ANALISA PENGARUH PEMBANGUNAN GEDUNG GEDU

ANALISA PENGARUH PEMBANGUNAN GEDUNG-GEDUNG BERTINGKAT DI DIY
TERHADAP KEADAAN LINGKUNNGAN DI SEKITAR
(Bagus Subkhan)

Pendahuluan
Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah satu daerah
otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Status sebagai Daerah Istimewa memiliki
hubungan erat dengan runtutan sejarah berdirinya provinsi ini, baik sebelum maupun sesudah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa) adalah nama yang
diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama
pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya yang kerta, Yogya yang makmur,
sedangkan Ngayogyakarta

Hadiningrat berarti Yogya

yang

makmur

dan


yang

paling

utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit
Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan
Jogja(karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku
Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa Daerah Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah Negara Republik Indonesia, serta
bergabung menjadi satu mewujudkan satu kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.1
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk
dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut.
Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah meliputi bekas Daerah/Kasultanan
Yogyakarta dan Daerah Pakualaman. Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kota Yogyakarta kaya predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti
1


“Sejarah Yogyakarta”, diakses dari http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?
view=baca_isi_lengkap&id_p=1 pada tanggal 13 Desember 2016.

1

sebagai kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Namun dengan
segala predikatnya tentu Yogyakarta juga menorehkan berbagai permasalahannya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
salah satu kota besar di Indonesia dengan luas wilayah 3.185,80 km dan jumlah penduduk
3.679.176 berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2015.2 Berdasarkan fakta tersebut, tingkat
kepadatan penduduk di wilayah D.I. Yogyakarta khususnya di wilayah kota Yogyakarta cukup
padat. Dalam suatu wilayah dengan kepadatan penduduk seperti itu tentu memunculkan banyak
permasalahan sosial di masyarakat, contohnya seperti masalah ekonomi, kesehatan, pendidikan,
dan lingkungan.
Saat ini D.I. Yogayakarta kembali di benturkan dengan gejolak pergerakan zaman yang
semakin moderat dan global. Dampak dari hal tersebut cukup beragam dan kurang lebih sangat
di rasakan masyarakat Yogyakarta sendiri. Mulai dari makin banyaknya pelaku ekonomiekonomi besar, banyaknya papan iklan berjajar di setiap pinggir jalan, dan pembangunan
gedung-gedung besar berskala masif. Tanpa di sadari, tawaran-tawaran liberal sudah terlalu
memikat dan menenggelamkan wajah lama Yogyakarta yang khas dengan keistimewaannya.

Proyek pembangunan gedung-gedung bertingkat seakan menjadi ajang perlombaan antar
pengusaha demi meraih predikat mana yang lebih mewah dan memikat konsumen mereka.
Pada tahun 2010, ada 26 hotel bintang di Kota Yogyakarta yang berdiri dan beroperasi,
dengan 2.411 kamar. Jumlah ini naik pada tahun-tahun berikutnya, menjadi 31 hotel bintang
dengan 2.979 kamar (2011), 37 hotel bintang dengan 3.356 kamar (2012), dan 43 hotel bintang
dengan 4.002 kamar (2013). Ajaibnya, permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung
untuk fungsi hotel kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta melonjak drastis pada bulan
November – Desember 2013 yang mencapai 104 aplikasi. Hingga per 31 Desember 2014, dari
104 aplikasi permohonan IMB itu, 77 di antaranya sudah diterbitkan dan proses membangun
telah dimulai. Berdasarkan data Skyscrapercity Forum Indonesia sudah ada 55 bangunan
bertingkat di atas enam hingga 18 lantai yang ada di Yogyakarta. Dari 55 bangunan tertinggi di
Yogyakarta 33 di antaranya adalah hotel dan apartemen. Lima besar bangunan tertinggi di
Yogyakarta tersebut yakni Alana Hotel at Mataram City 18 lantai, Alana Condotel at Mataram
2

“Statistik Jumlah Penduduk DIY” diakses dari : https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/
view/id/70 pada tanggal 13 Desember 2016

2


City 18 lantai, Indoluxe Hotel Jogja 15 lantai, Jogja City Mall & Hotel 14 lantai dan Grand
Aston Hotel 10 lantai.
Jumlah bangunan bertingkat tersebut diperkirakan akan semakin bertambah. Saat ini ada
25 bangunan bertingkat di atas delapan lantai yang sedang dalam proses pembangunan.
Sementara itu bangunan tinggi yang masih dalam tahap proposal ada 16 bangunan dengan tinggi
dari 10 sampai 16 lantai. Sehingga diperkirakan total akan ada 96 bangunan di atas enam lantai
yang berdiri di Yogyakarta.3 Kota Yogyakarta telah berusia 260 tahun semenjak 7 Oktober 1756,
namun masih terdapat banyak hal yang perlu di benahi lagi untuk Yogyakarta yang lebih
bermasyarakat.
Jika ditelaah lebih dalam, alasan pembangunan tersebut hanya mengarah pada sektor
komersial.

Keuntungan

financial

menjadi

prioritas


utama,

yang

agaknya

tanpa

mempertimbangkan dampak dari pembangunan yang dilakukan. Ibaratnya, ketika muncul aksi
akan timbul pula reaksi. Selain memperburuk sifat konsumtif masyarakat, pembangunan mall,
hotel, dan apartemen tersebut akan mengurangi daerah resapan air bahkan lahan terbuka hijau.
Dari sekian banyaknya bangunan bertingkat yang ada, hampir semuanya mengambil air
langsung dari bawah tanah dimana bangunan itu berdiri untuk kebutuhan air baku usaha
perhotelan. Artinya operasi hotel berpotensi pada masyarakat disekitarnya yang akan kehilangan
akses dan kontrol terhadap hak atas air, kualitas dan jumlah air. Air merupakan kebutuhan dasar
manusia yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup, tanpa tercukupinya kebutuhan air
maka masyarakat tidak akan bisa untuk hidup nyaman lagi di Yogyakarta. Akibat dari adanya
pembangunan gedung bertingkat secara masif tentu tidak bisa dibiarkan mengingat resiko
kekeringan yang akan terjadi cukup besar.
Ciri khas dan ikon – ikon Yogyakarta pun juga semakin dilupakan, bahkan terancam

tenggelam. Coba kita lihat tugu Yogyakarta yang semakin hari semakin tenggelam tak terlihat
karena kalah tinggi dengan bangunan-bangunan tinggi seperti apartemen, mall, dan hotel
berbintang.
Berikut ini beberapa contoh dari dampak pembangunan gedung di D.I. Yogyakarta :

3

“Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta Di Usia 260 Tahun” diakses dari : https://tirto.id/risikodan-nasib-kota-yogyakarta-di-usia-260-tahun-bR6N, pada tanggal 13 Desember 2016

3

Menipisnya Lahan Bebas
Tidak dapat di pungkiri bahwa lahan bebas yang ada di Yogyakarta sekarang semakin
sempit, terutama di daerah padat penduduk yang saat ini di perparah lagi dengan hadirnya
bangunan gedung-gedung bertingkat yang jumlahnya sangat banyak. Lahan sendiri merupakan
lingkungan fisik dan biotik yang berkaitan dengan daya dukungnya terhadap kehidupan dan
kesejahteraan hidup manusia. Lingkungan fisik berupa relief atau topografi, iklim, tanah dan air,
sedangkan lingkungan biotik adalah manusia, hewan, dan tumbuhan.4
Fungsi dari lahan bebas untuk keberlangsungan hidup masyarakat Yogyakarta saat ini
sudah mulai di abaikan oleh pemerintah DIY itu sendiri. Terlebih ketika kita melihat ke jantung

kota, padatnya penduduk diadu dengan banyaknya bangunan-bangunan bertingkat membuat
keadaan lingkungan di sekitar terasa amat sangat panas ketika siang dan cukup menyiksa bagi
para masyarakat yang sedang melakukan aktivitas di ruas-ruas jalan. Lahan yang seharusnya
digunakan untuk lahan pertanian, tanah yang seharusnya menjadi tempat berdirinya rumah
penduduk, menjadi alam lestarinya budaya – budaya lokal Yogyakarta justru semakin hari
semakin terancam oleh pembangunan apartemen dan hotel berbintang.5 Pohon yang seharusnya
menyerap gas racun seperti karbondioksida dan penghasil gas oksigen yang dibutuhkan manusia
semakin hari semakin lenyap tergusur oleh pohon berbentuk beton.
Pemerintah dan masyarakat seperti saling tunggu dalam menangani permasalahan
tersebut, perubahan lingkungan yang semakin memburuk jika terus di biarkan bisa berakibat
fatal di kemudian hari jika terus di biarkan.
Persaingan Antara Pengusaha Besar dan Kecil
Gejolak pembangunan gedung-gedung bertingkat di D.I. Yogyakarta identik dengan aksi
usaha dari para pemilik modal besar. Sudah bukan rahasia lagi jika aktor yang dapat membangun
gedung-gedung bertingka adalah para pemilik modal besar, terlepas dari tujuan mereka dalam
melakukan kegiatan ekonomi itu untuk investasi atau hal lainnya. Keberadaan raksasa ekonomi
di Yogyakarta ini sedikit banyak mempengaruhi keberadaan pemilik usaha kecil dan menengah.
Hal itu di karenakan sasaran konsumen mereka relatif sama, yakni masyarakat Yogyakarta dan
4


“Defnisi Lahan”, diakses dari : www.artikelsiana.com/2014/11/pengertian-lahan-definisipenjelasan-arti.htm , pada tanggal 13 Desember 2016
5
“Kondisi Jogja Saat Ini, Jogja Ora Didol”, diakses dari : http://www.kompasiana.com/imamso/kondisijogja-saat-ini-jogja-ora-didol_5643004e557b6170048b4569 , pada tanggal 13 Desember 2016

4

wisatawan lokal maupun asing. Untuk kelas masyarakat Yogyakarta sendiri, nilainya masih agak
seimbang dalam memilih mana produsen yang akan mereka pilih dalam melakukan aktivitas
ekonomi. Mungkin yang membedakan hanyalah mayoritas remaja dan mahasiswa lebih banyak
memilih ke pelaku modal besar karena produk yang mereka tawarkan lekat dengan label
kekinian. Sedangkan untuk pelaku modal kecil, lebih banyak memiliki konsumen golongan tua
yang sudah sukar terhadap hal-hal yang ditawarkan oleh zaman.
Pengusaha ekonomi besar menawarkan mall, apartemen, restaurant dan lain-lain yang
berkonsep moderat kepada konsumen mereka, tanpa menunjukkan sisi gelap dari adanya mereka
disini. Sebenarnya bangunan-bangunan bertingkat yang telah ada tidak akan bertahan apabila
mereka kehilangan konsumen. Permasalahan yang muncul lagi adalah pola perilaku konsumen di
Yogyakarta saat ini justru mendukung eksistensi dari produk-produk pelaku ekonomi besar yang
sebenarnya memiliki dampak buruk kedepannya untuk lingkungan sekitar.
Ketika kita mencari ini salah siapa, tentu ada banyak faktor yang melatarbelakangi
munculnya pola perilaku ekonomi masyarakat yang seperti ini. Namun satu hal yang jelas,

pengusaha ekonomi skala besar telah berhasil menjalankan taktinya dalam meraup konsumen
secara masif, di lain sisi mereka juga berhasil menutupi kesalahan mereka yang merugikan
lingkungan sekitarnya.
Resiko Bencana
Dalam kacamata Pengurangan Risiko Bencana (PRB), bangunan tinggi membuat risiko
bencana semakin tinggi. Forum PRB menyebutkan ada tiga bencana yang muncul akibat
pembangunan yakni bencana banjir, krisis air dan konflik sosial. Di Yogyakarta beberapa
ancaman bencana tersebut sudah terbukti. Bangunan tinggi yang didominasi hotel dan apartemen
membuat sumur warga kering akibat perebutan sumber air. Kasus tersebut terjadi dalam kasus
Fave Hotel di Miliran, Kota Yogyakarta dan hotel 1O1 di Gowongan, Kota Yogyakarta. Di dua
lokasi tersebut sumur warga menjadi kering akibat perebutan air tanah yang digunakan warga
dan hotel. Dalam kasus Fave Hotel, puluhan sumur warga mengering akibat berebut air tanah
dengan hotel tersebut. Sedangkan di hotel 1O1 ada lebih dari 35 kepala keluarga kesulitan air
akibat sumur mengering.6
6

“Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta Di Usia 260 Tahun” diakses dari : https://tirto.id/risikodan-nasib-kota-yogyakarta-di-usia-260-tahun-bR6N, pada tanggal 13 Desember 2016

5


Selain krisis air, banjir pun menjadi ancaman yang tidak bisa terelakan saat musim
penghujan. Hal itu diakibatkan daerah resapan air yang habis untuk pembangunan hotel. Kondisi
itu diperparah dengan tingkah nakal sejumlah hotel yang tidak tertib aturan. Dari survei yang
dilakukan oleh Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Yogyakarta pada tahun 2014 dari 23 hotel
yang mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda No 2/2012 karena tidak
memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai.
Menurut Perda tersebut, semua bangunan di Yogyakarta harus memiliki ruang terbuka
hijau dan daerah resapan air. Dalam pasal 40 disebutkan setiap bangunan dengan luas 60 meter
persegi harus dilengkapi minimal 1 sumur resapan dengan diameter 1 meter sedalam 4 meter.
Selain itu, halaman gedung tidak boleh diplester atau dikonblok.

7

Kita semua tentu masih ingat

dengan peristiwa gempa yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006 silam, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Yogyakarta melihat munculnya bangunan tinggi
tersebut membuat risiko bencana menjadi tinggi. Berkaca dari gempa tahun 2006, bukan tidak
mungkin gempa serupa terjadi dan kembali meluluh-lantakan Yogyakarta, termasuk merobohkan
bangunan bertingkat.

Bangunan tinggi tersebut pun menjadi perhatian khusus bagi BPBD. BPBD Yogyakarta
sudah memetakan potensi bencana yang ada di Yogyakarta. Gempa bumi merupakan satu-satu
bencana yang berpotensi di semua daerah di Yogyakarta. Belajar dari gempa sepuluh tahun lalu,
BPBD Yogyakarta terus memantau pergerakan sesar Kali Opak yang sampai sekarang masih
aktif. Jika ada pergerakan lagi, dimungkinkan akan terjadi gempa. Inilah yang membuat BPBD
khawatir jika terlalu banyak bangunan tinggi. Meski sudah mengantongi izin yang berarti sudah
memenuhi standar bangunan di daerah rawan gempa, namun risiko itu tetap ada. Belum lagi di
tambah dengan tidak terbukanya pembangunan bangunan-bangunan tersebut. Mulai dari
perencanaan hingga pelaksanaan. Jika itu terjadi, maka BPBD akan kesulitan melakukan
evakuasi ketika terjadi bencana. Di sisi lain, BPBD ditargetkan untuk mengurangi risiko dari
bencana, khususnya gempa yang pernah menelan ribuan jiwa. BPBD pun tidak ingin hal tersebut
terulang lagi. 8

7

“Regulasi, Perda DIY”, diakses dari : http://yogyakarta.bpk.go.id/?p=3000, pada tanggal
13Desember 2016.
8
“Data BPBD DIY”, diakses dari : http://bpbd.jogjakota.go.id/web/page/16/regulasi, pada
tanggal 13 Desember 2016

6

Dibandingkan dengan Jepang, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar
bangunan di daerah rawan gempa. Jika melihat Jepang, sejak tahun 1924 merintis aturan
bangunan standar gempa. Aturan tersebut diberlakukan setelah gempa besar Kanto yang
menghancurkan 450.000 bangunan dan menewaskan sekitar 143.000 jiwa. Pada 1950, aturan itu
pun dijadikan undang-undang Building Standard Law (BSL). 9
Pada 1995, Jepang kembali dilanda gempa di Kobe. Meski sudah memiliki BSL, namun
rupanya belum semua bangunan menerapkannya. Akibatnya 6.433 orang meninggal dunia. Pasca
kejadian itu, pemerintah Jepang meminta semua bangunan yang dibangun sebelum tahun 1981
disesuaikan dengan BSL. Hal itu yang tidak terjadi di Indonesia. Pasca gempa Yogyakarta pada
2006, masih banyak bangunan yang tidak disesuaikan dengan Standar Nasional Indonesia untuk
bangunan tahan gempa. Hanya bangunan baru saja yang disesuaikan.
Oleh karena itu, dari segala potensi resiko bencana yang bisa terjadi akibat adanya
bangunan-bangunan bertingkat, seyogyanya disikapi secara dewasa dengan tidak menutup mata
akan fakta-fakta yang di munculkan. Memang tidak bisa secara spontan kita membuat perubahan
pola pikir dan sikap dari masyarakat tersebut, namun alangkah baiknya jika hal ini di infokan
sedini mungkin sebab ada banyak tipe-tipe masyarakat yang tinggal di Yogyakarta ini. Lebih
tepat jika masyarakat menjadi sadar dan juga ikut menyadarkan masyarakat yang lain akan
bahaya dan resiko bencana yang di timbulkan oleh keberadaan bangunan-bangunan bertingkat,
karena disini masyarakatlah yang akan menjadi korban pertama jika bencana-bencana tersebut
terjadi.
Akhirnya, pembangunan hotel pun harus dipikirkan ulang. Risiko bencana yang
ditimbulkan bukan hanya sekadar berdampak nasib warga tapi juga para pengelola hotel. Risiko
warga menjadi korban bencana makin besar ketika hotel menjamur. Sementara hotel terancam
merugi karena okupansi yang rendah akibat persaingan.
Setelah mengkaji dan menganalisa dampak dari pembangunan gedung-gedung bertingkat
di D.I. Yogyakarta, kurang tepat jika kita tidak menawarkan solusi dari adanya permasalahan
tersebut, berikut ini beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk menekan dampak buruk dari
pembangunan gedung bertingkat :
9

“Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta Di Usia 260 Tahun” diakses dari : https://tirto.id/risikodan-nasib-kota-yogyakarta-di-usia-260-tahun-bR6N, pada tanggal 13 Desember 2016

7

Membatasi Jumlah Pembangunan Gedung Bertingkat
Hal pertama yang harus di lakukan sesegara mungkin adalah dengan membatasi jumlah
pembangunan bangunan baru bertingkat di D.I. Yogyakarta. Langkah tersebut sebagai langkah
awal agar masalah yang telah di timbulkan oleh pembangunan gedung-gedung bertingkat yang
lama tidak di tambah lagi dengan munculnya pembangunan gedung baru. Disini peran
pemerintah selaku pembiri izin pembangunan diperlukan, pemerintah harus memperketat dan
menekan jumlah masuknya surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Meskipun kerap mendapat protes dari masyarakat, pembangunan hotel baru di Kota
Yogyakarta terus dilakukan. Selama 2014, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta menerbitkan 67 izin
mendirikan bangunan hotel baru. Jumlah hotel di Kota Pelajar kemungkinan terus bertambah
karena masih ada permohonan IMB yang sedang diproses. Pemerintah Kota (Pemkot)
Yogyakarta sebenarnya sudah berupaya mengendalikan pembangunan hotel, dengan moratorium
penerbitan IMB hotel mulai 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2016.
Moratorium itu diatur dalam Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013
tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Namun, sebelum moratorium itu berlaku, Pemkot
Yogyakarta menerima 104 permohonan IMB hotel. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY,
sampai awal 2014, di Gedongtengen berdiri 125 hotel, di Gondokusuman 24 hotel, dan di
Mergangsan 63 hotel. Secara keseluruhan, hingga awal 2014, hotel di Yogyakarta 399 unit,
terdiri atas 43 hotel bintang dan 356 hotel nonbintang. Pemerintah hanya melakukan pencekalan
surat izin kepada mereka yang belum melengkapi berkas-berkas surat perizinannya.10
Membenahi Tata Ruang
Konflik yang sering terjadi dan yang sekarang juga terjadi di Kota Yogyakarta ialah
konflik antarpelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau
pengembang (private sector), profesional (expert). Pemerintah atau pengusaha cenderung
mengguanakan kewenangan dan kekuasaannya dengan didasari pada aturan-aturan hukum atau

10

“Statistik Data Bangunan DIY”, diakses dari :
https://yogyakarta.bps.go.id/Subjek/view/id/29#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1,
pada tanggal 13 Desember 2016

8

perundang-undangan. Sialnya, Indonesia sudah terkenal bukan karena rule of law, melainkan law
of the rule.11
Pengusaha atau pengembang biasanya dipandang hanya berorientasi pada perolehan
keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya, dan dalam kurun waktu yang
sesingkat-singkatnya. Tidak jauh beda memang antara private sector dengan profit sector.
Sedangkan posisi profesional dikenal sebagai kelompok yang handal dalam menerapkan ilmu
dan tori yang dimilikinya untuk memecahkan masalah yang aktual di lapangan.
Dalam hal ini, Prof. Emil Salim (dalam Azis, dkk. 2010: 297-298) mengusulkan beberapa
peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan lingkungan di kemudian hari, yakni:
1.

Perencanaan tata ruang sebaiknya tidak lagi sekadar Management of changes dan
management of growth, melainkan lebih sebagai management of conflicts dan
management of action. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu
disenyawakan dengan pemecahan amsalah jangka pendek yang bersifat inkremental
dengan wawasan pada pelaksanaan atau action-oriented paln, yang dikawal melalui
sistem advokasi.

2.

Mekanisme development control harus ditegakkan lengkap dengan sanksinya.

3.

Penataan ruang dan lingkungan hidup secara total, menyeluruh, dan terpadu dengan
model-model perencanaan lintas sektoral.

4.

Perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup wajib diperhatikan perihal kekayaan
lingkungan alam. Dengan kata lain, kita harus tanggap dengan fenomena perubahan
iklim.

Menyadarkan dan Menggarakkan Masyarakat
Dalam permasalahan kali ini, masyarakat adalah korban utama yang harusnya menjadi
agen aktif dalam memperbaiki keadaan yang sedang terjadi. Peran masyarakat sangat penting
dalam menyuarakan suara mereka sendiri kepada pemerintah, dengan mau mempelajari keadaan
11

Yohana Fitri, “Pembangunan Hotel dan Mall di Yogyakarta”, diakses dari :

http://www.kompasiana.com/yohanafitri/pembangunan-hotel-dan-mall-di-yogyakarta-konflik-lingkungan-yang-takberkesudahan-dibutuhkan-peran-pemda_5716ddb0957a614b05880b17 , pada tanggal 13 Desember 2016.

9

sebenarnya di lapangan dan menyebarkannya terhadap sesame maka akan semakin banyak
jumlah masyarakat yang tersadarkan.
Ketika masyarakat sudah mulai sadar dengan posisinya, selanjutnya perlu dibentuk satu
forum yang mewadahi aspirasi dan keinginan mereka, hal tersebut bisa disalurkan melalui
diskusi, pembuatan karya-karya seni, atau bahkan moratorium yang dijalankan secara efektif.
Masyarakat harus melakukan pengawasan terhadap setiap keputusan dan kebijakan yang di
ambil oleh pemerintah DIY. Jangan sampai timbul penyeselan di kemudian hari setelah semua
hal buruk dan kurang bermanfaat bagi masyarakat benar-benar terjadi. Akan lebih sulit merubah
yang telah terjadi daripada melakukan control terhadap apa yang akan terjadi.
Pada 6 Agustus 2014, muncul aksi pertama kali perlawanan warga terhadap hotel Fave di
Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta. Saat itu mereka melakukan aksi demonstrasi karena
sumur warga kering setelah hotel Fave beroperasi. Dodok Putra Bangsa, salah seorang warga
Miliran yang sumurnya kering melakukan aksi mandi pasir di depan hotel Fave. Dodok pun
mengusung tema Jogja Asat (Yogya kering) yang kemudian menjadi gerakan bersama. Gerakan
ini memberikan efek yang besar. Pasca aksi Dodok, muncul perlawanan serupa di beberapa
tempat. Salah satunya di Gowongan, Kota Yogyakarta. Warga pun melakukan aksi serupa.
Tidak sekedar soal sumur asat, mereka juga merasa dirugikan dengan bangunan tinggi
yang menyebabkan rumah-rumah warga tidak mendapat cahaya matahari karena tertutup
bangunan tinggi. Sebelumnya, warga di Karangwuni, Sleman juga sudah melakukan penolakan
terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Namun, gerakan itu belum memberikan efek pada
gerakan warga. Salah satu aktivis lingkungan, Aji Kusumo bahkan sempat dikriminalisasi karena
dengan tuduhan merusak banner milik apartemen Uttara. Dia pun divonis Pengadilan Negeri
tiga bulan 15 hari penjara potong masa tahanan pada Juni 2014.
Sementara itu di Gadingan, Ngaglik, Sleman, warga juga melakukan penolakan terhadap
pembangunan Apartemen M-Icon. Warga khawatir, pembangunan itu akan membuat sumur
mereka mengering dan muncul banjir di kampung mereka. Mereka sudah melihat banyak contoh
yang terjadi di Kota Yogyakarta dan Sleman. Pada Februari 2015, mereka menggeruduk DPRD

10

Sleman untuk menolak pembangunan M-Icon.

12

Kita bisa melihat bahwa ketika masyakat

bergerak, pemerintah baru akan mau mendengar dan merespon keadaan tersebut.
Pendekatan Ekohidrologi
Persoalan sumber daya air di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belakangan ini semakin
meningkat. Bisa di lihat, perkembangan aktivitas di wilayah itu saat ini semakin kompleks.
Pembangunan hotel dan apartemen, berkurangnya kawasan konservasi, serta perubahan tata guna
lahan dari pertanian menjadi non pertanian menjadi penyebab kawasan imbuhan air semakin
menurun luas dan kapasitasnya. Tentu ini menjadi persoalan serius yang harus segera dicarikan
solusinya apalagi konsumsi air terus meningkat, sementara ketersediaanya semakin terbatas.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan menyeluruh untuk mengatasi permasalahan air
tersebut yakni dengan pendekatan ekohidrologi. Pendekatan ini diharapkan menjadi solusi utama
untuk mengatasi persoalan air di Yogyakarta. Pemerintah Provinsi DIY maupun pemerintah kota
dan kabupaten tentu saja telah mempunyai visi, program, proyek dan kegiatan untuk menjaga
tata kelola air secara bersama-sama dengan kelembagaan yang berasal dari pemerintah pusat.
Tentunya upaya-upaya ini perlu didukung oleh semua pihak.
Sayangnya, berbagai upaya tersebut masih belum maksimal. Permasalahan yang sering
terjadi karena tata kelola air masih bersifat sektoral, parsial dan terperangkap pada persoalan
teknis, sehingga belum mampu menjawab keberlanjutan ketersediaan air. Padahal sebuah tata
kelola pada intinya adalah interaksi antara arena pembuat kebijakan (kepala daerah dan DPRD),
pelaksana kebijakan (Satuan Kerja Perangkat Daerah), kelompok masyarakat ekonomi yang
melaksanakan proyek-proyek pemerintah, kelompok masyarakat sipil yang menjadi kelompok
penekan agar kebijakan dan implementasinya lebih baik.
Kompleksitas permasalahan sumber daya air ini perlu didekati dengan berbagai
pendekatan.

Terdapat

pendekatan

struktural-infrastruktur

yang

lebih

mengedepankan

pembangunan fisik terkait sumber daya air. Namun, terdapat pula pendekatan lainnya yang
penting untuk diakomodasi, yaitu pendekatan ekohidrologi. Pendekatan ekohidrologi
menawarkan sistem solusi dalam mengelola sumber daya air berkelanjutan. Salah satu
rekomendasinya adalah perlu membuat grand design pengelolaan sumber daya air berbasis
12

“Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta Di Usia 260 Tahun” diakses dari : https://tirto.id/risikodan-nasib-kota-yogyakarta-di-usia-260-tahun-bR6N, pada tanggal 13 Desember 2016

11

ekohidrologi sebagai sistem solusi yang menjamin keberlanjutan sumber daya air di DIY. 13
Selain itu, diperlukan juga untuk membangun sistem informasi sumber daya air permukaan dan
bawah permukaan yang terdapat di DIY agar dapat diakses oleh masyarakat.
Perlu juga kita mendukung upaya selain yang bersifat struktural dari pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya air. Upaya yang berasal dari kalangan komunitas masyarakat maupun
organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, kalangan akademisi maupun
aktivis lingkungan juga perlu diakomodasi masuk ke dalam grand design tata kelola air di DIY.
Munculnya komunitas-komunitas peduli atau penggiat restorasi sungai seperti Komunitas Peduli
Sungai Code-Boyong, Gadjah Wong, Winongo, Tambak Bayan dan Sungai Oyo bisa menjadikan
masukan baru bagi pengelolaan air berkelanjutan.
Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Proyek pembangunan Gedung-gedung bertingkat di D.I. Yogyakarta hanyalah sekedar
mengenai permainan komersial antar pemilik modal besar yang ingin mengembangkan
usahanya.
2. Pemerintah DIY dapat dikatakan terlalu longgar dalam memberikan surat izin
mendirikan bangunan yang berakibat pada banyak munculnya gedung-gedung bertingkat
yang semakin tak terkendali. Pemerintah juga perlu mengefektifkan kinerjanya, lebih baik
lagi ketika pemerintah mampu menjaga kepercayaan masyarakat dan bersinergi dengan
masyarakat.
3. Akibat dari banyaknya pembangunan gedung di Yogyakarta berakibat buruk pada
banyak hal, salah satu yang terparah adalah faktor lingkungan. Air menjadi salah satu hal
penting kebutuhan masyarakat yang terkena imbasnya.
4. Masyarakat perlu bersatu, berwawasan luas dan sadar terhadap apa yang terjadi di
lingkungan sekarang, agar kedepannya tidak muncul hal-hal yang mengkhawatirkan.

13

“Pendekatan Ekohidrologi Diharapkan Jadi Solusi Persoalan Air di Yogyakarta” , diakses
dari : http://lipi.go.id/siaranpress/Pendekatan-Ekohidrologi-Diharapkan-Jadi-Solusi-PersoalanAir-di-Yogyakarta/16568, pada tanggal 13 Desember 2016

12

13

DAFTAR PUSTAKA

Salim, Emil dkk.Paradigma pembangunan berkelanjutan, dalam Pembangunan Berkelanjutan
Peran & Kontribusi. Gramedia : Jakarta. 2010.
Risiko dan Nasib Kota Yogyakarta Di Usia 260 Tahun” diakses dari : https://tirto.id/risiko-dannasib-kota-yogyakarta-di-usia-260-tahun-bR6N, pada tanggal 13 Desember 2016
“Pendekatan Ekohidrologi Diharapkan Jadi Solusi Persoalan Air di Yogyakarta” , diakses dari :
http://lipi.go.id/siaranpress/Pendekatan-Ekohidrologi-Diharapkan-Jadi-Solusi-PersoalanAir-di-Yogyakarta/16568, pada tanggal 13 Desember 2016
“Sejarah Yogyakarta”, diakses dari http://www.pendidikan-diy.go.id/dinas_v4/?
view=baca_isi_lengkap&id_p=1 pada tanggal 13 Desember 2016.
Statistik Jumlah Penduduk DIY” diakses dari : https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/
id/70 pada tanggal 13 Desember 2016
“Definisi Lahan”, diakses dari : www.artikelsiana.com/2014/11/pengertian-lahan-definisipenjelasan-arti.htm , pada tanggal 13 Desember 2016
“Kondisi Jogja Saat Ini, Jogja Ora Didol”, diakses dari :
http://www.kompasiana.com/imamso/kondisi-jogja-saat-ini-jogja-oradidol_5643004e557b6170048b4569 , pada tanggal 13 Desember 2016
Regulasi, Perda DIY”, diakses dari : http://yogyakarta.bpk.go.id/?p=3000, pada tanggal
13Desember 2016.
“Data BPBD DIY”, diakses dari : http://bpbd.jogjakota.go.id/web/page/16/regulasi, pada tanggal
13 Desember 2016
Statistik Data Bangunan DIY”, diakses dari :
https://yogyakarta.bps.go.id/Subjek/view/id/29#subjekViewTab3|accordion-daftarsubjek1, pada tanggal 13 Desember 2016
Yohana Fitri, “Pembangunan Hotel dan Mall di Yogyakarta”, diakses dari :
http://www.kompasiana.com/yohanafitri/pembangunan-hotel-dan-mall-di-yogyakarta-

14

konflik-lingkungan-yang-tak-berkesudahan-dibutuhkan-peranpemda_5716ddb0957a614b05880b17 , pada tanggal 13 Desember 2016.

15

Dokumen yang terkait

PENGARUH TERAPI TERTAWA TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA HIPERTENSI DI KLUB SENAM SASANA SUMBERSARI WILAYAH KERJA PUSKESMAS DINOYO MALANG

34 239 24

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

PENGARUH GLOBAL WAR ON TERRORISM TERHADAP KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME

57 269 37

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

PENGARUH PERMAINAN KONSTRUKTIF DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK TUNARUNGU

9 134 29

PENGARUH SUBSTITUSI AGREGAT HALUS DENGAN PASIR LAUT TERHADAP KUAT TEKAN BETON MENGGUNAKAN SEMEN PCC

5 68 1