Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat Pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara

(1)

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PADA

PROGRAM PEMBANGUNAN GAMPONG (PPG)

KECAMATAN BAKTIYA BARAT

KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Oleh

FATWA MAULANA

077003017/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PADA

PROGRAM PEMBANGUNAN GAMPONG (PPG)

KECAMATAN BAKTIYA BARAT

KABUPATEN ACEH UTARA

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FATWA MAULANA

077003017/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PEMANFAATAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT PADA PROGRAM PEMBANGUNAN GAMPONG

(PPG) KECAMATAN BAKTIYA BARAT

KABUPATEN ACEH UTARA Nama Mahasiswa : Fatwa Maulana

Nomor Pokok : 077003017

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

(PWD)

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE) Ketua

(Prof. Dr. Iic rer reg. Sirojuzilam, SE) Anggota

(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) Anggota

Ketua Program Studi,

(Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 19 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE

Anggota : 1. Prof. Dr. Iic. rer. reg. Sirojuzilam, SE 2. Kasyful Mahalli, SE, M.Si 3. Prof. Aldwin Surya, SE, M.Pd, Ph.D

4. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si 5. Drs. Rujiman, MA


(5)

ABSTRAK

PPG merupakan suatu bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat miskin Gampong. Gampong yang dimaksud dalam hal ini adalah wilayah Pedesaan atau biasa istilah umum juga dikenal dengan sebutan Perkampungan. Sebagai salah satu program pemberdayaan, PPG mengupayakan adanya proses pemberdayaan masyarakat Gampong melalui berbagai kegiatan, misalnya ekonomi produktif, rehabilitasi fisik, perbaikan jalan dan saluran air dan lain-lain. Faktor lainnya yang menjadi akar permasalahan dari kegagalan dalam praktek pemberdayaan selama ini salah satunya adalah tidak adanya pemanfaatan modal sosial dalam pelaksanaaan program-program pembangunan dan pemberdayaan yang dilaksanakan. Modal sosial merupakan norma-norma dan hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat, sehingga orang-orang dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana, modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengkoordinir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka. Melihat hakekat dan pengertian dari modal sosial tersebut di atas dapat dicermati apabila memberi ruang dan peluang yang cukup baik dalam optimalisasi program pembangunan dan pemberdayaan yang akan dilakukan. Dengan adanya upaya mensinergiskan suatu program dengan modal sosial yang ada pada masyarakat penerima program tentunya akan memberi suatu pencapaian yang lebih baik dan maksimal. Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, tentunya modal sosial ini memberikan kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Pemanfaatan modal sosial diteliti dengan menggunakan data primer dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sama kepada pihak peserta dalam suatu forum diskusi yang disebut dengan Metode FGD (Focuss Group Disscussion). Adapun jumlah peserta dalam Forum Diskusi ini berjumlah 10 orang yang terdiri dari 8 Laki-laki (yang terdiri atas 2 Geuchik, 2 Tokoh Agama, 2 Tokoh Adat, 2 Tokoh Pemuda) dan 2 Perempuan (yang terdiri atas 2 Tokoh Wanita). Menurut Irwanto (2006), teknik analisa data dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan (Field Notes) dari hasil ringkasan dari jawaban peserta melalui forum diskusi, lalu hasil ringkasan jawaban peserta tersebut akan dianalisa dalam bentuk angka dan presentasi, kemudian akan di masukkan ke dalam tabel sebaran frekuensi distribusi. Hasil penelitian menunjukkan Masyarakat Kecamatan Baktiya Barat masih percaya bahwa Program Pembangunan Gampong (PPG) dapat membawa kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih baik untuk masa yang akan datang, serta modal sosial dapat menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman dan dinamis untuk pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Selain itu tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan PPG mengatakan Jaringan Sosial pada masyarakat Kecamatan Baktiya Barat masih cukup kuat untuk mendukung terwujudnya program pembangunan Gampong (PPG) di Kecamatan Baktiya Barat, serta unsur-unsur Pranata Sosial masih


(6)

cukup kuat untuk menciptakan suasana kondusif pada masyarakat Kecamatan Baktiya Barat.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis haturkan Kehadirat Allah SWT atas Berkah dan HidayahNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan TESIS dengan judul Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat Pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat, Kabupaten Aceh Utara. Tulisan ini membahas tentang manfaat dari modal sosial yang diberikan oleh Kabupaten Aceh Utara kepada Kecamatan Baktiya Barat dalam bentuk Program Pembangunan Gampong (PPG) dengan mengupayakan adanya proses pemberdayaan masyarakat Gampong melalui berbagai kegiatan (misalnya pembangunan balai pengajian, pembangunan saluran irigasi/leaning, parit jalan, gorong-gorong, bantuan hewan ternak dan lain-lain). Adapun partisipasi warga diikut sertakan dalam suatu wadah forum diskusi yang dikenal dengan FGD (Focuss Group Disscussion) yang berkenaan dengan tanggapan dari perwakilan tokoh masyarakat mengenai pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. Dalam menyelesaikan Tesis ini, tentu saja penulis banyak mendapat masukkan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga pada akhirnya Penulis dapat menyelesaikannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A.(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang senantiasa dengan sabar dan secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(8)

3. Prof. H. Bachtiar Hassan Miraza, SE, selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta sekaligus sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah menyetujui judul dan meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis selama mengikuti pendidikan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan bimbingan terhadap tesis ini dimulai sejak awal hingga selesainya tesis ini.

4. Prof. Dr. Lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis selama mengikuti pendidikan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta memberikan saran yang konstruktif dalam membimbing Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya Tesis ini.

5. Bapak Kasyful Mahalli, SE.M.Si, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan sabar meluangkan waktunya untuk membimbing Penulis selama mengikuti pendidikan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, serta memberikan saran yang konstruktif dalam membimbing Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya tesis ini.

6. Prof. Aldwin Surya, SE. M.Pd. Ph.D, selaku Komisi Dosen Pembanding yang memberikan saran untuk masukkan dan arahan yang bermanfaat bagi Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya tesis ini.

7. Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku Komisi Dosen Pembanding yang memberikan saran untuk masukkan dan arahan yang bermanfaat bagi Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya tesis ini.

8. Drs. Rujiman, MA, selaku Komisi Dosen Pembanding yang memberikan saran untuk masukkan dan arahan yang bermanfaat bagi Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya tesis ini.


(9)

9. Bapak Camat/Staff Kecamatan Baktiya Barat yang telah memberikan izin kuliah, serta pengertian dan kemudahan bagi Penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua Orang Tua yang saya hormati dan saya sayangi, Mahyuddin Ibrahim (Ayahanda) dan Nur Farida Hanum, S.Pd (Ibunda), yang senantiasa memberikan dukungan, bantuan, nasihat, bimbingan dan motivasi yang diberikan kepada Penulis.

11. Istriku Tercinta, Agustia, Am.Keb, yang senantiasa memberikan bantuan, semangat dan dorongan yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Uinversitas Sumatera Utara.

12. Keluarga Tercinta, Farah Mayana (Kakak Penulis), Muliya Fika (Adik Penulis), Royanna Sakura (Adik Penulis) dan Muhammad Muzammil (Adik Penulis), yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi yang diberikan kepada Penulis. 13. Staff Biro Administrasi Program PWD Sekolah Pascasarjana USU, Bapak

M. Yusuf, SH, yang telah membantu dan memperlancar kegiatan selama perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

14. Pegawai Biro Administrasi Program PWD Sekolah Pascasarjana USU, khususnya Kak Leli, Putra, Maya dan Uci, yang telah memperlancar administrasi selama Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

15. Rekan-rekan Mahasiswa Program Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, khususnya Rekan Mahasiswa di Jurusan Perkotaan, Bapak Razi, Bapak Mulatua Sinaga, Abang Mussawir, Abang Saifuddin, Musa, Razki, Erwin dan rekan-rekan mahasiswa lainnya yang tidak mungkin Penulis sebutkan namanya satu per satu, yang senantiasa memberikan saran untuk masukkan dan arahan yang bermanfaat bagi Penulis dari sejak awal hingga berakhirnya Tesis ini maupun dalam masa perkuliahan.

16. Para peserta undangan forum diskusi FGD (Focuss Group Disscussion) yang telah meluangkan waktu untuk menghadiri forum diskusi dan memberikan


(10)

partsipasi melalui tanggapan tentang pemanfaatan modal sosial yang diberikan oleh Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara kepada Kecamatan Baktiya Barat dalam bentuk Program Pembangunan Gampong (PPG).

Akhir kata, Penulis mengucapkan Semoga Tesis ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya untuk kalangan Mahasiswa.

Medan, Agustus 2009 Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

N ama : Fatwa Maulana

Tempat/Tgl. Lahir : Lhokseumawe/17 Oktober 1979

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Anak Ke : 2 dari 5 bersaudara

Agama : Islam

Alamat : Jl. Palapa No.7 Simpang Pertamina, Hagu Teungoh,

Lhokseumawe. 24300

No. Telepon : (0645)-42475

II. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

2009-2007 : S-2 Sekolah Pascasarjana, Magister Perencanaan

Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Universitas Sumatera Utara, Medan.

2004-2006 : S-1 Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

1998-2002 : D-IV Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri.

Jatinangor. Sumedang. Bandung.

1995-1998 : SMU Negeri I, Lhokseumawe.

1992-1995 : SLTP Negeri I, Lhokseumawe.

1986-1992 : SD Negeri I, Lhokseumawe.

III. LATAR BELAKANG PEKERJAAN

1. Staff pada Bagian Kepegawaian Setdakab, Kabupaten Aceh Utara

Tahun 2002.

2. Staff pada Bagian Pemerintahan Setdakab, Kabupaten Aceh Utara Tahun 2003.

3. Kasi Pemerintahan Kecamatan Baktiya, Kabupaten Aceh Utara,

Tahun 2003.

4. Sekretaris Lurah Kota Lhokseumawe, Kecamatan Lhoksukun, Kabupaten Aceh Utara Tahun 2004.

5. Sekretaris Camat pada Kecamatan Baktiya Barat, Kabupaten Aceh Utara Tahun 2006.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Batasan Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Konsep Modal Sosial ... 9

2.1.1. Hakikat Sikap Saling Percaya (Trust)... 13

2.1.2. Hakikat Jaringan Sosial (Networks)... 16

2.1.3. Hakikat Pranata Sosial (Social Institution) ... 21

2.2. Pengertian Program Pembangunan Gampong (PPG) ... 24

2.3. Program Pengembangan Wilayah ... 27

2.4. Konsep tentang Pemberdayaan Masyarakat ... 30

2.5. Konsep Pembangunan... 34

2.6. Penelitian Terdahulu ... 40

2.7. Kerangka Pemikiran... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1. Lokasi dan Waktu ... 47

3.2. Jenis dan Sumber Data... 48

3.3. FGD (Focus Group Discussion) ... 49

3.4. Teknik Analisa Data ... 51


(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 53

4.1.1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Aceh Utara... 53

4.1.2. Letak Geografis dan Luas Wilayah Kecamatan Baktiya Barat ... 56

4.1.3. Demografi ... 59

4.1.4. Pembagian Wilayah Berdasarkan Administrasi Pemerintahan... 61

4.1.5. Kondisi Perekonomian Kabupaten Aceh Utara ... 61

4.1.6. Kondisi Sosial dan Sarana Ekonomi Kecamatan Baktiya Barat ... 65

4.1.6.1. Kondisi Sarana Rumah Ibadah... 65

4.1.6.2. Kondisi Sarana Ekonomi ... 66

4.2. Program PPG yang Telah dilaksanakan... 67

4.3. Hasil Penelitian.. ... 72

4.3.1. Modal Sosial ... 72

4.3.2. Hakikat Kepercayaan/Trust ... 72

4.3.2.1. Hakikat Kejujuran ... 73

4.3.2.2. Hakikat Kewajaran... 74

4.3.2.3. Hakikat Egaliter... 75

4.3.2.4. Hakikat Toleransi... 76

4.3.2.5. Hakikat Kemurahan Hati ... 78

4.3.3. Hakikat Jaringan Sosial... 78

4.3.3.1. Hakikat Partisipasi ... 79

4.3.3.2. Hakikat Pertukaran Timbal Balik ... 80

4.3.3.3. Hakikat Solidaritas... 82

4.3.3.4. Hakikat Kerja Sama ... 83

4.3.3.5. Hakikat Keadilan ... 84

4.3.4. Hakikat Pranata Sosial ... 85

4.3.4.1. Hakikat Nilai-nilai yang dimiliki Bersama ... 85

4.3.4.2. Hakikat Norma dan Sanksi ... 87

4.3.4.3. Hakikat Moralitas... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1. Kesimpulan... ... 92

5.2. Saran... ... 92


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1. Nama-nama Gampong dalam Kecamatan Baktiya Barat dan Jenis-jenis Kegiatan yang diusulkan dalam PPG

Tahun Anggaran 2005... 3 4.1. Batas Wilayah Kabupaten Aceh Utara... 53 4.2. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara

dalam Angka Tahun 2007 ... 54 4.3. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk

di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2007... 55 4.4. Batas Wilayah Kecamatan Baktiya Barat ... 56

4.5. Luas Wilayah Menurut Gampong Kecamatan Baktiya Barat

di Kabupaten Aceh Utara Tahun 2006... 57 4.6. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk

Menurut Kecamatan Baktiya Barat Tahun 2006... 58 4.7. Jumlah Kepala Keluarga dan Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten

Aceh Utara Tahun 2007 ... 59 4.8. Jumlah Kepala Keluarga dan Jumlah Penduduk Kecamatan Baktiya

Barat Tahun 2006... 60 4.9. Distribusi Persentase PDRB (dengan Migas) Kabupaten Aceh Utara

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 hingga 2007 Berdasarkan

Harga Berlaku Tahun 2000 ... 62 4.10. Distribusi Persentase PDRB (tanpa Migas) Kabupaten Aceh Utara

Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002 hingga 2007 berdasarkan

Harga Berlaku Tahun 2000 ... 64 4.11. Jumlah Pesantren dan Balai Pengajian Menurut Desa Kecamatan

Baktiya Barat Tahun 2006 ... 65


(15)

4.12. Jenis dan Panjang Jalan Utama Menurut Desa Kecamatan Baktiya

Barat Tahun 2006 ... 66

4.13. Nama-nama Gampong dalam Kecamatan Baktiya Barat Dan Jenis-jenis Kegiatan yang dilaksanakan dalam PPG Tahun Anggaran 2005... 68

4.14. Nama-nama Gampong dalam Kecamatan Baktiya Barat Dan Jenis-jenis Hewan Ternak yang diberikan dalam PPG Tahun Anggaran 2005... 70

4.15. Manfaat dan Bentuk Wujud dari Program Pembangunan Gampong... 70

4.16. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Kejujuran ... 73

4.17. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Kewajaran... 74

4.18. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Egaliter... 75

4.19. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Toleransi... 76

4.20. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Kemurahan Hati ... 78

4.21. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Partisipasi ... 79

4.22. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Pertukaran Timbal Balik . 80 4.23. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Solidaritas ... 82

4.24. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Kerja Sama ... 83

4.25. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Keadilan ... 84

4.26. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Nilai yang Dimiliki Bersama... 86

4.27. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Norma dan Sanksi ... 87

4.28. Tanggapan Peserta FGD terhadap Hakikat Moralitas... 88

4.29. Tanggapan Peserta FGD tentang Peranan Modal Sosial dalam Program Pembangunan Gampong Tersebut ... 90


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Undangan Forum Diskusi FGD ... 100

2. Pertanyaan dalam Forum Diskusi GFD ... 102

3. Denah Lokasi Penelitian ... 146

4. Program PPG yang Telah dilaksanakan... 147

5. Dokumentasi Penelitian ... 152

6 A. Peta Lokasi Penelitian Kabupaten Aceh Utara ... 155

6 B. Peta Lokasi Penelitian Kecamatan Baktiya Barat... 156


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000). Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka (Rogers, 1983).

Jadi, pada hakikatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual, maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spritual. Pembangunan Gampong sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan mempunyai arti yang sangat strategis, karena Gampong merupakan basis dari pembangunan nasional, dengan mendasarkan kepada prinsip pembangunan dilaksanakan dari rakyat, oleh


(19)

rakyat dan untuk rakyat dengan bantuan pemerintah, maka terdapat adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bersama oleh pemerintah dan masyarakat secara seimbang. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas Pemerintah Kabupaten Aceh Utara pada tahun 2002 meluncurkan sistem perencanaan pembangunan daerah yang aspiratif dan partisipatif melalui program pembangunan Gampong dengan tujuan umum untuk perkembangan Aceh Utara ke arah yang lebih baik melalui upaya-upaya pembangunan Gampong. Adapun sumber hukum pelaksanaan program ini adalah Qanun Kabupaten Aceh Utara Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Rencana strategis (RENSTRA) pembangunan daerah kabupaten Aceh Utara Tahun 2001-2005, Qanun Kabupaten Aceh Utara Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Anggaran pendapatan dan Belanja daerah Kabupaten Aceh utara dan Surat Bupati Aceh Utara Nomor 648.2/2078/2002 Tanggal 5 Januari 2002, Tentang Pedoman Umum Program Pembangunan Gampong Kabupaten Aceh Utara.

Program Pembangunan Gampong merupakan suatu bentuk pemberdayaan terhadap masyarakat miskin Gampong. Gampong yang dimaksud dalam hal ini adalah wilayah pedesaan atau biasa istilah umum juga dikenal dengan sebutan perkampungan. Rumusan pengertian pembangunan desa menurut Chambers (1998) adalah suatu strategi yang memungkinkan kelompok masyarakat tertentu, baik laki-laki maupun wanita miskin di desa, memperoleh apa yang mereka inginkan dan perlukan bagi dirinya maupun anak-anaknya. Hal ini dapat tercapai jika diikut sertakan pemberdayaan masyarakat di dalam pembangunan desa.


(20)

Pemberdayaan sesungguhnya adalah usaha-usaha mengembangkan potensi yang ada dan dalam keadaan lemah menjadi kuat dan mampu untuk menghadapi setiap tantangan dalam usaha mencapai tujuan yang diharapkan. Pemberdayaan dalam pengertian ini jelas menunjukkan adanya suatu usaha yang di latar belakangi oleh kemauan yang keras dalam merubah sesuatu yang lemah menjadi kuat dan dapat digunakan untuk kemajuan sesuai dengan diharapkan. Sebagai salah satu program pemberdayan, PPG mengupayakan adanya proses pemberdayaan masyarakat Gampong melalui berbagai kegiatan, misalnya ekonomi produktif, rehabilitasi fisik, perbaikan jalan, saluran air dan lain-lain.

Tabel 1.1. Nama-nama Gampong dalam Kecamatan Baktiya Barat Dan Jenis- jenis Kegiatan yang diusulkan dalam PPG Tahun Anggaran 2005

No. Nama Gampong Jenis Kegiatan

1. Cot Kupok Saluran Irigasi dan Jembatan Kayu

2. Mtg. Raya Blang Sialet Jembatan Plat Beton dan Leaning Irigasi

3. Pucok Aloe Buket Saluran Irigasi dan Jembatan Kayu

4. Cot Paya Penimbunan Jalan Desa dan Gorong-gorong

5. Matang Teungoh Pembangunan Balai Pengajian dan Pengerasan

Jalan.

6. Matang Panyang Pengerasan Jalan dan Mesin Jahit

7. Matang Bayu Pengerasan Jalan dan Balai Pengajian

8. Lang Nibong Pengerasan Jalan dan Saluran Pembuang

9. Singgah Mata Pengerasan Jalan dan Jembatan

10. Matang Ceubrek Pembangunan Lumbung Desa dan Bibit Padi

Unggul.

11. Cot Usen Usaha Ekonomi Produktif

12. Matang Sijeuk Barat Pengerasan Jalan Usaha Tani dan Gorong-

Gorong

13. Matang Sijeuk Teungoh Pengerasan Jalan Usaha Tani dan

Pembangunan Jembatan Plat Beton

14. Matang Sijeuk Timur Pembangunan Jalan dan Jembatan

15. Keude Sampoiniet Pengerasan Jalan dan Modal Usaha


(21)

Lanjutan Tabel 1.1.

17. Matang Paya Pembuatan Jalan Lingkungan dan Gorong-

Gorong

18. Lhok Iboh Jalan, Paret dan Leaning Irigasi

19. Cot Laba Pengerasan Jalan Usaha Tani dan Lumbung

Desa

20. Meunasah Pante Paret, Jalan Beton dan Gorong-gorong

21. Cot Murong Jalan Setapak dan Usaha Kerajinan

22. Meurandeh Paya Saluran Beton, Ternak Sapi dan Kambing

23. Meunasah Hagu Pembukaan Jalan Baru dan Ternak Sapi

24. Blang Rheue Saluran Pembuang, Ternak dan Kambing

25. Lhok Euncien Penimbunan Jalan Dan Balai Pengajian

26. Paya Bateung Pengerasan Jalan dan Ternak Sapi

Sumber: Dokumentasi Kabupaten Aceh Utara April 2005

Di dalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting, sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat, memiliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif, karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggung jawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi (Kartasasmita, 1996:249). Dalam perjalanan proses dan program-program pemberdayaan yang pernah ada di Indonesia, secara umum masih sering ditemui berbagai hambatan-hambatan dan kegagalan-kegagalan dalam hal implementasi.

Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa proses pemberdayaan dan pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dengan sistem sentralistis, tidak berhasil di bidang sosial


(22)

maupun politik, meskipun di bidang ekonomi cukup menggembirakan. Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan tersebut mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi, tetapi lebih pada di mobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan masyarakat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif. Secara politik, dengan pendekatan top-down dan sistem sentralistis tersebut hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, sehingga tidak muncul pemikiran kritis dari masyarakat sebagai kontrol terhadap kebijakan pemerintah.

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan memudar diakibatkan oleh memudarnya sejumlah lembaga tradisional yang dahulu hidup di pedesaan, sebagai akibat intervensi pemerintah yang terlalu jauh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Faktor lainnya yang menjadi akar permasalahan dari kegagalan dalam praktek pemberdayaan selama ini salah satunya adalah tidak adanya pemanfaatan modal sosial dalam pelaksanaaan program-program pembangunan dan pemberdayaan yang dilaksanakan. Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya tentunya modal sosial ini memberikan kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Menurut Fukuyama (1995) justru semakin bertambah bobotnya apabila semakin intensif di daya gunakan modal sosial itu. Putnam (dalam Badaruddin, 2003) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial,seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan


(23)

jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas bagi tindakan-tindakan yang terkoordinasi.

Modal Sosial merupakan norma-norma dan hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat, sehingga orang-orang dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana Modal Sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengkoordinir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka. Melihat hakikat dan pengertian dari modal sosial tersebut di atas dapat dicermati apabila memberi ruang dan peluang yang cukup baik dalam optimalisasi program pembangunan dan pemberdayaan yang akan dilakukan. Dengan adanya upaya mensinergiskan suatu program dengan modal sosial yang ada pada masyarakat penerima program tentunya akan memberi suatu pencapaian yang lebih baik dan maksimal. Berdasarkan fenomena tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat Pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat, Kabupaten Aceh Utara”.

1.2. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pemanfaatan Modal Sosial dalam pelaksanaan Program Pembangunan


(24)

2. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis manfaat dari Modal Sosial dalam pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.

2. Untuk mengetahui dan menjelaskan tanggapan masyarakat tentang pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah, sebagai bahan pertimbangan atau masukan dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk menentukan pengalokasian modal sosial dalam pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.

2. Bagi masyarakat Kecamatan Baktiya Barat, untuk mengetahui dan menambah informasi tentang Program Pembangunan Gampong yang dilaksanakan terhadap Pengembangan di Wilayah tersebut yang dirasakan oleh masyarakat.


(25)

3. Bagi Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.

4. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai bahan masukan bagi penelitian lain yang lebih lanjut, terutama yang menyangkut Modal Sosial dan Program Pembangunan Gampong, maupun program pembangunan lainnya.

1.5. Batasan Penelitian

Adapun yang menjadi batasan dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya bersifat kualitatif, yaitu untuk mengetahui manfaat dari Modal Sosial yang dialokasikan dalam pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.

2. Hasil Penelitian ini diperoleh melalui Forum Diskusi, yaitu untuk mengetahui dan menjelaskan persepsi masyarakat tentang pelaksanaan Program Pembangunan Gampong (PPG) terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Modal Sosial

Konsep modal sosial (sosial capital) diperkenalkan Putnam (1993) sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia Utara, memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi, karena tiap indvidu punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antar masyarakat lebih bersifat horizontal, karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara itu, Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan sosial masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi terciptanya "couch potato syndrome" atau disebut juga cerminan hidup yang individual. Jadi kebiasaan orang Amerika "nongkrong" di depan layar televisi berjam-jam sebagai cerminan hidup yang sangat individualistik.

Konsep modal sosial juga muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerja sama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre tahun 1916 mengatakan, modal sosial bukanlah modal dalam arti


(27)

biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003). Sekalipun Hanifan telah menggunakan istilah modal sosial hampir seabad yang lalu, istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia akademis sejak akhir tahun 1980-an. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul "The Forms of Capital" tahun 1986 (Syabra, 2003) mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial, perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi, karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial .

Bourdieu dalam Syabra (2003) menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial di masa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat


(28)

efektivitas pembangunan (Suharto dan Yuliani, 2005). Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Sehingga dalam menjalankan program pembangunan, khususnya pertanian dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di perhatikan dan dimanfaatkan.

Brehm dan Rahn (dalam Ibrahim, 1997) menjelaskan bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (dalam Prusak, 2001) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerja sama. Di dalam masyarakat kita, modal sosial ini menjadi suatu alternatif pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Mengingat sebenarnya masyarakat kita sangatlah komunal dan mereka mempunyai banyak sekali nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Pasalnya modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting pembangunan masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance (tata pemerintahan yang baik) yang sedang marak dipromosikan.

Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa”Social capital can be defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among members of a


(29)

group that permit cooperation among them”. (Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka). Analisis modal sosial salah satunya dapat digunakan untuk mencermati:

1. Hubungan sosial, merupakan bentuk komunikasi bersama melalui hidup berdampingan sebagai interaksi antar individu;

2. Adat dan nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi kebersamaan, kerja sama, dan hubungan sosial dalam masyarakat;

3. Toleransi merupakan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan setiap orang ketika berada/hidup bersama orang lain;

4. Kesediaan untuk mendengar berupa sikap menghormati pendapat orang lain; 5. Kejujuran menjadi salah satu hal pokok dari keterbukaan/transparansi untuk

kehidupan lebih demokratis;

6. Kearifan lokal dan pengetahuan lokal sebagai pendukung nilai-nilai yang ada dalam masyarakat;

7. Jaringan sosial dan kepemimpinan sosial yang terbentuk berdasar

kepentingan/ketertarikan individu secara prinsip/pemkiran di mana

kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan;

8. Kepercayaan merupakan hubungan sosial yang di bangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama;


(30)

9. Kebersamaan dan kesetiaan berupa perasaan ikut memiliki dan perasaaan menjadi bagian dari sebuah komunitas;

10. Tanggung jawab sosial merupakan rasa empati masyarakat terhadap upaya perkembangan lingkungan masyarakat;

11. Partisipasi masyarakat berupa kesadaran diri seseorang untuk ikut terlibat dalam berbagai hal berkaitan dengan diri dan lingkungan dan

12. Kemandirian berupa keikut sertaan masyarakat dalam pengambilan keputusan.

2.1.1. Hakikat Sikap Saling Percaya (Trust)

Menurut Shaw (1997), kata “trust” berasal dari bahasa German “trost” yang

berarti kenyamanan (comfort). Dalam sebagian besar kasus, seseorang percaya kepada orang yang menunjukkan bahwa dia layak untuk mendapat kepercayaan. Sekalipun begitu kepercayaan tidak selalu berasal dari pengalaman masa lalu dengan orang lain. Dan kepercayaan berbeda dari percaya diri. Percaya diri berasal dari hasil pengetahuan yang dibangun dari alasan dan fakta. Sebaliknya, kepercayaan merupakan bagian dari keyakinan (faith). Kepercayaan lebih mudah retak atau rapuh daripada keyakinan. Dalam suatu hubungan diperlukan adanya kepercayaan. Kepercayaan menjadi dasar sebagai jaminan awal dari suatu hubungan dua orang atau lebih dalam bekerjasama. Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi lahirnya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan komunitas dan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks) yang


(31)

akhirnya di mapankan dalam wujud pranata (institution). Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan merupakan salah satu kunci terpenting untuk menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat. Hubungan tersebut dapat berlanjut, jika penyelenggara pemerintah yang dipercaya mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat. Karena itu sikap saling percaya (trust) meliputi adanya unsur kejujuran (honesty), kewajaran (fainerss), sikap egaliter (egali-tarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity) (Badaruddin, 2005).

Salah satu elemen-elemen pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan di transmisikan melalui mekanisme-mekanisme sosial budaya di dalam sebuah unit sosial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara, dan sebagainya. Menurut Robbins (2005), kejujuran (honesty) adalah sebuah unsur dari kepercayaan yang berhubungan dengan ketulusan dan keadaan yang sebenarnya, unsur ini juga merupakan unsur yang paling kritis ketika seseorang menilai kepercayaan orang lain. Sedangkan sikap egaliter merupakan salah satu ciri menyolok dari pemimpin massa yang karismatik dan populer adalah sikapnya yang egaliter atau merakyat dan accesible (mudah dihubungi) (Mario Gagho, 2004). Maksudnya merakyat di sini adalah sikap yang sama, walaupun kadang-kadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan atau paling sedikit untuk mencapai suatu integrasi dalam organisasi, fikiran dan tindakan (Soekanto, 1982:74). “Toleransi berasal dari bahasa


(32)

kesabaran” (Halim, 2008). Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan. United Nations Educational, Scientific and

Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap “saling

menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karakter manusia”. Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan azasi sebagai manusia. Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan azasi sebagai manusia. Toleransi didefinisikan sebagai perwujudan dari sifat dan sikap untuk menghargai dan membiarkan atau membolehkan (tenggang rasa) pendapat, pandangan kepercayaan, kebiasaan, kelakuan (pendirian) yang menunjukkan adanya pertentangan, atau berlawanan (Poerwadarminta, 1985).

2.1.2. Hakikat Jaringan Sosial (Networks)

Dalam sistem Jaringan sosial aspek vital dari modal sosial adalah keterkaitan (connectedness), jaringan (networks) dan kelompok (groups). Keterkaitan terwujud di dalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal, maupun di tingkat yang lebih tinggi. Adanya jaringan hubungan antar individu, norma-norma dan kepercayaan, sebagai bagian dari modal sosial memberikan manfaat dalam konteks terbentuknya


(33)

kerja sama kolektif dalam menghadapi dan memecahkan persoalan bersama komunitas masyarakat kecil secara kolektif yang akan memperkuat posisi tawar mereka terhadap kekuatan-kekuatan struktural, seperti pasar dan nelayan pemilik yang senantiasa berupaya mengeksploitasikan mereka melalui penentuan harga secara sepihak dan system bagi hasil yang tidak setara dan adil. Menurut Badaruddin (2005), jaringan (networks) meliputi adanya unsur partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerja sama (cooperation), dan keadilan (equity).

Faturrochman (2002) mengatakan Keadilan digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Situasi sosial berkeadilan ini bisa tercapai jika empat jenis keadilan yang ada berlaku, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedur, keadilan interaksional, dan keadilan sistem. Keadilan digambarkan sebagai situasi sosial ketika norma-norma tentang hak dan kelayakan dipenuhi. Keadilan adalah sesuatu yang sulit sekali untuk dijelaskan, karena keadilan memiliki banyak definisi dan hampir setiap orang yang saya tanyai memiliki pandangan yang berbeda tentang apa itu keadilan. Akibatnya, apa yang saya anggap adil belum tentu dianggap orang lain sebagai sesuatu yang adil. Karena itu saya bisa simpulkan bahwa keadilan adalah sesuatu yang subjektif, bukan objektif. Namun satu hal yang pasti adalah agar suatu konsep bisa dianggap sebagai adil, konsep itu harus disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan.

Blanchard (2001:6) mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya untuk menguraikan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan


(34)

pengetahuan, pengalaman, motivasinya. “The real essence of empowerment comes from releasing the knowledge, experience, and motivarional power that is already in

people but is being severely underutilized”. Memberdayakan masyarakat adalah

upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat, di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, ”memberdayakan adalah meningkatkan

kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat”. Konsep partisipasi yang

aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul dalam Cohen sebagai berikut: “Participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share

of project benefits”. Definisi tersebut memandang keterlibatan masyarakat mulai dari

tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi (Cohen & Uphoff, 1980: 215-223). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat “Delivery System” (sistem distribusi) di tingkat bawah.

Soetrisno (1995: 74) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu: Definisi Pertama, partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat


(35)

dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis, definisi ini tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Definisi Kedua, partisipasi dalam pembangunan merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun di wilayah mereka, serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan hasil proyek itu. Dengan demikian, partisipasi merupakan aspek terpenting dalam upaya memberdayakan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok. Kemampuan masyarakat untuk “mewujudkan” dan “mempengaruhi”

arah, serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya, sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Pemberdayaan merupakan the missin ingredient (unsur tersembunyi) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup penting.


(36)

Menurut Massofa (2008), Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya hubungan sosial Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan. Interaksi sosial adalah keadaan di mana seseorang melakukan hubungan saling berbalas respon dengan orang lain, balas respon antara minimal 2 (dua) orang di dalamnya.

Khairulmaddy (2008) mengatakan interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok. Interaksi sosial merupakan proses komunikasi di antara orang-orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan. Interaksi sosial akan berlangsung apabila seorang individu melakukan tindakan dan dari tindakan tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi pertikaian dan perselisihan sebelumnya. Interaksi sosial merupakan hubungan tersusun dalam bentuk tindakan berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dan di sinilah dapat kita amati atau rasakan bahwa apabila sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat, interaksi tersebut akan berlangsung secara baik, begitu pula sebaliknya, manakala interaksi sosial yang


(37)

dilakukan tidak sesuai dengan norma dan nilai dalam masyarakat, interaksi yang terjadi kurang berlangsung dengan baik. Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Durkheim (1858-1917) dalam mengembangkan teori sosiologi.

Durkheim dalam Lawang (1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang di dasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Menurut Durkheim, berdasarkan hasilnya, solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan dengan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri: (1) yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara, (2) solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap, walaupun sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja, (3) memberi ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam suatu kesatuan.


(38)

2.1.3. Hakikat Pranata Sosial (Social Institution)

Beberapa istilah yang dipergunakan oleh para ahli untuk menyebut pranata sosial dan di antaranya Selo Soemardjan, Soelaeman Soemardi menggunakan istilah Lembaga Kemasyarakatan "social institution", sedangkan Koentjaraningrat, menggunakan istilah "pranat” sebagai padanan kata “institution”, dan pranata sosial untuk “social institution”. Pranata diartikannya sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya, sedangkan pranata sosial diartikannya sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan-hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1991). Sementara itu, Broom dan Nimkoff memberi istilah "lembaga sosial" (Soekanto, 1990). Sedangkan Johnson (dalam Soekanto (1990) mengemukakan institusi atau lembaga/pranata sebagai seperangkat aturan yang terinstitusionalisasi (instituteonalized), yakni: (1) telah diterima sejumlah besar anggota sistem sosial; (2) ditanggapi secara sungguh-sungguh (internalized); dan (3) diwajibkan dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi tertentu. Secara ringkas, pranata sosial adalah sistem norma khusus yang menjadi wahana atau menata suatu rangkaian tindakan yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi. Pranata sosial merupakan salah satu merupakan elemen penting dari modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institutions), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan (rules)


(39)

(Badaruddin, 2005). Pranata muncul disebabkan adanya keperluan dan kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi sendiri, dan lembaga ini muncul dengan norma-norma masing-masing. Di dalam pranata, masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi sudah diikat oleh aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Jika tidak ada aturan-aturan dan pola-pola yang resmi, maka belum disebut sebagai pranata sosial, karena hal itu masih merupakan interaksi sosial biasa.

Koentjaraningrat (1990) mengatakan bahwa pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam sebuah pranata sosial terdapat dua hal yang utama, yakni aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan norma yang mengatur aktivitas tersebut. Di dalam pranata sosial terdapat seperangkat aturan yang berpedoman pada kebudayaan. Oleh karena itu, pranata sosial bersifat abstrak, karena merupakan seperangkat aturan. Adapun wujud dari pranata sosial adalah berupa lembaga (institute). Pranata dan lembaga memiliki makna yang berbeda. Pranata sosial merupakan sistem norma atau aturan-aturan mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus, sedangkan lembaga atau institute adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas itu.

Menurut Koentjaraningrat (1990) ada delapan tipe tujuan dari pranata sosial, yaitu:


(40)

1. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidupnya.

2. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kekerabatan,yang sering disebut Domestic institution.

3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.

4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia atau sering disebut scientific institution.

5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan untuk menghayatkan rasa

keindahan.

6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.

7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan.

8. Pranata yang berfungsi untuk keperluan manusia untuk mengatur keseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.

2.2. Pengertian Program Pembangunan Gampong (PPG)

Gampong sebagai bagian unit terkecil dalam pemerintahan yang memiliki potensi yang perlu dikembangkan dan diberdayakan melalui pembangunan, karena pembangunan yang terjadi selama ini tidak menyentuh masyarakat, serta bersifat top-down telah memperlebar kesenjangan sosial, ekonomi dan penguasaan informasi antara Gampong dan Kota. Istilah Program Pembangunan Gampong (PPG) adalah


(41)

suatu wacana yang muncul dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara yang akhirnya menjadi suatu program yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat di Gampong-gampong yang ada di Kabupaten Aceh Utara, dan program ini tidak ada di Kabupaten-kabupaten lainnya di Aceh. Dana Pembangunan Gampong mengikuti mekanisme dana APBD Kabupaten Aceh Utara yang di salurkan langsung kepada masyarakat melalui lembaga keuangan terdekat.

Adapun alokasi dana untuk setiap Gampong yang ditetapkan oleh Bupati Aceh Utara berdasarkan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) Gampong yang telah mendapat pengesahan, jumlah dana di setiap Gampong harus diinformasikan kepada masyarakat Gampong secara transparan, sehingga tidak menimbulkan saling curiga antara satu sama lain. Program Pembangunan Gampong (PPG) yang dirancang untuk menumbuhkan rasa memiliki dalam masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan yang dilaksanakan di Gampong atau di Desa sendiri. PPG sebagai program pembangunan yang serasi dan partisipatif memiliki tujuan untuk memperkecil ketimpangan pembangunan antara masyarakat Gampong dan Kota, serta adanya kontrol sosial dari masyarakat. Terwujudnya otonomi yang luas dan nyata kepada Pemerintahan Gampong, lembaga adat dan agama dalam proses penyelenggaraan pembangunan di Gampong, sehingga terciptanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

PPG berazaskan dari untuk dan bagi masyarakat yang memiliki ruang lingkup yang benar-benar di arahkan agar tujuannya dapat tercapai secara maksimal,


(42)

khususnya dalam mewujudkan peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat Gampong yang selama ini kebanyakan masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Program PPG ini dapat menunjang dengan tujuh permasalahan pembangunan, antara lain:

1. Pembangunan Nasional dan daerah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pembangunan Gampong. Mengingat konsentrasi jumlah penduduk masih dominan berada di Gampong, sehingga Gampong merupakan basis kekuatan ekonomi sosial dan politik yang perlu mendapat perhatian serius dari Pemerintah

2. Partisipasi masyarakat selama ini terbatas dalam penerapan kebijakan/keputusan, bukan dalam pembuatan keputusan, menikmati hasil dan evaluasi hasil, bahkan rasa memiliki masyarakat (sense of bilonging) masyarakat terhadap hasil pembangunan di Gampong hampir tidak ada.

3. Perencanaan pembangunan selama ini lebih bersifat “top down” dibanding

“botttom up”, sehingga telah menjadikan masyarakat Gampong sebagai objek

pembangunan semata, bukan menjadi subjek yang produktif.

4. Pembangunan sektor ekonomi masyarakat yang gagal menciptakan lapangan kerja dan perluasan kesempatan kerja telah menjadikan Gampong sebagai kantong pengangguran dan konflik sosial ekonomi.

5. Gampong bagaikan bayi cacat yang terus menerus perlu dipapah akibat rendahnya pendidikan dan keterampilan, sehingga membuat mereka tidak berdaya dalam memecahkan masalahnya sendiri.


(43)

6. Akibat campur tangan Pemerintah Pusat yang berlebihan, mengakibatkan matinya inisiatif dan motivasi masyarakat Gampong dalam membangun dirinya.

7. Tanggung jawab pembangunan Gampong selama ini seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab badan pemberdayaan masyarakat desa masing-masing Kabupaten.

Kegiatan pembangunan Gampong perlu di arahkan untuk merubahan

kehidupan masyarakat yang lebih baik. Perencanaan pembangunan diharapkan berusaha untuk memberdayakan masyarakat, sehingga masyarakat Gampong lebih terarah kepada sumber-sumber ekonomi dan mengarah kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat itu sendiri. Melandaskan arah pemikiran tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara tahun 2002 mewujudkan suatu sistem perencanaan daerah yang sifatnya aspiratif dan partisipatif melalui Program Pembangunan Gampong (PPG).

Sesuai dengan petunjuk teknis bappeda (2003:12) mengatakan bahwa PPG yang serasi dan partisipasi (mengikut sertakan masyarakat) bertujuan untuk:

1. Memperkecil ketimpangan pembangunan di antara masyarakat Gampong dan Kota, sehingga dapat mempercepat tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

2. Mewujudkan otonomi yang luas dan nyata kepada Pemerintah Gampong, lembaga adat dan agama dalam proses penyelenggaraan pembangunan di Gampong, sehingga tercipta partispasi masyarakat dalam pembangunan.


(44)

3. Berfungsinya pengawasan masyarakat di Gampong sebagai sosial kontrol yang efektif dan objektif.

2.3. Program Pengembangan Wilayah

Program pembangunan wilayah bertujuan untuk mendorong dan memfasilitasi pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh agar memiliki keunggulan daya saing secara nasional dan internasional. Sasaran program ini adalah: (1) meningkatnya kemudahan bagi pelaku usaha dalam berinvestasi di wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh; (2) terciptanya kerja sama antar seluruh pelaku pembangunan secara vertikal dan horizontal untuk mendukung berkembangnya daya saing wilayah; (3) terciptanya dukungan iklim usaha yang kondusif, melalui kebijakan fiskal dan non fiskal yang memudahkan berkembangnya peluang usaha di daerah. Kegiatan pokok yang dilaksanakan antara lain meliputi:

1. Penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang mendukung peningkatan kualitas produk unggulan di wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh;

2. Fasilitasi dan bantuan kepada Pemerintah Daerah dan pelaku usaha untuk memperoleh informasi pasar;

3. Fasilitasi pengembangan sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing, melalui pendampingan dan pelatihan yang profesional dan berkeahlian secara berkelanjutan;


(45)

4. Pemberian dorongan terhadap peningkatan koordinasi, sinkronisasi, dan kerja sama antar sektor, antar lembaga termasuk dunia usaha, dan antar daerah, baik secara vertikal maupun horizontal;

5. Pemberian dorongan terhadap instansi dan lembaga terkait untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dan pelaku usaha di daerah untuk mengakses modal, bahan baku, serta infrastruktur pendukung;

6. Pemberian dorongan bagi penciptaan iklim usaha yang kondusif, antara lain peningkatan daya tarik investasi, melalui berbagai insentif, seperti pemberian kemudahan perpajakan, perizinan, serta kemudahan memperoleh hak guna lahan yang kompetitif dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dari negara-negara lain.

Tujuan pengembangan wilayah menurut Zen dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah (2001: 20) antara lain:

1. Pengembangan Wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah itu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan.

2 Membuat suatu komunitas dapat berdiri sendiri di atas usahanya sendiri, dan benar-benar menyadarkan bahwa mereka dapat memperbaiki nasibnya atas usaha mereka sendiri.


(46)

3. Membuat suatu wilayah memiliki, dan sadar akan kekuatan politiknya.

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah adalah:

1. Sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spred effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional.

2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerja sama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari

daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat

bagi perencanaan pengembangan kawasan.

Pengembangan wilayah dalam pembangunan meliputi berbagai jenis kegiatan, baik yang tercakup dalam sektor pemerintahan maupun dalam masyarakat, dilaksanakan dan diatur dalam rangka usaha-usaha untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Usaha-usaha tersebut pada dasarnya adalah bersifat untuk meningkatkan pemenuhan berbagai kebutuhan-kebutuhan, baik melalui produk-produk maupun melalui berbagai jenis kegiatan yang membawa pengaruh peningkatan kawasan.


(47)

2.4. Konsep tentang Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau power yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow of power (transfer kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan, kebebasan dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumber daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat terwujud suatu upaya aktualisasi diri dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya, serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek.

Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai dengan relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan (mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Jadi pemberdayaan masyarakat adalah upaya mengembangkan mayarakat dari keadaan kurang atau tidak berdaya menjadi punya daya dengan tujuan agar masyarakat tersebut dapat mencapai/memperoleh kehidupan yang lebih baik. Payne (1997: 266) mengemukakan lebih jauh inti dari tujuan pemberdayaan dilakukan:


(48)

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising cacity and self-confidence to use

power and by transferring power from the environment to clients.”

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada intinya tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan mereka lakukan yang terkait dengan diri mereka sendiri, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri pada masyarakat untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang melengkapi warga masyarakat dalam memutuskan di mana mereka saat ini, kemana mereka hendak pergi dan mengembangkan sekaligus mengimplementasikan rencana-rencana guna mencapai tujuan, berdasarkan kepercayaan diri dan pembagian wewenang (Madhekan, 2006). Menurut Kartasasmita (1996), menyatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga cara. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menerapkan prasarana fisik maupun sosial yang diakses masyarakat paling bawah. Ketiga, melindungi masyarakat dan membela kepentingan masyarakat lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat.


(49)

Menurut Rukmana (dalam Miraza, Mahalli dan Pratomo, 2007: 202), alasan-alasan efektifitas dan efisiensi adanya peran serta dari masyarakat antara lain:

a. Peran serta masyarakat memberikan kontribusi pada upaya pemanfaatan sebaik- baiknya sumber dana yang terbatas.

b. Peran serta masyarakat membuka kemungkinan keputusan yang diambil di dasarkan kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat. Hal ini akan menghasilkan rancangan rencana, program dan kebijakan yang lebih realitas. Selain itu memperbesar kemungkinan masyarakat bersedia dan mampu menyumbang sumber daya mereka seperti uang dan tenaga.

c. Peran serta masyarakat merupakan salah satu komponen yang harus diikut sertakan dalam aktivitas pembangunan. Peran serta masyarakat menjamin penerimaan dan aspirasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang dibangun. Hal ini akan merangsang pemeliharaan yang baik, bahkan menimbulkan kebanggaan.

Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bertitik berat pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri, sehingga diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sekedar objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum, (Setiana, 2002). Dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai objek yang akan diberdayakan, pemberdayaan adalah


(50)

upaya memberikan motivasi/dorongan kepada masyarakat agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi. Sebagaimana diutarakan pada uraian terdahulu, rakyat berada dalam posisi yang tidak berdaya (powerless). Posisi yang demikian memberi ruang yang lebih besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat. Dengan demikian, rakyat harus diberdayakan, sehingga memiliki kekuatan posisi tawar (empowerment of the powerless). Pemberdayaan (empowerment) dalam studi kepustakaan memiliki kecenderungan dalam dua proses. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempuyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

2.5. Konsep Pembangunan

Todaro (2000) juga mendefinisikan pembangunan merupakan suatu proses multidimensial yang meliputi perubahan-perubahan struktur sosial, sikap masyarakat,

lembaga-lembaga nasional, sekaligus peningkatan pertumbuhan ekonomi,

pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut. Menurut Todaro (2000) dari definisi di atas memberikan beberapa implikasi bahwa:


(51)

1. Pembangunan bukan hanya di arahkan untuk peningkatan income, tetapi juga pemerataan.

2. Pembangunan juga harus memperhatikan aspek kemanusiaan seperti peningkatan:

a. Life Sustenance: Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

b. Self-Esteem: Kemampuan untuk menjadi orang yang utuh, yang memiliki

harga diri, bernilai dan tidak diisap orang lain.

c. Freedom From Servitude: Kemampuan untuk melakukan berbagai pilihan

dalam hidup, yang tentunya tidak merugikan orang lain.

Konsep dasar di atas telah melahirkan beberapa arti pembangunan yang sekarang ini menjadi populer yaitu:

1. Capacity, hal ini menyangkut aspek kemampuan meningkatkan income atau

produktivitas.

2. Equity, hal ini menyangkut aspek pengurangan kesenjangan antara berbagai

lapisan masyarakat dan daerah.

3. Empowerment, hal ini menyangkut pemberdayaan masyarakat agar dapat menjadi

aktif dalam memperjuangkan nasibnya dan sesamanya.

4. Suistanable, hal ini menyangkut usaha untuk menjaga kelestarian pembangunan.


(52)

Menurut Jayadinata (1999), bahwa pembangunan ialah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada. Pengembangan ialah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang ada. Kedua istilah ini sering digunakan untuk maksud yang sama. Pembangunan dan pengembangan (development) dilakukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dan pengembangan (development) dapat merupakan pembangunan fisik atau pengembangan fisik, dan dapat merupakan pembangunan sosial ekonomi dan pengembangan sosial ekonomi. Menurut Gant (1971) tujuan pembangunan ada dua tahap. Tahap pertama, pada hakikatnya pembangunan bertujuan untuk menghapuskan kemiskinan. Apabila tujuan ini sudah mulai dirasakan hasilnya maka tahap kedua adalah menciptakan kesempatan-kesempatan bagi warganya untuk dapat hidup bahagia dan terpenuhi segala kebutuhannya. Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut, maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan.

Sanit (1987) menjelaskan bahwa pembangunan dimulai dari pelibatan partisipasi masyarakat. Ada beberapa keuntungan ketika partisipasi masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, yaitu: Pertama, pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Artinya bahwa jika masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, maka akan tercipta kontrol terhadap pembangunan tersebut. Kedua, pembangunan yang berorientasi pada masyarakat akan menciptakan stabilitas politik. Oleh karena masyarakat berpartisipasi dalam


(53)

perencanaan pembangunan, sehingga masyarakat bisa menjadi kontrol terhadap pembangunan yang sedang terjadi.

Menurut Miraza (2005), pengembangan wilayah pada dasarnya merupakan peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu, mampu menampung lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat yang lebih baik, di samping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan-kegiatan usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya. Bagaimana suatu perencanaan wilayah dilaksanakan, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dikarenakan masing-masing daerah mempunyai latar belakang yang berbeda, baik yang menyangkut pada economic resources maupun yang menyangkut pada kultur masyarakat, demografi dan geografi, daerah muka dan daerah belakang maupun berbagai akses yang ada, yang dapat dipakai untuk masuk dan keluar bagi manusia dan barang, serta tersedianya perencanaan wilayah mencakup pada berbagai segi kehidupan yang komprehensif dan satu sama lain saling bersentuhan yang semuanya bermuara pada upaya meningkatkan kehidupan masyarakat (Miraza, 2005).

Menurut Miraza, Mahalli dan Pratomo (2007: 5), dalam perencanaan pembangunan ada beberapa permasalahan yang biasanya dihadapi oleh masyarakat miskin, antara lain:


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Dahlan. M., 2003, Pemberdayaan Masyarakat Gampong Melalui Program Usaha Ekonomi Desa, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.

Ali Madekhan, 2006, Orang Desa Anak Tiri Perubahan, Averroes Pross, Malang. Alkadri, Muchdie dan Suhandojo, 2001, “Tiga Pilar Pengembangan Wilayah:

Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Teknologi, Pusat Pengkajian

Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah, BPPT, Jakarta.

Badaruddin, Nasution, M. Arif, dan Subhilhar, 2005, “Isu-isu Kelautan: Dari Kemiskinan hingga Bajak Laut”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Badaruddin, 2003, Modal Sosial dan Reduksi Kemiskinan Nelayan di Sumatera

Utara, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi, DIKTI.

_________, 1999, Sosial Capital in The Creation of Human Capital. Dalam Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin (ed), Sosial Capital: A Multifaceted Perspective”, The World Bank, Washington.

Bahriun, Syaiful, 2008, Masalah Kemiskinan. http://www.damandiri.or.id/. Diakses pada tanggal 31 Maret 2009 , pukul 18.51 wib.

Blanchard Ken, Hersey Paul, 1982, “Management of Organizazational Behavior: Utilizing Human Resources”, Fourth Edition, Prentice Hall, Inc, United State of America.

Blanchard, Kenneth. H, 2001, Empowerment: Takes a More than a Minute,

Second Edition, Berrett Koehler Publisher.

Bourdieu, Pierre, 2003, The Forms of Capital, In Handbook of Theory and Research

for The Sociology of Education, ed. John Richardson, Greenwood, New York.

Carroll, Thomas. F, 2001, Social Capital, Local Capacity Building and Proverty

Reduction, The Asian Journal of Development Bank, Manila.


(2)

Cohen and Uphoff, N.T, 1980, Community Participation in Development Projects,

The Indian Journal of Public Administration.

Darwis, Rudi Saprudin, 2008, Solidaritas Sosial Masyarakat Industri.

http://www.blogs.unpad.ac.id/. Diakses pada tanggal 31 Maret 2009, pukul 19.37 wib.

Departemen Agama, 2008, Peran Tantangan dan Hambatan dalam Pembangunan

Nasional, http://fia-s1unipdu.blogspot.com/2008/08/departemen-agama-peran-tantangan-dan.html. Diakses pada tanggal 8 April 2009, pukul 23.50 wib.

Durkheim Emile, 1966, The Rules of Sociological Method, Eighth Edition, Collier Macmillan Publisher, London.

_________, 1983, Pragmatism and Sociology, Cambridge University Press, Cambridge.

Faturrochman, 2002, Keadilan Perspektif Psikologi, Unit Penerbitan Fakultas Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Fukuyama, Francis, 1995, “Trust: The Social Virtues and Creation of Prosperity”, New York, the Free Press.

Gagho, Mario, 2004, “Credibility Has to be Earned (4): Pemimpin yang Kredibel”,

http://groups.yahoo.com/group/ppi-india/. Diakses pada tanggal 24 Februari 2009, pukul 18.45 wib.

Hanafiah, Abu, 2008, Toleransi dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan

Sosial: _______ Halim, 2008, Artikel yang berjudul “Menggali Oase Toleransi, Kompas 14 April, 2008, http://www.depsos.go.id/. Diakses pada tanggal 31 Maret 2009, pukul 18.34 wib.

Hasan Bisri, 2004, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Ibrahim, Tarik Jabal, 2003, Sosiologi Pedesaan, http://sanggarkehidupan. blogspot.com/2008/11/analisa-masalah-sosial.htm. Diakses pada tanggal 4 Januari 2009, pukul 09.54 wib.

_________, 2003, Sosiologi Pedesaan, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Universitas Muhammadiyah, Malang.


(3)

Irwanto, 2006, Focuss Group Discussion, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Jayadinata, J.T, 1999, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan

dan Wilayah, ITB, Bandung.

Jhonson, Paul D, 1994, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 1 dan 2, Terjemahan oleh Robert M.Z. Lawang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Kartasasmita, Ginanjar, 1996, “Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan”, CIDES, Jakarta.

Khairulmaddy, 2008, Interaksi sebagai Proses Sosial, http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/. Diakses pada tanggal 31 Maret 2009, pukul 19.34 wib. Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi, Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta.

_________, 2002, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mauludi, 2008, Pemanfaaatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana Tsunami, Thesis, Program Pasca Sarjana, Magister Studi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara, Medan. Mulyana, Dedi, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya,

Bandung.

Mussofa, 2008, Sosiologi dan Interaksi Sosial, http://massofa.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 31 Maret 2009, pukul 19.24 wib.

Miraza, B.H, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, ISEI, Bandung. Miraza, Bachtiar. H, Mahalli Kasyful dan Pratomo, Wahyu Ario, 2007,

”Perencanaan dan Perubahan Bangsa di masa yang akan datang”, Cetakan Pertama, Pustaka Bangsa Press dan Sekolah Pascasarjana PWD, Medan. Moeljarto, T, 1992, ”Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Gerak dan

Strategi, Tiara Walda, Yogyakarta.

Neila Ramdhani, 2008, “Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi mengenai Perubahan Sikap dan Perilaku”, http://neila.staff.ugm.ac.id/. Diakses pada tanggal 24 Februari 2009, pukul 18.04 wib.


(4)

Payne, M. 1997. Social Work and Community Care, McMillan, London.

Poerwadarminta, W. J. S, 1985, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Prusak, L. 2001, In Good Company, Harvard Businees School Press, Boston.

Putnam, Robert D, 1993, The Prosperous Community: Sosial Capital and Public Llife”, TAP _________________, “Making Democracy work: Civic Tradition in Modern Italy”, Princeton University Press.

Quibria, M.G, 2003, The Puzzle of Social Capital A Critical Review, The Asian

Journal of Development Bank, Manila.

R. Harry Hikmat, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung.

Rani Usman, 2003, Sejarah Peradaban Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Rasjidi, Lili, 1991, Manajemen Riset Antardisiplin, Cetakan Pertama, Remaja

Rosdakarya, Bandung.

Razali, 2006, Pemberdayaan Masyarakat Melalui Usaha Ekonomi Produktif dalam Program Pembangunan Gampong, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Robbins, Stephen P, 2002, Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi, Edisi Kelima,

Erlangga, Jakarta.

Sastropoetro, Santoso, 1998, Partisipasi, Komunikasi dan Disiplin dalam

Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung.

Sanit, Arbit, 2007, “Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan”, Edisi Pertama, Cetakan Kedua belas, Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Setiana. 2005, Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor.


(5)

Suharto, Edi, 2005, “Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial”, Alfabeta, Bandung.

_________, 2005, “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial”, Rafika Aditama, Bandung.

Suharto, E. & Yuliani, 2005, Analisis Jaringan Sosial: Menerapkan Metode Asesmen Cepat dan Partisipatif (MACPA) pada Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa Barat”, http://www.policy.hu/suharto/mak-Indo4.html. Internet. Diakses pada tanggal 9 April 2009, pukul 00.40 wib.

Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, UI Press, Jakarta.

_________, 1984, “Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial”, Ghalia Indonesia, Jakarta.

_________, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta.

_________, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru Keempat, Cetakan Tiga Puluh Dua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soemardjan Selo, Soemardi Soelaman, 1964, Setangkai Bunga Sosiologi, Edisi Pertama, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Soetrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius, Jakarta.

Sukardi, 2002, Modal Sosial dan Reorientasi Kebijakan Publik (Studi Utilisasi Modal Sosial dalam Proses Reorientasi Kebijakan Agraria Lokal pada Kasus Sengketa Properti Tanah Petani Melawan PTPN XII di Kawasan Malang Selatan), Thesis, Program Pascasarjana, Magister Ilmu Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Suprijatna, T, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta. Syabra, R, 2003, ”Modal Sosial: Konsep dan Aplikasi”, Jurnal Masyarakat dan

Budaya, Vol.V, No.1:1-5.

Tjondronegoro, S.M.P, 2005, “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial”, Jurnal

Sosiologi Indonesia, Vol. I, No. 7: 21-22.

Todaro, P.M, Smith S.C, 2003, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta.


(6)

Todaro, P. Michael, 2000, ”Pembangunan Ekonomi I, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Universitas Kristen Petra, 2006, Teori Kepemimpinan, http://digilib.petra.ac.id/.

Diakses pada tanggal 23 Februari 2009, pukul 17.26 wib.

Uphoff, Norman, 1986, “Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases, Kumarian University Press.