POLA ASUH KELUARGA JAWA TERHADAP ANAK PE

POLA ASUH KELUARGA JAWA TERHADAP ANAK PEMBAREP
SEBAGAI PEMBENTUKAN TANGGUNG JAWAB SEJAK DINI
Oleh: Gusti Garnis Sasmita
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta
gustigarnis@gmail.com
Abstrak: pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dengan anak,
ditinjau dari cara orang tua menerapkan aturan, mengajarkan nilai dan pemberian
kasih sayang. Dalam budaya jawa, pola asuh yang digunakan cenderung
mengarah pada pola asuh Authoritarian (otoriter) dan power assertion (pola asuh
unjuk rasa) dimana orang tua memiliki pengaruh yang dominan dalam
pembentukan karakter anak sejak dini. Pembentukan karakter tersebut meliputi
penerapan nilai, bagaimana seorang anak harus berperilaku atau biasa disebut
njowo,mbeneh,ngabekti dan pembentukan tanggung jawab, baik dalam peran
maupun kewajiban. Seorang anak jawa sejak dini telah dikenalkan pada perannya
dalam keluarga. Bukan hanya pada keluarga priyayi saja, justru pada keluarga
petani sangat menekankan peran ini sejak dini dikarenakan oleh faktor sosial
ekonomi mereka. Setiap anak dalam keuarga petani tersebut telah diajarkan
tanggung jawab melalui pembiasaan diri dalam pembagian tugas rumah. Disisi
lain, pembentukan tanggung jawab dalam arti luas berkaitan erat dalam
pembagian posisinya dikeluarga. Seorang anak pembarep atau anak pertama
diberikan tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga dan para saudaranya.

Sejak kecil, tanggung jawab tersebut telah ditanamkan pada dirinya. Bagaimana ia
harus mampu mengemong dan menjadi panutan adik-adiknya. Seorang anak
mbarep tak jarang ikut membantu kedua orang tuanya dalam mencari nafkah.
Sebuah gambaran telah dijelaskan oleh Pak pandi, salah seorang anak petani
sederhana di Kediri. Bahwa sebagai anak pembarep, sejak kecil ia harus berusaha
membantu orang tuanya mencari uang demi menyekolahkan para adiknya. Hidup
dilingkungan keluarga tani miskin mendidiknya menjadi pribadi yang sabar,
tekun, tangguh dan berkepedulian tinggi. Situasi ekonomi membuatnya harus
mengalah untuk putus sekolah dan lebih mengedepankan masa depan para
adiknya. Memang pada masa itu orang-orang jawa cenderung memiliki keturunan
banyak karena belum berkembangnya sistem KB. Ia harus mampu menengahi
adik-adiknya bila terjadi suatu masalah. Segala upaya ia lakukan sebagaimana
perannya sebagai anak pembarep dikeluarga tani miskin. Baginya, hal tersebut
bukanlah sebuah paksaan melainkan tanggung jawab diri. Hal tersebutlah yang
kemudian melekat menjadi jatidirinya hingga beranjak dewasa. Dengan keteguhan
dan keuletannya tersebutlah kemudian ia berhasil memetik hasil kerja kerasnya.
Sebuah kepuasan tersendiri ketika ia telah mampu sedikit meringankan beban
orang tuanya dengan melihat para adiknya berhasil sekarang. Selain itu dari
seorang buruh tani srabutan, kini ia telah memiliki tanah pertanian yang luas
didesanya. Hal ini merupakan simbolisme salah satu dari sekian banyak keluarga

jawa terutamama keluarga tani sederhana, bagaimana tanggung jawab seorang
anak pembarep telah dibentuk sejak dini. Yang kemudian semakin menguat,
tertanam dalam psikologi seorang anak pembarep membentuk jati diri. Penelitian

ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskribtif untuk mengungkap fakta
secara mendalam dibalik suatu fenomena sosial yang ada dalam masyarakat jawa.
Kata Kunci: tanggung jawab, anak pembarep, peran, keluarga jawa
Keluarga

merupakan

lingkungan

sosial

pertama

seorang

anak.


Dalam

menanamkan nilai-nilai moral dan etika kepada anak, setiap orang tua memiliki
pola asuh yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
berkembang di daerah tersebut dan beberapa faktor lain yang mendukungnya
seperti faktor sosial dan ekonomi. Pola asuh merupakan interaksi yang intensif
antara orang tua dan anak, menerapkan aturan, mengajarkan nilai dan pemberian
kasih sayang. Dalam budaya jawa, pola asuh yang digunakan cenderung
mengarah pada pola asuh Authoritarian (otoriter) dan power assertion (pola asuh
unjuk rasa) dimana orang tua memiliki pengaruh yang dominan dalam
pembentukan karakter anak sejak dini. Dominan yang dimaksud ialah bagaimana
orang tua telah menetapkan aturan-aturan dan menanamkannya kepada diri anak
sejak dini. Kepatuhan seorang anak kepada orang tua, dalam budaya jawa tidak
serta merta diharapkan begitu saja. Karena makna leksikal dari “patuh” lebih
mengarah kepada “bekti” yakni patuh karena kesadaran diri. Ketika seorang anak
telah patuh, maka penanaman nilai-nilai akan lebih mudah dilaksanakan. Tentunya
juga dengan adanya reward and punishment pada situasi tertentu.
Sejak dini, moral dan etika telah ditanamkan oleh orang tua keluarga jawa
dengan harapan agar sang anak menjadi mbeneh dan njowo. Mbeneh ialah

keadaan dimana nilai moral telah tertanam dalam diri anak tersebut yakni ketika
seorang anak telah mampu memilah mana yang baik dan buruk, dan bagaimana ia
seharusnya bertindak dan etika menjelaskan mengapa anak harus bertindak yang
demikian. Bahkan yang unik dari tradisi jawa ialah, pendidikan seorang anak telah
dimulai bahkan sejak ia belum dilahirkan. Seperti disimbolkan dengan apa yang
seharusnya dilakukan seorang ibu yang mengandung, dan apa saja laranganlarangannya.
Dalam keluarga jawa, memiliki anak merupakan hal yang dinantikan. Hal
ini senada dengan pernyataan koentjaraningrat, faktor emosional, sosial dan
ekonomi menjadi faktor utama mengapa orang tua jawa cenderung senang
memiliki anak. Anak bagi keluarga jawa akan mendatangkan ketentraman dan

kebahagiaan dunia, selain itu anak juga mampu membantu orang tuanya bekerja
dan kelak menjadi jaminan dihari tua. (Koentjaraningrat, 1984) maka tidak ayal
bahwa pada sekitar abad 19 para keluarga jawa cenderung memiliki banyak anak.
Selain belum adanya Keluarga Berencana, agaknya orang jawa tidak pernah
mengenal suatu cara tradisional untuk mencegah kehamilan dan juga tidak pernah
menemukan jamu-jamu yang dapat mencegah kehamilan. (Koentjaraningrat,
1984). Budaya jawa kemudian mengatur bagaimana seharusnya interaksi antar
setiap anak dengan saudaranya. Salah satunya ialah ketika anak yang lebih muda
harus menghormati saudara yang lebih tua. Dan saling menghargai satu sama lain.

Penghormatan ini bukan berdasarkan kedudukan atau kekeayaan melainkan
tingkatan umur mereka. Tentu disini kemudian, telah muncul figur seorang anak
pembarep

sebagai seorang kakak tertua yang dihormati dan disegani adik-

adiknya. Anak-anak dalam keluarga juga harus berlaku adil. Mereka harus
mengetahui dan memahami hak serta kewajibannya dalam keluarga. Anak-anak
wajib berlaku adil, tidak memiliki rasa iri dengan saudara-saudaranya. Rukun
agawe santoso, itulah ungkapan yang ditanamkan untuk membentuk sikap
kepedulian antara saudara. Saling tolong menolong dalam keluarga bukan lagi
suatu keharusan tetapi lebih tepatnya kesadaran diri. Seorang anak kemudian akan
mampu mengambil pengertian bahwa keberhasilan yang terpenting bukanlah
milik diri sendiri melainkan milik bersama. Begitu pula kesusahan, jika seorang
anak susah maka saudara-saudaranya juga akan merasakan susah. Hal ini
kemudianlah yang ditekankan dalam penanaman tanggung jawab seorang anak
pembarep dalam menentukan sikap dan tanggung jawab kepada para adiknya.
Sedulur tuo iku gegantining wong tuo, ungkapan yang sering didengar ini bukan
dibuat hanya karena terasa pas ditelinga tetapi menunjukkan bagaimana keluarga
jawa memberikan gambaran perang seorang anak pembarep serta tanggung

jawabnya dalam keluarga. Tanggung jawab yang diampunya bukan hanya sebatas
ketika mereka masih hidup bersama, tetapi juga setelah ia telah mampu
memperoleh nafkah sendiri. Seorang pembarep masih memiliki tanggung jawab
sampai semua adiknya tuntas sekolah. Lalu bagaimana keadaannya ketika semua
naka telah mapan? Apakah seorang anak pembarep telah selesai begitu saja?
Justru disinilah kemudian didalam kepribadian adik-adiknya telah tertanam

konsep bahwa kakak tertua ialah seorang kakak yang disegani sampai kapanpun.
Hal ini merupakan salah satu bentuk pola asuh keluarga jawa sebagai cara
pembentukan tanggung jawab pada diri seorang anak pembarep. Anak pembarep
harus mampu mengemban tanggung jawab terhadap adik-adiknya. Ia harus
mampu menjadi teladan, panutan, serta mampu menengahi ketika terjadi masalah
atau pertengkaran diantara saudara-saudaranya. Tak jarang seorang anak
pembarep harus rela melepas cita-citanya demi masa depan para adiknya. Dari
kesemua hal tersebut layaknya dilakukan bukan lagi karena keterpaksaan
melainkah kesadaran diri. Lebih tepatnya salah satu bentuk ngabekti marang
wong tuo. Dari beberapa peta konsep tersebutlah kemudian penulis mengambil
latar belakang sejarah seorang anak pembarep dari keluarga petani jawa yang
berhasil mengemban tanggung jawabnya dengan mengorbankan cita-cita dan
bekerja keras demi masa depan para adiknya. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji lebih dalam pola asuh
keluarga jawa terhadap penanaman tanggung jawab sejak dini. Hal ini diharapkan
memberikan gambaran mengenai sejarah anak pembarep. Bagaimana ia mampu
memposisikan diri dengan tanggung jawab yang diampunya dan bagaimana
kemudian tanggung jawab tersebut telah membentuk karakter kepribadiannya
hingga beranjak dewasa.
ANAK PEMBAREP DALAM KELUARGA TANI JAWA
Keluarga tani jawa ialah sebuah keluarga yang menggantungkan diri dari hasil
pertanian. Pola yang lazim berlaku dikalangan keluarga kaum tani ialah suami dan
istri bekerja bersama-sama, yang mana tidak terdapat garis tajam antara dunia
laki-laki dan dunia wanita walaupun pada umumnya berbagai macam tugas yang
ada itu sudah diatur melalui tradisi (Geertz, 1982). Dalam suatu keluarga tani pola
asuhan ditekankan pada pembagian hak dan kewajiban. Ini merupakan pola asuh
asuh Authoritarian (otoriter) dan power assertion (pola asuh unjuk rasa). Dimana
orang tualah yang menjadi penentu masa depan anaknya kelak. Bilamana seorang
anak dari keluarga kaya telah memikirkan dengan matang masa depan anaknya
kelak yang juga akan menjadi bangsawan, berbeda halnya dengan anak petani.
Mereka sejak kecil dididik untuk bekerja membantu kedua orang tuanya. Faktor

ekonomi inilah kemudian yang melatih anak-anak petani memahami pekerjaan

dari hal yang paling sederhana. Masing-masing anak tidak pilih kasih, pasti
diberikan hak dan kewajibannya dirumah. Terutama sebagai anak pembarep.
Bahkan bukankah masyarakat jawa telah mengenal dengan baik budaya tingkeban
sebagai salah satu usaha memperoleh keselamatan seorang jabang bayi yang akan
lahir kelak. Hal lain yang perlu kita munculkan ialah mengapa hanya ketika
mengandung anak pertama? Bukankah resiko dari kehamilan dan melahirkan
semuanya sama? Yakni berkeinginan anak yang lahir sehat dan selamat.
Nampaknya disinilah kemudian dapat kita tarik keluar suatu argumen mengenai
pentingnya tradisi keselamatan anak pertama ini sejak dalam kandungan. Jika kita
mengaitkannya dengan peran anak pembarep ketika ia telah lahir kelak mungkin
dapat kita simpulkan bahwa tanggung jawab yang akan dibebankan kepada anak
tersebut bukanlah hal yang mudah. Maka dilakukan selamatan agar anak tersebut
mampu menjadi pribadi yang njowo, mbeneh lan ngabekti marang wong tuo.
Yakni berkepribadian yang baik, mantab, dan tak goyah.
Dalam penelitian ini penulis mengambil obyek salah satu keluarga tani
jawa sederhana di kabupaten Kediri. Menurut penuturan dari Pak Pandi, menjadi
anak pembarep memang diajarkan agar jadi orang yang mbeneh, ngerti lan
ngabekti. Dimana ia sebagai anak pertama harus mampu menjadi teladan untuk
adik-adiknya. Tanggung jawab yang ia terima sejak dini tersebutlah yang
kemudian membentuk karakter diri yang matang. Orang tuanya pun juga telah

melakukan tradisi tingkeban seperti orang tua keluarga jawa pada umumnya demi
keselamatannya. Suatu hal yang menarik ialah ketika ia harus rela putus sekolah
hanya sampai SMP saja demi untuk menyekolahkan adiknya. Disini kemudian
telah dapat ditarik dari penjelasan sebelumnya bahwa konsep rukun agawe
santoso merupakan titik tolak dimana cita-citanya masuk dalam pendidikan
kepolisian harus ia berikan kepada adiknya yang juga menginginkannya. Sebagai
seorang kakak ia rela mengalah, bahkan ikut membantu membiayai adiknya
tersebut. Keputusan tersebut ia ambil sebagai bentuk kesadaran diri sepenuhnya
bahwa kebahagiaan adiknya juga merupakan kebahagian dari dirinya sendiri. Ia
tidak lantas egois, bahkan tergolong anak yang tangguh dan berani mengorbankan

keinginan pribadi. Suatu keputusan yang sulit jika kita ambil dalam konteks
masyarakat jawa saat ini.
Sekolah bagi keluarga petani sederhana merupakan hal yang eksklusif.
Apalagi jika jenjang setelah SMP. Tetapi hal tersebut bukanlah halangan untuk
menjadi sukses. Pak Pandi dengan besar hati ikut membantu orang tuanya di
sawah, serta mencarikan makan ternak. Ternak inilah kemudian dijual untuk
membiayai sekolah adiknya di kepolisian tersebut. Sebuah kepuasan tersendiri
akan dapat ia rasakan manakala ia telah mampu memenuhi tugasnya sebagai anak
pembarep yang dapat membantu meringankan beban kedua orang tuanya

Peran Pak Pandi sebagai anak pembarep dikeluarganya lebih dapat
dikatakan sebagai pengganti orang tua ketika waktu-waktu tertentu. Hal ini senada
dengan gambaran yang disampaikan oleh Hildred Geertz, bahwa saudara-saudara
yang lebih tua diperintahkan menjaga anak yang lebih kecil, dan jika selisih umur
mereka sangat jauh dengan si anak, tindak tanduk mereka terhadapnya akan mirip
orang tuanya walau dalam edisi yang diperkecil (Geertz, 1982). Peran ini lebih
menonjol dirasakan oleh Pak Pandi semasa remaja. Yakni ketika ayahnya, Pak
Wiryo, pergi ke Surabaya selama beberapa tahun untuk mengantarkan adiknya,
Sri Utami ke Rumah Sakit. Saat itu adiknya tengah menderita tumor jinak di siku
tangan, sehingga harus segera dioperasi. Namun seusai adiknya sembuh, Pak
Wiryo tidak lekas kembali kerumah. Beliau memutuskan tinggal sementara di
Surabaya. Situasi politik nasional pada saat itu sangat bergejolak. Tepatnya ketika
meletusnya peristiwa G30S yang mana banyak warga indonesia yang dicurigai
sebagai antek PKI dibinasakan. Pak Wiryo juga dicurigai sebagai anggota PKI,
padahal beliau mengatakan dengan sangat jujur bahwa beliau sama sekali tidak
tahu dan ikut campur mengenai peristiwa pembunuhan para jendral. Pak Wiryo
juga sempat ditahan beberapa tahun di Surabaya. Tetapi karena kejujurannya dan
tidak adanya bukti pendukung, beliau dapat selamat dan kemudian dibebaskan.
Dimasa inilah Pak Pandi sebagai anak pembarep diserahi tanggung jawab oleh
ayahnya. Ia harus mampu menggantikan figur seorang ayah dalam keluarga.

Sawah yang dimilikinya harus tetap dijalankan, dan ia harus mampu mengatur
adik-adiknya dirumah. Adapun ketika adiknya salinmg bertengkar ia harus
melerai dan memberikan mereka nasehat. Bak seorang ayah, ia juga akan

menghukum adiknya bila tak patuh atau tak mau membantu pekerjaan rumah. Hal
ini merupakan usahanya dalam mengemban tanggung jawab diri. Ia bekerja
serabutan untuk membantu ibunya mengurus para adiknya. Pak Pandi tak kenal
lelah, dan ia senantiasa tetap mensyukuri segala nikmat yang Tuhan berikan.
Pada suatu ketika, anak perempuan nomor dua terakhirnya, ninik telah
tumbuh dewasa. Ia merupakan gadis yang cerdas dan selalu mendapatkan
rangking dikelasnya. Saat itu keluarga tak mampu membiayai adiknya untuk
lanjut sekolah. Bahkan adiknya hendak dinikahkan. Anggapan yang demikian
mengenai gadis jawa pada abad 19 memang kurang mendapatkan perhatian lebih.
Seorang wanita dalam pandangan masyarakat jawa pada saat itu ialah hanya
sebatas macak, masak, manak (bersolek, memasak dan melahirkan). Sehingga
untuk mengemban tujuan lebih tinggi yakni mencapai cita-cita merupakan suatu
hal yang tabu. Ninik kemudian disuruh untuk bekerja di gudang garam dan
diminta putus sekolah SMP saja. Tetapi ia kemudian menangis tersedu-sedu
lantaran merasa kepandaiannya disekolah tidak ada artinya. Dari sinilah kemudian
Pak Pandi juga berusaha memahami situasi adiknya tersebut. Ia kemudian
berusaha mencari uang tambahan sebagai buruh srabutan agar adiknya bisa tetap
sekolah. Hal ini merupakan salah satu kepeduliam seorang kakak kepada adiknya.
Jelas betul bahwa ia menyanyangi kesemua adiknya, daripada kepentingannya
sendiri. Memang benar bahwa ketika orang tuanya telah lanjut usia, sawah
keluarga kemudian diteruskan dan dikelola olehnya. Akan tetapi beban mental
yang ia emban sebelum ia memperoleh semua itu bukanlah hal yang gampang.
Ketika ditanyai apakah yang sebenarnya ianginkan, beliau kemudian menjawab
bahwa ingin kesemua adiknya itu dadi wong, harapan yang sama dengan kedua
orang tuanya. Istilah dadi wong kemudian memiliki arti yang luas seperti berhasil
atau sukses seseorang dalam hidup, pemikiran orang Jawa mengenai dadi wong
atau menjadi orang sukses merupakan konsep yang bersifat totalitas yang mana
konsep tersebut tidak ber-harga mati, tetapi lentur dan adaptatif yakni meliputi
totalitas dari norma serta nilai – nilai dasar budaya Jawa yang masih dipegang
teguh oleh para pendukung budaya Jawa (Fardhani, 2015).
keteguhannya terhadap nilai moral dan etika yang ia pegang tersebut telah
membentuk kepribadian yang mantab dan matang secara psikologis. Bahkan

dengan keadaan yang keras ia mampu bertahan dan berjuang demi masa depan. Ia
yang semula hanya diserahi sawah kecil oleh orang tuanya, kemudian saat ini
telah berhasil mengembangkannya. Beliau merupakan salah seorang petani yang
sregep lan jujur di desanya. Dengan lahan persawahan yang menjadi semakin
luas, ia tetap memegang prinsip hidupnya tersebut. Bahkan diusianya yang tak
sedikit saat ini, ia masih memiliki semangat tersebut. Kesemua adiknya telah
menjadi orang yang berhasil. Dan mereka juga tak lupa oleh jasa kakaknya
tersebut. Rasa hormat tetaplah ditunjukkan sebagai balasan rasa terima kasih akan
didikan sang kakak. Demikianlah salah satu bentuk pembentukan karakter orang
jawa terhadap tanggung jawab anak pembarep, yang mungkin tidak dapat kita
temui di daerah lain. Seharusnya hal ini dapat kita gunakan sebagai wacana,
bagaimana berbudayanya masyarakat jawa, terutama dalam institusi terkecilnya
yakni keluarga dalam menanamkan nilai-nilai moral, etika, serta tanggung jawab
sejak dini. Ini dapat kita gunakan sebagai teladan bagaimana kemudian nantinya
kita mampu mendidik anak-anak kita. Tentunya dengan beberapa penyesuaian
karena perubahan zaman saat ini, yang tak meninggalkan nilai-nilai budaya dalam
pola asuh anak, khussusnya anak pembarep.

KESIMPULAN
Pola asuh keluarga petani jawa dalam penanaman tanggung jawab seorang anak
pembarep ialah dengan membiasakan diri dengan hak dan kewajiban dirumah.
Yakni dalam tugas yang sederhana. Serta pengertian akan tanggung jawab tersebut
ditanamkan kepada anak sejak dini. Menyadari bahwa dirinya seorang anak
pembarep ialah melalui ungkapan mbeneh, njowo lan ngabekti marang wong tuo.
Hal tersebut bukanlah suatu keterpaksaan melainkan kesadaran diri terhadap
tanggung jawab yang diampunya. Seorang anak pembarep bahkan harus rela
mengalah demi masa depan para adiknya. Sebuah anggapan yang mengesankan
ialah ketika kepedulian dan kasih sayangnya terhadap para saudaranya tersebut
membuatnya merasa bahwa kebahagiaan saudara juga merupakan kebahagiaannya
pula. Berkat kesabaran, ketlatenan dan kepeduliannya terhadap para saudaranya,
ia telah berhasil menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang anak pertama di

keluarga. Bahkan sampai saat ini ia tetap disegani oleh para saudaranya.
Keakraban terasa semakin merekat walaupun mereka telah memiliki keluarganya
masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Fardhani. (2015). Makna "Dadi Wong" sebagai refleksi dari Sosialisasi Pada Pola
Pengasuhan Anak dalam Keluarga Jawa . Jurnal Holistik Tahun VIII No.
15 , 5.
Geertz, H. (1982). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PENYESUAIAN SOSIAL SISWA REGULER DENGAN ADANYA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SD INKLUSI GUGUS 4 SUMBERSARI MALANG

64 523 26

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26