PENGARUH RASISME TERHADAP INTERAKSI SOSI

PENGARUH RASISME TERHADAP INTERAKSI SOSIAL
DAN BUDAYA DI INDONESIA
TUGAS ARTIKEL

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu tugas Mata Kuliah Pendidikan Sosial dan Budaya

Disusun oleh:

Puspita Febriani

1510631050092

Silvia Augina

1510631050108

Kelas 5D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2017

PENGARUH RASISME TERHADAP INTERAKSI SOSIAL DAN BUDAYA DI
INDONESIA
Silvia Augina1), Puspita Febriani1), M Januar Ibnu Adham2)
1)
2)

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNSIKA

Dosen Pendidikan Sosial Budaya Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNSIKA

Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Singaperbangsa Karawang
E-mail: silviaaugina@gmail.com¹, puspitafebriani26@gmail.com²
ABSTRAK
Rasisme adalah suatu pandangan bahwa umat manusia dibagi dalam ras-ras dan bahwa
anggota suatu ras lebih rendah (inferior) dari ras lain. Biasanya, sikap itu juga termasuk
pandangan bahwa rasnya lebih tinggi (superior) dari yang lain. Orang yang berpandangan

dan mempraktekkan rasisme disebut rasis. Rasisme adalah salah satu bentuk prasangka.
Banyak orang cenderung memahami pengalaman dan perilaku mereka sendiri sebagai suatu
yang normal. Mereka mungkin berprasangka atau takut terhadap orang-orang yang
berperilaku berbeda dari mereka. Ketika perbedaan-perbedaan fisik dan non-fisik tersebut
kasat-mata - seperti warna kulit atau kepercayaan agama - kepercayaan itulah menjadi lebih
kuat. Sikap tersebut dapat membawa pada pandangan bahwa orang yang terlihat berbeda
tersebut adalah inferior. Banyak orang justru tidak mencari aspek kesamaan dalam kelompok
lain. Juga, mereka tidak mengakui adanya perbedaan tersebut kecuali kesamaan kualitas yang
dianggap baik seperti kelompok-nya sendiri. Rasisme dapat merusak interaksi social dan
budaya antar masyarakat. Secara umum Interaksi Sosial adalah proses dimana seseorang
menjalin kontak dan berkomunikasi dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu sama
lain dalam pikiran dan tindakan. Bumbu utama interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik.
Budaya atau kebudayaan adalah suatu komponen yang sangat penting yang meliputi cara
hidup masyarakat seperti cara berpikir, berencana, bertindak disamping segala hasil karya
nyata yang dianggap berguna interaksi social budaya adalah suatu kontak atau hubungan
timbal balik antar individu dan masyarakat yang saling mempengaruhi sehingga menjadi
budaya tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh rasisme di Indonesia adalah
rasisme terhadap kaum tionghoa. Cara mengatasi rasisme yaitu, saling menghargai. Dengan
menghargai berbagai perbedaan, maka rasisme dapat di atasi. Dengan menghargai perbedaan,
berarti kita telah mencegah terjadinya rasisme.

Kata kunci : Rasisme, Interaksi social dan budaya.
ABSTRACT

Racism is a view that mankind is divided into races and that members of a race are inferior
to other races. Usually, the attitude also includes the view that the race is superior (superior)
than the other. People who view and practice racism are called racists. Racism is a form of
prejudice. Many people tend to understand their own experiences and behaviors as being

normal. They may be prejudiced or fearful of people who behave differently from them. When
the physical and non-physical differences are visible - such as color or religious belief - that
belief becomes stronger. This attitude can lead to the view that the person who looks different
is inferior. Many people just do not look for similarity aspects in other groups. Also, they do
not acknowledge the difference except for a quality similarity that is considered good as the
group itself. Racism can damage social and cultural interactions between communities. In
general Social Interaction is the process by which a person interacts and communicates with
others and influences each other in thought and action. The main ingredient of social
interaction is mutual influence. Culture or culture is a very important component that
includes the way of life of the community such as way of thinking, planning, acting in
addition to all the real work that is considered useful social cultural interaction is a contact
or interrelationships between individuals and communities that affect each other, in social

life. An example of racism in Indonesia is racism against the Chinese. How to overcome
racism is, mutual respect. By appreciating the differences, racism can be overcome. By
respecting differences, we have prevented racism.
Keywords: Racism, Social and cultural interaction.

1. PENDAHULUAN
Latar belakang
Manusia sebagai makhluk sosial, terkadang dalam memandang hubungannya dengan
manusia lain serasa dibatasi oleh sekat-sekat perbedaan secara fisik. Masyarakat berperilaku
berdasarkan dengan pola pikir yang telah dikondisikan secara social kultural bahwa
memiliki kelebihan dari orang lain adalah wajar. Hal tersebut karena manusia dilahirkan
dengan membawa gen bawaannya masing-masing. Apabila dari perbedaan ini sampai
memunculkan prasangka, maka dapat mengakibatkan fungsi bermasyarakat kita menjadi
terganggu. Perasaan dan prasangka akan kelebihan serta perbedaan tersebut kemudian
mengendap dan berpotensi melahirkan rasisme.
Rasisme adalah suatu pandangan bahwa umat manusia dibagi dalam ras-ras dan bahwa
anggota suatu ras lebih rendah (inferior) dariras lain. Biasanya, sikap itu juga termasuk
pandangan bahwa rasnya lebih tinggi (superior) dari yang lain. Orang yang berpandangan
dan mempraktekkan rasisme disebut rasis.
Mereka menganggap bahwa anggota dari rasnya secara mental, fisik, moral, atau budayanya lebih tinggi dari ras lain. Karena seorang rasis mengganggap dirinya superior, dan

mereka percaya mereka memiliki hak-hak khusus dan previlege.
Padahal setiap kelompok, atau juga individu, tentu berbeda. Sebab tidak ada satu pun
bukti ilmiah yang mendukung pandangan adanya superioritas dan inferioritas terebut. Para
ilmuwan sosial menekankan bahwa tidak ada dua kelompok yang memiliki lingkungan yang
sama. Hasilnya, beberapa kelompok yang berbeda adalah hasil dari lingkungan yang berbeda.
Para ilmuwan tersebut telah lama memperdebatkan makna penting dari keturunan dan
lingkungan dalam menentukan perbedaan-perbedaan tersebut. Tetapi kebanyakan ilmuwan
percaya bahwa faktor keturunan dan lingkungan berinteraksi secara kompleks.
Rasisme dapat merusak interaksi social dan budaya antar masyarakat. Secara umum
Interaksi Sosial adalah proses dimana seseorang menjalin kontak dan berkomunikasi dengan
orang lain dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam pikiran dan tindakan. Bumbu
utama interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik. Budaya atau kebudayaan adalah suatu
komponen yang sangat penting yang meliputi cara hidup masyarakat seperti cara berpikir,
berencana, bertindak disamping segala hasil karya nyata yang dianggap berguna.
INTERAKSI SOSIAL BUDAYA adalah suatu kontak atau hubungan timbal balik antar
individu dan masyarakat yang saling mempengaruhi sehingga menjadi budaya tersendiri
dalam kehidupan bermasyarakat. Contohnya rasisme telah merusak hubungan interaksi social
dan budaya antar umat beragama.
Bentuk-bentuk rasisme telah ada sejak awal sejarah manusia. Lebih dari 2.000 tahun yang
lalu, contoh, Yunani dan Romawi kuno memperbudak rakyat yang mereka anggap inferior.

Yahudi telah lama menjadi korban aniaya dalam hal agama dan budaya. Ratusan tahun
setelah Marco Polo melakukan perjalanan ke Cina di tahun 1.200-an, orang Cina
menganggap orang-orang Barat sebagai "kelompok orang kulit putih yang barbar".

Selanjutnya tentu saja peristiwa kerusuhan 1998. Saat itu etnis Tionghoa menjadi korban
kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat. Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari
kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat
peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya
dibakar dan usaha milik mereka dirusak. Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan
pelakunya tak pernah diusut.
Negara juga berperan menjadi aktor dalam penyulut kebencian terhadap etnis Tionghoa.
Melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, negara berperan
melakukan identifikasi rasial dan segregasi identitas. Surat itu adalah upaya penyeragaman
penyebutkan kelompok etnis “Tionghoa” yang dianggap mengandung nilai-nilai yang
memberi asosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, menjadi “Cina” yang
dianggap lebih “dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.”

2. KAJIAN TEORI
2.1. Rasisme
Kata rasisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris yaitu racism.

Rasicsm terambil ataupun berasal dari kata race yang mempunyai beberapa arti, yaitu:
Pertama, suatu kelas populasi yang didasarkan dari kriteria genetik. Kedua, kelas dari
genotip-genotip. Ketiga, setiap populasi yang secara genetis berbeda dengan populasi
lainnya (ras). Rasisme adalah suatu pandangan bahwa umat manusia dibagi dalam rasras dan bahwa anggota suatu ras lebih rendah (inferior) dariras lain. Biasanya, sikap itu
juga termasuk pandangan bahwa rasnya lebih tinggi (superior) dari yang lain. Orang
yang berpandangan dan mempraktekkan rasisme disebut rasis.
Mereka menganggap bahwa anggota dari rasnya secara mental, fisik, moral, atau
budaya-nya lebih tinggi dari ras lain. Karena seorang rasis mengganggap dirinya
superior, dan mereka percaya mereka memiliki hak-hak khusus dan previlege.
Perbedaan berdasarkan warna kulit seringkali memicu timbulnyagerakan-gerakan
yang mengunggulkan rasnya sendiri-sendiri. Gerakangerakanini bahkan kemudian
memicu konflik antar ras menjadi semakinbesar. Dalam bukunya yang berjudul
Prasangka dan Konflik, Prof. Dr. AloLiliweri, M.S. (2005:29-30) mendefinisikan
rasisme sebagai berikut :
1. Suatu ideologi yang mendasarkan diri pada gagasan bahwamanusia dapat
dipisahkan atas kelompok ras ; bahwakelompok itu dapat disusun berdasarkan
derajat atauhierarki berdasarkan kepandaian atau kecakapan,kemampuan, dan
bahkan moralitas.
2. Suatu keyakinan yang terorganisasi mengenai sifatinferioritas (perasaan rendah
diri) dari suatu kelompoksosial, dan kemudian karena dikombinasikan

dengankekuasaan, keyakinan ini diterjemahkan dalam praktikhidup untuk
menunjukkan kualitas atau perlakuan yangberbeda.
3. Diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orangkarena ras mereka.
Kadang-kadang konsep ini menjadidoktrin politis untuk mengklaim suatu ras lebih
hebat daripada ras lain.
4. Suatu kompleks keyakinan bahwa beberapa subspesies darimanusia ( stocks)
inferior (lebih rendah) dari pada subspecies manusia lain.
5. Kadang-kadang juga rasisme menjadi ideologi yang bersifatetnosentris pada
sekelompok ras tertentu. Apalagi ideology ini didukung oleh manipulasi teori
sampai mitos, stereotip,dan jarak sosial, serta diskriminasi yang sengaja
diciptakan.
6. Kadang-kadang paham ini juga menyumbang padakarakteristik superioritas dan
inferioritas dari sekelompokpenduduk berdasarkan alasan fisik maupun faktor
bawaanlain dari kelahiran mereka. Rasisme merupakan salah satubentuk khusus
dari prasangka yang memfokuskan diri padavariasi fisik diantara manusia.

Dari definisi di atas dapat diartikan bahwa hal-hal yang termasukdalam rasisme adalah
sikap yang mendasarkan diri pada karakteristiksuperioritas dan inferioritas, ideologi yang
didasarkan pada derajatmanusia, sikap diskriminasi, dan sikap yang mengklaim suatu ras
lebihunggul dari pada ras lain. Hal ini seringkali terjadi dalam masyarakatmultikultur.

Definisi lain tentang rasisme atau yang sering juga di sama artikandengan rasislisme
(hal ini di karenakan terjemahan dari bahasa Inggrisracism dan racialism memiliki
makna yang sama) seperti yang ada dalambuku Hoakiau di Indonesia , Pramoedya Ananta
Toer (1998:50) :Rasialisme adalah paham yang menolak sesuatu golonganmasyarakat
yang berdasar ras lain. Rasialisme timbul atau dapattimbul apabila masyarakat atas
minoritas yang mempunyaikelainan-kelainan dari pada keumuman biologis yang ada
padawarga-warga masyarakat itu, dan dia timbul atau bisa timbulkarena segolongan kecil
atau minoritas itu tidak dapatmempertahankan diri. Sebagai akibatnya muncullah
supremasikulit putih yang merugikan warga kulit berwarna lainnya.
Dapat disimpulkan bahwa rasialisme dapat timbul dalammasyarakat yang masih
menganut superioritas dan minoritas, dimanadalam masyarakat minoritas tersebut
terdapat kelainan-kelainan secarabiologis dari pada umumnya. Sehingga dari situ timbul
sebuah pahamyang menolak suatu golongan masyarakat berdasarkan rasnya, dan
sebagaiakibatnya timbul supremasi kulit putih sebagai superior yang merugikanras
berwarna atau inferior.
Paham rasialisme berdasarkan superioritas antar ras seperti terteradi atas dapat terjadi
secara individual, institusional maupun budaya.Seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 1.1
Model Analisis Rasisme
Rasisme Individu

Perilaku
Sikap
Sosialisasi
Minat pribadi

Rasisme Institusional
Buruh
Hukum
Kesehatan
Ekonomi
Politik
Perumahan

Rasisme Budaya
Estetika
Agama
Musik
Filsafat
Nilai-Nilai
Kebutuhan

Kepercayaan
Sumber :www.bcpl.lib.md.us/~sglover/def.html (05 Desember 2006)

Rasisme juga tidak terlepas dari dua aspek yaitu diskriminasi rasdan prasangka ras
(prejudice ). Istilah diskriminasi ras mencakup segalabentuk perilaku pembedaan
berdasakan ras. Bentuk diskriminasi ras tampak jelas dalam pemisahan (segregasi)
tempat tinggal warga ras tertentu di kota-kota besar di dunia Barat maupun Timur. Juga
tata pergaulan antar ras yang memperlakukan etiket (tata sopan santun) berdasarkan

superioritas/inferioritas golongan. Termasuk didalamnya pemilihan teman maupun
perjodohan (Adi, 1999:97).
Aspek kedua dari rasisme adalah prasangka ras. Prasangka atau prejudice merupakan
akar umbi segala bentuk rasisme. Prasangka adalah pandangan yang buruk terhadap
individu atau kelompok manusia lain dengan hanya merujuk kepada ciri-ciri tertentu
seperti ras, agama, pekerjaan, jantina atau kelas.
Diskriminasi dan prasangka saling menguatkan. Prasangkamewujudkan suatu
rasionalisasi bagi diskriminasi, sedangkan diskriminasiacapkali membawa ancaman.
Dalam suasana prasangka dan diskriminasitidak ada tempat bagi toleransi dan
keterbukaan.
Prasangka antarras dan antaretnik, meski di dasarkan padageneralisasi keliru pada
perasaan, berasal dari sebab-sebab tertentu.Jhonson mengemukakan :Prasangka itu di
sebabkan oleh (1) gambaran perbedaan antarkelompok; (2) nilai-nilai budaya yang
dimiliki kelompok mayoritassangat menguasai kelompok minoritas ; (3) stereotip
antaretnik ;dan (4) kelompok etnik atau ras yang merasa superior sehinggamenjadikan
etnik atau ras lain inferior (Johson dalam Liliweri,2005:203).
Biasanya prasangka terdapat di kalangan Negara-negara yangmayoritas
masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras/etnik. Sepertiyang ada di negara Barat
yang sebagian besar masyarakatnya berkulitputih. Kelompok mayoritas ini lalu
meremehkan orang kulit hitam atauberwarna gelap ataupun kulit berwarna lainnya
(imigran). Namun, jugamemungkinkan prasangka bisa terdapat di kalangan negaranegara besarlainnya yang mayoritas penduduknya terdiri dari berbagai macametnik/ras.
Seringkali, prasangka timbul akibat penilaian awal ( prejudgement)yang dibentuk tidak
dirujuk dengan tinjauan terhadap fakta-fakta yangsebenarnya terjadi. Perasaan prasangka
seringkali dijadikan alat olehgolongan mayoritas untuk menindas golongan minoritas.
Walau demikian,ini tidak berarti bahwa golongan minoritas yang berteman
tidakmempunyai prasangka terhadap anggota mayoritas atau kelompok lain.
2.2. Interaksi Sosial dan Budaya
Manusia tidak pernah terlepas dari aktivitas sosial maupun aktivitas kebudayaan karna
manusia tidak dapat hidup secara individu. Apa itu Interaksi sosial? dan apa itu Apa itu
budaya ?
Pengertian Interaksi Sosial Menurut Para Ahli :
Macionis: Interaksi Sosial adalah proses aksi (tindakan) dan reaksi (membalas
tindakan) yang dilakukan oleh seseorang dalam berhubungan dengan orang lain.
Broom dan Selznic : Interaksi Sosial adalah proses aksi (tindakan) yang dilandasi oleh
kesadaran adanya orang lain dan proses menyesuaikan tindakan balasan (respon) sesuai
dengan tindakan orang lain.
Kimball Young dan Raymond W. Mack: Interaksi Sosial adalah hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, individu dengan kelompok, atau pun
kelompok dengan kelompok lainnya.

Soerjono Soekanto : Interaksi Sosial adalah proses sosial tentang cara berhubung yang
bisa dilihat jika individu dengan kelompok sosial saling bertemu lalu menentukan sistem
dan hubungan sosial.
Secara umum Interaksi Sosial adalah proses dimana seseorang menjalin kontak dan
berkomunikasi dengan orang lain dan saling mempengaruhi satu sama lain dalam pikiran
dan tindakan. Bumbu utama interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik.
Ciri-Ciri Interaksi Sosial
1. Jumlah pelakunya lebih dari satu orang
2. Terjadinya komunikasi diantara pelaku melalui kontak social
3. Mempunyai maksud atau tujuan yang jelas
4. Dilaksanakan melalui suatu pola sistem sosial tertentu
Syarat-Syarat Interaksi Sosial
Kontak social:Suatu hubungan diantara satu pihak dengan pihak lain, juga merupakan
awal terjadinya hubungan sosial dan masing-masing pihak saling bereaksi antara satu
dengan yang lainnya walaupun tidak harus bersentuhan dalam benruk fisik.
Komunikasi: Bergaul atau berhubungan dengan orang lain secara lisan ataupun tulisan
secara bergantian.
Pengetian Budaya
Kata budaya sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “budhayyah” yang berarti akal
atau budi, atau segala hal yang memiliki hubungan dengan budi atau akal. Menurut EB
Taylor kebudayaan adalah sekumpulan yang mencangkup kesenian, pengetahuan,
budaya, adat, moral, keniasaan serta kemampuan yang diperoleh oleh manusia sebagai
kelompok masyarakat.
Ilmu Antropologi kebudayaan adalah dari semua sistem gagsan, tindakan, maupun
hasil karya manusia dalam hidup bermasyarakat. Menurut Selo Sumarjan dan Soelaiman
Sumarjan kebudayaan adalah semua karya, rasa, cipta dari hasil manusia.
Jadi interaksi social budaya adalah suatu kontak atau hubungan timbal balik antar
individu dan masyarakat yang saling mempengaruhi sehingga menjadi budaya tersendiri
dalam kehidupan bermasyarakat.

3. PEMBAHASAN
Penyebab terjadinya rasisme, bisa dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah
keyakinan atau kepercayaan yang ada dalam diri dan lingkungan sekitar kita.
Budaya dan adat istiadat setiap bangsa ataupun negara berbeda beda sehingga
mempengaruhi pola pikir dan pemahaman apa dan maksud sentimen ras / suku / etnis, yang
pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kultur dan paradigma yang berakhir pada rasisme.
Sikap dan keyakinan dari pada rasis adalah mengenai kesalahpahaman yang dirasakan
berdasarkan garis rasial dan sering didasarkan pada ketakutan akan perbedaan, termasuk
perbedaan adat istiadat, nilai-nilai, agama, penampilan fisik dan cara hidup dan cara melihat
dunia seperti sikap negatif terhadap penggunaan bahasa yang berbeda, aksen asing atau
penggunaan variasi bahasa yang tidak standar pada komunitas yang dominan.
Sikap rasis terlihat dalam berbagai bentuk termasuk pernyataan umum tentang prasangka
rasial terhadap asumsi dan stereotip tentang budaya lain serta bentuk-bentuk yang lebih
ekstrim dari prasangka seperti xenophobia (perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang
asing atau sesuatu yg belum dikenal; kebencian pada yang serba asing). Keyakinan ini
diperkuat oleh sikap sosial yang berlaku terhadap orang yang dianggap berbeda dan sering
merupakan cerminan dari nilai-nilai yang mendukung hubungan sosial dan praktek
kelembagaan.
Sikap dan keyakinan ini memperlihatkan perilaku rasis baik dalam tindakan individu dan
dalam kebijakan dan praktek yang mengakar pada lembaga. Dimana perilaku ini melibatkan
hubungan kekuasaan yang tidak setara antara individu atau kelompok dari latar belakang
budaya yang berbeda, tindakan rasis pada bagian dari anggota dari budaya yang dominan
memiliki efek memarginalkan orang-orang dari kelompok minoritas.
Rasisme terhadap Tionghoa di Indonesia
Apa sebenarnya yang menjadi akar dari sentimen rasial terhadap etnis Tionghoa di
Indonesia? Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat,
menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah
belah Soeharto. Dalam jurnal penelitian berjudul "Political Institutions and Ethnic Chinese
Identity in Indonesia", Freedman menyebut Soeharto memaksa masyarakat Tionghoa untuk
melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan pribumi.
Sebagian kecil etnis Tionghoa di Indonesia pada masa Soeharto menikmati berbagai
fasilitas investasi sehingga menjadi sangat kaya. Sekelompok kecil ini akhirnya dianggap
sebagai representasi seluruh etnis Tionghoa, sebagai kelompok yang memiliki kekuasaan dan
punya kekayaan dengan cara yang culas. Kejatuhan Soeharto pada 1998 membuat
pembedaan ini menjadi semakin rumit. Kerusuhan yang muncul di berbagai kota di Indonesia
menargetkan masyarakat Tionghoa sebagai sasaran kebencian.
Kebencian terhadap kelompok Tionghoa bisa dilacak hingga empat ratus tahun yang lalu.
Dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn dituliskan, masyarakat Tionghoa
sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk

setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang. Ketika VOC masuk, kondisi berubah.
Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan VOC sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan
istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat.
Hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada
Oktober 1740 seperti yang ditulis Blackburn, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi
pemberontakan petani Cina. Sambil membawa senjata buatan sendiri para kuli Cina berbaris
menuju kota, tempat ratusan kawan sebangsanya tinggal di dalam dinding kota. Meskipun
orang Cina yang tinggal di kota sedikit sekali atau sama sekali tak berhubungan dengan
orang Cina di luar dinding kota, beredar isu bahwa mereka berencana membantu para
pemberontak.
Kecurigaan dan paranoia orang Eropa serta pribumi membuat kondisi memburuk.
Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka
juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa. Adrian Volckanier
Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang
Tionghoa.
Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu
dibunuh dengan keji. Selama seminggu, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah
karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di
Batavia ini dikenal dengan Geger Pecinan.
Tapi Geger Pecinan bukan satu-satunya momen berdarah bagi masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik karya Benny G Setiono disebutkan,
pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830). September
1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu
Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang
terletak di tepi Bengawan Solo. Dalam perjalanan itu banyak orang Tionghoa yang dibunuh
tak peduli anak-anak atau perempuan. Mereka dibunuh dan tubuh-tubuh yang terpotong
dibiarkan di jalanan.
Kebencian terhadap etnis Tionghoa sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang dibikin
oleh penguasa, baik Belanda maupun Jawa. Hendri F. Isnaeni, dalam artikel Duka Warga
Tionghoa di majalah Historia, menyebutkan bahwa dalam sejarah, beberapa kali etnis
Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Mulai Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998.
Dalam konteks Perang Jawa masyarakat Jawa saat itu membenci orang Tionghoa karena
menjadi bandar-bandar pemungut pajak.
Orang-orang Tionghoa oleh para Sultan Jawa dijadikan bandar-bandar pemungut pajak di
jalan-jalan utama, jembatan, pelabuhan, pangkalan di sungai-sungai dan pasar. Melihat
efektifnya orang-orang Tionghoa memungut pajak, Belanda dan Inggris melakukan hal yang
sama di daerah-daerah yang telah dikuasainya. Tragedi pembantaian Perang Jawa membuat
kebencian antara Etnis Jawa dan Tionghoa berkembang. Orang Tionghoa menjadi takut
terhadap Orang Jawa sementara Orang Jawa menganggap Tionghoa sebagai mata duitan dan
pemeras.

Kebencian ini mendarah daging, menyebar luas, tanpa sempat ada rekonsiliasi atau
penjelasan. Kebencian menahun ini yang kemudian berkembang di Indonesia. Hendri F.
Isnaeni menulis bahwa pada awal abad ke-20, kembali tercatat peristiwa rasial terhadap etnis
Tionghoa, yaitu kerusuhan di Solo pada 1912 dan kerusuhan di Kudus pada 1918. Pada masa
revolusi, kembali terjadi gerakan anti etnis Tionghoa, seperti yang terjadi di Tangerang pada
Mei-Juli 1946, Bagan Siapi-api pada September 1946, dan Palembang pada Januari 1947.
Tragedi terhadap masyarakat Tionghoa berikutnya terjadi pada saat 1965. Cina yang
menjadi negara komunis besar saat itu dianggap punya peran dalam Gerakan 30 September
1965 (G30S). Banyak masyarakat Tionghoa saat itu yang menjadi korban karena dianggap
komunis atau mata-mata Tiongkok. Kebencian ini tidak berhenti sampai situ saja, orangorang Cina dianggap sebagai cukong dan pemeras harta masyarakat lokal. Di sini ide
primordial pribumi melawan pendatang menjadi legitimasi untuk melakukan kejahatan.
Dalam konteks yang lebih modern ada dua peristiwa diskriminasi dan kekerasan yang
sangat keji terjadi terhadap tenis Tionghoa. Pertama adalah pembantaian terhadap 30.000
orang etnis Tionghoa di Provinsi Kalimantan Barat pada 1967 atas nama PGRS/PARAKU.
Elsam menyebut terjadi pembersihan etnis dalam peristiwa ini, sementara dalam buku
Tandjoengpoera Berdjoeng, 1977, disebutkan setidaknya ada 27.000 orang mati dibunuh,
101.700 warga mengungsi di Pontianak dan 43.425 orang di antaranya direlokasi di
Kabupaten Pontianak.
Selanjutnya tentu saja peristiwa kerusuhan 1998. Saat itu etnis Tionghoa menjadi korban
kekerasan, penjarahan dan diskriminasi hebat. Gejala Xenofobia ini merupakan buntut dari
kesenjangan ekonomi dan kebencian berdasar prasangka kepada etnis Tionghoa. Saat
peristiwa ini terjadi banyak perempuan-perempuan Tionghoa yang diperkosa, tokonya
dibakar dan usaha milik mereka dirusak. Kasus ini tak pernah selesai sampai hari ini dan
pelakunya tak pernah diusut.
Negara juga berperan menjadi aktor dalam penyulut kebencian terhadap etnis Tionghoa.
Melalui Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967, negara berperan
melakukan identifikasi rasial dan segregasi identitas. Surat itu adalah upaya penyeragaman
penyebutkan kelompok etnis “Tionghoa” yang dianggap mengandung nilai-nilai yang
memberi asosiasi-psykopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, menjadi “Cina” yang
dianggap lebih “dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.”
Indarwati Aminuddin, seorang penulis, pernah menyusun laporan menarik: "Prasangka
Media Terhadap Etnik Tionghoa", 2002. Laporan itu dengan bernas mengupas dan
mempersoalkan sejauh mana pencantuman identitas rasial seseorang relevan dalam
laporan/karya jurnalistik. Profiling atau penyosokan menjadi relevan untuk menjelaskan
konteks identitas seseorang dalam pemberitaan.
Maka Indarwati mengatakan bahwa atribusi yang relevan membantu publik memahami
persoalan dengan lengkap. Namun, atribusi yang tak relevan justru menciptakan kesan bahwa
kesalahan seseorang terkait dengan identitasnya, entah itu suku, agama, ras atau bahasa.

Indarwati lantas memberikan sebuah contoh dari berbagai media di Indonesia yang
melakukan profiling terhadap etnis Tionghoa dalam framing berita. Frasa seperti “warga
keturunan” dan “pribumi” kerap disandingkan untuk menjelaskan posisi korban dan pelaku.
Profiling semacam inilah yang juga bisa memicu konflik massal, terutama jika seseorang
yang melakukan tindakan buruk seakan-akan melakukan keburukan karena identitas
rasialnya.

Rasisme terhadap kaum tionghoa di Indonesia menyebabkan interaksi sosial dan budaya
antar masyarakat tionghoa dengan pribumi menjadi memburuk. Banyak masyarakat pribumi
yang mendiskriminasi kaum tinghoa, sehingga tidak ada hubungan social yang baik antara
kaum tionghoa dengan pribumi pada saat itu. Begitupula dengan kebudayaan, kaum pribumi
dengan tionghoa tidak dapat saling menghargai kebudayaan masing-masing. Meskipun
demikian, hal tersebut terjadi di masa lalu, puncaknya ditahun 1998. Pada zaman sekarang
peristilahan kaum pribumi dan kaum non pribumi termasuk tionghoa sudah tidak digunakan.
Tetapi muncul lagi permasalahan, bukan terhadap kaum tionghoa, tetapi rasisme terhadap
perbedaan agama dan kulit. Semestinya sudah terdapat kesetaraan antara semua suku di
Indonesia. Dan dapat saling menghargai perbadaan satu sama lain.

4. KESIMPULAN
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa
perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau
individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang
lainnya.
Bentuk-bentuk rasisme yang terjadi bukan hanya rasisme warna kulit saja, melainkan
juga rasis mengenai agama, sukuisme, postur tubuh, kewarganegaraan, dan masih banyak
lagi.
Penyebab terjadinya rasisme, bisa dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah
keyakinan atau kepercayaan yang ada dalam diri dan lingkungan sekitar kita.
Budaya dan adat istiadat setiap bangsa ataupun negara berbeda beda sehingga
mempengaruhi pola pikir dan pemahaman apa dan maksud sentimen ras / suku / etnis, yang
pada akhirnya tentu akan mempengaruhi kultur dan paradigma yang berakhir pada rasisme.
Akibat dari fenomena rasisme juga bukan hanya berakibat pada mental seseorang, namun
berakibat pada hubungan masyarakat dengan lingkungannya, hubungan antar masyarakat
dengan masyarakat yang lain, atau bahkan hubungan antar satu Negara dengan Negara
lainnya.
Sedangkan cara mengatasi rasisme yaitu, saling menghargai. Dengan menghargai
berbagai perbedaan, maka rasisme dapat di atasi, misalkan jika kaum Tionghoa sedang
melakukan tradisi seperti merayakan hari raya mereka kaum Tionghoa bisa memberikan
makan yang ia masak untuk diberikan kepada tetangga, atau selain kaum Tionghoa. Lalu
sebaliknya jika kaum Pribumi sedang merayakan hari raya mereka atau hari-hari penting bisa
memberikan makanan kepada kaum Tionghoa. Maka dengan menghargai perbedaan, berarti
kita telah mencegah terjadinya rasisme.

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Dengan terselesaikannya Karya Ilmiah ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sedalamdalamnya kepada :
1. Allah S.W.T. atas limpahan karunia dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Karya Ilmiah ini.
2. Bapak M Januar Ibnu Adham selaku dosen mata kuliah Pendidikan Sosial Budaya
atas bimbingan, arahan dan koreksinya selama penyusunan dan penulisan Karya
Ilmiah ini.
3. Kedua Orang Tua kami yang telah membantu dan mendukung kami dalam
mengerjakan Karya Ilmiah ini.
4. Teman teman mahasiswa FKIP UNSIKA atas kerjasamanya dalam penyusunan dan
penulisan Karya Ilmiah ini.

6. DAFTAR PUSTAKA
Internet
Nurhalimah. (2016, Oktober 24) . Rasisme dan Sukuisme. Diperoleh
http://nurhalimahbinmisdi.blogspot.co.id/2016/10/rasisme-dan-sukuisme.html

dari

Setiawan, Parta. (2015, mei 06). Pengertian Interaksi Sosial Budaya Terlengkap Menurut Para
Ahli. Diperoleh dari: http://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-interaksi-sosial-danbudaya-terlengkap-menurut-para-ahli/
Hakim, Ahmad Manarul. (2017, November 02). Pengertian Interaksi Sosial Menurut Para Ahli.
Diperoleh dari: http://www.yuksinau.id/pengertian-interaksi-sosial-menurut-para-ahli/
Dhani, Arman. (2016, November 01). Rasisme Terhadap Etnis Tionghoa dari Masa ke Masa.
Diperoleh dari: https://tirto.id/rasisme-terhadap-etnis-tionghoa-dari-masa-ke-masa-bZQN
Memahami
Rasisme
dan
Perusakan
Budaya
(2014).
Diperoleh
dari:
https://loligintingz.wordpress.com/2014/09/24/memahami-rasisme-dan-perusakan-budaya/
Representasi stereotype sebagai bentuk dari rasisme dalam film Crash. Diperoleh dari:
http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t4190.pdf