MODAL SOSIAL DAN PROSES PEMULIHAN PASCA

Habis Bencana Terbitlah Terang:
Modal Sosial dan Proses Pemulihan Tsunami Aceh 2004
Menggunakan Data Outer Space1
Oleh:
Fajri Muharja.2
Teguh Dartanto3
Abstrak

Tsunami Aceh 2004 telah menewaskan banyak korban dan merusak sebagian besar infrastruktur ekonomi
dan sosial masyarakat. Hal ini jelas berdampak terhadap produktifitas dan efisiensi pertumbuhan ekonomi
jangka pendek dan jangka panjang wilayah tersebut. Keterbatasan data pasca tsunami menjadikan
penilaian terhadap proses pemulihan bencana yang dilakukan menjadi terbatas. Besarnya bantuan
penanggulangan bencana mencapai USD 6,7 M dinilai oleh berbagai pihak sebagai keberhasilan
menjadikan Aceh lebih baik (UNDP, 2009). Namun disisi lain perlu dicermati bahwa seberapa besar
modal sosial dalam menentukan keberhasilan proses pemulihan bencana tersebut.
Penilaian Proses pemulihan pada dasarnya sulit dilakukan pasca bencana yang tergolong besar dan masif.
Hal ini terjadi karena keterbatasan data yang dimiliki oleh berbagai sumber yang bersifat konvensional.
Data yang bersifat konvensional setidaknya dapat menilai proses pemulihan bencana bersifat fisik. Namun
proses pemulihan dalam konteks aktifitas sosial dan ekonomi dapat menggunakan alternatif data lain yaitu
dari outer space. Henderson (2012), Olivia (2013), Raschky (2013), dan (Chen dan Nordhaus, 2011)
menyatakan bahwa penggunaan data outer space dapat dijadikan sebagai proksi dalam menilai aktifitas

ekonomi dan sosial di suatu wilayah. Di lain sisi, Aldrich (2011), Murphy (2007) dan Lindell dan Prater
(2003) menjelaskan bahwa faktor modal sosial merupakan kekuatan internal dalam menentukan
keberhasilan proses pemulihan bencana.
Dari 789 desa yang terdampak Tsunami Aceh 2004, penelitian ini baru mensimulasi 296 desa dengan
menggunakan metode mengkonversi data deteksi satelit The Defence Metereological Program (DMSP)
Operational Linescan System (OLS) sebagai alternatif penilaian terhadap proses pemulihan bencana
Tsunami Aceh 2004. Data tersebut dikonversi dari bentuk pixel ke dalam vektor dan di-overlay
menggunakan ID peta menurut masing-masing wilayah yang dianalisis dan dilakukan penyesuaian terhadap
data sosial dan ekonomi pada level desa (PODES) maupun data lainnya. Temuan sementara adalah
fenomena kondisi ground space seperti sosial ekonomi (Agriculture activities, Water Supply, Gotong
royong, Heterogenitas etnik, kepadatan penduduk) berpengaruh terhadap proses pemulihan bencana
Tsunami Aceh 2004 dimana terlihat terjadinya perubahan pencahayaan di malam hari (outer space data).
Keyword: Proses Pemulihan, Modal Sosial, Outer Space

1.

PENDAHULUAN

Tsunami Aceh 2004 merupakan jenis bencana alam yang tergolong besar, masif, berdampak terburuk
secara fisik, sosial dan ekonomi dalam dua dekade terakhir di Indonesia. Bencana tersebut jelas

berpengaruh besar terhadap laju pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Setidaknya perlu
1 Tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar Akademik Pembangunan Ekonomi Indonesia (SAPEI) 2014 Tanggal 2
Desember 2014 di Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih atas sumbang saran yang diberikan oleh teman-teman
di Weekly Meeting Frontiers Development Research Group di bawah bimbingan Bapak Teguh Dartanto, Ph.D.
Selanjutnya terima kasih juga atas masukan dan kritik dari rekan-rekan mahasiswa S3 PPIE FEUI/POCIN INSTITUTE
(Windiarso Putranto, Watheki, Davy Hendri, Indra dan Imanuddin Sahabat).
2 Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia/Dosen Program Studi Ilmu
Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Email: fajri.muharja11@ui.ac.id
3Kepala Kajian Kemiskinan dan Pembangunan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) dan Kepala
Program S1 Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Email: teguh@lpemfeui.org

1

dipahami bahwa kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan di suatu wilayah
merupakan satu upaya untuk meningkatkan standar kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya
membangun pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan terutama di daerah pasca bencana
memerlukan upaya dari pelaku ekonomi dalam meningkatkan produktifitas dan efisiensi. Salah satu
langkah penting bagi daerah pasca bencana adalah melakukan proses pemulihan secara tepat dan
benar.
Besarnya kepedulian dan partisipasi berbagai pihak dalam proses pemulihan pasca bencana ini

tercatat bahwa jumlah bantuan finansial yang disalurkan adalah sebesar USD 6,7 M, terdiri dari terdiri
dari 35,82% bersumber dari organisasi non pemerintah (NGO), 32,83% dari lembaga donor
internasional, dan 31,34% bersumber dari Pemerintah Republik Indonesia (BRR, 2009).
Tabel 1
Capaian 4 Tahun Rehabilitasi dan Rekonstruksi Tsunami Aceh 2004
No.
1
2
3
4

Kondisi Awal Tsunami
Penduduk kehilangan tempat tinggal (Jiwa)
Koban meninggal (Jiwa)
Korban hilang (jiwa)
Usaha Kecil Menengah yang lumpuh (UKM) (unit)

635.384
127.720
93.285

104.500

Kondisi 4 Tahun Pasca Tsunami

5
6
7.
8.
9
10
11
12
13
14
15
16

Rumah rusak dan hancur (unit)
Lahan pertanian hancur (ha)
Jumlah guru meninggal (orang)

Kapal nelayan hancur (unit)
Sarana ibadah hancur dan rusak (unit)
Jalan rusak (km)
Sekolah hancur/rusak (unit)
Sarana kesehatan hancur/rusak (unit)
Bangunan pemerintah hancur/rusak
Jembatan hancur/rusak (unit)
Pelabuhan rusak (unit)
Bandara/airstrip rusak (unit)

139.195
73.869
1.927
13.828
1.089
2.618
3.415
517
669
119

22
8

Tenaga kerja dilatih (orang)
UKM menerima bantuan (unit)
Rumah permanen dibangun
Lahan pertanian direhalibitasi
Guru dilatih (orang)
Kapal nelayan dibangun/dibagikan (unit)
Sarana ibadah dibangun/diperbaiki (unit)
Jalan dibangun/perbaiki (km)
Sekolah dibangun/perbaiki (unit)
Sarana kesehatan dibangun (unit)
Bangunan pemerintah dibangun (unit)
Jembatan dibangun kembali (unit)
Pelabuhan dibangun (unit)
Bandara/airstrip dibangun (unit)

155.182
195.726

140.304
69.979
39.663
7.109
3.781
3.696
1.759
1.115
995
363
23
13

Sumber: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR), 2009.
Tabel 1 menjelaskan bahwa bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak secara keseluruhan
berdampak terhadap proses pemulihan dan perubahan pembangunan secara fisik yang relatif lebih baik
dibandingkan dengan kondisi sebelum bencana. Di lain sisi, pencapaian kualitas proses pemulihan
pasca bencana tidak dapat diukur secara fisik saja. Untuk itu, sangat diperlukan penilaian proses
pemulihan pasca bencana dari aspek ekonomi dan sosial masyarakat dengan unit analisis menurut
wilayah (desa) yang secara langsung terkena dampak.

Masif dan besarnya kerusakan akibat kejadian bencana berakibat sulitnya melakukan penilaian
terhadap aktifitas ekonomi dan sosial di masing-masing wilayah (desa) yang terkena dampak tsunami
tersebut. Penilalain proses pemulihan pasca bencana berdasarkan wilayah (desa) memerlukan suatu
pendekatan alternatif, di samping memanfaatkan sumber informasi yang ada walaupun belum begitu
memadai. Salah satu alternatif metode pengukuran yang dapat digunakan adalah pemanfaatkan
teknologi informasi kegeografian. Metode pengukuran ini dapat dijadikan sebagai proksi penilaian
perubahan aktifitas ekonomi dalam proses pemulihan pasca bencana.
Proksi data untuk menilai aktifitas ekonomi dalam proses pemulihan bencana

adalah

menggunakan deteksi satelit “The Defence Metereological Program (DMSP) Operational Linescan
2

System (OLS)”. Data ini dipublikasi oleh National Oceanic Atmospheric Administraition (NOAA)
United State Department of Commerce. Pemanfaatan sistem informasi ini dapat dikatakan sebagai
terobosan baru yang bersifat transdicipliner dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebelumnya,
beberapa peneliti telah membuktikan bahwa penggunaan data proksi ini layak digunakan dalamenilai
perkembangan aktifitas ekonomi yang berbasis kewilayahan (Henderson (2012), Olivia (2013) dan
Raschky (2013), (Chen dan Nordhaus, 2011).

Proses pemulihan merupakan salah satu bagian utama dalam aktifitas penanggulangan
bencana di suatu wilayah. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan paradigma dalam
pengelolaan bencana. Kesepakatan berbagai negara di dunia dalam Hiyogo Framework of Action
(HFA) (2005) menyatakan bahwa pandangan terhadap penanggulangan bencana telah bergeser dari
penanggulangan bencana sebagai respon yang bersifat darurat (emergency response) menjadi sebuah
pengelolaan risiko (risk management). Implikasinya adalah perlindungan masyarakat terhadap
bencana merupakan hak azasi manusia yang pengelolaannya merupakan tugas harian dari pemerintah.
Di samping itu, perlu memberikan peluang partisipasi masyarakat/swasta baik secara lokal, nasional
maupun internasional dalam pengelolaan risiko bencana.
Kebijakan mitigasi bencana dan implementasi secara praktis di Indonesia telah banyak
dilakukan baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional. Pendekatan secara rekayasa sain dan
teknologi telah banyak dilakukan untuk implementasi secara praktis seperti dalam menentukan
dampak potensial terhadap bahaya bencana di masa datang. Di samping kemajuan rekayasa teknik
dalam pengelolaan resiko bencana juga dibutuhkan penanggulangan bencana dilihat dari aspek sosial
dan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, Aldrich (2011), Murphy (2007), Lindell &
Prater (2003) dan Bankoff (2001) menjelaskan bahwa faktor sosial turut memberikan kekuatan bagi
masyarakat dalam menentu keberhasilan proses pemuliahan bencana dan pengelolaan resiko terhadap
bencana. Beck (2006) menjelaskan bahwa pada dasarnya bencana merupakan bagian dari perubahan
sosial bagi masyarakat yang berakar dari kalkulasi secara ekonomi, sosial, sejarah dan politik dalam
membentuk prilaku dalam menghadapinya.

Tulisan ini membahas dua hal penting: 1) Bagaimana pemanfaatan informasi deteksi satelit
DMSP-OLS (data outer space) sebagai proksi dalam menilai proses pemulihan aktifitas ekonomi di
daerah bencana, dan 2) Bagaimana faktor modal sosial dalam mempengaruhi proses pemulihan
bencana. Kontribusi utama dari penelitian ini adalah: 1) Mengembangkan dan melakukan inovasi
memanfaatkan teknologi informasi kegeografian untuk kepentingan ilmu ekonomi dan sosial
(transdicipliner), dan 2) Menganalisis dampak faktor modal sosial masyarakat dalam mempengaruhi
proses pemulihan bencana. Ruang lingkup dari penelitian ini adalah melakukan penilaian terhadap
kapasitas modal sosial masyarakat di masing-masing desa terdampak Tsunami Aceh 2004 dalam
mempengaruhi proses pemulihan bencana.

3

2. TINJAUAN TEORITIS
Proses Pemulihan Bencana dan Data Outer Space
Proses pemulihan bencana (recovery process) merupakan bagian terpenting dari rangkaian
kegiatan penanggulangan bencana. Tahapan ini setidaknya dapat mengembalikan kondisi daerah
pasca bencana sama atau mendekati kondisi pra bencana dalam waktu yang relatif cepat. (Sullivan,
2003) dan Lindell et al, 2006). Bollin et al (1978) dan Yelvington (1997) menjelaskan bahwa aspek
utama yang perlu diperhatikan dalam proses pemulihan bencana yaitu pemulihan infrastruktur
ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Proses pemulihan bencana dapat dilakukan oleh individu rumah

tangga, pemerintah dan masyarakat luas. Quarantelli (1999) dan Mileti (1999) menjelaskan bahwa
secara sosial, proses pemulihan bencana merupakan proses yang saling bergantungan antara individu
dan institusi di tingkat komuitas masyarakat yang dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu
serta membutuhkan interaksi berbagai pihak dalam pengambilan keputusan pada proses pemulihan
bencana bersangkutan.
Mencermati keterbatasan informasi yang dibutuhkan untuk menilai proses pemulihan terutama
di daerah bencana yang tergolong besar dan masif membutuhkan berbagai alternatif solusi yang harus
dilakukan agar penilaian dapat dilakukan lebih efektif. Dalam dua dekade terkahir, penggunaan
informasi data outer space telah berkembang dan menjadi salah satu pilihan untuk memberikan solusi
terhadap kepentingan analisis di bidang sosial dan ekonomi (Henderson, 2012), Olivia (2013) dan
Raschky (2013) dan (Chen dan Nordhaus, 2011). Data outer space adalah data dengan pemanfaatan
informasi deteksi cahaya malam hari oleh satelit DMSP-OLS yang memiliki kemampuan pencitraan
pencahayaan dengan resolusi yang rendah. Sistem ini merupakan radiometer yang berosilasi
pemindaian dengan kemampuan pengamatan mencapai 1 km2 di permukaan bumi. Sistem ini
menghasilkan informasi dalam bentuk sel grid yang disebut dengan data pixel (picture element).
Lazimnya data yang dihasilkan adalah dalam bentuk raster dan data ini agar dapat digunakan maka
ditransformasi ke dalam data berbentuk vektor. Selanjutnya, dilakukan overlay menggunakan ID peta
digital agar dapat digabungkan penggunaannya dengan data sosial ekonomi lainnya.
Secara ekonometrika, data outer space dapat dibuktikan bahwa penggunaannya layak
dijadikan sebagai proksi aktifitas ekonomi dan sosial suatu wilayah. Henderson (2012)
mengilustrasikan bahwa pengukuran aktifitas ekonomi seperti pendapatan domestik bruto (GDP),
dapat diukur dan memiliki error:
(1)
Dimana

=

+

adalah pertumbuhan GDP sebenarnya di wilayah i.

adalah pertumbuhan GDP yang

diperoleh dari perhitungan pendapatan nasional/regional dan

adalah error term. Varian dari
4

pertumbuhan pendapatan sebenarnya adalah

dan varian dari

adalah

. Penggunaan cahaya

malam hari sebagai proksi ukuran kegiatan ekonomi jika terjadi peningkatan dapat dilihat dari terjadi
kenaikan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan masyarakat secara lansung meningkatan
penggunaan energi/cahaya bagi masyarakat terutama beraktifitas di malam hari, baik untuk kegiatan
konsumsi maupun untuk investasi. Hampir semua barang-barang konsumsi di masyarakat yang
digunakan pada malam hari membutuhkan energi/lampu. Dampaknya adalah terjadinya pertumbuhan
cahaya malam hari yang dijadikan sebagai proksi ukuran untuk pertumbuhan pendapatan yang
sebenarnya. Dengan demikian, hubungan pertumbuhan cahaya malam hari dan pertumbuhan ekonomi
dapat direpresentasikan sebagai:
(2)

=

Dimana

+
adalah pertumbuhan observasi cahaya malam hari dan

adalah rendom error

term. Langkah awal dalam menganalisis adalah mengestimasi persamaan (2) yang menghasilkan
koefisien estimasi . Dengan asumsi bahwa data GDP yang ada di suatu wilayah diasumsikan kurang
baik dalam pengukuran, hal tersebut cenderung dan banyak terjadi di negara-negara sedang
berkembang. Untuk itu dibutuhkan koreksi kesalahan untuk

dari estimasi sebelumnya yaitu

hubungan antara pertumbuhan cahaya malam hari dan pertumbuhan GDP yang diukur. Setidaknya
metode ini merupakan sebuah koreksi terhadap berbagai informasi ekonomi yang di publikasi yang
dianggap terhadap kesalahan pengukuran (measuremen error) terutama data ekonomi di negaranegara sedang berkembang (Browning dan Crosley, 2009). Koefisien koreksi dapat dihitung dengan:
(3)

=

Dimana

adalah koefisien estimasi pada persamaan (2). Untuk tujuan melakukan prediksi

pertumbuhan ekonomi dapat menggunakan pertumbuhan cahaya malam hari di suatu wilayah. Dengan
membalikan persamaan (2) diperoleh proksi pertumbuhan pendapatan dari berdasarkan pertumbuhan
cahaya ( ) sebagai berikut:
(4)

=

Dimana

adalah koefisein koreksi pada persamaan (3)

Modal Sosial dan Proses Pemulihan Pasca Bencana
Dewasa ini pembahasan modal sosial sudah berkembang dan direlasikan dengan pencapaian
pembangunan ekonomi. Namun perlu dipahami bahwa terdapat perbedaan definisi yang mendasar
dalam memahami modal sosial dalam pembangunan ekonomi. Dua hal mendasar tersebut adalah
pemahaman tentang transaksi ekonomi (economic transaction) dan transaksi sosial (social
transaction). Lin (2001) menjelaskan bahwa transaksi ekonomi adalah transaksi yang bersifat simetris
5

dalam periode waktu dengan kejadian yang dapat berulang yang disebabkan oleh adanya keuntungan
yang diperoleh. Sedangkan transaksi sosial adalah relasi transaksi yang diperantarai dengan adanya
pengakuan. Hal ini dapat membentuk reputasi dan dapat menghasilkan manfaat seperti hubungan
sosial.
Modal sosial sebetulnya merupakan basis bagi sumberdaya ekonomi (economic resource)
serta dapat dijadikan alternatif mengalokasikan sumberdaya secara lebih efisien apabila mekanisme
pasar mengalami distorsi atau kegagalan.

Kenyataannya, pasar (market) selalu sulit mengatasi

permasalahan eksternalitas, penyediaan barang publik, hak kepemilikan, bahkan monopoli (Caporaso
dan Levine, 1992). Modal sosial berperan sebagai alternatif yang lebih efisien. Seperti halnya dalam
penyediaan barang publik, pengelolaan barang dan jasa publik kepada individu pada dasarnya dapat
meningkatkan tanggung jawab (resposibility) dan keeratan komunitas (sense of community). Sehingga
efisiensi atas produksi barang publik bisa tercapai dalam meminimalisasi faktor free rider.
Kesimpulannya, modal sosial merupakan sarana bagi individu untuk bekerjasama secara sukarela
dalam mengelola barang publik/bersama (common goods) (Putnam, 1995) dan Champlin, 1999).
Hubungan modal sosial dan proses pemulihan bencana/ekonomi dapat dilacak dari sisi lain.
Kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah kegiatan kerjasama baik dalam pengertian kompetisi maupun
saling membantu antar pelaku dengan beragam motivasi yang mendorongnya (profit, status, harga diri,
pencitraan, preferensi dan lain-lain). Kerjasama membutukan kepercayaan (trust, dalam ekonomi
modern dapat digantikan dengan makanisme formal untuk mencegah terjadinya kecurangan, seperti
sistem kontrak). Namun, formalitas tidak akan pernah mampu secara sempurna menggantikan
kepercayaan, karena sistem kontrak hanya merupakan intrumen pendukung dan bukanlah aspek utama
dalam sebuah kerjasama. Modal sosial menyatakan bahwa kerjasama tergantung dari kepercayaan.
Masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi (high trust society) akan sanggup melakukan
kerjasama sampai ke level organisasi yang sangat besar seperti koorporasi internasional. Sebaliknya,
masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust societies) kerjasama yang dapat digalang
hanya pada level terbatas, seperti perusahaan yang berbasis keluarga. Jadi

modal sosial adalah

sumberdaya bermakna bahwa komunitas bukanlah suatu produk atau hasil (outcome) dari
pertumbuhan ekonomi, namun merupakan prakondisi dari percapainya pertumbuhan ekonomi
(Putnam, 1995) dan Chaplin, 1999).
Dalam standar ilmu ekonomi mekanisme efek modal sosial terhadap kinerja ekonomi dapat
diasumsikan menggunakan fungsi output perkapita seperti dalam persamaan (5) menjelaskan
eksistensi ekonomi pasar menfasilitasi pelakunya mendapatkan laba, upah, dan pengembalian modal,
sehingga memberikan insentif untuk berptoduksi. Jika pasar gagal, alternatif insentif mungkin
dilakukan adalah intervensi pemerintah atau pemberian sangsi seperti pengenaan pajak untuk
pembiayaan barang publik. Apabila pasar dan pemerintah menemui kegagalan maka langkah lain
yang dapat memberikan insentif adalah norma kerjasama (coorperative norm) dan sangsi sosial
6

(social sanctions) dalam masyarakat sipil (civil society). Masing-masing dari mekanisme tersenbut
dapat berkomplementer (Wallis, 2004).
(5)

=

Dimana:

adalah output ekonomi wilayah i,

manusia.

adalah total output,

adalah stok modal fisik,

adalah tenaga kerja, dan

adalah stok modal

adalah teknologi. Apabila ada dua

wilayah memiliki ekonomi pasar yang berfungsi, teknologi yang sama, stok modal fisik dan manusia
yang equivalen, sangat mungkin level produksi dari kedua wilayah tersebut berbeda karena perbedaan
efektifitas kelembagaan (institutional effectiveness) dan norma masyarakat (societal norm). Efek
produktifitas langsung dari modal sosial ditunjukan dalam persamaan (6) sebagai faktor skala
fungsi produksi. Putnam (1995) menyatakan bahwa

dari

dapat diwakili dengan jumlah keanggotaan

dalam organisasi sukarela sebagai hasil dari kepercayaan sosial (social trust) dan penilaian subjektif
atas efektifitas pemerintahan. Beberapa studi mengidentifikasi bahwa kohesi sosial dan efektifitas
pemerintahan secara langsung dapat menfasilitasi peningkatan produktifitas (Wallis, 2004).
(6)

=

Sebagai efek langsung terhadap produktifitas, modal sosial juga memiliki efek tidak langsung
melalui peningkatan akumulasi modal manusia seperti yang diilustrasikan dalam persamaan (7),
melalui investasi yang lebih besar dalam sistem pendidikan publik (masyarakat),

partisipasi

komunitas yang lebih intensif dalam manajemen sekolah, dan akses yang lebih baik terhadap kredit
informal bagi kaum miskin. Coleman (1988) juga menemukan bahwa modal sosial juga berhubungan
dengan tingkat putus sekolah (drop out) sekolah. Prichett (2000) mendefinisikan bahwa modal sosial
diasosiasikan dengan tingkat partisipasi orang tua dan kualitas sekolah pada level yang lebih tinggi.
Katz and Margo (2013) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat homogentitas yang lebih besar dari
pendapatan atau kesejahteraan, tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, stabilitas komunitas yang lebih
besar, etnik yang lebih banyak, dan homogenitas keyakinan (religious homogeneity) mempercepat
ekspansi sekolah lanjutan (high school). Implikasinya, homogenitas sosial dan stabilitas komunitas
dapat mempercepat akumulasi modal manusia di Amerika Serikat, karena mereka dibentuk dari level
modal sosial yang tinggi.
(7)

=

Modal sosial juga memfasilitasi akumulasi bersih (net accumulation) dari modal fisik, seperti yang
terlihat dalam persamaan (8). Tingkat investasi dan tabungan domestik selama ini diandaikan lebih
tinggi di bawah kondisi sosial politik dan kepastian keuangan (Alesina, et al., 1992) dan Guiso et al.
(2004) menjelaskan bahwa di Italia dengan level kepercayaan sosial yang lebih tinggi, rumah tangga
lebih banyak menginvestasikan modalnya dalam wujud saham daripada uang (cash), menggunakan
7

lebih banyak cek (checks), dan memiliki akses yang lebih baik terhadap kredit. Perusahaan di wilayah
dengan kepercayaan tinggi (high trust area) juga lebih banyak memegang saham (multiple
shareholders). Demikian juga dengan kualitas tata kelola (quality of governance) merupakan kunci
terpenting dari meningkatkan investasi asing (Rodrik, 2003). Hal ini dapat disimpulkan bahwa modal
sosial dapat menghasilkan akumulasi modal, kemahiran keterampilan, inovasi, transfer informasi dan
teknologi dan mengurangi biaya transaksi (Hall dan Jones, 1999). Di sisi lain, modal sosial juga
memfasilitasi pengelolaan kepemilikan bersama (common property) dan penyediaan barang publik,
peningkatan investasi, dan mengurangi biaya sosial kriminalitas, korupsi, dan bentuk-bentuk tindakan
tercela (non-cooperative) lainnya (Wallis, 2004).
=

(8)

Perbedaan pencapaian (outcome) pembangunan tidak dapat dijelaskan dari ketidaksamaan input
material saja. Dalam hal ini terdapat konsensus umum bahwa inisiatif pembangunan seharusnya
dengan memasukan peranan modal sosial, semacam ilmu pengetahuan, pemahaman, nilai-nilai,
norma, sifat, dan jaringan sosial untuk memperkuat hasil yang diinginkan. Setidaknyanya konsep
modal sosial paralel dengan konsep lain tentang tindakan (action), sehingga konsep modal sosial
merepresentasikan aset sebagai bentuk lain dari modal. Sedang seluruh bentuk dari modal selalu
penting bagi pembangunan. Meskipun dari masing-masing dari modal tersebut tidak mencukupi bila
hanya diambil dari salah satunya. Dalam kondisi yang sudah pasti, modal sosial dapat
dipertimbangkan sebagai sumberdaya yang dapat memperbaiki efektifitas akan input lainnya dalam
proses pembangunan. Jika kondisi ini tidak ada, modal sosial dapat menjadi penghambat
pembangunan. Dalam hal ini, modal sosial dapat diputuskan sebagai akumulasi beragam tipe sosial,
psikologi, budaya, kelembagaan Uphoff (2000) dan (Dhesi, 2000). Seluruh argumen yang terbangun
tersebut dapat diartikan bahwa modal sosial merupakan pilar utama dalam pembangunan ekonomi.
3.

METODE

Model Empiris
Penelitian ini melakukan simulasi permodelan modal sosial dalam mempengaruhi proses pemulihan
bencana dengan unit analisis adalah pada tingkat desa yang terkena dampak bencana., sebagai berikut:
(9)
Dimana:

=

+

+

+

adalah perubahan pencahayaan malam hari (outer space) yang menjelaskan proses

pemulihan bencana,

adalah vektor sosial-ekonomi meliputi kepadatan penduduk, aktifitas sektor

pertanian, penyediaan sumber air minum masyarakat,

jarak desa dengan ibu kota kabupaten,

kecamatan dan kota-kota lainnya, kualitas jalan, dan status wilayah (perkotaan/pedesaan)dan
adalah vektor modal sosial meliputi berbagai aktifitas sosial masyarakat yaitu arisan, gotong royong,
kergaman etnik dalam masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat.
8

Data dan Sumber Data
Pengukuran terhadap proses pemulihan bencana dalam menilai aktifitas ekonomi menggunakan data
deteksi pencahayaan malam hari oleh DMSP-OLS yang dipublikasi oleh

(NOAA) United State

Department of Commerce. Penelitian ini menggunakan data yang bersifat stabil tahunan dari 20032012. Selanjutnya untuk kebutuhan variabel modal sosial, penelitian ini memanfaatkan sumber
informasi dari PODES tahun 2003-2011. Jumlah desa di Propinsi Aceh yang tercatat dalam PODES
2006 yang dijadikan sebagai basis penilaian pemulihan bencana adalah sebanyak 5.050 desa dan
jumlah desa yang terdampak tsunami 2004 adalah 856 desa. Setelah dilakukan merge data PODES
2003 – 2011, desa yang terdampak tsunami 2004 diperoleh menjadi 789 desa. Hal ini terjadi karena
adanya desa yang hilang, penggabungan atau pemekaran dan secara teknis juga disebabkan
ketidakcocokan dengan ID desa.
Data

PODES

yang

telah

digabungkan

dari

tahun

2003-2011

dilanjutkan

dengan

pemgambungannya menggunakan ID peta yang dipublikasi BPS. ID Peta tersebut yang
mengakomodasi (overlay) data satelit DMSP-OLS yang secara komputerisasi telah menerjemahkan
data cahaya dalam bentuk raster dirubah ke dalam data yang berbentuk nilai vektor. Hasil sementara
data yang dapat digunakan adalah sebanyak 463 observasi. Simulasi terhadap model peneltian ini
adalah menggunakan analisis regresi sederhana (OLS) untuk data cross sectional menurut masingmasing desa yang terkena dampak adalah sebanyak 287 observasi untuk tahun 2003, 296 untuk
observasi tahun 2006, 181 observasi untuk tahun 2008 dan 185 observasi untuk tahun 2011. Perbedaan
jumlah observasi menurut tahun tersebut di atas disebabkan tidak adanya data. Selanjutnya model
analisis dalam penelitian ini juga menggunakan model panel 2003-2011 dengan jumlah observasi yang
dapat dianalisis adalah sebanyak 583.
SIMULASI DAN HASIL ANALISIS
Pada daerah terkena dampak tsunami Aceh 2004 terlihat pola perubahan yang sama antara informasi
dari outer space dan perubahan dari jumlah penduduk dan infrastruktur pembangunan wilayah sebagai
berikut
Tabel 2: Perubahan Pencahayaan Malam Hari, Jumlah Penduduk dan Sarana Pembangunan di Daerah
Bencana Tsunami 2004
Average Digital Number (DN) of Night Ligths

PODES2003

3.511

PODES2006

2,471

PODES2008

5,934

PODES2011

7,829

Jumlah Penduduk (jiwa)

462,911

435,776

471,796

481,901

Jumlah Posyandu (unit)

434

321

401

563

Jumlah SD (Negeri dan Swasta) (Unit)
Jumlah Polindes (unit)

383
271

Asphalt road
0.969
Number of observations: Simulasi 463 desa terkena tsunami
Sumber: NOAA (2014) dan PODES (2003-2011)

272
160

0.538

340
184

0.592

343

123

0.729

9

Tabel 2 menjelaskan bahwa terjadi kecenderungan perubahan yang sama antara nilai rata-rata
pencahayaan malam hari (outer space) dengan data ground (PODES) yaitu jumlah penduduk dan
fasilitas fisik pembangunan seperti sarana pendidikan, kesehatan dan transportasi di masing-masing
wilayah daerah yang terkena dampak Tsunami Aceh 2004. Perubahan tersebut memberlihatkan
penurunan yang tajam pada tahun 2006, dimana hal tersebut disebabkan oleh terjadinya bencana.
Pasca tsunami setelah terjadinya proses pemulihan bencana terlihat perubahan perbaikan sarana dan
prasarana fisik untuk fasilitas pendidikan, kesehatan dan transportasi di masing-masing desa yang
terdampak bencana. Perubahan tersebut juga terlihat dari nilai cahaya yang dihasilkan yang terus
menaik pada tahun-tahun pasca tsunami.
Untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan bencana dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 3: Hasil Regresi Modal Sosial dan Proses Pemulihan Bencana
Ln-cahaya
Arisan

Gotong Royong
Heterogenitas Etnis
Lembaga Swadaya Masyarakat
Population Density
Distance to City Capital
Distance to Other Cities
Distance to District Capital
Agriculture Activities
Water Supply

2003
0,205
(0,075)
0,050
(0,765)
-0.213
(0,077)
-0.076
(0,692)
0,265
(0,000)
-0.185
(0,000)
-0.025
(0,605)
-0.096
(0,147)
-0.269
(0,090)

Jalan beraspal

2006

0,026
(0,546)
-0.269
(0,017)
-0.308
(0,082)
0,197
(0,000)
-0.283
(0,000)
-0.098
(0,097)
-0.145
(0,022)
-0.388
(0,000)
0,391
(0,001)

Wilayah Kota
Pasca Bencana
Cons
R-squared
F-statistic
Observations

1,721
(0,000)
0,368
17,95
287

2,390
(0,000)
0,468
24,82
296

2008

2011

Panel 03-11

0,080
(0,472)
-0.280
(0,026)
0.114
(0,419)
0,209
(0,000)
-0.144
(0,091)
-0.244
(0,009)
-0.196
(0,010)
-0.002
(0,983)
0,266
(0,024)
0,009
(0,929)
0,221
(0,311)

0,134
(0,411)
0,086
(0,384)
-0.180
(0,732)
0,175
(0,001)
-0.020
(0,766)
-0.111
(0,112)
-0.208
(0,001)
-0.091
(0,547)
0,007
(0,942)

0,062
(0,686)
0,082
(0,235)
-0.203
(0,069)
0,056
(0,082)
-0.353
(0,000)
-0.127
(0,012)
-0.184
(0,005)
-0.252
(0,000)
0,100
(0,202)

2,277
(0,001)
0,293
4,76
181

2,214
(0,000)
0,237
6,80
185

0,082
(0,015)
2,872
(0,000)
0,367
164,090
583

Sumber: Penulis, hasil estimasi
Tabel 3 menjelaskan pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan bencana di masingmasing desa yang terkena dampak Tsunami Aceh 2004. Penjelasan dalam tabel tersebut setidaknya
membagi kondisi kepada tiga kondisi yaitu situasi modal sosial memperngaruhi perubahan aktifitas
ekonomi sebelum bencana yang dijelaskan dengan data inisiasi pada tahun 2003. Pada masa sebelum
tsunami setidaknya variabel modal sosial (arisan dan gotong royong) mempengaruhi perubahan
ekonomi masyarakat menjadi lebih baik. Namun keberadaan lembaga swadaya masyarkat (LSM) dan
keragaman etnik dalam masyarakat hal ini tidak terlepas dari situasi sebelum tsunami dimana masing10

masing daerah di Aceh terpengaruh oleh memburuknya situasi politik dan keamanan antara
pemerintah pusat dan propinsi Aceh. Sehingga keberadaan LSM dan keberagaman etnik dalam
masyarakat tidak dapat memberikan dorongan terhadap perubahan ekonomi menjadi lenbih baik.
Selanjutnya pada masa tanggap darurat (emergency period) yang dijelaskan dengan hasil
regresi pada tahun 2006 menjelaskan bahwa aspek gotong royong adalah modal sosial yang
berkontribusi dalam proses pemulihan bencana di daerah terkena dampak tsunami di Aceh. Namun
keberadaan keberagaman etnik dan lembaga swadaya masyarakat belum memberikan pengaruh yang
baik terhadap proses pemulihan bencana di Aceh. Pada tahun 2006, juga menjelaskan kondisi pra
tsunami dan terkesan masyarakat masih trouma dengan kejadian bencana dan partisipasi lembaga
bantuan yang bersifat eksternal belum berjalan dengan optimal. Pada tahun 2008 yang dapat mewakili
kondisi proses rehalibitasi dan rekonstruksi pada masing-masing daerah bencana tsunami Aceh
memperlihatkan bahwa faktor gotong royong dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat
memberikan peran dalam menentukan proses pemulihan bencana. Setidaknya pada tahun 2008 dapat
dijelaskan bahwa bantuan penanggulangan bencana di Aceh yang dilakukan oleh berbagai pihak
eksternal telah berjalan.
Untuk melihat situasi daerah terdampak tsunami di Aceh pasca berakhirnya masa kerja
berbagai lembaga bantuan bencana yang bersifat eksternal memperlihatkan kondisi bahwa modal
sosial seperti gotong royong dan heterogenitas etnik memberikan pengaruh terhadap perubahan
aktifitas ekonomi masyarakat. Namun keberadaan lembaga swadaya masyaakat tidak terlihat
memeberikan kintribusi terhadap perbaikan aktifitas sosial ekonomi masyarakat yang pada intinya
mempengaruh proses pemulihan terhadap bencana. Terakhir dapat juga dijelaskan secara keseluruhan
bahwa di daerah yang terkena dampak tsunami Aceh 2004, sebelum dan sesudah bencana variabel
modal sosial yaitu gotong royong dan keberagaman etnik adalah faktor yang menentukan secara sosial
dalam perubahan aktifitas ekonomi masyarakat yang pada dasarnya merupakan faktor penilaian
terhadap proses pemulihan bencana.
Permasalahan tingkat signifikansi yang sangat rendah dari hasil temuan diatas sangat
dipengaruhi oleh masih sedikit data yang di eksplorasi. Dari 789 desa yang terdampak bencana di
Aceh, barus bisa dilakukan simulasi untuk melihat pengaruh modal sosial terhadap proses pemulihan
bencana antara 181-287 desa. Beberapa faktor yang menyebab tereliminasinya banyak desa yang
terdampak tsunami dalam analisis ini diperkirakan oleh faktor teknis dalam melakukan pengabungan
data melalui ID peta dan ID PODES yang yang berbeda dalam hal tahun acuanya. Disamping itu
masih sedikitnya data desa yang terekplorasi juga dipengaruh oleh banyaknya data ground (PODES)
yang kosong di masing-masing desa bersangkutan. Setidaknya analisis ini memperlihatkan arah bahwa
modal sosial memberikan peran penting dalam proses pemulihan bencana tsunami Aceh 2004.

11

Untuk melihat perbandingan perubahan pencahayaan kondisi sebelum bencana ke bencana
dan kondisi perubahan dari awal terjadinya bencana sampai 8 tahun pasca tsunami Aceh dapat dilihat
gambar sebagai berikut.
Gambar 1:
Perbandingan Perubahan Pencahayaan Sebelum dan
Sesudah Tsunami Aceh 2004

Sumber: Penulis Data diolah dari DMSP-OLS (NOAA, 2013)

Gambar 5 menperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup jelas antara
kondisi sebelum Tsunami Aceh 2004 (2003-2005) dimana terjadi penurunan yang tajam
dalam hal pencahayaan malam hari di masing-masing desa terkena dampak tsunami tersebut.
Selanjutnya kondisi berbeda memperlihatkan bahwa masing-masing mengalami kondisi
proses pemulihan pasca bencana dengan terlihat perubahan yang nyata dari tahun 2005-2012.
Hal ini dapat dipahami bahwa proses pemulihan bencana Tsunami Aceh dalam kurun
mendekati 10 tahun terakhir secara keseluruhan memperlihatkan kondisi yang makin
membaik.
4.

KESIMPULAN

Penggunaan data deteksi satelit DMSP-OLS merupakan suatu terobosan baru dalam
pemanfaatan teknologi informasi kegeografian untuk kebutuhan pengembangan metodologi
bidang ilmu sosial dan ekonomi terkini, yang dapat dibuktikan dan digunakan untuk menilai
proses pemulihan bencana Tsunami Aceh 2004 dalam kurun mendekati waktu 10 tahun
terakhir. Beberapa hal yang dapatdisimpulkan secara sementara dari penelitian ini adalah 1)
12

Penggunaan data satelit DMSP-OLS dapat dijadikan sebagai proksi penilaian proses proses
pemulihan bencana. 2) Faktor modal sosial seperti gotong royong adalah komponen sosial
dalam masyarakat yang telah ada dalam sejak sebelum bencana dan berpengaruh terhadap
perubahan aktifitas ekonomi di daerah bencana tersbut. 3) Peran lembaga Swadaya
Masyarakat di daerah terkena dampak bencana lebih berkontribusi positif pada masa
rehabilitasi dan rekonstruksi. 4) secara keseluruhan di daerah terdampak bencana keberadaan
keberagaman ektis juga memberikan pengaruh terhadap perbaikan ekonomi masyarakat.

KEPUSTAKAAN
Alesina et al. (1992). Political Instability and Economic Growth. NBER Working Paper Series 4173.
I050 Massachusets Avenue Cambridge. MA 02138
Badan Rehalibitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (2009). From Disaster to the Emergence light. United
Nation Development Program (UNDP).
Bankoff (2001). Rendering the World Unsafe: ‘Vulnerability’ as Western Discourse. Disaster 25(1) pp
19-35
Beck, U (2006). Living in the World Risk Society. Economy and Society 35(3) pp329-345
Bollin et al (1978). Model of Family Recovery Following Disaster: A Cross National Studies. In
Quarentally E. L. (ed). Disaster Theory and Research. Beverly Hill. CA. Sage. Pp. 233247.
Caporaso, James A, dan David P. Levine (1992). Theory of Political Economics. Cambridge
University Press.
Chaplin, Dell (1999). Social Capital and the Privatization of Public Good. International Journal of
Social Economics. Vol. 26. No. 10. 1302-1314.
Chen, X and Nordhaus W, W. (2011). Using Lunimosity data as proxy for Economic Statistics.
Proceeding at The National Academy of Science of The United State of America 108
(21): 8589-8594.
Colerman (1988). Social Capital in the Creation of Human Capital. American Journal of Sociology.
Vol. 95. Suplement 95-120.
Croft, T. A. (1979). The Brightness og Lights on Earth at Night, Digitally Recorded by DMSP
Satelite. Stanford Research Institute Final Report Prepared for The US Geological
Survey. Palo Alto CA.
Dhesi, Autar (2000). Social Capital and Community Development. Community Development Journal.
Vol 30. No. 3. July p. 199-124.
Guiso, Luigi (2004). The Role of Social Capital in Financial Development .The American Economic
Review, Vol. 94, No. 3 , pp. 526-556
Hall, Robert E and Charles I. Jones (1999). Why Do Some Countries Produce So Much More Output
Per Worker Than Others?. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 114, No. 1 (Feb.,
1999), pp. 83-116
Henderson, Vernon et al (2012). Measuring Economic Growth from Outerspace. American Economic
Review.
Jalan, Jyotsna dan Martin Ravallion. (2002). Geographic Poverty Trap? A Micro Model of
Consumption Growth in Rural China. Journal of Applied Econometrics 17 (4): 329-346.
13

Katz, Laurence F, and Margo (2013). Technical Change and Relative Demand for Skilled Labor: The
United State in Historical Perspective. Revision paper presented at the Human Capital an
History: The American Record Conference Cambridge MA.
Lindell , M. K and Prater. C. S (2003). Assesing the Community Impacts of Natural Disaster. Natural
Hazard Review Vo. 4. No. 4. Pp. 176-185.
Lindell et al. (2006) Fundamental of Emergency Management. Emmitsburg. MD Federal Emergency
Management.
Lin, Nam (2001). Social Capital: A Theory of Social Culture and Action. Cambridge University Press.
UK
Olivia, S (2013). Economic Rise and Decline in Indonesia – As Seem from Spac. The Agriculture and
Applied Economic Association.
Perry (2006). Natural Disaster Management Planning. A study of Logistic Managers Responding to
The Tsunami. International Journal of Physical Distribution and Logistic Management.
Vol. 37No. 5 pp. 403-433.#286.
Pritchett, Lant (2000). The tyranny of concepts - CUDIE (Cumulated, Depreciated nvestment Effort)
is NOT capital," Policy Research Working Paper Series 2341, The World Bank.
Putnam (1995). Social Capital: Measurement and Conseguences. Keneddy School of Governance.
Harvard University.
Quarantelli, E. (1999). The Disaster Recovery Process: What We Know and Do Not Know From
Research. University of Delawar Disaster Research Center. Preliminary Paper
Raschky, P (2013). Estimating the Effect of West Sumatra Public Assets Insurance Program on
Shortterm Recovery After the September 2009 Earthquake. ERIA Discussion Paper.
Rodrik (2003). The Primacy of Institution: What this does and does not mean. Finance and
Development. Vol 40 No. 2. June pp. 31-34
Sullivan, M (2003). Integrated Recovery Management: A New Way of Looking at a Delicate Process.
Aust J. Emerg Manage 18:4-27.
Uphoff, Norman (2000). Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of
Participation. In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin (eds.), Social Capital: A
Multifaceted Perspective, Washington, D.C.: World Bank.
Wallis (2004). Social Economic and Social Capital. International Journal of Social Economics. Vo. 31.
No. 3 pp. 239-258
Yelvington, K. A. (1997). Coping Strategy in a temporary Way: The Ten Cities in Peacock.. W.G
Morrow, B. H (ed). Hurricane Andrew. Etnicity, Gender and Sosciology of Disaster.
London,. Roudledge. Pp 92-115.

14