Meunasah: Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Paya Bakong Gampong Tanjong Beurunyong, Nanggroe Aceh Darussalam

(1)

Meunasah

Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di

Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Paya Bakong Gampong

Tanjong Beurunyong, Nanggroe Aceh Darussalam

Disusun oleh:

Oemar Abdillah

060605016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

MEDAN

2012


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN

Meunasah

Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Kab. Aceh Utara Kec. Paya Bakong

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Juli 2012


(3)

ABSTRAK

Meunasah (Suatu Etnografi tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Gampong Tanjong Beurunyong Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara)

Oemar Abdillah, 2012. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 82 halaman, 7 gambar, 14 daftar pustaka, 10 artikel (internet).

Kajian tentang “meunasah” berfokus pada fungsi meunasah dalam

masyarakat Aceh. Lebih detailnya menjelaskan tentang kemunculan meunasah

dalam kehidupan masyarakat, arti meunasah, fungsi, dan perubahannya.

Penelitian ini mengambil lokasi di Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan

Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggambarkan pentingnya

meunasah dan bagaimana masyarakat gampong memfungsikan meunasah dalam aktifitas sehari-hari.

Pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan etnografi dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi partisipasi untuk melihat, aktifitas-aktifitas yang

dilakukan masyarakat gampong dalam kesehariannya, khususnya yang

berhubungan dengan meunasah dimana peneliti ikut juga dalam melaksanakan

aktifitas tersebut. Wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu juga digunakan, untuk lebih lebih mengerti tentang kehidupan masyarakat di lokasi penelitian dan mendapatkan pengertian dan penjelasan yang lebih mendalam. Untuk mendapatkan penjelasan yang mampu mendukung kajian, peneliti juga menggunakan dan mencanutumkan beberapa literatur, dan tulisan yang dirasa dapat mendukung dalam menjelaskan tentang penelitaian mengenai meunassah ini.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa keberadaan meunasah merupakan

bagian dalam sistem sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh yang umumnya beragama Islam tidak dapat dipisahkan dari keberadaan meunasah yang memiliki fungsi penting dalam kebudayaan mereka. Fungsi meunasah tidak hanya berkaitan dengan fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Bagi masyarakat aceh khususnya di lokasi penelitan, fungsi tersebut juga sebagai, lembaga pendidikan, lembaga politik, tempat berkumpul, dan juga sebagai lembaga peradilan dalam pemerintahan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, juga mempengaruhi meunasah, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu mengubah

pentingnya meunasah sebagai bangunan tradisional Aceh terhadap masyarakat

Aceh itu sendiri.


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT. atas segala berkah, rahmat, dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “meunasah: Suatu Etnografi Tentang Sosial Keagamaan

Masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Paya Bakong

Gampong Tanjong Beurunyong, Nanggroe Aceh Darussalam”.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak, di antaranya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Terkhusus buat Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan juga Bapak Drs. Ermansyah M.Hum. selaku Dosen Pembimbing saya, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing saya selama dari proses penyusunan proposal sampai penulisan skripsi ini selesai, terima kasih atas bekal ilmu yang sangat berharga yang telah Bapak berikan kepada saya, semoga apa yang telah Bapak berikan kepada saya mendapat balasan dari Allah SWT. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Agustrisno, M.SP. sebagai Sekretaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU, terima kasih buat didikannya selama saya melakukan kegiatan perkuliahan. Selanjutnya, kepada Bapak Drs. Zulkifli, M.A. selaku dosen penasihat akademik saya yang telah membimbing saya dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan. Kepada seluruh dosen di Departemen Antropologi yang telah mendidik dan mengajar saya selama proses perkuliahan.


(5)

Kepada seluruh staff di FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi yaitu buat Ibu Nur dan Ibu Dra. Sofiana yang sudah membantu saya dalam mengurus kelancaran administrasi selama dalam masa perkuliahan.

Kepada masyarakat gampong tanjong Beurunyong, khususnya keluarga

Pak Syamsarif, Bu Mala, Shik Aziz, Pak Irwansyah, Pak Ali, Bu Maryam dan Pak

Rusli, serta teman-teman se-Meunasah Tanjong Beurunyong, atas segala

keramahan, dan murah hati yang telah memberi saya izin untuk tinggal beberapa waktu serta kerjasamanya sehingga penelitian skripsi ini dapat di selesaikan.

Terkhusus untuk Ruri Maidany yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada saya selama proses menyelesaikan skripsi ini, terima kasih buat perhatian, kasih sayang, cinta dan kesabaran yang telah diberikan sehingga saya bisa kuat dalam mengerjakan skripsi ini hingga selesai. Tidak lupa tentunya buat sahabat-sahabat saya yaitu Badai Adra Sikumbang, Denny Nitra Silaen S. Sos, Elmanuala Pasaribu, Firman Januari Tambunan, Muhammad Ziad Ananta S. Sos. , Wilfrit Syahputra Silitonga, Rikky E. S. S.Sos, saya pasti merindukan saat-saat bersama kalian di kampus. Semoga kita bisa sukses. Tetap semangat untuk bisa menaklukkan dunia. Buat sahabat-sahabatku seluruh mahasiswa Antropologi FISIP USU, khususnya teman seperjuangan saya stambuk 2006 yang telah terlebih dahulu menggapai gelar S.Sos yaitu: Ayu, Helena, Aroz, Rere, Benny, Sari, Inggrid, Enny, Fadli, Melda, Gaby, Kevin, Noprianto, Yani, Mardiana, Santa, Ruli, Lasmi, Atika, Lisnawati, Danur. Kemudian juga teman-teman seperjuangan saya yang masih sana-sama berjuang untuk menggapi gelar Sarjana


(6)

Sosial yaitu Hendra Gunadi, Rikardo, Hemalea, Look Sun, Erika, Fika, Fian, Desy, Charles, tetap semangat dalam menggapai tujuan.

Buat abanda dan kakanda di Antropologi Kak Fida, Kak Yeni, Kak Risa, Bang Ando, Bang Hedo, Bang Darwin, Bang Iwan, Bang Abu, Bang Tasvin, dan adik-adik junior stambuk 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 di FISIP Antropologi yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu saya ucapkan terima kasih. Untuk Maria, Putri, Arni, Dea, Helen, Mila, Uti, Radin, Edo, Icha, Indri, Santa, Surya, Nunu, Anugrah, untuk segala semangatnya yang ditularkan.

Untuk teman-teman di Java-Net, terkhusus untuk Bang Boby yang telah menberi kesempatan bekerja dan internet selama proses penulisan skripsi ini, untuk operator Didi, Galih, Jani, Rizki, yang pernah bersama-sama selama beberapa bulan. Untuk Rahmat, Awi, Bukhori, Juli, dan teman-teman lainnya yang telah menjadi penghibur untuk segala kondisi.

Teristimewa buat kedua orangtuaku yang sangat kucintai, Abah Azwir dan Mama Tehdi, terima kasih yang tak terhingga atas segala pengorbanan, cinta dan kasih sayang tulus dalam membesarkan dan mendidik Abdi dengan penuh kasih sayang. Membuat kalian berdua bahagia dan selalu tersenyum adalah impianku. Doakan selalu anakmu ini. Untuk ketiga adikku tersayang, Husna Rahmayani, Ilham Maulana, dan Alya Namira Khairunnajah, terima kasih atas dukungan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan, doakan abang sukses ya! setelah ini. Tidak lupa juga buat kakek dan nenekku tersayang dan seluruh keluarga di Medan, Batubara, dan Aceh. Tetap sehat selalu, agar dapat melihat Abdi sukses.


(7)

Kiranya Allah SWT. dapat membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada saya. Menyadari akan keterbatasan saya, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini sangat saya harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012 Penulis,


(8)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Oemar Abdillah, lahir pada tanggal 10 September 1988 di Medan, Sumatera Utara. Beragama Islam, Anak Pertama dari Empat bersaudara dari pasangan ayahanda bernama Azwir dan ibunda bernama Tehdi S.Pd.

Pendidikan pendidikan formal penulis; SD Muhammadiah 12 Medan (1994-2000), SLTP Negeri 30 Medan (2000-2003), SMA Negeri 12 Medan; Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara (2006-2012).


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratan tersebut peneliti telah menyusun sebuah skripsi dengan judul Meunasah (Suatu Etnografi

Tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Kab. Aceh Utara Kec. Paya Bakong).

Ketertarikan penulis pada untuk membahas tentang budaya aceh khususnya pada meunasah diawali dari penggunaan kata meunasah sehari-hari

dalam bahasa Aceh. Kata meunasah yang tidak hanya menunjuk pada sebuah

bangunan ibadah tapi juga menunjuk menjadi nama gampong dimana meunasah

itu didirikan. Dari penelusuran berikutnya, ternyata bagi masyarakat aceh sendiri

meunasah menjadi bagian penting dalam kehidupan religi dan social masyarakat aceh itu sendiri.

Dalam skripsi ini peneliti akan memaparkan bagaimana pentingnya keberadaan meunasah dalam sebuah gampong dan segala aktifitas masyarakat

yang berada di lingkungan meunasah. Dengan menggunakan teknik etnografi

dalam antropologi, peneliti akan menjelaskan bagaimana sebuah bangunan rumah ibadah seperti meunasah menjadi sentral dalam banyak aktifitas yang dilakukan. Penelitian ini juga akan menjelaskan bagaimana meunasah tidak hanya sebagai tempat pemenuhan kebutuhan religi (agama) khususnya Islam di Aceh, tetapi juga


(10)

sebagai lembaga pendidikan, sosial, hukum, dan menjadi tempat berkumpul masyarakat dalam banyak aktifitas di dalam gampong.

Akhirnya, peneliti berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, materi, dan pengalaman peneliti. Peneliti sebagai penulis skripsi ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, mengharapkan kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang bersifat membangun dari berbagai pihak untuk menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Juli 2012 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ...

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ...i

ABSTRAK ...ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

RIWAYAT HIDUP ...vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ISTILAH...xii

BAB I. PENDAHULUAN……….……...1

1.1. Latar Belakang Masalah……….………...1

1.2. Rumusan Masalah……….…...………. ..4

1.3. Lokasi Penelitian………...….………...4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….……...………….5

1.5. Tinjauan Pustaka………...….………...5

1.6. Metode Penelitian………..…….………...12

BAB II. GAMBARAN UMUM GAMPONG TANJONG BEURUNYONG.19 2.1. Kondisi dan Demografi Gampong Tanjong Beurunyong………19

2.1.1.Sejarah Gampong Tanjong Beurunyong..………..19

2.1.2.Kondisi Geografis Gampong Tanjong Beurunyong……...20

2.1.3.Jumlah Penduduk………..……….22

2.1.4.Pendidikan………..………...23

2.1.5.Mata Pencaharian………...………25

2.1.6.Kesehatan………..……….27

2.1.7.Peribadatan………...28

2.2. Sarana dan Prasarana Gampong Tanjong Beurunyong………….29

2.3. Stratifikasi Sosial………..….31

2.4. Pola Pemukiman………..………..32

2.5. Sistem Pemerintahan………..………...33

BAB III. PROFIL MEUNASAH………..………...40

3.1. Sejarah dan Arti Meunasah Bagi Masyarakat Aceh………..40

3.2. Arsitektur Meunasah………...44

3.3. Kepengurusan Meunasah Tanjong Beurunyong…………...….…48

3.4. Hari-hari Besar di Meunasah Tanjong Beurunyong………..51

BAB IV. FUNGSI MEUNASAH……….54

4.1. Adat dan Hukum……….…54

4.2. Program dan Kebijakan yang Berkaitan dengan Meunasah...…...60


(12)

4.3.1. Meunasah sebagai Tempat Meunasah Sebagai Tempat Sholat63

4.3.2. Meunasah sebagai Tempat Mengaji...64

4.3.3. Khauri (Kenduri)………...………...67

4.3.4. Meunasah sebagai Tempat Berkumpul dan Balai Serba Guna.68 4.3.4.1. Meunasah sebagai Tempat Musyawarah dan Mufakat69 4.3.4.2. Meunasah tempat Menginap Laki-laki Lajang...70

4.3.4.3. PKK, Posyandu, dan PAUD………..…..71

4.4. Perubahan di Gampong Tanjong Beurunyong………..………..73

BAB V. KESIMPULAN……….…..…...79

DAFTAR PUSTAKA………83 LAMPIRAN………


(13)

DAFTAR ISTILAH

Amar ma’ruf nahi mungkar (arab) Menjalankan yang baik menjauhi yang buruk

Baleë Tempat anak kecil belajar agama dan mengaji

Cut gelar atau panggilan bangsawan perempuan

Dayah lembaga pendidikan agama lanjutan di Aceh

Gampong Kampung/desa

Imam rawatib, imeum meunasah Sebutan untuk ahli agama yang memimpin

meunasah Kaur kepala urusan

Keuchik Kepala Desa

Keujreun blang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan

Khauri Kenduri

Lubok, seunubok lubuk

Meunasah Musolla

Muge Agen pengumpul hasil-hasil pertanian

Mukim Kumpulan/federasi beberapa gampong Petua Seneubok memimpin dan mengatur ketentuan adat

tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan

Qanun hukum, undang-undang

Shik Kakek

Tengku gelar untuk ahli agama

Teuku gelar untuk bangsawan

Teuku Imeum panggilan untuk imeum rawatib/meunasah Tuha peut Lembaga permusyawaratan gampong


(14)

ABSTRAK

Meunasah (Suatu Etnografi tentang Sosial Keagamaan Masyarakat Aceh di Gampong Tanjong Beurunyong Kec. Paya Bakong Kab. Aceh Utara)

Oemar Abdillah, 2012. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 82 halaman, 7 gambar, 14 daftar pustaka, 10 artikel (internet).

Kajian tentang “meunasah” berfokus pada fungsi meunasah dalam

masyarakat Aceh. Lebih detailnya menjelaskan tentang kemunculan meunasah

dalam kehidupan masyarakat, arti meunasah, fungsi, dan perubahannya.

Penelitian ini mengambil lokasi di Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan

Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Penelitian ini menggambarkan pentingnya

meunasah dan bagaimana masyarakat gampong memfungsikan meunasah dalam aktifitas sehari-hari.

Pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan etnografi dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi partisipasi untuk melihat, aktifitas-aktifitas yang

dilakukan masyarakat gampong dalam kesehariannya, khususnya yang

berhubungan dengan meunasah dimana peneliti ikut juga dalam melaksanakan

aktifitas tersebut. Wawancara mendalam, dan wawancara sambil lalu juga digunakan, untuk lebih lebih mengerti tentang kehidupan masyarakat di lokasi penelitian dan mendapatkan pengertian dan penjelasan yang lebih mendalam. Untuk mendapatkan penjelasan yang mampu mendukung kajian, peneliti juga menggunakan dan mencanutumkan beberapa literatur, dan tulisan yang dirasa dapat mendukung dalam menjelaskan tentang penelitaian mengenai meunassah ini.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa keberadaan meunasah merupakan

bagian dalam sistem sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh yang umumnya beragama Islam tidak dapat dipisahkan dari keberadaan meunasah yang memiliki fungsi penting dalam kebudayaan mereka. Fungsi meunasah tidak hanya berkaitan dengan fungsi utamanya sebagai rumah ibadah. Bagi masyarakat aceh khususnya di lokasi penelitan, fungsi tersebut juga sebagai, lembaga pendidikan, lembaga politik, tempat berkumpul, dan juga sebagai lembaga peradilan dalam pemerintahan adat. Perubahan-perubahan yang terjadi seiring perjalanan waktu, juga mempengaruhi meunasah, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu mengubah

pentingnya meunasah sebagai bangunan tradisional Aceh terhadap masyarakat

Aceh itu sendiri.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Asal kata meunasah berasal dari kata madrasah pada tempo dulu,

madrasah sendiri dalam bahasa Arab berarti lembaga pendidikan atau sekolah

pesat, dan bangunan pendidikan telah didirikan, maka namanya berubah menjadi

meunasah. Tripa meunasah dapat dilihat dalam tiga dimensi: yaitu hubungan manusia dengan Tuhan-Nya (Hablumminallah), hubungan manusia dengan manusia lainnya (Hablumminannas), dan interaksi manusia dengan lingkungan.

Secara fisik meunasah dapat diartikan sebagai rumah ibadah bagi umat Islam yang dapat disamakan dengan dengan musholla. Secara arsitektur meunasah

harus membujur dari Utara ke Selatan sekaligus, agar masyarakat mengetahui ke mana arah kiblat shalat sesuai dengan fungsinya sebagai rumah ibadah, sehingga

para tamu yang berdatangan ke suatu kampung/gampong langsung dapat

membedakan rumah dengan meunasah

meunasah-meunasah tradisional biasanya berbentuk rumah panggung seperti

rumah adat masyarakat Aceh. Sebagai rumah ibadah meunasah memiliki

fungsi-fungsi keagamaan antara lain: sebagai tempat dakwah dan diskusi mengenai Islam, serta tempat pendidikan agama Islam, khususnya mengaji. Fungsi lain


(16)

yang sudah baligh (dewasa) dan tidak memiliki tempat tinggal tetap. Hal yang sama juga ditemukan pada masyarakat Minangkabau, dimana surau dalam ketentuan adat juga berfungsi sebagai tempat menginap bagi laki-laki yang telah baligh dan duda.

Pada saat ini meunasah merupakan tempat pendidikan masyarakat,

pembinaan, dan mengembangkan diri dalam hal keterampilan, seni dan olahraga

khususnya pada generasi muda mereka. Meunasah menjadi tempat para pemuda

berlatih kegiatan seni seperti tari dan musik, sedangkan lantai bawah meunasah

atau halaman meunasah yang cukup luas digunakan sebagai tempat berlatih olah raga.

Dalam percakapan sehari-hari meunasah juga dapat diartikan sama dengan

gampong (kampung/desa). Meunasah sebagai sebuah gampong atau desa merupakan sebuah kesatuan administratif terkecil dalam masyarakat Aceh.

Dalam bidang politik dan hukum bangunan meunasah sendiri merupakan pusat

administratif pemerintahan dari sebuah gampong (desa). Umumnya tiap-tiap

gampong atau kampung di Aceh memiliki satu meunasah, hal ini sesuai dengan

Qanun al Asyi (UUD Kerajaan Aceh). Hasjmy (1995) menjelaskan bahwa:

“disyaratkan pada tiap-tiap kampung didirikan satu meunasah

dalam sistem masyarakat Aceh. Untuk mengelola meunasah

diangkat seorang keuchik dan seorang wakilnya, empat tuha peut, dan satu orang imuem rawatib, maka pekerjaan sekalian mereka itu yang tersebut, yaitu mengerjakan amar makruf nahi mungkar, dan mengurus hal rakyat dengan adil pada tempatnya masing masing atas pekerjaan yang kebajikan”.


(17)

Meunasah biasanya juga merupakan tempat diadakannya segala kegiatan kemasyarakatan seperti musyawarah dan mufakat yang diadakan para pemangku

kekuasaan di gampong. Kegiatan-kegiatan seperti Posyandu, dan PKK, juga

biasanya diadakan di meunasah. Meunasah merupakan tempat masyarakat dalam menyelesaikan masalah sengketa/damai dan permasalahan hukum-hukum adat.

Meunasah terkadang juga menjadi tempat masyarakat menjalankan kegiatan

ekonomi masyarakat. Pada meunasah-meunasah yang memiliki halaman yang

cukup luas, masyarakat menggunakan halaman tersebut sebagai tempat menjemur hasil-hasil pertanian seperti kakao (coklat), padi dan kopi sehingga terkadang transaksi antara petani dan muge (pengumpul/agen), sedangkan pada daerah yang

merupakan daerah tujuan wisata meunasah juga menjadi tempat menginap bagi

tamu.

Pada saat ini fungsi-fungsi tersebut beberapa telah mulai berubah. Pendidikan agama dan mengaji khususnya pada anak usia dini tidak lagi dilakukan di meunasah, tetapi telah diserahkan ke balee (balai-balai) pengajian,

dayah, pesantren dan sekolah umum. Pendidikan pada anak masih dilakukan tetapi dalam bentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Para pemuda khususnya laki-laki yang telah baligh-pun untuk menginap dan bersosialisasi mulai jarang terlihat di meunasah. Mereka kini lebih menggunakan meunasah sebagai tempat

kegiatan seni dan pengembangan diri. Walaupun demikian meunasah masih

menjadi pusat dari segala kegiatan dalam sebuah gampong khususnya di

bidang-bidang pemerintahan. Meunasah masih menjadi tempat berkumpulnya masyarakat


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini bagaimana keberadaan meunasah sebagai salah satu unsur dari sistem sosial budaya masyarakat Aceh? Permasalahan ini diuraikan ke dalam lima pertanyaan penelitian yakni:

1. Sejak kapan meunasah ada dalam kehidupan masyarakat Aceh?

2. Apa arti meunasah bagi masyarakat Aceh? 3. Apa fungsi meunasah?

4. Apa fungsi meunasah yang berubah dari sebelumnya?

5. Bagaimana meunasah menjadi bagian penting dalam sosial religi

masyarakat Aceh?

1.3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih dalam melakukan penelitian ini adalah

Gampong Tanjong Beurunyong Kecamatan Payabakong Kabupaten Aceh Utara. Kecamatan ini terdiri dari 39 desa atau gampong. Alasan dipilihnya lokasi adalah karena lokasi tidak terlalu jauh dengan ibukota kecamatan dan masih banyak terdapat meunasah tradisional pada lokasi kecamatan yang dipilih. Selain itu antara informan dan peneliti telah terjalin rapport sebelumnya di lokasi penelitian, sehingga lebih memudahkan bagi peneliti untuk mengambil data.


(19)

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang fungsi meunasah

sebagai bagian penting dalam sosial religi masyarakat Aceh. Selanjutnya dengan

diketahui pentingnya arti meunasah bagi masyarakat Aceh dalam kehidupan

mereka semoga dapat lebih memahami kebudayaan mereka. Secara akademis,

penelitian ini bertujuan lebih memperdalam pengetahuan dalam menjelaskan

tentang masyarakat Aceh khususnya yang berkaitan tentang meunasah dalam

bidang Antropologi. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat Aceh ataupun yang

berhubungan dengan meunasah.

1.5. Tinjauan Pustaka

Aceh merupakan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh agama Islam.

Hampir semua segi dalam kehidupan diatur berdasarkan ajaran syariat Islam.

Meunasah sebagai salah satu bentuk rumah ibadah bagi umat Islam hanya ada di Aceh (sepengetahuan peneliti). Tidak ada rujukan khusus tentang meunasah yang bersifat internasional seperti masjid karena ia hanya dipergunakan oleh orang

Aceh saja. Untuk itu definisi yang membumi untuk meunasah memang sulit

didapati dalam kamus-kamus internasional. Demikian juga dengan istilah surau dan langgar, secara harfiah ia mempunyai makna dan definisi yang berlainan sesuai dengan latar belakang bangsa yang menggunakannya saja


(20)

Terdapat beberapa tulisan yang menjelaskan dan memperdalam pengertian

tentang meunasah. Usman (2002) menjelaskan dalam Qanun Meukuta Alam

Al-asyi, bahwa kerajaan Aceh tersusun dari, gampong-gampong

(kampong/kelurahan), mukim (federasi gampong-gampong), nanggroe

(kecamatan), sagoe (federasi dari beberapa nanggroe dan kerajaan/negara).

Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang keuchik dan

seorang Imam Rawarib dengan dibantu oleh staf yang bernama tuha peut.

Pemeritahan gampong ini mendapat hak otonomi yang luas. Suatu gampong

mempunyai meunasah sebagai tempat pertemuan atau musyawarah yang

berhubungan dengan kesejahteraan desa (www.serambinews.com)

Meunasah sangat terikat dengan kehidupan gampong, karena gampong

sendiri merupakan unit persekutuan masyarakat hukum yang menurut Vallenhoven dapat dimanfaatkan untuk mengetahui hukum, menyelidiki sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat dikuasai oleh hukum (www.acehforum.or.id). Meunasah adalah

sentral pengendali proses interaksi sosial masyarakat, karena menciptakan

kesejahteraan sesama manusia dalam komunitas gampong (warga kampung),

sehingga melahirkan adat istiadat dan tatanan adat.

Zulfah menyebutkan meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik

dalam sistem budaya Aceh merupakan simbol/logo identitas ke-Acehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar sumber daya alam masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois, dan sakralis. Fungsi lembaga ini


(21)

memiliki muatan nilai-nilai energis, Islamis, dan menjadi sumber inspiratif. Semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta

menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi meunasah menjadi sentral

pembangunan masyarakat (social communication) dan fungsi mesjid menjadi

sentral komunikasi (two traffic communications, hablum minallah dan hablum

minannas). Menurut Ismail (2002) fungsi meunasah antara lain: 1. Sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah

2. Sebagai tempat dakwah dan diskusi

3. Sebagai tempat musyawarah/mufakat

4. Sebagai tempat penyelesaian sengketa/damai

5. Sebagai tempat pengembangan kreasi seni

6. Sebagai tempat pembinaan dan posko generasi muda

7. Sebagai tempat forum asah terampil/olahraga

8. Sebagai tempat pusat ibukota/pemerintahan gampong.

Fungsi menurut Radclife-Brown dalam (Koentjaraningrat:1987) menjelaskan bahwa fungsi sosial ialah kontribusi suatu unsur terhadap unsur lainnya sehingga sistem kebudayaan/organisasi dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut penulis menggunakan pandangan

Redcilff-Brown mengenai fungsi dalam mengkaji penelitian ini. Meunasah

sebagai sebuah bangunan ibadah tidak hanya sebagai tempat untuk melaksanakan

segala kegiatan keagamaan bagi masyarakat Aceh. Meunasah menjadi

kebututuhan bahkan menjadi syarat dalam berdirinya sebuah gampong. Meunasah


(22)

solidaritas mereka melalui pemanfaatan fungsinya dihampir segala bidang kehidupan, baik itu dalam bidang religi, sosial, politik, budaya, dan pendidikan, serta segala interaksi yang dilakukan di dalamnya.

Malinowski dalam (Koentjaraningrat, 1987:171) menjelaskan fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks, tetapi inti dari fungsi unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah pendirian bahwa segala aktifitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Lebih jelas dicontohkan seperti meunasah sebagai rumah ibadah dalam masyarakat yang digunakan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan religi masyarakat.

Kemudian Malinowski membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1982:167) yaitu:

1. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh tingkah laku manusia dan pranata sosial dalam masyarakat. 2. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi kedua

mengenai pengaruh suatu kebutuhan suatu adat yang sesuai dengan konsep masyarakat yang bersangkutan.

3. Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Berdasarkan teori Malinowski di atas peneliti mencoba memahami bagaimana fungsi sosial meunasah berpengaruh dalam pranata sosial yang ada di


(23)

gampong dapat mempengaruhi tingkah laku masyarakat yang terdapat di lokasi, dan bagaimana arti meunasah bagi masyarakat yang diteliti di lokasi penelitian. Dalam teorinya fungsi tersebut kemudian menjadi kebutuhan, dalam

permasalahan penelitan, peneliti ingin menjelaskan bagaimana fungsi meunasah

berintegrasi tidak hanya pada kebutuhan akan adanya lembaga agama, tetapi kemudian mencakup juga sebagai lembaga sosial, hukum, pendidikan di dalam

masyarakat yang berlangsung dalam sistem kelembagaan masyarakat gampong

yang terjadi di lokasi penelitian.

Masyarakat Aceh banyak dipengaruhi oleh agama Islam dalam kehidupannya. Islam sebagai agama berpedoman pada Al-Quran dan Hadist yang mengatur tata kehidupannya. Dalam Al-Quran dikatakan :

“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, menuaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. At-Taubah:18).

Menurut Syarifudin, adapun kata “memakmurkan” adalah salah satu arti dari sebuah kata dalam bahasa Arab yang juga memiliki banyak arti di antaranya: menghuni (mendiami), menetapi, menyembah, mengabdi (berbakti), membangun (mendirikan), mengisi, memperbaiki, mencukupi, menghidupkan, menghormati dan memelihara. Dengan demikian, yang dimaksud “memakmurkan masjid” adalah membangun dan mendirikan masjid, mengisi dan menghidupkannya dengan berbagai ibadah dan ketaatan kepada Allah, menghormati dan memeliharanya dengan cara membersihkannya dari kotoran-kotoran dan sampah serta memberinya wewangian (http://abumushlih.com).


(24)

Fungsi-fungsi meunasah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu, walaupun perubahan tersebut tidak terlalu mempengaruhi fungsinya sebagai pemersatu solidaritas masyarakat. Perubahan dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1999) berarti hal yang berbeda dari sesuatu (sebelumnya), pertukaran, peralihan dan sebagainya. Dalam hal ini berarti terjadi pertukaran atau peralihan fungsi dari meunasah dari yang sebelumnya hingga saat ini.

Faktor yang melatarbelakangi perubahan yang terjadi dalam fungsi

meunasah karena adanya perubahan sistem nilai budaya atau gagasan kolektif yang terjadi di masyarakat Aceh. Perubahan sisem nilai ini terjadi akibat adanya pengaruh dari interaksi yang dilakukan dengan budaya luar. Perubahan sistem nilai pola kehidupan masyarakat, seperti perubahan menetap, dan bentuk pendidikan.

Perubahan sistem nilai dalam kebudayaan mempengaruhi bentuk pendidikan yang terjadi di meunasah. Geertz dalam (Sairin:2002) menjelaskan perubahan tersebut dalam dua pola untuk memahami masyarakat yang diteliti. Geertz menyebut kedua model itu sebagai model for (pola bagi) yaitu pola yang berupa pola dari sistem pengetahuan, gagasan dan cita-cita dari suatu masyarakat tentang bagaimana seharusnya dan sebaiknya. Kedua adalah model of (pola dari) yaitu pola kehidupan yang hidup dalam realitas masyarakat, yang kadang-kadang tidak jelas kaitannya dengan ‘pola bagi’. Dapat dijelaskan bahwa ‘pola bagi’ ini merupakan ide-ide ataupun gagasan yang ada di dalam masyarakat, sedangkan


(25)

‘pola dari’ adalah hasil dari kebudayaan, baik itu tingkah laku maupun kebudayaan material.

Sairin menjelaskan dalam bukunya, sistem pendidikan Islam tradisional

seperti pesantren dan meunasah itu telah mampu menjalankan misinya untuk

mencapai sasaran yang dikehendaki sesuai dengan ‘pola bagi’ yang dikehendaki masyarakat. Namun perkembangan kemudian sistem pendidikan ini mengalami pelbagai perubahan. Sistem pendidikan pesantren dan meunasah dipandang telah bergeser dan tidak lagi dapat sepenuhnya memenuhi isi ‘pola bagi’ masyarakat. Ini akibat sistem pendidikan tradisional telah terseret pada dinamika kehidupan masyarakat yang tergambar dari sistem gagasan yang terdapat dalam pandangan ‘pola dari’ masyarakat (Sairin, 2002:37-38 ).

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat desktriptif. Penelitian ini mendeskripsikan data kualitatif sebagai data utama dalam menjelaskan segala permasalahan nantinya. Data yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa, internet dan berbagai tulisan yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Data primer yang didapat merupakan data yang diperoleh selama berada di lokasi penelitian dan hidup bersama masyarakat yang diteliti lebih kurang selama dua bulan. Data yang diperoleh observasi dilakukan terlebih dahulu oleh peneliti


(26)

untuk melihat kondisi lapangan penelitian dan kesesuaian dengan data awal yang diperoleh melalui data sekunder yang ada. Observasi juga digunakan untuk menyesuaikan data wawancara yang ada dengan kondisi di lapangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi. Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan, istilah “etnografi” digunakan untuk menunjuk aktifitas mempelajari kebudayaan dan dengan produk akhir “sebuah etnografi” (Spradley, 1997:21). Dalam metode etnografi, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi dan wawancara. Metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi yaitu: pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2008:116). Dengan begitu maka peneliti dapat melihat secara langsung dengan melibatkan diri dalam kegiatan yang diamatinya.

Hal yang peneliti lakukan dengan observasi partisipasi yaitu dengan tinggal dan menetap di lokasi penelitian selama dua bulan. Dalam hal ini peneliti tinggal di rumah kepala desa yaitu Bapak Syamsarif. Tujuan observasi partisipasi dalam metode etnografi sebenarnya adalah agar peneliti bisa mengakrabkan diri dengan objek yang akan diteliti sehingga dapat menjalin rapport dengan objek yang diteliti. Rapport dengan objek yang diteliti sangat diperlukan agar data yang didapat merupakan data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.

Rapport antara peneliti dan beberapa informan dalam penelitan ini telah terjalin sebelum peneliti melakukan penelitian. Selama menjalin rapport dengan informan peneliti tinggal dan melakukan aktifitas yang hampir sama dengan


(27)

penduduk yang berada di lokasi selama kurang lebih dua bulan, yaitu sekitar awal bulan Agustus sampai akhir September 2011. Alasan pemilihan waktu penelitian adalah peneliti ingin mengobservasi aktifitas-aktifitas yang terjadi di meunasah

dan sekitarnya, antara sebelum dan saat bulan Ramadhan yang mana biasanya aktifitas di meunasah ini lebih banyak dari biasanya.

Selama penelitian ini peneliti tinggal bersama keluarga Bapak Syamsarif

yang merupakan Keuchik Tanjong Beurunyong. Selama di lokasi penelitian

peneliti hampir selalu ikut pada aktifitas sholat berjamaah dan aktifitas umum keluarga Bapak Syamsarif seperti memanen (coklat) kakao, ke sawah saat panen tiba, atau aktifitas di rumah bersama Bu Malahayati yang merupakan istri Pak

Keuchik. Melalui aktifitas sholat berjamaah yang biasa di jalankan setiap sore atau

Magrib sampai Isya, peneliti kemudian menjalin rapport dengan

informan-informan lain yang juga merupakan perangkat-perangkat gampong seperti kaur, dan imeum yang biasa mengikuti sholat berjamaah. Informan lain yaitu pemuda-pemuda setempat antara lain Jufri dan Zulfan juga peneliti kenal dari aktifitas sholat berjamaah. Jufri dan beberapa orang temannya hampir selalu hadir untuk sholat berjamaah. Rapport dengan informan-informan ini awalnya terjalin dari

hanya mengikuti keuchik. Sekitar seminggu peneliti mengikuti aktifitas ini,

peneliti mulai mengenal dan dikenalkan dengan informan-informan tersebut, dan para informan pun sudah tidak sungkan saat bercerita sesuatu ataupun saat peneliti bertanya sejak peneliti memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan berada di lokasi penelitian. Beberapa dari informan masih merupakan kerabat keuchik, yang


(28)

mendekati informan-informan ini tidak terlalu sulit kerena seringnya bertemu dalam aktifitas mereka sehari-hari. Informan tersebut antara lain Bu Maryam yang

merupakan salah satu kader posyandu, Irwansyah yang juga menjabat kaur

(kepala urusan) umum, dan Shik (sebutan untuk kakek) Teuku Azis yang

merupakan mantan keuchik dan salah satu tuha peut Gampong Tanjong

Beurunyong, dan Bu Nurmala yang juga pengurus PKK. Alasan pemilihan-pemilihan informan ini karena terdapat beberapa aktifitas dari informan yang rutin

dilakukan di meunasah, dan juga masih berhubungan dengan peran dan fungsi

meunasah yang ingin peneliti ketahui dalam penelitian.

Menjalin rapport antara informan dan peneliti penting dalam penelitian antropologi. Hal ini untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan kondisi lokasi penelitian. Pentingnya rapport juga bertujuan untuk memperoleh data sesuai dengan pandangan masyarakat setempat, terhadap masalah penelitian yang diajukan, dan merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat yang diteliti.

Dalam mengumpulkan data peneliti menggunakan teknik wawancara. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin,2008).

Pada tahap awal wawancara di lapangan, peneliti mewawancarai Keuchik

Tanjong Beurunyong untuk memperoleh gambaran umum di lokasi penelitian, wawancara yang peneliti lakukan untuk memperoleh data ini dilakukan beberapa


(29)

kali sambil melakukan aktifitas-aktifitas bersama di kebun, dan sawah, ataupun pada waktu senggang di rumah bersama Bu Nurmala. Untuk memperoleh data ini

keuchik memberikan buku tentang data desa yang ada di dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Desa. Data tentang aktifitas masyarakat dimulai dengan observasi selama sekitar dua minggu, yang dilakukan sejalan untuk mencari informan-informan yang sesuai dengan permasalahan yang ingin diteliti.

Untuk mengetahui tentang sejarah gampong peneliti juga mewawancarai

Shik Teuku Azis yang mengetahui tentang sejarah awal gampong dan pernah menjadi keuchik selama beberapa kali pada masa orde baru. Terdapat beberapa

masalah dalam wawancara mencari sejarah gampong, khususnya yang

berhubungan dengan tahun-tahun dalam sejarah awal gampong, karena pengaruh

usia informan.

Setelah melakukan observasi selama beberapa di meunasah peneliti mulai

menetapkan beberapa informan berikutnya antara lain Teuku

Imeum, Kader Posyandu dan PKK. Pemilihan Informan Teuku Imeum dirasa penting karena Teuku Imeum berdasarkan Qanun Aceh sepengetahuan peneliti

bertanggung jawab terhadap kepengurusan meunasah. Sedangkan Kader

Posyandu dan PKK dipilih karena dari hasil observasi hampir di setiap gampong

di Kecamatan Payabakong pada bagian depan meunasah terdapat papan nama

PKK dan Posyandu Desa.

Untuk menemui teuku imeum yaitu Tengku Ali, terdapat kendala karena

tengku biasa hanya terlihat pada saat sholat Magrib di meunasah dan langsung kembali setelah Isya, dan tidak datang setiap hari, karena rumahnya berada di


(30)

ujung gampong. Pada saat imeum tidak datang maka di cari imeum pengganti yang biasa hadir dalam shoat Magrib, biasanya yang menjadi pengganti yaitu

Bapak Irwansyah yang juga kaur gampong, maka peneliti menjadikan beliau

sebagai informan pengganti. Pemilihan informan ini dirasa tepat karena informasi dan data yang peneliti dapat dari antara Pak Irwansyah dan Tengku Ali yang peneliti temui beberapa hari berikutnya di meunasah hampir sama.

Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara yang dibantu dengan alat perekam dan dituangkan dalam catatan lapangan. Dalam hal ini peneliti melihat interaksi, peristiwa, dan kegiatan yang dilakukan masyarakat yang terjadi disekitar meunasah. Pemilihan informan yang dibagi menjadi tiga jenis yaitu informan pangkal, informan biasa, dan informan pokok. Menurut J. Moleong (2004) informan pangkal adalah informan yang akan membuka wawancara yang akan diketahui. Sedangkan informan kunci adalah, informan yang mengetahui secara mendalam tentang permasalahan yang diteliti. Peneliti menganggap semua informasi dari setiap informan penting, karena setiap informan memiliki pegetahuan yang berbeda. Setiap informasi yang didapat dianggap penting untuk mengetahui kondisi sosial religi masyarakat. Agar dapat lebih memahami dan mengerti tentang kehidupan di masyarakat lokasi penelitian, peneliti tinggal di lokasi dan hidup bersama masyarakat selama kurang lebih dua bulan.

Informan yang kunci yang dipilih peneliti dalam skripsi ini yaitu keluarga

Keuchik Gampong Tanjong Beurunyong, teuku imeum, salah seorang tuha peut gampong, pengurus atau kader PKK, dan salah satu kepala urusan di gampong.


(31)

Selai itu terdapat beberapa warga gampong yang menjadi informan biasa. Wawancara yang peneliti lakukan tidak hanya wawancara berdasarkan interview guide, peneliti lebih banyak melakukan penelitian sambil lalu dalam

mengumpulkan data. Wawancara banyak dilakukan saat informan dan peneliti

melakukan aktifitas bersama, seperti saat berbincang seusai sholat, atau saat duduk santai bersama dengan informan.

Untuk mendukung penelitian ini peneliti juga menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan berupa, data-data yang diperoleh dari, lembaga-lembaga resmi di kantor kecamatan ataupun dari keuchik setempat, hasil-hasil penelitian, tulisan, jurnal, artikel ataupun buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Pencarian data berupa data pustaka digunakan untuk lebih memahami tentang adat, aturan dan kebiasaan yang ada di masyarakat. Penggunaan dan analisa data pustaka ini dilakukan sebelum dan sesudah penelitian lapangan.

Teknik analisa data yang digunakan dalam menganalisa tentang fungsi

meunasah adalah tehnik analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan wawancara dalam tema-tema yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Data yang diperoleh diuraikan dalam bentuk deskriptif. Analisa data dilakukan sejak awal penelitian di lapangan dan pengumpulan data sampai pada saat penulisan.

Data yang dianalisis dalam penelitian ini tidak hanya data yang merupakan hasil observasi dan wawancara. Data yang dikumpulkan juga di sesuaikan dengan data tulisan dan literatur dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tema


(32)

permasalahan yang diangkat, baik itu hasil penelitian, tulisan-tulisan yang

berhubungan dengan adat Aceh, dan undang-undang atau Qanun yang berlaku

disana.

Data literatur tersebut digunakan sebelum dan sesudah berada di lapangan. Literatur sebelum di lapangan digunakan untuk mencari tahu tentang gambaran umum, tentang masalah-masalah yang berhubungan penelitian. Penggunaan data-data setelah penelitian dimaksudkan untuk memperdalam pengertian-pengertian tertentu agar lebih memperjelas arti atau aturan tertentu yang berlaku.


(33)

BAB II

`GAMBARAN UMUM GAMPONG TANJONG BEURUNYONG

2.1.Kondisi Geografi dan Demografi Gampong Tanjong Beurunyong

2.1.1. Sejarah Gampong Tanjong Beurunyong

Gampong Tanjong Beurunyong merupakan bagian dari Kecamatan Paya Bakong. Kecamatan Paya Bakong sendiri merupakan kecamatan baru yang berdiri pada tahun 2004. Kecamatan Paya Bakong merupakan pemekaran dari Kecamatan Matang Kuli yang kini telah melepaskan diri.

Tidak diketahui pasti bagaimana awal terbentuknya Gampong Tanjong

Beurunyong. Sejarah terjadinya gampong secara umum adalah suatu ketika

beberapa dekade yang silam, datang sekelompok orang dari beberapa daerah, dikarenakan pada masa itu daerah tersebut tidak memiliki penghuni maka para

pendatang baru tersebut membuka daerah dan menjadikan tempat pemukiman.

Daerah ini umumnya merupakan daratan rendah yang kondisi tanahnya banyak lubuk, dalam bahasa Aceh disebut lubok (seuneubok).

Menurut Syamsarif (informan) , para pembuka dan pendatang gampong ini berasal dari gampong-gampong yang ada di sekitar Tanjong Beurunyong, bahkan

ada yang berasal dari Aceh Tengah. Penduduk awal gampong mungkin datang

dengan tujuan untuk membuka hutan dan lahan pertanian baru yang ada, sehingga mereka memiliki tanah sendiri untuk mencukupi kebutuhan ekonomi mereka. Namun karena jauhnya antara tempat tinggal dan tanah garapan mereka akhirnya mereka menetap di tanah garapan tersebut. Nama Tanjong Beurunyong berasal


(34)

dari nama sejenis tanaman atau pohon yaitu pohon Beurunyong yang dahulu banyak tumbuh di pinggiran sungai batas barat desa, karena itu dinamakan Tanjong Beurunyong.

Tidak diketahui secara pasti kapan gampong ini didirikan secara resmi,

namun menurut Azis (informan) pembangunan gampong mulai ada sejak

Indonesia merdeka sekitar tahun 1946. Dengan adanya gampong masyarakat

mulai mendirikan meunasah kayee (meunasah kayu) dengan bentuk rumah

panggung sebagai pusat dan tempat ibadah masyarakat gampong. Meunasah

didirikan dengan gotong-royong oleh semua masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan mengaji masyarakat. Pada saat masa orde baru, sebutan untuk sebuah gampong masih disebut dengan desa, sebutan gampong dipakai sejak diberlakukannya otonomi khusus di Aceh.

2.1.2. Kondisi Geografis Gampong Tanjong Beurunyong

Gampong Tanjong Beurunyong merupakan salah satu dari 39 gampong

yang terletak di Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara yang berjarak

0,3 Km dari pusat kecamatan. Tanjong Beurunyong adalah salah satu gampong

yang berbatasan langsung dengan ibu kota Kecamatan Keude Chik Paya Bakong. Luas wilayah Gampong Tanjong Beurunyong sekitar 21 Ha. Gampong ini terbagi menjadi tiga dusun, yaitu Dusun Cut Mutia, Dusun Mesjid, Dusun Teuku Di Kada.

Adapun batas-batas dari Gampong Tanjong Beurunyong adalah : Sebelah Utara : berbatasan dengan Gampong Leuhong Kec. Paya Bakong


(35)

Sebelah Timur : berbatasan dengan Gampong Keude Paya Bakong Kec. Paya Bakong

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Gampong Keude Paya Bakong Kec. Paya

Bakong

Sebelah Barat : berbatasan dengan Gampong Blang Aceh Kec. Tanah Luas.

Batas-batas tersebut hanyalah batas-batas administratif desa, sedangkan

secara budaya Gampong Tanjong Beurunyong sama dengan Gampong Leuhong,

Keude Chik atau Kecamatan Tanah Luas. Secara umum keadaan fisik Gampong

Tanjong Beurunyong mayoritas dataran tinggi, dan sisanya daerah persawahan.

Gampong Tanjong Beurunyong juga memiliki memiliki areal persawahan yang cukup luas serta perkebunan masyarakat antara lain: coklat (kakao), pisang, pinang, durian, rambutan, kunyit, langsat, dan lain-lain.

Iklim di Gampong Tanjong Beurunyong, termasuk dalam kategori iklim

tropis (tiga musim) yaitu musim hujan, musim kemarau dan musim pancaroba. Iklim sangat mempengaruhi dalam siklus pertanian masyarakat, dimana masyarakat masih memanfaatkan hujan dalam menanam tanaman pertanian khususnya persawahan. Walaupun terdapat irigasi, tetapi curah hujan masih mempengaruhi banyaknya air yang mengalir ke sawah-sawah mereka. Jika curah hujan tinggi setiap tahun maka kegiatan di sawah dapat dilakukan sekitar dua sampai tiga kali setahun. Musim-musim buah pada tanaman tua yang ada banyak terjadi di bulan Juli sampai Januari, dimana curah hujan lebih tinggi dari biasa.

Akses menuju Kecamatan Paya Bakong maupun gampong hanya dapat


(36)

tersebut dikarenakan tidak adanya transportasi umum yang melalui gampong,

walaupun sarana jalan umum untuk mencapai gampong telah cukup memadai.

Kendaraan umum hanya tersedia sampai pada jalan lintas Sumatera Kota Lhoksukon, kemudian dilanjutkan dengan RBT atau Ojek yang biasa ditemui di setiap persimpangan jalan. Jarak antara Lhoksukon menuju Paya Bakong sekitar 15 Km. Melewati Kecamatan Matangkuli yang dahulu bersatu dengan Kecamatan Paya Bakong. Selain itu jalan menuju lokasi melewati jalan cluster 4 (empat) yang merupakan tambang gas alam dikelola oleh perusahaan Exxon Mobil.

2.1.3. Jumlah Penduduk

Pada tahun 2009 Tanjong Beurunyong merupakan gampong dengan

jumlah penduduk sekitar 257 yang terdiri dari 75 KK (RPJM, 2009-2013). Perbandingan penduduk antara laki-laki dan perempuan adalah 140 banding 117. Dari hasil data statistik jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan. Hal ini dikarenakan jumlah kelahiran anak laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Banyak dari keluarga-keluarga yang memiliki anak lebih dari dua, dan biasanya jumlah anak laki-laki lebih mendominasi, bahkan ada beberapa keluarga yang memiliki anak dua atau tiga yang semuanya laki-laki. Adat istiadat masyarakat Aceh dimana pengantin yang baru menikah tinggal dan dan menetap di sekitar wilayah keluarga istri sehingga menambah jumlah penduduk laki-laki

yang ada di Gampong Tanjong Beurunyong.

Hampir semua penduduk merupakan masyarakat didominasi oleh etnik Aceh, walau pun demikian terdapat beberapa penduduk yang bersuku Gayo. Suku Aceh dan Gayo ini telah hidup berbaur dan tinggal bersama diantara orang-orang


(37)

Aceh disana. Suku-suku diluar Aceh biasanya telah berbaur dan masuk melalui

pernikahan dengan masyarakat di gampong. Sedangkan untuk suku Gayo mereka

telah tinggal lama dan menjadikan mereka sebagai orang Aceh dan di akui oleh masyarakat setempat.

Dalam percakapan sehari-hari masyarakat di lokasi penelitian menggunakan bahasa Aceh. Bahasa Indonesia hanya digunakan ketika berkomunikasi dengan orang luar, atau di tempat-tempat yang lebih formal. Bahkan dalam keadaan yang lebih formal bahasa yang digunakan pun bercampur-campur antara bahasa Indonesia dengan Aceh.

Semua masyarakat beragama Islam, Islam merupakan agama yang mendominasi hampir di seluruh Aceh yang disebut sebagai Serambi Mekah. Agama Islam yang dianut telah ada dari generasi-kegenerasi, dan mempengaruhi budaya mereka mereka sendiri. Bagi masyarakat pendidikan agama Islam merupakan hal yang penting dan diberikan kepada anak sejak usia sedini mungkin. Pemuka-pemuka agama seperti Tengku-tengku, Ustad, dan Syeh, sangat dihormati, lebih dari bangsawan ataupun pemuka adat setempat karena dianggap memiliki ilmu yang lebih didalam masyarakat.

2.1.4. Pendidikan

Pendidikan di Gampong Tanjong Beurunyong belum memadai. Untuk

pendidikan formal hanya terdapat sebuah Taman Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di gampong, sedangkan untuk melanjutkan harus menuju ke ibu kota

kecamatan ataupun gampong-gampong lain disekitarnya. Terdapat beberapa


(38)

sedangkan untuk sekolah lanjutan terbatas pada dua buah SMP, satu Madrasah Tsanawiah, dan satu SMU. Dari data profil desa, diketahui tingkat pendidikan yang di terima masyarakat yaitu, terdapat 40 orang yang tidak tamat SD, 42 orang hanya tamat sampai SD (sederajat), 20 orang tamat SMP (sederajat), 15 orang tamat SLTA (sederajat), dan 4 orang menamatkan perguruan tinggi (RPJM, 2009-2013).

Keterangan di atas menjelaskan bahwa sangat sedikit masyarakat yang mendapat pendidikan formal non-agama, masyarakat lebih cendrung untuk memberikan pendidikan agama pada anak dari pada pendidikan formal non-agama. Sekolah-sekolah dengan latar pendidikan agama seperti madrasah dan

dayah lebih populer dari pada pendidikan formal non-agama. Banyak di antara orang tua mereka yang lebih memilih MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) untuk pendidikan dasar anaknya daripada sekolah formal biasa. Sedangkan pada tingkat lanjutan orang tua banyak yang memilih untuk memasukkan anak mereka ke

dayah. Anak-anak yang memilih untuk melanjut di dayah akan tinggal dan

menetap di dayah selama pendidikan mereka, dan kembali ke rumah ketika

liburan semester atau selama bulan Ramadhan.

Hampir semua anak di Gampong Tanjong Beurunyong diberikan

pendidikan atau pernah mendapat pendidikan agama. Pendidikan ini dapat di berikan dengan mengirim anak-anak ke balee pengajian yang ada di rumah-rumah tengku setiap hari seusai solat Magrib, atau mengirim mereka ke dayah-dayah


(39)

masih rutin dijalankan melalui pengajian-pengajian mingguan di mesjid atau

meunasah yang diajarkan oleh tengku-tengku setempat.

2.1.5. Mata Pencaharian

Perekonomian Gampong Tanjong Beurunyong secara umum masih di

dominasi pada sektor pertanian yang sistem pengelolaannnya masih bersifat tradisional (pengolahan lahan, pola tanam, maupun pemilihan komoditas produk pertaniannya), walaupun dalam penerapannya beberapa peralatan moderen telah digunakan. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak terdapat lahan pertanian

dan perkabunan yang mengelilingi Gampong Tanjong Beurunyong. Untuk lahan

basah masih monoton pada penanaman padi. Hampir semua masyarakat masih tergantung pada mata pencaharian ini, walaupun ada beberapa yang memiliki mata pencaharian lain sebagai mata pencaharian pokok tetapi sektor pertanian tidak pernah ditinggalkan. Sehingga banyak masyarakat yang memiliki mata pencaharian ganda.

Banyak masyarakat yang masih menjadi petani dimungkinkan karena masih banyaknya terdapat lahan pertanian khususnya sawah dan lahan pekebunan di sekitar hutan yang mengililingi Gampong Tanjong Beurunyong. Karena tanah persawahan yang cukup luas maka terdapat lahan persawahan milik penduduk

gampong lain yang masih bersebelahan ada di Gampong Tanjung Beurunyong. Selain itu pertanian tidak selalu dilakukan oleh pemilik lahan khususnya persawahan. Lahan-lahan ini pada musim tanam adakalanya disewakan kepada petani lain yang tidak memiliki lahan. Selain itu untuk para penduduk yang memiliki mata pencaharian ganda, petani yang memang khusus di dalam


(40)

pekerjaan bertani ini juga dapat dimintai tolong atau disewa untuk memotong dan merontok pada musimnya.

Terkait dengan pertanian di Aceh termaksud di Gampong Tanjong

Beurunyong ada juga aturan untuk membayar zakat dari hasil pertanian yang ada. Zakat yang diberikan biasanya dengan memberi sebagian kecil dari padi yang di

panen. Zakat yang diberikan berbeda antara penduduk Gampong Tanjong

Beurunyong dan yang bukan. Zakat ini umumnya diberikan kepada Meunasah,

yang diatur oleh Keuchik atau dapat juga di berikan kepada Keujreun Blang.

Dalam bidang pertanian dan perkebunan Gampong Tanjong Beurunyong

juga memiliki pengaturan secara tradisional. Pengaturan di daerah pertanian yang

di selenggarakan oleh keujreun blang1. Sedangkan untuk wilayah perkebunan

pengaturannya dilaksanakan oleh petua seunubok2

Sumber daya manusia yang dimiliki Gampong Tanjong Beurunyong pun

cukup memadai, dengan usia produktif lebih besar dari pada usia non produktif, sekitar 210 jiwa banding 47 jiwa (RPJM, 2009-2013). Walaupun demikian banyak diantara penduduk usia produktif terebut yang mencari pekerjaan di luar

gampong, kecamatan, bahkan tak jarang merantau untuk mencari pekerjaan. Mereka umumnya adalah penduduk usia muda dan belum menikah. Kebanyakan dari penduduk usia produktif ini merantau tanpa keterampilan khusus dalam bidang tertentu. Umumnya mereka merantau ke kota-kota besar seperti Banda . Keujreun blang dan petua seunubok dalam tugasnya bertanggung jawab kepada keuchik dan masyarakat

gampong.

1


(41)

Aceh, Lhoksumawe, dan Medan. Banyak diantara mereka tidak kembali ke

gampong halaman mereka kecuali ketika pada saat-saat tertentu seperti lebaran, ataupun jika ada sebuah acara besar di keluarga mereka.

Banyaknya usia produktif tanpa kemampuan di bidang tertentu kecuali di bidang pertanian. Hal ini disebabkan karena masih minimnya pendidikan khusus yang ada di sekitar gampong atau kecamatan. Penduduk yang memiliki keahlian tertentu mendapatkannya dari merantau dan mencari pekerjaan di luar gampong. Masyarakat yang telah memiliki pencaharian yang lebih baik dan memiliki

keahlian tertentu, lebih memilih menetap di luar gampong, karena minimnya

kesempatan di dalam gampong sendiri.

2.1.6. Kesehatan

Kondisi kesehatan masyarakat Tanjong Beurunyong dilihat dari sarana yang ada masih kurang memadai. Tidak adanya sarana kesehatan khusus seperti puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) dan rumah sakit. walau terdapat Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) di setiap gampong. Posyandu tersebut hanya merupakan tempat dilaksanakan pemeriksaan bulanan yang dilakukan oleh bidan desa yang datang setiap bulan untuk memeriksa perkembangan kesehatan khususnya anak bayi, balita dan ibu hamil di seluruh gampong. Bidan gampong

ini dibantu oleh seorang kader yang tinggal dan merupakan penduduk gampong

setempat. Kegiatan posyandu ini biasa dilaksanakan di meunasah atau rumah

warga yang berada di sekitar meunasah.

Banyak diantara rumah-rumah penduduk telah memiliki sarana sanitasi yang cukup memadai, antara lain telah tersedianya sarana MCK (mandi, cuci,


(42)

kakus) di banyak rumah, walaupun masih sangat sederhana. Air yang digunakan adalah air tanah atau sumur yang ada di setiap rumah karena belum tersedianya fasiitas air PAM (Perusahaan Air Minum) di Gampong Tanjong Beurunyong.

Di Kecamatan Paya Bakong sendiri tidak ada terdapat rumah sakit, hanya sebuah puskesmas. Rumah sakit terdapat di kota Lhoksumawe, dimana pasien yang harus dibawa kerumah sakit biasanya dengan rujukan dari Puskesmas Payabakong. Dahulu terdapat klinik kesehatan di Kecamatan Paya Bakong yang dibangun oleh perusahaan Exxon Mobil, tetapi pada masa kerusuhan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) sekitar awal tahun 2000-an rumah sakit tersebut mengalami kebakaran dan tidak di bangun kembali.

2.1.7. Peribadatan

Dalam setiap gampong di Aceh umumnya terdapat satu buah meunasah,

begitu pula dengan Gampong Tanjong Beurunyong. Sedangkan mesjid berada di

Ibukota Kecamatan Keude Chik Paya Bakong. Yang masih merupakan batas dan

satu wilayah mukim dengan Gampong Tanjong Beurunyong. Kegiatan ibadah

yang dilakukan berjamaah seperti sholat dan mengaji biasa hanya dilahukan sejak Magrib sampai habis Isya. Sedangkan di waktu lain tidak terlihat kegiatan ibadah lainnya kecuali di waktu-waktu tertentu seperti Bulan Ramadhan.

Pada Bulan Ramadhan kegiatan solat berjamaah dilakukan di meunasah

pada setiap masuk waktu sholat, baik itu Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib ataupun Isya. Selain itu terdapat kegiatan-kegiatan rutin lain yang biasa dilakukan di Bulan Ramadhan seperti Tarawih setelah Isya, dan tadarus yang dimulai dari sehabis Tarawih, sampai waktu sahur atau sekitar pukul 3.00 WIB.


(43)

2.2. Sarana dan Prasarana Gampong Tanjong Beurunyong

Secara umum keadaan demografi fisik Gampong Tanjong Beurunyong

mayoritas merupakan dataran tinggi, dan sisanya merupakan daerah persawahan.

Gampong Tanjong Beurunyong juga memiliki memiliki areal persawahan yang cukup luas serta perkebunan masyarakat antara lain: coklat (kakao), pisang, pinang, durian, rambutan, kunyit, langsat, dan lain-lain.

Pola penggunaan tanah di Gampong Tanjong Beurunyong sebagian besar

dimanfaatkan untuk pemukiman yaitu sekitar 21 Ha. Luas tanah ini tidak semata untuk bangunan, tetapi juga termaksud bagian halaman, dilanjutkan dengan tanah persawahan (pertanian padi) sekitar delapan hektar, sedangkan sisanya untuk tanah kering sekitar lima hektar digunakan untuk tanaman palawija, pekebunan, serta tujuh hektar pekarangan warga. Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar

masyarakat Gampong Tanjong Beurunyong masih merupakan masyarakat petani

yang hidup dari sektor pertanian khususnya sawah dan palawija. Selain itu juga terdapat 0,5 (setengah) hektar tanah yang merupakan pekuburan umum masyarakat yang telah ada sejak dahulu, dan terletak di depan meunasah. Sekitar 0,5 (setengah) hekar yang dimanfaatkan untuk prasarana umum.

Fasilitas sosial yang tersedia di Gampong Tanjong Beurunyong sangat

ninim, hanya tersedia satu meunasah sebagai pusat aktifitas keagaamaan dan sosial di gampong, dan tidak ada balai gampong dan kantor keuchik. Meskipun demikian kegiatan-kegiatan sosial seperti, wirid, majelis ta’lim, organisasi PKK,

Posyandu masih merupakan aktifitas rutin yang tetap di jalankan. Meunasah


(44)

ibadah sholat, pengajian, Posyandu, musyawarah, dan dan banyak kegiatan lain.

Meunasah menjadi balai tempat berkumpul bagi acara ataupun aktifitas-aktifitas besar di masyarakat.

Prasarana yang lain yang menunjang kegiatan masyarakat terdapat jalan sepanjang 1000 meter yang merupakan akses menuju kecamatan. Jalan ini pun masih merupakan jalan berbatu yang tidak rata dan tidak terlalu lebar, jalan ini hanya dapat dilalui oleh sebuah mobil, dan sangat sulit jika mobil berpapasan dengan mobil lain untuk lewat. Jalan ini memanjang dari ibukota kecamatan

sampai melewati desa di perbatasan Gampong Tanjong Beurunyong dan

Gampong Leuhong.

Gambar 1: Kondisi jalan Gampong Tanjong Beurunyong

Selain itu terdapat juga irigasi sepanjang 1000 meter yang mengairi seluruh persawahan di gampong. Irigasi ini akan dipenuhi air saat musim hujan dan kering saat kemarau. Walaupun pintu air yang berada di Gampong Tanjong


(45)

Beurunyong telah rusak tetapi fungsinya dalam mengairi sawah-sawah yang ada di gampong masih berjalan dengan baik.

2.3. Stratifikasi Sosial

Kondisi sosial masyarakat di Gampong Tanjong Beurunyong berdasarkan

tingkat kesejahtraan masih merupakan gampong yang memiliki banyak KK

(kepala keluarga) kurang mampu. Dari 75 KK yang ada, 52 diantaranya merupakan keluarga kurang mampu yang sebagian besar hidup dari lapangan pekerjaan di bidang pertanian, sisanya 20 KK merupakan keluarga sederhana, dan hanya 3 (tiga) diantaranya yang merupakan keluarga mampu (RPJM, 2009-2013).

Masyarakat Aceh umumnya mengenal adanya pembagian golongan sosial.

Pada masyarakat umum biasa dinamakan orang banyak (urieng ie). Kemudian

terdapat golongan bangsawan. Golongan ini dapat dilihat dari nama gelar yang mereka miliki sejak lahir,seperti: teuku, polem (panggilan untuk bangsawan laki-laki), dan cut (panggilan untuk bangsawan perempuan). Selain itu terdapat juga gelar-gelar yang diberikan setelah orang dewasa. Gelar-gelar keagamaan seperti:

tengku, syekh, ustad, diberikan kepada seseorang yang dianggap memiliki ilmu agama yang lebih dan kepada guru-guru mengaji. Terdapat juga panggilan-panggilan yang diberikan karena jabatan ataupun pekerjaan yang dimiliki

seseorang. Contoh: toke (panggilan untuk pedagang yang sukses), mugee

(panggilan untuk pedagang/pengumpul hasil pertanian keliling), keuchik

(panggilan untuk kepala desa). Panggilan-panggian seperti ini masih sering ditemui dalam keseharian, termaksud di lokasi penelitian peneliti.


(46)

2.4. Pola Pemukiman

Pola perkampungan Gampong Tanjong Beurunyong cendrung mengikuti

pola memusat, dimana masyarakat dibentuk karena aturan adat. Pola ini memusat dengan meunasah sebagai pusatnya, biasa dihuni turun-temurun oleh beberapa generasi. Rumah-rumah penduduk berada di sepanjang jalan menuju kecamatan

yang berada memanjang dari Gampong Leuhong sampai Gampong Keude Chik

dan juga mengikuti arus irigasi. Sedangkan daerah di sekeliling gampong hanya daerah persawahan, dan ladang yang dimiliki masyarakat.

Dalam membangun sebuah rumah biasanya tidak terlalu jauh dari anggota keluarga besarnya. Pola menetap matrilokal juga masih mempengaruhi dalam pembangunan tempat tinggal dimana keluarga baru akan mendirikan rumah tidak jauh dari rumah kediaman keluarga istri. Jika pasangan ini belum mampu untuk mendirikan rumah seniri maka mereka akan tinggal di rumah keluarga istri.

Pola menetap matrilokal di Aceh mengikuti adat dan hukum lokal yang mengatur tentang status suami maupun istri dalam keluarga. Seorang laki-laki dalam keluarga khususnya suami bertanggung jawab terhadap nafkah keluarga, hampir segala aktifitas anak laki-laki dilakukan di luar rumah. Laki-laki Aceh baik anak-anak maupun orang dewasa terbiasa untuk hidup di luar rumah dan jarang sekali kembali kecuali saat malam ataupun jika ada keperluan tertentu saja.

Perempuan umumnya bertanggung jawab dalam mengurus keperluan rumah tangga di rumahnya. Seorang istri dalam adat Aceh disebut dengan

peurumoh atau dapat dikatakan sebagai pemilik rumah. Istri bertanggung jawab mengurus segala kebutuhan anggota keluarga dan menjaga rumah di dalam


(47)

keluarganya serta dalam pendidikan anak-anak. Anak perempuan dibiasakan untuk bekerja mngurusi kebutuhan rumah tangga sejak usaia dini. Tanggung jawab dalam rumah tangga ini juga memberikan hak kepada seorang istri untuk memiliki rumah yang ditinggali dan dibangun dengan suaminya. Sehingga ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya maka laki-laki itu harus meninggalan rumah tersebut walaupun ia yang membangunnya.

2.5. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan Gampong Tanjong Beurunyong merupakan bentuk

pemerintahan minimal dengan lembaga adat yang sebagian masih menganut sistem trdisional. Sistem pemerintahan Gampong Tanjong Beurunyong dipimpin oleh seorang Keucik sebagai pemimpin gampong, dan dibantu seorang sekertaris

desa. Keuchik dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh kaur-kaur (kepala

urusan) yang menjalankan tugas di bagian umum, keuangan, pemerintahan, dan pembangunan. Untuk wilayah dusun, terdapat kepala-kepala dusun yang

membantu Keuchik dalam mengawasi dan menjalankan pemerintahan di

gampong. Selain itu juga terdapat Tuha Peut yang merupakan badan pengawas dalam pemerintahan gampong.

Dalam Qanun (hukum/perundang-undangan) Aceh nomor 10 tahun 2008

tentang lembaga adat menjelaskan, Keuchik atau nama lain merupakan kepala

persekutuan masyarakat adat gampong yang bertugas menyelenggarakan

pemerintahan gampong, melestarikan adat istiadat dan hukum adat, serta menjaga


(48)

Tanjong Beurunyong sendiri ialah Pak Syamsarif yang dipilih melalui PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) Desa pada tahun 2009. Secara lengkap dalam pasal 15 dijelaskan bahwa tugas Keuckik ialah:

a. membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat;

b. menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;

c. memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;

d. menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun

gampong;

e. membina dan memajukan perekonomian masyarakat; f. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;

g. memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat;

h. mengajukan rancangan Qanun gampong kepada Tuha Peut Gampong atau

nama lain untuk mendapatkan persetujuan;

i. mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja gampong kepada Tuha

PeutGampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan; j. memimpin dan menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; dan k. menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong.

Tuha PeutGampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan gampong

yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong. Tuha Peut Gampong


(49)

atau nama lain dari hasil musyawarah masyarakat gampong. Selain Tuha Peut Gampong juga terdapat Tuha Peut mukim yang menjadi pengawas dan penasehat untuk wilayah mukim. Tuha peut biasanya terdiri dari beberapa orang yang dipilih, yang dituakan dan dianggap cukup mampu untuk mewakili masyarakat yang ada di dalam gampong atau mukim. Dalam Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 juga dijelaskan bahwa tugas tuha peut yaitu:

a. membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja gampong atau

nama lain;

b. membahas dan menyetujui Qanungampong atau nama lain;

c. mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;

d. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;

e. merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama lain;

f. memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan

g. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.


(50)

STRUKUR ORGANISASI PEMERINTAHAN

GAMPONG TANJONG BEURUNYONG KECAMATAN PAYA BAKONG

KABUPATEN ACEH UTARA

Selain bentuk kelembagaan di atas terdapat juga bidang-bidang khusus

yang membantu Keuchik dalam kelembagaan adat di Gampong Tanjong

Beurunyong. Pembantu Keuchik ini ialah; ImeumMeunasah, Keujreun Blang, dan

Petua Seuneubok. Para tokoh, atau lembaga adat ini dipilih oleh masyarakat

melalui musyawarah gampong. Imeum Meunasah adalah orang yang memimpin

kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama

GEUCHIK GAMPONG PETUGAS TEKNIK LAPANGAN SEKRETARIS GAMPONG KAUR PEMERINTAHA N KAUR PEMBANGUNA N KAUR KEUANGAN KAUR UMUM KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN MESJID KEPALA DUSUN TGK. DI KAKA


(51)

Islam, pelaksanaan dan penegakan syari’at Islam. ImeumMeunasah yang biasa di panggil Teuku Imeum dalam masyarakat. Teuku imeum meunasah saat ini yaitu

Tengku Ali merupakan pengganti imeum yang meninggal pada tahun 2010, yang dipilih oleh masyarakat melalui musyawarah agar aktifitas dan kepengurusan

meunasah tetap berjalan. Menurut Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 secara lengkap memiliki tugas:

a. memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat;

b. mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaa dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain;

c. memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun tidak

d. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat; dan

e. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.

Keujrun Blang ialah orang yang memimpin dan mengatur kegiatan di bidang usaha persawahan. Keujreun Blang memiliki tugas:

a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah; b. mengatur pembagian air ke sawah petani;

c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;

d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;


(52)

e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat

meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan

f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah.

Petuah Seuneubok ialah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan/perkebunan. Tugas Petua Seuneubok dalam Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 ialah:

a. mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan seuneubok atau

nama lain;

b. membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan;

c. mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah seuneubok

d. menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah seuneubok

e. melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah seuneubok.

Selain itu juga terdapat kelembagaan adat lain di Aceh yang tidak ada di Tanjong Beurunyong karena perbedaan bentang alam, ataupun sosial. Lembaga ada ini adalah, Panglima Laot, Haria Peukan, Syahbanda, dan Pawang Glee.

Panglima Laot, atau nama lain adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat di bidang pesisir dan kelautan.

Haria Peukan, orang yang mengatur ketentuan adat tentang tata pasar, ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar serta melaksanakan tugas-tugas perbantuan.


(53)

Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan adat tentang tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di laut, danau dan sungai yang tidak dikelola oleh Pemerintah.

Pawang Glee adalah orang yang memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.


(54)

BAB III

PROFIL MEUNASAH

3.1. Sejarah dan Arti Meunasah Bagi Masyarakat Aceh

Seperti yang telah di jelaskan pada bab I (satu), meunasah sejarahnya berasal dari kata Madrasah yang artinya, tempat mengaji atau sekolah. Meunasah, menurut Hourtje identik dengan Langgar, Baleë atau Tajug, sehingga bangunan ini lebih tua dari nama meunasah yang konon berasal dari bahasa Arab madrasah

(1985:69). Hal yang sama juga dikatakan Ismail dan para ahli Aceh sebelumnya dikatakan bahwa kata meunasah atau beulasah berasal dari kata madrasah (bahasa Arab) yang mengandung arti lembaga pendidikan.

Perkembangan meunasah tidak dapat di pisahkan dari perkembangan

agama Islam di Aceh. Dalam tulisannya Djalil mengatakan perhatiaan raja-aja kerajaan Islam dalam dunia pendidikan, menimbulkan perkembangan pendidikan di Negara-negara Islam telah meningkat dan maju. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut telah melahirkan lembaga-lembaga

pendidikan Islam pada masa dahulu(http://kantorkemenagacehtimur.wordpress.com/). Hasjmy dan Ibrahim

mengelompokkan pendidikan Islam di Aceh menjadi 5 tingkatan, yaitu meunasah,

rangkang, dayah, dayah Teungku Chik, dan Jami’ah. Husein membaginya menjadi dua kelompok, yaitu meunasah untuk tingkat rendah dan dayah untuk

tingkat menengah dan tinggi. Menurutnya lembaga rangkang termasuk ke dalam


(55)

(Djalil,2011). Dijelaskan bahwa kerajaan Islam pertama yaitu kerajaan Peureulak (sekitar 225H/840M), perhatian Raja/Sultan terhadap pendidikan cukup besar.

Pada masa itu telah didirikan pusat pendidikan islam Dayah Cot Kala (Zawiyah

Cot Kala). Hal yang hampir sama juga diungkapkan Hourtje (1985) yang menyebut dayah dengan deah atau dee’ah yang berasal dari kata Zawiyah

(1985:71). Namun dalam pembahasan ini peneliti memfokuskan pembahasannya yaitu pada tingkat meunasah.

Secara umum meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban

masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong mendapatkan pendidikan. Djalil (2011) menjelaskan;

”Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki

sistem pembelajaran; (1) kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan Al-Qur'an dan pengetahuan dasar agama; (2)

Sistem pembelajarannya dengan sistem halaqah dan sorogan,

metodenya menggunakan metode mengeja untuk tahap awal dan menghafal pada tahap berikutnya, serta praktek ibadah; (3) hubungan antara teungku dan murib/aneuk miet beut (anak didik) bersifat

kekeluargaan, yang terus kontinuitas sampai murib menginjak

dewasa; (4) teungku dipilih oleh masyarakat gampong yang

dikepalai oleh Keuchik dan usia anak didik meunasah berkisar 6-7 tahun; (5) di meunasah juga diajarkan kesenian (sya’ir) yang bernafaskan Islam seperti qasidah, rapai, dikê, seulaweut dan dalail khairat”.

Zulfah menuturkan di setiap gampong di Aceh dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat kebudayaan) dan center of education

(pusat pendidikan) bagi masyarakat. Dikatakan center of culture, karena

meunasah ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan yang


(56)

dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama Islam. Dengan adanya meunasah dijelaskan bahwa sejak dahulu desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah. Dalam hal ini peneliti juga menemukan hal yang hampir

sama dalam pemanfaatan meunasah. Meunasah juga telah menjadi lembaga

pendidikan pertama dalam masyarakat Aceh (www.acehforum.com).

Dalam perkembangan berikutnya meunasah tidak hanya merupakan

lembaga pendidikan dan agama saja. Meunasah kemudian juga mengandung

makna sebagai tempat sosial. Syamsuddin menjelaskan bahwa meunasah adalah

tempat yang dibangun sebagai pusat kegiatan masyarakat gampông, karena

meunasah merupakan suatu lembaga tradisional yang tidak dapat dipisahkan

dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pendapat tersebut dikarenakan meunasah

mempunyai multi fungsi, di samping sebagai aspek pendidikan, sosial, ekonomi, juga aspek keagamaan (Djalil, 2011).

Ismail menjelaskan fungsi-fungsi meunasah ini mempunyai berbagai

fungsi praktis pada masa dahulu; antara lain: 1) Lembaga musyawarah, 2) Lembaga pendidikan dan pengajian, 3) Lembaga ibadah (shalat/ibadah lainnya), 4) Lembaga hiburan dan kesenian, seperti Dalail Khairat, Meusifeut, Meurukôn, Ratép Duek dan sebagainya, 5) Asah terampil (asah otak) meucabang (catur tradisional Aceh) sambil diskusi, 6) Lembaga buka puasa bersama.

Pertama, meunasah sebagai lembaga musyawarah rakyat, artinya desa

(gampông) dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan

para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya


(1)

diluar keagamaan, seperti sosial, hukum, politik, pendidikan, seni dan ekonomi. Pemanfaatan di luar bidang agama dan religi ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dari gampong masing-masing meunasah. Pada masa kerajaan dahulu bahkan telah dikatakan bahwa meunasah telah menjadi suatu syarat untuk mendirikan sebuah gampong.

Pertanyaan ketiga dapat dijelaskan bahwa fungsi meunasah sendiri bagi masyarakat Aceh, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pemanfaatan meunasah di setiap gampong berbeda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan gampong itu sendiri. Seperti di lokasi penelitan, dimana pemanfaatan meunasah. Pertama, meunasah memiliki fungsi utama sebagai rumah ibadah yang sama dengan musholla. Kedua, meunasah digunakan sebagai tempat belajar agama dengan diadakannya aktifitas pengajian rutin dan ceramah agama yang dilaksanaka setiap minggu. Ketiga, sebagai tempat kenduri di gampong dalam memperingati peristiwa-peristiwa tertentu, dan hari-hari besar Islam seperti Maulid, Nuzulul Qur’an, dan sebagainya. Keempat, meunasah digunakan sebagai tempat musyawarah dan fakat. Kelima, meunasah dikatakan juga sebagai tempat menginap dan tinggal untk laki-laki yang telah dewasa. Keenam, meunasah juga digunakan untuk akttifitas sosial lain seperti, PKK, Posyandu, dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Pertanyaan keempat dapat dijelaskan bahwa perubahan dalam fungsi meunasah juga juga terjadi seiring dengan perubahan waktu dan masyarakat yang terjadi. Perubahan tidak hanya terjadi dari bentuk fisik meunasah, tetapi juga dalam pemanfaatannya. Dari bentuk fisik, meunasah yang dahulu terbuat dari


(2)

bahan kayu, dan beratap daun rumbia kini telah berganti menjadi bangunan beton dan atap dari bahan seng, sedangkan bagian lantai bawah yang dahulu hanya tanah kini telah di keramik dan di pagar. Perubahan dari bagian pemanfaatan meunasah terlihat dari penggunaan meunasah dalam aktifitas sehari-hari. Untuk Tanjong Beurunyong sendiri pemanfaatan meunasah sebagai tempat menginap bagi laki-laki misalnya, mulai jarang terlihat, laki-laki yang telah dewasa umumnya lebih melilih untuk merantau dari pada tetap tinggal di gampong. Sedangkan pemanfaatan lain seperti posyandu bulanan lebih sering dilakukan di rumah penduduk di sekitar meunasah sejak dilakukan pemugaran meunasah.

Pertanyaan kelima dijelaskan bahwa meunasah menjadi penting bagi masyarakat Aceh khususnya yang berada di daerah gampong karena dengan segala fungsinya meunasah menjadi lembaga yang dirasa mampu untuk menyatukan masyarakat gampong. Meunasah dengan segala pemanfaatannya menjadi tempat bagi masyarakat gampong untuk berkumpul dan berinteraksi dalam berbagai situasi. Meunasah telah menjadi bagian dalam kelembagaan adat masyarakat Aceh yang telah menjadi bagian dari sejarah dalam gampong itu sendiri.

Dari berbagai jawaban pertanyaan permasalahan tersebut dijelaskan bahwa keberadaan meunasah merupakan bagian penting dalam sistem sosial budaya masyarakat Aceh. Meunasah sebagai sebuah bangunan ibadah bagi umat Islam khususnya di Aceh, menjadi pusat dari banyak aktifitas yang dilakukan masyarakat Aceh yang berada di gampong. Aktifitas tersebut tidak hanya yang berkaitan dengan aktifitas religi, tetapi juga sosial, pendidikan, hukum, politik,


(3)

dan juga menjadi tempat tinggal khususnya bagi anak laki-laki yang telah dewasa. Seiring perubahan yang terjadi di masyarakat, hal tersebut juga mempengaruhi fungsi dan pentingnya meunasah dalam keberadaannya sebagai bagian dalam sosial budaya masyarakat Aceh dalam sebuah gampong, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu mempengaruhi pentingnya Meunasah dalam kehidupan soial budaya masyarakat Aceh sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan

2008 Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hourtje, Snourck

1985 Aceh di Mata Kolonialis I. Jakarta: Yayasan Soko Guru. 1985 Aceh di Mata Kolonialis II. Jakarta: Yayasan Soko Guru. Ismail, Badruzzaman

2002 Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh. Banda Aceh: Penerbit Majelis Pendidikan Daerah Percetakan Gua Hira.

Koentjaraningrat

1987 Teori Antropologi I. Jakarta: UI Press.

2002 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta Moleong, Lexy J.

2000 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Priyatomo, Iskandar Eko

2010 Peran Keuchik dalam Revitalisasi Gampong di Aceh Besar, Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sairin, Sjafri

2002 Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soekanto, Soejono

1982 Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo. Spreadley, James

1997 Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Syamsuddin, M. dkk

1998 Hukum Adat dan Modernisasi Hukum. Yogyakarta: Fak. Hukum UII.


(5)

Usman, Abdul Rani

2003 Sejarah Peradaban Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wignjodipuro, Surojo

1979 Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat. Bandung: Penerbit Alumni.

Sumber lain: Abdullah, Adli

2010 Aceh sebagai Universitas

(diposting 11 April 2010)

Angkawijaya

2008 Pendidikan Islam di Aceh.

diposting 24 Juni 2008)

Muslim, Djalil

2011 Meunasah sebagai Lembaga Pendidikan Tradisional Islam di Aceh.

Sudaryanto, Agus

2005 Mimbar Hukum: Dinamika Hukum Adat dan Agama di Aceh. Yogyakarta: Fak. Hukum UGM

Tripa, Sulaiman

Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh (artikel), diunduh 4 Februari 2012) Zulfah

2009 Kedudukan Meunasah dan Mesjid dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh.


(6)

16 juni 2011)