PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN MISSOURI MATHEMATICS PROJECT DENGAN METODE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA DI KELAS VII SMP N 1 TAWANGMANGU.

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan seseorang agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Menurut Redja (2013:3), pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Menurut UU No. 20 th 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlakukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan definisi diatas dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki serta dilakukan seumur hidup yang didapatkan dari segala pengalaman yang terjadi. Pendidikan salah satunya dapat diperoleh dalam proses pembelajaran yang terjadi di sekolah.

Pembelajaran merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh guru agar dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam belajar bagi siswa. Menurut UU No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan


(2)

2 belajar. Pembelajaran bukan saja menjadi tanggung jawab individu, namun juga guru sebagai pedidik.

Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang menjadi salan satu acuan pembelajaran di Indonesia merinci empat jenis kemampuan penting yang harus dikuasai oleh peserta didik, yaitu pemecahan masalah (problem solving), penalaran (reasoning), komunikasi (communication). Salah satu ketrampilan yang ingin dicapai dalam pembelajaran adalah kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan tingkat tinggi yang diperlukan dalam mempelajari matematika dan merupakan bagian penting dari kurikulum matematika. Menurut teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne (Erman Suherman dkk, 2003) bahwa ketrampilan intelektual tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah dalam proses pembelajaran dapat dikatakan sebagai kegiatan inti.

Berdasarkan hasil riset TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) tahun 2011 menunjukkan siswa di Indonesia berada pada rangking rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Padahal kemampuan tersebut sangat dibutuhkan dalam mewujudkan tujuan mata pelajaran matematika, yaitu agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, analitik dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan mengkomunikasikan. Rendahnya kemampuan matematika siswa di Indonesia disebabkan oleh siswa yang terbiasa menerima konsep jadi, tanpa berfikir untuk memahami dan menemukan konsep


(3)

3 tersebut juga menyelesaikan soal matematika dengan menghafal cara yang telah disampaikan guru (Giyanto, 2013). Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa merupakan salah satu aspek dalam pencapaian hasil belajar. Terdapat tiga aspek dalam penilaian hasil belajar matematika, yaitu kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran dan kemampuan pemahaman.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Menurut Ruseffendi (1998: 260), matematika timbul karena pikiran-pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, sehingga logika dibutuhkan dalam mempelajari matematika. Setiap siswa memiliki kemampuan logika yang berbeda-beda sehingga seringkali siswa kesulitan dalam mempelajari matematika. Hal ini merupakan tantangan bagi guru agar siswa-siswanya dapat memahami matematika dengan baik. Menurut Erman Suherman (2003:62), dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru hendaknya menggunakan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang banyak melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.

Para ahli telah mengembangkan beberapa model pembelajaran. Model pembelajaran dimaksudkan sebagai pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang berhubungan dengan strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan di dalam proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Pemilihan dan penggunaan model pembelajaran yang tepat oleh guru dapat membantu penyampain materi secara maksimal kepada siswa.


(4)

4 Salah satu model pembelajaran yang telah dikembangkan adalah model pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP). MMP adalah salah satu model pembelajaran yang terstruktur dengan pengembangan ide dan perluasan konsep matematika. Karakteristik dari model pembelajaran MMP adalah adanya lembar tugas proyek. Melalui tugas proyek diharapkan peserta didik dapat terampil dalam memecahkan persoalan dan memiliki berbagai pengalaman dalam pemecahan masalah matematika. Pembelajaran matematika yang mengacu pada MMP, siswa dituntut aktif dalam pembelajaran karena guru hanya sebagai fasilitator yang mendampingi dan membantu siswa menemukan pengetahuannya. Siswa diperkenalkan secara langsung dengan objek real sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengkaji dan menguasai materi pelajaran matematika. MMP adalah model pembelajaran yang terdiri dari beberapa langkah dalam proses pembelajarannya dimana terdapat pembelajaran kooperatif dalam pelaksanaanya. Salah satu pembelajaran kooperatif yang dirasa cocok untuk dikombinasikan dengan MMP adalah Two Stay Two Stray (TSTS).

TSTS merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Metode ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan, ketrampilan, dan memberikan kesempatan kelompok untuk berbagi hasil dan informasi kepada kelompok lain, sehingga setiap siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dapat saling membagikan ide dan informasi dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga menemukan solusi yang tepat. Dengan adanya diskusi dan kerjasama antar siswa memecahkan masalah tentunya


(5)

5 akan berdampak baik terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu tahun ajaran 2014/2015 pada bulan Februari 2015, terdapat fakta bahwa masih banyak siswa yang memiliki kecenderungan untuk menghapalkan rumus tanpa memahami konsep dan proses dalam menemukan rumus. Hal ini terlihat pada saat siswa diberikan contoh soal pemecahan masalah yang dikerjakan bersama dengan guru, siswa dapat memahaminya. Ketika siswa diberikan soal latihan atau masalah dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada contoh yang diberikan sebelumnya, siswa masih terlihat kebingungan dan kesulitan dalam memahami serta menyelesaikan masalah sesuai tersebut sesuai dengan prosedur penyelesaian masalah. Disamping itu, guru masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana guru masih menjadi pusat pembelajaran yang erat kaitannya dengan metode ceramah dan tanya jawab. Hal ini menyebabkan siswa kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Soviana (2013) yang berjudul Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu pada Missouri Mathematics Project Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII SMP N 21 Semarang menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa pada pembelajaran matematika yang mengacu pada MMP lebih tinggi dan pembelajaran matematika mengacu pada MMP efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Dona (2012) dengan judul Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif


(6)

6 Tipe Two Stay Two Stray dengan Metode Problem Solving Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Ditinjau dari Kategori Multiple Intelligences Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa TSTS dengan Problem Solving menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik.

Berdasarkan uraian dan penelitian-penelitian yang relevan, peneliti tertarik untuk mencoba melakukan penelitian eksperimen dengan mengkombinasikan model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hal yang telah dikemukakan pada latar belakang dapat diketahui bahwa masalah yang ada yaitu:

1. Kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematika masih rendah karena siswa cenderung hanya menghapalkan rumus tanpa memahami konsep dan proses dalam menemukan rumus.

2. Pembelajaran yang digunakan masih menggunakan pembelajaran konvensional dimana pembelajaran masih berpusat kepada guru sehingga siswa kurang aktif dalam pembelajaran.

3. Belum diketahuinya pengaruh model pembelajaran MMP yang dikombinasikan dengan metode TSTS terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu.


(7)

7 C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah maka penelitian ini dibatasi pada pengaruh model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII pada materi bangun segiempat khususnya luas dan keliling bangun segiempat pada siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu.

D. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah pembelajaran menggunakan model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu ?

2. Apakah model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui penggunaan model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu.


(8)

8 2. Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas VII SMP N 1 Tawangmangu.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain: 1) Bagi peneliti

- menambah pengetahuan peneliti tentang penerapan model pembelajaran MMP.

- memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada peneliti sebagai calon pendidik.

2) Bagi guru matematika

- sebagai masukan atau alternatif model pembelajaran.

- sebagai pendorong dalam perbaikan proses pembelajaran matematika yang lebih baik.

3) Bagi siswa, sebagai alternatif strategi belajar dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.


(9)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Matematika

Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat menuntut seseorang untuk terus mempelajari hal-hal baru. Belajar merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menambah ilmu. Menurut W.S. Winkel (2014: 59), belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, dan sikap. Berdasarkan pendapat Erman Suherman (2001:8), belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman. Hal ini sejalan dengan pendapat Fontana bahwa belajar adalah proses perubahan individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman, sedangkan pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal (Erman Suherman, 2003:7). Dari beberapa pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa belajar adalah aktivitas yang di dalam prosesnya terdapat perubahan tingkah laku manusia berasal dari pengalaman yang dimiliki dari interaksi dengan lingkungannya. Kegiatan belajar sendiri tidak akan terlepas dari proses pembelajaran.

Secara umum, pembelajaran adalah suatu kegiatan dimana di dalamnya terdapat proses interaksi antara guru dan siswa. Menurut Peraturan Pemerintah RI


(10)

10 No 32 Tahun 2013, pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara pendidik dan peserta didik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Sejalan dengan pendapat Cohen dan Ball (Feldman, 2002) yang menyatakan bahwa pembelajaran harus dilihat sebagai suatu interaksi antara guru, peserta didik, dan materi pembelajaran. Menurut Suherman (Asep J. & Abdul H., 2008), pembelajaran merupakan komunikasi antara peserta didik dengan pendidik serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. Dari berbagai pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses belajar dimana di dalamnya melibatkan peran guru dan siswa sebagai pelaku terlaksananya tujuan pembelajaran bersama yang di dukung oleh lingkungan yang memiliki peran penting dalam proses belajar, termasuk dalam belajar matematika.

Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan dan dipelajari siswa di bangku sekolah. Terdapat beberapa definisi tentang matematika, salah satunya adalah menurut Reys, matematika adalah telaah tentang pola, hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat (Erman Suherman, dkk, 2003:17). Menurut Ruseffendi (1988: 261), “Matematika adalah ilmu tentang struktur yang terorganisasikan”. Misalnya pada geometri bidang terdapat unsur-unsur tertentu antara lain titik, garis, lengkungan, dan bidang. Definisi atau pengertian dari keempat unsur tersebut adalah saling berhubungan satu sama lain.

Selain itu menurut Encyclopedia Britannica (2000:366) matematika adalah ilmu tentang struktur, urutan, dan hubungan yang telah berkembang dari


(11)

praktek-11 praktek elemental menghitung, mengukur, dan mendeskripsikan bentuk objek. Dengan nalar dan perhitungan kuantitatif, dan perkembangannya telah melibatkan peningkatan secara ideal dan abstraksi dari materi. Sejak abad ke 17, matematika telah diperlukan untuk tambahan pada fisika dan teknologi, dan pada masa sekarang, matematika telah diasumsikan memiliki peranan penting dalam aspek kuantitatif ilmu dalam kehidupan.

Selain itu Kline (Erman Suherman, dkk 2003:17), berpendapat bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan yang menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam. Dari berbagai macam pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu yang terstruktur dan terorganisasi yang berkenaan dengan ide-ide sebagai alat pikir, komunikasi, alat untuk memecahkan masalah dalam membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan di dalam kehidupan.

Pembelajaran matematika merupakan salah satu kegiatan yang ada di sekolah. Pembelajaran matematika harus dapat memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif agar dapat mengembangkan aspek sikap, pengetahuan, dan kerampilannya. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Marpaung (2008:24) bahwa dalam suatu pembelajaran matematika siswa perlu aktif melakukan proses matematisasi, yaitu siswa diberi kesempatan merekontruksi pengetahuan lewat berbuat: mengamati, mengklarifikasi, menyelesaikan masalah, berkomunikasi, berinteraksi dengan yang lain termasuk dengan gurunya, melakukan refleksi,


(12)

12 melakukan estimasi, mengambil kesimpulan, menyelidiki keterkaitan dan sebagainya.

Menurut National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (2000), terdapat empat prinsip pembelajaran matematika, yakni:

1. Matematika sebagai pemecahan masalah; 2. Matematika sebaai penalaran;

3. Matematika sebagai komunikasi; dan 4. Matematika sebagai hubungan.

Keempat prinsip diatas sejalan dengan pendapat Reys bahwa matematika adalah telaah tentang pola, hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat (Erman Suherman, dkk, 2003:17). Sejalan dengan yang dimaksudkan sebelumnya, bahwa matematika yang diterapkan di sekolah seharusnya merupakan aktivitas pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Di dalam pemecahan masalah, siswa belajar untuk melakukan penalaran agar dapat mengkomunikasikannya dan mengetahui pola atau hubungan dalam permasalah yang ada untuk menemukan solusi. Selain itu Erman Suherman, dkk (2001:55), pembelajaran matematika perlu membiasakan siswa untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki oleh sekumpulan objek (abstraksi).

Dari beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses interaksi peserta didik dalam matematika. Pada proses tersebut siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematikanya melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki oleh


(13)

13 sekumpulan objek (abstraksi) sehingga siswa dapat menemukan ide atau konsep dalam matematika.

2. Efektifitas Pembelajaran Matematika

Efek berasal dari kata bahasa Inggris "effect" yang berarti berhasil atau memberikan hasil yang diinginkan (Cambridge Advanced Learnenr Dictionary). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), efektif adalah adanya pengaruh yang dapat membawa hasil. Menurut Davis, efektivitas mengacu pada sesuatu yang dikerjakan. Sesuatu pembelajaran dikatakan efektif jika apa yang dikerjakan benar artinya sesuai dengan materi dan tujuan (Slamet Soewadidkk, 2005: 43). Sesuatu pembelajaran dikatakan efektif jika apa yang dikerjakan benar artinya sesuai dengan materi dan tujuan.

Keefektifan proses pembelajaran diukur dengan tingkat pencapaian siswa pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Model pembelajaran dikatakan efektif jika tujuan pembelajaran dapat dicapai sesuai dengan suatu kriteria tertentu (Hamzah B. Uno, 2008: 138). Ketercapainya tujuan dapat dilihat dari hasil pre-test dan post-test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dilaksanakan yang dibandingkan dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan oleh peneliti yaitu pada kategori sangat baik dengan pencapaian nilai rata-rata minimal 75 sesuai dengan KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang digunakan sekolah.

Berdasarkan beberapa pendapat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dikatakan efektif apabila memberikan hasil yang


(14)

14 diinginkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah.

3. Kemampuan Pemecahan Masalah

Setiap kehidupan tidak terlepas dari suatu permasalah sehari-hari, termasuk juga dalam dunia pendidikan. Permasalahan yang terjadi di kehidupan sehari-hari pasti memiliki solusi yang didapatkan dari proses pemecahan masalah. Menurut Herman Hudojo (2001:162), tujuan pendidikan adalah suatu proses terus-menerus manusia untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sepanjang hayat. Menurut Abdurrahman (2003), pemecahan masalah adalah aplikasi dan konsep keterampilan. Pemecahan masalah biasanya melibatkan beberapa kombinasi konsep dan keterampilan dalam suatu situasi baru atau situasi yang berbeda. Sebagai contoh, pada saat siswa diminta untuk mengukur luas selembar papan, beberapa konsep dan keterampilan ikut terlibat. Beberapa konsep yang terlibat adalah bujursangkar, garis sejajar dan sisi; dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan dan mengalikan.

Pemecahan masalah merupakan bagian penting dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan-kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika penting seperti penerapan peraturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika, dan lain-lain dapat


(15)

15 dikembangkan secara lebih baik. Menurut Herman Hudojo (2005:123) suatu pertanyaan akan merupakan suatu masalah hanya jika seseorang tidak mempunyai aturan/hukum tertentu yang segera dapat dipergunakan untuk menemukan jawaban pertanyaan tersebut. Dengan demikian suatu pertanyaan merupakan masalah bagi peserta didik, namun belum tentu merupakan masalah bagi peserta didik lain. Sehingga syarat masalah bagi seorang peserta didik adalah sebagai berikut.

1. Pertanyaan yang dihadapkan haruslah dapat dimengerti oleh peserta didik, namun pertanyaan tersebut harus merupakan tantangan baginya untuk menjawab.

2. Pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh peserta didik.

Adapun fungsi pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika menurut NCTM (2000:335), meliputi:

a. Pemecahan masalah adalah alat penting mempelajari matematika. Banyak konsep matematika yang dikenalkan secara efektif kepada siswa melalui pemecahan masalah.

b. Pemecahan masalah dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan alat sehingga siswa dapat memformulasikan, mendekati, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah mereka pelajari di sekolah.

Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika diantaranya adalah mengembangkan kemampuan: (1) komunikasi matematis, (2) penalaran matematis, (3) pemecahan masalah matematis, (4) koneksi matematis, dan (5)


(16)

16 reperesentasi matematis (NTCM, 2000:7). Namun pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika belum dijadikan sebagai kegiatan utama. Padahal di negara- negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang kegiatan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika sekolah dapat dikatakan sebagai kegiatan inti. Oleh karena itu, kemampuan pemecahan masalah sangat diperlukan oleh setiap manusia. Proses pemecahan masalah mengajarkan suatu proses berpikir yang termasuk dalam pemecahan masalah matematika yang mengajarkan proses berpikir secara matematis.

Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne (Erman Suherman, 2003:89), bahwa ketrampilan intelektual tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi. Gagne membaginya menjadi delapan tipe belajar yaitu belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan, belajar pembentukkan konsep, belajar pembentukkan aturan, dan belajar pemecahan masalah.

Menurut NCTM (2000) standar isi dan proses dalam pemecahan masalah, program instruksional dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan kelas 12 harus memungkinkan siswa untuk dapat:

1. Membangun pengetahuan baru matematika melalui pemecahan masalah. 2. Mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam matematika dan dalam


(17)

17 3. Menerapkan dan menyesuaikan diri dengan berbagai strategi yang tepat

untuk memecahkan masalah.

4. Memantau dan merenungkan proses pemecahan masalah matematika. Menurut Polya (Erman Suherman, dkk: 2001) , terdapat empat tahap dalam pemecahan masalah, yaitu:

a) Memahami Masalah

Saat siswa menghadapi suatu permasalahan, siswa tidak hanya harus memahami masalah tersebut tetapi juga harus berkeinginan untuk menyelesaikannya. Permasalahn yang diberikan kepada siswa seharusnya menarik bagi siswa. Tahap pertama dalam memahami masalah adalah memahami perntayaan dalam masalah tersebut. Siswa harus mampu menentukan hal yang tidak diketahui, data yang diketahui, dan syarat yang terdapat pada masalah. Selain itu, siswa juga menuliskan hal-hal tersebut dalam notasi matematika.

b) Merencanakan Penyelesaian Masalah

Saat merencanakan penyelesaian masalah siswa harus menguasai materi yang telah dipelajari sebelumnya dan memiliki pengetahuan lain yang menunjang materi tersebut. Pada tahap ini siswa dituntut untuk memikirkan langkah-langkah yang harus dikerjakan. Semakin bervariasi pengalaman siswa maka siswa akan cenderung semakin kreatif dalam perencanaan penyelsaian masalah.


(18)

18 c) Menyelesaikan Masalah sesuai rencana

Pada tahap ini siswa menjalankan rencana penyelesaian masalah yang telah dibuat untuk mendapatkan solusi permasalahan.Selain menjalankan perhitungan matematis, siswa juga mencantumkan data dan informasi yang diperlukan sehingga siswa dapat menyelesaikan soal yang dihadapi dengan baik dan benar.

d) Melakukan Pengecekan Jawaban

Pada tahap ini siswa melakukan pengecekan terhadap jawaban yang telah diperoleh melalui tahap pertama sampai tahap ketiga. Proses pengecekan dilakukan dengan mempertimbangkan dan menguji kembali jawaban yang diperoleh terhadap permasalahan.

Sejalan dengan pendapat Polya, O'Connell (2007:17) menyatakan bahwa membimbing peserta didik untuk memecahkan masalah memerlukan langkah sebagai berikut (1) memahami masalah; (2) merencanakan penyelesaian masalah; (3) mencoba rencana tersebut; (4) mengecek jawaban dan (5) merefleksikan apa yang telah dikerjakan.

Menurut Hudojo dan Sutawijaya (Herman Hudojo, 2001:177-186), petunjuk sistematik untuk menyelesaikan masalah adalah sebagai berikut:

a) Pemahaman terhadap masalah

Pemahaman terhadap masalah meliputi membaca kembali permasalahan dan memahami kata demi kata, mengidentifikasi apa yang diketahui, yang ditanyakan, mengabaikan hal yang tidak relevan dengan


(19)

19 permasalahan, dan tidak menambah hal yang tidak ada sehingga mengubah permasalahan yang sebenarnya.

b) Perencanaan penyelesaian masalah

Perencanaan penyelesaian masalah berupa sejumlah strategi yang dapat membantu penyelesaian masalah.

c) Melaksanakan perencanaan penyelesaian masalah

Pemahaman terhadap masalah dan perencanaan penyelesaian yang telah dilakukan dilanjutkan dengan pelaksanaan perencanaannya sehingga didapatkan yang dinyatakan dalam permasalahan.

d) Melihat kembali penyelesaian masalah

Melihat kembali penyelesaian permasalahan dapat dilakukan dengan empat komponen yang terditi dari melakukan pengecekan jawaban, menginterpretasikan jawaban, menanyakan pada diri sendiri apakah ada cara lain untuk mendapatkan penyelesaian yang sama, dan bertanya pada diri sendiri apakah ada penyelesaian yang lain.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan suatu proses untuk memperoleh solusi dari permasalahan yang dilakukan melalui empat tahap pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, menentukan penyelesaian dari masalah, menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana, dan melakukan pengecekkan kembali terhadap penyelesaian.


(20)

20 4. Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP)

Di dalam suatu proses pembelajaran terdapat berbagai komponen pembelajaran yang harus dikembangkan dalam upaya mendukung tercapainya tujuan dan keberhasilan pembelajaran. Komponen-komponen tersebut antara lain guru, siswa, model pembelajaran, metode pembelajaran, serta sumber dan media pembelajaran. Sebagai salah satu komponen pembelajaran, pemilihan model pembelajaran akan sangat mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. MMP merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. MMP merupakan suatu model pembelajaran yang terstruktur dengan pengembangan ide dan perluasan konsep matematika. MMP biasanya diterapkan bersama-sama dengan pembelajaran kooperatif.

MMP adalah suatu model pembelajaran matematika yang diterapkan di Missouri, suatu negara bagian Amerika Serikat dibawah Departemen Missouri Pendidikan Dasar dan Menengah. Good dan Grouws (1979), mengemukakan bahwa MMP difokuskan pada bagaimana perilaku guru berdampak pada prestasi belajar siswa, sehingga mengikuti paradigma proses-produk. Hasil penelitian yang dilakukan Good dan Grouws (1979) didapat hasil bahwa pada kelompok eksperimen jumlah pertanyaan yang dijawab oleh siswa rata-rata meningkat, peringkat persentil meningkat, kinerja kelompok perlakuan meningkat secara signifikan dari kelompok kontrol, dan skor post- test yang jauh lebih tinggi daripada skor pretest. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran MMP adalah suatu model pembelajaran yang cocok digunakan dalam pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran


(21)

21 matematika yang mengacu pada MMP, siswa dituntut aktif dalam pembelajaran karena guru hanya sebagai fasilitator yang mendampingi dan membantu siswa menemukan pengetahuannya. Siswa diperkenalkan secara langsung dengan objek real sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengkaji dan menguasai materi pelajaran matematika. Model MMP memuat 5 langkah berikut:

a. Pendahuluan atau Review - Membahas PR

- Meninjau ulang pelajaran lalu yang berkait dengan materi baru - Membangkitkan motivasi

b. Pengembangan

- Penyajian ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu - Penjelasan, diskusi demonstrasi dengan contoh konkret yang sifatnya

piktorial dan simbolik

c. Latihan dengan Bimbingan Guru - Siswa merespon soal

- Guru mengamati - Belajar kooperatif d. Kerja Mandiri

- Siswa bekerja sendiri untuk latihan atau perluasan konsep pada langkah 2.


(22)

22 - Siswa membuat rangkuman pelajaran, membuat renungan tentang hal- hal baik yang sudah dilakukan serta hal-hal kurang baik yang harus dihilangkan.

- Memberi tugas PR.

Sejalan dengan Convey sebagaimana dikutip oleh Krismanto (2003: 11) mengemukakan langkah umum (sintaks) dalam model pembelajaran MMP adalah sebagai berikut:

a. Pendahuluan atau review

Kegiatan- kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu: (1) meninjau ulang pelajaran sebelumnya terutama yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang sedang dilakukan, (2) membahas soal pekerjaan rumah (PR) yang diberikan pada pelajaran sebelumnya yang dianggap paling sulit oleh siswa, (3) membangkitkan motivasi siswa dengan cara memberikan satu contoh soal yang berkaitan dengan soal PR yang dianggap sulit oleh para siswa.

b. Pengembangan

Pada langkah ini kegiatan yang dapat dilakukan adalah (1) penyajian ide baru dan perluasan konsep matematika terdahulu, (2) penjelasan materi yang dilakukan oleh guru atau siswa melalui diskusi, (3) demonstrasi dengan menggunakan contoh yang konkret.

c. Latihan Terkontrol

Pada langkah ini siswa diberi latihan terkontrol atau latihan yang dilakukan dengan adanya pengawasan atau bimbingan guru. Pengawasan


(23)

23 yang dilakukan oleh guru ini bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran. Latihan yang diberikan kepada siswa dikerjakan secara berkelompok (belajar kooperatif).

d. Seat Work (Kerja Mandiri)

Pada langkah ini siswa secara individu atau berdasarkan kelompok belajarnya merespon soal untuk latihan atau perluasan konsep yang telah dipelajari pada langkah pengembangan.

Karakteristik dari model pembelajaran MMP adalah adanya lembar tugas proyek. Melalui tugas proyek diharapkan peserta didik dapat terampil dalam memecahkan persoalan dan memiliki berbagai pengalaman dalam pemecahan masalah matematika. Pada proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran MMP, siswa berperan aktif dalam pembelajaran dan guru bertindak sebagai fasilitator dan sebagai pembimbing sekaligus sebagai teman berpikir. Guru akan memberikan sikap terbuka terhadap ide-ide yang relevan yang dikemukakan oleh siswa. Hal ini akan memberikan kesempatan dan waktu terhadap siswa untuk memantapkan materi pembelajarannya, serta kemampuan dalam memecahkan masalah matematika yang diberikan. Selain itu akan tercipta suasana keakraban yang baik antara satu siswa dengan siswa yang lain dan juga siswa dengan guru. Penerapan model pembelajaran MMP menempatkan siswa tidak hanya menjadi objek semata tetapi juga sebagai subyek yang aktif dalam diskusi kelompok maupun latihan mandiri. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa MMP adalah suatu model pembelajaran yang terstruktur yang menuntut siswa aktif dan membantu siswa dalam menemukan pengetahuan terdiri


(24)

24 dari beberapa langkah umum (sintaks) yaitu (1) pendahuluan atau review, (2) pengembangan, (3) latihan terkontrol, (4) seat work (kerja mandiri), dan (5) penugasan atau PR.

5. Pembelajaran Konvensional

Di dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), konvensional adalah berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum (seperti adat, kebiasaan, kelaziman); tradisional. Konvensional adalah tradisional, dimana dapat diartikan sebagai sikap dan cara berpikir serta bertindak yang berpegang teguh kepada adat, kebiasaan dan kelaziman. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru. Pembelajaran konvensional (tradisional) pada umumnya memiliki kekhasan tertentu, misalnya lebih mengutamakan hapalan daripada pemahaman.. Disini peranan guru sangatlah besar karena guru menjadi pusat pembelajaran. Guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan urutan langkah dalam menyampaikan materi tersebut kepada peserta didik. Sementara peserta didik mendengarkan secara teliti serta mencatat pokok-pokok penting yang dikemukakan guru sehingga pada pembelajaran ini kegiatan proses belajar mengajar didominasi oleh guru.

Menurut Oemar Hamalik (2009:186) pembelajaran konvensional adalah pembelajaran dimana guru berperan sebagai pusat pembelajaran, pembelajaran sebagian besar dilakukan dengan ceramah dan evaluasi dilakukan secara periodik. Sejalan dengan pendapat Oemar, Roestiyah N.K. (1991:139) menyatakan bahwa pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru


(25)

25 dengan metode ceramah, pembelajaran konvensional atau tradisional pada mumnya memiliki ciri khas yang tertentu, misalnya: lebih mengutamakan hafalan daripada pengertian, mengutamakan hasil dari pada proses dan pengajaran berpusat pada guru.

Menurut Wina Sanjaya (2009:179) menyebutkan pembelajaran konvensional adalah pembelajaran dengan menggunakan metode yang biasa dilakukan oleh guru yaitu memberi materi melalui ceramah, latihan soal kemudian pemberian tugas. Pada umumnya pembelajaran konvensional lebih terpusat pada guru. Akibatnya terjadi praktik belajar mengajar yang kurang optimal karena guru membuat siswa pasif.

Berdasarkan uraian sebelumnya tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang dilaksanakan secara klasikal,dan disepakati dimana pembelajaran berpusat pada guru dan peserta didik lebih banyak menyerap informasi yang diberikan daripada memperoleh pengetahuan secara aktif.

6. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan salah satu pembelajaran yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Pembelajaran kooperatif melatih dan membiasakan siswa untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas dan tanggung jawab. Menurut Johnson dan Johnson (Isjoni dan Ismail,


(26)

26 2008:152), cooperative learning adalah kegiatan belajar mengajar secara kelompok-kelompok kecil. Siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman individu maupun kelompok. Menurut Killen (2009:212) yang menyatakan bahwa "Cooperation means working together to achieve shared goals, so cooperative learning is an intructional strategy in which learners work together is small groups to help one another achieve common learning goal". Dengan demikian kooperatif berarti bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, sehingga pembelajaran kooperatif merupakan sebuah strategi instruksional dimana peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Ormrod (2014:428) menyatakan bahwa "Cooperative learning is an approach to instruction in which students work with a small group of peers to achieve a common goal and help one another learn”. Pembelajaran kooperatif mengajak siswa bekerja dalam suatu kelompok kecil untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Isjoni (2010:135), tujuan utama dari pembelajaran kooperatif yaitu agar siswa memperoleh pengetahuan dari teman sesamanya. Menurut Slavin (M. Jauhar, 2011:54), tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi keberhasilan kelompoknya. Secara garis besar ada tiga tujuan dari pembelajaran kooperatif, yaitu:

1. Hasil belajar akademik

Model kooperatif efektif dalam membentu siswa memahami konsep-konsep sulit. Pembentukkan kelas menjadi beberapa kelompok yang


(27)

27 heterogen mampu memebrikan keuntungan bagi siswa yang memiliki kemempuan dibawah rata-rata. Mereka dapat bekerjasama dan berdiskusi dengan siswa lain yang memiliki kemampuan diatas rata-rata saat menyelesaikan tugas-tugas akademik termasuk dalam pemecahan masalah. Hal tersebut dapat mengurangi kesenjangan nilai di kelas dikarenakan adanya peningkatan hasil belajar pada siswa berkemampuan rata-rata.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Model pembelajaran kooperatif tidak hanya meningkatkan hasil belajar siswa tetapi juga mampu meningkatkan jiwa sosial siswa, terutama dalam penerimaan terhadap perbedaan individu. Pembetukkan kelompok yang heterogen mampu mengajarkan pada siswa untuk saling menghormati dan menghargai meskipun merekaberbeda suku maupun latar belakang untuk bekerjasama dalam kelompok menyelesaikan masalah tugas-tugas akademik. 3. Pengembangan ketrampilan sosial

Tujuan selanjutnya dari pembelejaran kooperatif adalah mengejarkan ketrampilan sosial pada siswa seperti kemampuan bekerjasama dan kolaborasi.

Berdasarkan uraian dari beberapa diatas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran ter-organisir yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang melakukan interaksi tatap muka untuk saling membantu satu sama lain guna mencapai tujuan pembelajaran.


(28)

28 7. Pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray

Two Stay Two Stray merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Metode ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan, ketrampilan, dan memberikan kesempatan kelompok untuk berbagi hasil dan informasi kepada kelompok lain, sehingga setiap siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dapat saling membagikan ide dan informasi dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga menemukan solusi yang tepat.

Gordon (Lie, 2002:40) menarik sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan sepadan dan membentuk jarak dengan yang berbeda, namun pengelompokan dengan orang lain yang sepadan dan serupa ini dapat menghilangkan kesempatan anggota kelompoknya untuk memperluas wawasan dan memperkaya diri, karena dalam kelompok yang heterogen tidak banyak perbedaan yang dapat mengakses proses berfikir, beragumentasi dan berkembang. Struktur metode TSTS memberi kesempatan kepada kelompok untuk memberikan informasi kepada kelompok yang lain. Kegiatan belajar mengajar seringkali diwarnai dengan kegiatan yang bersifat individu, antara lain siswa diharapkan bekerja sendiri dan tidak boleh melihat pekerjaan teman yang lain. Padahal dalam kenyataanya (hidup diluar sekolah) kehidupan dan kerja manusia saling bergantung dengan yang lainya.

Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lie (2002:61) bahwa pembelajaran TSTS adalah salah satu teknik dalam metode diskusi yang berbasis cooperative learning. Teknik ini dikembangkan oleh Spencer Kagan pada tahun 1992. Teknik ini dapat digunakan pada semua mata pelajaran dan semua tingkat


(29)

29 anak didik. TSTS membentuk kelompok-kelompok kecil dan terdapat ciri khas dalam pembentukan kelompoknya yaitu anggota kelompok-kelompoknya bersifat heterogen (bermacam-macam). Dengan kelompok yang heterogen siswa akan merasa terbantu, karena ketika ada siswa yang memiliki kemampuan yang tinggi bisa membantu temannya yang belum bisa memahami materi atau tugas dari guru.

Lebih lanjut lagi, Lie (2002:61) menjelaskan langkah-langkah tentang metode TSTS. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

a. Siswa bekerjasama dengan anggota kelompok yang berjumlah 4 orang. b. Setelah selesai diskusi, siswa dibagi 2 (dua) orang menjadi tamu dan 2

(dua) orang lain tinggal dalam kelompok.

c. Dua orang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada tamu mereka.

d. Tamu mohon diri dan kembali kekelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dalam kelompok lain.

e. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. f. Kesimpulan.

Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Agus Suprijono (2009:93-94) bahwa pembelajaran dengan TSTS diawali dengan pembagian kelompok. Setelah kelompok terbentuk, guru memberikan tugas yang harus di diskusikan jawabannya. Setelah diskusi antar kelompok selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu kepada anggota kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak mendapatkan tugas sebagai duta (tamu) mempunyai kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas


(30)

30 mereka adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Dua orang yang bertugas sebagai tamu diwajibkan untuk bertamu kepada semua kelompok. Jika mereka telah selesai melaksanakan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah diselesaikan. Berdasarkan langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif TSTS, siswa mendapatkan banyak manfaat, antara lain: siswa dalam kelompoknya akan mendapat informasi sekaligus dari kelompok yang berbeda, siswa belajar untuk mengungkapkan pendapat kepada siswa lain, siswa dapat meningkatkan prestasinya dan daya ingat, siswa dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis, siswa dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan persahbatan.

8. Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two

Stay Two Stray

Model ini merupakan suatu model pembelajaran yang mencoba mengkombinasikan model pembelajaran MMP dengan TSTS. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi model pembelajaran MMP dan pembelajaran kooperatif TSTS dimana dalam prosesnya, keduanya memberikan kesempatan kepada siswa agar dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika yang dimilikinya dan terampil dalam memecahkan persoalan serta memiliki berbagai pengalaman dalam pemecahan masalah matematika.


(31)

31 . Pada penelitian ini, proses pembelajaran selalu menggunakan MMP yang dilengkapi dengan metode TSTS. Secara kongkrit model pembelajaran ini meliputi langkah- langkah sebagai berikut:

a. Pendahuluan atau Review - Membahas PR

- Meninjau ulang pelajaran lalu yang berkait dengan materi baru - Membangkitkan motivasi

b. Pengembangan

- Penyajian ide baru sebagai perluasan konsep matematika terdahulu - Penjelasan, diskusi demonstrasi dengan contoh konkret yang sifatnya

piktorial dan simbolik

c. Latihan Dengan Bimbingan Guru

- Siswa merespon soal yang diberikan guru - Guru mengamati

- Belajar kooperatif (menggunakan metode TSTS)

 Siswa bekerjasama secara berkelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa.

 Kemudian guru memberikan permasalahan yang akan dikerjakan secara diskusi.

 Setelah selesai berdiskusi, setiap kelompok akan dibentuk menjadi dua kelompok yang lebih kecil dimana 2 (dua) siswa menjadi tamu dan 2 (dua) siswa lain tinggal dalam kelompok.


(32)

32  Dua siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi kepada tamu mereka, sedangkan siswa yang menjadi tamu meninggalkan kelompoknya untuk berkunjung ke kelompok lain.

 Tamu mohon diri dan kembali kekelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dalam kelompok lain.

 Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka.  Kesimpulan.

d. Kerja Mandiri

- Siswa bekerja sendiri untuk latihan atau perluasan konsep. e. Penutup

- Siswa membuat rangkuman pelajaran, membuat renungan tentang hal- hal baik yang sudah dilakukan serta hal-hal kurang baik yang harus dihilangkan.

- Memberi tugas PR.

Pada tahap pelaksanaan model pembelajaran MMP dengan metode TSTS terdapat latihan terkontrol dimana dalam pelaksanaannya menerapkan pembelajaran kooperatif TSTS. Tahap ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk melatih pengetahuan, ketrampilan, dan memberikan kesempatan kelompok untuk berbagi hasil dan informasi kepada kelompok lain, sehingga setiap siswa dapat berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa dapat saling membagikan ide dan informasi dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga menemukan solusi yang tepat. Selanjutnya pada tahap latihan mandiri, siswa akan


(33)

33 diberikan lembar tugas proyek. Melalui tugas proyek diharapkan peserta didik dapat terampil dalam memecahkan persoalan dan memiliki berbagai pengalaman dalam pemecahan masalah matematika.

Perpaduan model pembelajaran MMP dengan metode TSTS bertujuan untuk membantu siswa menemukan pengetahuannya sendiri dengan berdiskusi dalam kelompok kecil dan melalui lemb, siswa juga akan lebih mudah dalam memahami permasalahan yang diberikan. Ketika siswa berdiskusi, siswa dapat saling berbagi ide satu sama lain dalam kelompoknya dan juga dengan kelompok lain untuk memahami masalah, merencanakan penyelesaian masalah, menyelesaikan permasalahan dan melakukan pengecekan terhadap jawaban.

B. Tinjauan Materi Geometri dengan Sub-materi Luas dan Keliling Segiempat

Salah satu materi dalam matematika di kelas VII SMP Semester Genap adalah geometri dengan sub-bab keliling dan luas bangun segiempat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan materi segiempat dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pada tabel 1.

Tabel 1. Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator Standar

Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator

6. Memahami konsep

segiempat dan segitiga serta menetukan ukurannya.

6.3 Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segiempat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.

6.3.1 Menurunkan rumus keliling dan luas bangun segiempat.

6.3.2 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan menghitung keliling dan luas bangun segiempat.


(34)

34 1. Keliling dan Luas Bangun Segiempat

a. Persegi Panjang

Gambar 1

Jika adalah persegi panjang dengan panjang AB = p dan lebar CB = l, maka keliling persegi panjang ABCD adalah

K = p + l + p + l = p + p + l + l = 2p + 2l = 2 × p + l

Jadi keliling persegi panjang adalah K = 2 × (p + l). Keliling persegi panjang sama dengan dua kali jumlah panjang dan lebarnya.

Luas persegi panjang dinyatakan sebagai L satuan luas dan dirumuskan sebagai L = p × l. Luas persegi panjang sama dengan hasil kali panjang dan lebarnya.

b. Persegi

Gambar 2

Misalkan suatu persegi mempunyai panjang sisi � satuan panjang. Jika keliling persegi dinyatakan dengan satuan panjang, maka


(35)

35 = 4 × s

Jadi, keliling persegi adalah K = 4 × s. Keliing persegi sama dengan jumlah panjang seluruh sisi-sisinya atau empat kali panjang sisinya.

Jika luas persegi dinyatakan dengan satuan luas, maka L = s × s atau L = s2. Luas persegi sama dengan kuadrat dari panjang sisinya atau hasil kali sisi dengan sisinya.

c. Jajargenjang

Gambar 3

Gambar menunjukkan bangun jajargenjang ABCD. Diketahui bahwa AB

= CD dan BC = DA .

Keliling jajargenjang ABCD = jumlah panjang semua sisinya. = AB + BC + CD + DA

= AB + BC + AB + BC = 2AB + 2BC

= 2 × (AB + BC )

Jadi, keliling jajargenjang K = 2 × (AB + BC ). Keliling jajargenjang sama dengan dua kali jumlah sisi yang saling berhadapan atau menjumlahkan semua panjang sisinya.

Jika luas jajargenjang dinyatakan dengan (L), alas (a), dan tinggi (t), maka L = a × t. Luas jajargenjang sama dengan hasil kali alas dan tinggi.


(36)

36 d. Belah Ketupat

Gambar 4

Gambar menunjukkan ∆ACD dengan garis tinggi OD dan alas AC.

Luas ∆ACD =1

2 alas × tinggi =1

2(OD × AC)

Kemudian ∆ABC dengan garis tinggi OB dan AC sebagai alasnya.

Luas ∆ACD =1

2 alas × tinggi = 1

2(OB × AC)

Luas belah ketupat ABCD = L.∆ACD + L.∆ABC =1

2 OD × AC + 1

2(OB × AC) =1

2AC × (OD × OB) =1

2AC × BD

Garis AC dan BD merupakan diagonal-diagonal belah ketupat. Jika AC = d1 dan BD = d2, maka L =

1

2d1 × d2. Luas belah ketupat sama dengan setengah hasil kali panjang diagonal-diagonalnya.

Keliling belah ketupat ABCD adalah AB + BC + CD + DA dengan AB , BC , CD , dan DA merupakan sisi dari belah ketupat dan AB = BC = CD = DA serta


(37)

37 dapat dinyatakan dengan (s), maka K = 4 × s. Keliling belah ketupat sama dengan empat kali panjang sisinya.

e. Layang-layang

Gambar 5

Gambar ∆ACD dengan garis tinggi DO dan alasnya AC, maka ∆ACD = 1

2 AC × DO . Pada ∆ABC dengan garis tinggi BO dan alasnya AC, maka ∆ACD =1

2 AC × BO .

Luas layang-layang ABCD = L.∆ACD + L.∆ABC =1

2 AC × DO + 1

2(AC × BO) =1

2AC × (DO + BO) =1

2× AC × BD

Garis AC dan BD merupakan diagonal-diagonal belah ketupat. Jika AC = d1 dan BD = d2, maka L =

1

2× d1× d2. Luas layang-layang sama dengan setengah hasil kali panjang diagonal-diagonalnya.

Keliling layang-layang ABCD adalah AB + BC + CD + DA dengan AB

, BC , CD , dan DA merupakan sisi dari layang-layang, maka K = AB + BC + CD

+ DA . Keliling layang-layang sama dengan jumlah panjang keempat sisinya.


(38)

38 f. Trapesium

Gambar 6

Gambar diatas menunjukkan bahwa trapesium ABCD dipotong menurut diagonal BD, sehingga tampak bahwa trapesium ABCD dibentuk dari ∆ ABD dan ∆ BCD yang masing-masing alasnya AD dan BD serta tinggi t (DE).

Luas trapesium ABCD = Luas ∆ ABD + Luas ∆ BCD = 1

2× AD × FB + 1

2× BC × DE = 1

2× AD × t + 1

2× BC × t = 1

2× t × (AD + BC)

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa luas trapesium=1 2× jumlah sisi sejajar × tinggi. Luas trapesium sama dengan setengah dikali jumlah sisi sejajar dikali tinggi

Keliling trapesium ditentukan dengan cara yang sama seperti keliling bangun datar lain, yaitu dengan menjumlahkan semua panjang sisi-sisinya. Jadi keliling trapesium diatas adalah = AB + BC + CD + DA .


(39)

39 C. Kerangka Berpikir

Berdasarkan deskripsi teori dan hasil penelitian yang relevan, peneliti mengasumsikan bahwa model pembelajaran MMP merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal ini dikarenakan model pembelajaran MMP merupakan model pembelajaran yang terstruktur dengan pengembangan dan perluasan konsep sehingga siswa dilatih untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Siswa diperkenalkan secara langsung dengan objek real sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengkaji dan menguasai materi pelajaran matematika.

Selain MMP, berdasarkan deskripsi teori dan hasil penelitian yang relevan, peneliti mengasumsikan bahwa pembelajaran kooperatif TSTS dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Hal ini dikarenakan pembelajaran kooperatif tipe TSTS memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi dengan siswa dari kelompok lain melalui kegiatan bertamu dan menerima tamu. Melalui kegiatan tersebut, siswa dapat saling membantu satu sama lain dalam memahami masalah dan saling membelajarkan sehingga kemampuan pemahaman dan pemecahan masalah dapat meningkat.

Diharapkan model pembelajaran MMP yang dilengkapi dengan metode TSTS dapat memberikan pengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah karena disini siswa tidak hanya belajar secara terstruktur dengan pengembangan dan perluasan konsep tetapi juga memberikan kesempatan untuk siswa saling


(40)

40 berdiskusi, membantu, membelajarkan sehingga kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat meningkat.

D. Penelitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan pada saat ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh:

1. Soviana (2013) dalam skripsi yang berjudul "Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu pada Missouri Mathematics Project T Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII SMP N 21 Semarang", menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa pada pembelajaran matematika yang mengacu pada Missouri Mathematics Project (MMP) lebih tinggi dan pembelajaran matematika mengacu pada Missouri Mathematics Project (MMP) efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika materi segiempat.

2. Dona, dkk (2013) dalam jurnal pembelajaran matematika judul Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dengan Metode Problem Solving Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Ditinjau dari Kategori Multiple Intelligences Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Karanganyar Vol 1, No 2 menunjukkan bahwa Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Problem Solving menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik.


(41)

41 E. Hipotesis/ Pernyataan Penelitian

Hipotesis atau pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah

a. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan Two Stay Two Stray efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SMP N 1 Tawangmangu.

b. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay Two Stray berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SMP N 1 Tawangmangu.


(42)

81 DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Agus Suprijono. (2009). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asep J. & Abdul H. (2008). Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Multi Press. Cambridge Advanced Learner's Dictionary (software). 3rd Edition.

Darmadi, Hamid. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Dona Fitriawan. (2012). Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Two Stay Two Stray dengan Metode Problem Solving Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Ditinjau dari Kategori Multiple Intelligences Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Karanganyar <eprints.uns.ac.id/1539/1/210-392-1-SM.pdf> diakses tanggal 24 Mei 2014 pukul 16.32 WIB.

Encyclopedia Britannica. (2000). Students' Britannica India Volume Seven. New Delhi: Radiant Printers.

Erman Suherman dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.JICA Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

Feldman, Allan. 2002. Mathematics Instruction: Cognitive, Affective, and Existential Perspectives. Dalam Royer, James M. (Ed.). 2003. Mathematicsal Cognition. Connecticut: Information Age Publishing.

Giyato. (2013) Implementasi Kurikulum 2013. Diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/28/247638/ 16/Implementasi-Kurikulum-2013 pada 3 Juni 2014.

Good, T.L. & D.A Grouws. (1979). The Missouri Mathematics Effectiveness Project : An Experimental Study in Fourth-Grade Classrooms. Journal of Educational Psychology, 71(3):355-362.


(43)

82 Herman Hudojo. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: JICA Universitas Negeri Malang.

Herman Hudojo. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Indra Riswanto. (2013). Pengembangan Tes Potensi Akademik Numerik Penerimaan Siswa Baru SMP Berbantuan Media Berbasis Wireless Application Protocol Java 2 Micro Edition (J2ME). Pancaran (Volume 2, Nomor 1). Hlm. 95-104.

Isjoni. (2010). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johson, David W and Roger T. Johnson. (2002). Cooperative Learning Method: A Meta- Analysis. Journal of Research in Education. Fall 2002, Vol. 12, No. 1. KBBI. (2015). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses dari

http://kbbi.web.id/konvensional pada tanggal 4 Februari 2015, jam 05.55. Killen, Roy. (2009). Coopertive Learning. Kansas: Instructional Coaching Group.

Diakses dari

http://api.ning.com/files/PUDbVrQ778waJB66XIobHYRtkJ0IZc3JAj0xfO UWWm8_/CooperativeLearningV1.2.pdf. pada 5 Juni 2014.

Krismanto. (2003). Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikan cooperative learning diruang-ruang kelas, Grasindo.

M. Jauhar (2011). Implementasi PAIKEM Dari Behavioristik Sampai Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Marpaung, Y. (2005). Persperktif Pembelajaran Berbagai Bidang Study. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author.

O' Connell, Susan. (2007). Introduction to Problem Solving. Portsmouth: Heinemann.


(44)

83 Oemar Hamalik. (2009). Perencanaan Pengajaran Bedasarkan Pendekatan

Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Ormrod, Jeanne. E. (2014). Essential of Eduational Psychology: Big Ideas to Guide Effective Teaching. USA: Pearson New International Education.

Peraturan Pemerintah RI No 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Redja, Mudyahardjo. 2013. Pengantar pendidikan Sebuah Studi Awal tentang

Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Roestiyah, N.K. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Rosani. 2004. Model-Model Pembelajaran Konstruktivis. Bandung: Alfabeta. Ruseffendi, E.T, 1998. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1988). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini: Untuk Guru dan SPG. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Slamet Soewadi. et al. (2005). Perspektif Pembelajaran di Berbagai Bidang.Yogyakarta: USD.

Soviana, Nur Savitri. (2013). Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu Pada Missouri Mathematics Project Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII SMP N 21 Semarang. Skripsi Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


(45)

84 Wina Sanjaya. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana.


(1)

40 berdiskusi, membantu, membelajarkan sehingga kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat meningkat.

D. Penelitian yang Relevan

Adapun beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan pada saat ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh:

1. Soviana (2013) dalam skripsi yang berjudul "Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu pada Missouri Mathematics Project T Kemampuan Pemecahan Masalah Materi Segiempat Kelas VII SMP N 21 Semarang", menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas siswa pada pembelajaran matematika yang mengacu pada Missouri Mathematics Project (MMP) lebih tinggi dan pembelajaran matematika mengacu pada Missouri Mathematics Project (MMP) efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika materi segiempat.

2. Dona, dkk (2013) dalam jurnal pembelajaran matematika judul Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray dengan Metode Problem Solving Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Ditinjau dari Kategori Multiple Intelligences Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Karanganyar Vol 1, No 2 menunjukkan bahwa Two Stay Two Stray (TSTS) dengan Problem Solving menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik.


(2)

41 E. Hipotesis/ Pernyataan Penelitian

Hipotesis atau pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah

a. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan Two Stay Two Stray efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di SMP N 1 Tawangmangu.

b. Model pembelajaran Missouri Mathematics Project dengan metode Two Stay

Two Stray berpengaruh terhadap kemampuan pemecahan masalah


(3)

81 DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. (2003). Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Agus Suprijono. (2009). Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asep J. & Abdul H. (2008). Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Multi Press. Cambridge Advanced Learner's Dictionary (software). 3rd Edition.

Darmadi, Hamid. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Dona Fitriawan. (2012). Eksperimentasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Two Stay Two Stray dengan Metode Problem Solving Pada Pokok Bahasan Persamaan Garis Lurus Ditinjau dari Kategori Multiple Intelligences Peserta Didik Kelas VIII SMP Negeri di Kabupaten Karanganyar <eprints.uns.ac.id/1539/1/210-392-1-SM.pdf> diakses tanggal 24 Mei 2014 pukul 16.32 WIB.

Encyclopedia Britannica. (2000). Students' Britannica India Volume Seven. New Delhi: Radiant Printers.

Erman Suherman dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.JICA Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Erman Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.

Feldman, Allan. 2002. Mathematics Instruction: Cognitive, Affective, and Existential Perspectives. Dalam Royer, James M. (Ed.). 2003. Mathematicsal Cognition. Connecticut: Information Age Publishing.

Giyato. (2013) Implementasi Kurikulum 2013. Diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/12/28/247638/ 16/Implementasi-Kurikulum-2013 pada 3 Juni 2014.

Good, T.L. & D.A Grouws. (1979). The Missouri Mathematics Effectiveness Project : An Experimental Study in Fourth-Grade Classrooms. Journal of Educational Psychology, 71(3):355-362.


(4)

82 Herman Hudojo. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: JICA Universitas Negeri Malang.

Herman Hudojo. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Indra Riswanto. (2013). Pengembangan Tes Potensi Akademik Numerik Penerimaan Siswa Baru SMP Berbantuan Media Berbasis Wireless Application Protocol Java 2 Micro Edition (J2ME). Pancaran (Volume 2, Nomor 1). Hlm. 95-104.

Isjoni. (2010). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johson, David W and Roger T. Johnson. (2002). Cooperative Learning Method: A Meta- Analysis. Journal of Research in Education. Fall 2002, Vol. 12, No. 1. KBBI. (2015). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Diakses dari

http://kbbi.web.id/konvensional pada tanggal 4 Februari 2015, jam 05.55. Killen, Roy. (2009). Coopertive Learning. Kansas: Instructional Coaching Group.

Diakses dari

http://api.ning.com/files/PUDbVrQ778waJB66XIobHYRtkJ0IZc3JAj0xfO UWWm8_/CooperativeLearningV1.2.pdf. pada 5 Juni 2014.

Krismanto. (2003). Beberapa Teknik, Model, dan Strategi dalam Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Lie, Anita. (2002). Cooperative Learning: Mempraktikan cooperative learning diruang-ruang kelas, Grasindo.

M. Jauhar (2011). Implementasi PAIKEM Dari Behavioristik Sampai Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Marpaung, Y. (2005). Persperktif Pembelajaran Berbagai Bidang Study. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: Author.

O' Connell, Susan. (2007). Introduction to Problem Solving. Portsmouth: Heinemann.


(5)

83 Oemar Hamalik. (2009). Perencanaan Pengajaran Bedasarkan Pendekatan

Sistem. Jakarta: Bumi Aksara.

Ormrod, Jeanne. E. (2014). Essential of Eduational Psychology: Big Ideas to Guide Effective Teaching. USA: Pearson New International Education.

Peraturan Pemerintah RI No 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Redja, Mudyahardjo. 2013. Pengantar pendidikan Sebuah Studi Awal tentang

Dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Roestiyah, N.K. (1991). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Rosani. 2004. Model-Model Pembelajaran Konstruktivis. Bandung: Alfabeta. Ruseffendi, E.T, 1998. Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya Dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1988). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kini: Untuk Guru dan SPG. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Slamet Soewadi. et al. (2005). Perspektif Pembelajaran di Berbagai Bidang.Yogyakarta: USD.

Soviana, Nur Savitri. (2013). Keefektifan Pembelajaran Matematika Mengacu Pada Missouri Mathematics Project Terhadap Kemampuan Pemecahan

Masalah Materi Segiempat Kelas VII SMP N 21 Semarang. Skripsi

Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Negeri Semarang.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. (2003). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 th 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


(6)

84 Wina Sanjaya. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana.


Dokumen yang terkait

Pengaruh model pembelajaran kooperatif teknik two stay two stray terhadap kemampuan komunikasi matematika siswa

1 4 202

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray(Dua Tinggal Dua Tamu) Dengan Pendekatan Nilai Untuk meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Cahaya

0 6 192

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Two Stay Two Stray Terhadap Keterampilan Menyimak Siswa Kelas V MIN 15 Bintaro Jakarta Selatan

1 10 130

Perbedaan hasil belajar ips siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif teknik inside outside circle dan two stay two stray

0 12 0

Perbedaan Hasil Belajar Antara Siswa yang Menggunakan Metode Pembelajaran Two Stay Two Stray dan Jigsaw Pada Konsep Pencernaan

2 14 198

KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGACU PADA MISSOURI MATHEMATICS PROJECT TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATERI SEGIEMPAT KELAS VII SMP N 21 SEMARANG

0 9 216

perbedaan hasil belajar peserta didik menggunakan pendekatan sts, sets, dan stem pada pembelajaran konsep virus

3 22 77

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TWO STAY TWO STRAY DALAM MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI Penerapan Model Pembelajaran Two Stay Two Stray Dalam Meningkatkan Keaktifan Dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika (PTK Pada Siswa Kelas VII Semes

0 3 12

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TWO STAY TWO STRAY DALAM MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI Penerapan Model Pembelajaran Two Stay Two Stray Dalam Meningkatkan Keaktifan Dan Kemampuan Komunikasi Belajar Matematika (PTK Pada Siswa Kelas VII Semes

0 2 16

Pengaruh Model Two Stay Two Stray Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa

1 0 9