DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA DALAM PERS (1)

DINAMIKA KORUPSI DI INDONESIA:
DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL
Revrisond Baswir

orupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun
demikian, bila dikaji secara mendalam, akan segera diketahui bahwa hampir
semua definisi korupsi mengandung dua unsur berikut di dalamnya:
Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran
hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan
kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat
atau aparatur negara yang bersangkutan

(Braz dalam Lubis dan Scott,

1985).
Dengan kedua unsur tersebut, tidak aneh jika Alatas (1999),
cenderung menyebut korupsi sebagai suatu tindakan pengkhianatan
(pengingkaran amanah). Tetapi justru karena sifat korupsi yang seperti itu,
upaya untuk mendefinisikan korupsi cenderung memiliki masalah pada
dirinya sendirinya. Disadari atau tidak, upaya untuk mendefinisikan korupsi
hampir selalu terjebak ke dalam dua jenis standar penilaian yang belum

tentu akur satu sama lain, yaitu norma hukum yang berlaku secara formal,
dan norma umum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi
secara hukum, belum tentu dikategorikan sebagai perbuatan tercela bila
ditinjau dari segi norma umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.
Sebaliknya, suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai korupsi dalam
pandangan norma umum, belum tentu mendapat sanksi yang setimpal
secara hukum (Waterbury dalam Lubis dan Scott, 1990).
Bertolak dari masalah pendefinisian korupsi yang cukup rumit
tersebut, tanpa sengaja kita sesungguhnya dipaksa untuk memahami korupsi
sebagai suatu fenomena dinamis yang sangat erat kaitannya dengan pola

Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 1, September 2002: 25-34

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34

relasi

antara


kekuasaan

dan

masyarakat

yang

menjadi

konteks

berlangsungnya fenomena tersebut.
Artinya, fenomena korupsi hanya dapat dipahami secara utuh jika ia
dilihat dalam konteks struktural kejadiannya. Pernyataan ini sama sekali
bukan untuk menafikkan keberadaan korupsi sebagai sebuah fenomena
kultural, melainkan sekadar sebuah penegasan bahwa fenomena korupsi
juga memiliki dimensi struktural yang sangat penting untuk diselidiki guna
memahami fenomena korupsi secara utuh.
Korupsi dan Kekuasaan

Korupsi pernah menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat
dalam sejarah Indonesia. Hal itu bermula dari pernyataan Furnivall,
sebagaimana dikemukakan oleh Smith (Lubis dan Scott, 1990), yang
menyatakan bahwa Indonesia di masa kolonial sama sekali bebas dari
korupsi. Jika kemudian korupsi cenderung berkembang menjadi penyakit
endemik dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia, setidak-tidaknya
menurut sejumlah kalangan, maka kesalahan terutama harus ditimpakan
terhadap pemerintahan pendudukan Jepang.
Tetapi pendapat seperti itu dibantah dengan tegas oleh Smith.
Mengutip

Day,

Smith

mengemukakan

sejumlah

contoh


yang

mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan
Hindia Belanda. Penyebab utamanya adalah gaji yang sangat rendah.
Karena menerima gaji yang sangat rendah, orang-orang yang bekerja pada
kompeni Belanda sangat mudah tergoda untuk menerima imbalan tambahan
dari organisasi-organisasi pribumi yang lemah. Hanya saja, karena banyak
dari bentuk-bentuk korupsi yang terjadi ketika itu berlangsung dengan modus
operandi yang belum dikenal sebelumnya, ia cenderung mendapat nama
yang cukup sopan dan dipandang sebagai perbuatan legal.
Berbagai bentuk korupsi yang telah berlangsung sejak sebelum
tahun 1800-an itu, cenderung semakin meluas setelah terjadinya peralihan
kekuasaan ke tangan gubernur jenderal Belanda. Penyebabnya adalah

26

Revrisond Baswir
“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”


terjadinya perubahan metode pembayaran terhadap para aristokrat pribumi.
Pembayaran terhadap aristokrat pribumi ini, yang oleh kompeni dilakukan
dengan memberikan upeti, oleh gubernur jendral Belanda diganti dengan
memberi

gaji. Akibatnya, para aristokrat pribumi tersebut terpaksa

menggunakan cara-cara yang tidak sah jika mereka ingin mempertahankan
taraf hidup yang sudah menjadi kebiasaan mereka.
Perluasan pengertian korupsi secara besar-besaran terjadi setelah
Indonesia memasuki periode merdeka. Dengan beralihnya kekuasaan dari
penguasa kolonial ke tangan pemerintah Indonesia, tuntutan masyarakat
terhadap penggunaan kekayaan negara secara benar cenderung meningkat.
Pemakaian secara pribadi kekayaan negara oleh para pejabat negara akan
serta

merta

dipandang


sebagai

tindakan

korupsi.

Sebagaimana

dikemukakan Wertheim, tindakan yang sebelumnya dipandang sebagai
tindakan normal, kini dipandang secara lebih kritis.
Pelajaran yang dapat dipetik dari sejarah perkembangan korupsi di
Indonesia tersebut adalah: Pertama, korupsi pada dasarnya berkaitan
dengan perilaku kekuasaan. Mengutip Lord Acton, kekuasaan memang
cenderung untuk korup. Kekuasaan yang berkuasa secara absolut, akan
korup secara absolut pula. Kedua, korupsi sangat erat kaitannya dengan
perkembangan sikap kritis masyarakat. Semakin berkembang sikap kritis
masyarakat, maka korupsi akan cenderung dipandang sebagai fenomena
yang semakin meluas.
Berdasarkan kedua hal tersebut, tragedi yang dialami oleh
pemerintahan Orde Baru sesungguhnya dapat ditafsirkan secara mudah.

Sebagaimana diketahui, pemerintahan Orde Baru yang berkuasa lebih dari
30 tahun tersebut, terutama menopang kekuasaannya dengan dukungan
militer. Dengan sifat seperti itu, pemerintahan Orde Baru sesungguhnya
tidak hanya telah memerintah terlalu lama, tetapi cenderung berkuasa
secara otoriter.
Masa berkuasa secara otoriter yang terlalu lama itu, telah
menyebabkan semakin jauhnya pemerintahan Orde Baru teralienasi dari

27

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34

aspirasi yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pada mulanya, sikap kritis
masyarakat terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
Orde Baru, dapat direpresi dengan mengendalikan media massa. Tetapi,
sebagaimana terbukti kemudian, tindakan seperti itu sama sekali tidak
menolong. Sikap kritis masyarakat terhadap meluasnya tindakan korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat Orde Baru, terus bertahan hidup seperti api
dalam sekam.
Dengan latar belakang seperti itu, krisis ekonomi yang melanda

Indonesia pada penghujung 1997 dan awal 1998, sesungguhnya tidak lebih
dari

sekedar

momentum

sejarah

yang

menyebabkan

meledaknya

kemarahan masyarakat. Secara simbolik, kemarahan masyarakat memang
tertuju kepada Soeharto dan militer. Tetapi penyingkiran Soeharto dan
militer dari gelanggang kekuasaan, sama sekali tidak akan mengurangi sikap
kritis masyarakat terhadap perilaku kekuasaan. Sikap kritis masyarakat
terhadap perilaku kekuasaan pasca kejatuhan Soeharto, sudah sangat

berbeda dari masa sebelumnya.
Bila demikian halnya, sangat wajar bila pemerintahan Presiden
Abdurrahman

Wahid

sangat

cepat

terjerembab ke dalam

tuduhan

melakukan korupsi. Ini bukan soal volume korupsi. Bukan juga soal
pembuktian tindakan tersebut secara hukum. Secara struktural, persoalan
yang dihadapi oleh pemerintahan Presiden Wahid adalah persoalan hukum
besi sejarah. Artinya, terlepas dari semakin meluas atau tidaknya praktik
korupsi di Indonesia, setiap penguasa baru Indonesia harus berhadapan
dengan hukum besi meningkatnya sikap kritis masyarakat terhadap perilaku

kekuasaan.
Korupsi dan Keuangan Publik
Faktor struktural yang bersemayam di balik relasi dinamis yang
terjadi antara kekuasaan dan sikap kritis masyarakat sebagaimana diuraikan
tersebut, yaitu yang menyebabkan berlangsungnya ketegangan permanen

28

Revrisond Baswir
“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”

antara kekuasaan dan masyarakat, adalah struktur pengelolaan keuangan
publik di Indonesia yang cenderung sentralistis secara berlebihan.
Belakangan, melalui kebijakan otonomi daerah, memang ada upaya
untuk mengurangi sentralisasi pengelolaan keuangan publik yang berlebihan
tersebut. Tetapi janji otonomi yang terangkum dalam Undang-undang (UU)
No. 22 dan 25 tahun 1999 itu, sesungguhnya tidak lebih dari sekedar isapan
jempol. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, terutama dipicu oleh
kebijakan rekapitalisasi perbankan yang diwariskan oleh pemerintahan Orde
Baru,


sentralisasi pengelolaan keuangan publik di Indonesia justru

cenderung semakin memburuk.
Untuk mendapat gambaran yang lebih terinci, data sebagaimana
tersaji dalam tabel 1, berbicara secara sangat gamblang. Dari tabel tersebut
dapat disaksikan betapa pemerintah pusat, yang diwakili oleh BPPN, Menteri
BUMN, dan berbagai instansi pemerintah pusat lainnya, mengendalikan
hampir sekitar 95 persen dari seluruh komponen keuangan publik (di luar
asset) yang terdapat di negeri ini. Sementara, pemerintah daerah tingkat I
dan II se-Indonesia, secara bersama-sama hanya mengendalikan sekitar 5
persen sisanya.
Tabel 1. Struktur Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia
No
.

Jenis

1.

Dana Rekap dan BLBI

2.

Pengelola

Jumlah

%

BPPN

Rp. 650 triliun

37

BUMN

Menteri BUMN

Rp. 450 triliun

25

3.

Nonbujeter

Setiap Instansi
Pemerintah Pusat

Rp. 300 triliun
(?)

16

4.

APBN

Departemen Keuangan

Rp. 315 triliun

17

5.

APBD

Pemda Tk I dan II seIndonesia

Rp. 90 triliun

5

Rp. 1800 triliun

100

TOTAL
Sumber: Diolah oleh Revrisond Baswir dari berbagai sumber

29

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34

Celakanya, dari seluruh komponen keuangan publik yang dikelola
oleh pemerintah pusat itu, sebagian besar justru dikelola secara tidak
transparan dan bertentangan dengan hukum. Dana rekapitalisasi perbankan
misalnya, yang merupakan utang obligasi pemerintah terhadap Bank
Indonesia (BI) itu, secara resmi dinyatakan bernilai sebesar Rp 450 triliun.
Tetapi sebagaimana diakui oleh pemerintah, peluang tingkat pengembalian
(recovery rate) dana tersebut, maksimal hanya mencapai sekitar 30 persen.
Yang lebih konyol adalah hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) terhadap penyaluran dan penggunaan dana Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebagaimana diumumkan oleh BPK, dari
total dana BLBI yang disalurkan pemerintah sebesar Rp 144 triliun,
ditemukan penyimpangan sebesar Rp 138 triliun atau sekitar 96 persen.
Hingga sejauh ini, boleh dikatakan belum tampak adanya tindakan serius
yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menyelesaikan perkara
salah urus dana rekapitalisasi dan BLBI yang bernilai ratusan triliun tersebut.
Hampir sama konyolnya dengan dana rekapitalisasi dan BLBI adalah
nasib kekayaan publik yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Secara resmi, nilai aset seluruh BUMN pada tahun 1997 (terdiri
dari 164 perusahaan induk dan 1.200 anak perusahaan), dinyatakan
meningkat hampir empat kali lipat menjadi Rp 450 triliun, jika dibandingkan
dengan keadaan tahun 1988. Nilai aset BUMN pada tahun 1988 berjumlah
sebesar Rp 127 triliun. Tetapi jika dibandingkan volume keuntungannya,
volume keuntungan BUMN dalam periode sepuluh tahun tersebut ternyata
hanya meningkat sedikit dari Rp 5,2 triliun menjadi Rp 6,5 triliun.
Salah satu penjelasan yang menyebabkan buruknya tingkat
keuntungan BUMN adalah berlangsungnya penjarahan secara permanen
dan munculnya dana-dana nonbujeter pada hampir seluruh instansi
pemerintah. Sebagaimana diketahui, asal mula dana-dana nonbujeter yang
dikelola dalam bentuk yayasan dan perusahaan swasta plat merah itu adalah
dari hasil pemungutan manajemen fee dari setiap BUMN yang berada di
bawah binaan masing-masing instansi tersebut.

30

Revrisond Baswir
“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”

Secara resmi, volume dana nonbujeter yang dikelola oleh berbagai
instansi pemerintah itu memang tidak tersedia datanya. Tetapi bahwa
keberadaan dana-dana haram yang telah diketahui sejak tahun 1967
tersebut masih terus berlangsung hingga kini, jelas memperlihatkan sangat
kuatnya resistensi di sekitar pusat kekuasaan untuk mengangkangi kekayaan
publik dan mengelolanya secara melanggar hukum.
Terlepas dari keberadaan rekapitalisasi, BLBI, BUMN, serta danadana nonbujeter tersebut, struktur pengelolaan keuangan publik yang
terangkum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pun
sesungguhnya hampir sama saja sentralistisnya. Sebagaimana tampak pada
tabel 2, dari seluruh pendapatan negara yang dikumpulkan melalui APBN
dan APBD, 95 persen masuk ke dalam APBN. Dengan demikian, jumlah
total Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang masuk ke dalam APBD, hanya
tersisa sekitar 5 persen.
Tabel 2. Struktur Pengelolaan Keuangan Publik dalam APBN dan APBD
Belanja
Pengendali

Pendapatan

Sebelum
Otonomi

UU No. 25/1999

Pemerintah Pusat

95 %

80 %

75 %

Pemerintah Daerah

5%

20 %

25 %

Sumber: Diolah oleh Revrisond Baswir dari berbagai sumber

Undang-undang (UU) No. 25/1999 memang sama sekali tidak
berbicara mengenai perimbangan pendapatan. UU tersebut hanya berbicara
mengenai peningkatan alokasi belanja pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Walaupun demikian, perubahan yang terjadi, selain bias ke daerahdaerah yang kaya sumber daya alam, ternyata sama sekali tidak berarti.
Pasca penerbitan UU. No. 25/1999, volume belanja negara yang
dikendalikan oleh pemerintah daerah se-Indonesia ternyata hanya meningkat
dari 20 persen menjadi 30 persen.

31

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34

Penanggulangan Korupsi
Bertolak dari uraian panjang dan lebar di muka, secara struktural
dapat disaksikan betapa sangat rentannya Indonesia terhadap fenomena
korupsi. Situasi rentan itu tidak hanya berkaitan dengan pola relasi dinamis
antara kekuasaan yang otoriter dengan sikap kritis masyarakat, tetapi
terutama berkaitan dengan struktur pengelolaan keuangan publik yang
memang sentralistik secara berlebihan. Akibatnya sebagaimana dialami oleh
pemerintahan Presiden Wahid, sebuah pemerintahan yang dipilih dan
memerintah secara demokratis pun, sangat mudah terjerembab ke dalam
pelukan korupsi.
Lebih-lebih anasir-anasir Orde Baru belum sepenuhnya dapat
disingkirkan

dari

lingkaran

kekuasaan

dan

birokrasi

di

Indonesia.

Keberadaan anasir-anasir Orde Baru ini tidak hanya cenderung menjadi
kekuatan struktural yang menghambat semua upaya untuk memerangi
korupsi, lebih dari itu mereka cenderung menjadi komponen utama yang
menghalangi setiap upaya untuk mendesentralisasikan struktur pengelolaan
keuangan publik di negeri ini.
Sebab itu, jangankan berbicara mengenai upaya penghapusan danadana

nonbujeter,

berbagai

upaya

untuk

memulihkan

perekonomian

Indonesia pun sangat rentan terhadap tindakan korupsi. Dengan kata lain,
jangankan dana BLBI, penjualan aset oleh BPPN, privatisasi BUMN,
program penanggulangan kemiskinan seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS)
dan dana Kredit Usaha Tani (KUT) pun, sangat rentan untuk disalahgunakan
dan diselewengkan.
Mencermati kenyataan tersebut, strategi besar penanggulangan
korupsi di Indonesia, tidak bisa tidak, harus diarahkan pada upaya sistemik
untuk mendesentralisasikan pengelolaan keuangan publik di negeri ini.
Desentralisasi dalam hal ini, berbeda dari konsep desentralisasi UU No.
25/1999, tidak hanya terbatas dalam bentuk desentralisasi belanja dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, melainkan harus diperluas

32

Revrisond Baswir
“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”

hingga mencakup pula desentralisasi pendapatan. Selain itu, program
desentralisasi juga tidak hanya terbatas dalam bentuk desentralisasi dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi dapat pula berarti dari negara
kepada masyarakat.
Sehubungan dengan itu, beberapa program strategis yang perlu
segera dilaksanakan adalah sebagai berikut: Pertama, debirokratisasi
BUMN, yaitu dengan cara memisahkan pengelolaan BUMN dari campur
tangan birokrasi pemerintah. Kedua, penghapusan segala bentuk dana
nonbujeter dan penggabungan pengelolaannya ke dalam mekanisme APBN.
Ketiga,

penyerahan

sebagian

sumber-sumber

pendapatan

pemerintah pusat, melalui mekanisme pembagian pajak (tax sharing)
kepada pemerintah daerah. Keempat, penyerahan sebagian aset negara
yang dikuasai oleh pemerintah pusat, termasuk saham BUMN, kepada
pemerintah daerah, karyawan BUMN, atau untuk dikelola secara swadaya
oleh masyarakat. Dan Kelima, pembukaan peluang bagi setiap kelompok
masyarakat yang bergerak dalam bidang pelayanan publik, untuk turut
mengelola secara langsung sebagian belanja daerah.
Di luar kelima program strategis tersebut, secara struktural tentu
banyak program lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketegangan
antara pemerintah dan masyarakat, serta untuk memerangi semakin
meluasnya praktik korupsi dalam lingkungan kekuasaan. Peningkatan
partisipasi dan transparansi dalam pengelolaan keuangan publik misalnya,
harus terus menerus mengalami peningkatan. Demikian pula halnya dengan
penghapusan peran militer dalam bidang politik dan bisnis. Upaya-upaya
tersebut harus menjadi agenda utama bagi siapa pun yang ingin memerangi
korupsi di negeri ini.

33

Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 1, September 2002: 25-34

Daftar Pustaka

Alatas, Syed Hussein, 1981. Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES
Alatas, Syed Hussein, 1987. Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, Jakarta: LP3ES
Alatas, Syed Hussein, 1999. Corruption and Destiny of Asia, Simon and Schuster,
Malaysia.
Baswir, Revrisond, 2000. Penjarahan Daerah dan UU NO. 25/1999, Jurnal Ilmu
Sosial Tranformatif WACANA, Yogyakarta: Insistpress
Baswir, Revrisond, 2000. Penghapusan Dana Nonbujeter, Majalah Berita Mingguan
Forum Keadilan No. 19/2000, Jakarta.
Baswir, Revrisond, 2001. Transparansi BUMN, Harian Umum BERNAS, Yogyakarta.
Elliot, Kimberly Ann, 1998. Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Klitgard, Robert , 1998. Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Lubis, Mochtar dan James C. Scott, 1985. Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES
Lubis, Mochtar dan James C. Scott, 1990. Korupsi Politik, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Pope, Jeremy, 1999. Pengembangan Sistem Integritas Nasional, Jakarta: Pusat
Gravity
Pongpaichit, Pasuk dan Sungsidh Piriyarangsan, 1994. Corruption and Democracy
in Thailand, Bangkok: Silkworm Books
Rose-Ackerman, Susan, 1999. Corruption and Government:Causes, Cosequences,
and Reform, Cambridge, UK: Cambridge University Press
Schiavo-Campo, Salvator, 1999. Governence, Corruption, and Public Financial
Management, Manila, Phillipines: Asia Development Bank

34

Revrisond Baswir
“Dinamika Korupsi di Indonesia: Dalam Perspektif Struktural”

35