MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN
KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN PENGOLAHAN LINDI PADA TEMPAT PEMROSESAN AKHIR GUNUNG KUPANG BANJARBARU
Dosen :
Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp., Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., ST., Mkes.
M.Si NIP. 19780420 20050 1 002
NIP. 19730507 1999802 1 001
Disusun Oleh :
Adhe Permana
H1E113221
Dwi Aprilia Fazriati
H1E113211
Luthfi Nur Rahman
H1E113029
Muhammad Rizkyanto
H1E113217
PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU
Ucapan Terima Kasih Kepada :
HALAMAN PENGASAHAN Observasi Lapangan MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN PENGOLAHAN LINDI PADA TEMPAT PEMROSESAN AKHIR GUNUNG KUPANG BANJARBARU
Disusun Oleh :
Adhe Permana (H1E113221) Dwi Aprilia Fazriati
(H1E113211) Luthfi Nur Rahman
(H1E113029) Muhammad Rizkyanto
(H1E113217)
Banjarbaru, November 2015 Telah Diperiksa dan Disetujui
Dosen Mata Kesehatan Lingkungan Dosen Mata Kesehatan Lingkungan Kerja
Kerja
Prof. Dr. Qomariyatus S. Amd., Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., Hyp., ST., Mkes
M.Si NIP. 19780420 20050 1 002
NIP. 19730507 1999802 1 001
Mengetahui, Ketua Prodi Teknik Lingkungan,
Dr. Rony Riduan, ST., MT. NIP. 19761017 199903 1 003
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kadar Logam Berat sebagai Pencemar ……………………………….. 14 Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi ………………… 19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. IPAL …………………………………………………. 29
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas taufik dan hidayah-Nya maka usaha –usaha dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja, penulis dapat terselesaikan sesuai harapan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp., ST., Mkes dan Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., M.Si, selaku dosen mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja.
Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Makalah “Mengetahui Tingkat
Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada Tempat Pemrosesan Akhir Gunung Kupang Banjarb aru” penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Banjarbaru, November 2015
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lingkungan yang bersih serta perilaku yang sehat merupakan faktor pendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat. Depkes RI Tahun 2003 dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan antara lain bahwa : (1). Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, (2). Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya, (3). Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, tanah dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit serta penyehatan atau pengamanan lainnya. Akan tetapi, permasalahan lingkungan tetap saja terjadi seiring dengan berkembangnya waktu. (Depkes RI, 2003).
Di Indonesia permasalahan lingkungan yang terjadi sudah cukup kompleks. Salah saunya yaitu permasalahan lingkungan yang diakibatkan dari pencemaran tanah. Banyak faktor penyebab terjadinya pencemaran tanah, salah satunya diakibatkan oleh sampah. Sampah merupakan sesuatu yang dianggap sudah tidak terpakai, namun bisa dimanfaatkan kembali jika diproses dengan benar. Semakin meningkatnya aktifitas masyarakat, maka akan semakin meningkat pula jumlah sampah yang dihasilkan serta diperparah dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang persampahan. Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan dimulai dari penumpukan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan sampah hingga sampai ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) (Fidiawati dan Sudarmaji, 2009).
Sampah dapat berpengaruh untuk kesehatan dan lingkungan, baik dirasakan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, sampah merusak estetika suatu lahan atau pemukiman dan merupakan sumber penyakit. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah Sampah dapat berpengaruh untuk kesehatan dan lingkungan, baik dirasakan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, sampah merusak estetika suatu lahan atau pemukiman dan merupakan sumber penyakit. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Dekomposisi sampah
Dikhawatirkan akan semakin mencemari tanah disekitar TPA, maka air lindi perlu dikelola dan diolah terlebih dahulu agar ketika air tersebut dilepas di lingkungan bebas tidak lagi membahayakan ekosistem.. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian yang berjudul Mengetahui Tingkat Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada TPA Gunung Kupang Banjarbaru.
1. 2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian Mengetahui Tingkat Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada TPA Gunung Kupang Banjarbaru ini adalah :
1. Bagaimana tingkat pencemaran tanah akibat rembesan lindi pada TPA Gunung Kupang?
2. Bagaimana cara pengolahan lindi TPA Gunung Kupang ?
1. 3. Batasan Penelitian
Penelitian ini lebih ditekankan pada batasan masalah sebagai berikut :
1. Kandungan yang terdapat pada lindi
2. Pengolahan lindi di TPA
1. 4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kandungan air lindi yang mempengaruhi kondisi tanah TPA Gunung Kupang.
2. Mengetahui cara pengolahan lindi TPA Gunung Kupang.
1. 5. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah dapat mengetahui bagaimana tingkat pencemaran tanah akibat rembesan air lindi di TPA sehingga mampu menentukan cara yang tepat agar dapat menanggulangi dan mencegah masalah tersebut.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah
2.1.1. Pengertian Tanah
Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Menurut Notohadiprawiro (2006) Tanah adalah gejala alam yang terjadi di lapisan permukaan daratan, membentuk suatu mintakat ( zone ) yang disebut pedosfer, tersusun atas massa galir tersusun dari pecahan dan lapukan batuan bercampur bahan organik. Pada pedosfer terjadi tumpang tindih dan saling tindak antar litosfer, atmosfer, hidrosfer dan biosfer, dengan demikian tanah dapat disebut gejala lintas batas antar berbagai gejala alam permukaan bumi.
Tanah dapat dimaksud sebagai campuran berbagai partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran dan komposisi. Partikel-partikel tersebut menempati kurang lebih 50% volume, sedangkan sisanya yang berupa pori – pori diisi oleh air dan udara (Suripin, 2004).
Dalam pandangan teknik sipil, tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang relatif lepas ( loose ), yang terletak di atas batuan dasar ( bedrock ). Adanya karbonat, zat organik, atau oksida-oksida yang mengendap di antara partikel-partikel menyebabkan ikatan antara butiran menjadi relatif lemah. Ruang di antara partikel-partikel dapat berisi air, udara maupun keduanya. Partikel-partikel memiliki bentuk bulat, bergerigi ataupun keduanya. Tanah terbentuk dari proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya yang terjadi di dekat permukaan bumi. Pembentukan tanah dapat berupa proses pelapukan fisik dan pelapukan kimia. Proses pelapukan fisik berupa perubahan batuan menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, terjadi akibat erosi, angin, air, es, manusia, atau hancurnya pertikel tanah akibat perubahan suhu atau cuaca.
Sedangkan proses pelapukan kimia terjadi akibat pengaruh oksigen, karbondioksida, air (terutama yang mengandung asam atau alkali) dan proses- proses kimia yang lain. Jika hasil pelapukan tetap berada di tempatnya asalnya, maka tanah disebut tanah residual ( residual soil ) dan apabila tanah berpindah dari tempat asalnya disebut tanah terangkut ( tranported soil ) (Hardiyatmo, 2012).
2.1.2 Ekosistem Tanah
Tanah yang gembur umumnya, terdiri atas mineral padat, zat organik (5%), air dan ruang-ruang udara. Sifat-sifat inilah yang memungkinkan terjadinya interaksi antara litosfir, atmosfir, hidrosfir, dan biosfir. Kegemburan tanah ini memungkinkan penetrasi akar tumbuhan dan bersarangnya hewan, adanya aktifitas pertukaran antara oksigen dan karbondioksida (aerasi) diperlukan untuk kelangsungan hidup hewan tumbuhan. Dengan kadar oksigen dalam tanah yang mencapai 25% dapat dimanfaatkan oleh mikroba aerob untuk menguraikan zat-zat organik, akibatnya karbondioksida di dalam tanah menjadi lebih banyak dari pada di atmosfir.
Jenis dan jumlah zat organik dalam tanah tergantung dari suhu, oksigen, dan zat organik lainnya. Jenis tanah serta kandungannya juga menentukan kapasitas pertukaran ion, yang menjadi penting dalam proses terjadinya pencemaran tanah, terutama pencemaran zat kimia dan logam-logam. Di daerah tropis, di mana temperatur cukup tinggi memungkinkan proses proses penghancuran zat organik dapat berjalan lebih cepat dan apabila garam-garam hasil penguraian dapat mudah mengalir/masuk ke lapisan yang lebih dalam, maka tanah di daerah demikian menjadi tidak subur.
2.1.3 Struktur Tanah
Tanah terdiri dari bahan padat, bahan cair, gas, dan jasad hidup. Bahan padat terdiri atas organik dan anorganik, yang anorganik terdapat dalam bermacam-macam bentuk dan ukuran, berdasarkan besar ukurannya dibagi dalam beberapa fraksi atau golongan. Fraksi batu > 10 mm, kerikil 2-10 mm, pasir 0,05-
2 mm, debu 0,02-0,05 mm, liat < 0,02 mm. Debu dan liat merupakan fraksi utama.
Struktur tanah dapat dibagi dalam struktur makro dan mikro. Yang dimaksud dengan struktur makro/struktur lapisan bawah tanah yaitu penyusunan agregat-agregat tanah satu dengan yang lainnya. Sedang struktur mikro ialah penyusunan butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk/agregat- agregat yang satu sama lain dibatasi oleh bidang-bidang belah alami. Menurut tipe dan kedudukannya dapat dibedakan tiga jenis struktur mikro, yaitu :
1. Yang berkondisi remah-lepas, dapat dilihat dengan jelas (tanpa alat pembantu) keadaannya tampak cerai berai, mudah digusur atau didorong ke tempat-tempat yang dikehendaki.
2. Yang berkondisi remah-sedang, tanah yang demikian kondisinya demikian cenderung tampak agak bergumpalan, keadaan ini akan tampak jelas apabila kita mengambil dan memperhatikan profil tanahnya, sususan lapisan-lapisan tanah tampak ada yang dalam keadaan agregasi atau berkumpulan dan terdapat pula yang porus berlubang-lubang begeronggong, memudahkan aliran air menerobos menyerap ke dalam lapisan-lapisan tanah sebelah bawah.
3. Kondisi lekat-lengket, tanah yang memiliki kondisi ini umumnya sangat bila dalam bentuk gumpalan dan amat berat apabila digali serta keras apabila diolah, lebih-lebih dalam keandaan kering gumpalan-gumpalannya sangat keras dan terdapat retakan-retakan, sedang dalam keadaan basah keadaannya sangat lengket.
2.2. Kesuburan Tanah
2.2.1. Pengertian Kesuburan Tanah
Kesuburan tanah merupakan faktor penting yang dibutuhkan tanaman untuk dapat bertahan hidup dan berproduksi dengan baik. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh ketersediaan dan jumlah hara yang ada di dalam tanah. Di lahan pertanian, kadar hara tanah merupakan fungsi dari bahan induk, iklim, topografi, organisme, vegetasi dan waktu (Erwiyono & Prawoto, 2008 dalam Niken Puspita Sari, 2013).
Tanah subur didefinisikan sebagai tanah yang memiliki sifat yang baik dalam hal sifat fisik, kimia, mineralogi dan bahkan sifat biologinya. Sehubungan Tanah subur didefinisikan sebagai tanah yang memiliki sifat yang baik dalam hal sifat fisik, kimia, mineralogi dan bahkan sifat biologinya. Sehubungan
Tingkat kesuburan yang dimaksud adalah kesuburan aktual tanah di lapangan. Dalam kaitan ini maka pemberian pupuk pada tanah lebih dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kesuburan tanah karena tanah yang ada di lapangan sudah memiliki unsur hara yang cukup. Tanah yang subur akan memiliki nilai status kesuburan yang tinggi, sehingga upaya pemeliharaan kesuburan akan dapat dilakukan denga mudah, sedangkan pada tanah kurus dengan tingkat kesuburan yang rendah akan memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif (Soepadiyo, 2007).
2.2.2. Kerusakan Kesuburan Tanah
Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garam- garam (salinisasi), tercemar logam berat, dan tercemar senyawa-senyawa organik dan xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Djajakirana, 2001). Terjadinya pemasaman tanah dapat diakibatkan penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam jumlah besar (Brady, 1990). Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang dapat menimbulkan pemadatan tanah. Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah. Penggunaan alat berat akan menggemburkan tanah dan membolak-balik tanah sampai kedalaman 20 cm. Namun, pada waktu yang bersamaan roda traktor menyebabkan terjadinya pemadatan tanah dan berbagai efek negatif lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan struktur tanah (Larson and osborne, 1982 dalam A. Abas Idjudin, 2011).
Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coated urea) yang terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan Kerusakan biologi ditandai oleh penyusutan populasi maupun berkurangnya biodiversitas organisme tanah, dan terjadi biasanya bukan kerusakan sendiri, melainkan akibat dari kerusakan lain (fisik dan atau kimia). Sebagai contoh penggunaan pupuk nitrogen (dalam bentuk ammonium sulfat dan sulfur coated urea) yang terus menerus selama 20 tahun dapat menyebabkan
2.2.3. Cara Pengelolaan dan Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah atau managing soils merupakan pembinaan dalam hal pengolahan tanah, pembinaan-pembinaan ini dimaksudkan agar para petani atau mereka yang menggunakan tanah dapat melakukan pengolahan-pengolahan tanahnya dengan baik agar kesuburan tanah, produktivitas tanah, pengawetan tanah dan air dapat terjamin, sehingga memungkinkan terlaksananya usaha-usaha di bidang pertanian dalam jangka waktu yang panjang dari generasi ke generasi dengan hasil-hasilnya yang dapat memenuhi harapan.
Ir. Pribadyo Sosroatmodjo L.A., dalam karya ilmiahnya ”Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah”, menyatakan bahwa pengertian pengolahan tanah
secara baik adalah mencakup banyak tindakan yang bersifat agroteknis dan sudah pasti memiliki kaitan dengan aspek agro sosio ekonomis. Tetapi bagaimanapun, tindakan yang bersifat agroteknis akan lebih nyata karena langsung berurusan dengan aspek-aspek pengawetan (konservasi) tanah, pengaturan tata air dan drainase, pengolahan tanah, pergiliran tanaman ( crop rotation ) maupun pola usaha tani (cropping pattern) serta usaha mempertahankan kandungan tanah.
2.2.3.1 Pengolahan Tanah Dengan Usaha Pencegahan Erosi
Erosi sangat berpengaruh pada kesuburan tanah. Banyak pengaruh yang akan ditimbulkan oleh erosi yaitu: terjadinya penghanyutan partikel-partikel tanah, perubahan struktur tanah, penurunan kapasitas infiltrasi dan penampungan, dan perubahan profil tanah.
Pengolahan yang dimaksud disini adalah pengolahan lahan kering.Kita mengetahui bahwa tanah yang gembur pada umumnya sangat mudah tererosi. Sehubungan dengan hal ini, untuk mencegah terjadinya erosi, maka dalam keadaan struktur dan porositas keadaan tanah masih baik, pengolahan tanah sebaiknya dipertimbangkan hal sebagai berikut:
a. Pengolahan dilakukan secara terbatas pada perbaikan larikan-larikan tanah saja demi dapatnya dilakukan pertanaman yang baik dan teratur.
b. Pengolahan tanah yang biasanya dikaitkan dengan maksud menghilangkan gulma atau rumput pengganggu seperti: Imperata cylindrica, Axonopus compressus, Cynodon dactylon dan lain-lain tanaman pengganggu lainnya sebaiknya dilakukan dengan usah pencabutan saja atau dengan melakukan herbisida (pnyemprotan denga bahan kimia), sebab dengan dilkakukannya pengolaha kembali dalam rangka penghilanga gulma, tanah itu akan menjadi lebih gembur lagi, sehingga demikian membantu terjadinya erosi apabila curahan butir butir air hujan menimpanya dan run off mulai berdaya untuk mengkut butir-butir kecil tanah (partikel) yang ringan (Kartasapoetra, 2005).
2.2.3.2 Pengolahan Tanah Dengan Cara Mekanik dan Vegetatif
Luasnya lahan terdegradasi akibat tidak terkendalinya aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara pada lahan berlereng dengan curah hujan tahunan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi dan pengolahan lahan tanpa menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air (KTA) menyebabkan tingginya aliran permukaan dan erosi dan menghanyutkan top soil yang kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini menyebabkan kesuburan tanah mengalami penurunan dari waktu ke waktu (Pratiwi, 2013).
Usaha-usaha pengolahan tanah dengan jalan yang ditempuh yaitu dengan memperlambat run off dan menampung serta selanjutnya menyalurkan run off dengan daya pengikisan tanahnya yang kurang, pengolahan tanah dengan atau dalam cara mekanik memang du arau dalam cara mekanik memang diperlukan. Termasuk dalam pengolahan cara mekanik menurut Sitanala Arsyad dalam “Pengawetan Tanah dan Air” yaitu:
a. Pengolahan Tanah ( tillage ),
b. Pengolahan tanah menurut kontur,
c. Galengan dan saluran menurut kontur
d. Teras atau penyengkedan,
e. Perbaikan drainase dan pembangunan irigasi,
f. Waduk dan penghambat, balong atau farmponds, rorak, tanggul dan sebagiannya.
Sebenarnya tujuan dari semua itu untuk mengurangi terjadinya erosi. Karena pengikisan tanah laisan atas sangat bepengaruh dalam menurunkan tingkat kesuburan tanah (Kartasapoetra, 2005).
2.3. Pengertian Pencemaran
Menurut KBBI, Pencemaran adalah proses, cara atau perbuatan mencemari atau mencemarkan. Menurut UU RI, Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup : Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dalam hal ini lingkungan hidup yang dimaksud adalah tanah.
2.4 Pencemaran Tanah
2.4.1 Sumber Pencemar tanah
Menurut Sastrawijaya ( 2009 ) pencemaran tanah dapat terjadi karena 3 faktor, yaitu :
1. Pencemaran melalui udara, udara yang tercemar sebagai pemicu dari hujan yang mengandung zat pencemar, sehingga menyebabkan tanah akan tercemar.
2. Pencemaran langsung, misalnya pemakaian pupuk secara berlebihan, pemakaian pestisida dan insektisida yang berlebihan dan pembuangan limbah yang tidak dapat dicernakan seperti plastik.
3. Pencemaran melalui air, air yang memiliki unsur polutan seperti zat kimia berbahaya dapat merusak susunan kimia tanah sehingga mengganggu jasad biologis yang hidup di dalam atau permukaan dari tanah.
Kegiatan penimbunan sampah yang dilakukan secara terus menerus pada Tempat Pembuangan Akhir menghasilkan polutan berupa air lindi ( leachate ) sebagai hasil dari aktifitas infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam timbunan Kegiatan penimbunan sampah yang dilakukan secara terus menerus pada Tempat Pembuangan Akhir menghasilkan polutan berupa air lindi ( leachate ) sebagai hasil dari aktifitas infiltrasi air hujan yang masuk ke dalam timbunan
Logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu) dan besi (Fe) yang terdapat dalam kandungan air lindi berasal dari sampah yang telah dibuang. Sumber sampah yang menghasilkan limbah timbal (Pb) yaitu seperti cat, kaleng dan baterai. Sumber sampah yang menghasilkan limbah tembaga ( Cu ) yaitu seperti alat – alat listrik, sedangkan umber sampah yang menghasilkan limbah besi (Fe) yaitu alat – alat yang berbahan dasar besi ( Himmah dkk, 2009 ). Kejadian terserapanya cairan lindi ke dalam tanah akan menyebabkan pencemaran tanah dan air tanah secara langsung (Tchobanoglus, 1993).
2.4.2 TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)
Dalam Undang – undang Nomor 18 Tahun 2008, Tempat Pemrosesan Akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Menurut Standar Nasional Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ialah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah.
Menurut Standar Nasional Indonesia, persyaratan penentuan titik lokasi TPA yaitu tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan tiga tahapan. Pertama, tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. Kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik di antara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga,tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang. Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah.
2.4.3. Lindi
Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik yang sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air, baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. Lindi akan terjadi apabila ada air eksternal yang berinfiltrasi ke dalam timbunan sampah, misalnya dari air permukaan, air hujan, air tanah atau sumber lain. Cairan tersebut kemudian mengisi rongga-rongga pada sampah, dan bila kapasitasnya telah melampaui kapasitas tekanan air dari sampah, maka cairan tersebut akan keluar dan mengekstraksi bahan organik dan anorganik hasil proses fisika, kimia dan biologis yang terjadi pada sampah (Qasim, 1994).
Pola umum dari pembentukan lindi adalah sebagai berikut:
1. Presipitasi (P) jatuh di TPA dan beberapa diantaranya akan mengalami run off (RO)
2. Beberapa dari presipitasi itu menginfiltrasi (I) permukaan
3. Sebagai yang terinfiltrasi akan menguap/evaporates (E) dari permukaan dan atau transpires (T) melalui tumbuhan
4. Sebagian proses infiltrasi akan menyebabkan penurunan kandungan kelembaban dalam tanah
5. Sisa infltrasi setelah proses E, T dan S sudah mencukupi, bergerak kebawah membentuk suatu percolate (PERC) dan pada akhirnya akan membentuk lindi yang akan ditemui di dasar TPA.
Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi lindi:
1. Tipe material sampah yang dibuang ke TPA
2. Kondisi TPA meliputi pH, temperature, kelembaban, usia TPA dan iklim
3. Karakteristik presipitasi yang memasuki TPA Permasalahan pada lindi di TPA adalah timbunan bau, bau ini berasal dari bahan-bahan volatile , gas terlarut dan hasil pembusukan bahan-bahan organik. Gas terlarut yang membuat lindi menjadi bau yaitu gas H 2 S dan gas nitrogen yang sudah bersenyawa menjadi amoniak. Berdasarkan kondisi diatas, maka perlu adanya analisis mengenai instalasi pengolahan lindi yang ada, apakah dengan semakin bertambahnya timbunan sampah setiap akan mempengaruhi kinerja 3. Karakteristik presipitasi yang memasuki TPA Permasalahan pada lindi di TPA adalah timbunan bau, bau ini berasal dari bahan-bahan volatile , gas terlarut dan hasil pembusukan bahan-bahan organik. Gas terlarut yang membuat lindi menjadi bau yaitu gas H 2 S dan gas nitrogen yang sudah bersenyawa menjadi amoniak. Berdasarkan kondisi diatas, maka perlu adanya analisis mengenai instalasi pengolahan lindi yang ada, apakah dengan semakin bertambahnya timbunan sampah setiap akan mempengaruhi kinerja
Tujuan perencanaan instalasi pengolahan lindi antara lain:
1. Mengidentifikasi besarnya debit air lindi yang dihasilkan dari TPA
2. Mengidentifikasi kualitas air lindi TPA
3. Mengevaluasi kondisi instalasi pengolah lindi eksisting
4. Menganalisis dan merencanakan alternatif pengolahan air lindi serta mendesain instalasi pengolahan air lindi (Qasim, 1994).
Menurut Purwanta (2007), pengelolaan lindi merupakan bagian dari pengelolaan TPA secara keseluruhan. Pada dasarnya keberhasilan penanganan lindi dimulai sejak suatu lahan dipilih dan terus menerus sampai lahan itu ditutup karena penuh. Oleh karenanya usaha penaganan masalah lindi dapat dikelompokkan dalam beberapa tahap, yaitu :
Tahap pemilihan lokasi. Tahap perancangan dan penyiapan site. Tahap lama masa pengoperasian. Tahap lama jangka waktu tertentu setelah TPA tidak digunakan lagi.
Langkah awal dalam pengelolaan lindi adalah memperhatikan sistem lapisan bawah TPA ( liners system ). Tujuan dari sistem liners ini adalah untuk mencegah dan meminimalisasi penyerapan lindi ke lapisan tanah dibawahnya sehingga mencegah kontaminasi ke air tanah.
Secara umum, lindi terbentuk maka opsi pengelolaannya adalah : - Daur ulang - Penguapan - Diolah dan dibuang - Dibuang ke sistem air buangan kota
2.4.4 Baku Mutu
Setiap polutan yang masuk ke dalam bagian tanah memiliki nilai Ambang Batas zat pencemar yang dapat di tolerir oleh alam, menurut Barchia ( 2009 ), Kadar logam berat sebagai pencemar dalam tanah dan tanaman, yaitu :
Kisaran Kadar Logam Berat (ppm) Unsur
Tanaman As
Tabel 1. Kadar Logam Berat sebagai Pencemar
2.4.5 Kandungan Pb, pH, Zn, Cu, Fe
Penambahan unsur logam pada tanah dapat terjadi dengan bermaacam cara yaitu melalui polusi, penggunaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan fungisida, sehingga menyebabkan kontaminasi logam – logam pada tanah dan tanaman (Lahuddin, 2007).
2.4.5.1 Pb
Timbal dengan nama kimia plumbum yang dilambangkan dengan Pb, dalam kehidupan sehari - hari unsur ini dikenal dengan nama timah hitam. Pada tabel unsur periodik logam ini termasuk dalam golongan IV-A , dengan nomor atom 82 dan memiliki berat atom 207,2 (Palar, 2004).
Timbal (Pb) adalah merupakan logam yang bersifat toksik bagi manusia, biasa berasal dari makanan, sistem pernafasan, debu yang tercemar Pb, kontak lewat kulit, kontak lewat mata dan parenatal. Jika senyawa timbal (Pb) Timbal (Pb) adalah merupakan logam yang bersifat toksik bagi manusia, biasa berasal dari makanan, sistem pernafasan, debu yang tercemar Pb, kontak lewat kulit, kontak lewat mata dan parenatal. Jika senyawa timbal (Pb)
2.4.5.2 Zn
Seng (Zn) adalah unsur hara mikro esensial bagi manusia, hewan dan tanaman tingkat tinggi. Daerah litosfer memiliki kandungan Zn sekitar 80 mg/kg. Berbagai mineral sebagai sumber utama yang memiliki komposisi Zn dalam tanah adalah sphalerite dan wurtzite (ZnS) dan sumber yang sangat kecil dari mineral mineral smithsonites dsb. Pada batuan magmatik, Zn tersebar merata dan kandungannya berbeda pada batuan asam dan basik yaitu dari 40 mg/kg dalam batuan granit dan 100 mg/kg dalam batuan basaltik (Lahuddin, 2007).
Dampak dari pencemaran Zn pada tanah sangat jelas terlihat pada tumbuhan, tanaman membutuhkan unsur Zn hanya dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan unsur hara makro. Efek toksik Zn pada tanah menyebabkan berkurangnya pertumbuhan akar tanaman dan pelebaran daun dengan indikasi klorosis atau bercak – bercak. Kadar Zn yang tinggi mengurangi serapan unsur P dan Fe pada tanaman (Lahuddin, 2007). Kisaran kadar unsur Zn dalam tanah yaitu berkisar pada 10 – 300 ppm ( Barchia,2009).
2.4.5.3 pH
pH larutan berpengaruh terhadap keterlarutan unsur logam berat. Kenaikan pH menyebabkan logam berat mengendap. Sebagian dari kapasitas pertukaran kation berasal dari muatan tetap dan sebagian lagi dari muatan terubahkan. Logam berat yang terserap akan lebih banyak atau lebih kuat sehingga mobilitasnya turun (Ernawan, 2010).
pH tanah, yang sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kadar dari lapisan lempung yang terdapat dalam tanah. Apabila lapisan lempung ini dalam jumlah yang sangat besar, maka proses peresapan menjadi rendah atau tidak dapat terserap sama sekali. Hal ini disebabkan oleh partikel tanah lempung sangat halus dan tersusun sangat rapat sehingga sulit untuk melewati dari bagian tanah tersebut (Palar, 2008). Kisaran kadar pH dalam tanah yaitu berkisar pada 5 – 8 ( Henry, 1996 ).
2.4.5.4 Cu
Tembaga dengan nama kimia cupprum disimbolkan dengan Cu. Unsur logam ini mempunyai bentuk seperti kristal dengan warna kemerahan. Pada tabel periodik unsur – unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan memiliki bobot molekul atau berat atom 63,546 (Palar, 2004).
Tembaga (Cu) adalah unsur yang berasal dari hasil pelapukan/pelarutan berbagai mineral yang terkandung didalam batuan, ada 10 jenis batu batuan dan
19 mineral utama yang mengandung Cu. Kandungan Cu dalam batuan berkisar 2 – 200 ppm, juga terdapat dalam mineral mineral lainnya berkisar 23 – 100%.
Kadar Cu dalam tanah dapat bertambah melalui polusi yg terjadi akibat kegiatan industri tembaga, pembakaran batubara, pembakaran kayu, minyak bumi dan buangan di area pemukiman/perkotaan (Lahuddin, 2007).
Kelebihan kadar Cu dalam tanah yang melebihi nilai toleransi akan menjadi penyebab terjadinya keracunan khususnya pada tanaman. (Alloway, 1995). Kisaran kadar unsur Cu dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 100 ppm ( Barchia,2009).
2.4.5.5 Fe
Besi dengan simbol Fe. Pada tabel periodik unsur – unsur kimia, besi menempati posisi dengan nomor atom (NA) 26 dan memiliki bobot molekul atau berat atom 55,845.
Mineral yang biasa terdapat dalam air dalam jumlah besar yaitu kandungan Fe. Apabila kandungan Fe berada dalam jumlah banyak akan muncul bermacam gangguan lingkungan. Dampak kelebihan unsur Fe dalam jumlah besar yang terakumulasi dalam tubuh manusia akan bersifat toksik. Kerusakan- kerusakan jaringan akibat unsur Fe disebut hemokromatosis. Jaringan tubuh yang terpapar akibat Fe seperti alat pencernaan dan saluran peredaran darah (Widowati
dkk, 2008). Kisaran kadar unsur Fe dalam tanah yaitu berkisar pada 50 – 1200 ppm ( Henry, 1996 ).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep yang akan menjadi penunjuk dalam penelitian ini dapat
dilihat dari diagram alir berikut:
Studi literatur
Observasi Lapangan
Pengambilan sampel dan wawancara
Uji Laboratorium
Baku Mutu Parameter Melebihi
Standar
Cara pengendalian sumber pencemar
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian survei lapangan untuk mengetahui tingkat pencemaran tanah di TPA Gunung Kupang.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di TPA yang terletak di daerah Gunung Kupang, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu: Penelitian pertama : Rabu, 19 Oktober 2015 Penelitian kedua
: Rabu, 2 November 2015
3.3 Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang dilakukan yaitu pada kebocoran air lindi di landfill yang masih aktif digunakan serta proses pengolahan air lindinya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan kelengkapan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian maka yang dijadiakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Teknik Wawancara Wawancara dilakukan sebelum observasi berlangsung. Narasumber yang memberikan data pada saat itu adalah petugas di TPA tersebut.
2. Teknik Observasi Teknik observasi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran tanah dan proses pengolahan lindi di TPA.
3.5 Pengambilan Sampel
3.5.1 Alat
Alat yang digunakan pada pengambilan sampel yaitu:
1. Cetok
2. Wadah penyimpanan sampel
3. Sarung tangan
4. Masker
3.5.2 Prosedur Pengambilan Sampel
Langkah-langkah pengambilan sampel tanah, yaitu:
1. Menentukan titik lokasi pengambilan sampel.
2. Mengambil sampel tanah seberat minimal 1 kg.
3. Memasukkan sampel ke dalam plastik hitam yang telah disediakan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil
Pengambilan sampel dilakukan di TPA Gunung Kupang pada Tanggal 19 Oktober 2015 Pukul 12.00 WITA. Sampel tanah yang diambil berasal dari sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran.
Hasil Uji
Parameter Uji
Satuan
Metode Uji
pH Meter Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi
4.2.Pembahasan
4.2.1. Tingkat Pencemaran Tanah
4.2.1.1. Kadar Timbal (Pb)
Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar Pb di dapat dengan kadar 73,0746 ppm dengan metode pemeriksaan AAS ( Atomic Absorption Spectroscopy ). Menurut Barchia (2009), kisaran kadar unsur Pb dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 200 ppm sehingga kadar Pb di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang masih memenuhi standar.
4.2.1.2. Kadar Besi (Fe)
Hasil pemeriksaan laboratorium kadar Fe pada sampel tanah di dapat 13554, 0806 ppm, sampel di uji dengan metode pemeriksaan AAS. ( Atomic Absorption Spectroscopy ). Menurut Henry (1996), kadar unsur Fe dalam tanah yaitu berkisar pada 50 – 1200 ppm, sehingga kadar Fe di wilayah sekitaran cell penimbunan Hasil pemeriksaan laboratorium kadar Fe pada sampel tanah di dapat 13554, 0806 ppm, sampel di uji dengan metode pemeriksaan AAS. ( Atomic Absorption Spectroscopy ). Menurut Henry (1996), kadar unsur Fe dalam tanah yaitu berkisar pada 50 – 1200 ppm, sehingga kadar Fe di wilayah sekitaran cell penimbunan
4.2.1.3. Kadar Tembaga (Cu)
Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar Cu di dapat dengan kadar 9990,5259 ppm dengan metode pemeriksaan AAS ( Atomic Absorption Spectroscopy ). Menurut Barchia (2009), kisaran kadar unsur Pb dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 200 ppm, sehingga kadar Cu di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.
4.2.1.4. Kadar Seng (Zn)
Hasil pemeriksaan laboratorium kadar Zn pada sampel tanah di dapat 358,3171 ppm, sampel di uji dengan metode pemeriksaan AAS. ( Atomic Absorption Spectroscopy ). Menurut Barchia (2009), kisaran kadar unsur Zn dalam tanah yaitu berkisar pada 10 – 300 ppm, sehingga kadar Zn di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.
4.2.1.5. Kadar pH
Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar pH di dapat dengan kadar 8,49 dengan metode pemeriksaan pH meter. Menurut Henry (1996) Kisaran kadar pH dalam tanah yaitu berkisar pada 5 – 8, sehingga kadar pH di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.
4.2.2. Pengolahan Lindi 4.2.2.1.Kondisi Eksisting Pengelolaan Air Lindi Pada Timbunan Sampah di TPA
Unit pengolahan yang diterapkan dalam satu unit terdiri dari 3 kompartement dengan rincian peralatan, yaitu:
1. Kolam koagulasi-flokulasi. Koagulasi atau flokulasi adalah proses pengumpulan partikel-partikel halus yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi menjadi partikel yang lebih besar sehingga dapat diendapkan dengan penambahan koagulan. Partikel-partikel tersebut kemudian dihilangkan 1. Kolam koagulasi-flokulasi. Koagulasi atau flokulasi adalah proses pengumpulan partikel-partikel halus yang tidak dapat diendapkan secara gravitasi menjadi partikel yang lebih besar sehingga dapat diendapkan dengan penambahan koagulan. Partikel-partikel tersebut kemudian dihilangkan
Proses koagulasi atau flokulasi adalah penambahan koagulan yang akan mengakibatkan pertikel-partikel yang tidak dapat mengendap saling mendekat dan membentuk flok-flok mikro (ukurannya lebih besar dari koloid asalnya). Ikatan partikel-partikel ini sangat lemah dan tidak nampak dengan mata biasa serta tetap tidak dapat mengendap. Pengadukan pelan-pelan akan menyebabkan flok-flok mikro mengumpul dan membentuk flok yang lebih besar dan relatif lebih berat yang akhirnya dapat dengan mudah diendapkan atau disaring. Pembentukan flok mikro pada proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,antara lain faktor fisika dan faktor kimia.
Pada pengelolaan di TPA gunung kupang tidak ada pembubuhan koagulan yang dilakukan sebelum masuk proses flokulasi.
2. Filtrasi (saringan sederhana pasir), filtrasi adalah proses pemisahan partikel padat dari campuran fluida (mis: fasa cair dengan driving force perbedaan tekanan sehingga mendorong fasa cair melalui lubang kecil dari suatu screen atau clots. Proses penyaringan air melalui media pasir atau bahan sejenis untuk memisahkan partikel flok atau gumpalan yang tidak dapat mengendap, agar diperoleh air yang jernih. Penyaringan adalah pengurangan lumpur tercampur dan partikel koloid dari air limbah dengan melewatkan pada media yang porous.
3. Kolam Aerasi, Aerasi merupakan proses penjernihan dengan cara mengisikan oksigen ke dalam air. Dengan diisikannya oksigen ke dalam air maka zat-zat seperti karbon dioksida serta hydrogen sulfide dan metana yang mempengaruhi rasa dan bau dari air dapat dikurangi atau dihilangkan. Selain itu partikel mineral yang terlarut dalam air seperti besi dan mangan akan 3. Kolam Aerasi, Aerasi merupakan proses penjernihan dengan cara mengisikan oksigen ke dalam air. Dengan diisikannya oksigen ke dalam air maka zat-zat seperti karbon dioksida serta hydrogen sulfide dan metana yang mempengaruhi rasa dan bau dari air dapat dikurangi atau dihilangkan. Selain itu partikel mineral yang terlarut dalam air seperti besi dan mangan akan
4. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen)
5. Kolam Reservoir Akhir, Reservoir digunakan pada sistem distribusi untuk meratakan aliran, untuk mengatur tekanan dan untuk keadaan darurat.
6. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen)
Unit pengelolaan air lindi terdiri dari beberapa komponen alat, terdiri dari kolam yang terdiri dari 3 kompartemen, alat filtrasi dan pompa aerasi.
a. Kolam yang terbuat dari bahan semen dan memanfaatkan gravitasi dalam pengalirannya.
b. Alat filtrasi, terdiri dari saringan yang dibentuk dari pipa-pipa yang didalamnya terdiri dari media penyaringan pasir dan ijuk.
c. Pompa aerasi, digunakan untuk mensuplai oksigen kedalam air lindi untuk mentreatment BOD dan COD yang berlebihan dalam air lindi tersebut.
4.2.2.2.Permasalahan Pengelolaan Air Lindi Sampah
Dalam pengelolaan air lindi yang dilakukan di TPA Gunung Kupang, permasalahan terdapat pada konstruksi bangunan dari operasional bangunan pengolahan air lindi. Untuk uraian permasalahan akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pengumpulan air lindi hasil infiltrasi air hujan yang melalui cell penimbunan sampah. Masalah ini didapatkan pada saat observasi keadaan sekitar TPA. Untuk parameter kebocoran cell digunakan parameter sungai sekitar dengan hasil didapatkan timbunan (rembesan) air lindi yang mengalir menuju sungai.
2. Drainase pengumpulan air lindi permukaan tanah. permasalahan yang terjadi pada sistem drainase ini adalah tidak berjalannya aliran air akibat saluran yang tersumbat.
3. Treatment pengolahan air lindi. Masalah yang ada adalah sistem yang diterapkan masih belum memadai untuk menanggulangi permasalahan air lindi dan juga tidak berjalannya sistem pengolahan dilihat dari air lindi yang diolah dan dikeluarkan dari unti IPAL (instalasi pengolahan air lindi) TPA (output, input).
4.2.2.3.Pengelolaan Air Lindi Sampah
Pembahasan permasalahan pengelolaan air lindi akan dibahas sesuai masalah-masalah yang timbul hasil observasi lapangan:
1. Pengumpulan air lindi hasil infiltrasi air hujan yang melalui cell penimbunan sampah.
Masalah ini didapatkan pada saat obeservasi keadaan sekitar TPA. Untuk parameter kebocoran cell digunakan parameter tanah dengan hasil didapatkan rembesan air lindi yang menggenang di tanah sekitar timbunan ( cell ). Dugaan utama pada masalah ini adalah tidak adanya lapisan pelindung kedap air guna menahan infiltrasi air lindi melewati cell timbunan sampah yang dihasilkan. Lapisan pelindung berupa lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran lindi terhadap tanah maupun air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasar geomembrane/geotextile maupun lapisan tanah
lempung dengan kepadatan dan permeabilitas yang memadai (< 10 -6 cm/det). Lapisan tanah lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal
30cm. Adanya lapisan pelindung ini merupakan solusi yang baik untuk menanggulagi masalah ini.
Lapisan landfill liner merupakan lapisan perlindungan pertama sebelum masuk kedalam cell . Pemasangan landfill liner dilakukan ketika cell belum diaktifkan (sampah belum masuk) menggunakan beberapa lapis liner dan juga lindi collection dengan menggunakan kerikil. Sistem pelapis dasar ganda dapat berupa dua buah sistem liner tunggal, dua buah sistem liner campuran atau sebuah sistem pelapis dasar tunggal dan sebuah sistem pelapis dasar campuran. Lapisan teratas berfungsi untuk mengumpulkan lindi dan lapisan dibawahnya (lapisan kedua) berfungsi untuk mendeteksi kebocoran sistem liner tersebut dan menyokong fungsi lapisan diatasnya. Sistem pelapis dasar ganda digunakan pada landfill untuk kota dan sampah B3.
Komponen sistem pelapis dasar yang sering digunakan adalah: Tanah liat; digunakan untuk melindungi air tanah dari kontaminan yang dihasilkan landfill. Sebagai liner ketebalan tanah liat yang digunakan berkisar
0,5-1,5 m. penggunaan tanah liat yang dipadatkan dengan kelembaban yang tinggi lebih efektif daripada tanah liat yang didapatkan dengan kelembaban yang rendah memiliki resiko yang lebih besar untuk retak dan pecah sehingga memperbesar jumlah lindi yang meresap ke air tanah.
Geomembran; dikenal dengan flexible membrane liner (FML). Jenis liner ini dibuat dari bermacam-macam material plastik termasuk polyvinyl chloride
(PVC) dan high density polyethylene (HDPE). Jenis liner ini tahan terhadap sejumlah besar bahan kimia dan kedap air (impermeable). Di Ohio, HDPE geomembran harus memiliki ketebalan minimal 15 mm untuk landfill sampah kota. Geomembran dan geokomposit digunakan sebagai lapisan penghalang untuk mencegah masuknya lindi ke dalam air tanah. Salah satu jenis geomembran yang banyak digunakan adalah Carbofol . Carbofol merupakan jenis geomembran yang terbuat dari HDPE dan diproduksi dengan beragam ketebalan lapisan, yaitu 1,5 mm – 3 mm. Carbofol biasanya digunakan sebagai pelapis dasar untuk melindungi air tanah dari kontaminasi pencemar. Untuk melindungi air tanah biasanya digunakan Carbofol dengan ketebalan 1,5 mm bahkan lebih tipis lagi. Carbofol ini tahan lama dan tahan terhadap zat-zat kimia serta radiasi sinar- UV. Jenis Carbofol dengan permukaan seperti kaca memiliki kelebihan karena dapat memperlihatkan kebocoran yang terjadi sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan segea. Selain itu Carbofol juga mudah, cepat, dan efisien dalam pemasangan.
Geotekstil; digunakan sebagai filter untuk mencegah masuknya material- material tanah ke dalam sistem drainase, dan juga untuk mengatur aliran dalam sistem drainase. Selain itu untuk melindungi geomembran dari kerusakan dan mencegah terjadinya penyumbatan pada sistem pengumpul lindi.
Geosynthetic Clay Liner (GCL); sudah mulai banyak digunakan sebagai sistem pelapis dasar. Liner ini terdiri atas lapisan tanah liat yang tipis (4-6 Geosynthetic Clay Liner (GCL); sudah mulai banyak digunakan sebagai sistem pelapis dasar. Liner ini terdiri atas lapisan tanah liat yang tipis (4-6
tanah liat. Memiliki angka permeabilitas yang sangat kecil yaitu 2 x 10 -11 , memiliki ketebalan 7 mm dengan ukuran bentangan tiap lembarnya 4,85 m x
40 m. Bentofix dapat dibentangkan 8% dari ukuran bentangannya dengan kekuatan regangan maksimal 20kN/m. Bentofix efektif sebagai penahan/penghalang terhadap cairan, uap, dan gas. Bentofix juga dapat digunakan sebagai lapisan pelindung pada tanah dan air tanah dari kontaminasi limbah.
Geonet merupakan liner yang berupa jaring plastik seperti selimut drainase yang digunakan sebagai sarana drainase dan lapisan pengumpul lindi. Geonet
membawa cairan lebih cepat daripada tanah dan kerikil. Salah satu jenis geonet adalah Secudrain . Secudrain terbuat dari Polypropylene terdiri atas 2-
3 lapisan dan merupakan filter tiga dimensi yang stabil dan merupakan sistem drainase yang tahan terhadap tekanan tinggi. Secudrain terdiri dari monofilament kasar yang bergelombang dan lapisan nonwoven yang saling terkait dengan ikatan yang sangat kuat pada salah satu sisinya. Secudrain
memiliki angka permeabilitas yang tinggi, yaitu 1 x 10 -1 , dengan ketebalan 2,5 mm dan ukuran bukan pori-porinya 0,12 mm. Ukuran bentangan
Secudrain tiap lembarnya adalah 1,9/3,8m x 35. Sistem pelapis dasar yang dianjurkan adalah dengan geosintetis atau
Flexible Membran Liner (FML), geosintetis yang sering digunakan adalah: Geotekstil digunakan sebagai filter untuk mencegah masuknya material-
material tanah ke dalam sistem drainase, dan juga untuk mengatur aliran dalam sistem drainase.
Geonet digunakan sebagai sarana drainase. Geomembran dan geokomposit digunakan sebagai lapisan penghalang untuk
mencegah masuknya leachate ke dalam air tanah, untuk bahan geomembran dipilih yang memiliki permeabilitas yang rendah.
Tanah liner yang dipilih mempunyai kemampuan adsorpsi, biodegradasi, penukaran ion, pengenceran dan pengendapan. Contoh liner tersebut adalah:
Natrium bentronit dan zeolit; bahan yang dapat mengurangi transport cemaran anorganik.
Abu terbang berkarbon tinggi; bahan yang dapat menahan cemaran organik. Tanah liat dengan modifikasi kandungan organik; lebih efektif untuk
menahan cemaran organik dengan berat molekul lebih tinggi. Selain lapisan pelindung, untuk mengalirkan air lindi digunakan pipa-pipa
yang disusun diatas lapisan pelindung dengan konstruksi memanfaatkan sifat air yang mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang rendah sebelum cell penimbunan sampah diaktifkan. Pipa jaringan pengumpul lindi didasar TPA berfungsi untuk mengalirkan lindi yang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampungan lindi. Jaringan pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC berlubang yang dilindungi oleh gravel. Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhan seperti luas TPA, tinggi timbunan, debit lindi dan lain-lain.
Selain pemasangan landfill liner dan lindi collection , setelah beroperasi dan kapasitas cell sudah maksimal perlu adanya lapisan pelapis atas atau penutup cell . Lapisan penutup ini biasanya disebut dengan nama caping system . Caping sytem sendiri merupakan sistem penutup cell yang terdiri dari beberapa lapisan yang bertujuan menahan infiltrasi air kedalam cell sehingga meminimalisir terjadinya atau terbentunya air lindi dalam cell .