VARIASI BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA SEBUAH
VARIASI BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA : SEBUAH KONSTRUKSI IDENTITAS
FIERENZIANA GETRUIDA JUNUS
[email protected]
Penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi menjadi semakin sulit dielakkan, semakin
meluas dan membawa pengaruh besar bagi perkembangan bahasa dalam hal ini bahasa Indonesia.
Berbagai bentuk bahasa baru muncul dengan variasi yang sangat besar jumlahnya. Bahkan bentuk baru
ini perlahan menggusur kata-kata baku yang ada. Sebuah fenomena yang sulit dihindari
Artikel ini memaparkan penggunaan berbagai bentuk bahasa oleh para pengguna media sosial
yang seringkali tidak mengacu pada bentuk baku ataupun standar bahkan cenderung untuk menuliskan
apa yang diucapkan. Sebuah proses yang penulis sebut sebagai ecrononciation atau proses penulisan
kata atau kalimat sebagaimana yang diucapkan. Dalam proses ini tejadi berbagai perubahan linguistik,
seperti abreviasi, morfofonologis, zeroisasi, onomatope, dan elipsis. Bahkan bentuk-bentuk lain seperti
penggunaan emotikon, stiker, dan meme menjadi ciri khas dari jenis komunikasi ini.
Para pengguna media sosial menggunakan kata atau kalimat sesuka hati yang ternyata cukup
komunikatif bagi komunitas penggunanya bahkan sangat popular digunakan. Mereka sangat kreatif,
memodifikasi kata dan menciptakan kata-kata baru yang dapat dipahami dengan mudah. Mungkin
awalnya variasi bahasa yang muncul merupakan akibat dari ekonomisasi bahasa. Namun seiring
teknologi yang semakin canggih, alasan tersebut menjadi tidak relevan. Penggunaan bahasa dalam
media sosial bukanlah sekadar sebuah proses reproduksi bahasa namun juga merupakan sebuah proses
representasi diri, proses dialog antara kapitalisme dan individu pengguna, dan proses konstruksi
identitas bagi para pengguna media sosial..
Keywords : variasi bahasa, konstruksi identitas, representasi, media sosial, ecrononciation
The use of social media in communicating nowadays increase sharply and influence the
development of language, in this case Indonesian language. Various new forms of language emerged
with enormous variation in number. In fact, this new form of words slowly displacing the existing
standard. A phenomenon that is hard to avoid.
This article describes the use of various forms of language by users of social media which do
not refer to the standard form. The social media user inclined to write down what was said. A process
which the authors refer to as ecrononciation or the process of writing a word or phrase as spoken. This
process occurs in a variety of linguistic change, like the abbreviation, morfofonologis, zeroisation,
onomatopoeic, and ellipsis. The other form that also exists as specific style of this kind of
communication is the use of emoticons, stickers, and meme.
The social media chatter use words, phrases or sentences arbitrarily, which is quite
communicative and also very popular among them. They are very creative, they modified words and
creating new words that can be understood easily. The prior research showed that the phenomenon
appeared as a result of economizing language because whether the company of telephone cellular or the
provider of social media applications had only required some limited spaces for a status or a comment
characters number. Nevertheless, the reason is no longer relevant since the technology of telephone
cellular become more sophisticated. The use of language in social media is not just a language
production but it is also a process of self-representation, the process of dialogue between capitalism and
users, the process of constructing identity by the social media users.
Keywords: language variation, identity construction, representation, social media, ecrononciation
Pengantar
Menganalisis bahasa belakangan ini tidak lagi dalam paradigma strukturalisme yang melihat
bahasa sebagai struktur baku yang harus diacu tanpa memerhatikan subjek pengguna dan kebutuhannya,
dan konteks yang diacu. Bahasa bukanlah sebuah struktur yang statis namun dinamis, menurut
Ferdinand de Saussure (1995, hal. 48) bahasa terus berevolusi, terus berubah seiring dengan perubahan
yang terjadi pada pemakainya dan juga pada konteks pemakaiannya.. Teknologi yang semakin canggih
pun mengubah moda komunikasi manusia, Watt (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “How does
the use of Modern Communication Technology Influence Language and Litteracy Development"
mengutip Crystal menyebut era baru ini sebagai era written speech (percakapan tulis) dan spoken
writing (tulisan percakapan) yang menggambarkan bahwa komunikasi dengan menggunakan teknologi
internet merupakan kegiatan yang sudah tidak dapat dihindari terutama bagi generasi muda dan hal
tersebut memengaruhi budaya menulis dan membaca mereka.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini komunikasi dengan menggunakan berbagai jejaring sosial
sangat mendominasi kehidupan manusia.. Fenomena penggunaan situs jejaring sosial seperti Facebook,
Twitter, Plurk dan lain-lain semakin meluas. Sejak tahun 1997 telah ada jejaring sosial yang menjadi
cikal bakal adanya situs-situs tadi seperti SixDegrees.com, LiveJournal, Friendster, LinkedIn, MySpace
dan Hi5 (Boyd & Ellison, 2007). Kepopuleran media ini meningkat dengan cepat karena beberapa
keunggulannya seperti dimungkinkannya individu berkomunikasi dengan individu yang lain padahal
jarak geografis yang luar biasa jauhnya. Menurut Ellison, Steinfeld dan Lampe dalam Journal of
Computer Mediated Communication (2007) situs jejaring sosial ini memiliki orientasi yang beragam,
mulai dari yang berkonteks pekerjaan (LinkedIn.com), penjajakan hubungan romantik (yang
merupakan tujuan awal pembuatan Friendster.com), kesamaan minat di bidang musik dan politik
(MySpace.com), maupun populasi mahasiswa kampus (awal dibentuknya Facebook.com).
Menurut Wellman dkk (dalam Boyd, 2007), sebagian besar riset awal mengenai komunitas
daring, berasumsi bahwa individu menggunakan situs jejaring sosial untuk berhubungan dengan orang
lain di luar kelompok sosial dan lokasi tempat mereka berada. Media jejaring sosial memungkinkan
penggunanya untuk membentuk komunitas berdasarkan kesamaan minat, kesamaan profesi, bahkan
kesamaan lokasi geografis. Penggunaan media sosial ini pun perlahan menggerus komunikasi lisan
antarindividu. Di Indonesia misalnya sangat umum terlihat orang-orang yang tidak peduli dengan
sekitarnya karena asyik dengan perangkat komunikasi masing-masing. Mereka lebih memilih
berkomunikasi tulisan dengan menggunakan short message service (sms), facebook, twitter, blackberry
messenger (BBM), LINE, Whatsapp, dan lain-lain daripada membangun komunikasi lisan dengan
sekitarnya.
Kemudahan menggunakan modus komunikasi ini dan juga kecanggihan cara kerjanya tidak
hanya menyingkirkan cara komunikasi lisan, tetapi juga membentuk cara komunikasi baru bahkan
ragam bahasa baru (Junus, 2011). Sebuah ragam yang tidak mengikuti pola yang sudah berlaku, namun
mencipta pola baru. Terlihat seolah-olah arbitrer, manasuka, namun ternyata memiliki pola dengan
varian-varian dalam jumlah yang besar. Dalam penelitian yang penulis lakukan terdahulu dengan
menggunakan data dari FB tahun 2010 menunjukkan munculnya ragam bahasa baru disebabkan oleh
keterbatasan ruang (pesan) dan waktu dalam berkomunikasi serta perangkat komunikasi yang belum
secanggih sekarang ini. Alasan yang dikenal dengan istilah ekonomisasi bahasa. Hal itu disebabkan
karena hingga tahun 2011, FB hanya memberi ruang untuk 420 karakter maksimal, namun sekarang
sudah diperbesar sebanyak 63.206 karakter maksimal. Peningkatan layanan oleh para penyedia layanan
tersebut serta kecanggihan teknologi perangkat komunikasi menjadikan alasan ekonomisasi bahasa dan
keterbatasan teknologi menjadi tidak relevan, karena para pengguna semakin leluasa memanfaatkan
ruang yang disediakan dan juga semakin mudah menggunakan jenis karakter huruf yang diinginkan.
Bahasa dalam Media Sosial
Crystal (2006) mengatakan bahwa penggunaan internet sangat berdampak pada bahasa, dalam
bukunya Language and internet dia menggunakan istilah Netspeak untuk mengatakan kegiatan
berbahasa pada internet. Sufiks speak dalam istilah tersebut tidak hanya merujuk pada kegiatan
berbicara namun juga menulis, termasuk di dalamnya unsur reseptif yaitu ‘mendengar dan membaca’.
Dalam buku ini, Crystal masih melihat bahwa kegiatan berkomunikasi dalam internet ini berpotensi
interaktif, hal ini dapat dipahami karena buku ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2001 ketika
moda komunikasi jejaring sosial yang sangat interaktif belum banyak digunakan.
Seperti halnya Crystal, Naomi Barron (2003) juga melakukan banyak penelitian mengenai
bahasa dalam media komunikasi termasuk di dalamnya Short Message Service (SMS), IMChat, email,
dan sebagainya. Dalam bukunya Language of the internet dia mengatakan bahwa dalam memindahkan
bahasa natural ke internet ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Baron, 2003, hal. 4), yaitu
(1) berbicara versus menulis
(2) efek teknologi terhadap bahasa
(3) isu antar bahasa dan budaya
Masih menurut Baron keunikan penggunaan bahasa bukanlah terletak pada kekhasan mediumnya
melainkan variasi bentuk yang digunakan menyangkut transmisi modalitas yang dalam hal ini seperti
bicara versus menulis, percakapan para partisipan, gaya, media yang digunakan (misalnya bahasa lisan
disampaikan dengan tatap muka versus lewat telepon) dan budaya. Dalam penggunaan bahasa di
internet yang paling sering terjadi adalah komunikasi tulis dibandingkan dengan yang bersifat auditoris.
Kedua ahli, baik Barron (1998) maupun Crystal (2001) setuju bahwa dalam komunikasi yang
menggunakan internet meskipun dalam bentuk tulisan namun lebih terasa sebagai sebuah kegiatan
berbicara daripada kegiatan menulis, maksudnya bahwa para pelaku komunikasi yang menggunakan
internet lebih cenderung menggunakan ragam lisan daripada ragam tulis meskipun teks yang ada
merupakan teks tulisan.
Variasi Bahasa dan bentuk komunikasi Media Sosial
Dalam berkomunikasi menggunakan media sosial, pengguna bahasa sering menuliskan kata
sebagaimana yang dilafalkan. Jika Crystal (2004) menyebutkan netspeak sebagai fenomena ragam
cakap yang digunakan dalam komunikasi tulis di internet, untuk fenomena dimana pengguna bahasa
dalam media sosial menuliskan apa yang dilafalkan, penulis menyebutnya dengan istilah
ecrononciation. Ecrononciation [e-kro-n - sja - sj ] adalah bentukan kata dari bahasa Prancis (motsvalise) yaitu penggabungan dari kata ecrire (menulis) dan prononciation (pelafalan). Istilah ini merujuk
bukan pada struktur kalimat namun pada penulisan kata, frasa, dan klausa yang digunakan, misalnya
gosah (gak usah), gadak (gak ada), warbiasa (luar biasa), dst.
Fenomena ecrononciation menunjukkan adanya perubahan linguistik yang memunculkan variasi
bahasa khas yang meliputi :
a. Zeroisasi;
(1) aferesis atau penghilangan fonem awal atau suku kata awal dari sebuah kata, contohnya :
etapi (tetapi), tasiun (stasiun), mayan (lumayan), gi (pergi), dll
(2) sinkope, atau penghilangan fonem atau suku kata yang berada di tengah sebuah kata;
contohnya : klo (kalau), bsa (bisa), cba (coba), dll
(3) apokope. atau penghilangan fonem atau suku kata akhir sebuah kata, contohnya : ak (aku),
pul (pulang),
b. diftongisasi seperti kalo (kalau), mo (mau), dll
c. penambahan grafi k untuk bunyi glotal misalnya pulak (pula), kalok (kalau),
d. perubahan grafi :
- u menjadi o, contohnya mao (mau), akoh (aku)
- i menjadi e, contohnya sene (sini), senteng (sinting)
- k menjadi gh, contohnya ngantogh (ngantuk);
- s menjadi z, contohnya zerem (seram)
- f mejadi p, contohnya pokus (fokus)
e. Perubahan leksikal, misalnya ciyus (serius), bingits (banget)
f. Abreviasi atau penyingkatan yang meliputi :
(1) akronim untuk istilah atau ekspresi tertentu seperti : mager (malas gerak), markibo (mari
kita bobo), baper (bawa perasaan), bo’am (bodo amat) ;
(2) penyingkatan reduplikasi contohnya tetiba (tiba-tiba), jenjangan (jangan-jangan), gegara
(gara-gara), dll.
Variasi bahasa lain yang dimunculkan oleh para pengguna media sosial yang tidak termasuk
ecrononciation sebagai berikut:
a. Perubahan leksikal, misalnya beud (banget)
b. Perubahan semantis, misalnya kata ‘secara’ dalam KBBI diartikan dengan kata sebagai, selaku,
menurut, dengan cara, dengan jalan atau dengan; namun dalam percakapan media sosial sering
diartikan sebagai sementara/padahal (Secara gue kan manusia biasa, bukan manusia sok hebat),
lagipula (mtv gue banget secara gue gitu loe).
c. Abreviasi atau penyingkatan:
(1) pengekalan grafi pertama dari tiap suku kata dan huruf terakhir dari suku kata terakhir,
slmt” (“selamat”) , “mkn” (“makan”), “kls” (“kelas”), “bsk” (“besok”) ;
(2) pengekalan grafi pertama tiap suku kata ctnya : kt (kita), br (baru), mkn (makan);
d. Penggunaan lambang huruf : Penggunaan lambang huruf yang mewakili sebuah suku kata.
seperti : tax (tanya), bukux (bukunya), atau sex (sekali), u (you), aq (aku), dst.
e. Penggunaan angka yang menggantikan huruf, suku kata atau kata tertentu contoh ; 4p4 (apa),
t364r (tegar), 64ul (gaul) se7 (setuju), dll.
f. Elipsis atau penghilangan salah satu unsur dalam kalimat, yang meliputi ellipsis subjek seperti
gak ikut (saya tidak ikut), pulang dulu ya (saya pulang dulu ya); elipsis verba seperti: aku yang
biru (aku punya yang biru); elipsis objek: aku sudah buat (aku sudah buat tugas)
g. Onomatope;
Onomatope yang menirukan bunyi tawa yang berbeda-beda dalam lambang grafinya, seperti :
hehehe, hihihi, hahaha, wkwkwk, wakakaka, gyahaha, dll
h. mixing code, contohnya: “aku excited banget dengernya”, “jam berapa rendez-vousnya?”
Kecenderungan lain yang tidak bersifat linguistik namun sangat menarik diperhatikan adalah
kecenderungan penggunaan gambar untuk menggantikan ekspresi atau bahkan wacana.
a. emotikon, digunakan untuk menunjukkan perasaan atau aktifitas yang dilakukan, misalnya
emotikon senyum , sedih , dll
b. stiker, berbeda dengan emotikon, stiker dapat mewakili perasaan, aktivitas bahkan perilaku
penulis pesan yang sekarang sudah dibuat berupa gambar bergerak (animasi).
Contohnya :
atau
c. meme, berbeda dengan emotikon dan stiker, meme adalah gambar atau foto yang direkayasa
untuk mengungkapkan sesuatu hal, baik berupa cerita ataupun pesan, biasanya dengan maksud
menimbulkan rasa humor bagi yang melihat dan membacanya.
Contohnya :
atau
Variasi Bahasa dan Identitas
Bahasa merupakan wacana dimana semua praktik sosial berlangsung, sehingga bahasa juga dapat
dikatakan sebagai tempat membentuk individu dalam sistem sosial ( (Piliang, 2003). Menurut Edwards
(1985), bahasa baik sebagai sarana maupun pesan merupakan perilaku sosial yang khas dan mendasar,
yang juga merupakan bagian dari substansi budaya masyarakat serta sarana untuk ekspresi diri individu
ataupun masyarakat. Dengan kata lain bahwa individu dalam sebuah masyarakat membentuk dirinya
dalam bahasa. Bahasa menjadi alat dan sekaligus wadah bagi seorang individu ataupun masyarakat
untuk membentuk identitas diri. Selain itu, Williams (1992, hal. 67) mengatakan bahwa individu
menggunakan variasi bahasa untuk memberikan informasi tentang dirinya. Jadi dapat dikatakan bahwa
selain sebagai alat dan wadah untuk membentuk dirinya, individu juga dapat memberikan informasi
tentang dirinya lewat variasi bahasa yang digunakannya.
Hall (2003 : 25) mengatakan bahwa makna merupakan konstruksi. Makna dikonstruksi melalui
sistem representasi dengan kode(bahasa) yang dalam budaya tertentu telah dibangun menjadi konvensi
sosial. Kode yang membangun relasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran (langue) dengan
sistem bahasa yang digunakan (parole) . Ketika seseorang memberi makna pada suatu benda, peristiwa
maupun sesamanya, pada saat itu identitas diberikan atau pada saat seseorang memosisikan
(positioning) dirinya dalam pemaknaan (signification) pada saat itulah seseorang memberi identitas
pada dirinya. Identitas diri pengguna bahasa diartikulasikan lewat penggunaan ragam bahasa yang
dianggap lebih mampu merepresentasikan seperti apa dia ingin menjadi ‘becoming’ daripada seperti
apa dia adanya ‘being’. Dalam hal ini bahasa menjadi alat dan media pembentuk identitas bagi para
pemakainya, bahasa tidak lagi hanya mencerminkan realitas yang merujuk pada fakta yang ada seperti
yang diyakini oleh para strukturalis yang percaya bahwa tanda merupakan representasi dari realitas
sehingga ketiadaan realitas berkonsekuensi logis pada ketiadaan tanda (Piliang, 2003, hal. 49).
Pandangan yang sudah lama ditinggalkan oleh para post-strukturalis, para posmodernis yang
menganggap bahwa bahasa dapat mengkonstruksi realitas dalam hal ini identitas, sebagaimana yang
diinginkan.
Gambar 1 & 2 Contoh penggunaan bahasa dalam media sosial
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi dalam media sosial bukan lagi
soal efisiensi ataupun ekonomisasi bahasa. Penggunaan berbagai variasi bahasa dalam komunikasi
media sosial merupakan bentuk representasi yang dilakukan dalam rangka memproduksi makna baik
tentang benda, peristiwa atau sesama manusia bahkan tentang diri. Penggunaan bahasa-bahasa
pergaulan, variasi model huruf ataupun kombinasi huruf dan angka untuk memperlihatkan bahwa
pengguna bahasa tersebut adalah orang yang mengikuti perkembangan bahasa atau biasa disebut ‘gaul’,
penggunaan code mixing untuk menjelaskan bahwa pelaku komunikasi adalah seorang yang bilingual
bahkan multilingual, penggunaan emoticon untuk memperkenalkan bahwa pengguna bahasa adalah
orang yang mengikuti perkembangan teknologi atau biasa disebut gadgeter, atau mereka yang
melakukan pelanggaran aturan bahasa untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola aturan
bahasa (rules) dan mampu menggunakan sumber daya bahasa (resources) yang dimilikinya untuk
menciptakan humor. Semua alasan di atas bagi penulis bukanlah sekadar memperlihatkan, menjelaskan,
memperkenalkan ataupun menunjukkan identitas pengguna bahasa media sosial melainkan sebuah
proses konstruksi identitas.
Li merujuk Hall (Li, 2000, hal. 174) mengatakan bahwa artikulasi adalah sebuah proses
simplifikasi dan pembuatan batasan sebagaimana halnya koneksi. Pembentukan tersebut bukan
predeterminasi oleh stuktur dan posisi yang obyektif, tetapi muncul lewat proses tindakan dan imajinasi
yang dibentuk oleh peranan sejarah, budaya dan kekuasaan secara terus menerus. Yang dimaksud di
sini bahwa mengartikulasikan identitas diri, baik secara individu maupun kelompok, tidaklah bebas
nilai atau sangat objektif. Selalu ada latar dan kuasa yang ikut berperan. Ada dominasi kekuasaan dari
luar diri. Individu dalam teori strukturasi Giddens (1985) merupakan agen yang memiliki kemampuan
untuk ‘melakukan hal yang berbeda’, atau mampu mengintervensi dunia atau menghindar dari
intervensi tersebut dengan konsekuensi memengaruhi suatu proses atau suatu keadaan yang bersifat
khusus. Individu sebagai agen juga mampu menggunakan kekuasaan kausal termasuk memengaruhi
kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain, selain itu agen juga memonitor semua aspek
pada konteks dimana dia beraksi (Giddens, 1985 : 8). Individu dapat menggunakan rules (aturan) dan
resources (sumber daya) untuk ‘berdialog’ dengan agen lain ataupun struktur di luar dirinya.
Dalam penggunaan Bahasa Indonesia secara umum, wacana Bahasa Indonesia yang baku
menjadi wacana dominan. Wacana penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku, variasi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi media sosial menjadi wacana yang subordinat, bahkan cenderung
dipinggirkan. Lebih dilihat sebagai kesalahan, ketidaktahuan, ketidakmampuan daripada sebuah
kreativitas. Di lain pihak, dalam hal pembentukan identitas lewat penggunaan bahasa oleh pengguna
bahasa pada media sosial, kapitalisme lah yang memiliki kekuasaan dominan. Mereka adalah para
penyedia layanan dan aplikasi (service dan application/software) atau pembuat perangkat elektronik.
Mereka terus meningkatkan layanannya atau memproduksi perangkat baru dengan fitur-fitur baru.
Dengan semboyan “teknologi yang mengerti kebutuhan konsumen” mereka terus memperbarui
teknologi yang ada. Pengguna layanan maupun pengguna perangkat elektronik dalam hal ini para
pengguna bahasa media sosial secara sengaja ataupun tidak, berusaha mempertahankan identitas yang
sudah mereka bentuk dengan memperbarui (update) penguasaan mereka terhadap teknologi yang ada
dengan memiliki aplikasi terbaru ataupun perangkat terbaru. Mereka terjebak dalam lingkaran
konsumerisme yang diciptakan oleh kapitalisme.
Benarkah mereka terjebak? Sebagaimana Li (2000), penulis setuju bahwa pengguna bahasa
sosial media yang kreatif bukan lah sebuah entitas kosong yang hanya menunggu identitasnya diisi oleh
teknologi yang ada. Mereka bukan hanya aktor tanpa agensi, mereka adalah orang-orang yang
memanfaatkan teknologi terbaru tersebut sebagai rules dan resources untuk kemudian dengan
kreativitas masing-masing mereproduksi ragam bahasa baru, mereproduksi identitas mereka. Seperti
sebuah gelombang spiral yang tidak ada putusnya, proses tersebut dilihat oleh penyedia layanan,
aplikasi, perangkat atau kapitalis sebagai resources untuk mencipta fitur yang dimodifikasi berdasarkan
kecenderungan kreativitas pengguna, begitu seterusnya. Mereka, baik pengguna bahasa media sosial
maupun penyedia teknologi, ikut mengambil bagian dalam praktik sosial, mereka mengambil bagian
dalam kekuasaan pemaknaan, sebuah dialektika struktur dan agen.
Penutup
Tawaran Kuan Shing Chen (2010) untuk adanya dialog antara dominasi wacana pengetahuan barat
dengan wacana pengetahuan Asia dalam hal menentukan identitas sebuah komunitas, dalam kasus ini
bagi saya, dapat dianalogikan dengan dialog antara kapitalisme, yang dalam hal ini diwakili oleh
perusahaan penyedia teknologi komunikasi yang sudah mapan dan sangat mendominasi, dengan
pengguna bahasa media sosial yang beragam, subordinat, namun sangat feksibel. Bukan dengan
membangun oposisi biner, produsen vs konsumen atau produktif vs konsumtif yang memberi privilese
satu atas yang lain, namun melihat perbedaan tersebut sebagai hubungan yang bersifat komplimenter,
saling melengkapi, saling bersinergi membangun koneksitas yang tidak dapat dipisahkan.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, selama manusia ingin merepresentasikan dan
mengartikulasikan identitas dirinya lewat bahasa dengan melakukan distingsi, selama itu bahasa akan
berubah, atau bertambah dalam variasinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hall (2003a, hal. 234)
identitas adalah sebuah produksi, tidak pernah lengkap, selalu dalam proses dan selalu menjadi bagian
dalam -bukan di luar- representasi.
Daftar Pustaka :
Baron, N. S. (2003). The Language of the Internet. Dalam A. Farghali, The Stanford Handbook for
Language Engineers. . Stanford: CSLI CSLI. [In Press] .
Barron, N. S. (2000). Alphabet to Email. London: Routledge.
Barron, N. S. (2008). Always on : Language in an Online anda Mobile World. New York: Oxford
University.
Boyd, D. M., & Ellison, N. B. (2007). Social Network sites : Definition, history and scholarship. Journal
of
Computer-Mediated
Communication.
Diambil
kembali
dari
http://jcmc.indiana.edu/vol113/issue1/boyd.ellison.html
Chen, K.-S. (2010). Asia as Methode : Toward the deimperalization. Durham and London: Duke
University Press.
Crystal, D. (2006). Language and Internet. Cambridge: Cambridge University Press.
Edwards, J. (1985). Language, Society and Identity. UK, NY: Basil Blackwell.
Giddens, A. (1985). The Constitution of Society : Outline of the theory of structuration. . Cambridge :
Polity Press.
Hall, S. (2003a). Cultural Identity and Diaspora. Dalam J. E. Braziel, & A. Mannur, Theorizing
Diaspora: A Reader. Maine, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing.
Hall, S. (2003b). The Work of Representation. Dalam S. Hall, & S. Hall (Penyunt.), Representation :
Cultural and Signifying Practices. London: Sage Publication.
Junus, F. G. (2011). Ragam Bahasa dalam Facebook. Seminar Internasional Serumpun Universitas
Hasanuddin dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Makassar.
Lampe, E. C., & Steinfield, C. (2007). Benefits of of Facebook “Friends: “Social Capital and College
Student’ use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication.
Li, T. M. (2000, Jan). Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and The tribal
Slot. Comparative Studies in Society and History Vol. 42, No. 1 , hal. 149-179 .
Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studis atas matinya makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Saussure, F. D. (1995). Cours de linguistique générale. Paris: Payot.
Watt, H. J. (2010). How does the use of Modern Communication Technology Influence Language ".
Contemporary Issues in Science COmmunication and Disorders, hal. 144-148.
Williams, G. (1992). Sociolinguistics : A social critique. London and New York: Routledge.
FIERENZIANA GETRUIDA JUNUS
[email protected]
Penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi menjadi semakin sulit dielakkan, semakin
meluas dan membawa pengaruh besar bagi perkembangan bahasa dalam hal ini bahasa Indonesia.
Berbagai bentuk bahasa baru muncul dengan variasi yang sangat besar jumlahnya. Bahkan bentuk baru
ini perlahan menggusur kata-kata baku yang ada. Sebuah fenomena yang sulit dihindari
Artikel ini memaparkan penggunaan berbagai bentuk bahasa oleh para pengguna media sosial
yang seringkali tidak mengacu pada bentuk baku ataupun standar bahkan cenderung untuk menuliskan
apa yang diucapkan. Sebuah proses yang penulis sebut sebagai ecrononciation atau proses penulisan
kata atau kalimat sebagaimana yang diucapkan. Dalam proses ini tejadi berbagai perubahan linguistik,
seperti abreviasi, morfofonologis, zeroisasi, onomatope, dan elipsis. Bahkan bentuk-bentuk lain seperti
penggunaan emotikon, stiker, dan meme menjadi ciri khas dari jenis komunikasi ini.
Para pengguna media sosial menggunakan kata atau kalimat sesuka hati yang ternyata cukup
komunikatif bagi komunitas penggunanya bahkan sangat popular digunakan. Mereka sangat kreatif,
memodifikasi kata dan menciptakan kata-kata baru yang dapat dipahami dengan mudah. Mungkin
awalnya variasi bahasa yang muncul merupakan akibat dari ekonomisasi bahasa. Namun seiring
teknologi yang semakin canggih, alasan tersebut menjadi tidak relevan. Penggunaan bahasa dalam
media sosial bukanlah sekadar sebuah proses reproduksi bahasa namun juga merupakan sebuah proses
representasi diri, proses dialog antara kapitalisme dan individu pengguna, dan proses konstruksi
identitas bagi para pengguna media sosial..
Keywords : variasi bahasa, konstruksi identitas, representasi, media sosial, ecrononciation
The use of social media in communicating nowadays increase sharply and influence the
development of language, in this case Indonesian language. Various new forms of language emerged
with enormous variation in number. In fact, this new form of words slowly displacing the existing
standard. A phenomenon that is hard to avoid.
This article describes the use of various forms of language by users of social media which do
not refer to the standard form. The social media user inclined to write down what was said. A process
which the authors refer to as ecrononciation or the process of writing a word or phrase as spoken. This
process occurs in a variety of linguistic change, like the abbreviation, morfofonologis, zeroisation,
onomatopoeic, and ellipsis. The other form that also exists as specific style of this kind of
communication is the use of emoticons, stickers, and meme.
The social media chatter use words, phrases or sentences arbitrarily, which is quite
communicative and also very popular among them. They are very creative, they modified words and
creating new words that can be understood easily. The prior research showed that the phenomenon
appeared as a result of economizing language because whether the company of telephone cellular or the
provider of social media applications had only required some limited spaces for a status or a comment
characters number. Nevertheless, the reason is no longer relevant since the technology of telephone
cellular become more sophisticated. The use of language in social media is not just a language
production but it is also a process of self-representation, the process of dialogue between capitalism and
users, the process of constructing identity by the social media users.
Keywords: language variation, identity construction, representation, social media, ecrononciation
Pengantar
Menganalisis bahasa belakangan ini tidak lagi dalam paradigma strukturalisme yang melihat
bahasa sebagai struktur baku yang harus diacu tanpa memerhatikan subjek pengguna dan kebutuhannya,
dan konteks yang diacu. Bahasa bukanlah sebuah struktur yang statis namun dinamis, menurut
Ferdinand de Saussure (1995, hal. 48) bahasa terus berevolusi, terus berubah seiring dengan perubahan
yang terjadi pada pemakainya dan juga pada konteks pemakaiannya.. Teknologi yang semakin canggih
pun mengubah moda komunikasi manusia, Watt (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “How does
the use of Modern Communication Technology Influence Language and Litteracy Development"
mengutip Crystal menyebut era baru ini sebagai era written speech (percakapan tulis) dan spoken
writing (tulisan percakapan) yang menggambarkan bahwa komunikasi dengan menggunakan teknologi
internet merupakan kegiatan yang sudah tidak dapat dihindari terutama bagi generasi muda dan hal
tersebut memengaruhi budaya menulis dan membaca mereka.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini komunikasi dengan menggunakan berbagai jejaring sosial
sangat mendominasi kehidupan manusia.. Fenomena penggunaan situs jejaring sosial seperti Facebook,
Twitter, Plurk dan lain-lain semakin meluas. Sejak tahun 1997 telah ada jejaring sosial yang menjadi
cikal bakal adanya situs-situs tadi seperti SixDegrees.com, LiveJournal, Friendster, LinkedIn, MySpace
dan Hi5 (Boyd & Ellison, 2007). Kepopuleran media ini meningkat dengan cepat karena beberapa
keunggulannya seperti dimungkinkannya individu berkomunikasi dengan individu yang lain padahal
jarak geografis yang luar biasa jauhnya. Menurut Ellison, Steinfeld dan Lampe dalam Journal of
Computer Mediated Communication (2007) situs jejaring sosial ini memiliki orientasi yang beragam,
mulai dari yang berkonteks pekerjaan (LinkedIn.com), penjajakan hubungan romantik (yang
merupakan tujuan awal pembuatan Friendster.com), kesamaan minat di bidang musik dan politik
(MySpace.com), maupun populasi mahasiswa kampus (awal dibentuknya Facebook.com).
Menurut Wellman dkk (dalam Boyd, 2007), sebagian besar riset awal mengenai komunitas
daring, berasumsi bahwa individu menggunakan situs jejaring sosial untuk berhubungan dengan orang
lain di luar kelompok sosial dan lokasi tempat mereka berada. Media jejaring sosial memungkinkan
penggunanya untuk membentuk komunitas berdasarkan kesamaan minat, kesamaan profesi, bahkan
kesamaan lokasi geografis. Penggunaan media sosial ini pun perlahan menggerus komunikasi lisan
antarindividu. Di Indonesia misalnya sangat umum terlihat orang-orang yang tidak peduli dengan
sekitarnya karena asyik dengan perangkat komunikasi masing-masing. Mereka lebih memilih
berkomunikasi tulisan dengan menggunakan short message service (sms), facebook, twitter, blackberry
messenger (BBM), LINE, Whatsapp, dan lain-lain daripada membangun komunikasi lisan dengan
sekitarnya.
Kemudahan menggunakan modus komunikasi ini dan juga kecanggihan cara kerjanya tidak
hanya menyingkirkan cara komunikasi lisan, tetapi juga membentuk cara komunikasi baru bahkan
ragam bahasa baru (Junus, 2011). Sebuah ragam yang tidak mengikuti pola yang sudah berlaku, namun
mencipta pola baru. Terlihat seolah-olah arbitrer, manasuka, namun ternyata memiliki pola dengan
varian-varian dalam jumlah yang besar. Dalam penelitian yang penulis lakukan terdahulu dengan
menggunakan data dari FB tahun 2010 menunjukkan munculnya ragam bahasa baru disebabkan oleh
keterbatasan ruang (pesan) dan waktu dalam berkomunikasi serta perangkat komunikasi yang belum
secanggih sekarang ini. Alasan yang dikenal dengan istilah ekonomisasi bahasa. Hal itu disebabkan
karena hingga tahun 2011, FB hanya memberi ruang untuk 420 karakter maksimal, namun sekarang
sudah diperbesar sebanyak 63.206 karakter maksimal. Peningkatan layanan oleh para penyedia layanan
tersebut serta kecanggihan teknologi perangkat komunikasi menjadikan alasan ekonomisasi bahasa dan
keterbatasan teknologi menjadi tidak relevan, karena para pengguna semakin leluasa memanfaatkan
ruang yang disediakan dan juga semakin mudah menggunakan jenis karakter huruf yang diinginkan.
Bahasa dalam Media Sosial
Crystal (2006) mengatakan bahwa penggunaan internet sangat berdampak pada bahasa, dalam
bukunya Language and internet dia menggunakan istilah Netspeak untuk mengatakan kegiatan
berbahasa pada internet. Sufiks speak dalam istilah tersebut tidak hanya merujuk pada kegiatan
berbicara namun juga menulis, termasuk di dalamnya unsur reseptif yaitu ‘mendengar dan membaca’.
Dalam buku ini, Crystal masih melihat bahwa kegiatan berkomunikasi dalam internet ini berpotensi
interaktif, hal ini dapat dipahami karena buku ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2001 ketika
moda komunikasi jejaring sosial yang sangat interaktif belum banyak digunakan.
Seperti halnya Crystal, Naomi Barron (2003) juga melakukan banyak penelitian mengenai
bahasa dalam media komunikasi termasuk di dalamnya Short Message Service (SMS), IMChat, email,
dan sebagainya. Dalam bukunya Language of the internet dia mengatakan bahwa dalam memindahkan
bahasa natural ke internet ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Baron, 2003, hal. 4), yaitu
(1) berbicara versus menulis
(2) efek teknologi terhadap bahasa
(3) isu antar bahasa dan budaya
Masih menurut Baron keunikan penggunaan bahasa bukanlah terletak pada kekhasan mediumnya
melainkan variasi bentuk yang digunakan menyangkut transmisi modalitas yang dalam hal ini seperti
bicara versus menulis, percakapan para partisipan, gaya, media yang digunakan (misalnya bahasa lisan
disampaikan dengan tatap muka versus lewat telepon) dan budaya. Dalam penggunaan bahasa di
internet yang paling sering terjadi adalah komunikasi tulis dibandingkan dengan yang bersifat auditoris.
Kedua ahli, baik Barron (1998) maupun Crystal (2001) setuju bahwa dalam komunikasi yang
menggunakan internet meskipun dalam bentuk tulisan namun lebih terasa sebagai sebuah kegiatan
berbicara daripada kegiatan menulis, maksudnya bahwa para pelaku komunikasi yang menggunakan
internet lebih cenderung menggunakan ragam lisan daripada ragam tulis meskipun teks yang ada
merupakan teks tulisan.
Variasi Bahasa dan bentuk komunikasi Media Sosial
Dalam berkomunikasi menggunakan media sosial, pengguna bahasa sering menuliskan kata
sebagaimana yang dilafalkan. Jika Crystal (2004) menyebutkan netspeak sebagai fenomena ragam
cakap yang digunakan dalam komunikasi tulis di internet, untuk fenomena dimana pengguna bahasa
dalam media sosial menuliskan apa yang dilafalkan, penulis menyebutnya dengan istilah
ecrononciation. Ecrononciation [e-kro-n - sja - sj ] adalah bentukan kata dari bahasa Prancis (motsvalise) yaitu penggabungan dari kata ecrire (menulis) dan prononciation (pelafalan). Istilah ini merujuk
bukan pada struktur kalimat namun pada penulisan kata, frasa, dan klausa yang digunakan, misalnya
gosah (gak usah), gadak (gak ada), warbiasa (luar biasa), dst.
Fenomena ecrononciation menunjukkan adanya perubahan linguistik yang memunculkan variasi
bahasa khas yang meliputi :
a. Zeroisasi;
(1) aferesis atau penghilangan fonem awal atau suku kata awal dari sebuah kata, contohnya :
etapi (tetapi), tasiun (stasiun), mayan (lumayan), gi (pergi), dll
(2) sinkope, atau penghilangan fonem atau suku kata yang berada di tengah sebuah kata;
contohnya : klo (kalau), bsa (bisa), cba (coba), dll
(3) apokope. atau penghilangan fonem atau suku kata akhir sebuah kata, contohnya : ak (aku),
pul (pulang),
b. diftongisasi seperti kalo (kalau), mo (mau), dll
c. penambahan grafi k untuk bunyi glotal misalnya pulak (pula), kalok (kalau),
d. perubahan grafi :
- u menjadi o, contohnya mao (mau), akoh (aku)
- i menjadi e, contohnya sene (sini), senteng (sinting)
- k menjadi gh, contohnya ngantogh (ngantuk);
- s menjadi z, contohnya zerem (seram)
- f mejadi p, contohnya pokus (fokus)
e. Perubahan leksikal, misalnya ciyus (serius), bingits (banget)
f. Abreviasi atau penyingkatan yang meliputi :
(1) akronim untuk istilah atau ekspresi tertentu seperti : mager (malas gerak), markibo (mari
kita bobo), baper (bawa perasaan), bo’am (bodo amat) ;
(2) penyingkatan reduplikasi contohnya tetiba (tiba-tiba), jenjangan (jangan-jangan), gegara
(gara-gara), dll.
Variasi bahasa lain yang dimunculkan oleh para pengguna media sosial yang tidak termasuk
ecrononciation sebagai berikut:
a. Perubahan leksikal, misalnya beud (banget)
b. Perubahan semantis, misalnya kata ‘secara’ dalam KBBI diartikan dengan kata sebagai, selaku,
menurut, dengan cara, dengan jalan atau dengan; namun dalam percakapan media sosial sering
diartikan sebagai sementara/padahal (Secara gue kan manusia biasa, bukan manusia sok hebat),
lagipula (mtv gue banget secara gue gitu loe).
c. Abreviasi atau penyingkatan:
(1) pengekalan grafi pertama dari tiap suku kata dan huruf terakhir dari suku kata terakhir,
slmt” (“selamat”) , “mkn” (“makan”), “kls” (“kelas”), “bsk” (“besok”) ;
(2) pengekalan grafi pertama tiap suku kata ctnya : kt (kita), br (baru), mkn (makan);
d. Penggunaan lambang huruf : Penggunaan lambang huruf yang mewakili sebuah suku kata.
seperti : tax (tanya), bukux (bukunya), atau sex (sekali), u (you), aq (aku), dst.
e. Penggunaan angka yang menggantikan huruf, suku kata atau kata tertentu contoh ; 4p4 (apa),
t364r (tegar), 64ul (gaul) se7 (setuju), dll.
f. Elipsis atau penghilangan salah satu unsur dalam kalimat, yang meliputi ellipsis subjek seperti
gak ikut (saya tidak ikut), pulang dulu ya (saya pulang dulu ya); elipsis verba seperti: aku yang
biru (aku punya yang biru); elipsis objek: aku sudah buat (aku sudah buat tugas)
g. Onomatope;
Onomatope yang menirukan bunyi tawa yang berbeda-beda dalam lambang grafinya, seperti :
hehehe, hihihi, hahaha, wkwkwk, wakakaka, gyahaha, dll
h. mixing code, contohnya: “aku excited banget dengernya”, “jam berapa rendez-vousnya?”
Kecenderungan lain yang tidak bersifat linguistik namun sangat menarik diperhatikan adalah
kecenderungan penggunaan gambar untuk menggantikan ekspresi atau bahkan wacana.
a. emotikon, digunakan untuk menunjukkan perasaan atau aktifitas yang dilakukan, misalnya
emotikon senyum , sedih , dll
b. stiker, berbeda dengan emotikon, stiker dapat mewakili perasaan, aktivitas bahkan perilaku
penulis pesan yang sekarang sudah dibuat berupa gambar bergerak (animasi).
Contohnya :
atau
c. meme, berbeda dengan emotikon dan stiker, meme adalah gambar atau foto yang direkayasa
untuk mengungkapkan sesuatu hal, baik berupa cerita ataupun pesan, biasanya dengan maksud
menimbulkan rasa humor bagi yang melihat dan membacanya.
Contohnya :
atau
Variasi Bahasa dan Identitas
Bahasa merupakan wacana dimana semua praktik sosial berlangsung, sehingga bahasa juga dapat
dikatakan sebagai tempat membentuk individu dalam sistem sosial ( (Piliang, 2003). Menurut Edwards
(1985), bahasa baik sebagai sarana maupun pesan merupakan perilaku sosial yang khas dan mendasar,
yang juga merupakan bagian dari substansi budaya masyarakat serta sarana untuk ekspresi diri individu
ataupun masyarakat. Dengan kata lain bahwa individu dalam sebuah masyarakat membentuk dirinya
dalam bahasa. Bahasa menjadi alat dan sekaligus wadah bagi seorang individu ataupun masyarakat
untuk membentuk identitas diri. Selain itu, Williams (1992, hal. 67) mengatakan bahwa individu
menggunakan variasi bahasa untuk memberikan informasi tentang dirinya. Jadi dapat dikatakan bahwa
selain sebagai alat dan wadah untuk membentuk dirinya, individu juga dapat memberikan informasi
tentang dirinya lewat variasi bahasa yang digunakannya.
Hall (2003 : 25) mengatakan bahwa makna merupakan konstruksi. Makna dikonstruksi melalui
sistem representasi dengan kode(bahasa) yang dalam budaya tertentu telah dibangun menjadi konvensi
sosial. Kode yang membangun relasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran (langue) dengan
sistem bahasa yang digunakan (parole) . Ketika seseorang memberi makna pada suatu benda, peristiwa
maupun sesamanya, pada saat itu identitas diberikan atau pada saat seseorang memosisikan
(positioning) dirinya dalam pemaknaan (signification) pada saat itulah seseorang memberi identitas
pada dirinya. Identitas diri pengguna bahasa diartikulasikan lewat penggunaan ragam bahasa yang
dianggap lebih mampu merepresentasikan seperti apa dia ingin menjadi ‘becoming’ daripada seperti
apa dia adanya ‘being’. Dalam hal ini bahasa menjadi alat dan media pembentuk identitas bagi para
pemakainya, bahasa tidak lagi hanya mencerminkan realitas yang merujuk pada fakta yang ada seperti
yang diyakini oleh para strukturalis yang percaya bahwa tanda merupakan representasi dari realitas
sehingga ketiadaan realitas berkonsekuensi logis pada ketiadaan tanda (Piliang, 2003, hal. 49).
Pandangan yang sudah lama ditinggalkan oleh para post-strukturalis, para posmodernis yang
menganggap bahwa bahasa dapat mengkonstruksi realitas dalam hal ini identitas, sebagaimana yang
diinginkan.
Gambar 1 & 2 Contoh penggunaan bahasa dalam media sosial
Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi dalam media sosial bukan lagi
soal efisiensi ataupun ekonomisasi bahasa. Penggunaan berbagai variasi bahasa dalam komunikasi
media sosial merupakan bentuk representasi yang dilakukan dalam rangka memproduksi makna baik
tentang benda, peristiwa atau sesama manusia bahkan tentang diri. Penggunaan bahasa-bahasa
pergaulan, variasi model huruf ataupun kombinasi huruf dan angka untuk memperlihatkan bahwa
pengguna bahasa tersebut adalah orang yang mengikuti perkembangan bahasa atau biasa disebut ‘gaul’,
penggunaan code mixing untuk menjelaskan bahwa pelaku komunikasi adalah seorang yang bilingual
bahkan multilingual, penggunaan emoticon untuk memperkenalkan bahwa pengguna bahasa adalah
orang yang mengikuti perkembangan teknologi atau biasa disebut gadgeter, atau mereka yang
melakukan pelanggaran aturan bahasa untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola aturan
bahasa (rules) dan mampu menggunakan sumber daya bahasa (resources) yang dimilikinya untuk
menciptakan humor. Semua alasan di atas bagi penulis bukanlah sekadar memperlihatkan, menjelaskan,
memperkenalkan ataupun menunjukkan identitas pengguna bahasa media sosial melainkan sebuah
proses konstruksi identitas.
Li merujuk Hall (Li, 2000, hal. 174) mengatakan bahwa artikulasi adalah sebuah proses
simplifikasi dan pembuatan batasan sebagaimana halnya koneksi. Pembentukan tersebut bukan
predeterminasi oleh stuktur dan posisi yang obyektif, tetapi muncul lewat proses tindakan dan imajinasi
yang dibentuk oleh peranan sejarah, budaya dan kekuasaan secara terus menerus. Yang dimaksud di
sini bahwa mengartikulasikan identitas diri, baik secara individu maupun kelompok, tidaklah bebas
nilai atau sangat objektif. Selalu ada latar dan kuasa yang ikut berperan. Ada dominasi kekuasaan dari
luar diri. Individu dalam teori strukturasi Giddens (1985) merupakan agen yang memiliki kemampuan
untuk ‘melakukan hal yang berbeda’, atau mampu mengintervensi dunia atau menghindar dari
intervensi tersebut dengan konsekuensi memengaruhi suatu proses atau suatu keadaan yang bersifat
khusus. Individu sebagai agen juga mampu menggunakan kekuasaan kausal termasuk memengaruhi
kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain, selain itu agen juga memonitor semua aspek
pada konteks dimana dia beraksi (Giddens, 1985 : 8). Individu dapat menggunakan rules (aturan) dan
resources (sumber daya) untuk ‘berdialog’ dengan agen lain ataupun struktur di luar dirinya.
Dalam penggunaan Bahasa Indonesia secara umum, wacana Bahasa Indonesia yang baku
menjadi wacana dominan. Wacana penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku, variasi bahasa yang
digunakan dalam komunikasi media sosial menjadi wacana yang subordinat, bahkan cenderung
dipinggirkan. Lebih dilihat sebagai kesalahan, ketidaktahuan, ketidakmampuan daripada sebuah
kreativitas. Di lain pihak, dalam hal pembentukan identitas lewat penggunaan bahasa oleh pengguna
bahasa pada media sosial, kapitalisme lah yang memiliki kekuasaan dominan. Mereka adalah para
penyedia layanan dan aplikasi (service dan application/software) atau pembuat perangkat elektronik.
Mereka terus meningkatkan layanannya atau memproduksi perangkat baru dengan fitur-fitur baru.
Dengan semboyan “teknologi yang mengerti kebutuhan konsumen” mereka terus memperbarui
teknologi yang ada. Pengguna layanan maupun pengguna perangkat elektronik dalam hal ini para
pengguna bahasa media sosial secara sengaja ataupun tidak, berusaha mempertahankan identitas yang
sudah mereka bentuk dengan memperbarui (update) penguasaan mereka terhadap teknologi yang ada
dengan memiliki aplikasi terbaru ataupun perangkat terbaru. Mereka terjebak dalam lingkaran
konsumerisme yang diciptakan oleh kapitalisme.
Benarkah mereka terjebak? Sebagaimana Li (2000), penulis setuju bahwa pengguna bahasa
sosial media yang kreatif bukan lah sebuah entitas kosong yang hanya menunggu identitasnya diisi oleh
teknologi yang ada. Mereka bukan hanya aktor tanpa agensi, mereka adalah orang-orang yang
memanfaatkan teknologi terbaru tersebut sebagai rules dan resources untuk kemudian dengan
kreativitas masing-masing mereproduksi ragam bahasa baru, mereproduksi identitas mereka. Seperti
sebuah gelombang spiral yang tidak ada putusnya, proses tersebut dilihat oleh penyedia layanan,
aplikasi, perangkat atau kapitalis sebagai resources untuk mencipta fitur yang dimodifikasi berdasarkan
kecenderungan kreativitas pengguna, begitu seterusnya. Mereka, baik pengguna bahasa media sosial
maupun penyedia teknologi, ikut mengambil bagian dalam praktik sosial, mereka mengambil bagian
dalam kekuasaan pemaknaan, sebuah dialektika struktur dan agen.
Penutup
Tawaran Kuan Shing Chen (2010) untuk adanya dialog antara dominasi wacana pengetahuan barat
dengan wacana pengetahuan Asia dalam hal menentukan identitas sebuah komunitas, dalam kasus ini
bagi saya, dapat dianalogikan dengan dialog antara kapitalisme, yang dalam hal ini diwakili oleh
perusahaan penyedia teknologi komunikasi yang sudah mapan dan sangat mendominasi, dengan
pengguna bahasa media sosial yang beragam, subordinat, namun sangat feksibel. Bukan dengan
membangun oposisi biner, produsen vs konsumen atau produktif vs konsumtif yang memberi privilese
satu atas yang lain, namun melihat perbedaan tersebut sebagai hubungan yang bersifat komplimenter,
saling melengkapi, saling bersinergi membangun koneksitas yang tidak dapat dipisahkan.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan, selama manusia ingin merepresentasikan dan
mengartikulasikan identitas dirinya lewat bahasa dengan melakukan distingsi, selama itu bahasa akan
berubah, atau bertambah dalam variasinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hall (2003a, hal. 234)
identitas adalah sebuah produksi, tidak pernah lengkap, selalu dalam proses dan selalu menjadi bagian
dalam -bukan di luar- representasi.
Daftar Pustaka :
Baron, N. S. (2003). The Language of the Internet. Dalam A. Farghali, The Stanford Handbook for
Language Engineers. . Stanford: CSLI CSLI. [In Press] .
Barron, N. S. (2000). Alphabet to Email. London: Routledge.
Barron, N. S. (2008). Always on : Language in an Online anda Mobile World. New York: Oxford
University.
Boyd, D. M., & Ellison, N. B. (2007). Social Network sites : Definition, history and scholarship. Journal
of
Computer-Mediated
Communication.
Diambil
kembali
dari
http://jcmc.indiana.edu/vol113/issue1/boyd.ellison.html
Chen, K.-S. (2010). Asia as Methode : Toward the deimperalization. Durham and London: Duke
University Press.
Crystal, D. (2006). Language and Internet. Cambridge: Cambridge University Press.
Edwards, J. (1985). Language, Society and Identity. UK, NY: Basil Blackwell.
Giddens, A. (1985). The Constitution of Society : Outline of the theory of structuration. . Cambridge :
Polity Press.
Hall, S. (2003a). Cultural Identity and Diaspora. Dalam J. E. Braziel, & A. Mannur, Theorizing
Diaspora: A Reader. Maine, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing.
Hall, S. (2003b). The Work of Representation. Dalam S. Hall, & S. Hall (Penyunt.), Representation :
Cultural and Signifying Practices. London: Sage Publication.
Junus, F. G. (2011). Ragam Bahasa dalam Facebook. Seminar Internasional Serumpun Universitas
Hasanuddin dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Makassar.
Lampe, E. C., & Steinfield, C. (2007). Benefits of of Facebook “Friends: “Social Capital and College
Student’ use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication.
Li, T. M. (2000, Jan). Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and The tribal
Slot. Comparative Studies in Society and History Vol. 42, No. 1 , hal. 149-179 .
Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studis atas matinya makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
Saussure, F. D. (1995). Cours de linguistique générale. Paris: Payot.
Watt, H. J. (2010). How does the use of Modern Communication Technology Influence Language ".
Contemporary Issues in Science COmmunication and Disorders, hal. 144-148.
Williams, G. (1992). Sociolinguistics : A social critique. London and New York: Routledge.