KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA (3)

KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA

BAB XIX
KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
A.

PENDAHULUAN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah mengamanatkan agar
kebijaksanaan kependudukan yang menyeluruh dituangkan dalam
program-program terpadu untuk menunjang upaya-upaya meningkatkan
mutu sumber daya manusia, taraf hidup, kesejahteraan dan untuk mencapai
tujuan-tujuan pembangunan lainnya. Meningkatkan kesejahteraan penduduk
secara menyeluruh merupakan tujuan pembangunan. Dalam hal ini GBHN
1988 mengemukakan bahwa kebijaksanaan kependudukan diarahkan pada
pengembangan penduduk sebagai sumber daya manusia agar menjadi
kekuatan pembangunan bangsa yang efektif dan bermutu dalam rangka
mewujudkan mutu kehidupan masyarakat yang senantiasa meningkat. Dalam
kaitan ini perlu terus ditingkatkan upaya pengendalian pertumbuhan dan
persebaran penduduk, di samping pendidikan, kesehatan, pertumbuhan
ekonomi, pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja.

Mengingat keadaan penduduk Indonesia yang besar jumlahnya
dengan tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi, maka sejak Repelita I telah
dirintis usaha-usaha untuk mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk
terutama melalui pengendalian tingkat kelahiran. Di samping itu telah
XIX/3

diusahakan penurunan tingkat kematian, persebaran penduduk yang lebih
serasi dan merata serta peningkatan kualitas manusia dan masyarakat.
Usaha-usaha pembangunan di bidang kependudukan selama empat
Repelita yang lain telah memberikan hasil-hasil yang menggembirakan.
Namun demikian dalam Repelita V berbagai masalah kependudukan masih
perlu ditanggulangi agar hasil pembangunan makin dapat dinikmati oleh
seluruh masyarakat. Masalah-masalah ini meliputi penyediaan berbagai
kebutuhan pokok bagi jumlah penduduk yang terus bertambah seperti
penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lapangan kerja
serta masalah pembangunan yang diakibatkan oleh persebaran penduduk
antar daerah yang kurang optimal baik antara desa dan kota maupun antara
berbagai pulau di Indonesia.
B. KEPENDUDUKAN
1. Kebijaksanaan dan Langkah-langkah

Pembangunan di bidang kependudukan yang telah dirintis sejak
Repelita I dimaksudkan untuk mengatasi masalah tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi dan persebaran penduduk yang kurang merata. Jumlah
penduduk yang besar mempunyai dampak terhadap proses dan hasil usaha
pembangunan. Jumlah penduduk yang besar tersebut apabila mampu
berperan sebagai tenaga kerja yang berkualitas akan merupakan modal
pembangunan yang besar dan akan sangat menguntungkan bagi usaha-usaha
pembangunan di segala bidang. Sehubungan dengan itu, pembangunan di
bidang kependudukan di samping diarahkan pada upaya pencapaian
sasaran-sasaran yang langsung ditujukan pada penurunan laju pertumbuhan
penduduk, juga dititikberatkan pada upaya peningkatan kualitas penduduk
sebagai pelaku dan sasaran pembangunan bangsa dan negara. Upaya-upaya
peningkatan kualitas penduduk antara lain meliputi upaya peningkatan gizi
dan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan kemasyarakatan,
dan peningkatan pendidikan masyarakat.
Pembangunan di bidang kependudukan lebih diarahkan pada upaya
pengembangan sumber daya manusia agar penduduk makin menjadi
kekuatan yang efektif dan produktif bagi pembangunan. Dalam upaya ini
diusahakan ditingkatkan keterpaduan dan koordinasi upaya pengendalian


XIX/4

kelahiran dengan berbagai kegiatan pembangunan lainnya, khususnya upaya
pembangunan di bidang kesehatan, transmigrasi, pengendalian urbanisasi,
pendidikan, pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja.
Usaha penurunan tingkat pertumbuhan penduduk dilaksanakan
melalui pengendalian tingkat kelahiran dan penurunan tingkat kematian,
terutama kematian bayi dan anak. Upaya pengendalian kelahiran
dilaksanakan melalui program keluarga berencana (KB). Sebagaimana telah
diketahui oleh masyarakat luas KB bertujuan mengatur kelahiran anak dan
meningkatkan kesejahteraan ibu. Selanjutnya upaya penurunan tingkat
kematian dilaksanakan dengan memperluas dan meningkatkan jangkauan
serta mutu pelayanan kesehatan dan gizi masyarakat. Dari pengalaman
selama hampir lima Repelita ini nyata sekali bahwa dalam melaksanakan
upaya pembangunan kependudukan peran serta masyarakat merupakan faktor
yang sangat menentukan.
Dalam memperbaiki persebaran penduduk yang kurang merata
dilaksanakan kebijaksanaan perpindahan penduduk dari daerah yang
mempunyai kepadatan yang tinggi ke wilayah yang kurang padat.
Kebijaksanaan ini juga diarahkan pada perluasan lapangan kerja bagi

penduduk yang dipindahkan dan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih
optimal di wilayah-wilayah pemukiman yang baru. Upaya lain yang
ditempuh dalam rangka memperbaiki persebaran penduduk adalah
pembangunan kota-kota kecil dengan tujuan mengurangi dorongan penduduk
untuk pindah ke kota besar.
Peningkatan kualitas penduduk baik fisik maupun non fisik terus
ditingkatkan melalui berbagai usaha, seperti peningkatan gizi, pendidikan,
perluasan kesempatan berusaha, dan sebagainya. Peningkatan kualitas
penduduk yang dicapai dengan cara demikian diharapkan akan menunjang
upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan dan
menghilangkan sumber-sumber kemiskinan serta menyumbang kepada
keberlanjutan pembangunan.
Dalam rangka memadukan berbagai dimensi masalah kependudukan
serta mengatasinya ke dalam usaha pembangunan secara menyeluruh amat
dibutuhkan informasi statistik kependudukan yang terpercaya. Dalam
hubungan ini terus dikembangkan berbagai upaya meningkatkan mutu dan
liputan statistik kependudukan termasuk statistik yang dihasilkan dari
pelaksanaan registrasi penduduk.
XIX/5


2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a. Pertumbuhan Penduduk, Kelahiran, dan Kematian
Jumlah penduduk Indonesia selama ini terus bertambah. Sejak tahun
1968 penduduk Indonesia bertambah dari 115,0 juta orang menjadi 147,5
juta orang pada tahun 1980 dan 179,9 juta orang pada tahun 1990. Laju
pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 1971-1980 adalah 2,32% per
tahun sedangkan selama kurun waktu 1980-1990 menurun menjadi 1,97%
per tahun. Pada akhir PJPT I jumlah penduduk diperkirakan akan berjumlah
192,1 juta orang. Dengan demikian jumlah penduduk selama PJPT I telah
bertambah sebanyak 77,1 juta orang atau 67,0 % dari jumlah penduduk
tahun 1968. Laju pertumbuhan penduduk tersebut diperkirakan akan terus
menurun sehingga dalam kurun waktu 1990-1994 pertumbuhan penduduk
diperkirakan menjadi 1,65% per tahun. Jelaslah bahwa usaha-usaha
pembangunan di bidang kependudukan selama PJPT I telah berhasil
menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan.
Berdasarkan proyeksi sebelum Sensus Penduduk 1990, jumlah
penduduk pada tahun 1987 diperkirakan sebanyak 172,0 juta dan pada tahun
1992 sebanyak 189,5 juta orang. Hal ini berarti selama lima tahun
diperkirakan terdapat pertambahan penduduk sebanyak 17,6 juta orang.
Namun proyeksi berdasarkan data sensus tahun 1990, jumlah penduduk pada

tahun 1992 ternyata adalah sebanyak 185,8 juta orang sehingga terdapat
pertambahan penduduk sebanyak 13,8 juta orang selama lima tahun terakhir.
Jumlah ini lebih kecil dari proyeksi sebelumnya dengan 3,8 juta orang.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk dari 2,32% menjadi 1,65%
dalam waktu sekitar 20 tahun pada umumnya dan lima tahun terakhir
khususnya mempunyai dampak yang amat positif bagi pencapaian berbagai
sasaran pembangunan. Adanya penurunan ini mengurangi secara langsung
beban pengeluaran investasi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan,
kesehatan, pangan, perumahan dan lain-lain yang seyogyanya perlu
dikeluarkan kalau tingkat pertumbuhan penduduk tidak berkurang. Namun
demikian karena pertumbuhan penduduk ternyata menurun maka dana bagi
peningkatan mutu kesejahteraan rakyat telah dapat ditingkatkan. Dengan
demikian berkurangnya laju pertumbuhan penduduk telah menyumbang
langsung bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Percepatan
peningkatan kesejahteraan rakyat pada gilirannya mempunyai dampak positif
bagi pemerataan dan stabilitas sosial.

XIX/6

Keberhasilan penurunan pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan

dalam kondisi pembangunan sosial-ekonomi masyarakat yang belum tinggal
landas telah mendapat pengakuan dunia secara luas. Presiden Republik
Indonesia telah mendapatkan penghargaan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk kepemimpinan beliau dalam pelaksanaan pembangunan di
bidang kependudukan. Selain itu Indonesia dijadikan model bagi
pelaksanaan KB yang berhasil. Pengalaman Indonesia telah dipelajari oleh
banyak negara. Sampai dengan tahun 1992/93, Indonesia telah memberi
latihan KB dan Kependudukan bagi 1.412 pejabat dari 64 negara.
Pelaksanaan KB yang berhasil ternyata juga telah dapat meningkatkan posisi
dan martabat Indonesia khususnya di kalangan negara-negara yang sedang
membangun dan negara-negara anggauta Gerakan Non Blok.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk tersebut terutama disebabkan
oleh penurunan tingkat kelahiran berkat peran serta masyarakat dalam
berkeluarga berencana. Angka kelahiran kasar di Indonesia yang pada tahun
1971 diperkirakan sebesar 44,0 kelahiran per seribu penduduk pada tahun
1983 menurun menjadi 33,5 kelahiran per seribu penduduk. Angka tersebut
ternyata menurun lagi menjadi 28,7 kelahiran per seribu penduduk pada
akhir Repelita IV; bahkan pada tahun 1992 diperkirakan menjadi 24,9
kelahiran per seribu penduduk. Dengan demikian selama kurun waktu
1971-1988 telah terjadi penurunan tingkat kelahiran sebesar 2,7% per tahun

sedangkan penurunannya selama kurun waktu 1988 - 1992 lebih besar lagi,
yaitu 3,6% per tahun. Selama itu telah tercipta kecenderungan makin
kecilnya jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita selama hidupnya.
Rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita selama masa
suburnya selama jangka waktu tersebut menurun secara berarti; yaitu dari
5,6 anak per wanita pada kurun waktu 1967-1970 menjadi 3,0 anak per
wanita pada kurun waktu 1986-1989.
Menurunnya jumlah anak yang dilahirkan akan memberikan
kesempatan yang lebih besar kepada ibu-ibu untuk membina pertumbuhan
dan perkembangan anak-anak mereka. Lebih besarnya kesempatan membina
anak-anak bagi para ibu tersebut dapat diharapkan akan meningkatkan
kesiapan anak-anak dalam menghadapi proses pendewasaan, yang
selanjutnya dapat diharapkan akan meningkatkan kualitas penduduk dan
mendukung usaha-usaha pengembangan sumber daya manusia.

XIX/7

Adapun angka kematian bayi sejak Repelita I juga terus menurun.
Angka kematian bayi pada tahun 1971 sebagai ternyata dari hasil Sensus
Penduduk 1971 adalah 131,2 kematian per seribu kelahiran. Angka tersebut

telah menurun menjadi 63 kematian per seribu kelahiran pada tahun 1990
sebagai yang ternyata dari hasil Sensus Penduduk 1990. Dengan demikian
selama kurun waktu 19 tahun tersebut keseluruhan telah terjadi penurunan
angka kematian bayi sebesar 52%, atau 3,8% per tahun. Penurunan angka
kematian bayi tersebut merupakan petunjuk bahwa selama jangka waktu
yang bersangkutan keadaan kesehatan dan gizi penduduk makin membaik.
Makin membaiknya derajat kesehatan dan gizi penduduk jelas akan
memperpanjang umur penduduk Indonesia, yang diperkirakan mencapai
rata-rata 61,5 tahun pada tahun 1990.
Dari uraian di atas dengan singkat dapat dikemukakan bahwa
pembangunan kependudukan selama PJPT I bukan saja telah berhasil
menurunkan laju pertumbuhan penduduk secara berkelanjutan melainkan
juga telah berhasil mempercepat laju penurunan pertumbuhan penduduk
selama lima tahun terakhir. Di samping itu pembangunan yang dilakukan
telah pula meningkatkan mutu penduduk Indonesia.
b. Penundaan U m u r Perkawinan
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kelahiran penduduk
adalah usia perkawinan pertama. Dengan melangsungkan perkawinan lebih
muda seorang wanita akan mempunyai kesempatan melahirkan lebih besar.
Oleh sebab itu salah satu upaya di bidang kependudukan adalah mendorong

dan memotivasi generasi muda untuk berpartisipasi di bidang kependudukan
dengan jalan melaksanakan peningkatan usia perkawinan. Di samping
mengurangi kesempatan melahirkan peningkatan umur perkawinan akan
lebih mendewasakan para calon orang tua sehingga lebih siap di saat
kelahiran bayi dan dengan demikian akan lebih terjamin kesehatan ibu dan
anak.
Sejak Repelita III telah diberikan penerangan tentang manfaat
peningkatan umur perkawinan kepada para remaja dan pemuda. Kepada
generasi muda yang belum menikah diberikan motivasi agar melaksanakan
perkawinan apabila umurnya telah lebih dari 20 tahun bagi wanita dan telah
lebih dari 25 tahun bagi pria. Pemberian penerangan tersebut ternyata
berhasil meningkatkan kesadaran para remaja tentang masalah kependudukan

XIX/8

sehingga setelah mencapai usia dewasa mereka dapat diharapkan akan
menunda perkawinan hingga mencapai umur tersebut.
Usaha pemberian penerangan dan motivasi bagi para remaja tentang
masalah kependudukan ternyata berhasil. Pada tahun 1971 rata-rata para
wanita kawin untuk pertama kalinya pada usia 19,6 sedangkan pada tahun

1980 para wanita kawin untuk pertama kalinya pada usia 20,0 tahun. Angka
ini selanjutnya mengalami kenaikan menjadi 21,9 tahun pada tahun 1990.
c.

Peningkatan Tingkat Pendidikan

Peningkatan derajat pendidikan penduduk merupakan upaya penting
dalam pengembangan sumber daya manusia. Selama lima Repelita telah
terus dikembangkan penyediaan sarana pendidikan dengan pembangunan
prasarana sekolah dan peningkatan mutu tenaga pengajar. Dengan makin
memadainya persediaan sarana pendidikan, maka pada tahun 1984 dapat
dicanangkan kebijaksanaan wajib belajar bagi anak-anak usia 7-12 tahun.
Melalui kebijaksanaan wajib belajar angka partisipasi murni SD, yaitu rasio
jumlah murid SD usia 7-12 tahun dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun,
dapat ditingkatkan menjadi 99,6% pada tahun 1992 dari 98,9% pada tahun
1989. Sementara itu pada tahun keempat Repelita V angka partisipasi
pendidikan tingkat SLTP adalah 46,4% dan angka partisipasi tingkat SLTA
adalah 33,6% sedang pada tahun 1984 angka partisipasi tersebut baru
mencapai 44,4% dan 28,1%.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan pengertian, pemahaman
dan kesadaran serta menumbuhkembangkan sikap dan tingkah laku
bertanggung jawab atas masalah kependudukan, sejak Repelita II terus
dilaksanakan pendidikan kependudukan dan pendidikan KB.
d.

Peningkatan Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat

Penanganan masalah kependudukan tidak hanya dilakukan oleh
pemerintah tetapi juga oleh masyarakat luas. Dalam hubungan ini sejak
Repelita IV telah dirintis usaha-usaha untuk menumbuhkan peran serta aktif
masyarakat dalam pemecahan masalah kependudukan. Dalam kaitan ini telah
dikembangkan partisipasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain
melalui upaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka di bidang
manajemen LSM Kependudukan. Selama Repelita IV telah dilaksanakan

XIX/9

pelatihan yang diikuti oleh 150 wakil LSM. Selanjutnya selama 4 tahun
Repelita V telah dilaksanakan pelatihan yang diikuti oleh 70 peserta wakil
LSM.
Usaha lain dalam rangka meningkatkan peran masyarakat di bidang
pembangunan kependudukan dilaksanakan melalui kerja sama dengan
lembaga masyarakat lainnya seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah,
Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan Dewan Gereja Indonesia
(DGI). Dengan adanya kerja sama tersebut telah tergalang
kesepakatan-kesepakatan dalam usaha-usaha yang mendukung upaya
pemecahan masalah kependudukan.
e. Peningkatan Pusat Studi Kependudukan
Kesadaran mengenai keterkaitan masalah-masalah kependudukan
dengan pembangunan semakin meningkat baik di tingkat nasional, regional,
maupun di tingkat lokal. Permasalahan kependudukan yang dihadapi di
tingkat nasional dan di daerah-daerah cukup bervariasi. Di propinsi-propinsi
di pulau Jawa dan Bali masalah kependudukan utama yang dihadapi adalah
masalah yang berkaitan dengan tingginya kepadatan penduduk per km2. Di
banyak propinsi di luar Jawa-Bali masalah-masalah kependudukan yang
dihadapi berhubungan dengan rendahnya kepadatan penduduk per km2.
Oleh karena itu peran Pusat Studi Kependudukan (PSK) cukup berarti dalam
rangka pengembangan informasi baik secara umum maupun sebagai
masukan bagi perencanaan baik di tingkat nasional maupun di tingkat
regional. PSK-PSK ini merupakan bagian dari universitas negeri setempat.
Dalam rangka mendukung pengembangan dan peran PSK sejak
Repelita IV telah diselenggarakan pelatihan teknik analisis dan pelatihan
manajemen bagi 31 PSK. Di samping itu dalam rangka meningkatkan
kemampuan analisis para peneliti kepada PSK juga telah diberikan peralatan
komputer melalui dana program kependudukan. Sementara itu sejak tahun
1987 telah diberikan beasiswa bagi 139 orang peneliti dari PSK untuk
program pendidikan S-2 dan S-3 di berbagai bidang keilmuan yang berkaitan
dengan kependudukan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Adapun
bidang-bidang keilmuan yang diberikan prioritas meliputi demografi,
kesehatan masyarakat, geografi, ekonomi, sosiologi, dan perencanaan
daerah. Dengan demikian mereka diharapkan dapat memperkuat PSK di
berbagai perguruan tinggi di daerah.

XIX/10

f.

Keserasian Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Pola pembangunan berkelanjutan mengandung makna mendayaguna kan sumber alam yang tersedia dengan tetap memelihara secara memadai
agar dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan di
masa depan. Unsur-unsur terciptanya pembangunan berkelanjutan adalah
interaksi yang serasi antara perkembangan kependudukan dan keadaan
lingkungan dalam proses pembangunan. Dalam upaya memantau keserasian
perkembangan kependudukan dan keadaan lingkungan hidup mulai Repelita IV telah disusun Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah
(NKLD) di seluruh propinsi. Penyusunan NKLD merupakan faktor penting
dalam perencanaan daerah. Hal ini disebabkan NKLD merangkum secara
terkait dan terintegrasi informasi mengenai masalah-masalah kependudukan
dan lingkungan hidup di masing-masing daerah. Selanjutnya dalam Repe lita V dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu dan kelengkapan
data NKLD dan terciptanya Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Nasional (NKLN).
Untuk meningkatkan wawasan keserasian kependudukan dengan
lingkungan hidup telah diselenggarakan penataran bagi para widyaiswara
Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi (SESPA), Sekolah Pimpinan
Administrasi Tingkat Madya (SEPADYA) dan Sekolah Pimpinan
Administrasi Tingkat Lanjutan (SEPALA) di berbagai departemen. Sementara
itu pendidikan kependudukan yang berwawasan lingkungan telah tercakup
dalam kurikulum pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi dengan
mengintegrasikannya dalam materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).
Melalui jalur keagamaan telah dikembangkan pula modul kependudukan dan
lingkungan hidup. Dengan demikian pemahaman masyarakat tentang
permasalahan pembangunan di bidang kependudukan dan lingkungan hidup
diharapkan akan semakin dalam dan luas.
g.

Registrasi Penduduk

Data yang dihasilkan dari registrasi penduduk merupakan data yang
sangat diperlukan bagi perencanaan pembangunan. Hal ini sangat diperlukan
oleh karena data yang dihasilkan oleh registrasi merupakan data yang
bersumber dari unit administrasi pemerintahan yang terendah dan dengan
demikian akan membantu upaya khususnya perencanaan pembangunan dari
bawah. Untuk meningkatkan mutu registrasi penduduk diupayakan berbagai
XIX/11

langkah seperti perbaikan tata cara pencatatan, pelatihan aparat pelaksana
dan memotivasi masyarakat agar menyadari pentingnya registrasi penduduk.
Upaya peningkatan mutu registrasi penduduk telah dimulai sejak
awal Repelita V dengan dilaksanakannya pelatihan petugas pencatatan dan
pelaporan data kependudukan hingga tingkat desa. Untuk itu telah
diselenggarakan pelatihan bagi petugas registrasi yang diikuti oleh
wakil-wakil dari Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Biro
Pusat Statistik (BPS) di 58 kabupaten.
C. KELUARGA BERENCANA
1. Kebijaksanaan dan Langkah-langkah
Program keluarga berencana bertujuan untuk membangun manusia
Indonesia sebagai obyek dan subyek pembangunan melalui peningkatan
kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga. Di samping itu pelaksanaan program
KB juga diarahkan untuk menurunkan tingkat kelahiran atas dasar kesadaran
dan tanggung jawab seluruh masyarakat dengan cara memilih metode
kontrasepsi sward sukarela. Dengan demikian program KB akan merupakan
cermin dari upaya menurunkan tingkat kelahiran dan sekaligus membangun
keluarga sejahtera.
Langkah-langkah pelaksanaan program KB diawali dengan pende katan klinik selama Repelita I. Dalam hal ini semua pelayanan KB pada saat
itu dilakukan melalui klinik. Sejalan dengan semakin diterimanya program
KB di kalangan masyarakat luas maka dilaksanakan pendekatan
kemasyarakatan pada awal Repelita III. Dalam hal ini klinik tetap berfungsi
sebagai pusat pelayanan dan rujukan tetapi beberapa macam pelayanan KB
lainnya dilakukan lewat masyarakat, misalnya pemberian penerangan dan
motivasi serta pelayanan ulang kontrasepsi pil dan kondom.
Melalui pendekatan kemasyarakatan tersebut telah berhasil dibentuk
dan dikembangkan kelompok-kelompok peserta KB di kalangan masyarakat
yang sekaligus merupakan upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan program KB. Dengan makin diterimanya KB sebagai kebutuhan
dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia dan dengan telah meningkatnya
peran serta masyarakat maka mulai dirintis kemandirian dalam pelaksanaan

XIX/12

program. Kebijaksanaan ini dirintis sejak awal Repelita V yang sekaligus
menjadikan pelaksanaan program KB sebagai gerakan KB. Bersamaan
dengan itu dilakukan pula upaya peningkatan kualitas pelayanan KB.
Dari segi liputan wilayah, pelaksanaan program KB berawal dari
daerah Jawa-Bali yang padat penduduknya. Berdasarkan pengalaman selama
Repelita I tersebut, sejak awal Repelita II program KB mulai dirintis di 10
propinsi lain di luar Jawa-Bali. Selanjutnya pada awal Repelita III, mulai
dirintis pelayanan program KB di sebelas propinsi lainnya. Dengan
demikian sejak Repelita III liputan program KB telah mencakup seluruh
wilayah Indonesia.
Untuk mencapai tujuan program KB yang juga merupakan kegiatan
pembangunan di bidang sumber daya manusia diperlukan berbagai sasaran
kebijaksanaan di bidang keluarga berencana. Hingga kini telah dilakukan
beragam upaya seperti penerangan dan motivasi, pelembagaan KB di
masyarakat, pendidikan Kependudukan dan KB, pendidikan dan pelatihan
petugas pengelola program, pelayanan kontrasepsi, pengadaan sarana dan
pemantauan hasil kegiatan.
2. Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan
a. Penerangan dan Motivasi
Kebijaksanaan penerangan dan motivasi KB pada awal Repelita I
ditujukan untuk membangkitkan perhatian masyarakat tentang keluarga
berencana dan masalah kependudukan. Selanjutnya pada Repelita III
ditanamkan kesadaran masyarakat tentang sikap dan praktek keluarga
berencana serta norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (NKKBS).
Selama Repelita V pelaksanaan penerangan dan motivasi lebih
ditekankan pada usaha pelembagaan NKKBS dalam rangka upaya pemindahan tanggung jawab pelaksanaan program KB kepada masyarakat.
Sementara itu sebagai wujud dari usaha pelembagaan dan pembudayaan
program KB, secara bertahap pengelolaan program telah diarahkan menuju
kemandirian. Pada tahap pertama sasaran kemandirian adalah kelompok
masyarakat yang secara sadar siap untuk ber-KB namun masih memerlukan
bantuan sarana dan pelayanan KB secara penuh dari pemerintah. Pada tahap
selanjutnya sasaran kemandirian adalah kelompok masyarakat yang secara

XIX/1
3

sadar siap ber-KB tetapi hanya memerlukan bantuan pemerintah untuk
memenuhi keperluan sarana. Dengan demikian mereka diajak mandiri dalam
pelayanan KB-nya. Sasaran pada tahap ke tiga adalah kelompok masyarakat
yang secara sadar siap ber-KB dan sudah mampu memenuhi sarana dan pelayanan KB.
Penerangan tentang ragam dan ciri kontrasepsi juga ditingkatkan
sehingga peserta KB dapat menentukan alat kontrasepsi yang paling sesuai
untuk dirinya. Selain itu juga diberikan penjelasan tentang penggunaan alat
kontrasepsi yang tepat guna, yaitu alat kontrasepsi yang dapat mencegah
kehamilan dalam waktu yang lebih lama. Dalam kegiatan penerangan dan
motivasi disampaikan pula penjelasan tentang pusat-pusat pelayanan KB,
baik penerangan KB secara umum maupun penerangan medis KB.
Upaya pemberian penerangan dan motivasi KB juga dilakukan dengan
meningkatkan peran kelompok masyarakat dalam memasyarakatkan program
KB. Penerangan kelompok utamanya ditujukan kepada kelompok yang
mempunyai peran di kalangan masyarakat seperti para pemuka agama,
kelompok kegiatan wanita seperti Pembina Kesejahteraan Keluarga (PKK),
organisasi kepemudaan seperti Karang Taruna, dan perseorangan seperti para
tokoh masyarakat. Selama periode Repelita IV telah pula dilibatkan
perusahaan swasta dan organisasi profesi untuk meningkatkan penerangan
dan motivasi dilingkungan mereka melalui kampanye Keluarga Kecil
Mandiri, dan kegiatan KB Perusahaan.
Kampanye Ibu Sehat Sejahtera (KISS) yang dicanangkan sebagai
wahana untuk menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera diluncurkan pada
tahun 1991/92. Kegiatan KISS mengutamakan pelayanan bagi ibu dan anak
dengan harapan angka kesakitan dan kematian dikalangan mereka akan
menjadi lebih kecil dari pada sebelumnya. Dengan adanya kegiatan KISS
diharapkan kesertaan untuk ber-KB menjadi meningkat karena dipadukan
dengan kegiatan peningkatan gizi keluarga, kampanye Air Susu Ibu (ASI),
pendidikan keterampilan bagi wanita dalam usaha meningkatkan pendapatan
keluarga, pendewasaan usia kawin pertama, serta pengaturan kehamilan
pertama.
Adapun kegiatan penerangan KB pada umumnya dilakukan melalui
media cetak dan elektronik. Peningkatan penerangan melalui media cetak
dilakukan melalui kerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia.

XIX/14

Sementara itu pesan-pesan KB yang disiarkan melalui media elektronik
seperti radio dan televisi disampaikan dalam acara sandiwara, sinetron,
iklan, wayang orang, dan ketoprak.
Khusus untuk penyelenggaraan kegiatan penerangan dan motivasi di
daerah terpencil dilaksanakan oleh Unit Penerangan Keliling dan Tim
Keluarga Berencana Keliling (TKBK). Dalam pelaksanaannya kegiatan
penerangan di daerah ini dipadukan dengan kegiatan pelayanan kontrasepsi
di tempat yang sama. Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kepada
masyarakat, selama lima tahun terakhir ini telah dilakukan pengadaan mobil
unit penerangan keluarga berencana keliling.
b. Pelembagaan Program
Pelembagaan program merupakan proses lanjutan setelah upaya
menanamkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan program KB
berlangsung. Upaya ini dilakukan dengan membentuk kelompok peserta KB
di berbagai lapisan masyarakat. Pesan-pesan KB di tingkat desa disampaikan
oleh kelompok yang disebut Pembina Peserta KB Desa (PPKBD) sedang
pada tingkatan di bawah desa oleh Sub-PPKBD.
Pembentukan PPKBD dan Sub-PPKBD di mulai pada awal Repe- lita
II sehingga pada akhir Repelita II jumlahnya sudah sebanyak 90,1 ribu buah
dan pada akhir Repelita III sudah menjadi 184,2 ribu buah (Tabel XIX-1).
Pada akhir Repelita IV jumlah tersebut telah menjadi 301,1 ribu buah atau
bertambah 63,5 persen dari jumlah pada akhir Repelita III. Hingga tahun
keempat Repelita V, jumlah PPKBD dan Sub-PPKBD sudah mencapai 384,0
ribu buah. Jika jumlah ini dibandingkan dengan jumlah
pada tahun
1987/88 ternyata terdapat kenaikan jumlah PPKBD dan
Sub-PPKBD
sebanyak 96,6 ribu buah.
Perkembangan jumlah PPKBD dan Sub-PPKBD menunjukkan
semakin besarnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan program KB.
Sementara itu penyebaran PPKBD dan Sub-PPKBD sampai ke tingkat
pedukuhan memberikan kemudahan pelayanan kontrasepsi kepada peserta
KB khususnya para peserta yang tinggal jauh dari klinik KB dan memakai
alat kontrasepsi pil atau kondom yang tidak memerlukan pelayanan medis
pada saat pelayanan ulang. Dengan demikian para peserta KB tidak lagi
tergantung kepada pusat-pusat pelayanan yang disediakan pemerintah.

XIX/15

TABEL XIX – 1
JUMLAH PEMBANTU PEMBINA KELUARGA BERENCANA DESA
1968 – 1992/93
(buah)

1)
2)

XIX/16

Angka Kumulatif sejak Repelita II
Angka Sementara (sampai dengan Oktober 1992

1)

Dalam usaha melestarikan kesertaan masyarakat dalam program KB
dan meningkatkan kesejahteraan keluarga peserta KB, telah
ditumbuh kembangkan usaha peningkatan pendapatan keluarga akseptor
(UPPKA). Sasaran utama kegiatan UPPKA adalah peserta KB di daerah
yang miskin, padat penduduk, dan telah membentuk organisasi kekeluargaan
atau kelompok peserta KB. Melalui kegiatan ini mereka diberi bantuan
modal untuk usaha kegiatan kelompok seperti koperasi simpan pinjam,
industri kecil, dan kerajinan rumah tangga. Di samping itu juga
dilaksanakan pelatihan keterampilan bagi wanita dan pemuda yang
dilaksanakan melalui jalur organisasi kekeluargaan atau kelompok peserta
KB di bawah naungan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD)
maupun Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Menyadari pentingnya balita yang pada saatnya akan berperan
sebagai sumber daya manusia yang berkualitas, maka sejak Repelita IV telah
dilaksanakan kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB). Sasaran kegiatan adalah
para ibu yang mempunyai balita dan melalui kegiatan ini mereka diharapkan
dapat membina dan mendidik anak balitanya dengan baik. Selama lima tahun
terakhir jumlah kelompok BKB yang dibentuk telah meningkat menjadi
hampir empat puluh lima kali lipat, yaitu dari 1.224 kelompok pada tahun
1987/88 menjadi 53,5 ribu kelompok pada tahun 1992/93. Peningkatan
jumlah BKB ini akan mempunyai dampak langsung pada peningkatan
kualitas sumber daya manusia generasi muda.
Kegiatan integrasi KB lainnya adalah KB-Kesehatan yang
dilaksanakan melalui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan merupakan
keterpaduan antara kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan keluarga
berencana. Kegiatan ini meliputi pelayanan KB, peningkatan kesehatan ibu
dan anak, perbaikan gizi, penanggulangan diare dan pemberian imunisasi
yang diselenggarakan secara sukarela oleh masyarakat. Hingga kini telah
terbentuk lebih dari 231,9 ribu kelompok. Di samping itu, pelayanan
terpadu KB juga dilaksanakan di daerah pemukiman transmigrasi
(KB-Transmigrasi) dan telah dimulai sejak awal Repelita IV di lima propinsi
serta mencakup 595 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Sampai pada saat
ini kegiatan telah mencakup 13 propinsi penerima transmigran yang meliputi
640 UPT. Kegiatan sejenis telah pula dilakukan di wilayah kumuh, di
daerah perkotaan, daerah pantai, daerah kepulauan serta kawasan industri.
Sementara itu telah pula dilakukan keterpaduan kegiatan KB dengan upaya
pembangunan lain, seperti industri, koperasi, pertanian, kehutanan dan
sebagainya.

XIX/17

c. Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Generasi muda berperan penting dalam penanggulangan masalah
kependudukan dan KB karena pada saatnya mereka akan memasuki gerbang
perkawinan dan mempunyai anak. Untuk itu dikalangan mereka perlu
ditanamkan pengertian dan ide KB melalui pendekatan pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan kependudukan melalui jalur pendidikan
formal telah dikoordinasikan dengan sektor pendidikan dengan
mengintegrasikan materi kependudukan dan KB ke dalam 5 bidang studi
yaitu pendidikan agama,. ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial,
bahasa Indonesia dan pendidikan moral Pancasila. Untuk maksud tersebut
telah dilakukan penataran terhadap 35,9 ribu guru tingkat dasar, menengah,
atas dan dosen perguruan tinggi. Peserta diberi bekal pengetahuan tentang
masalah kependudukan serta Cara-cara mengintegrasikan materi
kependudukan dan KB ke dalam bidang studi masing-masing. Dalam
Repelita III materi pendidikan kependudukan telah mengalami
penyempurnaan lebih lanjut dan telah dilaksanakan penataran terhadap 88,4
ribu peserta. Jumlah peserta penataran dalam Repelita IV telah mengalami
peningkatan menjadi 224,6 ribu peserta atau meningkat dengan 154,1% jika
dibandingkan dengan Repelita III. Di samping itu telah pula diadakan buku
panduan guru dan bacaan siswa. Selanjutnya sejak Repelita V pendidikan
kependudukan dan KB menjadi semakin penting dan telah diintegrasikan ke
dalam kegiatan pendidikan umum.
Adapun pendidikan kependudukan dan KB di luar sekolah dilakukan
melalui berbagai kegiatan pemuda dan generasi muda. Materi pendidikan
yang diberikan mencakup pengetahuan kehidupan berkeluarga dan
reproduksi. Untuk memasyarakatkannya, pada tahun kedua Repelita V telah
diadakan jambore kependudukan yang dihadiri oleh 108 peserta dari
berbagai organisasi pemuda. Di samping itu telah diadakan pula lomba
pidato yang berkaitan dengan kependudukan dengan menyertakan unsur
Karang Taruna dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Salah satu
dampak dari pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana tercermin
antara lain melalui peningkatan rata-rata umur perkawinan pertama, yaitu
dari 20,0 tahun pada tahun 1980 menjadi 21,9 tahun pada tahun 1990.
Pada tahun 1990/91 pendidikan KB telah diintegrasikan dalam
kegiatan Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian (BP4) Departemen

XIX/18

Agama. Di samping itu telah dilakukan orientasi pendidikan KB bagi
petugas Konseling Pra Nikah di lingkungan Katolik dan Kristen. Sasaran
kegiatan ini adalah pasangan-pasangan yang akan menikah, sehingga mereka
punya cukup bekal pengetahuan dalam mempersiapkan kehidupan
berkeluarga.
d. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Program
Keterampilan teknis operasional tenaga program merupakan unsur
penting dalam mencapai tujuan program KB. Untuk itu keterampilan mereka
ditingkatkan terus guna melipatgandakan kualitas pengelolaan dan
pelaksanaan program. Dibandingkan dengan keadaan Repelita I hingga IV,
jumlah tenaga yang mengikuti pelatihan dalam Repelita V telah mengalami
peningkatan pesat. Selama Repelita I telah dilatih 42,4 ribu orang tenaga
program yang meliputi berbagai kategori (Tabel XIX-2) sedangkan selama
Repelita II jumlah tersebut telah meningkat menjadi 84 ribu orang.
Selanjutnya jumlah ini mencapai 4 kali lipat dalam Repelita III atau 347,8
ribu orang dan menjadi 507,2 ribu orang dalam Repelita IV. Dalam tiga tahun
pertama Repelita V telah dilatih sebanyak 1,3 juta tenaga program KB atau
50 persen dari target Repelita V, sedangkan dalam tahun 1992/93 telah dilatih
sebanyak 543,2 ribu orang tenaga program.
Kebijaksanaan yang menonjol selama lima tahun terakhir adalah
dimulainya kembali pelatihan KB untuk bidan. Pada tahun 1990/91 dan
1991/92 peserta pelatihan terdiri dari petugas lapangan KB dan kesehatan
yang mempunyai latar belakang pendidikan paramedis. Sejak tahun 1992/93
pesertanya hanyalah petugas lapangan kesehatan yang mendapatkan
pendidikan bidan. Jumlah peserta pelatihan selama lima tahun yang lalu
terus meningkat hingga mencapai 8.662 orang pada tahun 1991/92. Pada
tahun 1992/93 jumlah peserta menurun menjadi 3.001 orang karena
disesuaikan dengan jumlah tenaga paramedis yang mendapatkan pendidikan
bidan. Mereka dididik menjadi bidan dan selanjutnya ditempatkan di desa.
Peningkatan ini sangat bermanfaat bagi efektifitas berbagai pelayanan
kesehatan dan KB pada tingkat keluarga dan desa. Bidan-bidan tersebut
dapat memberikan penyuluhan KB pada saat melakukan pertolongan
persalinan. Pemberian informasi pelayanan KB dan kesehatan pada saat
persalinan akan mempunyai dampak yang lebih efektif dibandingkan dengan
cara-cara penyuluhan lainnya. Di samping memberikan penyuluhan, adanya
bidan di desa akan dapat memberikan pelayanan medis alat kontrasepsi yang

XIX/19

TABEL XIX – 2
JUMLAH TENAGA PROGRAM KB YANG MENDAPATKAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEPENDUDUKAN
1969/70 – 1992/93
(orang)

1)
2)

Angka kumulatif 5 Tahunan pada setiap kolom yang bertuliskan Akhir Repelita
yang lain adalah angka tahunan
Angka Sementara (sampai dengan Oktober 1992)

XIX/20

1)

biasanya diberikan oleh dokter Puskesmas. Dengan demikian, adanya bidan
di desa akan dapat memperluas pemerataan dan jangkauan pelayanan kontra sepsi medis.
Selain pelatihan bagi tenaga-tenaga di atas, untuk membina mutu
tenaga pengelola program telah dilaksanakan pendidikan lanjutan dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan ke perguruan tinggi di dalam maupun di
luar negeri. Para tenaga pengelola program yang diberi beasiswa berasal dari
berbagai instansi Pemerintah seperti Badan Koordinasi KB Nasional,
Departemen Kesehatan, Departemen Penerangan, Departemen Agama, Biro
Pusat Statistik, dosen dari berbagai universitas, dan lembaga swadaya
masyarakat seperti Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdatul Ulama,
Muhammadiyah, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Hingga
tahun pertama Repelita V telah diberikan beasiswa kepada 286 orang untuk
program S1, 400 orang untuk program S2, dan 24 orang untuk program S3.
Pada tahun keempat Repelita V atau tahun 1992/93, tenaga program yang
mendapatkan beasiswa adalah 106 orang untuk program S1, 80 orang untuk
program S2, dan 4 orang untuk program S3. Bidang-bidang keilmuan yang
diberi prioritas antara lain demografi, komunikasi, kesehatan masyarakat,
epidemologi, pendidikan kependudukan, administrasi negara, administrasi
dan manajemen rumah sakit, ekonomi, sosiologi, statistik, dan komunikasi.
Di samping itu sebanyak 1.500 orang petugas lapangan keluarga berencana
(PLKB) yang bertindak sebagai ujung tombak program KB di lapangan juga
diberi pendidikan lanjutan melalui program D3 bidang komunikasi masa di
Universitas Terbuka.
e. Pelayanan Kontrasepsi
Keberhasilan program pembangunan di bidang keluarga berencana
berkaitan erat dengan upaya pengembangan sumber daya manusia yang
tercermin dalam mutu dan penyediaan pelayanan KB. Pelayanan kontrasepsi
non medis seperti kondom dan pil dilaksanakan melalui Pos KB, PPKBD
dan Sub-PPKBD. Sedangkan pelayanan yang lebih bersifat medis dilakukan
melalui Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik KB, maupun Tim KB Keliling
(TKBK). Sehubungan dengan hal ini semua pelayanan medis kontrasepsi
terus ditingkatkan. Selain melayani peserta KB klinik KB juga berfungsi
sebagai tempat rujukan dan pengayoman medis bagi penanggulangan
komplikasi dan efek samping penggunaan alat kontrasepsi. Dalam Program
KB Rumah Sakit (PKBRS) dilakukan pula kegiatan Komunikasi Informasi
dan Edukasi (KIE) medis bagi calon peserta KB.
XIX/21

Jumlah klinik yang memberi pelayanan KB pada akhir Repelita I
berjumlah 2.235 buah (Tabel XIX-3). Pada akhir Repelita IV jumlah klinik
sudah bertambah 320,0 persen dari jumlah klinik pada akhir Repelita I.
Sementara itu dalam lima tahun terakhir jumlah klinik KB telah meningkat
dari 8.880 buah pada tahun 1987/88 menjadi 12.086 buah pada tahun
1992/93 atau telah meningkat dengan 36,1 %. Perkembangan jumlah klinik
swasta dalam kurun waktu tersebut juga merupakan hal yang cukup
menggembirakan, yaitu naik dengan 47,9%.
Sejalan dengan peningkatan jumlah klinik, jumlah personalia klinik
KB juga terus meningkat. Jumlah personalia klinik KB yang pada akhir
Repelita I hanya sebanyak 7,4 ribu orang telah meningkat menjadi 37,3 ribu
orang pada akhir Repelita IV. Jumlah tersebut terns bertambah hingga
mencapai 46,4 ribu orang di tahun 1992/93 (Tabel XIX-4) dengan
peningkatan sekitar 13,7 ribu orang dibandingkan dengan tahun 1987/88.
Khusus bagi para peserta KB yang bertempat tinggal jauh dari klinik
dan rumah sakit tersedia pelayanan Tim KB Keliling. Kegiatan TKBK di
seluruh Indonesia mencakup pelayanan, penerangan, dan motivasi dan dalam
pelaksanaannya mencapai daerah terpencil dan sulit. Selama lima Repelita
terlihat bahwa jangkauan ini semakin luas seperti terlihat dalam Tabel
XIX-5. Sejak tahun 1987/88 kegiatan TKBK mulai menurun. Hal ini bukan
disebabkan penurunan aktifitas, melainkan semakin sedikitnya wilayah
terpencil yang belum pernah dijangkau oleh Tim, utamanya di Jawa-Bali. Di
wilayah lain yang meliputi propinsi-propinsi Riau, Bengkulu, Jambi,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Maluku, Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur dan
baru mulai terjangkau pada Repelita III nampak mengalami perkembangan
kunjungan TKBK setiap tahunnya.
Sesuai dengan kebijaksanaan menuju kemandirian program, maka
pada tahun pertama Repelita V, mulai dicanangkan kegiatan KB Mandiri.
Bagi masyarakat yang mampu keikutsertaan mereka dalam program KB
dipenuhi melalui pelayanan dokter swasta. Mereka diharapkan membayar
biaya pelayanan dan membeli alat kontrasepsinya. Sementara itu bagi
masyarakat yang kurang mampu, alat kontrasepsinya masih diberikan secara
cuma-cuma melalui program KB sedang mereka membayar pelayanannya.
Jumlah peserta KB yang telah mandiri diperkirakan telah mencapai sekitar
20 persen dari seluruh peserta KB pada tahun keempat Repelita V.

XIX/22

TABEL XIX – 3
JUMLAH KLINIK KELUARGA BERENCANA MENURUT STATUS
1969/70 – 1992/93
(buah)

1)
2)

1)

Angka kumulatif sejak Repelita I
Angka sementara s/d November 1992

XIX/23

TABEL XIX – 4
JUMLAH PERSONALIA KLINIK KELUARGA BERENCANA 1)
1969/70 – 1992/93
(buah)

1)
2)

XIX/24

Angka kumulatif sejak Repelita I
Angka sementara (sampai dengan Oktober 1992)

TABEL XIX – 5
JUMLAH KEGIATAN TIM KELUARGA BERENCANA KELILING
1968 – 1992/93
(buah)

1)
2)

1)

Angka tahunan
Angka sementara (sampai dengan Oktober 1992

XIX/25

f. Pencapaian Peserta KB Baru
Sasaran utama program KB adalah pasangan usia subur (PUS).
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 tercatat sekitar 31,0 juta wanita
berstatus kawin di Indonesia pada tahun ke dua Repelita V. Jumlah tersebut
10,7 juta pasangan lebih besar dari pada PUS menurut hasil Sensus
Penduduk tahun 1971.
Sejak Repelita I persentase pencapaian peserta KB baru (Tabel
XIX-6) terus meningkat yaitu dari 92,4 persen pada akhir Repelita I menjadi
100,7 persen pada akhir Repelita II dan menjadi 185,6 persen pada akhir
Repelita III. Pada akhir Repelita IV persentase pencapaian menurun
(menjadi 95,7 persen) dibandingkan pada akhir Repelita III. Hal ini
disebabkan perluasan jangkauan program KB yang mulai mencakup seluruh
Indonesia. Namun dalam tahun 1990/91 persentase pencapaian peserta KB
baru dapat mencapai 101,6 persen sedang untuk tahun 1991/92 adalah 102,8
persen. Sampai pada bulan November 1992 telah dicapai 65,3 persen dari.
sasaran tahun ke empat Repelita V.
Sasaran program dalam Repelita V adalah peningkatan jangkauan
pelayanan yang dilakukan melalui perluasan motivasi terus menerus serta
perluasan wilayah program dengan meningkatkan pelayanan ke daerah sulit
sementara mutu pelayanan tetap diusahakan perbaikannya. Selain itu macam
kontrasepsi yang dipakai masyarakat di suatu wilayah juga diusahakan
beragam macamnya. Dengan demikian ketidakcocokan terhadap salah satu
metode bisa ditanggulangi dengan mengganti metode lain.
Kualitas dan perkembangan hasil program KB tercermin pula dari
ragam kontrasepsi yang digunakan peserta KB. Jumlah peserta KB baru
menurut metode kontrasepsi terus meningkat untuk hampir semua metode
kecuali Pil dan IUD (Tabel XIX-7). Namun penurunan peserta KB baru yang
memakai Pil, IUD, dan Kondom lebih disebabkan oleh pergeseran akseptor
ke metode lain utamanya dengan telah tersedianya metode baru yaitu
Implant yang merupakan alat kontrasepsi dengan perlindungan terhadap
kehamilan yang relatif lebih lama, yaitu lima tahun. Persentase peserta KB
yang memakai Implant pada tahun 1987/88 baru sebesar 2,7% sementara
pada tahun 1992/93 telah menjadi 6,9%.

XIX/26

TABEL XIX – 6
PENCAPAIAN HASIL SASARAN PESERTA KB BARU
1969/70 – 1992/93
(ribu orang)

1)
2)

1)

Angka tahunan
Angka sementara (sampai dengan November 1992)

XIX/27

TABEL XIX –7
JUMLAH PESERTA KELUARGA BERENCANA BARU
MENURUT METODA KONTRASEPSI
1969/70 – 1992/93
(ribu orang)

1)
2)
3)

XIX/28

Angka tahunan
Angka sementara (sampai dengan November 1992)
Digabungkan dengan “lain-lain”

1)

g. Pencapaian Peserta KB Aktif
Pencapaian peserta KB aktif merupakan salah satu indikator
kuantitatif keberhasilan pelaksanaan program KB. Sejak dilaksanakan pada
tahun 1969/70 hingga pertengahan tahun 1992/93, jumlah pasangan usia
subur yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif mengalami peningkatan
setiap tahunnya (Tabel XIX-8). Peningkatan KB aktif yang terbesar terjadi
pada kurun Repelita III hingga Repelita IV karena berkaitan dengan
perluasan jangkauan program KB ke seluruh Indonesia.
Pada akhir Repelita III setelah program KB meliputi seluruh wilayah
nasional, jumlah peserta KB Aktif adalah 14,4 juta orang. Selama Repelita IV jumlah ini meningkat menjadi 18,8 juta orang dan pada tahun
1992/93 sudah mencapai 21,1 juta orang. Pelaksanaan program selama 5
tahun terakhir telah dapat membina kesertaan KB sebanyak 2,8 juta
pasangan usia subur baru.
Jumlah peserta KB aktif terbanyak ada di Jawa-Bali dan masih sedikit
di daerah Luar Jawa-Bali II. Selama kurun Repelita V jumlah peserta KB
Aktif di Jawa-Bali berkisar antara 12-14 juta orang, sedangkan di Luar
Jawa-Bali II baru mencapai 1,5-2,0 juta orang. Hal ini dapat dimengerti
karena program KB di daerah Jawa-Bali sudah dimulai sejak tahun 1970,
sedangkan di Luar Jawa-Bali II baru dimulai pada akhir Repelita III.
Menurut ragam pemakaian metode kontrasepsi, peserta KB Aktif
cenderung menggunakan Pil KB (Tabel XIX-9). Hal ini tercermin dari
tingginya persentase pemakai Pil dari akhir Repelita I hingga Repelita V.
Namun, sejak tahun 1987/88 telah terjadi pergeseran pemakaian metode
kontrasepsi dari Pil atau IUD ke Suntikan. Selama lima tahun terakhir
persentase peserta KB aktif yang memakai pil telah turun dari 50,0%
menjadi 34,3%. Persentase peserta KB Aktif yang memakai kontrasepsi
Suntikan pada tahun 1987/88 sebanyak 18,8 persen dan meningkat menjadi
26,5% pada bulan November tahun 1992/93. Selain itu, pemakaian Implant
nampak meningkat pula, yaitu dari 1,2 persen pada tahun 1987/88 menjadi
6,4 persen pada bulan November 1992. Peningkatan peserta KB Suntikan
dan Implant menunjukkan makin mantapnya kesertaan dalam program KB
karena Suntikan dan Implant memiliki daya perlindungan terhadap
kehamilan yang lebih lama dan efektif dibandingkan dengan pil. Dengan
d e m i k i a n m a k i n b a n ya k p e s e r t a K B A k t i f ya n g m e m a k a i a l a t

XIX/29

TABEL XIX – 8
PENCAPAIAN HASIL SASARAN PESERTA KB AKTIF
1968 – 1992/93
(ribu orang)

1)
2)
3)

XIX/30

Angka kumulatif sejak Repelita I
Angka sementara (sampai dengan November 1992)
Sasaran belum dalam bentuk Peserta KB Aktif

1)

TABEL XIX – 9
JUMLAH PESERTA KELUARGA BERENCANA AKTIF
MENURUT METODA KONTRASEPSI
1968 – 1992/93
(ribu orang)

1)
2)

1)

Angka kumulatif sejak Repelita I
Angka sementara (sampai dengan November 1992)

XIX/31

GRAFIK XIX – 1
JUMLAH PESERTA KELUARGA BERENCANA AKTIF
MENURUT METODA KONTRASEPSI
1968 – 1992/93

XIX/32

1)

kontrasepsi dengan perlindungan terhadap kehamilan yang lebih lama dan
efektif.
h.

Prasarana dan Sarana KB

Penyediaan alat kontrasepsi merupakan faktor penting dalam
program KB di samping jumlah dan keterampilan petugas. Oleh karena itu
sejak awal program terus ditingkatkan kualitas, kuantitas dan macam alat
kontrasepsi sejalan dengan perkembangan program dan peningkatan jumlah
akseptor. Di samping itu pengadaan alat kontrasepsi juga hams tepat waktu
sehingga perkembangan program tidak akan terhambat.
Pada Tabel XIX-10 disajikan perkembangan penyediaan alat
kontrasepsi sejak awal Repelita I. Penyediaan alat kontrasepsi sepanjang
tahun menurut jumlah menunjukkan bahwa pil selalu yang terbanyak.
Sampai pada akhir Repelita III, IUD menempati urutan setelah pil, namun
selanjutnya posisi ini digantikan suntikan.
Pada awal program pemasok alat kontrasepsi hanyalah dari luar
negeri tetapi sejak Repelita II pil KB dan kemudian IUD telah mampu
diproduksi di dalam negeri. Penyediaan alat kontrasepsi lain seperti kondom
juga telah dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri dengan telah
berdirinya beberapa pabrik kondom sejak tahun ketiga Repelita IV.
i.

Pelaporan dan Penelitian

Guna menunjang upaya mencapai tujuan program KB pemantauan
pelaksanaan dan hasil program perlu selalu dilakukan untuk mengevaluasi
hasil pelaksanaan program dari waktu ke waktu. Untuk itu sistem pelaporan
atas pelaksanaan program dilaksanakan dengan cara administrasi pencatatan
maupun dengan cara modern yang berupa komputerisasi data. Untuk
meningkatkan pemantauan perkembangan program antar daerah sejak awal
Repelita V telah dikembangkan sistem penilaian dengan menggunakan
indikator majemuk yang meliputi masukan, proses, keluaran, serta dampak
program.
Adapun upaya penyediaan informasi yang cepat dan akurat telah
dilakukan dengan cara pemasangan jaringan komputer jarak jauh di seluruh
kantor BKKBN propinsi. Di samping itu untuk memperkuat jalur informasi

XIX/33

TABEL XIX – 10
PENYEDIAAN ALAT KONTRASEPSI PADA KLINIK KB 1)
1969/70 – 1992/93
(ribu)

1)
2)

XIX/34

Angka tahunan
Angka sementara ( sampai dengan Oktober 1992

pada tingkat Kabupaten-Propinsi, sejak tahun ketiga Repelita V telah pula
dilakukan pemasangan komputer di Kabupaten/Kotamadya. Perkembangan
jaringan komunikasi dan pengolahan data dengan komputer ini diharapkan
akan mendorong terbentuknya bank data dan data dasar manajemen yang
sangat bermanfaat bagi pengelolaan program KB secara menyeluruh.
Kemajuan pesat yang selama ini terus diupayakan dalam pelaksanaan
program KB juga ditunjang oleh penelitian ilmiah. Hasil penelitian dengan
cakupan nasional dapat dijadikan dasar penyusunan program KB pada setiap
awal periode Repelita berikutnya. Penelitian semacam ini telah mulai
dilaksanakan dalam skala besar pada pertengahan Repelita IV atau pada
tahun 1987 dengan nama Survai Prevalensi Indonesia. Pengembangan
cakupan dan materi survai diselenggarakan pada tahun 1991 dengan nama
Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia. Data penelitian tersebut diolah
dalam waktu singkat, yaitu 3 bulan setelah pengumpulan data dan hasil
analisisnya akan diterbitkan pada akhir tahun 1992/93. Di samping upaya
penelitian tersebut, hingga tahun ini telah pula dilakukan berbagai penelitian
dalam skala kecil dan pada tingkat regional.

XIX/35