Tinjauan Yuridis Terhadap Hak Waris Istri Dalam Perkawinan Siri Pada Masyarakat Adat Aceh Di Kecamatan Darul Imarah Mukim Daroy/Jeumpet Desa Garot Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh
TESIS
Oleh
M. REZZA SEPTHIO
117011112/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
M. REZZA SEPTHIO
117011112/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PROVINSI ACEH
Nama Mahasiswa : M. REZZA SEPTHIO
Nomor Pokok : 117011112
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD) (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA
Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn
(5)
Nama : M. REZZA SEPTHIO
Nim : 117011112
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI KECAMATAN DARUL IMARAH
MUKIM DAROY/JEUMPET DESA GAROT
KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :M. REZZA SEPTHIO Nim :117011112
(6)
i
Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.Dalam kedudukan adat Aceh Nikah siri adalah perkawinan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu.
Dalam adat aceh kedudukan wanita nikah siri yang berpedoman pada Fikih Islam sehingga wanita yang dinikahi secara siri berbeda kedudukannya dengan istri yang dinikahi secara sah seperti umum biasanya sehingga wanita yang dinikahi secara siri mendapatkan warisan dari suaminya namun apabila terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan dan penyelesaian sengketa tersebut di Pengadilan agama maka isteri yang dinikahi secara siri tidak mendapatkan bagian warisan. Akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI secara hukum istri tidak dianggap sah.
Masyarakat adat Aceh sebaiknya harus tetap berpegang teguh pada Hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Hukum kewarisan yang diatur oleh hukum Islam sebaiknya menjadi pedoman oleh masyarakat adat Aceh. Terhadap istri yang dinikahi secara siri sebagai rasa kemanusiaan dapat diberikan wasiat wajibah sebagai jalan keluarnya.Istri yang dinikahi secara siri sebaiknya harus melakukan upaya hukum berupa melakukan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang.
(7)
ii
development of Islam in Aceh so that marriage is always related to Islamic Fiqh. Since Islam, esepecially Syafi’i religious sect, and the growth of pesantren (Islamic boarding school) which followed Syafi’i religious sect, existed in Aceh by causing changes in Acehnese community, Aceh community begins recognize unregistered marriage. In Aceh adat, unregistered marriage is valid in the Islamic law although the process is ot before PPN (marriage clerk) in Subdistrict Religious Affairs Office. In thiscase, there is no dichotomy abaout the validity of the marriage between the Islamic law and Law No. 1/1974 in Marriage and between the Islamic law and KHI (Compilation of Islamic Law) as the positive law in Indonesia. It mean that marriages among Moslems is valid when it is valid. What it means by validity according to the Islamic Law is something which is in line with the principles and requirements without any obstacles. Therefore, a valid marriage is a marriage which has fulfilled all requirements without any obstacles.
In the Aceh adat, the position of woman who performs an unregistered marriage according to the Islamic Fiqh is equal to woman who has registered marriage such as getting inheritance from her husband; but, when there is adispute in distributing inheritance and the resolution is performed in the Religous Court, she does not get inheritance. The consequence is, a woman who has unregistered marriage in Aceh adat, according to Law No. 1/1974 and to KHI is considered invalid.
The Acehnese should comply with the Islamic Law No. 1/1974 and KHI. Law of Inheritance which is relugated in the Islamic Law should the guidance for the Acehnese. A woman who has unregistered marriage can get ‘wasiat wajibah’ (gift) as the way out. Legal remedy should be performed for her to have registered marriage.
(8)
iii
penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan. Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara, berkat rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI DALAM
PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI
KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM DAROY/JEUMPET DESA
GAROT KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH “Pemilihan judul ini
didasari oleh rasa ketertarikan penulis terhadap permasalahan terhadap analisis Hukum Islam tentang penetapan hak wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim.
Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada, di lingkungan pendidikan hukum. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
(9)
iv Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang penuh perhatian, kesabaran dan ketelitian dalam memberikan bimbingan, arahan, petunjuk hingga selesainya penulisan tesis ini.
5. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD, selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
6. Prof. Dr. H. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Pembimbing Ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesainya penulisan tesis ini.
7. Para Bapak/ Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti pendidikan.
(10)
v 2011.
10. Keluarga penulis tercinta, orang tua penulis yaitu Ayahanda H.Nilwan SH dan Ibunda Hj.Dynna Siregar.
Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.
Medan, Januari 2014 Penulis,
(11)
vi
Nama : M. Rezza Septhio
Tempat Tanggal Lahir : Medan, 9 September 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jln. Karya Kasih, Perumahan Bukit Johor Mas Blok N. No. 3.
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : H. Nilwan, SH
2. Nama Ibu : Hj. Dynna S. Siregar
3. Nama Saudara : Kapten (Tek). M. Norfyanka
III. PENDIDIKAN
SD : SD Negri I Banda Aceh Tahun 1994-2000
SMP : SLTP Negri I Banda Aceh Tahun 2000-2003
SMA : SMA Negri I Banda Aceh Tahun 2003-2004
SMA SMA Negri II Medan Tahun 2004-2006
Perguruan Tinggi (S1) : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Tahun 2006-2010
Perguruan Tinggi : Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun 2011-2014
(12)
vii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Keaslian Penelitian ... 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11
G. Metode Penelitian ... 20
BAB II KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM ... 24
A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam ... 24
B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia ... 34
C. Perbedaan Antara Perkawinan Siri Dengan Perkawinan Pada Umumnya ... 37
D. Perkawinan Dalam Perspektif Masyarakat Adat Aceh ... 61
BAB III HAK WARIS ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH ... 88
A. Hukum Kewarisan ... 88
(13)
viii
BAB IV AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI TERHADAP
ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA
MASYARAKAT ADAT ACEH ... 101
A. Akibat Hukum Perkawinan Siri Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ... 101
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Istri Yang Dinikahi Secara Siri Pada Masyarakat Adat Aceh ... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 115
A. Kesimpulan ... 115
B. Saran ... 116
(14)
Haria Peukan : pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan pasar dan pengutip retribusi.
Iddah : masa tunggu.
Ijab : memberi.
Ijma : kesepakatan.
Isbat : penetapan/pembenaran.
Imeum Chik : imam mesjid pada tingkat mukim.
Imeum Meunasah : imam/kepala mesjid.
Imeum Mukim : orang yang dipercayakan untuk mengurusi masalah keagamaan pada tingkat mukim.
Kejreun Blang : ketua adat yang membantu urusan pengaturan irigasi untuk pertaniandan sengketa sawah.
Lafadz : kata.
Laot : laut.
Lintoe Baroe : pengantin baru laki-laki.
Makruh : perbuatan yang sebaiknya tidak dilakukan.
Mubah : boleh.
Mukim : kesatuan masyarakat hukum dari gabungan beberapa desa/kampung.
Peusijuk : serangkaian prosesi adat.
Qanun : peraturan perundang-undangan mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat di provinsi Aceh.
Qabul : perjanjian.
Qudrat : kuasa.
Sunnah : sebuah aktivitas dalam islam yang dianjurkan.
Syahbanda : pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhan dan lalu lintas laut.
Terhijab : tertutup/terdindinh.
Tuha peut : penasehat adat/lembaga adat.
Tuha lapan : penasehat adat/lembaga adat.
Ureung : orang.
(15)
UU : Undang-Undang
Q.S : Qur’an Surat
KHI : Kompilasi Hukum Islam
(16)
i
Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.Dalam kedudukan adat Aceh Nikah siri adalah perkawinan yang sah menurut agama, akan tetapi tidak dilangsungkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dalam hal ini tidak ada dikhotomi tentang keabsahan suatu pernikahan antara Hukum Islam dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai Hukum positif yang berlaku di Indonesia. Ketentuan di atas berarti bahwa perkawinan orang-orang yang beragama Islam adalah sah bila menurut hukum perkawinan tersebut adalah sah. Pengertian sah menurut istilah Hukum Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syaratnya dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan telah memenuhi rukun syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan itu.
Dalam adat aceh kedudukan wanita nikah siri yang berpedoman pada Fikih Islam sehingga wanita yang dinikahi secara siri berbeda kedudukannya dengan istri yang dinikahi secara sah seperti umum biasanya sehingga wanita yang dinikahi secara siri mendapatkan warisan dari suaminya namun apabila terjadi sengketa dalam pembagian harta warisan dan penyelesaian sengketa tersebut di Pengadilan agama maka isteri yang dinikahi secara siri tidak mendapatkan bagian warisan. Akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut UU No.1 Tahun 1974 dan KHI secara hukum istri tidak dianggap sah.
Masyarakat adat Aceh sebaiknya harus tetap berpegang teguh pada Hukum Islam dan UU No. 1 tahun 1974 dan KHI. Hukum kewarisan yang diatur oleh hukum Islam sebaiknya menjadi pedoman oleh masyarakat adat Aceh. Terhadap istri yang dinikahi secara siri sebagai rasa kemanusiaan dapat diberikan wasiat wajibah sebagai jalan keluarnya.Istri yang dinikahi secara siri sebaiknya harus melakukan upaya hukum berupa melakukan itsbat nikah atau melakukan perkawinan ulang.
(17)
ii
development of Islam in Aceh so that marriage is always related to Islamic Fiqh. Since Islam, esepecially Syafi’i religious sect, and the growth of pesantren (Islamic boarding school) which followed Syafi’i religious sect, existed in Aceh by causing changes in Acehnese community, Aceh community begins recognize unregistered marriage. In Aceh adat, unregistered marriage is valid in the Islamic law although the process is ot before PPN (marriage clerk) in Subdistrict Religious Affairs Office. In thiscase, there is no dichotomy abaout the validity of the marriage between the Islamic law and Law No. 1/1974 in Marriage and between the Islamic law and KHI (Compilation of Islamic Law) as the positive law in Indonesia. It mean that marriages among Moslems is valid when it is valid. What it means by validity according to the Islamic Law is something which is in line with the principles and requirements without any obstacles. Therefore, a valid marriage is a marriage which has fulfilled all requirements without any obstacles.
In the Aceh adat, the position of woman who performs an unregistered marriage according to the Islamic Fiqh is equal to woman who has registered marriage such as getting inheritance from her husband; but, when there is adispute in distributing inheritance and the resolution is performed in the Religous Court, she does not get inheritance. The consequence is, a woman who has unregistered marriage in Aceh adat, according to Law No. 1/1974 and to KHI is considered invalid.
The Acehnese should comply with the Islamic Law No. 1/1974 and KHI. Law of Inheritance which is relugated in the Islamic Law should the guidance for the Acehnese. A woman who has unregistered marriage can get ‘wasiat wajibah’ (gift) as the way out. Legal remedy should be performed for her to have registered marriage.
(18)
Masyarakatadat Aceh adalah kultur budaya yang berdasarkan pada hukum Islam termasuk akan halnya mengenai pernikahan secara siri, pernikahan siri dikenal oleh masyarakat adat Aceh akibat berkembangnya peradaban masyarakat Islam di Aceh sehingga perkawinanpun bergantung pada Fikih Islam. Islam masuk ke Aceh dengan membawa perubahan ditengah masyarakat adat Aceh terlebih lagi dengan kedatangan Islam bermazhab Syafi’i dan tumbuhnya pesantren yang bernafaskan Syafi’iah sehingga nikah siri dikenal dimasyarakat adat Aceh.1
Perkawinan adalah perbuatan yang disuruh Allah dan Nabi.2 Perkawinan adalah sebuah kontrak hukum sipil laki-laki membayar mahar mempelai wanita.3 Islam datang dengan membawa syariat untuk selamat termasuk syariat perkawinan4. Islam adalah yang memiliki aturan perkawinan sedang bangsa Yahudi tidak mengetahui aturan dalam menentukan jumlah istri5. Salah satu perjanjian suci antara seorang pria dan wanita adalah perkawinan yang mempunyai fungsi perdata.6Nikah artinya :
1Hasballah M.Thaib, 2010,Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Kenotariatan USU,Medan 2Amir Syarifuddin, 2003,Garis-Garis Besar Fiqih, Piramida Media, Jakarta, hal.78
3Josep Schacht, 2010,Pengantar Hukum Indonesia, Nuansa bandung, hal.230
4M.Ahyar dan Umma Khoiroh, 2001,Poligami Dimata Islam, Putra
Pelajar,Surabaya,hal.143.
5Abdurrahman Husein, 2007,Hitam Putih Poligami, fakultas Ekonomi UI, hal.2
6Wahyuni RetubWulandari, 2010,Hukum Islam Dalam Tatanan Hukum di Indonesia,
(19)
“Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya”7. Para ulama fikih memandang bahwa nikah menurut Islam terjadi dalam
mubah, makruh, makdub, wajib, harus8.
Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan/dianjurkan oleh syara’. Firman Allah Swt. dalam Surat An-Nisa Ayat 3 yang artinya :
“…Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, tiga dan empat, tetapi kalau kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (antara perempuan-perempuan itu), hendaklah satu saja”
Dalam Al-quran Surat An-Nur ayat 32 juga menyatakan:
“Dan kawinilah orang-orang yang sendirian (janda) di antara kamu dan hamba sahaya laki-laki dan perempuan yang patut...!”
Akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan)dan dua orang saksi yang adil. Sabda Rasulullah Saw yang artinya :
“Dari ‘Aisyah Ra, ia berkata : RasulullahSaw telah bersabda : “Siapapun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya; dan jika, ia telah bercampur, maka emaskawinnya itu bagi perempuan itu, lantaran ia telah menghalalkan kemaluannya; dan jika terdapat pertengkaran antara wali-wali, maka Sulthan-lah yang menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”9.
Dalam Hadist lain Rasulullah Saw, yang artinya :
“Dari Abu Hurairah Ra., ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Saw : “Janganlah perempuan mengawinkan orang perempuan, dan janganlah perempuan mengawinkan dirinya sendiri”10.
7Moh. Rifai’i, 1978,Ilmu Fiqih Islam Lengkap,PT. karya Toha Putra, Semarang, hal. 453 8Syaiful Islah Mubarak, 2007,Poligami Pro dan Kontra, PT.Syaamil Cipta Media , Bandung,
hal 30
9http://al-quran-sunnah.com/kitab/tabligh/-wacana/soore/8%dokitab%20kitab/1.%20 hadits%
20%20 nikah.htm,hadits No.1010.diakses tg.13 Juni 2013.
(20)
Allah Swt. berfirman dalam Al-qur’an surat Al-Baqarah ayat 228 yang artinya:
“Dan bagi mereka (wanita) hak yang seimbang, dengan kewajibannya dengan cara yang sebaik-baiknya”.
Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi dalam undang-undang perkawinan yang diberlakukan pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada sebagai bagian dari pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.11
Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai. Sedangkan Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan diberbagai daerah diIndonesia berbeda-bedadikarenakan sifat kemasyarakatan,adat istiadat,agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda.12
11Jaih Mubarok, 2006,Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, hal. 69
(21)
Monogami dikenal Islam sejak abad 1513 .Perkawinan tidak tercatat secara Fikih Islam adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnyaPasal 1 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974)14.Azzwaj al-‘urfy adalah pernikahan tidak tercatat15. Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.16
Aktifitas nikah siri atau nikah diluar Kantor Urusan Agama (KUA), hingga kini masih sering terjadi. Dalam Islam, Nikah siri sah secara syariat sepanjang syarat-syarat dan ketentuannya dipenuhi. Namun, dalam terminologi fikih nikah siri tidak ada. Apa yang dikenal masyarakat adalah kawin/nikah siri, dikenal sebagai pernikahan yang tidak tercatat dan sembunyi-sembunyi. Pemaknaan nikah siri di Indonesia adalah nikah yang tidak tercatat (secara hukum) tapi tetap diketahui oleh kedua keluarga, ada saksinya dan ada penghulunya. Jadibukan kawin diam-diam karena akan menimbulkan fitnah dan prasangka serta efek negatif, kalau pun
13Masjfuk Zuhdi, 1989,Masalah Fiqhiyah, PT. Karya Uni Press, Jakarta, hal. 11
14Moh Idris Ramulyo, 2002 ,Tinjauan Beberapa Pasal Undang – Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Segi Hukum Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal. 224.
15Satri Effendi, M.Zein, 2004,Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Prenada Media, Jakarta, hal.33
(22)
disalahkan, pelakunya yang salah karena kegiatan tersebut bisa merugikan pihak lain. Misalnya, ketika mengurus pensiun janda, maka isteri yang tidak tercatat (syarat administratif) tidak bisa mendapatkan pensiun janda itu, demikian pula bagi seorang anak dari pernikahan siri (begitu juga ibunya selaku isteri sah menurut hukum Islam) yang ingin menjadi ahli waris, maka ia tidak akan dapat menjadi ahli waris tanpa terlebih dulu mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah kalau di Aceh).
Nikah siri dapat didefinisikan sebagai nikah yang dilaksanakan bukan di hadapan petugas pencatat nikah dan tidak didaftar pada kantor urusan agama kecamatan atau instansi lain yang sah. Berdasarkan fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Nomor 01 Tahun 2010, difatwakan juga bahwa pencatatan nikah bukanlah rukun dan syarat sahnya nikah. Namun, akad nikah siri yang sah wajib dilaporkan oleh mempelai (suami/istri) untuk dicatat. Petugas pencatat nikah wajib mencatatnya. Ditegaskan pula bahwa pencatatan nikah siri yang sah dapat dilakukan setelah akad nikah dalam batas waktu yang tidak ditentukan.17
Dalam Undang undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yaitu tentang lembaga adat yaitu:
Pasal 98
(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
17http://mpubandaaceh.wordpress.com/2010/05/24/fatwa-mpu-acehnikah-siri-ada-yang-sah/#
(23)
kabupaten/kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.
(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi: a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukimatau nama lain; c. imeum chikatau nama lain; d. keuchikatau nama lain; e. tuha peutatau nama lain; f. tuha lapanatau nama lain; g. imeum meunasahatau nama lain; h. keujreun blangatau nama lain; i. panglimalaotatau nama lain; j. pawanggleeatau nama lain; k. peutua seuneubokatau nama lain; l. haria peukanatau nama lain; dan m. syahbandaatau nama lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
(24)
(1) Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe.
(2) Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh lembaga adat dengan pertimbangan Wali Nanggroe.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Qanun Aceh.
Lembaga Tuha Peut merupakan salah satu lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang memiliki otoritas dalam menjaga eksistensi hukum adat secara turun temurun. Lembaga ini terdiri dari empat unsur di dalamnya yaitu unsur ulama, unsur adat, unsur cerdik pandai, dan unsur tokoh masyarakat. Otoritas lembaga Tuha Peut
antara lain mengangkat dan memberhentikan keuchik, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam masyarakat. Disfungsionalisasi lembaga Tuha Peut akan mudah terjadi sengketa/konflik secara berkesinambungan dalam masyarakat, seperti terjadi sengketa tapal batas lahan pertanian, sengketa batas desa/gampong, masalah pembagian air sawah, etika masuk sebuah kampung dan lain sebagainya. Kemudian tidak sedikit juga terlihat sengketa masyarakat seperti sengketa antarwarga, sengketa keluarga, dan sengketa tanah. Namun demikian sengketa-sengketa itu selama ini telah diselesaikan melalui kebijakan para ”Ureung Tuha Gampong” secara adat kampung.Penyelesaian sengketa dilakukan melalui beberapa pendekatan di antaranya; nasehat, pemumat jaroe, pesijuek, dan doa. Selama ini kita melihat
(25)
lembaga adat gampong dalam masyarakat Aceh tidak difungsikan dengan baik, padahal lembaga ini memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan masyarakat.
LembagaTuha Peutterdiri dari unsur pemimpin Adat, Cerdik Pandai, Pemuda dan Perempuan, yang berada di Gampong atau Mukim yang berfungsi memberi nasehat kepadakeuchik danImum Mukimdalam bidang Pemerintahan, Hukum Adat, Adat Istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di Gampong atau Mukim; Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa serta Qanun Provinsi NAD Nomor 5 Tahun 2002 secara tegas menyatakan bahwa sebagai perwujudan demokrasi di
gampong dibentuk tuha peut atau sebutan lain yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang berkembang digampong yang bersangkutan. Berbeda dengan lembaga musyawarah desa sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bahwatuha peutmerupakan unsur pemerintahangampongyang dipisahkan dari pengertian pemerintahan gampong dan anggotanya dipilih dari dan oleh masyarakat
gampongsetempat.Dalam hal mengenai pembagian warisan dalam masyarakat Aceh terhadap istri nikah siri, maka berdasarkan latar belakang diatas, maka tesis ini akan membahas tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK WARIS ISTRI DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH DI
KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM DAROY/JEUMPET DESA
(26)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan istri yang dinikahi secara nikah siri pada masyarakat adat Aceh menurut hukum Islam?
2. Bagaimana Hak Waris istri yang dinikai secara nikah siri pada masyarakat adat Aceh?
3. Bagaimana akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kedudukan secara hukum Islam istri yang dinikahi secara nikah siri pada masyarakat adat Aceh.
2. Untuk mengetahui Hak Waris istri yang dinikahi secara nikah siri pada masyarakat adat Aceh.
3. Untuk mengetahui akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
(27)
D. Manfaat Penelitian
Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberi sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan hukum waris dan hukum perkawinan yaitu mengenai waris istri nikah siri ditinjau dari hukum Adat Aceh. 2. Secara praktis
Manfaat penelitian ini memberi masukan kepada para penegak hukum dan pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang hukum waris dan hukum pernikahan, agar tercipta suatu unifikasi hukum didalam masyarakat khususnya masyarakat Aceh.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di dalam lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul :“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HAK
WARIS ISTRI DALAM PERKAWINAN SIRI PADA MASYARAKAT
ADAT ACEH DI KECAMATAN DARUL IMARAH MUKIM
DAROY/JEUMPET DESA GAROT KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH”, belum pernah ada yang meneliti sebelumnya.
Dari hasil penelusuran keaslian penelitian, penelitian yang menyangkut Kedudukan hak waris istri dan pernikahan siri yang pernah dilakukan oleh
(28)
Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yaitu:
1. Nama :Muhammad Hekki Mikhail
NIM :107011107
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Analisis Hukum terhadap Hak Waris Istri NonMuslim (Studi Putusan No.0141/Pdt/2012/PA.SBY)
2. Nama :Panji Aulia Ramadhan
NIM :107011066
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Isteri atas Harta Bersama bagi Isteri yang dicerai dari Pernikahan Siri berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
3. Nama : Netti
NIM : 097011066
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis :Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
(29)
Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.18
Pendapat Gorys Keraf tentang definisi teori adalah19 : “Asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada”.
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata theadalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.20
Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata theadalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), dan juga simbolis.21
18 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal.
122
19Soerjono Soekanto, 2008,Pengantar Penelitian Hukum,(UI PressJakarta ), hal.6.
20 H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, PT. Refika Aditama,
Bandung, hal. 21
(30)
Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik,suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena, suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu, yang diketahui atau diamati.22
Menurut Neuman:
“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. la adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”23
Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcom Walters, maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat memenuhi kriteria :
a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial.
b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.
22Ibid
23W.L. Neuman,1991, Social Research Methods,Allyn dan Bacon, London, hal. 20 dalam
(31)
c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.
d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena, tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansiatau eksistensinya.
e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.
f. Pernyataan-Pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.
g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.24
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.25
24Ibid,hal. 23
25Made Wiratha, 2006, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Andi,
(32)
“Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”.26
“Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.”27
Menurut M. Solly Lubis bahwa :
“Teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual diamana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”28
Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian agar tidak salah arah, M.Solly Lubis menyebutkan :
“bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahm (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan rumusan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.”29
Menurut Soerjono Soekanto bahwa :
“Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau yang akan diteliti.”30
Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
26Ibid, hal. 6
27J.J.J. M. Wuisman, 1996,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas,Penyunting : M. Hisyam,
Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 203
28M. Solly Lubis, 1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian,CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 27 29Ibid,hal. 80
(33)
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.31Adapun teori yang digunakan adalah Teori Kepastian Hukum oleh Hans Kelsen”32. dan untuk pemecahan masalah sisi substansi setiap sistem hukumnya digunakan teori maslahat mursalah yaitu maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya ataupun yang menolaknya33, Zaky a-Din Syakban, menyebutkan tiga syarat menggunakan maslahat mursalah karena tidak ada dalil yang menolaknya, dapat dipastikan , bersifat umum34.
Menurut H.L.A. Hart hukum merupakan suatu sistem. Inti dari pemikirannya terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery rules dan
secondary rulesmerupakan pusat dari sistem hukum.”35
Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama, adalahprimery rulesyang didalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial
(social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi. Pertama, adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat untuk tercipta kondisi yang demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek internal). Kedua,
31Satjipto Rahardjo, 1991,Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti,Bandung ), hal. 253. 32Penegakan-hukum http://www.sribd.com/doc/1953532/, diakses tanggal 20 Juni 2013. 33H.Zamakhsyari, 2013,Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Usul Fiqih, Cita Pustaka
Media Perintis, hal.30
34 Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Mathba’dah Dar al-Ta’lif,
hal.173.
(34)
aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota masyarakat itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi perilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek eksternal).36
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan eksternal yang dapat dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan ini juga sekaligus merupakan pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-duanya (baik aspek internal daneksternal) sangat penting.37
Menurut M. Yahya Harahap, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal dimana :
1. Suami istri saling bantu-membantu serta saling lengkap melengkapi.
2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untukpengembangan kepribadian itu suami-istri harus saling bantu-membantu. 3. Dan tujuan terakhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia adalah
keluarga bahagia yang sejahtera spritual dan material.38 Syarat pengantin laki-laki dalam Islam, yaitu :
1. Tidak dipaksa/terpaksa.
36Ibid,hal. 91 37Ibid
(35)
2. Tidak dalam ihram haji atau ‘umrah.
3. Islam (apabila kawin dengan perempuan Islam).
Sedangkan syarat-syarat pengantin perempuan dalam Islam yaitu : 1. Bukan perempuan yang dalam ‘iddah.
2. Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 3. Antara laki-laki dan perempuan tersebut bukan muhrim. 4. Tidak dalam keadaan ihram haji dan ‘umrah.
5. Bukan perempuan musyrik.
Akibat yang timbul karena kematian adalah terbukanya warisan dari si meninggal. Dalam pewarisan terdapat tiga unsur penting, yakni adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan (nalaten Schap), adanya pewaris (Erflater) dan adanya ahli waris (Erfenaam).39
2. Konsepsional
Konsep berasal dari Bahasa Latin,conceptusyang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.40
“Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu kontruksi mental, yaitu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”.41
39Ibid, hal. 4
40Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, 2000,Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah,
(Bumi Aksara,Jakarta ), hal. 122.
(36)
“Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.”42
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.43
“Konsep merupakan salah satu bagian penting dari sebuah teori. Dalam suatu penelitian konsepsi dapat diartikan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkret, yang disebut definisi operasional (operational definition)”.44
Pentingnyadefinisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut :
1. Tinjauan yuridis diartikan sebagai suatu tinjauan dalam pandangan hukum. 2. Hak Waris Istri diartikan sebagai istri yang mempunyai hak untuk
mendapatkan bagian dari harta peninggalan suami yang telah meninggal. 3. Perkawinan siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan
nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.
42Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7
43Koentjaraningrat, 1997,Metode Penelitian Masyarahat(Gramedia Pustaka Utama,Jakarta),
hal. 24.
44 Sultan Remy Sjahdeini, 1983, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang
bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,Institute Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 10
(37)
4. Masyarakat adat Aceh diartikan sebagai sesuatu kebiasaan yang berhubungan dengan adat istiadat Aceh.
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta doktrin-doktrin. Dalam penelitian ini penelitian hukum normatif bertujuan untuk meneliti aturan-aturan mengenai perkawinan.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu “suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya”.45
Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan perundang-undangan (statue approach). “Pendekatan undang-undang (statute approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut pact dengan isu hukum yang sedang ditangani”.46Dengan pendekatan undang-undang ini, maka akan dianalisis adakan konsistensi dan kesesusaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.
2. Sumber Data
45Soerjono Soekanto,Ibid,hal. 10
(38)
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud di sini adalah data yang dikumpulkan melalui wawancara yang informannya yaitu Pemimpin Adat Aceh (tuha peut) .
Sedangkan data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer.
Bahan hukum primer adalah hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu Al-qur’an dan Hadist, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penyelesaian mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum tentang perkawinan
-c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan bukan primer dan bahan hukum sekunder; seperti kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research).
(39)
Sedangkan slat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pedoman wawancara(interview guide).
4. Analisis Data
“Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.47
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis datapada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. “Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum terlulis tersebut, untukmemudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi”.48
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan danevaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan (primer, sekunder maupun tertier), untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.49Hal tersebut dilakukan pada penelitian ini. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar dapat diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas.
47
Lexy J. Moleong, 2002,Metode Penelitian Kualitatif,Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 101 48Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Loc. Cit,hal. 251
49
(40)
Pengertian analisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.50
50H.B. Sutopo, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (UNS
(41)
BAB II
KEDUDUKAN ISTRI YANG DINIKAHI SECARA SIRI PADA MASYARAKAT ADAT ACEH MENURUT HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Nikah Siri Dalam Islam
Perkawinan/pernikahan dalam Islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu Islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat mengantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum Islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Rukun Nikah :
1. Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah. Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan. Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya. Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
2. Adanya ijab,yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah”
(42)
(“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
3. Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Syarat Nikah :
Syarat pertama: Kepastian siapa mempelai laki-laki dan wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus/khas. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakan, “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementara ia memiliki beberapa orang putri.
Syarat kedua: Keridhaan dari masing-masing pihak, dengan dalil hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458).Terkecuali bila si wanita masih kecil, belum baligh, maka boleh bagi walinya menikahkannya tanpa seizinnya.
Syarat ketiga: Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1839).51
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan
Al-51Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2)Lengkap,
(43)
Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud), Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain”.52
Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan inilah pendapat yang kuat. Adapun Abu Hanifah menyelisihi pendapat yang ada, karena beliau berpandangan boleh bagi seorang wanita menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan wanita lain, sebagaimana ia boleh menyerahkan urusan nikahnya kepada selain walinya53. Ulama berbeda pendapat dalam masalah wali bagi wanita dalam pernikahannya. Adapun jumhur ulama, di antara mereka adalah Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan selainnya berpandangan bahwa wali nasab seorang wanita dalam pernikahannya adalah dari kalangan ‘ashabah, yaitu kerabat dari kalangan laki-laki yang hubungan kekerabatannya dengan si wanita terjalin dengan perantara laki-laki (bukan dari pihak keluarga perempuan atau keluarga ibu tapi dari pihak keluarga ayah/laki-laki), seperti ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki, paman dari pihak ayah, anak laki-laki paman dari pihak ayah, dan seterusnya.
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
52Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap, Penerbit:
Pustaka Azzam, Jakarta.
(44)
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud no. 2083, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud).54
Syarat keempat:Persaksian atas akad nikah tersebut dengan dalil hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’:
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa’ no. 1839, 1858, 1860 dan Shahihul Jami’ no. 7556, 7557).55Oleh karena itu, tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya dua orang saksi yang adil.
Al-Imam At-Tirmidzi Rahimahullahu mengatakan, “Pengamalan hal ini ada di kalangan ahlul ilmi, baik dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin.” (Sunan At-Tirmidzi, 2/284).56
Tentang poligami Allah Swtberfirman :
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahlah dengan seorang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada sikap tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa: 3).57
54Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2012, ShahihSunan Abu Daud (1-3)Lengkap,
Op.Cit.hal.122
55Muhammad Nashiruddin al-Albani, 2012, Ringkasan SHAHIH MUSLIM (1-2) –
Lengkap,hal.203
56Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi (1 - 3) Lengkap, penerbit:
Pustaka Azzam,Jakarta, hal.75
(45)
Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam sikap tidak adil semacam ini. Dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
“Siapa yang memiliki dua istri, namun dia hanya mementingkan salah satunya, maka dia akan datang pada hari kiamat, sementara salah satu sisi badannya condong. (jawa: sengkleh).” (HR. Ahmad, An-Nasai, Ibn Majah, dan dishahihkan al-Albani).58
Meskipun, bukan syarat poligami harus diizinkan istri pertama. Dua hal yang perlu dibedakan, diketahui istri dan izin dari istri. Poligami harus diketahui istri, meskipun tidak diizinkan oleh istri. Hanya saja, sebagian ulama menegaskan, bahwa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di keluarga, membangun ketenangan dan kebahagiaan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak poligami meminta izin istrinya. Sebagaimana yang dinasehatkan Syaikh Sa’d al-Humaid (Fatwa Islam, no. 9479).59
Islam sebagai agama yang sempurna, tidak ketinggalan untuk memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada para wanita untuk menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai. Sebagaimana keterangan Syaikh Abdullah bin Jibrin (Fatwa Islamno. 1859).60
58Ibid
59Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com) 60Op.CitMuhammad Nashiruddin Al-Albani, hal.58
(46)
Semua ini dalam rangka mewujudkan keadilan dan bersikap baik kepada sesama. Karena Allah hanya memerintahkan yang adil,Sesungguhnya Allah hanya menyuruh (kamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90).61
Abu Hurayrah Ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.62
Firman Allah Swt;
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allahtelah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,(Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan
61Ibid
(47)
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yangdemikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah MahaMengetahuisegala sesuatu”.(QS AL Baqarah : 282)63.
Nikah Siri Dalam kitab-kitab Fikih tidak dikenal dengan istilah tersebut. Istilah ini lebih popular secara lokal dalam fikih perkawinan di Indonesia. Nikah Siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan dalam dua pengertian.
Pertama: perkawinan yang dilaksanakan dengan sembunyi-sembunyi, tanpa mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai. Kemudian tidak mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama sehingga perkawinan mereka tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Kedua: perkawinan yang dilakukan sembunyi-sembunyi oleh sepasang laki-perempuan tanpa diketahui oleh kedua pihak keluarganya sekalipun. Bahkan benar-benar dirahasiakan sampai tidak diketahui siapa yang menjadi wali dan saksinya.dan tidak didaftarkan di P3N(Pegawai Pencatat Nikah) Kantor Urusan Agama.
Selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah secara fikih, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan dan bertentangan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
(48)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Nikah siri sah menurut hukum Islam. Sebagian masyarakat berpendapat nikah siri atau nikah di bawah tangan tidak sah. Sebagian lain mengatakan sah. Untuk itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa. Nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga. “ Pernikahan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif, “ ujar Ketua Komisi Fatwa MUI Ma’ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI Jakarta, (30/5/2006)64
Pada prinsipnya, selama pernikahan siri itu memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang disepakati para ulama sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dipastikan hukum perkawinan itu ada dasarnya sudah sah, tapi tidak sejalan dengan perintah Nabi Saw yang menganjurkan agar perkawinan itu terbuka dan diumumkan kepada orang lain agar tidak menjadi fitnah-tuduhan buruk dari masyarakat. Bukankah salah satu perbedaan perzinaan dengan perkawinan itu dalam hal diumumkan dan terang-terangannya. Orang berzina tentu takut diketahui orang karena perbuatan keji, sedang perkawinan ingin diketahui orang karena perbuatan mulia.
Tujuan usaha pembaruan hukum keluarga berbeda antara satu negara dengan negara lain, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Pertama, negara yang bertujuan untuk unifikasi hukum keluarga. Alasan pembaruan untuk unifikasi ini adalah karena adanya sejumlah mazhab yang diikuti di negara
(49)
bersangkutan, yang boleh jadi terdiri dari mazhab masih di kalangan Sunni, namun boleh juga antara Sunni dan Syah. Bahkan untuk kasus Tunisia unifikasi hukum keluarga ditujukan bukan hanya untuk kaum muslimin, tetapi juga untuk semua warga negara tanpa memandang perbedaaan agama. Anderson misalnya menyebut, “Undang-Undang Tunisia berlaku untuk semua warga Tunisia, khususnya setelah dicapai kesepakatan dengan Perancis pada tanggal 1 Juli 1957, termasuk Yahudi sejak tanggal 1 Oktober 1957, kecuali untuk kasus-kasus yang belum ada aturannya dalam Undang-Undang ini, berlaku Rabbinical. Tujuan kedua, lain dari usaha pembaruan hukum keluarga Muslim adalah untuk pengangkatan status wanita. Meskipun tujuan ini tidak disebutkan secara eksplisit, namun dapat dilihat dari sejarah munculnya, yang diantaranya untuk merespon tuntutan-tuntutan peningkatan status wanita. Undang-Undang Perkawinan Mesir dan Indonesia masuk dalam kelompok ini. Tujuan ketiga, adalah untuk merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena konsep fikih tradisional dianggap kurang mampu menjawabnya.65
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga66. Dewasa ini fenomena perkawinan/pernikahan siri merupakan bukan hal baru dan asing dibicarakan dalam masyarakat pada saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering ada di dalam kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, ibu rumah tangga, praktisi hukum, aktifis dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan
65Tahir Mahmood,Op.Cit, hal 76
66Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. (PT. Rineka Cipta :
(50)
pendapat dan pandangan yang setuju maupun yang menolak keberadaan perkawinan siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan perkawinan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek perkawinan siri kian populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek perkawinan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi perkawinan yang mahal, keinginan melakukan perkawinan siri yang dilakukan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya namun tidak di catat Kantor Urusan Agama.
Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek perkawinan siri diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun disisi lain juga dampak negatifnya adalah merugikan banyak pihak terutama hak dan kewajiban wanita dan anak-anak.
Kata “sirri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah67. Dalam pasal 1 Undang-Undang Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
(51)
keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa68. Kata siri berasal dari bahasa Arab yang berarti sembunyi-sembunyi dan dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi / dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada. Pekawinan/pernikahan siri juga digolongkan menjadi dua: Perkawinan/pernikahan yang dilakukan tanpa wali (belum meninggal dunia) dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan terpenuhinya syarat-syarat lainnya tetapi tidak dicatat Kantor Urusan Agama setempat.
B. Perkawinan Siri Dalam Pandangan Hukum Positif Indonesia
Secara umum, dalam perspektif fikih islam, perkawinan/pernikahan siri cenderung diperbolehkan asalkan memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Sebaliknya dalam hukum positif nasional, perkawinan siri telah ditegaskan sebagai perkawinan yang ilegal. Bahkan dalam perundang-undangan nasional tentang perkawinan, baik dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada satu katapun yang menyebut nikah siri. Yang dibahas adalah perkawinan/pernikahan secara umum. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan siri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional.
68http://destylestary.blogspot.com/2010/11/fenomena-nikah-siri-dalam-prespektif.html
(52)
Perkawinan/pernikahan siri dapat ditinjau dari berbagai aspek peraturan perundang-perundangan yang berlaku di Indonesia, maka pendekatan yang harus digunakan adalah perangkat hukum yang telah diatur dan diakui oleh sistem perundang-perundangan nasional. Secara umum dalam perspektif hukum Islam, perkawinan/pernikahan siri cenderung diperbolehkan, meskipun dapat menjadi tidak sah karena tidak tercapai mashlahat dalam pernikahan karena perubahan hukum. Sementara dalam hukum positif dapat ditegaskan sebagai pernikahan yang ilegal, bahkan tidak ada satu katapun yang menyebutkan eksistensi perkawinan/pernikahan siri. Hal ini suatu indikasi perkawinan siri tidak dianggap dalam hukum perkawinan nasional.
Perangkat peraturan yang dapat dijadikan kajian untuk menentukan eksistensi perkawinan/pernikahan siri yaitu :
1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
Menurut Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974, perkawinan/pernikahan yang sah adalah pernikahan yang dicatatkan. Pasal 2 ayat 2 menyatakan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan-peraturan yang berlaku” Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menegaskan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu”. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku artinya pernikahan yang tidak dicatatkan adalah tidak sah.”
(53)
2. Kompilasi Hukum Islam
Status Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum peradilan agama. KHI dapat dipergunakan sebagai pegangan/pedoman dalam membahas pernikahan dalam sudut pandang hukum positif nasional.
KHI menyebut bahwa pentingnya pencatatan adalah untuk menjamin ketertiban pernikahan yaitu dalam pasal 5 ayat 1 “Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat”69, Pada prinsipnya KHI mengharamkan pernikahan siri. Meskipun istilah nikah siri tidak ada disebutkan sama sekali dalam KHI berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur didalamnya maka dengan jelas sekali menunjuk ketidakbolehan nikah siri.
Status Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum positif nasional telah diakui dan diterapkan dalam sejumlah putusan hukum Peradilan Agama. Secara konstitusional hadir melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Sehingga Kompilasi Hukum Islam merupakan salah satu bentuk positivikasi terhadap hukum Islam yang bermaksud mengembangkan pesan-pesan agama dari nuansa normatif, dari sekedar dicita-citakan(ius constituendum)menjadi hukum yang benar-benar berlaku (ius constitutum). Bagaimana sesungguhnya pengaturan pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam ini sehingga dianggap sah, Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
(54)
sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pasal ini jelas sekali terlihat bagaimana posisi Kompilasi Hukum Islam yang mendukung ketentuan pernikahan harus sesuai dengan hukum Islam dan hukum positif, jadi erat kaitannya antara ketentuan tentang sah atau tidak pernikahan antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan.
Aturan-aturan di dalam Kompilasi Hukum Islam ini sudah mengantisipasi lebih jauh ke depan dan tidak hanya sekedar membicarakan masalah administratif. Sehingga dalam klausul ini dinyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, yakni dalam hal menyangkut ghayat al-tasyri' (tujuan hukum Islam) yakni menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat, dan klausul yang menyatakan perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum atau tidak sah jika tidak dicatat dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga pada prinsipnya Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkan adanya praktek nikah siri, meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, maka jelas sekali menunjukan ketidakbolehan nikah siri.
C. Perbedaan Antara Perkawinan Siri Dengan Perkawinan Pada Umumnya Perbedaan yang paling nampak antara perkawinan siri dengan pernikahan pada umumnya yaitu menyangkut pencatatan perkawinan kepada pencatat sipil. Hal lain selain tentang pencatatan perkawinan yaitu menyangkut keabsahan perkawinan tersebut. Apabila dalam perkawinan siri keabsahannya hanya menyoal menyangkut agama saja (sah dimata agamaUlama fikih) dan tidak sah dalam hukum positif
(55)
Sedangkan perkawinan dalam Undang-Undang. No.1 tahun 1974 sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Perkawinan siri memang memiliki berbagai dampak yang berpengaruh pada masyarakat kita. Dampak negatif dari perkawinan siri antara lain :
1. Tidak kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum 2. Poligami akan meningkat
3. Perselingkuhan merupakan hal yang wajar dan pelecehan seksual terhadap kaum hawa akan meningkat
4. Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin ke Pengadilan.
5. Tanggung jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta lahir
Dalam hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.Atas hal yang telah disebutkan diatas, perkawinan siri lebih mendatangkan dampak negatif dan pada dampak positif.
Kedudukan dan keabsahan nikah siri dalam prespektif hukum islam, tidak lepas dari pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam. Syarat merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah / tidaknya sesuatu hal yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah sebagai berikut :
(56)
a. Tidak diperkenankan / larangan perkawinan berbeda agama (Q.S. Al-Baqarah : 21 )
b. Larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara susunan (Q.S. An-Nisa : 22, 23, 24)
2. Syarat khusus meliputi
a. Ada calon mempelai dimana adanya mempelai laki-laki dan wanita dan keridhaan dari masing-masing calon mempelai
b. Adanya wali pernikahan
Salah satu rukun perkawinan/pernikahan yang menjadi titik perdebatan tentang nikah siri adalah masalah perwalian pentingnya posisi wali tidak bisa ditawar-tawar lagi hadits Nabi Saw menyebut:
“Dari Aisyah Ra. berkata bahwa Rasulullah Saw besabda. ” Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (HR. Empat Imam Hadits, kecuali An-Nasai).“ Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali (HR. Ahmad dan Imam Empat) dan pada hadits yang berbunyi “Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil)” (HR. Ahmad).70
Namun ada pula beberapa ulama yang cenderung membedakan mempelai perempuan tanpa menggunakan wali.
“Janganlah kamu (hai para wali) mengahalangi mereka (wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya, jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf “ (Al-Baqarah : 232).71
Ulama-ulama seperti Abu Hanifah, Zutar, dan Az-Zuhri cenderung berpendapat bahwa apabila seorang perempuan menikah tanpa wali maka nikahnya
70Tahir Mahmood,Op.Cit, hal 65 71Ibid
(57)
selama pasangan yang dikawininya sekufu (setara) dengannya.“Al-Quran menyatakan bahwa” Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (Al-Baqarah : 234).72
Dewasa ini sejumlah kasus lain, perkawinan siri dilakukan melalu wali hakim yang tidak dilegalkan Pengadilan. Wali hakim diperbolehkan asalkan wali nasabnya tidak ada/tidak memenuhi syarat. Dalam perkawinan siri yang dicatatkan tentu wali hakim biasanya para ulama, kyai atau tokoh masyarakat.
Mengkaji persoalan hukum perkawinan siri di samping perlu menilik syarat adanya wali juga perlu menilik syarat adanya dua orang saksi karena kedua syarat tersebut adalah bagian dari rukun yang menentukan sah/tidaknya. Disini kita perlu menegaskan kembali bahwa nikah siri, disamping harus ada wali juga diharuskan ada dua orang saksi laki-laki yang adil. Jadi boleh tidaknya nikah siri perlu mengukur rukun yang satu ini. Untuk menilik hukum nikah siri ini sebenarnya disamping memperhatikan rukun perkawinan seperti wali dan saksi dan pengumuman (berita) pernikahan kepada khalayak umum.
Ada mahar atau sadaq sebagai bentuk kewajiban yang harus dibayar calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur’an surat An-Nissa ayat 4yaitu : (Berikanlah kepada wanita-wanita itu maskawin mereka) jamak dari shadaqah (sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati (Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian
(58)
dari maskawin itu dengan senang hati) nafsan merupakan tamyiz yang asalnya menjadi fa'il; artinya hati mereka senang untuk menyerahkan sebagian dari emaskawin itu kepadamu lalu mereka berikan (maka makanlah dengan enak) atau sedap (lagi baik) akibatnya sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan terhadap orang yang tidak menyukainya. Dan dalam Al-qur’an surat An-Nissa ayat 25 yaitu : (Dan siapa yang tidak cukup biayanya untuk mengawini wanita-wanita merdeka) bukan budak (lagi beriman) ini yang berlaku menurut kebiasaan sehingga mafhumnya tidak berlaku (maka hamba sahaya yang kamu miliki) yang akan dikawininya (yakni dari golongan wanita-wanita kamu yang beriman. Dan Allah lebih mengetahui keimananmu) maka cukuplah kamu lihat lahirnya saja sedangkan batinnya serahkanlah kepada-Nya karena Dia mengetahui seluk-beluknya. Dan berapa banyaknya hamba sahaya yang lebih tinggi mutu keimanannya daripada wanita merdeka; ini merupakan bujukan agar bersedia kawin dengan hamba sahaya (sebagian kamu berasal dari sebagian yang lain) maksudnya kamu dan mereka itu sama-sama beragama Islam maka janganlah merasa keberatan untuk mengawini mereka (karena itu kawinilah mereka dengan seizin majikannya) artinya tuan dan pemiliknya (dan berikanlah kepada mereka upah) maksudnya mahar atau maskawin mereka (secara baik-baik) tanpa melalaikan atau menguranginya (sedangkan mereka pun hendaknya memelihara diri) menjadi hal (bukan melacurkan diri) atau berzina secara terang-terangan (serta tidak pula mengambil gundik) selir untuk berbuat zina secara sembunyi-sembunyi. (Maka jika mereka telah menjaga diri) artinya dikawinkan; dalam suatu qiraat dibaca ahshanna artinya telah kawin (lalu
(59)
mereka melakukan perbuatan keji) maksudnya berzina (maka atas mereka separuh dari yang berlaku atas wanita-wanita merdeka) yakni yang masih perawan jika mereka berzina (berupa hukuman) atau hudud yaitu dengan didera 50 kali dan diasingkan setengah tahun. Dan kepada mereka ini dikiaskan hukuman bagi budak lelaki. Dan kawinnya hamba sahaya itu tidaklah dijadikan syarat untuk wajibnya hukuman, tetapi hanyalah untuk menunjukkan pada dasarnya mereka itu tidak menerima hukum rajam. (Demikian itu) maksudnya diperbolehkannya mengawini hamba sahaya sewaktu tak ada biaya itu (ialah bagi orang yang takut akan berzina) `anat artinya yang asli ialah masyaqqat atau kesulitan. Dinamakan zina demikian ialah karena dialah yang menyebabkan seseorang menerima hukuman berat di dunia dan siksa pedih di akhirat (di antara kamu). Ini berarti berbeda bagi orang yang tidak merasa khawatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan, maka tidak halal baginya mengawini hamba sahaya itu. Demikian pula orang yang punya biaya untuk mengawini wanita-wanita merdeka. Pendapat ini juga dianut oleh Syafii. Hanya saja dalam firman Allah, "...di antara wanita-wanitamu yang beriman," menurut Syafii tidak termasuk wanita-wanita kafir sehingga tidak boleh kawin walau ia dalam keadaan tidak mampu dan takut dirinya akan jatuh dalam perbuatan maksiat. (Dan jika kamu bersabar) artinya tidak mengawini hamba sahaya (itu lebih baik bagi kamu) agar kamu tidak mempunyai anak yang berstatus budak atau hamba sahaya. (Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) dengan memberikan kelapangan dalam masalah itu.73
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Kedudukan wanita yang dinikah secara siri dalam masyarakat adat Aceh yang berpedoman pada Fikih Islamyaitu sah sebagai istri. Karena perkawinan tidak tercatat secara Fikih Islam adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena perkawinan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif Indonesia wanita yang dinikahi secara siri dianggap istri tidak sah karena tidak diakui negarasebagai seorang istri.
2. Hak waris isteri yang dinikahi secara siri dalam masyarakat adat Aceh yang memakai pedoman Fikih Islam mendapat bagian waris 1/4 (serempat) dari harta peninggalan suami jika tidak ada anak atau keturunan lain dari pernikahan siri isteri dengan suaminya tersebut, dan jika terdapat anak atau keturunan lain maka isteri memperoleh bagian waris 1/8 (seperdelapan) dari harta peninggalan suami setelah dipenuhinya apabila suami ada meninggalkan wasiat dan setelah dibayar hutang-hutang suami. Namun apabila terjadi sengketa/konflik dalam pembagian harta warisan dan penyelesaian pembagian harta warisan dilakukan di Pengadilan Agama, maka hak waris isteri yang dinikahi secara siri tidak mendapatkan bagian waris dari harta peninggalan suami. Isteri yang dinikahi secara sah yang mendapatkan bagian waris dari harta peninggalan suami. Wasiat wajibah dapat digunakan sebagai wasiat untuk memberikan bagian waris kepada isteri yang
(2)
3. Akibat hukum perkawinan siri terhadap istri yang dinikahi secara siri pada masyarakat adat Aceh menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islamsecara hukum istri tidak dianggap sah,istri tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika suami meninggal dunia dan tidak berhak pula atas harta gonogini jika terjadi perpisahan.
B. Saran
1. Masyarakat adat Aceh sebaiknya harus tetap berpegang teguh pada Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi pedoman dan tuntunan dalam masalah perkawinan.
2. Hukum kewarisan yang diatur oleh hukum Islam sebaiknya menjadi pedoman oleh masyarakat adat Aceh sehingga ketetapan tersebut sebaikmya tetap dipertahankan. Terhadap istri yang dinikahi secara siri sebagai rasa kemanusiaan dapat diberikan wasiat wajibah sebagai jalan keluarnya.
3. Istri yang dinikahi secara siri sebaiknya harus melakukan upaya hukum berupa melakukan itsbat nikah,mengajukan permohonan pengesahan nikah dan atau juga dengan cara mengajukan gugatan pengesahan nikah yang diajukan di Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah kalau di Aceh). Atau melakukan perkawinan ulang yang harus disertai dengan pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama pada perkawinan ulang tersebut apabila suami belum meninngal dunia.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Ahyar M. dan Umma Khoiroh, 2001 Poligami Dimata Islam, Putra Pelajar, Surabaya
Aldizar, Addys dan Faturrahman, 2004, Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta
Ali Afandi.1997 Hukum Waris, Hukum Keluarga Hukum Pembuktian.. PT. Rineka Cipta : Jakarta.
Effendi Perangin-angin, Hukum Waris, Kumpulan Kuliah Jurusan Notariat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tanpa tahun
Effendi Satri, M.Zein, 2004, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Prenada Media, Jakarta
Harahap, M. Yahya, 1986,Segi-segi Hukum Perjanjian,Alumni, Bandung Happy Susanto. 2007.Nikah Siri Apa Untungnya. Visi Media : Jakarta Selatan. Husein Abdurrahman, 2007,Hitam Putih Poligami, fakultas Ekonomi UI, Jakarta Koentjaraningrat, 1997, Metode Penelitian Masyarahat, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Komaruddin, Komaruddin, Yooke Tjuparmah, 2000, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta
Lubis, M. Solly, 1994,Filsafat Ilmu dan Penelitian,CV. Mandar Maju, Bandung Made Wiratha, 2006, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis,
Andi, Yogyakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-5, Kencana, Jakarta
(4)
Mubarok, Jaih, 2006, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy, Bandung
Mubarak Syaiful Islah, 2007, Poligami Pro dan Kontra, PT.Syaamil Cipta Media, Bandung
Oemarsalim, 2000, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Rineke Cipta, Jakarta
Ramulyo, Moh Idris, 2002,Tinjauan Beberapa Pasal Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Segi Hukum Perkawinan Islam, PT. Bumi Aksara, Jakarta
Rahardjo Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Ilmu Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Rasayid, H.M., 1984,living in Philosopy, Bulan Bintang, Jakarta
Rifai’I, Moh., 1978,Ilmu Fiqih Islam Lengkap,PT. karya Toha Putra, Semarang R. Subekti, 1989, Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan
Hukum Waris, Kertas Kerja, Simposium Hukum Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta
RetubWulandari Wahyuni, 2010,Hukum Islam Dalam Tatanan Hukum di Indonesia, Universitas Tri Sakti, Jakarta
Salahudin. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara Pidana dan PerdataVisi Media : Jakarta Selatan.
Salman, H.R. Otje dan Susanto, 2004,Teori Hukum,PT. Refika Aditama, Bandung Schacht Josep, 2010,Pengantar Hukum Indonesia, Nuansa Bandung
Shihab, M. Quraish, 2006,Perempuan, Lentera Hati, Jakarta
Sjahdeini Sultan Remy, 1983, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institute
Bankir Indonesia, Jakarta
Sjarif, Surini Ahlan dan Ehniyah, 2005, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Penerbit Kencana, Jakarta
(5)
Soekanto Soerjono dan Mahmudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soekanto, Soerjono, 1986,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta Soerjono Soekanto, 2008,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta
Sutopo, H.B. 1998, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif, Bagian II, (UNS Press, Surabaya)
Subekti, 1982,Pokok – Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Bandung
Sunggono, Bambang, 2002, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Suprapto, Levina., Nikah Sirri, (Bandung: Prestasi Pustaka, 2010).
Syarifuddin Amir, 2003,Garis-Garis Besar Fiqih, Piramida Media, Jakarta
Tri lisiani Prihatinah,”Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No.2, Mei 2008.
Wongsowidjojo, R. Soerojo, 1989, Inventarisasi Masalah Hukum Waris dalam Praktek, Simposim Hukum Waris Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Kehakiman, Jakarta
Wuisman, J.J.J. M., 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta.
Zaky al-Din Sya’ban, 1965, Ushul Fiqh Islami, Mesir: Mathba’dah Dar al-Ta’lif,
Zamakhsyari, H., 2013, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Usul Fiqih, Cita Pustaka Media Perintis
Zuhdi Masjfuk, 1989, Masalah Fiqhiyah, PT. Karya Uni Press, JakartaKompilasi Hukum Islam.
B. Lain-Lain
M.Thaib Hasballah, 2010,Bahan Kuliah Pascasarjana Magister Kenotariatan USU MUI Online
(6)
Jâmi’ Ahâdits Syiah, Ismail Muazzi Malayiri, jil. 26,
Lum’ah al-Damisyqiyyah, Makki, bâb Mirâts, Mirâts Izdiwâj, Intisyarat-e Samt, Qanun Madani, klausul 945.
Jâmi’ al-Ahâdits Syiah, jil. 26.
Yuana Nurshiyam, Kebijakan kriminalisasi Kumpul Kebo(Cohabitation) Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia,Tesis, Hal 6, Maret 2004.
http://mpubandaaceh.wordpress.com/2010/05/24/fatwa-mpu-acehnikah-siri-ada-yang-sah/#more-651, diakses tanggal 10 April 2013
Penegakan-hukum http://www.sribd.com/doc/1953532/, diakses tanggal 20 Juni 2013 http://al-quran-sunnah.com/kitab/tabligh/-wacana/soore/8%dokitab%20kitab/1.%20
hadits% 20%20 nikah.htm,hadits No.1010.diakses tg.13 Juni 2013.
http://destylestary.blogspot.com/2010/11/fenomena-nikah-siri-dalam-prespektif.html diakses pukul 08.30 WIB tanggal 02 Januari 2013
http://infoting.blogspot.com/2012/03/hukum-nikah-siri-dalam-pandangan-islam.html\
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/11/m3qqe9-dilema-nikah-siri-2-terjadinya-bias-pemaknaan http://ujeberkarya.blogspot.com/2009/09/nikah-siri_16.html
http://www.pa-purwokerto.go.id/index.php/artikel/artikel-hukum/309-nikah-sirri.html
http://infoting.blogspot.com/2012/03/hukum-nikah-siri-dalam-pandangan-islam.html\
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/05/11/m3qqe9-dilema-nikah-siri-2-terjadinya-bias-pemaknaan http://digilib.uin-suka.ac.id/1151/
http://ujeberkarya.blogspot.com/2009/09/nikah-siri_16.html