Telaah penafsiran al Qurtubi dan al Alusi atas lafad shalat al Wustha dalam Surat al Baqarah ayat 238.

(1)

TELA’AH PENAFSIRAN AL-QURTUBI> DAN AL-ALU>SI ATAS

LAFAD SHALAT WUSTHA> DALAM SURAT

AL-BAQARAH AYAT 238

SKRIPSI

Di susun untuk memenuhi tugas Akhir Guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh : SAMSUL HADI

(E03212037)

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Samsul Hadi, NIM; E03212037, 2017. (Tela’ah Penafsiran Al-Qurtubi> Dan Al-Alu>si Atas Lafadz} Shalat Al Wustha> Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 238), Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Penulis memilih tema ini, karena di rasa menarik dan sangat penting untuk di lakukan penelitian secara ilmiah, dalam lafad Shalat Al Wustha> yang di artikan sebagai Shalat pertengahan dengan tolak ukur yang multitafsir. untuk memecahkan perselisihan penanafsiran, penulis melakukan perbandingan penafsiran antara al-alusi> dan al-qurtubi serta pendekatan penafsirannya masing-masing, guna untuk menemukan substansi yang di maksud oleh Lafad Shalat al-Wustha> Dalam Surat Al-Baqarah Ayat 238. Dalam hal ini mempersoalkan tentang teori penafsiran al-Qurtu>bi> dan al-Alusi> dalam menafsirkan atas lafadz shalat al-wustha> serta keakurasian penerapan teori yang di di gunakan. Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang menitik beratkan pada literatur dengan cara menganalisis muatan isi dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian baik dari sumber data primer maupun skunder. Teori penafsiran yang di gunakan dengan cara membanding antar Mufassir. Hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa al-Qurtubi> menafsirkan sebagai Shalat ‘Ashar dengan menggunakan hadis sebagai fungsi, sedangkan al-Alusi> menafsirkan sebagai Shalat Z}huhur dengan menggunakan Asba>b al-Nuzul, di samping itu al-Alu>si> juga menafsirkan secara Isya>ri> dengan menyebutnya sebagai shalat Qalb, meskipun beliau menafsirkan secara Isya>ri> tidak terlepas dari kaidah Munasabah dalam al-Qur’an, bahwa dalam struktur kalimat dalam surat al-Baqarah ayat 238 terdapat dua kalimat yang mempunyai keterkaitan makna dalam satu ayat yaitu, lafad shalat al-wustha> dengan Qani>ti>n. Dalam teori yang di gunakan oleh kedua mufassir sama-sama akurat, karena kedua mufassir sama-sama mengunakan alasan yang dasarnya jelas.


(7)

xii

DAFTAR ISI

Sampul luar ... i

Sampul dalam ... ii

Peryataan keaslian ... iii

Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iv

Lembar pengesahan ... v

Motto ... vi

Persembahan ... vii

Abstrak ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi... xii

Pedoman Transliterasi ... xiv

BAB I : PENDAHULAN A. Latar belakang ... 1

B. Identifikasi masalah ... 6

C. Rumusan masalah ... 7

D. Tujuan penelitian ... 7

E. Kegunaan penelitian ... 7

F. Metode penelitian ... 8

G. Sistematika pembahasan ... 12

BAB II : KAIDAH ANALISIS TAFSIR A. Asba>b al-Nuzu>l ... 13

1. Pengertian Asba>b al-Nuzu>l ... 13

2. Urgensi mengatahui Asba>b al-Nuzu>l al-Quran ... 15

3. Faedah mengatahui Asba>b al-Nuzu>l ... 16

4. Cara mengatahui Asba>b al-Nuzu>l ... 17


(8)

xiii

B. Munasabah al-Qur’an ... 23

C. Fungsi hadis ... 26

1. Baya>n taqri>r ... 27

2. Baya>n Tafsir ... 27

3. Baya>n Tasyri>’ ... 29

4. Baya>n Nasakh ... 30

BAB III : PENAFSIRAN AL-QURTUBI> DAN AL-ALUSI TERHADAP LAFAD SHALAT AL-WUSTHA> DALAM SURAT AL-BAQARAHAYAT 238 A. Penafsiran Al-Qurtubi> Terhadap Lafad Shalat Al-Wustha> ... 33

1. Surat al-Baqarah ayat 238 ... 33

2. Penafsiran al-Qurtubi> ... 33

B. Penafsiran al-Alusi> Terhadap Lafad Shalat Al-Wustha> ... 50

1. Asba>b al-Nuzu>l dari Sura>h al-Baqarah ayat 238 ... 50

2. Penafiran al-Alu>si> ... 51

BAB IV :AKURASI PENERAPAN TEORI AL-ALU>S>I DAN AL-QURTUBI> DALAM MENAFSIRKAN LAFAD SHALAT AL-WUSTHA DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT 238 A. Penerapan teori oleh al-Qurtubi> dalam menafsirkan lafad Shalat al-Wustha> ... 63

B. Penerapan teori oleh al-Alusi> dalam menafsirkan lafad Shalat al-Wustha> ... 66

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... xvi


(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan-kumpulan firman-firman Allah (kalam Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan diriwayatkan secara Muta>wati>r serta membacanya sebagai ibadah. Diantara tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta menjadi petunjuk bagi mereka yang suka berbakti dan tunduk.1

Dalam al-Qur’an memuat pola hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam di sekitarnya. Di dalam hubungan manusia dengan tuhannya shalat merupakan titik sentral dan sebagai pondasi utama atau tiang dalam beragama Islam. Shalat sebagai bagian dari rukun Islam yang kedua, setelah orang muslim bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya (syaha>dah). Kedudukan shalat bagi orang Mukallaf hukumnya wajib dalam kondisi apapun. Karena pentinnya melaksanakan dan memelihara Shalat ini orang-orang muslim tidak boleh meninggalkannya meskipun dalam keadaan bagaimanapun, dalam suasana kekwatiran terhadap jiwa, harta, kedudukan. Dalam keadaan uzur shalat

1 M. Hasbi Ash-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an (Jakarta:Bulan Bintang, 1990), 113.


(10)

dapat di lakukan menurut cara yang mungkin di lakukan, baik dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, atau sakit.2 Kewajiban shalat di sebutkan dalam sura>h al-‘ankabut [29] ayat 45, Allah berfirman;









Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar.3

Begitu pentingnya shalat terhadap umat Islam dalam kehidupannya, sehingga mereka di perintahkan agar memelihara shalatnya dalam kehidupan sehari-hari, dalam al-Qur’an surat al-baqarah [2] ayat 238 allah berfirman;





















Peliharalah semua shalatmu, dan peliharalah shalat wust}a>, Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.4

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga Shalat pada waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing. Dalam struktur kalimat ayat di atas jika di cermati, terdapat pengulangan kata shalat. Pertama kata shalat

dalam bentuk jama’ (al-shala>wa>t) dan kedua dalam bentuk tunggal (al-shalat) yang diikuti dengan kata sifat al-wust}a> (tengah-tengah). Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa Lafad} al-wust}a> (ﻰﻄﺳﻮﻟا ) berasal dari ﻂﺳﻮﻟا dengan memiliki arti

al-‘Adl (adil) dan al-Khiya>r (pilihan), al- fadla> (utama), oleh karena itu al-wust}a>

2 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Tafsinya, jilid 1-3 (Edisi yang di sempurnakan), (Widya cahaya, Jakarta,2011 ),354

3 Tim Penerjemah Depag RI, al -Qur’an dan Terjemah, (Tangerang: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), 401.


(11)

3

dapat di bawah terhadap makna tengah-tengah dalam bilangan Raka’at dalam Shalat. Karena berada di antara dua Shalat sebelumnya dan sesudahnya, dan dapat di katakan pula al-wust}a> tengah-tengah di antara waktu Shalat.5

Dalam term pengunaan lafad} al-wust}a> yang di jadikan kata sifat terhadap lafad shalat yang menimbulkan berbagai perselihan penafsiran, Shalat manakah yang di maksud dengan shalat al-wust}a>, di ataranya; (1) shalat Z}huhur karena di lakukan di siang hari, (2) shalat ‘As}har karena di lakukan di antara dua shalat

malam dan siang berdasarkan riwayat dari ‘Ali>, Hasan, ibn ‘Abbas dan ibn Mas’u>d, (3) shalat maghri>b karena berada diantara shalat panjang dan pendek, (4) shalat ‘isya’ karena berada di antara dua shalat yang tidak bisa di qas}har, (5) shalat fajr karena berada di antara dua shalat malam dan siang. Di katakan pula

shalat al-wust}a> ialah; shalat witir, dhuha, shalat ‘aid al-fitri, shalat ‘aid al-adha, shalat lail, shalat jum’at, shalat jama’ah dan shalat khauf,6

Menurut suatu penafsiran lain, Shalat al-wust}a> merupakan Shalat Subuh seperti yang di riwayatkan oleh Imam Malik dalam kitab Muwattha-nya melalui riwayat dari ‘Ali dan ibn ‘Abbas.7 Di namakan sebagai Shalat al-wust}a> karena mengingat tidak dapat di Qas}har dan terletak di antara dua Shalat ruba’iyah yang dapat di Qhas}har.8 Dalam penafsiran lainnya, Shalat al-wust}a> sebagai Shalat

5 Wahbah al-Zuhaili>, al-Tafsi> al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>ah wa al- Manhaj Jilid I, (Damaskus: Daar Al-Fikr, Cetakan X, 2009.)763-764

6 Abu> al-Fadl Syiha>b al-dhi>n al-Sayyid Mahmu>d al-Alu>si> al-Bagda>di>, Ru>h al-Ma>’a>ni> fi>tafsi>r al-Qur’an wa al-Sab’i Masha>ni> jilid II (Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats, 2009, 154

7 Ibnu kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz.1, (Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats, 2009), 465-646


(12)

Jum’at. Hal tersebut di karenakan dikhususkan untuk berkumpul dan mendengarkan khutbah padanya, serta dijadikan sebagai hari raya.9 Dalam hadis yang di riwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bahwasanya rasulullah SAW bersabda kepada kelompok yang lalai dari shalat jum’at “Aku pernah berencana menyuruh orang lain menggantikanku mengimami orang-orang, kemudian aku akan pergi membakar rumah setiap orang yang lalai dari shalat jum’at”.10

Shalat al-wustha> sebagai Shalat yang tidak ditentukan waktunya. Nafi’ dari Ibn Umar dan ar-Rabi’ bin khaitsam mereka mengatakan bahwa Allah SWT menyembunyikannya pada shalat lima waktu, sebagaimana menyembunyikan lailatul qadr pada bula Ramadhan, begitu juga menyembunyikan waktu pada hari jum’at dan waktu mustajab pada tengah malam untuk berdo’a dan qiyamul lail pada kegelapan untuk bermunajat pada alam rahasia. 11

M. Quraish Shihab menjelaskan terhadap Al-Shala>t al-wust}a> sebag Shalat pertengahan, pertengahan tersebut ada yang memahami pada bilangan raka’atnya, yaitu Shalat maghrib karena raka’at yang tiga adalah pertengahan antara ‘As}har, ‘Isya’ dengan empat raka’at dan subuh yang dua raka’at, ada yang memahami dari segi masa pertama shalat yang di wajibkan. Menurut riwayat Shalat Z}huhur yang pertama di wajibkan, di susul dengan shalat ‘As}har, kemusian maghrib, Isya’ dan subuh. Kalau demikian yang menjadi pertengah-tengahan adalah shalat maghrib. Kalau pertengahan di ukur dengan ukuran hari, maka ukuran hari dalam islam di pahami dari terbenamnya matahari, yaitu maghrib. jika yang demikian yang

9 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam 179 10 Ibid, 179


(13)

5

tengah-tengah adalah subuh. Ada yang menjadi tolak ukurnya ialah bacan yang di keraskan dan di rahasiakan. Ada juga yang memahami berdasar perintah memelihara, dalam arti memelihara memberi kesan bahwa yang di pelihara adalah yang mengandung kemungkinan di abaikan, dan yang demikian itu biasanya yang berat. Maka penganut tolak ukur ini menetapkan shalat al-wust}a> atas dasar shalat yang paling berat. Di sini tentu muncul perbedaan, tentang shalat yang paling berat. Masih banyak pendapat lain, keseluruhannya melebihi dua puluh pendapat.12

Dari beberapa perselisihan penafsiran terhadap makna dari lafad} Shalat al-wust}a> di atas, Mayoritas ulama’ tafsi>r mempunyai anggapan bahwa hal yang paling shahi>h sebagai Shalat al-wust}a> adalah S}halat ‘As}har dengan berdasarkan hadi>s yang di keluarkan oleh Muslim dari hadis ‘Ali.13 Bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda;

ًارﺎﻧ ﻢ ﻮﻴﺑ ﱃﺎﻌﺗ ﷲا ﻸﻣ ﺮﺼﻌﻟا ةﻼﺻ ﻰﻄﺳﻮﻟاو ةﻼﺼﻟا ﻦﻋ ﺎﻧﻮﻠﻐﺷ

«

14

Dalam hal ini antara al-Alusi> dan al-Qurtubi> mempunyai sikap yang sama di dalam menafsirkan makna lafad} Shalat al-wust}a> dalam tafsi>rnya masing-masing, yaitu kedua Mufassi>r sama-sama menjelaskan perselisian penafsiran tentang maksud dari makna lafad} Shalat al-wust}a>, meskipun mereka sama-sama menyebutkan perselisian penafsirannya, kedua muffassir memiliki tafsiran yang berbeda di dalam menafsirkannya. Dengan itu al-alusi> menafsirkan bahwa yang di

12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ”Pesan, kesan dan kesadaran Al-Qur’an Vol 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2001) 487

13al-Alu>si> al-Bagda>di>, Ru>h al-Ma>’a>ni> 159 14Ibid, 159


(14)

maksud dengan Shalat al-wust}a> adalah Shalat Z}huhur, sedangkan al-Qurtubi>

menafsirkan Shalat ‘As}har. Dengan penjelasan ini menunjukkan bahwa kerangka penafsiran yang berbeda di dalam menafsir lafad} Shalat al-wust}a>. Dalam penelitian ini di fokuskan terhadap term makna lafad} Shalat al-wust}a> dalam surat al-baqarah ayat 238, dengan menggukan studi komparatif atau perbandingan antara al-Alusi> dengan Al-Qurtubi>. Studi komparatif merupakan studi yang dilakukan dengan cara pertama membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam beberapa kasus, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, kedua bisa dilakukan dengan membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya kelihatan bertentangan, cara ketiga bisa dilakukan dengan membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.15

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Ayat al-Qur’an yang akan dibahas dalam skripsi ini terdapat pada surat al-baqarah ayat 238 tentang lafad} shalat al-wust}a> yang multitafsir dengan menggunakan studi komparatif penafsiran antara al-Alu>si> dan al-Qurtubi. Dalam pembahasan skripsi ini penulis melakukan Identifikasi masalah yang di fokuskan dalam dua hal berikut ini;

1. Teori penafsiran yang di gunakan oleh al-Alu>si> dan al-Qurtubi> dalam menafsirkan lafad shalat al-wust}a> dalam surat al-baqarah ayat 238

15 Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an(Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 65.


(15)

7

2. Akurasi dari teori dalam menafsir lafad shalat al-wust}a> dalam surat al-baqarah ayat 238

C. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang, batasan masalah di atas, peneliti dapat merumuskan beberapa permasalahan untuk memperkuat fokus penelitian ini, di antaranya:

1. Bagaimana teori yang di pakai oleh al-Qurtu>bi> dan al-Alusi> dalam menafsirkan atas lafad shalat al-wust}a>?

2. Bagaimana akurasi penerapan teori yang di pakai oleh Qurtubi> dan al-Alusi> dalam menafsirkan lafad shalat al-wust}a>?

D. TUJUAN PENELITAN

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:

1. Untuk mendeskripsikan pandangan al-Alu>si> dan al-Qurtubi dalam menafsirkan surat al-baqarah ayat 238 tentang shalat wust}a>

2. Untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan sudut pandang al-Alu>si> dan al-Qurtubi dalam menafsirkan surat al-baqarah ayat 238 tentang

shalat wust}a> serta implementasinya.

E. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsi>r. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini. Adapun kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:


(16)

1. Kegunaan secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki arti akademis (academic significance) sebagai tambahan pemikiran dan pengembangan ilmu yang ada di dalam al-quran khususnya dalam penafsiran surat al-baqarah ayat 238 tentang

shalat al-wust}a>.

2. Kegunaan secara praktis

Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat memperbaiki semua shalat yang akan di lakukan dalam tataran kehidupan sehari-hari. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang benar di masyarakat tentang pemahaman terhadap shalat

al-wust}a>. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan penelitian yang sejenis.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini secara kualitatif, sebab pada pembahasannya memerlukan metode untuk memahami dan menafsirkan makna.16 Dalam jenis penelitian ini menggunakan penerapan non-empirik dengan menggunakan pendekatan penelitian pustaka (library research). Oleh karena itu sumber-sumber data yang di paparkan dalam pembahasan penelitian ini berasal dari leteratur tertulis yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang di angkat dalam penelitian ini.

16 Husaini Usman dan purnomo setiadji Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta; Bumi aksara,1996),81


(17)

9

2. Sumber data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini, bersumber dari dokumen perpustakaan tertulis, seperti kitab, buku ilmiah dan referensi tertulis lainnya. Sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, antara lain;

1. Sumber data primer atau sumber pokok dalam penelitian yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah;

a. Tafsi>r Ru>h al Ma’a>ni > Fi > Tafsi>r al Qur’an al Azim wa al Sab’ al Matsa>ni> karya al-alu>si>.

b. Tafsi>r al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyan lima> Tad}amman mi al-Sunnah wa A>yi al-Furqa>n karya al-qurtubi>

2. Sumber data sekunder atau pendukung antara lain. a. Tafsir Ibnu Kath>ir karya Muhammad Nasib Ar-Rifa’i.

b. Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Alquran Karya M. Quraish Shihab.

c. Al-Qur’an dan Tafsinya, jilid 1-3 (Edisi yang di sempurnakan) karya Kemenag RI,

d. Tafsi>r al-Muni>r fi al-‘Aqi>dah wa al-Syari>’ah wa al-Manhaj, karya Wahbah Zuhaily.

e. Tafsi>r al-Maraghi Jilid II, karya Ahmad Musthafa> al-Maraghi>,


(18)

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan kajian kepustakaan, dengan cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berhubungan dengan pembahasan penelitian ini, berupa catatan, transkip, skripsi, buku, kitab-kitab tafsir dan hadis dan sebagainya.17

4. Metode analisa data

Adapun Teknik analisisa data yang di gunakan dalam penelitian dengan telaah literature. Teknik tersebut dengan cara mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian sehingga ditemukan tema dan dirumuskan. Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder dan di analisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan analisis ini;

a. Metode Muqari>n

metode muqarin adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Metode ini mencoba untuk membandingkan ayat-ayat al-Qur’an antara yang satu dengan yang lain atau membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadist Nabi serta membandingkan pendapat ulama menyangkut penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.18 Tafsir Muqarin adalah tafsir yang dalam menafsi>rkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara

17 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipa, 1996), 234.

18Nasruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,( (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1998)) 381.


(19)

11

perbandingan atau komparasi. Para ahli tafsir tidak berbeda pendapat mengenai definisi metode ini. Dari berbagai literatur yang ada, bahwa yang dimaksud dengan metode komparatif adalah:

1) membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda dalam satu kasus yang sama, 2) membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya

terdapat pertentangan, dan

3) membandingkan berbagai macam pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.19

b. Metode diskriptif Kualitatif

Deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa adanya.20 Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk mendeskripsikan yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata

19 Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran (Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1998), 65.

20 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3


(20)

lain penelitian deskriptif akualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang ada.21

G. Sistematika pembahasan

Sistematika penulisan laporan ini tersusun menjadi empat bagian. Masing-masing bagian akan menjelaskna deskripsi singkat mengenai isi tulisan. Dengan demikian diharapka dapat mempermudah dalam penyajian dan pembahasan serta pemahaman terhadapa apa yang akan di teliti. Berikut merupakan sistematika laporan penelitian :

BAB I : Megenai latar belakang masalah, Identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

BAB II : Kaidah Analisa Tafsir, dalam pembahasan ini membahas tentang kaidah penafsiran yang digunakan oleh al-Alusi dan al-Qurtubi dalam menafsirkan lafad Shalat al-wust}a> dalam surat al-Baqarah ayat 238

BAB III : Penafsi>ran Al-Alu>si> Dan Al-Qurtubi> Terhadap Lafad Shalat Al-wust}a> Dalam Surah Al-Baqarah Ayat 238

BAB IV : Akurasi penerapan teori yang di pakai oleh Qurtu>bi> dan al-lusi> dalam menafsirkan lafadz shalat al-wust}a>

BAB V : Penutup, kesimpulan dan saran.

21 Convelo G Cevilla, dkk, Pengantar Metode Penelitian(Jakarta: Universitas Islam, 1993), 5.


(21)

13

BAB II

KAIDAH ANALISIS

TAFSI>R

A.

Asba>b al-Nuzu>l

1.

Pengertian

Asba>b al-Nuzu>l

Secara etimologis Asba>b al-Nuzu>l terdiri dari dua kalimat isim yakni;

Asba>b yang mempunyai arti sebab-sebab, dan Nuzu>l yang mempunyai arti turun, kemudian dua kalimat tersebut di komulasikan menjadi Asba>b al-Nuzu>l yang berarti sebab-sebab turun, artinya pengatahuan tentang sebab turunnya al-qur’an. Sedangkan secara termenologis para ulama’ berbeda pendapat dalam memberikan penegertian secara redaksional meskipun subtansinya sama.1 Diantara ‘Ulama’

yang meberikan pengertian tentang Asba>b al-Nuzu>l sebagai berikut;

Menurut Manna’ Khalil al-Qat}t}an memberikan pegertian; Asba>b al- Nuzu>l adalah peristiwa yang menyebabkan turunya al-Qur’an berkenaan denganya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.2

Shubh}i> al-Sha>lih} memberi pengertian; bahwa asba>b al-nuzu>l adalah Ayat atau beberapa ayat yang turun karena adanya sebab, baik yang mengandung sebab, memberi jawaban terhadap sebab, atau menerangkan hukum pada saat

1 Sahid, ‘Ulu>m al-Qur’an “Memahami otentifikasi al-quran”, (Surabaya, Pustaka Idea,

2016 ),99

2 Manna> Al-Qatha>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, terj.Mudzakir (Bogor : Pustaka


(22)

terjadinya peristiwa itu.3 M. Quraish Shihab memperjelas pengertian Asba>b al-Nuzu>l al-Quran tersebut dengan cara memilah peristiwanya dan menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’an ialah:

a. Peristiwa-peristiwa yang menyebabkan turunya ayat, dimana ayat tersebut menjelaskan pandangan al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya.

b. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah turunya suatu ayat, dimana peristiwa tersebut dicakup pengertianya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.4

Secara umum Asba>b al-Nuzu>l adalah segala sesuatu yang menjadi suatu sebab atau yang melatar belakangi turunya Al-Qur’an baik secara untuk mengomentari, menjawab, ataupun menerangkan hukum pada saat sesuatu itu terjadi. Oleh karenanya, yang harus diperhatikan adalah bahwa berbagai peristiwa massa lalu pada zaman Nabi dan Rasul tidak semuanya termasuk Asba>b al-Nuzu>l. Peristiwa yang menjadi Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang menjadi latar belakang turunya suatu ayat atau surah dalam al-Qur’an.

Asbab al-Nuzu>l dalam tinjauan aspek bentuknya bisa berbentuk peristiwa dan pertanyaan. Dalam bentuk peristiwa yang melatar belakangi turunnya al-Qur’an ada tiga macam: pertengkaran, kesalahan yang serius, cita-cita dan harapan. Dan dalam bentuk pertanyaan dapat pula dibagi kepada tiga macam,

3 Shubh}i> al-Sha>lih}, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an, (Da>rl ‘Ilm li al-Ma>la>yi>n, Bairut, 1977,

cet; 10,) 132


(23)

15

yaitu pertanyaan tentang masa lalu, masa yang sedang berlangsung, dan masa yang akan datang.5 Secara tegas Para ‘Ulama’ berpendapat bahwa hal yang berkaitan dengan Historis atau latar belakang di turunkannya al-Qur’an menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an di turunkan dengan dua cara. Pertama dengan cara di turunkan oleh allah tanpa sebab atau peristiwa tertentu yang melatarbelakanginya. Kedua al-Qur’an di turunkan dengan sebab peristiwa tertentu. Berbagai hal yang menjadi peristiwa turunnya al-Qur’an inilah yang kemudian oleh para ‘Ulama’ Tafsi>r di istilahkan menjadi ilmu Asbab al-Nuzu>l‚

Asba>b al-Nuzu>l adalah suatu konsep, teori atau berita tentang sebab-sebab turunya wahyu tertentu dari al-Qur’an kepada nabi Muhammad Saw, baik berupa satu ayat maupun rangkaian ayat.

2. Urgensi Mengetahui Asba>b al-Nuzu>l al-Qur’an

Sebagai hal tentang pentingnya untuk mengatahui sebab-sebab turunnya al-Qur’an dalam pandangan ‘Ulama’ terdapat perbedaan pendapat, yaitu; sebagian ‘Ulama’ mengatakan, bahwa pengatahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l bukanlah hal yang penting, karena hal itu merupakan termasuk pengatahuan dalam sejarah al-Qur’an. Sebagian ‘Ulama’ yang lain mengatakan bahwa Asba>b al-Nuzu>l sangat perlu. Bahkan menurut al-Sya>ti>bi> pengetahuan asba>b al-Nuzu>l merupakan kemestian bagi orang yang yang ingin mengetahui kandungan al-Quran.

Ulama yang menganggap sangat penting untuk mengetahui ilmu tentang asba>b al-Nuzu>l dalam al-Qur’an dengan merinci kegunaan


(24)

pengetahuan tersebut, misalnya Muhammad Chirzin dalam bukunya al-Qur’an dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n juga mengatakan, bahwah denga ilmu asba>b al-Nuzu>l, Seseorang dapat mengetahui hikmah di balik syari’at yang diturunkan melalui sebab tertentu, Seseorang dapat mengetahui pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa yang mendahului turunya suatu ayat, Seseorang dapat menentukan apakah ayat mengandung pesan khusus atau umum dan dalam keadaan bagaimana ayat itu mesti diterapkan., Seseorang dapat menyimpulkan bahwa Allah selalu memberi perhatian penuh pada Rasulullah dan selalu bersama para hambanya.6

3. Faedah mengataui riwayat Asba>b al-Nuzu>l

Bahwa Ilmu Asba>b al-Nuzu>l memiliki beberapa faedah yang di kandungnya, Imam badr al-di>n Muhammad ibn ‘Abdillah al-Zarkazi>

menyebutkan tentang faedah mengatahui Asba>b al-Nuzu>l, diantaranya ialah; Hikmah penetapan Syara’at dalam hukum, Pengkhususan hukum, bagi orang berpandangan, (

ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ ا ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا

), Pemahaman atas makna, syaeh Abu al-Fath al-Qasyairi> berpendapat menjelaskan tentang turunnya ayat al-Qur’an merupakan metode yang sangat kuat di dalam memahami makna al-Qur’an yang muliah itu. Kadangkalah lafad}nya berbentuk umum, namun yang di maksud ialah khusus.7

6 Sauqiyah Musyafaah,dkk. Studi Al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press, 2012),184. 7 Imam badr al-di>n Muhammad ibn ‘Abdillah al-Zarkazi, al-Burhan fi ‘Ulu>m al-Qur’an,


(25)

17

4. Cara mengatahui riwayat Asba>b al-Nuzu>l

Asba>b al-Nuzu>l adalah peristiwa yang terjadi pada zaman Rasulullah Saw. oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain berdasarkan periwayatan yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunya ayat al-Qur’an, serta tidak mungkin diketahui dengan jalur pikiran manusia(Ra’yi).8 Kemungkinan berijtihad tidak ada dan

tidak diperkenankan. Melakukan ijtihad untuk mengetahui dengan menggunakan logika atau rasio, dinilai melakukan tindakan tanpa dasar dan tanpa ilmu. Dalam

al-Qur’a>n surat al-Isra>’ [17]ayat 36 Allah berfirman:







































Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Selain dalil al-Qur’a>n juga terdapat hadis riwayat al-Turmudzi> yang menegaskan tidak diperkenankannya menafsirkan al-Qur’a>n tanpa dasar ilmu. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:

ِرﺎﱠﻨﻟا ْﻦِﻣ ُﻩَﺪَﻌْﻘَﻣ ْأﱠﻮَـﺒَﺘَﻴْﻠَـﻓ ﻢْﻠِﻋ ِْﲑَﻐِﺑ نآْﺮُﻘْﻟا ِﰲ َلﺎَﻗ ْﻦَﻣ

Barang siapa yang berkata dalam (menafsirkan) al-Qur’a>n tanpa dasar ilmu, maka tempatnya adalah neraka.9

8 Sauqiyah Musyafa’ah,dkk. Studi Al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press, 2012),169. 9 Muh}ammad bin ‘I<sa bin Saurah al-Turmudzi>, Sunan al-Turmudzi>, juz 5 (Beirut:


(26)

Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Para ‘Ulama salaf menjahui atau mengesampingkan adanya bentuk penafsiran terhadap ayat yang tidak mereka ketahui. Yah}ya bin Sa‘i>d dari Sa‘i>d bin Musayyab meriwayatkan bahwa jika ia ditanya tentang penafsiran ayat-ayat al-Qur’a>n, ia menjawab bahwa dirinya tidak akan berkomentar tentang sesuatu apa pun dalam al-Qur’a>n.10

Dengan demikian, penggunaan rasio tidak menjadi dasar dalam memahami

Asba>b al-Nuzu>l.Untuk menjaga kesalahan dalam menafsirkan ayat al-Qur’a>n, ulama membatasi cara mengetahui Asba>b al-Nuzu>l dengan riwayat yang shah}i>h}.

Mereka tidak membenarkan seseorang mengeluarkan pendapat atau berijtihad dalam masalah Asba>b al-Nuzu>l. Dalam hal ini al-Suyu>thi> mengatakan; sebagaimana beliau mengutip dari pendapatnya al-Wa>hidi>, Tidak diperkenankan berpendapat tentang sebab turunnya al-Kita>b kecuali dengan dasar riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat, memahami sebab-sebab turunnya ayat, dan membahas berdasarkan ilmu sebab-sebab-sebab-sebab turunnya ayat.11

Dengan singkat bahwa Asba>b al-Nuzu>l diketahui melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi tidak semua riwayat yang disandarkan kepadanya dapat dipegang, riwayat yang dapat dipegang ialah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana ditetapkan para ahli hadis. Secara khusus dari riwayat Asba>b al-Nuzu>l ialah riwayat dari orang-orang yang terlibat dan mengalami peristiwa yang diriwayatkan, yaitu pada

10 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2009), 78

11 Mana’ al-qothon. mabahits fii ulumil qur’an Jilid I. (kairo: maktabah wahbah. 2000),


(27)

19

saat wahyu turun, riwayat yang berasal dari tabi’in yang tidak merujuk pada Rasulullah SAW dan para sahabatnya dianggap lemah atau d}ha>if. Apabila terdapat sebab-sebab turunnya ayat dari tabi’in, maka untuk diterima terdapat empat hal yang disyaratkan:

1) Hendaknya ungkapannya jelas (eksplisit) dalam kata-kata sebab, dengan mengatakan "sebab turunnya ayat ini adalah begini", atau hendaknya memuat fa’ ta’qibiyah, dalam hal ini fa’ fungsinya sebagai kata sambung yang masuk pada materi turunnya ayat (matan hadis), setelah penyebutan peristiwa atau pertanyaan seperti katakata "terjadi begini dan begini" atau "Rasulullah ditanya tentang hal ini. Kemudian Allah menurunkan ayat ini atau turunlah ayat ini".

2) Memiliki Isnad yang Shahi>h.

3) Tabi’in yang dimaksud termasuk imam tafsir yang mengambil dari sahabat.

4) Di dukung dengan riwayat tabi’in yang lain, yang menyempurnakan suatu syarat. Apabila syarat ini sempurna pada riwayat tabi’in, maka diterima dan mendapat hukum hadis mursal.

Berdasarkan keterangan diatas, maka Asba>b al-Nuzu>l yang diriwayatkan dari seorang sahabat dapat diterima sekalipun tidak dikuatkan dan didukung riwayat lain. Adapun Asba>b al-Nuzu>l dengan hadis mursal (hadis yang gugur dari sanadnya seorang sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai


(28)

kepada seorang tabi’in), riwayat seperti ini tidak diterima kecuali sanadnya

sah}ih} dan dikuatkan hadis mursal lainnya.12

Adapun susunan atau bentuk redaksi yang dapat memberi petunjuk secara tegas tentang Asba>b al-Nuzu>l adalah:

1. Bentuk redaksi yang tegas berbunyi: ...

اﺬﻛ ﺔﻳﻷا لوﺰﻧ ﺐﺒﺳ

2. Adanya huruf fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitkan dengan turunya ayat. Misalnya...

ﺔﻳﻷا ﺖﻟﺰﻨﻓ

3. Ada keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasul ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunya ayat sebagai jawabanya. Dalam hal ini tidak digunakan pernyataan tertentu.

5. Pandangan ‘Ulama tentang Asba>b al-Nuzu>l

Pandangan ‘Ulama terhadap Asba>b al-Nuzu>l sangat penting, karena memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya dengan penetapan hukum, sebagai akibat darinya, berdasarkan ayat yang bersangkutan, apakah ayat itu berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafad}nya, atau tetap terikat dengan sebab turunnya ayat itu.13

Dalam pembahasan para ‘Ulama’ tentang hubungan antara sebab yang terjadi dengan ayat yang turun. Hal ini dianggap penting, karena sangat erat

12 Fahd bin Abdurrahman Ar-Rumi, Ulumul Qur'an; Studi Kompleksitas Al-Qur'an, terj

. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), 185


(29)

21

kaitanya dengan penetapan hukum, sebagai akibat darinya, berdasarkan ayat yang bersangkutan. Yakni, apakah ayat itu berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, ataukah tetap terikat dengan sebab turunya ayat itu.14 Dalam

hal ini terdapat dua kaidah yang berlawanan;

1) Kaidah pertama menyebutkan ( ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ َﻻ ِﻆْﻔﱠﻠﻟا ِمْﻮُﻤُﻌِﺑ ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا), bahwa yang dijadikan pegangan adalah teks yang umum, bukan sebab yang khusus. 2) Kaidah kedua menyebutkan ( ِﻆْﻔﱠﻠﻟا ِمْﻮُﻤُﻌِﺑ َﻻ ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا) bahwa yang

dijadikan pegangan adalah sebab yang khusus, bukan teks yang umum. Penetapan makna suatu ayat didasarkan pada penyebabnya yang khusus (sebab nuzul), bukan pada bentuk lafazhnya yang umum.

Dengan pembahasan tentang hubungan antara sebab dengan jawaban sebagai akibat atas sebab itu, Al-Zarqa>ni> menyatakan bahwa jawaban atas suatu sebab, ada dua kemungkinan. pertama; Jawaban itu dalam bentuk pernyataan yang bebas dalam arti berdiri sendiri atau terlepas dari sebab yang ada. Kedua;

Jawaban itu dalam pernyataan yang tidak bebas, dalam arti tetap terkait secara langsung dengan sebab yang ada.15

Adapun menurut al-Zarqa>ni mengenai jawaban yang bebas karena dapat berdiri sendiri atau terlepas dari sebabnya, beliau menyatakan ada dua macam kemungkinan yakni:

14 Ibid,146


(30)

a. Searah dengan kapasitas cakupan hukum maupun dari segi kekhususannya. Jadi disini ada dua macam kemungkinan juga yakni:

pertama; Sebab yang bersifat umum memiliki akibat yang bersifat umum.

Kedua; Sebab yang bersifat khusus memiliki akibat yang bersifat khusus. b. Tidak searah dengan kapasitas cakupan hukumnya antara sebab

dengan ayat yang turun. Dalam hal ini, ada pula dua kemungkinan bentuknya, pertama; Sebab yang bersifat umum, sedang lafal ayat sebagai jawabanya bersifat khusus. Kedua; Sebab yang bersifat khusus, sedang lafal ayat sebagai jawabannya bersifat umum.16

Jumhur Ulama berpendapat, bahwa yang harus dipegangi adalah keumuman lafal dan bukan kekhususan sebab. Kaidahnya berbunyi: ( ِمْﻮُﻤُﻌِﺑ ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا

ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ َﻻ ِﻆْﻔﱠﻠﻟا) Dalam hal ini saat ada ayat dengan teks atau lafad} yang umum dengan sebab yang khusus, maka yang menjadi pegangan adalah keumuman lafad}

bukan sebab yang khusus tersebut, ini merupakan pendapat jumhur Ulama’17 Diantara argumenya adalah sebagai berikut:

1. Hujjah yang harus dipegangi adalah lafal ayat dan sebabsebab yang timbul hanya berfungsi sebagai penjelasan.

2. Pada prinsipnya, kandungan lafal memiliki pengertian umum terkecuali ada qari>nah.

3. Para sahabat Nabi dan mujtahid di berbagai tempat dan masa berpegang pada teks ayatnya dan bukan pada sebab yang terjadi.

16 Ibid,147


(31)

23

Sebagian Ulama berpendapat, bahwa yang harus di pegangi adalah kekhususan sebabnya. Kaidah yang mereka pergunakan adalah ( ِﻆْﻔﱠﻠﻟا ِمْﻮُﻤُﻌِﺑ َﻻ ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا).

Diantara argumennya adalah bahwa ayat yang turun pada hakikatnya merupakan keringkasan kasus yang terjadi beserta petunjuk penyelesaiannya. Sedangkan pada kasus lain yang serupa dengannya, maka hukum yang dipakai tidaklah berasal langsung dari ayat itu sendiri, melainkan berasal dari pemakaian qiya>s

(analog). Dengan demikian, sesungguhnya antara pendapat jumhur dengan sebagian Ulama di atas, tidaklah berbeda bila dilihat dari segi kapasitas aplikasi dan cakupan hukumanya. Yang berbeda hanyalah bahwa jumhur Ulama menggunakan dalil mant}u>q ayat, sedang yang lainnya menggunakan jalan

qiya>s (analog).

B.Teori Muna>sabah dalam al-Quran

Kata Muna>sabah Menurut Jala>l al-Di>n al-Suyu>thi> secara etimologis adalah Musya>kalah dan Muqa>rabahyang berarti kesamaan dan kedekatan. Ibn al-Qayyim al-Jauzi> menamakan tana>sub dengan tasya>buh (mutasya>bih) yang berarti keserupaan. Dengan demikian, arti muna>sabah secara etimologis adalah kecocokan, kesesuaian, kesamaan, kedekatan, dan keserupaan. Konkretnya,

muna>sabah adalah hubungan atau relevansi antara satu dengan yang lain.18 Adapun menurut pengertian secara terminologis Manna>’ al-Qaththan memberikan

pengertian bahwa Muna>sabah adalah segi-segi hubungan antara satu kalimat


(32)

dengan kalimat lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat lain, antara satu

surat dengan surat yang lainnya19.

Sedangkan menurut Ibnu Al-‘Arabi munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai

satu kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasa>bah merupakan ilmu yang

sangat agung. Jadi Muna>sabah dapat di pahami sebagai pengetahuan tentang

berbagai hubungan unsur-unsur dalam al-Quran.20 Muna>sabah jika dilihat dari

segi sifatnya, yakni mengacu pada tingkat kejelasan dan kesamaran makna, maka dapat dikategorisasikan menjadi:

1. Dhahir al-Irtibath Adapun yang dimaksud adalah kesesuaian bagian-bagian al-Qur’an (ayat maupun surat) yang terjalin secara jelas dan kuat. Adanya kesatuan unsur pembentuk hubungan antar ayat maupun surat secara redaksionis.

2. Khafiy al-Irtibath Yaitu hubungan yang terjadi di antara dua ayat atau surat secara samar, sehingga jika dipahami hanya melalui makna redaksinya akan menunjukkan tidak ada hubungan. Seolah-olah kedua ayat maupun surat tersebut berdiri sendiri dan tidak adanya keterkaitan kuat dengan ayat maupun surat sebelum dan sesudahnya.21

19Manna>‘ al-Qaththa>n, Maba>h}its fi> ‘Ulu>m, 97 20Sahid, ‘Ulu>m al-Qur’an,136

21Ahmad Rasyid, Munasabah dalam Al-Qur’an (Konstruksi Pemahaman Makna

Korelatif), (Skripsi: Surabaya: Program Strata Satu Universitas Islam Negeri Sunan


(33)

25

Ahmad Rasyid menjelaskan dari hasil penelitiannya bahwa muna>sabah dalam al-Qur’an jika ditinjau dari segi materinya maka ada tiga macam bentuk:22

a. Muna>sabah dalam satu ayat Muna>sabah dalam satu ayat, maksudnya adalah adanya keterkaitan atau hubungan antara kalimat-kalimat al-Qur’an dalam satu ayat. Keterkaitan makna dalam satu ayat al-Qur’an dapat dipahami pada dua bentuk: pertama; Hubungan antara kata dengan kata selainnya kedua; Hubungan satu ayat dengan fashilahnya (kata penutupnya).

b. Muna>sabah antar ayat Yakni suatu hubungan atau persambungan antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Keterkaitan makna antara dua ayat atau lebih merupakan bentuk hubungan konteks pembahasan yang terbentuk dari keterkaitan kalimat dalam satu ayat. Muna>sabah antar ayat ini dapat berbentuk sebagai berikut:

1. Diat}af-kan ayat yang satu pada ayat yang lain. 2. Tidak diat}af-kan ayat yang satu pada ayat yang lain. 3. Digabungkannya dua hal yang sejajar dan sama maknanya. 4. Dikumpulkannya dua hal yang kontradiktif.

5. Dipindahkannya suatu pembicaraan kepada pembicaraan yang lain (al-Istithrad).

c. Muna>sabah antar surat Hubungan yang terjalin antara surat yang satu dengan surat yang lain. Pada dasarnya kandungan suatu surat memiliki keterkaitan yang kuat antara sub tema yang satu dengan yang lain. Hal ini


(34)

dapat dipahami bahwa penamaan suatu surat yang ada dalam al-Qur’an merupakan indikasi adanya keterkaitan dengan makna yang terdapat pada ayat-ayat yang dikandungnya. Sehingga nama surat merupakan kesimpulan universal bagi setiap perincian ayat-ayat di dalamnya. Berikut diantara bentuk munasabah antar surat:

1. Muna>sabah antara dua surat dalam soal materinya

2. Muna>sabah antara permulaan surat dengan penutup surat sebelumnya 3. Muna>sabah antara pembuka dan akhir dalam satu surat.23

C. FUNGSI HADIS

Seluruh umat Islam, sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Keharusan mengekuti hadis bagi umat Islam (baik berupa perintah ataupun berupa larangan), hal ini di karenakan Hadis sebagai mubayyin (penjelas) terhadap al-Quran, karena itu siapa tidak akan bisa memahami al-quran tanpa dengan memahami dan mengusai hadis. Begitu pula halnya menggunakan hadis tanpa al-quran, karena al-quran merupakan dasar pertama, yang di dalamnya berisi garis besar syari’at.24

Berdasarkan kedudukan al-qur’an dan hadis di atas, sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Islam, anatara satu dengan lainnya jelas tidak dapat di pisahkan. Al-Qur’an sebagai sumber hukum memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global yang perlu di jelaskan lebih lanjut secara terprinci, oleh karena

23 Ahmad Rasyid, Munasabah dalam Al-Qur’an,17.


(35)

27

itu hadis berkedudukan sebagai sumber yang kedua, ia berfungsi sebagai penjelas terhadap isi kandungan al-quran tersebut.25

Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur’an itu bermacam-macam, di antaranya sebagai beriut;

1. Baya>n al-Taqri>r

Baya>n al-Taqri>r disebut juga bayan al-Ta’kid dan bayan al-Ithbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini, hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.26 Menurut sebagian Ulama, bahwa bayan taqrir atau bayan ta’kid, disebut juga bayan Muwafiq nash Kitab al-Karim. Hal ini karena munculnya hadis-hadis itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.

2. Baya>n Tafsi>>r

Yang dimaksud bayan al-Tafsir, adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlaq, dan ‘am. Maka fungsi hadis dalam hal ini, memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’a>n

25 Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka Al-Muna,

2014), 52.


(36)

yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih mutlaq, dan memberikan takhsis ayatayat yang masih umum.27

a. Memerinci ayat-ayat mujmal

Mujmal, artinya ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkanya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapanya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin.28

Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat mujmal yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qisas, dan hudud. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih global atau garis besar meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena, dalam ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan, misalnya bagaimana mengerjakanya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya29.

b. Men-Taqyid ayat-ayat yang muthlaq

Kata mutlaq, artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya.

27 Zainul Arifin, 57 28 Ibid, 57


(37)

29

MenTaqyid dan mutlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.

c. Men-Takhsis ayat yang ‘Am

Kata ‘am, ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhsis atau khas, ialah kata yang menunjuk arti khusus, tertentu, atau tunggal. Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini, ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka para ulama berbeda pendapat, apabila mukhasisnya dengan hadis ahad. Menurut Imam al-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di takhsis oleh hadis ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulama Hanafiyah sebaliknya.

3. Baya>n Tasyri>’

Kata al-Tasyri’, artinya pembuatan, mewujudkan, atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan baya>n al-Tasyri>’ di sini, ialah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara yang tidak didapati nashnya dalam

al-Qur’a>n. Rasulullah dalam hal ini, berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.


(38)

Banyak hadis Rasulullah Saw masuk kedalam kelompok ini. Diantaranya, hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya). Hadis Rasulullah SAW yang termsuk

baya>n tasyri>’ ini, wajib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainya. Ibnu al-Qayim berkata, bahwa hadis-hadis Rasulullah yang berupa tambahan terhadap alQuran, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan bukanlah sikap Rasulullah SAW itu mendahului alQur‟an melainkan semata-mata karena perintah-Nya. Ketiga bayan yang telah diuraikan di atas, disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayanlainya, seperti baya>n al-Nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadis sebagai nasikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah jumhur ulama mutakallimin, baik mu’tazilah, maupun asy’ariyah, ulama malikiyah, hanafiyah, Ibn Hazm dan sebagian Z}ahiriyah. Sedang yang menolaknya, diantaranya al-Syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya serta mayoritas ulama pengikutnya serta mayoritas ulama Z}ahiriyah.30

4. Baya>n nasakh

Kata Nasakh secara bahasa, bermcam-macam arti. Bisa berarti al-Ibthal (membatalkan), atau al-Iza>lah (menghilangkan), atau al-Tah}wil (memindahkan), atau taghyir (mengubah). Diantara para ulama, baik mutaakhirin maupun mutaqaddimin, terdapat perbedaan pendapat dalam


(39)

31

mendefinisikan bayan al-Nasakh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bahwa yang disebut bayan alNasakh, ialah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian.

Dari pengertian diatas, bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian dari pada al-Qur’an, dalam hal ini dapat menghapus ketentuan atau isi kandungan al-Qur’an. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh. Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis terhadap alQur’an juga berbeda pendapat, terhadap macam hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam hal ini mereka terbagi pada tiga kelompok.

1) Membolehkan me-nasakh al-Qur’an dengan berbagai macam hadis, meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini, di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutakaddimin dan Ibnu Hazm serta sebagian pengikut para z}ahiriyah.

2) Yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadis tersebut harus mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.

3) Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadis masyhur, tanpa harus dengan hadis mutawatir. Pendapat ini dipegang di antaranya oleh Ulama Hanafiyah.


(40)

Secara garis besar, terdapat empat fungsi utama hadis Nabi Muhammad SAW, terhadap al-Qur’an ada tiga, yaitu;

1) Menetapkan dan menguatkan hukum yang ada di dalam al-qur’an. Dengan demikian sebuah hukum dapat memiliki dua sumber sekaligus. Yaitu al-Qur’an dan hadis.31

2) Memerinci dan menjelaskan hukum-hukum dalam al-qura’an yang masih global, membatasi yang mutlaq dan mentahksis ke- umuman. Kesemuanya itu di lakukan dalam rangka menjelaskan makna Qur’an atau menjelaskan apa yang di kehendaki oleh maksud al-Qur’an, misalnya perintah al-Qur’an tentang mendirikan Shalat, maka hadis memperinci tentang tekhnik pelaksaaan shalat.

3) Membuat dan menetapkan hukum yang tidak di tetapkan di dalam al-Qur’an. Misalnya larangan memakan binatang buas yang bertaring dan berkuku tajam.

Dengan memperhatikan fungsi hadis terhadap al-qur’an, maka tidak ada alasan untuk menolak keberadaan hadis sebagai sumber ajaran agama islam.


(41)

33

BAB III

PENAFSIRAN AL-QURTUBI> DAN AL-ALUSI TERHADAP

LAFAD SHALAT AL-WUSTHA DALAM SURAT AL-BAQARAH

AYAT 238

A. Penafsiran Al-Qurtubi> Terhadap Lafad Shalat Al-Wustha>. 1. Surat al-Baqarah ayat 238









Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha>. Berdirilah untuk Allah

(dalam shalatmu) dengan khusyu'.1

2. Penafsiran al-Qurt}ubi>

Surat al-Baqarah ayat 238 menjelaskan terhadap pentingnya dalam menjaga

dan memelihara Shalat. Dalam firman allah Ha>fidz}}u> mempunyai Khitha>b terhadap

semuanya umat, dan dalam ayat tersebut mengandung perintah untuk menjaga dalam

melaksanakan shalat pada waktu-waktunya dengan segala syarat-syaratnya2. Dalam

hal ini bahwa manusia yang mampu untuk melaksanakan perintah ini, benar-benar

1Tim Penerjemah Depag RI, al -Qur’an dan Terjemah, (Tangerang: PT Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri, 2007), 401.

2Abi> abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> bakr al-Qurtubi> , Jami>’ Li-Ahkam

al-Qur’an wa al-Mubi>n lima> Ta}dhammaahu min al-Sunnah wa ayyi al-Furqa>n Jilid 4 (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah 2006.), 167


(42)

menjadi makhluk allah yang bertaqwa dan hidup selalu aman, berada di dalam magfirah allah dan ridha allah. Karena pentinnya melaksanakan dan memelihara Shalat ini seorang muslim tidak boleh meninggalkannya, meskipun dalam keadaan bagaimanapun, dalam suasana kekwatiran terhadap jiwa, harta, kedudukan. Dalam keadaan Uzur shalat dapat di lakukan menurut cara yang mungkin di lakukan, baik

dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, atau sakit.3

ُﺔَﻈَﻓﺎَﺤُﻤْﻟاَو artinya adalah senantiasa atas sesuatu atau menekuni sesuatu,4

al-Maraghi> menjelaskan dalam tafsi>rnya dengan mengatakan; mengerjakan sekali setelah sekali, menjaga Shalat sekali setelah sekali yang lain dengan melakukannya secara sempurna syarat-syaratnya dan rukun-rukunya yang terdapat di dalamnya

dengan cara Khusyu>’ dan merendahkan hati. Shalat lima waktu itu dapat di ketahui

dengan penjelasan Nabi Muhammad SAW dengan penjelasan Ilmiah sekaligus

kesepakatan orang-orang Islam dari segala golongan.5 Ibn Katsir dalam tafsirnya

menjelaskan dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga waktunya Shalat masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing seperti yang di sebutkan dalam

kitab S}hahihain (Shahih Muslim dan Shahih Bukhari), Rasulullah SAW bersabda;

3 Kemenag RI, Al-Qur’an dan Tafsinya, jilid 1-3 (Edisi yang di sempurnakan), (Widya

cahaya, Jakarta,2011 ),354

4al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam,167

5Ahmad Musthafa> al-Maraghi>, Tafsi>r al-Maraghi Jilid II, (Beirut : Dar al-Fikr, 1974)


(43)

35

لﺎﻗ دﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑا ﻦﻋ

:

ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﺖﻟﺄﺳ

:

لﺎﻗ ؟ﻞﻀﻓأ ﻞﻤﻌﻟا يأ

" :

ﻰﻠﻋ ةﻼﺼﻟا

ﺎﻬﺘﻗو

."

ﺖﻠﻗ

:

لﺎﻗ ؟يأ ﰒ

" :

ﷲا ﻞﻴﺒﺳ ﰲ دﺎﻬﳉا

."

ﺖﻠﻗ

:

لﺎﻗ ؟يأ ﰒ

" :

ﻦﻳﺪﻟاﻮﻟا ﺮﺑ

."

لﺎﻗ

:

ﻦ ﲏﺛﺪﺣ

ﱐداﺰﻟ ﻪُﺗدﺰﺘﺳا ﻮﻟو ،ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر

6

Dalam hadis yang di riwayatkan oleh Ibn Mas’u>d tersebut menjelaskan

tentang perbutan yang paling baik yang di tanyakan oleh beliau terhadap Rasulullah SAW, dalam jawaban yang pertama ialah tentang shalat tepat pada waktunya, hadis ini sebagai menjelaskan tentang pentinnya menjaga waktu-waktu shalat seperti firman allah dalam Surat al-Baqarah ayat 238 di atas. Dalam ayat tersebut Allah

menyebutkan shalat wustha> secara terpisah setelah sebelumnya menyebutkan shalat

secara umum, hal ini sebagai kemuliaan khusus baginya,7

Dalam lafad} ini para ‘Ulama’ Salaf dan Khalaf berselisih penafsiran dalam

memberikan makna yang dimaksud dengan Shalat tersebut. Lafad} al-Wustha> ﻰﻄﺳﻮﻟا

berasal dari ﻂﺳﻮﻟا dengan memiliki arti al-‘Adl (adil) dan al-Khiya>r (pilihan), al- fadla>

(utama), oleh karena itu al-Wustha> dapat di bawah terhadap makna tengah-tengah

dalam bilangan Raka’at dalam Shalat. Karena berada di antara dua Shalat sebelumnya

dan dua Shalat sesudahnya, dan dapat di katakan pula al-wustha> tengah-tengah di

antara waktu Shalat.8

6Ibnu kasir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz.1, (Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats, 2009),

665

7al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam,174

8 Wahbah al-Zuhaili>, al-Tafsi> al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>ah wa al- Manhaj Jilid I,


(44)

Al-Musth}afa al-Maraghi menjelaskan dalam tafsi>rnya bahwa Shalat al-Wustha> merupakan salah satu di antara lima Shalat, al-al-Wustha> kadangkala bermakna tengah-tengah di antara dua sesuatu atau beberapa sesuatu dengan mempunyai sisi

yang sama, kadangkala al-Wustha> bermakna al-Fadhla>. Dengan dua makna tersebut

mayoritas ‘Ulama’ memperselisikannya, oleh sebab itu manakah Shalat yang lebih

utama? dan manakah Shalat yang di anggap sebagai Shalat tengah.9

M. Quraish Shihab mengatakan; As-Shala>t al-Wustha> adalah Shalat

pertengahan, pertengahan tersebut ada yang memahami pada bilangan raka’atnya,

yaitu Shalat magrib karena raka’at yang tiga adalah pertengahan antara ‘As}har, isya’

dengan empat raka’at dan subuh yang dua raka’at, ada yang memahami dari segi

masa pertama shalat yang di wajibkan. Menurut riwayat Shalat Z}huhur yang pertama

di wajibkan, di susul dengan shalat ‘Asyar, kemudian magrib, Isya’ dan subuh. Kalau demikian yang menjadi pertengah-tengahan adalah shalat maghrib. Kalau pertengahan di ukur dengan ukuran hari, maka ukuran hari dalam islam di pahami dari terbenamnya matahari, yaitu maghrib. jika yang demikian yang tengah-tengah adalah subuh. Ada yang menjadi tolak ukurnya ialah bacan yang di keraskan dan di rahasiakan. Ada juga yang memahami berdasar perintah memelihara, dalam arti memelihara memberi kesan bahwa yang di pelihara adalah yang mengandung kemungkinan di abaikan, dan yang demikian itu biasanya yang berat. Maka penganut

tolak ukur ini menetapkan shalat al-Wustha> atas dasar shalat yang paling berat. Di


(45)

37

sini tentu muncul perbedaan, tentang shalat yang paling berat. Masih banyak

pendapat lain, keseluruhannya melebihi dua puluh pendapat.10

Kecenderungan al-Qurt}}ubi> di dalam tafsirnya adalah fiqhi>, yaitu menafsirkan

al-Quran sesuai dengan kaedah-kaedah penyimpulan hukum sehingga muncullah berbagai kecenderungan tafsir sesuai dengan mazhab yang dianut oleh si penafsir.25 Jenis tafsir ini hanya terfokus kepada pembahasan yang terdapat di dalam permasalahan fikih, meskipun terkadang pembahasan tersebut tidak ada kaitannya secara langsung dengan tafsir. Menonjolnya corak fikih dalam tafsir al-Qurt}ubî itu

bukanlah suatu yang aneh karena tafsirnya memang dari awal diberi judul al-Ja>mi’ li

Ah}ka>m al-Quran (Menghimpun Hukum (Fiqih) dari ayat-ayat al-Quran) lebih diorientasikan untuk membahas aspek hukum normative dalam alQuran. Sekalipun

demikian, al-Qurt}ubi> tidak hanya berpretensi untuk menafsirkan ayat-ayat hukum

saja, tapi juga menafsirkan al-Qurân secara menyeluruh. Di samping itu, karena ia dikenal sebagai imam madhhab Maliki di masanya 27 sehingga corak fiqih sangat

kental mewarnai karyanya.11Nama asli al-Qurt}ubi> adalah Abu> ‘Abdillah Muh}ammad

b. Ah}mad al-Ans}a>ri> al-Khazraji> al-Andala>si>. Para penulis biografi tidak ada yang menginformasikan mengenai tahun kelahiran al-Qurt}ubi>, mereka hanya menyebutkan tahun kematiannya yaitu pada 671 Hijriyah di kota Maniyyah Ibn Khas}i>b Andalusia.

10 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ”Pesan, kesan dan kesadaran Al-Qur’an Vol 1, (.

Jakarta: Lentera Hati, 2001) 487

11Azhar Amrullah Hafizh, Dakhi>; al-Isra>’ili>yat kisah Nabi Yu>suf dalam Jami>’ li Ahka>m

al-Quran karya al-Qurt}bi (Mutawatir; Jurnal keilmuan Tafsir Hadis Volume 5, Nomor 1, Juni 2015),122-123


(46)

Oleh karenanya dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan adalah makna lafad} shalat al-Wustha> (ﻰﻄﺳﻮﻟا ةﻼﺼﻟا) yang berarti tengah-tengah di antara shalat atau

yang paling utama dari shalat. Dalam hal ini al-Qurtubi> menjelaskan perselisihan

penafsiran dalam menjelaskan tentang makna dari lafad} shalat al-wustha> di antaranya

sebagai berikut;

1) Shalat al-Wustha> sebagai Shalat Z}huhur.

Hal yang menjadi alasan atau tolak ukur dalam penafsiran tersebut,

dikarenakan Shalat Z}huhur berada di tengah-tengah siang, dengan di sertai dua

alasan: pertama; bahwasanya siang merupakan pertama setelah fajar, kedua; bahwa

dimulai dari Z}huhur karena merupakan shalat yang pertama dikerjakan dalam Islam.

Penafsiran ini berlandaskan dengan riwayat Zaid bin Tsabit, Sa’id al-Khuderi,

Abdullah bin Umar dan Aisyah ra.12

Dan yang mendukung terhadap riwayat di atas adalah perkataan Aisyah dan Hafshah ketika kedua isteri nabi tersebut menulis: Peliharalah semua shalat (mu) dan

shalat Wustha> dan shalat ‘Ashar, dalam riwayat tersebut terdapat huruf wawu (dan),

dan diriwayatkan pula bahwa sesungguhnya Shalat Z}huhur itu paling berat terhadap

orang-orang muslim, sebab waktu tersebut memasuki tengah hari setelah matahari


(47)

39

tergelincir, dan di saat tersebut orang-orang muslim mengalami kelemahan atau letih

yang di sebabkan oleh perkejaan dalam urusan dunia mereka.13

Abu da>wud meriwayatkan dari Zaid ibn tha>bit ia menceritakan, Rasulullah

saw. pernah mengerjakan shalat Z}huhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir. Beliau belum pernah mengerjakan suatu shalat yang lebih menekankan kepada para

sahabatnya dari pada shalat tersebut, lalu turunlah ayat ﻰﻄﺳﻮﻟا ةﻼﺼﻟاو تاﻮﻠﺼﻟا ﻰَﻠَﻋ اﻮﻈﻓﺎﺣ dan

beliau; mengatakan bahwa shalat Z}huhur di apit dua shalat sebelum dan

sesudahnya.14

Ma>lik dalam kitab Muwattha’nya dan abu> dawu>d al-thaya>lisi> dalam

Musnadnya dari Zaid bin Tsabit berkata: Shalat Wustha> adalah shalat Dzuhur, abu>

dawu>d al-thaya>lisi; Menambahkan abu> dawu>d al-thaya>lisi; Rasulullah saw. pernah

mengerjakan shalat Z}huhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir.15

2) Shalat Wustha> sebagai shalat ‘Ash}ar.

Hal yang menjadi alasan terhadap shalat ‘Ash}ar ialah karena sebelumnya

terdapat shalat yang di kerjakan pada malam hari dan sesudahnya terdapat pula shalat

yang di lakukan pada siang hari, al-Naha>s mengatakan yang paling baik dalam

menjadikan hujjah dalam hal ini ialah shalat ‘Ashar sebagai shalat al-Wustha>, di

karenakan shalat terdapat di antara dua shalat, pertama merupakan shalat yang

13Ibid,175-176

14 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam, 176


(48)

pertama kali di wajibkan, dan kedua terdapat di antara shalat yang terlah di

wajibkan.16

Mayoritas ‘Ulama’ memiliki anggapan di antara beberapa perselisihan pendapat di atas, yang paling shahih di antara beberapa perselisihan itu adalah Shalat

‘Ashar sebagai Shalat al-wustha>. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini

adalah ‘Ali ibn abi> thalib, ibn ‘Abba>s, ibn Umar, abu hurairah, said al-khudri>.

Pendapat inilah yang di pilih oleh abi hani>fah dan para dan pengikutnya, Syafi’i dan

mayoritas ahli atsar dengan di ikuti pula oleh pendapat ‘Abdu al-lmali>k ibn Habib dan dikuatkan oleh pendapat Ibn al-Arabi dalam kitab Qabasnya dan Ibn ‘Athiyah dalam tafsirnya ia mengatakan: Bahwa pendapat ini dikatakan oleh jumhur ulama dan saya juga termasuk di dalamnya, mereka mendasarkan pendapat ini dari

hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainya.17

Terhadap pendapatnya di atas mereka mendasarkan pada hadis yang

diriwayatkan oleh Muslim dan selainya, dalam hal ini al-Qurtubi> hanya menyebutkan

dari hadis Ibn Mas’ud, ia mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Shalat Wustha>

adalah shalat ‘Ash}ar, hadis tersebut di keluarkan oleh al- Tirmi>dhi> pula, dan beliau

mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan S}hahi>h.18 Al-hafi>d} Abu> Muhammamd Abd

al-Mumin ibn khalaf ad-dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Shalat al-Wustha> (menyikap tabir Shalat al-Wustha> ) mengatakan, telah di

16Ibid 176

17 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam, 176-177 18 Ibid,177


(49)

41

naskan bahwa yang di maksud dengan Makna Shalat al-Wustha> adalah Shalat

‘Ashar. Ia meriwayatkan dari Umar, ‘Ali, Ibn Mus’ud, abu> Ayyub, Abdullah Ibn

‘Amr, samurah Ibn Jundub, abu Hurairah, abu> Sai’id, Hafsah, Ummu Habibah,

Ummu Salamah, ibn Umar, ibn ‘abbas, dan ‘Aisyah.19

3) Shalat al-Wustha> sebagai Shalat Maghrib

Pendapat ini diperkuat oleh Qabishah bin Abu Dzaaib dalam kelompoknya, dengan dalil bahwa Shalat Maghrib terdapat di tengah-tengah di antara jumlahnya rakaat shalat, tidak lebih sedikit dan tidak lebih banyak serta tidak dapat di qashar ketika dalam melakukan perjalanan, dan juga Rasulullah SAW tidak mempercepat waktunya dan tidak mengakhirkannya, dan di antaranya terdapat dua Shalat jahr (di

nyaringkan) dan dua Shalat sir (di samarkan bacaannya).20

Dan di riwayatkan Dari Aisyah ra dari nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya paling utamanya shalat di sisi allah adalah shalat Maghrib tidak dapat di bebaskan

terhadap orang yang melakukan perjalanan dan orang yang muqi>m, allah

membukanya shalat malam dan menutupnya shalat siang, barang siapa shalat magrib dan dua rakaat setelah maka allah akan membagunkan rumah di surga dan barang siapa yang shalat empat rakaat setelahnya maka allah akan memaafkan dosa-dosanya

selama dua puluh tahun, dan di katakan pula empat puluh tahun.21

19Ibn Katsi>r Tafsir al-Qur’an > 649

20 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam, 177 21 Ibid, 178


(50)

4) Shalat Wustha> sebagai shalat ‘Isya,

Hal ini di karenakan shalat isya’ tersebut berada di antara dua shalat yang tidak di qashar, dan masuk waktunya ketika orang-orang akan mau tidur, dan disunatkan mengakhirkannya karena sulit mengerjakannya, oleh karena itu ditegaskan

dalam ayat agar memeliharanya.22

5) Shalat al-Wustha> sebagai Shalat Subuh,

Di sebabkan Shalat Subuh Sebelumnya terdapat dua Shalat malam yang di Jahr-kan dan setelahnya juga terdapat dua Shalat siang yang di sirr-kan, dan ketika waktunya juga sudah masuk banayak orang-orang yang masih tidur, mengerjakannya sulit ketika waktunya berada musim dingin karena menggigil, dan sulit

mengerjakannya pada musim panas karena waktu malamnya lebih singkat.23

Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah ‘Ali ibn Abu Thalib, Abdullah ibn Abbas dalam hadis di bawah ini di jelaskan; dituliskan di dalam kitab Muwattha’ sebagai ulasan, dan dikeluarkan hadis ini juga oleh at-Tirmizi dari Ibn Umar dan Ibn Abbas sebagai komentar . Pendapat ini juga diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, yaitu pendapat Malik dan pengikutnya juga, sebagaimana imam Syafi’ juga condong pada pendapat ini seperti diungkapkan oleh al-Qusyairi, dan yang shahih

22 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam, 178


(51)

43

dari Ali yang mengatakan shalat ‘Ashar. Dalil yang diusung pendapat ini adalah

firman Allah: Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khu>syu>’.24

Ayat ini menunjukkan bahwa Shalat subuh sebai Shalat al-Wustah>, di

sebabkan tidak ada shalat wajib yang disertakan qunut selain shalat shubuh. Abu

Raja> mengatakan: Bahwa pernah Ibn Abbas meng-imami kami shalat shubuh di Bashrah maka ia qunut sebelum ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya. Setelah selesai shalat Ibn Abbas berkata: Inilah shalat wusthaa yang telah diperintahkan Allah SWT untuk dikerjakan bersama qunut. Anas juga berkata: Bahwa rasulullah SAW

qunut pada shalat shubuh sebelum ruku’.25

6) Shalat al-Wustha> sebagai Shalat Jum’at.

Hal tersebut di karenakan dikhususkan untuk berkumpul dan mendengarkan

khutbah padanya, serta dijadikan sebagai hari raya. 26

Dalam hadis yang di riwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bahwasanya rasulullah SAW bersabda kepada kelompok yang lalai dari shalat jum’at: “Aku pernah berencana menyuruh orang lain menggantikanku mengimami orang-orang, kemudian aku akan pergi membakar rumah setiap orang yang lalai dari shalat

jum’at”.27

24Ibid,178

25 al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam, 179

26Ibid,179


(52)

7) Shalat wustha> sebagai shalat shubuh dan ‘ashar sekaligus.

Syeikh Abu Bakar al-Anbari, dengan dalil perkataan rasulullah SAW dari abu>

hurairah; Silih berganti datang kepada kalian malaikat malam dan malaikat siang.28 Dan dari riwayat Jarir bin Abdullah mengatakan: Pernah kami duduk di sisi rasulullah SAW, tiba-tiba Beliau melihat kepada bulan yang sedang purnama dan bersabda: “Kalian akan melihat Tuhan sebagaimana kalian melihat kepada bulan itu, kalian pasti akan melihat-Nya jika kalian mampu mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sesudah terbenamnya, yaitu shalat ‘ashr dan fajar”. Kemudian Jarir membacakan ayat: Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu sebelum terbit

matahari dan sesudah terbenamnya.29

‘Umarah bin Ruaibah meriwayatkan berkata: Saya pernah mendengarkan rasulullah SAW bersabda: Seseorang tidak akan masuk neraka yang shalat sebelum

terbit matahari dan setelah terbenamnya”, yakni shalat fajar dan shubuh. 30 Begitu

juga dengan hadis yang lain yang di riwayatkan oleh ‘Umarah bahwa beliau mengatakan rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mengerjakan shalat pada kedua

waktu dingin maka akan masuk surga”.31 Kedua hadis tersebut menjelaskan betapa

sangat penting kedua shalat tersebut, sehingga bagi orang-orang mendapat jaminan masuk masuk surga dan tidak masuk neraka.

28al-Qurtubi> , al-Jami>’ Li-Ahkam 179

29 Ibid, 180

30Ibid, 180


(53)

45

8) Shalat wustha} sebagai al-‘Itmah dan shubuh,

Dalam kamus al-Muawwir di artikan sebagai sepertiga malam yang awal

waktu shalat ‘Isya’ yang akhir.32

Dalam hal ini abu> darda>’ mengatakan ra ketika sakit yang meninggal dunia di waktu tersebut; dengarkanlah dan sampaikanlah terhadap orang yang berada di belakang kalian (generasi yang akan datang); peliharah atas dua shalat-yaitu dalam berjama’ah-shalat ‘isya’ dan shalat subuh, dan seandainya kalian mengatahui apa yang ada di dalam keduanya maka tentunya kalian akan melakukan keduanya meskipun dalam keadaan merangkak atas lengan dan lutut kalian, hal ini pula juga di

katakana oleh umar dan ‘Ustma>n.33

Dan meriwayatkan para imam dari Rasulullah SAW bersabda; dan seandaikan mereka mengatahui apa yang di antara al-‘Itmah dan subuh tentunya mereka akan melakukannya kedua tersebut meskipun dalam keadaan merangkak, dan beliau mengatakan dari kedua shalat tersebut paling berat terhadap orang-orang yang munafiq. Imam malik menuturkan secara mauquf terhadap ‘Ustman dan di marfu’kan

oleh Muslim. Dan abu> dawu>d dan al-thirmidi mengeluarkan hadis dari muslim,

Rasulullah SAW bersabda; barang siapa yang bersaksi terhadap ‘Isya’ secara berjama’ah maka ia seperti melakukan shalat di pertengahan malam, dan barang siapa

32Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,(Surabaya;

Pustaka Progresif, 1984), 894


(1)

71

BAB V

PENUTUP

A.

Kesimpulan

1. Al-Qurtubi> dan al-Alusi> dalam menafsir Surat al-Baqarah ayat 238 tentang Lafad} Shalat al-Wustha> kedua mufassir tersebut sama-sama menjelaskan perselisian pendapat ‘Ulama’ tentang lafad} Shalat al-Wustha>. Dalam tafsiran kedua mufassir sebagai berikut;

a. al-Qurtubi> menafsir lafad Shalat al-wustha> sebagai Shalat ‘As}har berdasarkan hadis Nabi Muhammad yang berfungsi sebagai Baya>n terhadap al-Qur’an.

b. al-Alusi> terhadap Surat al-Baqarah ayat 238 tentang Lafad Shalat al-Wustha> sebagai Shalat Z}huhur dengan berdasarkan Asba>b al-Nuzu>l, al-Alusi> terhadap lafad tersebut juga menafsirkan secara Isyari> sebagai shalat Qalb, meskipun penafsiran beliau dengan pendekatan Isyari>, penafsiran tersebut tidak terlepas dari kaidah Munasabah dalam al-Qur’an.

2. Akurasi dari dua penafsir terhadap teori masing-masing dari mereka sebagai berikut;

a. Al-Qurtubi menafsirkan makna lafadz} dari shalat al-Wustha> dengan berdasarkan teori fungsi hadis yang berfungsi sebagai ba>yan. Bahwa banyak hadis yeng menjelaskan bahwa Shalat al-Wustha> adalah Shalat ‘ashar, dalam hal ini beliau membatalkan ( ِﺮْﺼَﻌْﻟا ِة َﻼَﺻَو). Dengan


(2)

72

berlandaskan; terhadap Ulama beliau dengan memakai hadis dari ‘Umar ibn Ra>fi’ Hafs}ah. Dalam riwayat na>fi’ dari Hafs}ah terdapat huruf wa>wu, yaitu; ﺮْﺼَﻌْﻟا ِة َﻼَﺻَو " akan tetapi al-Qurtubi terhadap riwayat tersebut, menganggap hadis mursal, seperti yang di jelaskan oleh Abi> Ha>tim dalam kitab Mara>si>l. Terhadap pendapatnya di atas di dasarkan pula pada hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainya, dalam hal ini al-Qurtubi> hanya menyebutkan dari hadis Ibn Mas’ud, ia mengatakan: Rasulullah SAW bersabda: Shalat Wustha> adalah shalat ‘Ash}ar, hadis tersebut di keluarkan oleh al- Tirmi>dhi> dengan mengatakan sebagai hadis hasan S}hahi>h. Hadis ‘Ali ibn abi thalib shahih tentang shalat al-wustha> dalam hadis tersebut di jelaskan sebagai shalat ‘Ashar.

b. Al-Alusi> dalam menafsirkan makna lafadz} dari shalat al-Wustha> dengan berdasarkan Asba>b al-Nuzu>l, kerena hadis yang di anggap shahih oleh mayoritas ‘Ulama’ itu masih mengandung dua Ihtima>l, oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut cara yang pertama di kompromikan, sedangkan hadis tersebut tidak dapat di kompromikan sehingga harus di tarjih, dan hadis yang dapat di jadikan tarjih adalah Asba>b al-Nuzul. Kaidah Asba>b al-Nuzul yang di pakai ِﻆْﻔﱠﻠﻟا ِمْﻮُﻤُﻌِﺑ َﻻ ِﺐَﺒﱠﺴﻟا ِصْﻮُﺼُِﲞ ُةَﺮْـﺒِﻌﻟْا, sebab dalam hadis yang menjadi Asba>b al-Nuzul menunjukkan pada sebab yang khusus, sedangkan lafadnya terdapat Multitafsir. Dalam struktur kalimat dalam surat al-Baqarah ayat 238 terdapat dua kalimat yang mempunyai


(3)

73

keterkaitan makna dalam satu ayat yaitu, lafad shalat al-wustha> dengan Qani>ti>n.

B.

Saran

Skripsi ini di harapkan untuk di lakukan penelitian lanjut sekaligus kajian secara mendalam yang tidak hanya terfokus dalam kedua mufasir tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipa, 1996

Ash-Shiddiqi, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an,

Jakarta:Bulan Bintang. 1990,

al-Alu>si> al-Bagda>di>, Abu> al-Fadl Syiha>b al-dhi>n al-Sayyid Mahmu>d Ru>h al-Ma>’a>ni> fi>tafsi>r al-Qur’an wa al-Sab’i Masha>ni> jilid II , Kairo: Dar taufiqiyah li al-turats, 2009

al-Qurtubi> , Abi> abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi> bakr al-Jami>’ Li-Ahkam al-Qur’an wa al-Mubi>n lima> Ta}dhammaahu min al-Sunnah wa ayyi al-Furqa>n

Jilid 4 (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah 2006

At-Thabari, Abu ja’far ibn Muhammad Jarir Jami’ al-bayan fi Tafsir Alquran. Jilid IV. Dar al-Fikr, Bairut, 2001

al-Zarkazi, Imam badr al-di>n Muhammad ibn ‘Abdillah al-Burhan fi ‘Ulu>m al-Qur’an, (Da>r al-Hadi>s, al-Qa>hirah, 2006

al-Turmudzi>, Muh}ammad bin ‘I<sa bin Saurah Sunan al-Turmudzi>, juz 5, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashri>yah, 2009

Al-Qatha>n, Manna> , mabahits fii ulumil qur’an Jilid I. (kairo: maktabah wahbah. 2000

al-Syu>yuti>, Jala>la al-Di>n Asba>b al-Nuzu>l al-Musammah luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l (Muassah al-kutub al-Tha}qafiyyah, Bairut 2002

Ar-Rumi, Fahd bin Abdurrahman Ulumul Qur'an; Studi Kompleksitas Al-Qur'an, terj . Amirul Hasan dan Muhammad Halabi, (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996)

al-Zuhaili>, Wahbah al-Tafsi> al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Syari>ah wa al-


(5)

al-Maraghi>, Ahmad Musthafa>Tafsi>r al-MaraghiJilid II, (Beirut : Dar al-Fikr, 1974

Arifin, Zainul Ilmu Hadis Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014

al- Khallaf, Abd al-Wahhab ilmu Ushu>l al-Fiqh Kuwait; Dar al-Qalam, 1978 al-Ajhu>ri>, ‘Athiyyah ibn ‘Athiyyah Irsya>d al-Rahma>n li-asba>bi al-Nuzu>l wa al-Na>si>kh wa al-Mansu>kh wa al-Mutasya>bih wa tajwi>d al-Qar’an, Da>r ibn hazam, Bairut, 2009 cetakan 1

Baidan,Nasruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

---Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 1998.

Izzan, Ahmad Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakkur, 2009.

Tim Penerjemah Depag RI, al -Qur’an dan Terjemah, Tangerang: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007

Kemenag RI, Al-Qur’an dan Tafsinya, jilid 1-3 (Edisi yang di sempurnakan), Widya cahaya, Jakarta,2011

Shihab, M. Quraish, Tafsir Misbah ”Pesan, kesan dan kesadaran

Al-Qur’an Vol 1, Jakarta: Lentera Hati, 2001

---Metode Penelitian Tafsir (Ujung Pandang : IAIN

Alauddin,1984),

Husaini Usman dan purnomo setiadji Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta; Bumi aksara,1996

J Moleong, Lexy Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002


(6)

G Cevilla, dkk, Convelo Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: Universitas Islam, 1993

Sahid, ‘Ulu>m al-Qur’an “Memahami otentifikasi al-quran”, (Surabaya, Pustaka Idea, 2016

Musyafa’ah,dkk. Sauqiyah Studi Al-Qur’an (Surabaya: IAIN SA Press, 2012 Ibn Katsi>r al-Qorsyi> al-dhisyiqi>, Abi> al-dha>’ Isma>il ibn ‘Umar Tafsir

al-Qur’an al-‘Adzim, (Kairo: Dar al-taufiqiyah li al-turats, 2009


Dokumen yang terkait

Menikahi orang musyrik prespektif Al-Jashash dan Al-Qurtubi : analisa surat Al-Baqarah : 221 dalam tafsir Ahkam Al-Quran dan Jami'li Ahkam Al-Quran

6 28 70

BAB 2 Surat Al Isra Ayat 26-27 dan Surat Al Baqarah Ayat 177

0 2 9

Makna al-kursi dalam al-qur'an: Analisa teori penafsiran Abu Hayyan al-Andalusi dan Rasyid Ridha atas Surat al-Baqarah Ayat 255.

0 13 83

Penafsiran al Sha'rawi terhadap "kafir" dalam surat al Baqarah ayat 6.

1 0 100

PERNIKAHAN DINI DALAM AL QUR’AN : TELAAH ATAS PENAFSIRAN LAFAD WA AL LA’I LAM YAHIDN SURAT AL TALAQ AYAT 4 DALAM KITAB JAMI‘ AL BAYAN ‘AN TA’WIL ’AY AL QUR’AN LI IBN JARIR AL TABARI.

0 1 113

IBRAH KISAH KONFLIK BANI ISRA’IL DALAM AL-QUR’AN (TELAAH PENAFSIRAN ULAMA ATAS AYAT KONFLIK BANI ISRA’IL DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 243-252).

1 6 87

BAB I PENDAHULUAN - PENAFSIRAN AYAT-AYAT NIKAH DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQARAH, AN-NISĀ’, AN-NŪR, AL-AḤZĀB (Telaah Komparatif dalam Tafsῑr Jalāla͞ῑn dan Al-Qur’an Al-‘Aẓῑm) - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 13

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM SURAT AL BAQARAH AYAT 247 DAN AL MUNAFIQUN AYAT 4 SKRIPSI

0 1 94

BAB II KAJIAN TAFSIR AL QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 133 A. Deskripsi al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat 133 - Pendidikan Aqidah Anak dalam perspektif al Qur'an surat al Baqarah 133 - Raden Intan Repository

0 1 18

MAKNA AL-MAGHDLUB DAN AL-DLALLIN (QS. AL-FATIHAH AYAT 7 PENAFSIRAN AL-QURTUBI DALAM TAFSIR AL-JAMI’LI AHKAAM AL-QUR’AN) - STAIN Kudus Repository

1 6 31