. Groven Hage, Tanpa Tahun), hal. 52.


(28)

lingkungan hukum adat bahwa sipemberi gadai telah menyerahkan tanahnya dan sipenerima gadai membayar uang gadai sebahagian saja, sebahagian lagi akan dibayar pada waktu yang lain. Hal ini juga ditegaskan oleh Ter Haar,19 bahwa pengembalian uang gadai harus dilakukan sekaligus tidak boleh sebahagian demi sebahagian, apabila pengembalian ini dilakukan sebahagian demi sebahagian harus diartikan bahwa sebahagian dari uang gadai diserahkan lebih dulu kepada sipemegang gadai sedangkan baru ada penebusan bila pembayaran sebahagian terakhir telah terlaksana.

5) Hak gadai dapat dipindahkan oleh sipemegang gadai kepada pihak ketiga

Apabila sipemegang gadai memerlukan uang maka ia boleh memindahkan hak gadai kepada orang lain. Cara melakukan pemindahan gadai ini dapat dilakukan dengan dua cara :

a) Antara sipenjual gadai semula dengan pemerima gadai semula (terang-terangan).

b) Antara pembeli semula yang menjadi penjual baru dengan pihak ketiga yang menjadi pembeli gadai baru (sembunyi-sembunyi).20

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa kalau sipemegang gadai membutuhkan uang tunai misalnya tidak ingin lagi menguasai tanah itu ia dapat berbicara denga si pemilik, apakah si pemilik menebus kembali tanah itu, kalau tidak maka sipemegang gadai akan mencari orang lain yang dapat menolongnya dengan pemberian uang tunai, apabila pihak ketiga itu sudah ada yang bersedia, ada dua jalan yang dapat dilalui oleh si pemegang gadai, ia dapat menggadaikan lagi tanah itu kepada orang ketiga ini dengan

19Te Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti Proesponoto, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hal. 117.


(29)

menyerahkan tanah itu kepadanya dan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian, sewaktu-waktu berhak menebus tanah itu kembali dari seorang ketiga itu tersebut (onder verpanding), jalan kedua ia mengoperkan hak gadainya kepada seorang ketiga artinya ia menyerah juga tanah itu kepada orang ketiga dan menerima sejumlah uang tunai dari seorang itu tetapi dengan catatan sipemegang gadai menarik diri dari hubungan hukum terhadap tanah itu.21

Sementara itu A. Fauzi Ridwan mengemukakan bahwa sipemegang gadai dapat memperoleh uang kembali dengan 3 (tiga) jalan yang dapat ditempuh antara lain :22

(1) Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain (doorverpanding), ini perlu tahu sipemberi gadai juga memerlukan kepala persekutuan, dengan begini kedudukan pemegang gadai lama digantikan oleh pemegang gadai baru dan dia inilah sekarang yang mempunyai hubungan gadai dengan pemberi gadai semula.

(2) Ia dapat menggadaikan tanah itu kepada orang lain, tetapi tetap atas nama dirinya sendiri sebagai pemegang gadai terhadap pemberi gadai (onderverpanding) ini tidak memerlukan bantuan kepala persekutuan dan pemberi gadai hanya mempunyai hubungan gadai dengan pemegang gadai artinya dengan menebus hutang gadai kepadanya saja maka ia berhak menerima kembali tanahnya.

(3) Ia dapat mengikat pemberi gadai, dengan janji supaya tebusan dibayar pada waktu yang ditentukan, jika lewat waktu ia maka tanah itu akan menjadi

21Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: Intermasa, 1986), hal. 58.


(30)

milik si pemegang gadai. Ini berarti jika waktu yang ditentukan itu telah lewat, ia dapat menuntut supaya hubungan gadai diputuskan serta diganti dengan transaksi jual lepas. Dengan transaksi inilah pemegang gadai dapat memiliki tanah itu, jika tidak ada persesuaian maka diminta putusan hakim supaya tanah menjadi hak miliknya dengan pembayaran harga tanah yang ditetapkan/ditentukan dalam putusan ini.

Perjanjian Gala dalam masyarakat Aceh bukanlah perjanjian pinjaman uang dengan jaminan tanah. Perjanjian pinjaman dengan jaminan tanah berlaku di beberapa daerah dengan istilah-istilah setempat, seperti “tahan” (Batak), “babaring” (Daya Ngaju Kalimantan), “tanggungan”, “jonggolan” (Jawa), “makantah” (Bali). Daerah Lampung atau dibeberapa daerah lain dipakai istilah “boroh”, boroh tanah atau boroh rumah.23

Menurut penelitian sementara khususnya di daerah penelitian tesis ini, lembaga

Galaatau gadai tanah, sudah mulai bergeser bentuknya dengan adanya istilah “Gala

Kontrak” (gadai kontrak). Dengan istilahGalakontrak seseorang dapat terbebas dari resiko kemungkinan tidak mampu menebus tanahnya, karena tidak tersedianya sejumlah uang untuk membayar utangnya kepada si pemegang Gala (penerima gadai). Apabila seseorang warga masyarakat secara tidak terduga membutuhkan uang dalam jumlah yang relatif besar, maka dapat menawarkan kepada siapa saja yang dianggap mampu secara ekonomi sejumlah petak tanah sawahnya, dengan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. Perjanjian Gala kontrak semacam ini


(31)

dibatasi masa waktunya, misalnya selama tiga tahun (enam kali masa panen), setelah masanya terlewati, maka tanah wajib diserahkan kepada pemiliknya dengan tidak perlu penebusan. (Hal ini tercantum dalam klausula isi perjanjian yang telah disepakati).

Dengan adanya sistim Gala kontrak (gadai kontrak) di kalangan masyarakat hukum adat, khususnya di Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara, adalah suatu langkah maju sekaligus sebagai solusi untuk menjawab kemandegan peraturan gadai tanah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Sesudah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berlaku, soal gadai ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Perpu itu berisi pembatasan terhadap lamanya waktu menggadaikan tanah dan bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam transaksi gadai tanah tersebut. Sebab praktek menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh lebih besar dari bunga yang pantas dari uang pembeli gadai dahulu.24

UUPA, mengelompokkan gadai tanah ke dalam hak atas tanah yang besifat sementara, sebagai mana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang dan Hak Sewa


(32)

Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat sementara, dalam waktu yang singkat diusahakan akan dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Akan tetapi pada kenyataannya sampai saat ini tidak dapat di hapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.

Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyatakan bahwa :

1) Dalam Pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada siap dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang gadai.

Atas dasar ketentuan ini, jika Hak Gadai (Gadai Tanah) yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, maka tanah harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada siap dipanen. Hal ini diasumsikan bahwa pemegang gadai yang menggarap tanah pertanian selama 7 tahun atau lebih, maka hasilnya akan melebihi uang gadai yang ia berikan kepada pemilik tanah pertanian.

2) Dalam Pasal 7 ayat (2) ditegaskan bahwa mengenai Hak Gadai (Gadai Tanah) yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanah berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman


(33)

yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus sebagai berikut :

Rumus =

Gala tanah pertanian dalam Hukum Adat Aceh merupakan suatu lembaga perjanjian yang dapat menimbulkan prestasi di antara kedua belah pihak, di mana pihak penggala (pemilik tanah) prestasinya adalah menyerahkan tanah miliknya ke dalam penguasaan penerima Gala dan mematuhi isi perjanjian lainnya. Penerima

Gala prestasinya adalah menyerahkan kembali tanah tersebut kepada si penggala apabila ditebusnya, penerimaGala tidak dapat menuntut si penggala untuk menebus tanahnya kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Apabila ada prestasi-prestasi tersebut yang dilanggar oleh para pihak, maka telah terjadi wanprestasi atau pelanggaran perjanjian Gala-geumala. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut akan melibatkan lembaga-lembaga desa dan tokoh-tokoh adat yang ada didesa yang bersangkutan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang akan di teliti dan dibahas secara lebih mendalam pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberadaan perjanjian Gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara?

(଻ା½)ି ୎୛


(34)

2. Bagaimana bentuk (konstruksi) perjanjian Gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara?

3. Bagaimana penebusan dan penyelesaian sengketa Gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian tesis ini yang dilakukan penulis adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan perjanjian

Gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

2. Untuk mengetahui bentuk (konstruksi) perjanjian Gala (gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara.

3. Untuk mengetahui penebusan dan penyelesaian sengketaGala(gadai) tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini di harapkan dapat memberi manfaat baik secara tioritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum perjanjian secara


(35)

khusus juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan menyangkut gadai tanah, khususnya di Provinsi Aceh. 2. Manfaat Praktis

Dengan adanya penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan hukum terhadap masalah gadai tanah pada masyarakat adat Aceh.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ditemukan sedikitnya 3 (tiga) judul tesis terkait tentang gadai tanah pertanian yaitu : 1. Tesis atas nama Zetria Erma dengan judul Pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian

Ditinjau Dari Hukum Agraria (Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Hukum Islam Di Kecamatan Tilatang Kamang).

2. Tesis atas nama Suhardi dengan judul Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian) Terhadap Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Hukum Adat Minangkabau di Nagari Lurah Ampalu.

3. Tesis atas nama Roy Fachraby Ginting dengan judul Eksistensi Lembaga Gadai Dalam Masyarakat Karo (Studi Di Desa Sarimunte, Kecamatan Munte, Kabupaten Karo).


(36)

Tesis ini berbeda dengan tesis tersebut di atas, tesis pertama, lebih mengarah kepada perbandingan dengan hukum agraria dan hukum Islam. Tesis kedua pembahasannya lebih subtantif membahas peraturan gadai tanah yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sedangkan tesis yang ketiga baik daerah penelitian maupun sosial budaya kehidupan masyarakatnya sangant jauh berbeda dengan kehidupan dan sosial budaya masyarakat di tempat penulis melakukan penelitian.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah susunan konsep, defenisi, yang dalam, yang menyajikan pandangan yang sistematis tentang fenomena, dengan menunjukan hubungan antara variable yang satu dengan yang lain, dengan maksud untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena,25atau menjelaskan gejala spesifik atau proses sesuatu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.26

Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan penjelasan rasional, yang sesuai dengan objek penelitian dijelaskannya dan untuk

25Sofyan Syafri Harahap,Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif, (Jakarta: Pusaka Quantum), hal. 40.

26J.J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: FE UI, 1996), hal. 203.


(37)

mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.27

Keberadaan teori dalam dunia ilmu sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.28

Beberapa pakar ilmu pengetahuan memberikan definisi tentang teori sebagai berikut :

1. Fred N. Kerlinger menguraikan teori adalah sekumpulan konstruksi (konsep, definisi dan dalil) yang saling terkait, yang menghadirkan suatu pandangan secara sistematis tentang fenomena dengan menetapkan hubungan diantara beberapa variable, dengan maksud menjelaskan dan meramalkan fenomena. 2. Braithwaite mengemukakan bahwa teori adalah sekumpulan hipotesis yang

membentuk suatu sistem deduktif, yaitu yang disusun sedemikian rupa, sehingga dari beberapa hipotesis yang menjadi dasar pikiran beberapa hipotesis, semua hipotesis lain secara logi mengikutinya.

3. Menurut Jack Gibbs, Teori adalah sekumpulan pernyataan yang saling berkaitan secara logis dalam bentuk penegasan empiris mengenai sifat-sifat dari kelas-kelas yang tak terbatas dari berbagai kejadian atau benda.

4. S. Nasution mengemukakan teori adalah susunan fakta-fakta yang saling berhubungan dalam bentuk sistematis, sehingga dapat dipahami. Fungsi dan peranan teori dalam penelitian ilmiah adalah mengarahkan, merangkum serta meramalkan fakta.

5. Kartini Kartono menyatakan bahwa teori adalah suatu prinsip umum yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala-gejala yang saling berkaitan.29

27M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27. 28Marwan Mas,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 113.


(38)

Agar kerangka teori meyakinkan, maka harus memenuhi syarat30 : Pertama, teori yang digunakan dalam membangun kerangka berfikir harus merupakan pilihan dari sejumlah teori yang dikuasai secara lengkap dengan mencakup perkembangan-perkembangan terbaru. Kedua, analisis filsafat dari teori-teori keilmuan dengan cara berpikir keilmuan yang mendasari pengetahuan tersebut dengan pembahasan secara eksplisit mengenai postulat, asumsi dan prinsip yang mendasarinya. Ketiga, mampu mengidentifikasikan masalah yang timbul sekitar disiplin keilmuan tersebut, teori merupakan pijakan bagi peneliti untuk memahami persoalan yang diteliti dengan benar dan sesuai dengan kerangka berpikir ilmiah.31

Kerangka teori yang digunakan dalam menganalisa permasalahan dalam tesis ini adalah teori perhubungan hukum. Suatu perhubungan disebut perhubungan hukum, apabila hubungan antara dua orang atau dua pihak tersebut diatur oleh hukum, yaitu hubungan antara sesama manusia yang dilindungi oleh hukum atau akibat-akibat yang ditimbulkan oleh pergaulan itu dilindungi oleh hukum.

Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak atau lebih didahului oleh perbincangan-perbincangan di antara para pihak dan adakalanya mewujudkan suatu perjanjian atau perikatan, tetapi adakalanya tidak mewujudkan perjanjian atau perikatan.32 Hubungan hukum yang timbul karena perjanjian itu mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian, sebagaimana daya mengikat undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

30 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan), hal. 318-321.

31 Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), hal. 26.

32Duma Barrung, Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Konsumen pada Perjanjian


(39)

membuatnya”. Ikatan yang lahir dari perjanjian yang demikian dinamakan perikatan.33

Perjanjian merupakan sendi yang penting dari hukum perdata, karena hukum perdata banyak mengandung peraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji seseorang. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya. Dengan demikian hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian menerbitkan perikatan.34

Perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber lain, yaitu undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.35 Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak yang berisi hak dan kewajiban masing-masing. Perjanjian menunjukkan suatu janji atau perbuatan hukum yang saling mengikat antara para pihak.

Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka, artinya memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada siapa saja untuk mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Definisi yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat

33R. Subekti,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004), hal. 342.

34Scribd, “Teori Hukum Perjanjian Bebas”,

http://id.scribd.com/doc/94900275/Teori-Hukum-Perjanjian-Bebas-Hal, diakses tgl. 14 November 2012. 35R. Subekti,Op.Cit, hal. 323.


(40)

dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dengan adanya pengertian tentang perjanjian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang.

Pengertian mengenai perjanjian seperti tersebut di atas apabila dilihat secara mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mampunyai arti yang luas dan umum sekali sifatnya, selain itu tanpa menyebutkan untuk apa perjanjian itu dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut konsepsi Pasal 1313 KUHPerdata, hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama sekali tidak menentukan untuk tujuan apa suatu perjanjian itu dibuat.

Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas dan tegas artinya jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.36

Dalam suatu perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah bahwa setiap orang pada dasarnya bebas membuat perjanjian yang berisi dan macam apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Dengan pengertian lain asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian


(41)

yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.37

Selanjutnya dalam suatu perjanjian, pasal-pasal yang mengatur tentang perjanjian tersebut biasa dinamakan dengan optional law, karena ketentuan dari pasal-pasal yang mengaturnya boleh dikesampingkan oleh pihak yang membuat suatu perjanjian.

Dari sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian akan terikat oleh perjanjian dan mempunyai kemampuan untuk menginsyafi tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.

Menurut Van Appeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Budiono Kusumohamidjojo, tujuan hukum adalah tertip masyarakat yang damai dan seimbang, bahwa fungsi utama dari hukum adalah untuk menegakkan keadilan.38

Hukum setidaknya mempunyai 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat antara lain :

1. Sebagai sarana pengendali sosial

2. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial 3. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.39

Kepastian hukum merupakan syarat untuk melahirkan ketertiban. Untuk mencapai ketertiban hukum diperlukan adanya keteraturan dalam masyarakat. Hukum

37Ibid., hal. 82.

38 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, (Jakarta: Grassindo, 1999), hal. 126.


(42)

diartikan sebagai tata hukum atas hukum positif tertulis.40 Keberlakukan hukum di tengah masyarakat bukan lagi untuk mencapai keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kepastian. Kepastian hukum diharapkan dapat menjadi pedoman, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur hukum dalam mengambil keputusan.41

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptusyang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berpikir, daya berpikir khususnya penalaran dan pertimbangan.

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.

Konsepsi diartikan juga sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirangkaikan kerangka konsepsi sebagai berikut :

a. Menurut Subekti “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal”. Menurut Wirjono Prodjodikoro, “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal

40 Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, hal. 8.

41 Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.


(43)

mana saja satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.42

b. “Gala” adalah suatu perjanjian, dimana seseorang pemilik menyerahkan hak menguasai atas benda (baik bergerak atau tidak bergerak) miliknya kepada seorang lain (siteurimeung Gala) untuk dikuasai, diusahakan dan dinikmati dengan menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik benda (penggala) sesuai dengan kesepakatan.

c. Objek Gala (gadai), yang menjadi objek Gala (gadai) dalam transaksi masyarakat hukum adat Aceh adalah sebagian besar tanah pertanian atau kebun yang menghasilkan, disamping itu juga benda-benda begerak lainnya yang bukan tanah tetapi mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, seperti kendaraan, jam tangan dan lain-lain.

d. Pemberi Gala (gadai) adalah pemilik objek Gala (pemilik tanah), sedangkan penerimaGala (gadai) adalah orang yang telah menyerahkan uang (siberpiutang / kreditur).

e. Kecamatan Meurah Mulia adalah merupakan salah satu daerah kecamatan yang terletak dalam wilayah kabupaten Aceh Utara Provinsi Aceh yaitu tempat dimana penulis melakukan penelitian.

f. Hukum adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat sehingga dipatuhi oleh masyarakat tersebut sebagai hukum.43 Hazairin


(44)

sebagaimana dikutip Subanindyo Hadiluwih mengatakan : hukum adat adalah hukum yang timbul sendiri dari hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat.44

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis mengenai perjanjian Gala (gadai tanah) pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara. Bersifat analisis karena gejala dan fakta yang dikemukakan oleh responden/ informan kemudian akan di analisa terhadap berbagai aspek hukum baik dari segi hukum agrarian nasional, KUHPerdata maupun hukum adat itu sendiri.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden

43Muhammad Yamin,Gadai Tanah dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai Gadai

Tanah Di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, (Medan: Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum), hal. 61.

44Subanindyo Hadiluwih, Asas-Asas Hukum Adat, (Medan: Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Hukum), hal. 2.


(45)

melalui penelitian lapangan (field research) yaitu masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia yang melakukan perjanjian “Gala” (gadai tanah).

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Meurah Mulia, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dikarenakan luasnya wilayah di Kecamatan Meurah Mulia tersebut maka dipilihlah 3 (tiga) desa sebagai sampel yaitu :

1. Desa Paya Kambuek 2. Desa Paya Itek 3. Desa Menasah Nga.

Adapun alasan dipilihnya 3 (tiga) desa ini menurut pengamatan sementara ketiga desa tersebut masyarakatnya banyak yang telah melakukan perjanjian Gala

baik, bertindak sebagai pemberiGalamaupun sebagai penerimaGala.

4. Populasi dan Sampel

Populasi dalam melakukan penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kecamatan Meurah Mulia yang pernah melakukan perjanjianGala(gadai), baik sebagai pemberi

Gala (gadai) maupun sebagai penerima Gala. Maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) desa masing-masing desa diambil 5 (lima) orang, jadi jumlah semua adalah 15 (lima belas) orang sebagai sampel, dengan syarat orang-orang yang dipilih sebagai sampel adalah orang-orang yang telah pernah melakukan perjanjian Gala (gadai) menurut hukum adat setempat.


(46)

Untuk kelengkapan data dalam penelitian ini, maka dilakukan juga wawancara dengan narasumber/informan lainnya sebagai tambahan data yaitu :

1. Satu orang Camat Kecamatan Meurah Mulia 2. Satu orang Kepala Mukim (Pengetua Adat)

3. Tiga orang Kepala Desa yaitu Kepala Desa Paya Kumbuk, Desa Paya Itek dan Desa Menasah Nga Kecamatan Meurah Mulia.

5. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relevan, baik berupa pengetahuan ilmiah, maupun tentang suatu fakta atau gagasan, maka pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelahaan bahan kepustakaan baik berupa dokumen-dokumen, maupun peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Gala (gadai tanah) menurut hukum adat.

b. Study lapangan (Field Research) yaitu untuk melakukan wawancara dengan masyarakat yang telah pernah melakukan transaksi Gala (gadai) tanah, pemerintah desa dan tokoh masyarakat yang ada dalam Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

6. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini


(47)

dipeorleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut :

a. Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data skunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan perjanjianGala(gadai) menurut hukum adat.

b. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.

7. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh dilapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif dan induktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diperoleh akan dijadikan pedoman secara komparatif dan dilihat pelaksanaannya dalam praktek


(48)

Aceh Utara. Dengan metode induktif, data primer yang diperoleh dilapangan setelah dihubungkan dengan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan gadai tanah, baik berdasarkan kebiasaan masyarakat adat Aceh maupun hukum agraria nasional akan diperoleh asas-asas hukum yang hidup dalam pelaksanaan gadai tanah pada masyarakat Aceh di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.


(49)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KEBERADAAN PERJANJIANGALA(GADAI) TANAH PADA MASYARAKAT ACEH

DI KECAMATAN MEURAH MULIA KABUPATEN ACEH UTARA

A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Kecamatan Meurah Mulia adalah salah satu kecamatan yang secara administratif termasuk dalam wilayah kabupaten Aceh Utara, provinsi Aceh. Kecamatan Meurah Mulia letaknya berbatasan dengan :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Syamtanira Bayu;

2. Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Samudera dan kecamatan Nibong, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Semudera;

3. Sebelah Selatan berbatas dengan Kabupaten Bener Meriah dan Kecamatan Geuredong Pase.

Kecamatan Meurah Mulia di pimpin oleh seorang Camat yang diangkat dan diberhentikan oleh dan atas kewenangan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Aceh Utara, dengan masa jabatannya sangat tergantung kepada Bupati yang mengangkatnya.

Kecamatan Meurah Mulia terdiri dari 50 (limapuluh) Gampoeng (desa), yang masing-masing Gampong (desa) dipimpin oleh seorang kepala desa yang disebut “Kechik”, Kechik dipilih langsung oleh warga masyarakat Gampong (desa) secara demokratis melalui suatu pemilihan umum Gampong untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode jabatan ke depan.


(50)

Kecamatan Meurah Mulia mempunyai luas wilayahnya 29.217 km2. Terdiri dari tiga kemukiman yaitu kemukiman Baroh dengan jumlah 15 (limabelas)

Gampong (desa), kemukiman Teungoh dengan jumlah 12 (duabelas) Gampong

(Desa) dan kemukiman Teungoh dengan jumlah 23 (dua puluh tiga) Gampong

(Desa). Dengan jumlah kepala keluarga (KK) 4410 dan jumlah penduduk: 17.812 jiwa, yang terdiri dari laki-laki : 8677 jiwa dan perempuan: 9162 jiwa dengan mata pencaharian masyarakat sebagai berikut :

1. Petani 95 %

2. Pedagang 1 %

3. Industri Rumah Tangga 1 %

4. PNS 2 %

5. Buruh dan Pegawai Swasta 1 %

Sumber : Profil Umum Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara Propinsi Aceh tahun 2013 pada Kantor Camat Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

Keadaan geografis Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara memiliki bentangan alam yang pada umumnya rata (datar) dan sebagian kecil yang keadaannya berbukit. Pada bagian yang datar terhampar areal persawahan yang dipasilitasi dengan irigasi teknis serta permukiman penduduk dalam bentuk perkampungan yang disebut “gampong”, sedangkan sebagian kecil daerah perbukitan difungsikan sebagai perkebunan rakyat, dimana masyarakat yang setelah menanam padi di sawah mereka pada setiap musim tanam, lalu sebagian diantara mereka mulai bekerja membersikan


(51)

areal perbukitan untuk menanam tanam-tanaman muda seperti jagung, kedelai, kacang hijau dan sayur-sayuran. Disamping itu ada pula yang menanam tanaman keras seperti durian, mangga dan karet.

Ketika musim tanam tiba, setiap hari ketika matahari mulai menampakkan sinarnya kira-kira jam 07.00 WIB para penduduk disetiap kampung baik laki-laki maupun perempuan (yang telah dewasa) berbondong-bondong keluar dari perkampungan menuju sawah mereka masing-masing dalam rangka mengolah sawah atau mempersiapkan keadaan sawah supaya dapat ditanami padi.

Setelah sawah mereka ditanami padi, maka tibalah waktu rehat atau waktu menunggu masa panen. Kalau masa panen tiba maka warga masyarakat berbondong-bondong turun lagi ke sawah untuk melakukan panenan padi mereka.

Antara waktu selesai masa tanam dengan tibanya masa panen (masa rehat), waktu inilah yang digunakan sebagian penduduk desa untuk mengerjakan kebun/ lahan mereka yang berada di daerah perbukitan guna menambah penghasilan keluarga dengan menanam berbagai tanaman palawija dan tanaman sayur-sayuran.

Kehidupan masyarakat desa dalam wilayah Kecamatan Meurah Mulia pada umumnya sama, yaitu setiap desa ditandai dengan adanya sebuah bangunan Menasah yang bentuknya adalah sama persis dengan bangunan rumah adat Aceh, hal ini merupakan salah satu cara untuk melestarikan bangunan rumah adat Aceh yang semakin lama semakin menghilang keberadaannya.

Fungsi Menasah adalah sangat banyak, diantaranya : 1. Sebagai tempat shalat berjamaah, kecuali hari Jumat


(52)

2. Sebagai tempat musyawarah desa

3. Sebagai tempat pertemuan, bila ada acara-acara pertemuan yang diprakarsai oleh pihak kecamatan atau oleh pemerintah kabupaten

4. Sebagai tempat belajar para orangtua yang biasanya diadakan setiap hari Jumat

Fungsi menasah sebagaimana disebut di atas semakin lama semakin berkurang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Kalau tempo dulu fungsi menasah sangat strategis dimana para pemuda desa senantiasa menggunakan menasah sebagai tempat berkumpul pada siang hari sekedar untuk beristirahat setelah bekerja di sawah dan pada malam hari berfungsi untuk tempat istirahat (tidur) bersama dengan para pemuda sekampung, karena pada waktu tempo dulu sangat jarang para pemuda tidur di rumah pada malam hari.45

Pada waktu sekarang ini menurut penelitian, bahwa menasah tidak lagi mempunyai fungsi strategis, dimana para pemuda sangat jarang berkumpul di Menasah, kecuali sudah ditentukan secara khusus, misalnya pada acara rapat pemuda sekampung yang secara kebetulan mengambil tempat di menasah. Selebihnya para pemuda lebih suka berkeliaran kemana mereka suka, seperti pada warung-warung yang ada, baik di desa yang bersangkutan maupun di luar desa dengan berbagai macam kegiatan seperti menonton televisi sambil menikmati secangkir kopi atau sebagian hanya dengan nongkrong sambil ngobrol bersama di teras warung.

Pada waktu malam ada yang pulang kerumah masing-masing, ada yang tidur di warung-warung tempat mereka bekerja pada siang hari. Keadaan seperti ini adalah


(53)

merupakan delemma tersendiri yang tengah terjadi di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara.

Ketidak konsistenan para pemuda dalam memiliki tempat istirahat pada malam hari membuat orang tua akan sangat sulit untuk mengontrol keadan dan keberadaan anaknya pada malam hari, keadaan seperti ini membuat pusing orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka.

Berkaitan dengan pendidikan di kalangan para pemuda dan pemudi desa sangat beragam. Ada yang masih sekolah ditingkat SLTA bahkan ada juga sebagian kecil yang sedang mengikuti pendidikan tinggi (kuliah). Namun disamping itu banyak juga para pemuda yang tidak lagi dalam pendidikan, atau pengangguran setelah tamat sekolah tingkat SMP, para pemuda yang tergabung dalam kelompok ini keberadaannya sangat rentan terhadap pengaruh negatif khususnya narkoba, hal ini memang terbukti dilapangan memang sangat memperhatinkan, bahkan pengaruh narkoba ini tidak hanya dikalangan pemuda yang menganggur akan tetapi sudah merambah sampai ke pematang persawahan, dimana para bapak-bapak muda sudah kecanduan sabu-sabu yang tidak segan-segan menghisapnya di pematang persawahan ketika istirahat sejenak dari mengerjakan sawahnya.

Keadaan seperti ini sudah sangat memprihatinkan masyarakat disana, khususnya di Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara yang merupakan bagian dari keprihatinan secara nasional dari bangsa kita republik Indonesia.


(54)

B. Gadai Tanah Menurut Hukum Adat

Di lingkungan masyarakat adat istilah gadai sudah sangat popular dipergunakan untuk melakukan suatu transaksi yang berhubungan dengan tanah. Pada dasarnya alasan yang paling mendasar seseorang melakukan transaksi gadai adalah keadaan kebutuhan akan uang.

Pada mulanya istilah gadai tanah ini (grondverpanding) diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Pemberian nama untuk gadai ini dalam masyarakat hukum adat di Indonesia terdapat beraneka ragam, misalnya di daerah Minangkabau dikenal dengan nama “Manggadai” di Jawa dikenal dengan “Odol Sende” di sunda dikenal dengan

Jual Sende”, di Pariangan, Bogor, Purwokerto Selatan dan Kuningan memakai

istilah “Akad”, “Gade”, “jual akad”, “Jual Gade” atau “Tandon”, di Jakarta, Cirebon dikenal dengan istilah “gade” di Riau dan Jambi dikenal istilah “menjual gade” di Medan dikenal dengan istilah “menggadai”, di beberapa daerah Nusa Tenggara Timur seperti daerah Kupang/Desa Teubaun disebut “Tarun”, di daerah Ermera disebut “Pinor”.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas di daerah Istimewa Aceh gadai tanah ini juga diberi nama beraneka ragam, misalnya di Kuala Simpang dipergunakan istilah “Agun”, Kecamatan Babussalam dipakai istilah

Cinderan”, daerah Lawe Alas menyebut istilah “Cinder”, Kecamatan

Peugasing dan Bebesan menyebutnya dengan nama “Garal” Kecamatan Kluet Selatan, Kecamatan Meukiek, Kecamatan Pidie, Kecamatan Meureudu dan Kecamatan Indrapuri menyebut dengan “Gala”, Kecamatan Montasik, Kecamatan Darussalam ada juga menyebut dengan istilah “Geumala” atau “Gala-Geumala”.46

46T.I. EL. Hakimy, Beberapa Segi Hukum Adat Tanah Pedesaan Aceh, (Banda Aceh: Sinar Darussalam, 1981), hal. 152.


(55)

Di samping itu ada yang menyebut dengan istilah “Publo-Gala” atau “Publo Akad”.47 Khusus Kecamatan Meurah Mulia Kabupaten Aceh Utara disebut dengan istilah “Gala” (gadai). Istilah-istilah gadai tersebut di atas pada prinsipnya di daerah masyarakat hukum adat Aceh, diperuntukan terutama tanah-tanah pertanian.

Di dalam hukum tanah adat istilah menjual gadai ini tidak sama pengertian dengan istilah menjual lepas, menjual tahunan, walaupun ketiga jenis ini merupakan transaksi tanah yang bersifat riil di dalam hukum harta kekayaan. Pada prinsipnya pemilik tanah yang melakukan transaksi gadai tidak menginginkan pelepasan tanahnya itu kepada pihak lain, melainkan pada suatu saat tertentu si pemilik tanah dapat menebus hak atas tanah tersebut dengan syarat membayar kembali uang tebusan yang diterimanya dahulu, adanya penebusan kembali ini merupakan salah satu ciri jual gadai yang artinya sebelum ditebus tanah yang bersangkutan berada dalam penguasaan pemegang gadai.

Sesuai dengan aneka ragam istilah menjual gadai dalam masyarakat hukum adat di daerah masing-masing, maka mengenai pengertian gadai ini juga terdapat berbagai bentuk pengertian yang diungkapkan oleh para sarjana, namun tujuan dan artinya tetap sama.

47 Syahbuddin Mahyuddin, Pelaksana Gadai di Lampuuk Darussalam Aceh Besar dan


(56)

Adapun pengertian gadai menurut para sarjana adalah sebagai berikut :

1. R. Supomo, pengertian gadai tanah adalah penyerahan hak atas tanah dengan syarat bahwa tanah itu tidak dapat pulang kembali pada yang menjual, kecuali uang pembayaran dari pembeli itu dikembalikan (ditebus).48

2. Iman Sudiyat, pengertian menjual gadai yaitu menyerahkan tanah untuk menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan si penjual tetap berhak atas pengambilan atas tanahnya dengan jalan menebusnya kembali.49

3. Soerojo Wignjodipuro, gadai adalah penyerahan kontan disertai ketentuan, bahwa yang menyerahkan tanah mempunyai hak mengambil kembali tanah itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.50

4. A. Fauzi Ridwan, pengertian gadai adalah suatu transaksi (penyerahan) tanah kepada pihak lain (pemegang gadai) dengan menerima sejumlah uang pembayaran dengan tunai, dengan perjanjian bahwa pemberi gadai yang menyerahkan tanah berhak menarik kembali tanah itu dengan jalan menebus pembayaran di atas.51

5. Van Dijk, gadai tanah adalah perpindahan tanah dengan pembayaran dengan sejumlah uang, yang dibayar dengan tunai dan yang memindahkan hak tanah itu (si pemberi gadai atau yang menggadaikan) dapat memperoleh kembali tanah itu

48R. Supomo,Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1960), hal. 28. 49Iman Sudiyat,Op.Cit, hal. 28.

50 Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 207.


(57)

jika ia membayar kembali kepada yang mendapatkan tanah itu, uang sejumlah yang diterimanya dahulu.52

6. S.A. Hakim, jual gadai adalah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, demikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak untuk mengembalikan tanah itu kepadanya dengan pembayaran kembali sejumlah yang tersebut.53

7. Wirjono Prodjodikoro, merumuskan gadai tanah adalah seseorang menyerahkan tanah kepada orang lain dengan menerima sejumlah uang tunai dengan perjanjian dikemudian hari ia berhak menebus kembali tanah itu dengan membayar sejumlah uang tunai yang sama dengan uang yang ia terima semula.54

8. Soerjono Soekanto dan Soeleman B. Taneko, jual gadai adalah merupaan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yakni pribadi kodrati yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa, sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak, mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut.55

52Van Dijk,Op.Cit, hal. 56. 53S.A. Hakim,Op.Cit, hal. 19.

54Wirjono Prodjodikoro,Op.Cit, hal. 57. 55Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal. 214.


(1)

membicarakan kapan sipemilik dapat atau harus menebusnya. Kedua, bentuk perjanjian gala (gadai) yang objeknya tidak berpindah, tidak diserahkan kepada penerimagala(gadai), akan tetapi tetap berada dibawah kekuasaan pemberi gala (gadai) namun diikuti kewajiban membayar sewa sampai terjadi penebusan. Ketiga, bentuk perjanjian gala (gadai) yang objeknya tidak ada (tidak jelas), yaitu pemberi gala (gadai) tidak menunjuk atau tidak menentukan objek yang dipergalakan, namun hanya menyebut luas objeknya, dengan kewajiban bagi sipemberi gala (gadai) untuk membayar sewa menurut kebiasaan yang berlaku kepada sipenerima gala (gadai) pada setiap waktu panen sampai hutang lunas bentuk seperti ini tidak layak dilestarikan, karena bertentangan dengan hukum yang berlaku dan juga melanggar ajaran agama Islam. Keempat, bentuk perjanjian gala kontrak (gadai kontrak) merupakan bentuk pergeseran dari perjanjiangala(gadai). Seseorang pemberigala(gadai) tidak perlu lagi menebus objekgala(gadai), karena setelah kontraknya habis/selesai, tanah sawah otomatis kembali kepadanya.

3. Penebusan objekgala(gadai) oleh pemilik tanah dapat dilakukan kapan saja jika ia menghendaki, asal saja perjanjian itu telah berjalan paling sedikit satu kali panen. Apabila ada perjanjian dalam beberapa kali panen tidak boleh ditebus, maka setelah waktu itu terlewati, pemilik tanah bebas untuk menebusnya. Besarnya uang penebusan sama dengan ketika perjanjian itu disepakati. Bila terjadi sengketa diantara mereka, maka diselesaikan secara berjenjang. Pada tahap pertama dilakukan secara musyarawah, secara kekeluargaan antara para


(2)

pihak yang bersengketa. Pada tahap kedua diselesaikan ditingkat desa melalui majelis desa, yang melibatkan Kepala desa, Imam desa dan beberapa toko masyarakat serta saksi-saksi. Apabila tidak selesai juga, maka pada tingkat terakhir diajukan ke Pengadilan Negeri.

B. Saran

1. Disarankan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Aceh, untuk membuat sebuah Qanun (Perda) yang mengatur secara khusus tentang perjanjian gala (gadai) tanah pertanian guna diberlakukan di seluruh Provinsi Aceh. Hal itu sangat diperlukan mengingat transaksi dalam bentuk perjanjian gala (gadai) sudah sangat melembaga di kalatangan masyarakat, khususnya dipedesaan.

2. Disarankan kepada pemerintah Kabupaten Aceh Utara untuk mensosialisasikan bentuk perjanjian “gala kontrak” yang telah dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Meurah Muliah kepada masyarakat didaerah kecamatan lainnya dalam daerah Kabupaten Aceh Utara. Hal itu dirasa perlu karena perjanjian gala kontrak bentuknya sangat menguntungkan keduabelah pihak dan lebih adanya kepastian.

3. Kepada pemerintah Kecamatan Meurah Mulia disarankan untuk melakukan pemantauan terhadap sengketa-sengketa gala (gadai) yang terjadi pada masyarakat di setiap desa dalam wilayahnya agar sedini mungkin dapat diselesaikan ditingkat desa atau ditingkat kemukiman dengan melibatkan pengetua adat. Sedapat mungkin mencegah sengketa gala (gadai) diajukan ke


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdurrahman, Himpunan Yurisprudensi Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria VI, Bandung, Alumni, 1980.

Ali, Chidir, Yurisprudensi Indonesia Tentang Hukum Agraria, Jilid II, Yogyakarta, Bina Cipta, 1981.

Anwar, Chairul, Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Barrung, Duma,Asas Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Konsumen pada Perjanjian Kredit, Jakarta, Perbanas, 2002.

Bzn, B. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1981.

Dijk, Van,Pengantar Hukum Adat Indonesia, Terjemahan A. Soehardi, Verkink, Van Hove, Bandung, S. Groven Hage, Tanpa Tahun.

Haar, Ter, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebakti Proesponoto, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perjanjian Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1990.

Hadiluwih, Subanindyo, Asas-Asas Hukum Adat, Medan, Universitas Islam Sumatera Utara Fakultas Hukum.

Hakim, S.A., Jual Lepas, Jual Gadai, Jual Tahunan, Jakarta, Tanpa Penerbit, 1960.

Hakimy, T.I. EL., Beberapa Segi Hukum Adat Tanah Pedesaan Aceh, Banda Aceh, Sinar Darussalam, 1981.

Harahap, Sofyan Syafri, Tips Menulis Skripsi dan Menghadapi Ujian Komprehensif, Jakarta, Pusaka Quantum.


(4)

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Cetakan Keduabelas, Jakarta, Djambatan, 2008.

Hartanto, J. Andy, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Lasbang Mediantama, Yogyakarta, 2009.

Istiqamah, Liliek, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional, Surabaya, Usaha Nasional, 1982.

Kusumohamidjojo, Budiono,Ketertiban Yang Adil, Problematik Filsafat Hukum, Jakarta, Grassindo, 1999.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, CV. Mandar Maju, 1994.

Mahyuddin, Syahbuddin, Pelaksana Gadai di Lampuuk Darussalam Aceh Besar dan Tinjauannya Menurut Hukum Islam, Banda Aceh, Sinar Darussalam 1980.

Mas, Marwan,Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004.

Mertokusomo, Sudikno, Hukum dan Politik Agraria, Karunika, Universitas Terbuka, Jakarta, 1988.

---, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1988.

Muhammad, BusharPokok-Pokok Hukum Adat,Cetakan Kesepuluh, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2006.

Mukti, Affan, Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Tanpa Penerbit, 2010.

Nasution Bismar dan Mahmul Siregar, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.

Ngani, Nico, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Pustaka Yutisia, Yogyakarta, 2012.

Prodjodikoro, Wirjono,Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Bale, 1983. ---, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta,


(5)

Purnamasari, Irma, Devita, Kiat—kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Memahami Masalah Hukum Jaminan Perbankan,Mizan Pustaka, Bandung, 2011. Purba, Renggena, Pembahasan Atas Laporan Hasil Penelitian tentang Hukum

Adat di Bidang Pertanahan, Universitas Darma Agung dan Mahkamah Agung RI, 1996.

Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986.

Ridwan, A. Fauzi, Hukum Tanah Adat, Jakarta, Multi Disiplin Pembudayaan Pancasila, Dewa Ruci Press, 1982.

Santoso, Urip,Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta, Predana Media Group, 2008.

Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2006.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Rajawali Press, 1980.

---, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Jakarta, Rajawali, 1981.

---,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986. ---,Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,

2001.

Subekti, R., Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Bandung, Alumni, 1982.

---, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisfrudensi Mahkamah Agung RI, Bandung, Alumni, 1983.

---,Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, 1987.

---, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2004.


(6)

Suhaidi, Bahan Kuliah Teori Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU.

Suhardi,Pengaruh Peraturan Gadai Tanah Pertanian (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960) Terhadap Pelaksanaan Gadai Tanah Dalam Hukum Adat Minangkabau Di Nagari Lurah Ampalu, Tesis, Universitas Sumatera Utara,2004.

Supomo, R.,Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1960. Supriadi,Hukum Agraria, Jakarta, Sinar Garifika, 2007.

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Wignjodipuro, Soerojo,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Gunung Agung, 1982.

Wuisman, J.J.J. M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta, FE UI, 1996.

Yamin, Muhammad, Gadai Tanah Dalam Perkembangan Hukum Adat Studi Mengenai Gadai Tanah Di Masyarakat Mandailing Sumatera Utara, Medan, Disertasi, Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum.

---, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

C. Internet