View of HUBUNGAN OBESITAS DENGAN RISIKO OBSTRUKTIF SLEEP APNEA PADA MAHASISWA DI STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

  

HUBUNGAN OBESITAS DENGAN RISIKO OBSTRUKTIF SLEEP APNEA PADA

MAHASISWA DI STIKES JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI

  Galih Jatnika

  

Prodi Ilmu Keperawatan (S-1)

Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi

Abstrak

  Berat badan berlebih dan obesitas merupakan suatu kondisi kelebihan lemak tubuh dan dapat berisiko menimbulkan berbagai macam permasalahan kesehatan. Obesitas dapat dialami oleh siapa saja akan tetapi data menunjukkan bahwa obesitas ditemukan lebih banyak pada tingkatan usia anak dan remaja. Obesitas apabila tidak ditangani dapat berisiko menimbulkan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit jantung, diabetes mellitus tipe 2, asma, kanker dan salah satunya gangguan obstruktif sleep apnea (OSA). Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan antara obesitas dengan risiko OSA pada mahasiswa tingkat I di Stikes Jenderal A. Yani Cimahi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif korelasional. Metode penentuan sampel dengan menggunakan ketentuan jumlah sampel minimal pada penelitian deskriptif yaitu sebanyak 30 responden. Parameter untuk obesitas dengan melakukan pengukuran indeks massa tubuh (IMT) dan risiko OSA dengan menggunakan Epworth sleepiness scale. Selanjutnya data yang didapatkan dianalisis dengan uji Mann Whitney. Hasil penelitian untuk gambaran berat badan didapatkan sebanyak 24 responden termasuk kategori berat badan berlebih dan sisanya sebanyak 6 responden termasuk kategori obesitas. Gambaran risiko OSA didapatkan bahwa sebanyak 27 responden termasuk kategori normal atau tidak berisiko OSA, kemudian sebanyak 2 responden termasuk kategori risiko ringan OSA dan hanya ditemukan sebanyak 1 responden mengalami risiko sedang OSA. Uji hubungan didapatkan nilai p value 0,584 (p value > 0,05) berarti Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara obesitas dengan risiko OSA pada mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 di Stikes Jenderal A. Yani Cimahi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka peneliti memberikan saran bagi responden untuk berusaha menurunkan berat badan untuk menghindari timbulnya berbagai macam risiko penyakit akibat kegemukan yang salah satunya adalah risiko OSA dan diperlukan penelitian lanjutan dengan mengambil perbandingan yang sama antara jumlah responden dengan berat badan berlebih dengan responden yang memiliki berat badan obesitas.

  Kata kunci: Berat badan berlebih, obesitas, obstruktif sleep apnea.

  ABSTRACT

Overweight and obesity are condition of excess body fat and can pose risk of various health problems.

  

Obesity can be experienced by anyone but the data indicates that obesity is found more at child and

adolescent ages. Obesity if untreated may pose a risk of various diseases including heart disease, type 2

diabetes mellitus, asthma, cancer and one of obstructive sleep apnea disorder (OSA). The objective of the

study was to identify the relationship between obesity and OSA risk in first grade students at Stikes Jenderal

A. Yani Cimahi. The research method used was descriptive correlational research. The method of

determining the sample by using the provisions of the number of samples minimal in descriptive research

that is as many as 30 respondents. Parameters for obesity by measuring body mass index (BMI) and OSA

risk by using Epworth sleepiness scale. Furthermore, the data obtained were analyzed by Mann Whitney

test. The results of the study for weight description obtained as many as 24 respondents including over

weight categories and the rest as many as 6 respondents including the category of obesity. A description of

OSA risk was found that as many as 27 respondents belonged to the normal category or not at risk of OSA,

then as many as 2 respondents were classified as light risk category of OSA and found only 1 respondent

had moderate risk of OSA. The relationship test obtained p value 0,584 (p value> 0,05) mean Ha rejected

so that it can be concluded that there is no statistically significant relationship between obesity with risk of

OSA at student first degree TA 2016/2017 in Stikes Jenderal A. Yani Cimahi. Based on the results of this

study, the researchers provide advice for respondents to try to lose weight to avoid the emergence of various

kinds of disease risk one of which is the risk of OSA and required further research by taking the same

comparison of respondents with excess body weight with respondents who have weight obesity.

  Key words: Over weight,oObesity,obstructive sleep apnea

  PENDAHULUAN

  Kegemukan atau obesitas adalah suatu kondisi kelebihan lemak tubuh yang terakumulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak merugikan kesehatan, yang kemudian menurunkan harapan hidup, dan/atau meningkatkan permasalahan kesehatan. Seseorang dianggap kegemukan (obese) apabila indeks massa tubuh (IMT), yaitu ukuran yang diperoleh dari hasil pembagian berat badan dalam kilogram dengan kuadrat tinggi badan dalam meter lebih dari 30 kg/m² (Mitchel et al., 2011).

  Obesitas dapat dialami oleh siapa saja setiap golongan umur, laki-laki atau perempuan, akan tetapi kelompok remaja dan dewasa memiliki risiko lebih besar untuk mengalami obesitas (Mitchel et al., 2011). Obesitas dapat meningkatkan peluang berbagai macam penyakit, khususnya penyakit jantung, diabetes tipe 2, asma, kanker, osteoartritis, dan salah satunya yaitu obstruktif sleep apnea (OSA) (Desalu et al., 2016). OSA merupakan gangguan pada saluran pernafasan saat sedang tidur di mana terjadinya penutupan sebagian atau total saluran faring, adanya periode hilangnya aliran udara, desaturasi oksigen dan aurosal (terjaga). Ciri khas dari penyakit OSA adalah ditemukan kebiasaan mendengkur saat sedang tidur. Insidensi OSA diperkirakan sekitar 1-4% dari populasi umum (Antariksa, 2016). Penderita OSA dengan kebiasaan mendengkur lebih banyak terjadi apnea, hipopnea dan penurunan saturasi oksihemoglobin dibanding OSA tanpa dengan mendengkur. Sekitar 60% pasien OSA ditemukan pada orang dengan dengan berat badan berlebih dan obesitas (Tokuchi et al., 2016). Pada pasien OSA dapat ditemukan juga adanya peningkatan penumpukan lemak di dinding perutnya (Santos- Camilo et al., 2016)

  Pada populasi orang dewasa diperkirakan prevalensi OSA sebesar 25%, dan 45% lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan obesitas, akan tetapi OSA tidak terbatas terjadi pada orang dewasa saja. Data terbaru menunjukkan prevalensi OSA pada anak dan remaja mencapai 46% (Romero-Corral et al., 2010). Hal inilah yang mendasari adanya kemungkinan risiko mengalami OSA pada anak dan remaja dengan obesitas. OSA yang terjadi pada remaja dengan obesitas sebagai akibat adanya penimbunan jaringan lemak pada area leher dan rongga dada turut berperan memperbesar risiko adanya penyempitan saluran nafas dan periode henti nafas saat tidur, sekitar 10 detik (Antariksa 2016). Periode henti nafas saat tidur ini menyebabkan seseorang akan sering terbangun di malam hari. Remaja akan mengalami rasa kantuk berlebihan di siang hari, kelelahan, sering menguap, kurang perhatian, sulit berkonsentrasi, dan kemampuan mengingat terganggu. Sayangnya orang awam menganggap gangguan tidur ini sebagai ngorok, mendengkur dan merupakan hal yang alamiah yang dapat dialami oleh siapa saja, bahkan di tenaga kesehatan termasuk perawat dan dokter sangat jarang sadar akan kondisi OSA dan tidak dilakukan terapi, padahal menurut The National Commision on Sleep Disorder Reseach menyatakan bahwa 42% sampai 54% kejadian kecelakaan terkait dengan adanya OSA (Antariksa 2016). Selama ini di dalam negeri belum banyak penelitian yang dilakukan untuk meneliti tentang gangguan OSA. Peneliti mengidentifikasi penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh Rahman 2012, yang berjudul tentang hubungan obesitas dengan risiko OSA pada remaja di SMAN I Purwekerto dengan menggunakan kuesioner Berlin. Sesungguhnya tidak hanya kuesioner Berlin yang bisa dipakai sebagai parameter OSA, masih ada paramater yang lain yang bisa dipakai sebagai parameter risko OSA yaitu salah satunya Epworth

  sleepiness scale dan belum ada penelitian

  sebelumnya yang meneliti risiko OSA dengan menggunakan parameter Epworth sleepiness

  scale . Parameter Epworth sleepiness scale masih

  relatif baru digunakan dalam penelitian untuk mengukur risiko OSA. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti melakukan penelitian yang

METODE PENELITIAN

  Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif korelasional. Metode penentuan sampel dengan menggunakan ketentuan jumlah sampel minimal pada penelitian deskriptif yaitu sebanyak 30 responden. Sampel dalam penelitian ini adalah 30 responden usia remaja yang diambil dari mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 Stikes Jenderal A. Yani Cimahi dengan kategori berat badan berlebih dan obesitas. Berat badan berlebih ditentukan berdasarkan hasil pengukuran indeks massa tubuh (IMT) 25

  • – 10), risiko ringan (jika ESS 11 – 15), risiko sedang (jika ESS 16
  • – 20), risiko berat (jika ESS ≥ 21) (British Snoring and Sleep Apnea Association, 2016). Alat bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan microtoice. Data hasil penelitian selanjutnya dilakukan analisis data dengan uji mann whitney (Dahlan 2011). Penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli tahun 2017. (Mitchel et al., 2011). Berat badan berlebih atau obesitas dapat dialami oleh siapa saja setiap golongan umur, laki-laki atau perempuan, akan tetapi kelompok anak dan remaja memiliki risiko lebih besar untuk mengalami obesitas (Coman et al., 2016). Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh gaya hidup pada remaja yang sering melewatkan sarapan, menyukai makan-makanan fast food, dan memiliki kebiasaan sedentary life membuat remaja berisiko untuk mengalami obesitas.
  • – 29,99 kg/m², sedangkan berat badan obesitas ditentukan jika IMT > 30 kg/m². Selajutnya risiko OSA ditentukan berdasarkan kuesioner Epworth sleepiness scale

  Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut Tabel 1. Gambaran obesitas pada mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 Stikes Jenderal A. Yani Cimahi Berdasarkan tabel 1. didapatkan bahwa 24 responden termasuk kategori berat badan berlebih dan sisanya sebanyak 6 responden termasuk kategori obesitas. Seseorang dikategorikan memiliki berat badan berlebih apabila hasil perhitungan indek massa tubuh (IMT) 25 sampai dengan 29,9 kg/m² dan dikategorikan obesitas apabila IMT > 30 kg/m² bertujuan untuk melihat hubungan antara obesitas dengan risiko OSA pada mahasiswa dengan menggunakan parameter Epworth sleepiness scale .

  (ESS) (British Snoring and sleep apnea association, 2016). Adapun pengukuran ESS dengan menggunakan kategori normal (jika ESS

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Kategori Obesitas n Berat badan berlebih

  24 Obesitas

  6 Total

  30 Hal ini pun sesuai dengan responden pada penelitian ini yaitu pada mahasiswa tingkat I Obesitas mulai menjadi permasalahan di seluruh dunia bahkan menurut World Health

  Organization (WHO) menyatakan bahwa obesitas merupakan epidemi global, pada negara maju dan juga negara berkembang seperti Indonesia, terutama pada daerah perkotaan. Obesitas sudah menjadi problem kesehatan dan perlu segera ditangani (Rahman et al., 2012). Hal ini pun ditemukan di Stikes jenderal A. Yani Cimahi di mana dari sebagian mahasiswa tingkat I ditemukan adanya remaja dengan kategori berat badan berlebih dan obesitas.

  Angka kejadian obesitas pada usia anak dan remaja terutama mahasiswa ini masih sangat tinggi (Supriyatno dan Deviani 2005). Hal ini dikarenakan remaja sering makan-makanan

  instant , peningkatan frekuensi jajan yang tinggi

  lemak, serta jarang olahraga. Banyak yang mengatakan jika aktivitas mahasiswa itu melakukan kegiatan rutin yaitu tidur, makan, kuliah, pulang dan tidur lagi. Sehingga tidak heran jika kejadian berat badan berlebih dan obesitas ini banyak terjadi pada usia remaja khususnya pada mahasiswa. Tabel 2. Gambaran risiko obstruktif sleep apnea pada mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 Stikes Jenderal A. Yani Cimahi

  Kategori Obstruktif Sleep Apnea n

  Normal/tidak risiko

  27 Risiko ringan

  2 Risiko sedang

  1 Total

  30 Berdasarkan tabel 2. didapatkan bahwa sebanyak 27 responden termasuk kategori normal atau tidak berisiko obstruktif sleep apnea, kemudian sebanyak 2 responden termasuk kategori risiko ringan obstruktif sleep apnea dan hanya ditemukan yang mana tingkatan usianya berada pada usia remaja. sebanyak 1 responden mengalami risiko sedang obstruktif sleep apnea. Pada hasil penelitian ini diadapatkan hampir seluruh responden atau sebanyak 27 responden termasuk kategori normal atau tidak ada risiko OSA yang berarti Epworth sleepiness scale berada di rentang 0-10.

  Hasil penelitian ini kemungkinan dikarenakan kondisi fisik remaja masih baik terutama kondisi saluran nafas masih dalam kondisi sehat dan kemampuan kompensasi jantung paru yang baik. Selanjutnya adanya kesibukan kuliah dan banyak tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa sangat banyak dan secara tidak langsung dapat membuat kondisi tubuh aktif bergerak.

  Adapun sebagian kecil atau sekitar 2 responden yang mengalami risiko ringan OSA atau Epworth sleepiness scale berada pada rentang 11-15 . Hal ini kemungkinan disebabkan salah satunya oleh adanya faktor berat badan berlebih dan obesitas. Pada kondisi seseorang termasuk kategori risiko ringan OSA harus lebih berhati-hati dan mulai melakukan tindakan- tindakan penanganan dan pencegahan agar risiko timbulnya OSA ini bisa diminimalisir dan tidak berlanjut ke kondisi yang lebih buruk. Diperlukan usaha-usaha untuk menurunkan risiko timbulnya OSA ini dengan salah satunya adalah berusaha menurunkan berat badan. Hanya 1 dari keseluruhan responden yang mengalami risiko sedang mengalamai OSA. Hal ini kemungkinan kondisi saluran nafas dan kemampuan kompensasi jantung dan paru yang sudah menurun dan salah satunya bisa oleh karena faktor berat badan berlebih dan obesitas. Obesitas merupakan faktor utama untuk perkembangan dan progresifitas OSA, obesitas dapat meningkatkan dua kali lipat risiko OSA dibanding dengan berat badan normal (Romero- Corral et al., 2010). Seorang remaja yang mengalami OSA akan mengeluhkan sering timbulnya serangan rasa kantuk di siang hari, sehingga bisa berdampak kepada sulit berkonsentrasi saat sedang mengikuti perkuliahan dan dampak terburuknya apabila dibiarkan bisa sampai timbulnya apnea akibat adanya serangan episode henti nafas pada saat tidur.

  Tabel 3. Hubungan obesitas dengan risiko obstruktif sleep apnea pada mahasiswa tingkat I TA

  4 Total

  pertanyaan yang berkaitan dengan ada tidaknya serangan mengantuk selama melakukan berbagai macam aktivitas, seperti sedang membaca, sedang duduk santai, sedang menonton tv, sedang berkendara, dan sedang berbaring di sore hari, serta di dalam kuesioner Epworth sleepiness

  Epworth sleepiness scale yang berisi 8 buah

  Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al., 2012 terhadap 100 responden di SMAN 1 Purwekerto yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan risiko OSA pada remaja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al., 2012, risiko OSA diukur menggunakan kuesioner Berlin yang mana kuesioner Berlin terdiri dari 3 kategori yaitu mendengkur (kategori 1), serangan mengantuk di siang hari (kategori 2), hipertensi dan BMI (kategori 3), sebagai parameter untuk mengukur risiko OSA. Berbeda dengan penelitian yang sudah dilakukan dimana parameter risiko OSA menggunakan kuesioner

  Melihat hasil penelitian untuk analisa korelasional antara variabel obesitas dengan timbulnya risiko OSA menunjukkan bahwa dari sebanyak 24 responden dengan berat badan berlebih hanya ditemukan 2 orang saja yang memiliki risiko OSA. Selanjutnya pada mahasiswa dengan obesitas hanya ditemukan 1 orang yang memiliki risiko OSA. Hal ini menunjukkan bahwa pada mahasiswa dengan obesitas belum tentu pasti ditemukan adanya risiko OSA walaupun ada ditemukan sebanyak 1 responden dengan obesitas yang mengalami risiko ringan OSA.

  Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden atau sekitar 27 responden dalam kategori tidak ada risiko OSA atau berada dalam kategori normal dan hanya sedikit sekali yang memiliki risiko OSA.

  30 Berdasarkan tabel 3. didapatkan bahwa responden yang termasuk kategori berat badan berlebih yaitu sebanyak 22 responden termasuk normal atau tidak memiliki risiko OSA, sebanyak 1 responden memiliki risiko ringan OSA dan sebanyak 1 responden memiliki risiko sedang OSA. Adapun dari responden yang termasuk kategori obesitas didapatkan sebanyak 5 responden termasuk normal atau tidak memiliki risiko dan hanya didapatkan 1 responden saja yang memiliki risiko ringan OSA. Selanjutnya hasil uji hubungan didapatkan nilai p value 0,584 (p value > 0,05) berarti Ha ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara obesitas dengan risiko OSA pada mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 di Stikes Jenderal A. Yani Cimahi.

  1

  2

  27

  1 6 0,58

  2016/2017 Stikes Jenderal A. Yani Cimahi Katego rik Obesita s

  5

  24 obesita s

  1

  1

  22

  Berat badan berlebi h

  Risik o seda ng

  Norm al Risi ko ringa n

  Kategorik OSA Tot al P valu e

  scale tidak mengukur adanya riwayat mendengkur ataupun riwayat hipertensi seperti yang ada di kuesioner Berlin. Adanya perbedaan penggunaan parameter risiko OSA ini bisa

  Menyikapi hasil penelitian ini, peneliti melihat bahwa pada mahasiswa dengan berat badan berlebih belum tentu pasti mengalami risiko OSA walaupun masih ditemukan adanya mahasiswa yang mengalami risiko OSA. Selanjutnya pada mahasiswa dengan obesitas belum tentu juga bisa dipastikan akan mengalami risiko OSA walaupun masih ditemukan adanya mahasiswa dengan obesitas yang mengalami risiko OSA. Peneliti melihat bahwa karena faktor berat badan berlebih dan obesitas bisa berisiko timbulnya OSA walaupun secara statistik tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan.

  Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya kemungkinan dikarenakan oleh perbedaan parameter yang digunakan untuk mengukur risiko OSA yaitu Kuesioner Berlin sedangkan pada penelitian ini menggunakan kuesioner Epworth sleepiness scale. Selanjutnya perbedaan hasil penelitian dengan penelitian sebelumnya kemungkinan dikarenakan jumlah antara responden berat badan berlebih dengan obesitas memiliki perbandingan yang tidak sama yaitu responden dengan berat badan berlebih sebanyak 24 responden dan responden dengan

  Antariksa,

  B., 2016. PATOGENESIS, DIAGNOSTIK DAN SCREENING OSA Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. RS Persahabatan-FKUI Jakarta.

  British Snoring and sleep apnea association., 2016. EPWORTH SLEEPINESS SCALE BRITISH. membuat hasil penelitian yang berbeda dengan hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain. berat badan obesitas hanya sebanyak 6 responden. Adapun yang menyebabkan perbandingan yang tidak seimbang antara responden dengan berat badan berlebih dengan berat badan obesitas dikarenakan oleh terbatasnya jumlah responden dengan berat badan obesitas pada mahasiswa tingkat I di Stikes Jenderal A. Yani Cimahi.

  KESIMPULAN

  Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara obesitas dengan risiko Obstruktif sleep apnea pada mahasiswa tingkat I TA 2016/2017 di Stikes Jenderal A. Yani Cimahi walaupun ditemukan pada mahasiswa dengan berat badan berlebih sebanyak 2 responden memiliki risiko ringan dan sedang OSA dan pada mahasiswa dengan berat badan obesitas ditemukan 1 responden memiliki risiko ringan OSA.

UCAPAN TERIMA KASIH

  Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh responden yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini dan juga ucapan terima kasih disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi yang telah memberikan bantuan dana hibah internal Perguruan Tinggi untuk terlaksananya penelitian ini.

  Coman, A.C., Borzan, C., Vesa, C.S., dan Todea, D.A., 2016. OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA SYMPTOM AND QUALITY OF LIFE. Clujul Medical Vol 89 No. 3. doi: 10.15386/cjmed-593

DAFTAR PUSTAKA

  Dahlan, M.S., 2011. STATISTIK UNTUK KEDOKTERAN DAN KESEHATAN.

  Edisi 5 seri evidence base medicine 1. Salemba Medika. Jakarta.

  Desalu, O., Onyedum, C., Sanya, E., Fadare, J., Adeoti, A., Salawu, F., Oluyombu, R., Olamoyegun, M., Fawale, M., Gbadegesin,

  B., dan Bello, H., 2016. PREVALENCE, AWARNESS REPORTING OF SYMPTOM OF OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA AMONG HOSPITALIZED ADULT PATIENT IN NIGERIA: IN MULTICENTER STUDY. doi 10.4314/ejhs.v26i4.4

  • – 1094. doi 10.2147/TCRM.S112442

  Mitchel, N., Cattenacci, V., Wyat, H.R., Hill, J.O., 2011. OBESITY: AN OVERVIEW OF EPIDEMIC. Pshyciatr. Clin. Nort. Am.

  • – 84
  • – BASED

  34.717-732. doi 10.1016/j.psc.2011.08.005 Rahman, U.B., Handoyo, Rohadi, P., 2012. HUBUNGAN OBESITAS DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA (OSA) PADA REMAJA. J. Ilm. Kesehatan.Keperawatan 8

  Romero-Corral, A., Caples, S.M., Lopez- Jimenez, F., dan Somers, VK., 2010

  INTERACTION BETWEEN OBESITY AND OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA. Chest 2010; 137(3): 711-719. doi 10.1378/chest.09-0360

  Santos-Camilo, M.,Araes, S.P.,Hirotsu, C.,Tufik, S.,Andersen, M.L., 2016.

  CORRELATION BEETWEEN OBESITY AND CHRONIC KIDNEY DISEASE: IS OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA AN

  INTERFERING FACTOR? Ther. Clin Risk Manag. 12, 1093

  Supriyatno, B., Deviani, R., 2005.

  OBSTRUKTIF SLEEP APNEA SYNDROM PADA ANAK. Sari Pediatri volume 7 nomer 2, September 2005: 77

  Tokuchi, Y., Nakamura, Y., Munekata, Y., dan Tokuchi,

  F., 2016. LOW CARBOHYDRAT DIET

  INTERVENTION FOR OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA AND PRIMARY HYPOTHYROIDISME IS AN OBESE JAPANESE MAN. Asia Pac. Pam Med. doi: 10.1186. S12930-016-0029-8