View of GAMBARAN ABNORMALITAS ORGAN HATI DAN GINJAL PASIEN TUBERKULOSIS YANG MENDAPATKAN PENGOBATAN
GAMBARAN ABNORMALITAS ORGAN HATI DAN GINJAL PASIEN
TUBERKULOSIS YANG MENDAPATKAN PENGOBATAN
1*) 2 3 4 Perdina Nursidika , Ayi Furqon , Fikriani Hanifah , Dwi Ratna AnggariniProdi Analis Kesehatan, Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi * Jalan Terusan Jenderal Sudirman Cimahi
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pengobatan tuberkulosis dilakukan selama 6-9 bulan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara oral. OAT yang diberikan terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid (PZA), dan etambutol (E). Waktu pengobatan yang lama dapat penyebabkan gangguan fungsi hati dan ginjal. Gangguan fungsi hati dapat dilakukan dengan pemeriksaan aktivitas enzim SGOT dan SGPT. Untuk mengetahui abnormalitas pada organ ginjal diuji dengan pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah. Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran aktivitas enzim SGOT dan SGPT, serta kadar kreatinin dalam darah penderita tuberkulosis yang mendapat pengobatan anti tuberkulosis oral. Metode penelitian adalah metode deskriptif dengan jumlah 30 sampel yang diambil pada puskesmas kota Cimahi dan Puskesmas Cimaung kabupaten Bandung. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Klinik Prodi Analis Kesehatan Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi pada bulan Februari
- – Maret 2015. Hasil menunjukan 20 orang (66,67%) dengan aktivitas enzim SGOT yang normal dan sebanyak 10 orang (33,33%) aktivitas enzim SGOT yang abnormal. Sebanyak 27 orang (90%) menunjukkan aktivitas enzim SGPT normal dan 3 orang (10%) menunjukan aktivitas enzim SGPT abnormal. Hasil pemeriksaan didapatkan kadar kreatinin pada 10 orang pasien laki-laki dengan rata-rata 1,0 mg/dl, 7 orang rata-rata kadar kreatinin 0,85 mg/dl. Pasien perempuan 12 orang dengan rata-rata kadar kreatinin 0,87 mg/dl dan 1 orang dengan kadar kreatinin 0,67 mg/dl. Berdasarkan lama pengobatan didapatkan 14 orang menjalani 2 bulan pengobatan dengan rata-rata kadar kreatinin 0,96 mg/dl, sedangkan 16 orang yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan memiliki kadar kreatinin 0,86 mg/dl. Dapat disimpulkan tidak terdapat pasien yang memiliki kadar kreatinin di atas ambang batas nilai rujukan. Kata Kunci: Antituberkulosis, hepatotoksik, kreatinin, nefrotoksik, SGOT, SGPT
ABSTRACT
Tuberculosis treatment carried out for 6-9 months using oral anti tuberculosis (OAT). Oral
OAT consist of isoniazid (INH), rifampicin (R), pyrazinamide (PZA), and ethambutol ( E).
Prolonged treatment of oral OAT might affect liver and kidney function. Liver dysfunction
indicated by increasing activity of SGOT and SGPT, while for kidney dysfunction indicated
by the level of blood creatinine. This study aimed to figure out the abnormality of liver and
kidney’s function of individual with oral anti tuberculosis treatment using SGOT and
SGPT enzyme marker for liver function and blood creatinine for kidney function. Using
descriptive analysis, this study employed 30 respondents taken from Cimaung Primary
health center Bandung. Blood samples been conducted in Health Laboratory Analyst,
Stikes Jenderal A. Yani Cimahi, starting from February to March 2015. This study showed
that total of 20 respondents (66,7%), have normal SGOT scores, and as many as 10
respondents (33,33%) showed abnormal score of SGOT. Moreover, a total of 27
respondents (90%) showed a normal SGPT level, and 3 respondents (10%) showed
abnormal SGPT level. Analysis of creatinine level showed that a total of 10 male
respondents have average 1.0 mg/dl, 7 of them have 0,85 mg/dl. The result among female
respondents showed that 12 of them have average serum creatinine level of 0.87 mg/dl, and
one of them has 0,67 mg/dl creatinine serum level. Based on the length of medication, 14
respondents undergo 2 months of treatment have 0,96 mg/dl of serum creatinine level,
while 16 of them whose undergo more than 2 months of treatment had higher levels of
creatinine 0,86 mg/dl. It concluded that there is no abnormal serum creatinine level.Keywords: Anti-tuberculosis, creatinine, hepatotoxic, nephrotoxic, SGOT, SGPT
A. PENDAHULUAN
Dalam global tuberculosis report WHO 2014, Indonesia menduduki peringkat kesembilan dengan prevalensi sekitar 748.000
- –2.420.000 penderita tuberkulosis dan 140.800 meninggal akibat tuberkulosis (WHO, 2014:2). Tuberkulosis merupakan penyebab kematian 9,4% dari total kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi di Indonesia termasuk kematian akibat efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) (Diana, Yuyun, dan Syarifudin, 2014:1).
Kasus tuberkulosis di provinsi Jawa Barat mencapai 38.150 menempati peringkat pertama di Indonesia. Namun dalam masalah pengobatan Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat ketiga (56,2%) setelah DKI Jakarta (68.9%) dan DI Yogyakarta (67,3%) (Riskesdas, 2013:70).
Pengobatan tuberkulosis menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diberikan secara oral dan intramuskular. OAT yang diberikan secara oral terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (PZA), dan Etambutol (E). OAT yang diberikat secara Intramuskular adalah Streptomisin (S) (Hudson et al, 2003:14). Obat tuberkulosis oral diberikan selama 6-9 bulan. Pengobatan yang cukup lama, sering memberikan efek samping obat yang harus diperhatikan bagi pasien yang menjalani pengobatan anti tuberkulosis (Wu et al, 2014:1).
Di Indonesia, angka kejadian hepatotoksisitas akibat obat anti- tuberkulosis sekitar 38,2% (Ningrum, 2010:38-52). Obat anti Tuberkulosis yang memiliki efek hepatotoksik adalah Isoniazid (INH), Pirazinamid (PZA), dan Rifampisin (Prihatni, dkk, 2012:1). Isoniazid dimetabolisme di hati menghasilkan senyawa diasetilhidrazi. Pirazinamid dapat mengubah tahap enzim nikotinamid asetil dehidrogenase. Kedua senyawa obat ini dapat menghasilkan senyawa radikal bebas yang dapat merusak sel-sel hepatosit. Sedangkan Rifampisin dapat mengganggu transportasi bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia yang terkonjugasi kemudian merusak sel-sel hepatosit. Kerusakan sel-sel hepatosit mengakibatkan gangguan fungsi hati (Kumar, 2000:1-46)
Gangguan fungsi hati ditandai dengan meningkatnya enzim-enzim hati dan bilirubin didalam darah. Test Laboratorium untuk menilai Fungsi hati adalah dengan pemeriksaan Gamma GT, Alkali Phospatase (ALP), Bilirubin, Lactate Dehydrogenase (LDH), Serum Glutamic Oxaloacetat
Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic pyruvat Transaminase
(SGPT) (Amirudin, 2009:627).
SGOT dan SGPT adalah enzim yang disekresikan oleh sitoplasma hati, kelompok enzim sebagai katalisator dalam proses pemindahan gugus amino dari suatu asam alfa amino kepada suatu asam alfa keto. Adanya enzim transaminase dalam plasma di atas nilai normal dapat menunjukkan adanya kerusakan jaringan (Meyes et al, 2009:254).
Beberapa OAT bersifat nefrotoksik. Pada ginjal, antibiotik golongan aminoglikosida tidak dapat dieksresi sehingga akan terakumulasi jumlahnya dalam ginjal yang akan mengganggu fungsi ginjal (Setiawati, 2012:490), rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis yang dapat pula meyebabkan efek nefrotoksik (Chasani, 2008:4). Kreatinin adalah hasil akhir dari metabolisme otot yang akan dilepaskan oleh otot dengan kecepatan metabolisme yang hampir konstan dan diekskresikan dalam kemih. Karena itu, kadarnya dalam plasma hampir konstan yaitu sekitar 0,7-1,5 mg/100mL. Pada Penelitian di Universitas Hasanudin Makasar menemukan hasil gangguan fungsi ginjal, tubulus akan dari 38 pasien tuberkulosis yang mengalami peradangan sehingga tidak mendapat pengobatan terdapat 29 dapat melakukan penyaringan kreatinin pasien yang mengalami kenaikan kadar yang seharusnya di ekskresi sehingga kreatinin serumnya (Lethet, 2010:6). terjadi peningkatan kadar kreatinin
Pemeriksaan kreatinin pada penelitian dalam darah (Price, 2002 :799). ini digunakan untuk skrining kerusakan ginjal akibat efek samping anti tuberkulosis sehingga bermanfaat untuk memonitoring pengobatan pada
B. METODE PENELITIAN pasien tuberkulosis.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dan dilakukan Kriteria inklusi : pasien yang dengan 3 tahap penelitian, yaitu: sedang mengalami pengobatan
1. Pemilihan sampel lebih dari 2 minggu, pasien dengan Sampel dalam penelitian ini adalah pengobatan anti tuberkulosis oral. pasien penderita tuberkulosis
1 Pemeriksaan aktivitas SGOT dan sebanyak 30 orang bulan Februari- SGPT Menggunakan metode kinetik
Maret. Bahan pemeriksaan adalah
2 Pemeriksaan kadar kreatinin serum ataupun plasma dari pasien Menggunakan metode Jaffe tanpa yang tidak hemolisis, lipemik, dan deproteinasi. ikterik.
Analisis pentapan aktivitas enzim SGOT SGPT dan penetapan kadar kreatinin dilakukan dengan metode spektrofotometri.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pemeriksaan Aktivitas SGOT dan SGPT
orang dengan interpretasi aktivitas Obat anti tuberkulosis yang dikonsumsi enzim SGPT normal dan sebanyak 3 berupa kombinasi dari isoniazid,
(10%) orang dengan interpretasi rifampisin, pirazinamid dan etambutol aktivitas enzim SGPT yang abnormal. yang terdapat dalam satu tablet. Hasil
Pada laki-laki, aktivitas enzim SGOT pemeriksaan aktivitas enzim SGOT dan normal sebanyak 14 orang (70%)
SGPT pada penderita tuberkulosis yang dengan rata-rata 28,92U/l dan abnormal sebanyak 6 orang (30%) dengan rata- mendapat pengobatan anti tuberkulosis rata 58,00 U/l. Sedangkan pada oral dari 30 sampel penderita perempuan, aktivitas enzim SGOT tuberkulosis didapatkan sebanyak 20 normal sebanyak 6 orang (60%) dengan (66,7%) orang dengan interpretasi rata-rata 25,00 U/l dan abnormal aktivitas enzim SGOT normal, dan sebanyak 4 orang (40%) dengan rata- sebanyak 10 (33,3%) orang dengan rata 39,50.Berdasarkan uji Chi-square interpretasi aktivitas enzim SGOT didapatkan nilai p value 0,58. abnormal. Pada aktivitas enzim SGPT didapatkan sebanyak 27 (90%)
Tabel 1 Pengobatan Antituberkulosis Oral Berdasarkan Jenis Kelamin Gambaran Aktivitas Enzim SGOT Pada penderita Tuberkulosis yang Mendapat Tabel 2. Gambaran Aktivitas Enzim SGPT Pada penderita Tuberkulosis yang Kelamin
Mendapat Pengobatan Antituberkulosis Oral Berdasarkan Jenis Menurut IFCC expert, nilai rujukan untuk laki-laki aktivitas enzim SGPT adalah 41 U/l dan Perempuan 31 U/l. Pada laki-laki, aktivitas enzim SGPT normal sebanyak 18 orang (90%) dengan rata-rata 19,44 U/l dan abnormal sebanyak 2 orang (10%) dengan rata-rata 53,00U/l. Sedangkan pada perempuan, aktivitas enzim SGPT normal sebanyak 9 orang (90%) dengan rata-rata 16,78U/l dan abnormal 1 orang (10%) dengan aktivitas SGPT 38 U/l. Berdasarkan uji Chi-square didapatkan nilai p value 1.
Dari 30 sampel penderita yang dijadikan subjek penelitian sebanyak 20 orang (66,7%) orang berjenis kelamin laki- laki dan 10 (33,3%) berjenis kelamin perempuan. Jumlah pasien tuberkulosis laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan pada perempuan terdapat hormon estrogen yang dapat meningkatkan sekresi INF-
γ dan mengaktifkan makrofag sehingga respon imun meningkat, sedangkan pada laki-laki terdapat hormon testosteron yang menghambat respon imun (Utami, 2014:11). Makrofag yang diaktivasi oleh bakteri penyebab tuberkulosis akan mengeluarkan sitokin, sitokin tersebut akan bertindak sebagai sitokin proinflamatori yang merangsang produksi INF-
γ oleh sel T dan sel Natural Killer yang meningkatkan aktivasi makrofag dalam memfagositosis bakteri (Kaihena, 2013:70).
Makrofag teraktivasi mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik. Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme, kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan kuman
Mycobacterium tuberculosis yang
merupakan benda asing (Kaihena, 2013:76).
Pada Aktivitas enzim SGPT pada penderita laki-laki didapatkan hasil 70% menunjukan aktivitas enzim SGPT yang normal dan 30% menunjukan aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Pada penderita perempuan didapatkan sebanyak 90% menunjukan aktivitas enzim SGPT yang normal dan 10% menunjukan aktivitas enzim yang abnormal, sehingga tidak ada hubungan jenis kelamin terhadap aktivitas enzim SGPT. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih sebanyak 66,36% menunjukan aktivitas sebanyak 20,9% menunjukan aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas enzim SGOT dan SGPT pada perempuan. Menurut Sloane (2003), ini berhubungan dengan masa otot laki-laki lebih besar dibandingkan dengan masa otot perempuan.
Pengobatan tuberkulosis fase pertama adalah 2-3 bulan dan fase kedua 4-6 bulan. Pada lama pengobatan penderita dari 30 sampel pada lama pengobatan
>2 bulan terdapat sebanyak 16 orang (84,21%) memiliki aktivitas enzim SGOT normal dan sebanyak 3 orang (15,79%) memiliki aktivitas enzim SGOT abnormal. Pada lama pengobatan
≤2bulan terdapat sebanyak 4 orang (36,36%) memiliki aktivitas enzim SGOT normal dan sebanyak 7 orang (63,63%) memiliki aktivitas enzim SGOT abnormal. Berdasarkan uji
Chi-square didapatkan nilai p value
0,007. . Pada lama pengobatan >2 bulan didapatkan sebanyak 17 orang (89,47%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang normal dan sebanyak 2 orang (10,53%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Pada lama pengobatan
≤ 2bulan didapatkan sebanyak 10 orang (90,90%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang normal dan sebanyak 1 orang (9,10%) memiliki aktivitas enzim SGPT yang abnormal. Berdasarkan uji Chi-square didapatkan nilai p value 0,9.
Pada lama pengobatan ≤ 2 Bulan didapatkan sebanyak 9 orang (81,81%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT ≤ 2 dan sebanyak 2 orang (18,19%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT>2. Pada lama pengobatan > 2 bulan didapatkan sebanyak
16 orang (84,21%) menunjukan rasio akvititas enzim SGOT/SGPT ≤ 2 dan sebanyak 3 orang (15,79%) menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT >2. Berdasarkan uji
Chi-square didapatkan nilai p value 0,86.
Menurut Kemenkes fase pengobatan pertama 2-3 bulan dan aktivitas SGOT dan SGPT harus dievaluasi karena pada fase pertama Obat anti Tuberkulosis yang dikomsumsi oleh penderita tuberkulosis diminum setiap hari selama 2 bulan sehingga adanya peningkatan enzim SGOT dan SGPT lebih besar. Fase Pengobatan ke dua yaitu 4-7 bulan. Pada fase kedua penderita meminum obat antituberkulosis tiga kali dalam seminggu, sehingga sebagian besar penderita tuberkulosis dapat menyelesaikan pengobatannya tanpa efek samping, dan sebagian kecil dapat mengalami efek samping (Kemenkes, 2009:19).
Setelah fase pertama biasanya dilakukan evaluasi pengobatan dengan melihat aktivitas enzim SGOT dan SGPT. Apabila Aktivitas enzim SGOT dan SGPT dalam keadaan normal maka penderita dapat melanjutkan lagi pengobatan ke fase kedua, tetapi apabila aktivitas enzim SGOT dan SGPT nya meningkat maka penderita harus berkonsultasi dengan dokter (Kemenkes, 2009:19).
Gambaran rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT berdasarkan lama pengobatan, pada lama pengobatan
≤ 2 bulan didapatkan sebanyak 18,19% menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT lebih dari 2.0 dan pada lama pengobatan > 2 bulan didapatkan sebanyak 15,79% menunjukan rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT lebih dari 2.0 . Jadi tidak ada hubungan lama pengobatan terhadap rasio aktivitas enzim SGOT/SGPT dengan p-value > 0,05.
Hepatotoksik akibat obat dapat memiliki rasio SGOT/SGPT lebih dari
2.0. Drug Included Hepatitis (DIH) menunjukan aktivitas enzim SGOT lebih besar dari Aktivitas enzim SGPT. Ini disebabkan karena obat dapat merusak mitokondria sel, sehingga pelepasan enzim SGOT lebih banyak dikeluarkan dari mitokondria ke sitoplasma dan keluar dari sel.
Menurut kit insert nilai rujukan kreatinin untuk laki-laki yaitu 0,9-1,5 mg/dl dan Perempuan 0,7-1,3 mg/dl. Pada laki-laki, kadar kreatinin normal sebanyak 10 orang (59%) dengan rata- rata 1,01 mg/dl dan abnormal sebanyak 7 orang (41 %) dengan rata-rata 0.85 mg/dl. Pada pasien perempuan, kadar kreatinin normal sebanyak 12 orang (92%) dengan rata-rata 0.87 mg/dl dan abnormal sebanyak 1 orang (8%) dengan rata-rata 0,67 mg/dl.
Pasien yang menjalani pengobatan ≤2 bulan sebanyak 14 (47%) pasien memiliki kadar kreatinin 0.96 mg/dl.
Dari pasien yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan sebanyak 16 (53%) pasien memiliki kadar kreatinin 0,86 mg/dl. Pasien yang mendapat pengobatan kombinasi RHEZ sejumlah 27 (90%) orang dengan rata-rata kadar kreatinin 0,91 mg/dl, sedangkan 3 (10%) lainnya mendapat pengobatan RHEZ+S dengan rata-rata kadar kreatinin 0,92 mg/dl.
Pasien sebanyak 14 (47%) orang yang sedang menjalani pengobatan kurang dari 2 bulan, memiliki kadar kreatinin lebih tinggi daripada 16 (53%) pasien yang menjalani pengobatan lebih dari 2 bulan. Kadar kreatinin pasien yang diteliti masih dalam kisaran ambang batas normal.
Pada pasien tuberkulosis, setelah dilakukan pengobatan 2 bulan diperiksa kembali Basil Tahan Asam, apabila hasil pemeriksaan negatif maka dosis pengobatan diturunkan.
Pasien yang diteliti, setelah menjalani pengobatan 2 bulan memiliki Basil Tahan Asam negatif, sehingga dosis obat diturunkan dengan mengkonsumsi obat 3 kali dalam satu minggu.
2. Pemeriksaan kreatinin
Penurunan dosis obat anti tuberkulosis dapat mengurangi resiko nefrotoksik, dimana pemberian dosis obat yang tidak dilakukan setiap hari akan mengurangi adanya resiko nefrotoksik karena tubuh tidak terpapar obat secara terus-menerus. Mengacu pada penelitian Chang (2014) bahwa obat anti tuberkulosis dapat menyebabkan adanya gangguan fungsi ginjal (gagal ginjal akut) yang akan terjadi selama
2 bulan pengobatan anti tuberkulosis. Pada 2 bulan pertama pengobatan rifampisin akan menyebabkan adanya kerusakan pada tubulus ginjal. Kerusakan yang disebabkan anti tuberkulosis ini akan bersifat reversibel dimana akan kembali normal pada 3-4 bulan pengobatan. Sebanyak 3 pasien menjalani pengobatan kategori 2 yaitu dengan kombinasi obat RHEZ+S. Dimana penggunaan aminoglikosida dalam hal ini yang dimaksud adalah streptomisin memiliki waktu paruh daya serap di dalam tubulus ginjal selama 4-5 hari, sehingga akan meningkatkan kadar kreatinin dalam darah selama 7-10 hari pengobatan.
Pada sejumlah kasus dijelaskan bahwa setelah penghentian pengobatan akan menyebabkan kadar kreatinin
Dari 30 pasien penderita tuberkulosis yang diberi pengobatan menunjukkan terjadi abnormalitas pada organ hati, 10 pasien menunjukkan peningkatan aktivitas enzim SGOT dan 3 pasien menunjukkan
\ normal kembali dengan waktu yang perlahan yaitu selama 4-6 minggu (Sandu, 2007:1).
Pada penelitian lain menyebutkan bahwa kenaikan kreatinin darah akan terjadi setelah menjalani 5 hari pengobatan aminoglikosida. Penggunaan aminoglikosida yang memiliki efek nefrotoksik akan bersifat reversibel, namun pada penggunaannya kadar kreatinin yang ada di dalam plasma harus selalu dimonitor untuk melihat efek sampingnya selama masa pengobatan (Setiawati, 2012 :493). peningkatan aktivitas enzim SGPT. Sedangkan tidak terlihat abnormalitas pada organ ginjal, hal ini ditunjukkan dengan kadar kreatinin dalam darah pasien tidak ada yang meningkat.
D. SIMPULAN
E. DAFTAR PUSTAKA
Proses-Proses Penyakit. Jakarta : penerbit buku Kedokteran EGC
, Edisi ke
7. Philadelphia: WB Saunders Company, hlm 1 46. Meyes PA, DK Granner, VW Rodwell &
DW Martin. (1991) . Biokimia. Alih
Bahasa Iyan Darmawan . Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC Ningrum VDA, Megasari A, Hanifah S. (2010). Hepatotoksisitas pada
Pengobatan Tuberkulosis di RSUD Tangeran. Yogyakarta : Jurnal
Ilmiah Indonesia Price. (2002). Patofisiologi konsep Klinis
Prihatni D. (2012). Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar Aspartate Aminotransferase dan Alanin Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru. Jurnal Nasional, 1.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N., (2005). Cellular Adaptations, Cell
Rikesdas (2013). Laporan Nasional 2013.
Diunduh 9 september 2014 link :
Sandu JS, Sehgal A, Gupta O, et all. (2007).
Aminoglycoside Nephrotoxicity
Revisited. JIACM 2007; 8(4): 331-3 Setiawati A. (2012). Drug Use in Patients
with Renal Failurei. Dept. of
Pharmacology & Therapeutics Faculty of Medicine, University of Indonesia Jakarta, Indonesia
Injury, and Cell death. Dalam Pathologic Basis of Disease
Amirudin R. (2009). Fisiologi dan
Biokimiawi Hati . Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi V.
Hudson A, Imamura T, Gutteridge W, Kanyok T, Nunn P. (2003). The
Jakarta: Internal Publishing. hlm. 627-33. Chang C H, Chen Y, Wu V C, et all. (2014).
Acute kidney injury due to anti- tubeculosis drus: a five-year experience in an aging population.
1471-2334 Chasani S, (2008). Antibiotik Nefrotoksik :
Penggunaan Pada Gangguan Fungsi Ginjal.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Diana, I.S, Yuyun, dan Syarifudin, (2014).
Studi Monitoring Efek Samping Obat Antituberkulosis FDC kategori 1 di propinsi Jawa barat . M edia
Litbangkes Vol. 24 No. 1, Mar 2014, 28-35
Current Anti-TB drug Research and Development pipeline. World Health
Indonesia. (2009). Keputusan
Organization on behalf of the Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases
Lethet C. Ujneng A., Zul A. Analisis
Kadar Ureum, Kreatinin Serum Dan Albumin Urin Penderita Tuberkulosis Yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis 6 Bulan Di Rsud Labuang Baji Makassar.
Makasar, Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin
Kaihena M. (2013). Propolis Sebagai
Imunostimulator Terhadap Infeksi Mycobacterium Tuberculosis.
Ambon : Universitas Patimura.
ISBN: 978-602-97522-0-5 Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/menkes/sk/v/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Tb) Menteri Kesehatan Republik Indonesia Sloane, Ethel.(2003). Anatomi Dan WHO. (2014). Global Tuberculosis Report
Fisiologi. EGC. Jakarta 2014 . pp. 34, 257. France : WHO
Sandu JS, Sehgal A, Gupta O, et all. (2007). Library Cataloguing-in-Publication
Aminoglycoside Nephrotoxicity Data
Revisited. JIACM 2007; 8(4): 331-3 Utami FA. (2014). Hubungan Usia, Jenis Wu S, et al. (2012). Effect of Scheduled
Kelamin, danTtin gkat kepositifan monitoring of Liver function during dengan konversi Basil Tahan Asam anti- Tuberculosis treatment in a Pasien Tuberkulosis di Unit retrospective cohort in china . BMC Pengobatan Penyakit Paru Public Health 12:454 Pontianak Periode 2009-2012.
Naskah Publikasi. Pontianak : Universitas Tanjungpura