Storytelling sebagai Metode dalam Menana

Storytelling sebagai Metode dalam Menanamkan
Akhlak Mulia pada Anak Usia Dini
Yulia Hairina
UIN Antasari Banjarmasin
e-mail: yhairina@gmail.com
Anida Magfiroh
UIN Antasari Banjarmasin
e-mail anidamagfirah09@gmail.com
Abstrak
Tekhnologi yang semakin canggih dan akses informasi yang semakin mudah sedikit banyak
mempengaruhi perkembangan jiwa anak, sehingga membuat setiap orang tua hendaknya waspada
terhadap ancaman arus globalisasi dan kiranya perlu menyusun langkah untuk membentengi anakanak dari krisis akhlak sedini mungkin, hal ini berkaitan dengan bagaimana dan cara yang harus
dilakukan agar anak dapat menginternalisasi nilai-nilai akhlak mulia, menjalankan, dan terus
menjadikan pegangan dalam kehidupan kelak sampai mereka dewasa. Untuk itu perlu adanya
suatu metode yang perlu dilakukan orangtua dalam usahanya tersebut, salah satu metode yang di
anggap tepat yaitu dengan storytelling (bercerita) khususnya pada anak-anak usia dini. Penulisan
ini bertujuan menguraikan metode storytelling sebagai salah satu cara dalam upaya menanamkan
nilai-nilai akhlak mulia khususnya pada anak usia dini. Metode penulisan ini adalah kajian
kepustakaan dengan pendekatan deskriptif dan eksploratif. Disimpulkan bahwa storytelling
sebagai salah satu metode alternatif untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai akhlak
mulia. Selain itu, agar bisa optimal dalam proses internalisasi nilai-nilai akhlak mulia, orangtua

juga perlu memperhatikan pada tahapan pemilihan cerita, dan juga pada tahapan proses melakukan
storytelling.
Kata Kunci: Akhlak mulia, Anak usia dini, Storytelling
PENDAHULUAN
Terwujudnya akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat manusia merupakan misi pokok
kehadiran Nabi Muhammad saw. Di muka bumi ini. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Baihaqi).
Keberhasilan Nabi dalam mewujudkan akhlak mulia itu di tengah-tengah masyarakatnya dan terus
menyebar ke masyarakat yang lebih luas hingga ke berbagai penjuru dunia tentunya melalui proses
panjang dan dengan perjuangan yang tak kenal lelah.
Daud Ali, (2002) menyatakan bahwa “Akhlak mulia adalah suatu perangai (watak tabiat)
yang menetap kuat dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perubahanperubahan tertentu dari dirinya, secara mudah dan ringan tanpa perlu dipikirkan dan

direncanakan sebelumnya”. Akhlak memegang peranan penting untuk mencetak generasi yang
sholeh, yaitu generasi yang akan memberi bobot bumi dengan kalimat la ilaha ilallah. Islam itu
wadahnya, iman itu materinya dan akhlak itu amalannya.
Akhlak mulia merupakan eksistensi terbaik dan merupakan kesempurnaan manusia.
Rasulullah SAW. Bersabda:

ً‫إِﱠن ﻣﻦ ﺧﯿﺎرﻛﻢ أﺣﺴَﻨﻜﻢ أﺧﻼﻗﺎ‬

Artinya: “sungguh yang paling mulia diantara kamu ialah orang yang paling mulia
akhlaknya”

‫إﱠن ِﻣْﻦ أَْﻛَﻤِﻞ اﻟﻤﺆﻣﻨﯿَﻦ إﯾﻤﺎﻧﺎً أْﺣَﺴﻨُﮭُْﻢ ُﺧﻠُﻘﺎً َوأَْﻟﻄَﻔُﮭُْﻢ ِﺑﺄَْھﻠِﮫ‬
Artinya: “orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling mulia
akhlaknya”
Namun, seiring berjalannya waktu di zaman modern sekarang eksistensi akhlak mulia
malah semakin menurun kualitasnya. Teknologi yang semakin canggih dan akses informasi yang
semakin mudah sedikit banyak mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Fakta yang ada
bahwasanya masyarakat memang telah berhasil mengembangkan pengetahuan dan teknologi yang
semakin canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupannya, akan tetapi di sisi lain
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi itu belum tentu mampu menumbuhkan akhlak yang
mulia pada seorang anak.
Realitas di masyarakat sekarang, kita dikejutkan dengan banyaknya aksi-aksi anarkis yang
dilakukan oleh siswa tingkat dasar sampai tingkat menengah, mulai kasus kekerasan di sekolah,
perkelahian, pemakaian narkoba, kenakalan remaja, pornografi, kasus anak melakukan seks
pertama kali di bangku sekolah, pemerkosaan sampai dengan pencabulan yang dilakukan oleh
anak usia dibawah 10 tahun dan kasus-kasus lainnya yang berkaitan dengan krisis akhlak. Kasus
demi kasus menjadi pelajaran yang seharusnya tidak terulang. Dengan melihat, menganalisa
persoalan yang ada sangat diperlukan usaha-usaha preventif dalam proses penanaman nilai-nilai

akhlak mulia untuk anak dalam menghadapi perkembangan zaman.
Pengasuhan dan pendidikan anak-anak sejak ia berusia dini harus mendapat perhatian
terutama agar mereka tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan tumbuh dewasa menjadi
generasi yang salih dan salihah. Penanaman akhlak mulia tidak hanya tergantung pada lembaga
pendidikan formal, melainkan bisa kita mulai dengan memberikan pendidikan atau pengasuhan di

dalam keluarga terutama sejak usia dini. Anak pada kategori usia dini merupakan masa yang tepat
untuk melakukan proses internalisasi. Pada masa ini anak sedang mengalami proses pertumbuhan
dan perkembangan yang luar biasa bahkan di sebut sebagai masa golden age (usia emas) yaitu usia
yang berharga dibanding usia selanjutnya. Anak pada usia ini masih belum memiliki pengaruh
negatif yang banyak dari luar atau lingkungannya. Dengan kata lain, orang tua sebagai pendidik
awal dan utama memiliki tanggung jawab memberi pengaruh bagi anak (Fadhilah, 2012).
Dalam proses menanamkan akhlak mulia kepada anak usia dini tentu bukanlah perkara
yang mudah, sebagai orangtua tentu harus menentukan cara atau metode yang tepat sesuai dengan
level perkembangan usia anak. Pada dasarnya anak usia dini belum mampu memahami konsep
yang abstrak, level kognitif pada anak usia dini memikirkan segala sesuatunya secara konkrit,
selain itu karakteristik mereka yang aktif dan cenderung mudah bosan juga perlu diperhatikan.
Karena itu butuh teknik dan metode tertentu yang dapat dilakukan untuk mengenalkan dan
menanamkan akhlak mulia pada anak usia dini.
Metode mempunyai kedudukan yang penting dalam upaya pencapaian tujuan. Berbagai

metode yang bisa diberikan kepada anak-anak usia dini, antara lain mulai dari metode bernyanyi,
bermain, bercerita dan karya wisata. Masing-masing metode mempunyai kelemahan dan
kelebihan. Namun banyak penelitian, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Murdiono pada
tahun 2008 dari beberapa metode yang digunakan tersebut, metode bercerita (storytelling) adalah
metode yang efektif dan paling banyak digemari pada usia anak.
Ada beberapa alasan mengapa (storytelling) dianggap efektif dalam memberikan
pendidikan kepada anak. Pertama, cerita pada umumnya lebih berkesan dari pada nasehat,
sehingga pada umumnya cerita terekam jauh lebih kuat dalam memori manusia. Kedua, melalui
(storytelling) anak diajarkan mengambil hikmah. Penggunaan metode bercerita akan membuat
anak lebih nyaman dari pada diceramahi dengan nasehat. Selain itu, anak usia dini memiliki
karakter yang khas, mereka lebih suka bermain dan bersenang-senang. Maka dalam pengajaran
pada anak dibutuhkan metode-metode yang sesuai dengan karakter anak (Muallifah,2013).
Storytelling merupakan sebuah seni bercerita yang dapat digunakan sebagai sarana untuk
menanamkan nilai-nilai pada anak yang dilakukan tanpa perlu menggurui sang anak. (Asfandiyar,
2007). Metode ini menjadi sarana efektif untuk menyampaikan nilai-nilai akhlak, mempengaruhi
cara berfikir dan berperilaku anak-anak, karena mereka senang mendengarkan atau dibacakan

cerita maka secara otomatis pesan-pesan kebaikan yang diselipkan akan didengarkan dengan
senang hati.
Kegiatan storytelling sebenarnya dapat dilakukan tanpa menuntut biaya yang banyak,

bahkan kegiatan ini menjadi sebuah tradisi lisan yang dahulu sempat menjadi primadona dan
andalan para orang tua, terutama ibu dan nenek, dalam mengantar tidur anak ataupun cucu mereka
(Agustina, 2008) namun sayangnya di era sekarang kegiatan ini sudah jarang dilakukan orangtua
khususnya,

perkembangan teknologi yang semakin pesat menyebabkan kegiatan ini mulai

ditinggalkan.
Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini di maksudkan memberikan gambaran bahwasanya
storytelling bisa menjadi salah satu cara yang efektif untuk mengenalkan dan menanamkan
akhlak mulia pada anak khususnya anak di kategori usia dini, tentunya dalam melakukan
storytelling dengan anak usia dini sebagai pendengar, orangtua perlu memperhatikan beberapa hal
baik dalam tahapan persiapan melakukan storytelling maupun dalam proses selama melakukan
storytelling, agar proses penanaman akhlak mulia menjadi optimal.

KONSEP AKHLAK MULIA
Dalam mendefinisikan kata akhlak, ada dua pendekatan yang dapat dipergunakan untuk
mendefinisikannya, yaitu secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi kata akhlak berasal
dari bahasa Arab, yaitu isim masdar dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai dengan wazan
tsulasi mazid af’ala, yuf’ilu. If’ alan yang berarti al- sajiyyah (perangai), ath-thabi’ah (kelakuan,

tabiat), al-adab (kebiasaan, kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Sementara itu akhlak secara terminologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada yang lainnya, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat (Musli, 2011). Di Indonesia, kata akhlak selalu berkonotasi
positif. Orang yang baik sering disebut orang yang berakhlak, sementara orang yang tidak berlaku
baik disebut orang yang tidak berakhlak.
Secara istilah, akhlak disebut juga sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di muka bumi. Sistem nilai yang dimaksud adalah ajaran Islam, dengan al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sebagai sumber nilainya serta ijtihad sebagai metode berfikir Islami. Pola sikap dan
tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk

dirinya sendiri), dan dengan alam (Matta, 2006). Akhlak adalah salah satu dari ajaran Islam yang
harus dimiliki oleh setiap individu muslim dalam menunaikan kehidupannya sehari-hari. Oleh
karena itu, akhlak menjadi sangat penting artinya bagi manusia dalam hubungannya dengan Sang
Khaliq dan dengan sesama manusia.
Dalam kehidupan sehari-hari, akhlak sering diidentikkan dengan moral dan etika. Secara
konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian yang sama, yakni sama-sama
membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk.
Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji

sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang. Etika memandang perilaku secara universal, sedang moral
memandangnya secara lokal (Muka Sa’id, 1986), namun akhlak sebenarnya berbeda dari formula
moral atau etika, karena akhlak lebih menunjukkan kepada situasi batiniah manusia. Akhlak juga
berarti berkurangnya suatu kecendrungan manusia atas kecenderungan-kecenderungan lain dalam
dirinya, dan berlangsung secara terus-menerus itulah akhlak (Amin, 1986).
Satu kata lagi yang sekarang (khususnya di Indonesia) menjadi lebih populer yang juga
sering di samakan dengan akhlak adalah karakter. Kata karakter lebih banyak muncul dan
diwacanakan ketimbang kata akhlak. Kedua kata ini sebenarnya sama maknanya baik ditilik dari
segi bahasa maupun istilah. Akhlak dan karakter lebih ditekankan pada aplikasi nilai-nilai positif
dalam kehidupan sehari-hari dan lebih mengarah kepada sikap dan perilaku manusia. Dalam
pemahaman yang spesifik akhlak dan karakter bisa berbeda. Jika karakter lebih terlihat pada sikap
dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesama, maka akhlak lebih dari itu, yakni juga
terlihat pada sikap dan perilaku manusia dalam berhubunga dengan Tuhannya (Allah Swt)
(Marzuki, 2008). Istilah-istilah tersebut merupakan bahagian yang menguatkan nilai-nilai
kebaikan pada manusia hanya sudut pandang penyesuaiannya saja menimbulkan perbedaan
mengenai istilah tersebut.
Bertolak dari penjelasan istilah dan para ahli pengkaji akhlak memberikan keterangannya
tentang akhlak, antara lainnya sebagaimana ditegaskan oleh Harun bahwa akhlak bukan saja
merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi

juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam
semesta sekalipun (Nasution, 1992).

Ruang Lingkup Akhlak Mulia
Secara umum akhlak dalam Islam dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia (al-akhlaq almahmudah/al-karimah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-madzmumah/al-qabihah). Sedangkan
yang di maksud dengan akhlak mulia berarti segala macam sikap dan tingkah laku yang baik
(Abdullah, 2007). Akhlak mulia menurut al-Ghazali adalah keadaan batin yang baik.
Dilihat dari ruang lingkupnya, akhlak mulia dalam Islam dibagi menjadi dua bagian, yaitu
akhlak terhadap Khaliq (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluq (ciptaan Allah). Akhlak
terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama
manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta
akhlak terhadap benda mati.
Bentuk akhlak mulia terhadap Allah swt antara lain: 1) Mengabdi hanya kepada Allah.
Bertaqwa dan tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun dalam bentuk apa pun, serta
dalam keadaan situasi dan kondisi yang bagaimanapun 2) Tunduk dan patuh kepada Allah 3)
Tawakkal 4) Bersyukur kepada Allah 5) Penuh harap kepada Allah 6) Ikhlas menerima keputusan
Allah 6) Tadlarru’ dan khusyu’ 7) Husnud-dhan 8) Taubat dan istighfar (Ya’kub, 1988).
Sedangkan, akhlak mulia terhadap sesama manusia harus dimulai dari akhlak terhadap
Rasulullah Saw., sebab Rasullah yang paling berhak dicintai, baru dirinya sendiri. Di antara bentuk
akhlak mulia kepada Rasulullah adalah cinta kepada Rasul, mengucapkan shalawat dan salam

kepadanya, mengikuti semua sunnahnya, menjadikan Rasulullah sebagai idola dalam hidup dan
kehidupan.
Selanjutnya seorang Muslim harus berakhlak mulia terhadap sesama manusia, baik
terhadap dirinya sendiri, terhadap keluarganya, dan terhadap orang lain di tengah-tengah
masyarakat. Ketiga akhlak ini sangat penting artinya bagi kita, karena sikap dan perilaku terkait
dengan hubungan antar sesama ini yang tampak di permukaan yang sering dinilai oleh masyarakat
pada umumnya (Marzuki, 2009). Terdapat ciri yang menunjukkan akhlak mulia menurut Dr. Iman
Abdul Mukmin Sa’addudin dalam bukunya Meneladani Akhlak Nabi (2006). Ciri itu beriringan
dengan semangat Islam dan semangat bimbingannya. Ciri tersebut antara lain bersifat universal
artinya bahwa ruang lingkup akhlak itu luas sekali, yakni mencakup semua tindakan manusia baik
tentang dirinya maupun orang lain atau yang bersifat pribadi, kemasyarakatan ataupun negara.
Keuniversalan itu menunjukkan luasnya cakupannya yaitu meliputi segenap aspek kehidupan

secara pribadi maupun kemasyarakatan, dan menyangkut semua interaksi manusia dengan semua
aspek kehidupan.
Wujud dari akhlak mulia terhadap diri sendiri antara lain: 1) sabar, menahan diri 2) wara’
dan zuhud. Wara’ artinya menjauhkan hal-hal yang syubhat (hal-hal yang belum jelas halal dan
haramnya) karena khawatir akan jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan, sedangkan zuhud berarti
membatasi ambisi-ambisi duniawi, syukur terhadap setiap anugerah, dan menghindari apa yang
telah diharamkan oleh Allah Swt.(Sultani, 2004) 3) syaja‟ah (berani). Berani diartikan mempunyai

hati yang mantap dan percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dsb. Dengan
demikian, berani di sini adalah berani yang bernilai positif, bukan berani yang bernilai negatif.
Masih banyak bentuk akhlak mulia yang lain yang harus dilakukan oleh seseorang yang tidak dapat
diuraikan satu persatu. Di antara bentuk- bentuknya yang lain adalah 1) istiqamah (konsisten), 2)
amanah (terpercaya), 3) shiddiq (jujur), 4) menepati janji, 5) adil, 6) tawadlu‟ (rendah hati), 7)
malu (berbuat jelek), 8) pemaaf, 9) berhati lembut, 10) setia, 11) kerja keras, 12) tekun, 13) ulet,
14) teliti, 15) disiplin, 16) berinisiatif, 17) percara diri, dan 18) berpikir positif (Marzuki, 2009).
Di samping harus berakhlak mulia terhadap dirinya, setiap muslim harus berakhlak mulia
dalam lingkungan keluarganya. Pembinaan akhlak mulia dalam lingkungan keluarga meliputi
hubungan seseorang dengan orang tuanya, termasuk dengan guru-gurunya, hubungannya dengan
orang yang lebih tua atau dengan yang lebih muda, hubungan dengan teman sebayanya, dengan
lawan jenisnya. Berakhlak mulia dengan kepada orang tua bisa dilakukan di antaranya dengan 1)
Berbakti dengan orangtua, meliputi mengikuti keinginan dan saran kedua orang tua dalam berbagai
aspek kehidupan; 2) menghormati dan memuliakan kedua orang tua dengan penuh rasa terima
kasih dan kasih sayang atas jasa-jasa keduanya; 3) membantu kedua orang tua secara fisik dan
material; 4) mendoakan kedua orang tua agar selalu mendapatkan ampunan, rahmat, dan karunia
dari Allah. Hal yang hampir sama juga harus kita lakukan terhadap guru-guru kita.
Kemudian, yang dimaksud dengan akhlak mulia dengan manusia lainnya di sini adalah
menjalin hubungan baik yang tidak terfokus hanya pada pergaulan antar manusia secara individual,
tetapi lebih terfokus pada perilaku kita dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti bagaimana

bersikap sopan ketika kita sedang bepergian, ketika dalam berkendaraan, ketika bertamu dan
menerima tamu, ketika bertetangga, ketika makan dan minum, ketika berpakaian, serta ketika

berhias. Salah satu sikap penting yang harus ditanamkan dalam diri setiap muslim adalah sikap
menghormati dan menghargai orang lain (Marzuki,2009).
Yang terakhir, akhlak mulia kepada bukan manusia atau lingkungan hidup. Lingkungan
hidup yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, yakni binatang,
tumbuhan, dan benda mati. Akhlak yang dikembangkan adalah cerminan dari tugas kekhalifahan
di bumi, yakni untuk menjaga agar setiap proses pertumbuhan alam terus berjalan sesuai dengan
fungsi ciptaan-Nya antara lain : sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, menjaga dan
memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, fauna dan flora yang sengaja diciptakan tuhan
untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya, sayang pada sesama makhluk (Daud Ali, 2008).
Urgensi menanamkan Akhlak Mulia pada Anak Usia Dini
Anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan karena itu usia dini
dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang berharga dibanding usia selanjutnya.
Pada masa ini di sebut juga sebagai masa kritis, di mana perkembangan yang di dapatkan pada
periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa
dewasanya. Sehingga apapun yang terekam dalam benak anak, akan tampak pengaruh nyatanya
pada kepribadian nanti ketika mereka dewasa.
Kemampuan mental dan fisik di usia dini pada tingkat yang mencengangkan dan proporsi
yang sangat tinggi, dari penelitian neuroscience menunjukkan bahwa otak manusia berkembang
tercepat dalam tahun pertama. Oleh saat anak mencapai usia empat tahun, kecerdasan mereka
memiliki dikembangkan untuk 50 % dari maksimum masa depan, dan pada usia delapan, telah
meningkat menjadi 80 %. Itulah sebabnya penting untuk memberi banyak perhatian untuk
pendidikan anak-anak dari usia dini (Rahim & Rahiem, 2012), termasuk pendidikan akhlak
mereka
Dalam periode ini, pembentukkan akhlak seorang anak sangat penting. Kegagalan
sejumlah lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang salah satunya
adalah akhlak mulia, adalah karena pendidikan keluarga gagal dalam menjalankan perannya dalam
menanamkan akhlak mulia sejak dini. Semestinya, akhlak mulia mulai di ajarkan dan dibiasakan
oleh anak sejak berusia dini, bukannya ketika anak tersebut sudah beranjak dewasa (Rosnita, 2013)

Pada area perkembangan kognitif, anak-anak pada tahap early childhood telah mampu
mengembangkan imajinasi mereka. Mereka telah mampu membedakan antara imajinasi dengan
realitas dalam kehidupan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dalam tahap usia dini
inilah intervensi dari orangtua sangat diperlukan. Tentu saja pemberian intervensi ini harus
dilakukan secara tepat agar anak mampu mencapai tugas perkembangannya secara optimal. Koki
(1998) menegaskan bahwa melalui cerita, anak-anak akan mencoba berimajinasi membayangkan
cerita ataupun melanjutkan ceritayang disampaikan, kemudian anak akan mempelajari pesan dari
cerita yang ia dengar, pesan itu biasanya tercermin dari tingkah laku para tokoh dalam cerita
tersebut.

STORYTELLING
Bercerita atau storytelling sebenarnya merupakan warisan budaya yang sudah lama kita
kenal, bahkan dijadikan sebagai kebiasaan atau tradisi bagi para orangtua untuk menidurkan anakanaknya, di dalam cerita banyak hal tentang hidup dan kehidupan yang dapat kita informasikan
kepada anak-anak, namun di masa sekarang, menurut pengamatan penulis bercerita merupakan
hal yang bisa di katakan sudah jarang dilakukan orangtua kepada anaknya, bahkan hampir punah.
Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi sedikit banyak merubah segalanya termasuk
perubahan kebiasaan dalam bercerita kepada anak dan digantikan oleh media televisi, orangtua
tidak lagi memberikan cerita-cerita kepada anak-anak di karenakan terlalu sibuk dengan menonton
sinetron atau hiburan lain, selain itu anakpun tidak lagi tertarik cerita ibunya akan tetapi lebih
tertarik dengan film yangdisajikan media televisi yang lebih hidup dan berwarna. Hal ini didukung
dari data statistik dan penelitian psikologi untuk indonesia yang menyatakan kurang lebih hanya
berkisar 15 % dari orangtua di Indonesia yang secara rutin menceritakan cerita pada anaknya.
Padahal sebenarnya cerita memiliki kekuatan, fungsi dan manfaat sebagai media
komunikasi yang intens antara anak dengan orangtua, maka hubungan antara mereka semakin
dekat secara emosi, kegiatan storytelling juga sekaligus metode yang efektif dalam membangun
kepribadian anak.
Menurut Echols (dalam Aliyah, 2011) storytelling terdiri atas dua kata yaitu story berarti
cerita dan telling berarti penceritaan. Penggabungan dua kata storytelling berarti penceritaan cerita
atau menceritakan cerita. Selain itu, storytelling disebut juga bercerita, menceritakan kisah atau
mendongeng. Brewer (2007) juga menggambarkan storytelling adalah bertutur dengan intonasi

yang jelas, menceritakan sesuatu yang berkesan, menarik, punya nilai-nilai khusus dan punya
tujuan khusus.
Cerita memiliki daya tarik yang besar untuk menarik perhatian setiap orang, sehingga
orang akan mengaktifkan segenap indranya untuk memperhatikan orang yang bercerita. Hal itu
terjadi karena cerita memiliki daya tarik untuk disukai jiwa manusia. Sebab di dalam cerita terdapat
kisah-kisah zaman dahulu, sekarang, hal-hal yang jarang terjadi dan sebagainya. Selain itu cerita
juga lebih lama melekat pada otak seseorang bahwa hampir tidak terlupakan (Syalhub, 2006).
Di dalam Al-quran juga diceritakan, bagaimana Al-quran mendidik umat manusia melalui
kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang diabadikan dalam nama-nama suratnya dan menurut tema
cerita didalamnya, misalnya surat Yusuf, Nuh, Yunus, al-Kahfi, al-Fil, Luqman dan lain
sebagainya. Sebagian besar kisah-kisah yang diceritakan al-Qur’an bersifat pengulangan, untuk
menunjukkan bahwa kisah tersebut amat besar artinya bagi manusia sebagai bahan pelajaran dan
peringatan agar dapat diambil hikmahnya. Metode kisah atau cerita yang terdapat di dalam AlQur’an tujuan pokoknya adalah untuk menunjukkan fakta-fakta kebenaran. Kebanyakan setiap
surat dalam Al-Qur’an terdapat cerita tentang kaum-kaum terdahulu baik dalam makna sejarah
yang positif ataupun negatif

Metode cerita atau kisah di isyaratkan dalam Al-Qur’an:

‫ﺼ ﮭ ِ ْﻢ ِﻋ ﺒْ َﺮ ة ٌ ِﻷ ُو ﻟ ِ ﻲ ا ْﻷ َ ﻟ ْ ﺒ َ ﺎ ب ِ ۗ َﻣ ﺎ ﻛَ ﺎ َن َﺣ ِﺪ ﯾ ﺜ ً ﺎ ﯾ ُﻔ ْ ﺘ َ َﺮ ٰى‬
َ َ ‫ﻟ َ ﻘ َ ْﺪ ﻛَ ﺎ َن ﻓ ِ ﻲ ﻗ‬
ِ ‫ﺼ‬
ْ َ ‫َو ٰﻟ َ ﻜ ِ ْﻦ ﺗ‬
‫ﻲ ٍء َو ھ ًُﺪ ى َو َر ْﺣ َﻤ ﺔ ً ﻟ ِ ﻘ َ ْﻮ ٍم‬
َ ‫ﺼ ِﺪ ﯾ‬
ْ َ‫ﺼ ﯿ َﻞ ﻛُ ﱢﻞ ﺷ‬
ِ ْ ‫ﻖ ا ﻟ ﱠِﺬ ي ﺑ َ ﯿْ َﻦ ﯾ َ َﺪ ﯾْ ﮫِ َو ﺗ َ ﻔ‬
‫ﯾ ُْﺆ ِﻣ ﻨ ُﻮ َن‬
Artinya:”sesungguhnya di dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orangorang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai
petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman” (QS.Yusuf 12: 111)
Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita dan menyadari
pengaruuhnya yang besar terhadap perasaandan perilaku manusia. Oleh karena itu Islam
mengeksploitasi cerita untuk menjadikan salah satu teknik dalam mendidik ( Ihsan: 2001). Cerita
atau kisah dalam islam memainkan peran penting dalam menarik perhatian anak dan membangun
pola pikirnya. Cerita menempati peringkat pertama sebagai landdasan asasi metode pemikiran

yang memberikan dampak positif pada akal anak, karena sangat disenangi oleh anak (Suwaid,
2010).
Cerita akan membuat anak-anak mengerti tentang hal-hal yang baik dan juga melatih
mereka akan dasar-dasar perilaku yang baik pula. Hal ini karena di dalam sebuah cerita tertanam
banyak nilai-nilai yang tentunya akan dapat terbawa ke dalam jiwa pendengarnya. Cerita dapat
digunakan oleh orangtua sebagai sarana mendidik dan membentuk kepribadian anak melalui
pendekatan transmisi budaya (Musfiroh, 2008).
Ahmad Tafsir (1994), dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam” mengatakan bahwa cerita merupakan metode amat penting, alasannya:
a. Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti
peristiwanya.
b. Kisah dapat menyentuh hati manusia.
c. Kisah mendidik perasaan keimanan
Manfaat Storytelling
Storytelling merupakan sarana untuk “mengatakan tanpa mengatakan”, maksudnya
storytelling dapat menjadi sarana untuk mendidik tanpa perlu menggurui. Pada saat mendengarkan
cerita, anak dapat menikmati cerita yang disampaikan sekaligus memahami nilai-nilai atau pesan
yang terkandung dari cerita tersebut tanpa perlu diberi tahu secara langsung atau mendikte.
Michael (2009) menyatakan bahwa bercerita merupakan metode yang sangat penting
dalam mengembangkan kemampuan bahasa dan kognitif pada anak usia dini. Hal senada juga
diungkapkan oleh Moeslichaton (2004) selain mengembangkan bahasa dan kognitif anak, metode
bercerita (storytelling) juga memiliki beberapa manfaat, diantaranya; (1) melalui cerita kita bisa
menyisipkan sifat empati, kejujuran, kesetiaan dan keramahan, ketulusan, (2) memberikan
sejumlah pengetahuan sosia, moral dan lain sebagainya, (3) melatih anak belajar mendengarkan
apa yang disampaikan, (4) membuat anak bisa mengembangkan aspek psikomotor, kognitif dan
afektif, (5) metode bercerita mampu meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak.
Menurut Henny (2007) melalui metode cerita, anak tidak akan pernah kehabisan akal,
karena cerita akan menimbulkan dampak positif, antara lain; (a) melatih daya tangkap, (b) melatih
daya pikir, (c) melatih daya konsentrasi, (d) membantu perkembangan imajinasi. (e) menciptakan
suasana yang menyenangkan. Wuryandani (2006) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa

metode bercerita (storytelling) memiliki beberapa dampak positif, diantaranya; (a) menimbulkan
minat untuk membaca bagi anak-anak, (b) meningkatkan minat baca, (c) membentuk budaya
membaca. Dalam storytelling juga mengandung unsur modelling (teladan) yang bisa diberikan
kepada anak melalui ceritanya.
Storytelling merupakan cara terbaik bagi orangtua untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
cerita yang mengandung unsur etika, moral, akhlak, maupun nilai-nilai agama. Selain dapat
bermanfaat untuk pengembangan kepribadian, akhlak maupun moral anak, mendongeng dapat
juga bermanfaat untuk meningkatkan pengembangan bahasa anak. Sejak dini anak memperoleh
berbagai wawasan cerita yang memperkaya dan meningkatkan kemampuan kognitif, memori,
kecerdasan, imajinasi dan kreativitas bahasa (Dariyo:2011).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Storytelling
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa storytelling dapat memberikan
pengaruh pada anak, dengan bercerita orangtua bisa memberikan cerita yang mengandung unsurunsur akhlak mulia dan mengajarkan nilai-nilai akhlak mulia kepada anak. Selanjutnya, anak
diharapkan dapat menerapkan pesan-pesan yang disampaikan pada kehidupan sehari-hari.
Menyajikan storytelling yang menarik bagi anak usia dini adalah suatu tantangan bagi
orangtua, terlebih lagi anak-anak di usia ini pada umumnya hanya dapat berkonsentrasi
mendengarkan cerita hanya dalam waktu singkat, jika waktu bercerita terlalu lama akan membuat
anak merasa cepat bosan dan tidak antusias lagi, maka menurut penulis ada beberapa hal-hal yang
perlu diperhatikan pada setiap tahapan-tahapannya, selain itu juga perlu diperhatikan
perkembangan kognitif anak usia dini baik di mana hal ini akan menentukan keberhasilan dalam
proses menanamkan akhlak mulia pada anak usia dini.

1. Tahapan Persiapan sebelum storytelling
Pada tahap ini, dalam usaha menanamkan akhlak mulia kepada anak usia dini, maka orangtua
perlu memperhatikan:
1) Dalam pemilihan (judul) cerita, antara lain: mengandung unsur-unsur islami dan

pendidikan serta mengandung nasehat-nasehat dan contoh suri tauladan dan akhlak yang mulia dari
kisah Nabi dan Rasul, kisah sahabat tabi’in dan orang-orang sholeh. Tokoh-tokoh dalam cerita
dapat memberikan teladan bagi anak-anak. Anak-anak akan dengan mudah memahami sifat-sifat,

figur-figur, dan perbuatan-perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Orangtua dengan
bercerita akan dapat memperkenalkan akhlak dan figur seorang muslim yang baik dan pantas
diteladani. Dengan demikian bercerita dapat berperan dalam proses pembentukan akhlak seorang
anak. Selain itu, penelitian studi linguistik juga membutikan bahwa judul mempunyai kontribusi
terhadap memori cerita (Musfiroh, 2008). Selain itu, perhatikan juga waktu yang tepat, yaitu di
waktu anak kita bisa mendengarkan dengan baik, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam cerita
bisa diserap dengan baik.
2) Dalam memilih cerita orangtua juga perlu memperhatikan tahap kognitif anak. Anak usia
dini yang berada pada rentang 2-6 tahun masih pada tahap operasional kongkrit, maka bentuk
cerita yang dijadikan sebagai metode bercerita harus menyesuaikan dengan kemampuan anak.
Selain itu pemilihan cerita juga harus menyesuaikan dengan karakteristik usia anak, karena hal ini
akan mempengaruhi jenis cerita yang akan disampaikan,jadi orangtua dapat mencari cerita yang
kira-kira dapat dipahami anak dan cocok dengan kadar emosional serta pengalaman anak.

2. Tahapan pada saat proses storytelling berlangsung
Dalam kegiatan storytelling, proses bercerita menjadi sangat penting karena dari proses
inilah nilai atau pesan dari cerita tersebut dapat sampai dan diserap oleh anak. Proses inilah yang
menjadi pengalaman seorang anak dan menjadi tugas orangtua untuk menampilkan kesan
menyenangkan pada saat bercerita. Selain itu, juga perlu diketahui bahwa proses bercerita tidak
sekedar membacakan buku cerita saja, cara bercerita merupakan unsur yang membuat cerita itu
menarik dan disukai anak-anak.
Beberapa hal yang dapat dilakukan selama proses kegiatan storytelling berlangsung agar
cerita yang di ceritakan tampak hidup sehingga harapannya pesan-pesan yang ingin disampaikan
khususnya terkait akhlak mulia akan lebih mudah diterima anak, adalah sebagai berikut:
a. Melakukan kontak mata.
Pada saat storytelling berlangsung, usahakan untuk melakukan kontak mata dengan anak.
Dengan melakukan kontak mata maka anak akan merasa dirinya diperhatikan dan diajak
untuk berinteraksi. Selain itu, dengan melakukan kontak mata kita dapat melihat
apakahanak menyimak jalan cerita yang di ceritakan Dengan begitu, orangtua dapat segera
mengetahui reaksi dari anak yang mendengarkan cerita.
b. Mimik wajah dan gerakan tubuh

Pada waktu storytelling sedang berlangsung, mimik wajah dan gerakan tubuh dapat
menunjang hidup atau tidaknya sebuah cerita yang disampaikan. Sebagai orang yang
bercerita sebaiknya orangtua harus dapat mengekspresikan wajah atau emosi yang tepat
(marah, sedih, menangis dan sebagainya) serta melakukan gerakan tubuh yang
merefleksikan sesuai dengan situasi yang diceritakan. Pada usia anak dini, cerita yang di
ceritakan akan membosankan dan membuat anak tidak antusias jika dengan posisi yang
statis dari awal hingga akhir.
c. Penggunaan bahasa
Dalam bercerita bahasa mempunyai pengaruh respon yang amat vital dalam pembinaan
segenap aspek kepribadian anak, artinya ketika kita bercerita kita harus menggunakan
bahasa yang mudah dan dapat di mengerti oleh anak sebagai pendengarnya. Dalam
menggunakan storytelling (metode bercerita) hendaknya menyesuaikan dengan level
kognitif anak. Di mana pada usia dini, level kognitif mereka masih pada operasional
kongrit (Santrock, 2007).

Jadi cerita yang dibacakan atau disampaikan haruslah

menyesuaikan tingkat kemampuan kognitif anak. Oleh karena itu, penggunaan bahasa
yang lugas, menarik dan komunikatif bagi anak sangat mendukung proses storytelling.
d. Suara dan kecepatan (tempo)
Tidak rendahnya suara yang diperdengarkan dapat digunakan untuk membawa anak
merasakan situasi dari cerita yang didongengkan. Kecepatan suara juga harus dapat dijaga
pada saat storytelling. Jaga agar kecepatan dalam berbicara selalu ada dalam tempo yang
sama atau ajeg. Jangan terlalu cepat yang dapat membuat anak-anak menjadi bingung
ataupun terlalu lambat sehingga menyebabkan anak-anak menjadi bosan.

e. Dapat menggunakan alat peraga
Untuk menarik minat anak-anak dalam proses storytelling, perlu adanya alat peraga seperti
misalnya boneka kecil yang dipakai di tangan atau boneka jari untuk mewakili tokoh yang
sedang menjadi materi dongeng. Intinya hal ini akan membuat anak mudah menangkap
pesan yang hendak di sampaikan. Seperti yang dikatakan oleh Wirawan (2007), dengan
digunakan alat peraga, hal itu akan dapat membantu menghidupkan kisah yang
disampaikan. Selain itu, melihat tahap perkembangan kognitif anak usia dini antara 2-8

tahun proses bercerita pada anak bukan sekedar membacakan cerita belaka, namun
dibutuhkan juga benda-benda seperti alat bantu (alat peraga) yang mendukung cerita.
f. Dapat menggunakan bantuan media teknologi (audio visual)
Saat bercerita akan terjadi proses transformasi nilai melalui perilaku dan karakter tokoh
dalam cerita. Apalagi dalam mendongeng dibantu dengan media dan teknologi, maka
suasana mendongeng menjadi hidup, menarik dan terjadi komunikasi sosial antara anak
dan guru/orangtua.(Fitroh, dkk, 2015)

PENUTUP
Penanaman akhlak mulia yaitu meliput akhlak kepada Allah SWT, akhlak terhadap sesama
manusia dan juga akhlak dengan lingkungan harus dilakukan sejak usia dini, karena usia ini
merupakan periode perkembangan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pada masa ini,
seluruh instrumen besar manusia terbentuk, bukan kecerdasan saja tetapi seluruh kecakapan psikis.
Para ahli menamakan periode ini sebagai usia emas (Golden Age) perkembangan. Kemampuan
kognitif anak usia dini berada di tahap praoperasional bersifat imajinatif dan kaya akan fantasi,
salah satu metode alternatif untuk mengenalkan dan menanamkan akhlak mulia pada anak usia
dini yang sesuai dengan level perkembangan mereka adalah dengan storytelling atau bercerita.
Anak suka mendengarkan cerita-cerita yang diberikan oleh orang tuanya. Cerita mempunyai
kedudukan dan mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Melalui
cerita anak dapat menyerap pesan-pesan yang dituturkan yang mengandung unsur etika, moral,
akhlak, maupun nilai-nilai agama. Selain dapat bermanfaat untuk pengembangan kepribadian.
Penuturan cerita yang sarat informasi atau nilai-nilai itu akan dihayati anak dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari tentunya dengan beberapa upaya antara lain pada saat persiapan
melakukan storytelling penting kiranya dalam pemilihan cerita (judul), ketika orangtua memiliki
tujuan untuk menanamkan akhlak mulia maka cerita juga harus memuat pesan-pesan tersebut.
Selain itu orangtua juga perlu memperhatikan tahap kognitif anak usia dini, yang masih pada tahap
operasional kongkrit, maka bentuk cerita yang dijadikan sebagai metode bercerita harus
menyesuaikan dengan kemampuan anak, yang dimaksud disini adalah cerita yang kira-kira dapat
dipahami anak dan cocok dengan kadar emosional serta pengalaman anak. Kemudian, proses
bercerita menjadi sangat penting karena dari proses inilah nilai atau pesan dari cerita tersebut dapat
sampai dan diserap oleh anak. Proses inilah yang menjadi pengalaman seorang anak dan menjadi

tugas orangtua untuk menampilkan kesan menyenangkan pada saat bercerita. Proses storytelling
tidak sekedar membacakan buku cerita saja,

namun cara bercerita merupakan unsur yang

membuat cerita itu menarik dan disukai anak-anak. Orangtua juga tetap harus menjaga kontak
mata dengan anak, menggunakan mimik wajah, gerakan tubuh dan juga intonasi suara, alat peraga
dan fasilitas audio visual yang digunakan selama proses bercerita akan semakin mendukung
penanaman akhlak mulia pada anak usia dini.
Begitulah, proses menanamkan akhlak mulia bukanlah sesuatu yang mudah, dibutuhkan
proses pembelajaran dan latihan terus menerus tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
Artinya sesulit apapun dalam menanamkan akhlak mulia ini bisa dilakukan, ketika ada komitmen
(niat) yang kuat dari orangtua untuk melakukannya, dan juga didukung oleh usaha yang konsisten
serta selalu bertawakkal dan mengharap ridho dari Allah Swt. bukan tidak mungkin akhlak mulia
ini akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sikap dan perilaku sehari-hari anak-anak kita
sampai ia dewasa.

DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Susanti. Mendongeng Sebagai Energi Bagi Anak. (Jakarta: Rumah Ilmu Indonesia:
2008).
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Alih Bahasa oleh Prof. K.H. Farid Ma’ruf. (Jakarta: Bulan
Bintang:1986)
Asfandiyar, Andi Y. Cara PintarMendongeng. (Jakarta: Mizan: 2007).
Brewer, Jo An. 2007. Introduction to Early Child-Nood Education Presholl Throught Primary
Grades. United States of Amerika: Pearson

Daud Ali, M. Pendidikan Agama Islam.(Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2002).
Daud Ali, M. Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawalin Press, 2008)
Dariyo, Agoes. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, (Bandung: PT Refika
Aditama: 2011).
Fadhilah., M. Desain Pembelajaran Paud. (Yogyakarta: Ar-Ruzz media, 2012).
Fitroh, Siti.F & Sari, Evi. D.N. Dongeng sebagai media penanaman karakter pada anak usia dini.
Jurnal PG-PAUD Trunojoyo, Vol.2, No.2 Oktober. Hal. 76-149.
Ihsan, Hamdani, Fuad Ihsan. Filasafat pendidikan Islam. (Bandung: CV. Pustaka setia 2001).
Marzuki. 2008. Pembinaan Karakter Profetik Perspektif Islam. Di akses pada tanggal 4 Februari
2017 dari http: // staffnew. uny. ac. id/ upload/ 132001803/ penelitian/ Dr.+ Marzuki,+ M.Ag+
Pembinaan+ Karakter + Profetik+ Perspektif+Islam. pdf.
Marzuki.2009.Pembinaan Akhlak mulia dalam berhubungan dengan sesama manusia dalam
perspektif islam. Jurnal Humanika, Vol.9, No.1. Edisi Maret.
Matta, Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. (Jakarta: Al-I’tishom, 2006), cet. III.
Michael L. (2009). Teaching Your Children. New Jersey: Person Education.
Moelichatoen. Metode Pengajaran di taman Kanak-Kanak. (Jakarta: Rineka Cipta: 2004)
Murdiono, M. 2008. Metode Penanaman Nilai Moral untuk Anak Usia Dini. Yogyakarta:
Universitas Negri Yogyakarta. Di akses pada tanggal 2 Januari 2017 dari
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132304487/B1-JURNAL%20KEPENDIDIKAN
LEMLIT%20UNY. pdf
Muallifah. (2013). Storytelling sebagai metode parenting untuk pengembangan kecerdasan anak
usia dini. Jurnal Psikoislamika. Vol. 10 No.1, h. 99.
Musfiroh, Tadkiroatun. Memilih, menyusun dan menyajikan cerita untuk anak usia dini.
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008)
Musli. (2011).Metode Pendidikan Akhlak bagi Anak. Media Akademika, Vol.26, No.2, April.
Muka Sa’id. Etika Masyarakat Indonesia. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.)
Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 98.
Rahim, H. & Rahiem.M., D.,H. (2012). The Use of Stories as Moral Education for Young Children.
International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 2, No. 6, November.
Rosnita.(2013). Pembentukkan Akhlak Anak usia Dini Menurut Ibn Miskawaih. Jurnal Miqot.Vol.
XXXVII No.2 Juli-Desember.

Sa’addudin, Iman Abdul.Mukmin. Dr. Meneladani Akhlak Nabi Membangun Kepribadian
Muslim. (Surabaya: Rosdakarya: 2006).
Santrock, J, W. 2007. Psikologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sultani, Gulam Reza. 2004. Hati yang Bersih Kunci Ketenangan Jiwa. Terj. oleh Abdullah Ali.
Jakarta: Pustaka Zahra.
Suwaid, M. Nur Abdul Hafizh. Prophetic Parenting. Yogyakarta.Pro-U Media, 2010).
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1994)
Ya’kub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Ahklaqul Karimah, (Bandung: CV. Diponegoro, 1988),
hlm. 142-145.